Anda di halaman 1dari 12

1 Pengaruh Pemberian Suplemen Pakan Temulawak (Curcuma Xanthorriza

2 Roxb) dan Antiseptik Puting Temulawak terhadap Kualitas Fisik dan


3 Organoleptik Susu
4 (The effect of feeding curcuma supplement and application of curcuma teat antiseptik on
5 physical and organoleptic quality of milk)

6ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian suplemen pakan temulawak dan
7antiseptik puting temulawak terhadap kualitas fisik dan organoleptik susu. Penelitian menggunakan Rancangan
8Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 3 kelompok. T0 = pakan basal (kontrol), T1 = suplemen temulawak (1%
9kebutuhan BK), T2 = teat dipping temulawak (5% b/v), T3 = suplemen temulawak (1% kebutuhan BK) + teat
10dipping temulawak (5% b/v). Parameter yang diamati yaitu kualitas fisik susu dan organoleptik susu. Data BJ
11yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dan diuji lanjut dengan Paired T Test, data organoleptik
12dianalisis menggunakan uji Kurskall Wallis dan uji lanjut Wilcoxon dan didukung dengan analisis deskriptif.
13Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan suplementasi dan teat dipping temulawak berpengaruh
14nyata terhadap BJ susu (P<0,05) dan tidak berpengaruh terhadap organoleptik susu. Rataan hasil dari Uji BJ susu
15yang mendapat perlakuan T0, T1, T2, dan T3 setelah 30 hari perlakuan nilainya adalah 1,025; 1,024; 1,024;
161,025. Hasil uji organoleptik susu pada kelompok perlakuan adalah susu berwarna putih kekuningan (T3) dan
1755% terasa gurih (T1). Terdapat peningkatan kekentalan susu berdasarkan panelis pada kelompok perlakuan
18temulawak, dari 13% - 15% menjadi 33% - 43%. Disimpulkan bahwa pemberian treatment suplemen pakan dan
19antiseptik puting temulawak dapat meningkatkan BJ susu dan mampu memperbaiki organoleptik susu.
20Kata Kunci: Temulawak, kualitas susu, organoleptik susu

21ABSTRACT This study aims to assess the effect of feeding curcuma supplement and application of curcuma teat
22antiseptic on physicaland organoleptic quality of milk. The study used a randomized block design with 4
23treatments and 3 groups, T0 = basal feed (control), T1 = curcuma supplement (1% DM), T2 = curcuma teat
24antiseptic (5% w/v), T3 = curcuma supplement (1% DM) + curcuma teat antiseptic (5% w/v). The parameters
25observed were physical quality of milk and organoleptic milk. The data obtained were analyzed using ANOVA
26and further tested by Paired T Test. The organoleptic data were analyzed using Kurskall Wallis and Wilcoxon
27test, as well as descriptive analysis. The results showed that the curcuma supplementation into the diets and the
28curcuma antiseptic for teat dipping practices were affected milk density significantly (P<0.05), but did not affect
29the milk organoleptic. The average of milk density in T0, T1, T2, and T3 groups after 30 days of treatment were
301.025; 1,024; 1,024; and 1,025 g/ml; respectively. The milk organoleptic test results showed that the milk from
31treatment groups had 57.5% yellowish white color (T3) and 55% savory taste (T1). There was an increased in
32milk thickness basen on panelist for the curcuma treatment groups from 13%-15% to 33%-43%. It was concluded
33that the addition of curcuma supplement as much as 1% DM and curcuma teat antiseptic could increase milk
34density, moreover, both treatments could improve milk organoleptic.
35Keywords: Curcuma, milk quality, milk organoleptic

36 PENDAHULUAN
37 Pada budidaya sapi perah, pemerahan merupakan aktivitas rutin yang wajib dilakukan oleh
38peternak. Sanitasi puting dengan cara pencelupan kedalam antiseptik merupakan prosedur yang wajib
39dilakukan untuk mencegah bakteri yang masuk, jika hal tersebut tidak dilakukan dapat menyebabkan
40penyakit berupa mastitis. Suplemen pakan juga sering diberikan pada ternak selain untuk
41meningkatkan performa dan meningkatkan produksi juga untuk memperbaiki performa ternak yang
42sakit. Kandungan antibakteri pada suplemen pakan untuk sapi perah dapat menghambat dan
43membunuh berbagai bakteri salah satunya adalah bakteri yang menyebabkan mastitis (Yamin et al.,
442013).
45 Mastitis merupakan peradangan pada ambing yang disebabkan oleh bakteri patogen yang dapat
46mengakibatkan penurunan kualitas susu. Penyakit mastitis umumnya disebabkan oleh berbagai jenis
47bakteri antara lain adalah Streptococcus agalactiae, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis,
48Streptococcus zooepidermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes dan
49Pseudomonas aeruginosa (Riyanto et al., 2016). Bakteri-bakteri tersebut akan menyebabkan kerusakan
50sel alveoli pada ambing. Mastitis tidak hanya mengakibatkan penurunan produksi susu namun dapat
51mempengaruhi kualitas susu. Penurunan kualitas susu merupakan kelainan yang terjadi pada susu
52karena bakteri mastitis dapat merusak komposisi nutrien susu (Utami et al., 2014). Mastitis
53menyebabkan kualitas susu meliputi warna, bau, kekentalan, pH dan berat jenis berubah. Perubahan
54yang paling menonjol dalam susu ditunjukan dengan perubahan warna dan terdapat gumpalan pada
55susu.
56 Pencegahan dan pengobatan penyakit mastitis menggunakan bahan herbal baik secara celup
57puting maupun suplemen pakan sudah banyak diteliti, namun demikian penggunaan bahan herbal
58dalam pakan serta sebagai antiseptik teat dipping dikhawatirkan dapat mempengaruhi kualitas fisik dan
59organoleptik susu, sehingga bisa mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen. Salah satu bahan herbal
60yang bisa digunakan untuk dipping dan untuk suplemen adalah temulawak. Temulawak mengandung
61minyak atsiri yang mengandung senyawa-senyawa flavonoid, seskuiterpen yang terdiri atas zedoarone,
62kurdiona, epikurkumenol, kurzerena, kurkumol dan isokurkumenol. Zat-zat tersebut berfungsi sebagai
63antiinflamasi, antibakteri dan antioksidan (Susanty dan Nurdin, 2012). Kandungan senyawa-senyawa
64tersebut diperkirakan sangat baik digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ternak dan
65mengurangi peradangan ambing atau mastitis yang sering terjadi pada ternak (Nurdin, 2007).
66 Pemberian treatment diharapkan dapat mengurangi kerusakan susu yang terjadi akibat mastitis
67dan tidak ada efek samping yang ditimbulkan. Pemberian treatment menggunakan temulawak
68dikhawatirkan akan mengubah cita rasa dan warna susu sehingga perlu dilakukan pengujian terhadap
69kualitas susu. Pengujian dilakukan untuk melihat ada tidaknya perubahan fisik meliputi berat jenis
70serta organoleptik meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur pada susu setelah diberikan treatment.
71Produk susu yang berkualitas baik dapat dihasilkan dengan cara mencegah kerusakan susu yaitu
72dengan melakukan pengujian kesegaran susu untuk menentukan daya simpan susu yang optimal dan
73mempertahankan warna serta cita rasa susu yang baik. Kandungan senyawa yang dimiliki oleh
74temulawak diharapkan dapat menyembuhkan atau mengurangi peradangan ambing pada ternak
75sehingga kualitas susu yang meliputi warna, bau, kekentalan, pH dan berat jenis kembali normal.
76 Tujuan penelitian untuk mengkaji kualitas fisik dan organoleptik susu dari sapi perah yang
77mendapat suplemen pakan dan antiseptik puting temulawak. Manfaat penelitian dapat memberikan
78informasi terkait kualitas fisik dan organoleptik susu dari sapi perah yang mendapat suplemen pakan
79dan antiseptik puting temulawak. Hipotesis penelitian yaitu penggunaan suplemen pakan dan antiseptik
80puting temulawak mampu meningkatkan kualitas susu meliputi warna, bau, rasa, kekentalan dan berat
81jenis kembali normal.

82 MATERI DAN METODE


83Materi
84 Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu 12 ekor sapi perah betina Friesian Holstein (FH)
85yang menderita mastitis subklinis yang dikonfirmasi positif pada uji CMT skor ++ hinga +++ dan
86bobot badan 461,57 ±44,99 kg (CV : 9,75%) dan dibagi dalam 3 kelompok berdasarkan produksi susu
87yaitu produksi susu tinggi (8,86 – 12,22 liter), produksi susu sedang (5,09 – 6,75 liter) dan produksi
88rendah (3,80 – 4,80 liter). Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung temulawak, aquades,
89gliserin, alkohol 70%. Pakan yang digunakan berupa hijauan, konsentrat komersil dan komboran.
90Peralatan yang digunakan yaitu pita ukur untuk mengukur bobot badan ternak, botol untuk menampung
91sampel susu, beaker glass untuk mencampur susu, laktodensimeter untuk menguji berat jenis susu,
92panci untuk wadah air dan susu saat pasteurisasi, kompor untuk memanaskan susu, thermometer untuk
93mengukur suhu susu dan cup kecil untuk sampel susu yang akan diuji organoleptik.

94
95Metode Penelitian
96 Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu penimbangan suplemen dan pembuatan
97antiseptik puting temulawak, pengumpulan sampel susu, uji berat jenis susu (BJ) dan pengujian
98organoleptik susu. Perlakuan suplemen pakan dan antiseptik puting dilakukan selama 30 hari. Semua
99manajemen pemeliharaan yang dilakukan selama penelitian mengikuti perlakuan yang ada pada
100peternakan.

101Penimbangan suplemen pakan dan pembuatan antiseptik teat dipping temulawak


102 Suplemen tepung temulawak diberikan dengan cara dicampur dengan konsentrat diberikan
103sebagian pada pagi hari dan sebagian pada sore hari. Pembuatan antiseptik puting herbal dari tepung
104temulawak yaitu menggunakan metode perebusan dengan konsentrasi 5%. Proses pembuatannya yaitu
105tepung temulawak sebanyak 5 g dimasukkan dalam 100 ml aquades kemudian diaduk hingga homogen
106dan dimasak hingga mendidih hingga volume mencapai setengahnya. Setelah itu tepung temulawak
107dikeluarkan dan disaring dengan kain dan dicampur dengan 50 ml gliserin. Perlakuan teat dipping
108dilakukan setiap pagi dan sore setelah pemerahan.

109Perlakuan suplemen dan teat dipping


110 Perlakuan penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) empat perlakuan dengan
111masing-masing 3 ulangan. Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah:
112T0 : pakan basal
113T1 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK)
114T2 : teat dipping temulawak (5% b/v)
115T3 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK) + teat dipping temulawak (5% b/v)

116Uji Berat Jenis Susu


117 Uji berat jenis susu dilakukan pada hari ke 0 dan 30. Pengujian berat jenis susu dilakukan
118dengan menggunakan laktodensimeter. Sampel susu masing-masing diambil sebanyak 500 ml dari
119hasil pemerahan pagi dan sore hari. Sampel susu hasil pemerahan pagi disimpan dalam freezer terlebih
120dahulu sebelum dicampur dengan sampel dari hasil pemerahan sore hari agar tidak rusak. Setelah
121diperoleh sampel susu pemerahan sore, susu yang telah disimpan dikeluarkan dari freezer dan di-
122thawing. Kemudian sampel susu hasil pemerahan pagi dicampur dengan sampel susu hasil pemerahan
123sore hingga homogen secara proporsional sebanyak 500 ml kedalam gelas ukur. Laktodensimeter
124dicelupkan secara perlahan-lahan diputar dan didiamkan hingga stabil. Berat jenis susu diukur dengan
125menggunakan rumus :
126Berat Jenis = Berat Jenis Terukur – (27,5 – T) x 0,0002
127Keterangan :
128T = Suhu pada laktodensimeter

129Uji Organoleptik Susu


130 Sampel susu setiap sapi yang digunakan sebanyak 1 liter yang berasal dari campuran susu
131pemerahan pagi dan susu pemerahan sore dengan perhitungan komposisi sebagai berikut :
132
Jumlah total susu (pagi + sore)
133Komposisi susu = × 1 liter
Jumlah susu pagi/sore
134
135 Pengujian data organoleptik (warna, bau, rasa atau kesukaan) susu dilakukan dengan
136menggunakan metode kuesioner dengan 40 panelis semi terlatih dengan kriteria menyukai susu dan
137berusia antara 20 – 22 tahun. Sampel susu dipasteurisasi dengan cara memasukkan sampel. Susu
138dimasak dan diaduk sampai suhunya mencapai 65ᵒ - 70ᵒC selama 15 menit kemudian dimasukkan
139kedalam gelas cup untuk diuji. Data kuesioner panelis menggunakan bentuk scoring sebagai berikut :
140
141Tabel 1. Scoring kuesioner
Sko Warna Aroma Rasa Tekstur Kesukaan
r
1 Kuning Sangat beraroma khas temulawak Asin Kental Tidak suka
2 Putih Beraroma khas temulawak Manis Encer Suka
3 Putih Tidak beraroma khas temulawak Gurih Agak Encer Sangat suka
kekuningan
4 Sangat gurih
142
143 Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang disebabkan oleh perlakuan pada setiap
144parameter, maka dilakukan pengujian antara hari ke 0 dan 30 dengan Wilcoxon. Sedangkan hasil
145pengujian panelis pada setiap parameter ditampilkan dalam bentuk grafik batang.

146Analisis Data
147 Parameter berat jenis susu dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of variance)
148berdasarkan RAK, kemudian data dianalisis menggunakan Paired Sample T Test untuk mengetahui
149pengaruh perlakuan yang diberikan pada H0 dan H30. Data organoleptik susu dianalisis menggunakan
150uji Kurskall wallis dan uji lanjut Wilcoxon didukung dengan analisis deskriptif. Data statistik diolah
151dengan menggunakan aplikasi SPSS 16.0.

152 HASIL DAN PEMBAHASAN


153Pengaruh treatment suplemen pakan dan antiseptik puting temulawak terhadap BJ susu
154 Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, diperoleh rataan pengaruh BJ susu yang
155mendapat treatment suplemen pakan dan antiseptik puting temulawak disajikan pada Tabel 2.

156Tabel 2. Berat jenis (BJ) susu sapi perah


H0 H30
Perlakuan P Value
----------g/ml----------
T0 1,022 1,025 0,286
T1 1,021 1,024 0,184
T2 1,021 1,024 0,053
T3 1,020b 1,025a 0,039
ab
157 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
158
1.03
1.03 1.03
1.03
1.02 1.02
1.02
Berat Jenis

1.02

1.02

1.02
T0 T1 T2 T3

159
160 Gambar 1. BJ susu setelah perlakuan selama 30 hari
161
162 Berdasarkan analisis pada sampel susu hari ke 30 pada semua kelompok tidak terdapat
163perbedaan (Gambar 1), namun demikian jika dilihat dari hari 0 ke hari 30 seperti yang ditampilkan di
164tabel 2 pada kelompok T0, T1, T2 tidak berbeda nyata, namun pada T3 menunjukkan hasil yang
165signifikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada sapi kelompok T2 (teat dipping) secara numerik
166ada kecenderungan untuk memperbaiki BJ sedangkan peningkatan BJ signifikan diperoleh pada sapi
167kelompok T3 dengan perlakuan kombinasi suplemen dan teat dipping temulawak yang mampu
168memperbaiki BJ secara nyata (P<0,05) yaitu BJ susu mengalami perbaikan dari 1,020 g/ml menjadi
1691,025 g/ml pada hari ke 30.
170 Peningkatan nilai berat jenis susu setelah diberi perlakuan belum sesuai SNI (2011) yaitu
171minimal 1,027 g/ml. Peningkatan nilai BJ susu diduga dipengaruhi oleh adanya penurunan jumlah sel
172somatik peradangan. Menurut Pratiwi et al. (2018) bahwa cemaran sel somatik dalam susu dapat
173menurunkan kuantitas dan kualitas dari susu. Penurunan jumlah sel somatik peradangan dapat
174memperbaiki proses biosintesa susu. Pada penelitian Agustina et al. (2019) bahwa penurunan tingkat
175peradangan yang paling tinggi diketahui dari jumlah sel somatik yang ditemukan pada kelompok T3
176yaitu sebesar 53,82%. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung temulawak selama 30
177hari mampu memperbaiki BJ susu.

178Organoleptik susu akibat suplementasi pakan dan antiseptik puting temulawak


179 Organoleptik susu akibat perlakuan suplemen pakan dan antiseptik puting temulawak selama
18030 hari ditampilkan pada Tabel 3.
181
182Tabel 3. Pengaruh penggunaan temulawak sebagai suplemen pakan dan antiseptik puting selama 30 hari terhadap
183 organoleptik susu
Parameter T0 T1 T2 T3 P-value
Warna 2,03 2,13 2,25 2,35 0,498
Aroma 2,63 2,53 2,58 2,40 0,667
Rasa 3,00a 2,87a 2,97a 2,00b 0,000
Tekstur 2,38 2,43 2,33 2,38 0,838
Kesukaan 1,80a 1,87a 1,82a 1,20b 0,000
184abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
185
186Warna susu
187 Warna susu akibat perlakuan pemberian suplemen temulawak 1% kebutuhan BK dan antiseptik
188temulawak ditampilkan pada Gambar 2. dan Tabel 4.
189
70%
60%
50%
%Responden

40%
30%
20%
10%
0%
T0H0 T1H0 T2H0 T3H0 T0H30 T1H30 T2H30 T3H30

Kuning Putih Putih Kekuningan


190
191 Gambar 2. Warna Susu Sebelum Treatment (H0) dan Setelah Treatment pada hari ke-30
192 (H30).

193 Tabel 4. Pengaruh temulawak sebagai suplemen pakan dan antiseptik dipping puting selama 30 hari terhadap
194 warna susu
Perlakuan H0 H30 P-value
T0 2,40a 2,02b 0,038
T1 2,27 2,12 0,333
T2 2,32 2,25 0,622
T3 2,32 2,35 0,854
195abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
196T0 = kontrol
197T1 = suplemen temulawak (1% kebutuhan BK)
198T2 = teat dipping temulawak (5% b/v)
199T3 = suplemen temulawak (1% kebutuhan BK) + teat dipping temulawak (5% b/v)
200H0 = sebelum perlakuan ; H30 = setelah perlakuan selama 30 hari
201
202 Hasil kruskall wallis (Tabel 3) dan uji wilcoxon (Tabel 4) menunjukan bahwa perlakuan
203suplemen dan antiseptik puting temulawak selama 30 hari tidak memberikan pengaruh (P>0,05)
204terhadap warna susu. Setelah 30 hari perlakuan, warna susu masih dalam kondisi normal sesuai dengan
205kriteria susu segar, yaitu berwarna putih kekuningan. Menurut Usmiati dan Abubakar (2009) warna
206susu normal adalah putih kekuningan. Warna susu dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi oleh sapi
207perah (Ariyanti et al., 2015). Berdasarkan hasil penelitian pemberian tepung temulawak baik sebagai
208suplemen pakan tidak mengakibatkan warna dari temulawak tersekresikan pada susu dan temulawak
209sebagai antiseptik puting tidak mengkontaminasi warna susu.
210 Berdasarkan Gambar 2, pilihan panelis menunjukkan bahwa di hari ke 0 panelis dominan
211menjawab susu berwarna putih yaitu di kelompok T0 52,50%, T1 60%, T2 60% dan T3 62,50%,
212sedangkan pada hari ke 30 sebagian besar panelis menjawab berwarna putih kekuningan di semua
213kelompok perlakuan. Pelakuan yang mendapat pilihan warna putih kekuningan tertinggi adalah T3
214yaitu sebesar 57,50%. Warna putih disebabkan oleh refleksi cahaya globula lemak, sedangkan warna
215kekuningan pada susu disebabkan oleh karoten yang terlarut pada lemak dalam susu dan jenis pakan
216yang diberikan. Warna putih dan kekuningan pada susu sesuai dengan pendapat Maitimu et al. (2013)
217bahwa warna putih normal pada susu disebabkan oleh penyebaran butiran koloid lemak sedangkan
218bahan utama yang memberi warna kekuningan pada susu adalah karoten dan riboflavin.

219Aroma susu
220 Aroma susu akibat perlakuan pemberian suplemen temulawak 1% kebutuhan BK dan antiseptik
221temulawak ditampilkan pada Gambar 3. dan Tabel 5.
100%

80%

% Responden
60%

40%

20%

0%
t0h0 t1h0 t2h0 t3h0 t0h30 t1h30 t2h30 t3h30
Sangat Beraroma Khas Temulawak Beraroma Khas Temulawak
Tidak Beraroma Khas Temulawak
222
223 Gambar 3. Aroma Susu Sebelum Treatment (H0) dan Setelah Treatment pada hari ke-30 (H30).

224Tabel 5. Pengaruh penggunaan temulawak sebagai suplemen pakan dan antiseptik dipping puting selama 30 hari
225 terhadap aroma susu
Perlakuan H0 H30 P-value
T0 2,72 2,62 0,206
T1 2,92a 2,52b 0,001
T2 2,90a 2,57b 0,005
T3 2,87a 2,40b 0,000
226abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
227T0 : kontrol
228T1 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK)
229T2 : teat dipping temulawak (5% b/v)
230T3 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK) + teat dipping temulawak (5% b/v)
231H0 : sebelum perlakuan ; H30 : setelah perlakuan selama 30 hari

232 Bahwa perlakuan suplemen dan antiseptik dipping puting temulawak selama 30 hari tidak
233memberikan pengaruh (P>0,05) terhadap aroma susu (Tabel 3). Hasil uji wilcoxon (Tabel 5) pada H0
234dan H30 menunjukan bahwa ada perbedaan aroma susu pada perlakuanT1, T2 dan T3 (P<0,05).
235 Rataan aroma sampel susu sapi pada hari ke 0 dan ke 30 (Gambar 3) menunjukkan mayoritas
236panelis memilih pilihan tidak beraroma khas temulawak pada hari ke 0 sebesar 95% dan 70% pada hari
23730. Pada Tabel 5, skor pilihan T0, T1, dan T2 berada diatas 2,5 yang menunjukkan cenderung tidak
238beraroma khas temulawak. Pada T0 (kelompok kontrol tanpa perlakuan) sebesar 20% – 30% panelis
239mengatakan bahwa susu memiliki aroma temulawak meskipun tidak mendapat perlakuan suplementasi
240temulawak. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian treatment suplemen pakan dan antiseptik puting
241temulawak tidak memberikan dampak negatif terhadap aroma susu.
242 Menurut SNI (2011) susu normal memiliki bau yang tidak berubah atau menyimpang yaitu
243beraroma khas susu. Hal tersebut menunjukkan bahwa susu sebelum dan setelah diberi perlakuan
244dalam keadaan normal dan sesuai standar. Menurut Maitimu et al. (2013) bau khas susu disebabkan
245karena kandungan laktosa susu yang tinggi dan kandungan khorida yang relatif rendah. Aroma susu
246juga dipengaruhi oleh aroma pakan dan lingkungan sekitar yang mudah diserap oleh susu (Anindita et
247al., 2017).

248Rasa susu
249 Rasa susu akibat perlakuan pemberian suplemen temulawak 1% kebutuhan BK dan antiseptik
250temulawak ditampilkan pada Gambar 4. dan Tabel 6.
60%
50%

%Responden
40%
30%
20%
10%
0%
T0H0 T1H0 T2H0 T3H0 T0H30 T1H30 T2H30 T3H30
Asin Manis Gurih Sangat Gurih
251
252 Gambar 4. Rasa Susu Sebelum Treatment (H0) dan Setelah Treatment pada hari ke-30 (H30).

253
254
255
256
257Tabel 6. Pengaruh penggunaan temulawak sebagai suplemen pakan dan antiseptik dipping puting selama 30 hari
258 terhadap rasa susu
Perlakuan H0 H30 P-value
T0 2,65 3,00 0,068
T1 2,97 2,87 0,729
T2 3,00 2,97 0,949
T3 2,07 2,00 0,602
259T0 : kontrol
260T1 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK)
261T2 : teat dipping temulawak (5% b/v)
262T3 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK) + teat dipping temulawak (5% b/v)
263H0 : sebelum perlakuan ; H30 : setelah perlakuan selama 30 hari
264
265 Hasil uji kruskal wallis (Tabel 3) antar perlakuan pada H30 menunjukkan bahwa terdapat
266pengaruh signifikan (P<0,05), setelah dilakukan uji lanjut wilcoxon diketahui bahwa perbedaan
267terdapat di T3. Namun hasil uji wilcoxon (Tabel 6) pada tiap perlakuan antara H0 dan H30 diketahui
268bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan
269rasa antara sebelum dan sesudah perlakuan.
270 Sapi pada kelompok T3 masih menunjukkan rasa asin pada susu pada hari ke 30 (50%), hal ini
271diduga berkaitan dengan tingkat peradangan pada ambing. Pada penelitian ini, sapi pada kelompok T3
272pada hari ke 30 masih mengalami peradangan ambing yang bersifat subklinis, hal tersebut ditandai
273dengan skor California Mastitis Test (CMT) berada pada nilai 2,08 (Solehah et al., 2020). Peradangan
274pada ambing menyebabkan permeabilitas membran sel terganggu sehingga kadar NaCl naik
275(Mahpudin et al., 2017).
276 Berdasarkan Gambar 4, panelis menunjukan bahwa di hari ke 0 panelis dominan menjawab susu
277memiliki rasa gurih yaitu di kelompok T0 37,5%, T1 35%, T2 42,5% dan T3 40% sedangkan pada hari
278ke 30 sebagian besar panelis menjawab susu memiliki rasa gurih dengan persentase berbeda yaitu T0
27942,5%, T1 55%, T2 45% dan T3 40%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemberian treatment tidak
280mempengaruhi rasa susu dan tidak memberikan dampak negatif terhadap rasa susu.
281 Rataan rasa sampel susu sapi sebelum dan setelah diberi perlakuan menunjukkan bahwa tidak
282terjadi perubahan rasa, susu tetap memiliki rasa gurih (normal). Menurut SNI (2011) susu normal
283memiliki rasa yang tidak mengalami perubahan. Rasa susu normal yaitu sedikit manis dan asin atau
284gurih khas susu. Rasa sedikit manis pada susu disebabkan oleh laktosa sedangkan rasa asin berasal dari
285klorida dan sitrat (Kurnia et al., 2018). Faktor-faktor yang mempengaruhi cita rasa susu adalah
286penyerapan bau, bahan pakan ternak, kondisi ternak dan penambahan bahan asing. Hal ini sesuai
287dengan pendapat Diastari dan Agustina (2013) bahwa faktor yang mempengaruhi rasa susu adalah
288pemberian pakan dan jenis bahan pakan yang diberikan.

289Tekstur susu
290 Tekstur susu akibat perlakuan pemberian suplemen temulawak 1% kebutuhan BK dan
291antiseptik temulawak ditampilkan pada Gambar 5. dan Tabel 7.

100%
80%
%Responden

60%
40%
20%
0%
T0H0 T1H0
T2H0 T3H0 T0H30 T1H30 T2H30 T3H30
292 Encer Agak kental
293 Gambar 5. Tekstur Susu Sebelum Treatment (H0) dan Setelah Treatment pada hari ke-30 (H30).

294Tabel 7. Pengaruh penggunaan temulawak sebagai suplemen pakan dan antiseptik dipping puting selama 30 hari
295 terhadap tekstur susu
Perlakuan H0 H30 P-value
T0 2,05a 2,37b 0,001
T1 2,15a 2,42b 0,008
T2 2,12a 2,32b 0,033
T3 2,25 2,37 0,225
ab
296 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
297T0 : kontrol
298T1 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK)
299T2 : teat dipping temulawak (5% b/v)
300T3 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK) + teat dipping temulawak (5% b/v)
301H0 : sebelum perlakuan ; H30 : setelah perlakuan selama 30 hari
302
303 Bahwa perlakuan suplemen dan antiseptik puting temulawak selama 30 hari tidak memberikan
304pengaruh (P>0,05) terhadap tekstur susu (Tabel 3). Tetapi pada uji wilcoxon antara H0 dan H30
305menunjukkan bahwa hasil perlakuan selama 30 hari dengan temulawak pada kelompok T1 dan T2
306terjadi perubahan pada tekstur (P<0,05) (Tabel 7).
307 Dimana terjadi penurunan persentase penilaian encer pada T1 dan T2 di hari ke-0 menjadi agak
308kental pada hari ke-30, sehingga persentase jawaban agak kental pada hari ke-30 meningkat.
309Persentase agak kental pada T1 meningkat dari 12% di hari ke 0 menjadi 42% di hari ke 30. Persentase
310agak kental pada T2 meningkat dari 12% di hari ke 0 menjadi 32% di hari ke 30. Sedangkan pada T3
311juga terjadi peningkatan persentase jawaban panelis bahwa susu dari sapi T3 agak kental, namun
312peningkatan ini tidak signifikan. Persen agak kental pada T3 di hari 0 sebesar 25% menjadi 37% pada
313hari 30. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian treatment suplemen pakan dan antiseptik puting
314temulawak tidak memberikan dampak negatif terhadap tekstur susu.
315 Rataan tekstur sampel susu sapi sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan
316menunjukkan susu bertekstur encer. Menurut SNI (2011) susu normal memiliki konsistensi yang
317normal yaitu tidak terlalu kental dan encer. Hal tersebut menunjukkan bahwa susu sebelum dan setelah
318diberi perlakuan dalam keadaan normal dan sesuai standar. Penurunan persentase hasil penilaian
319dipengaruhi oleh kenaikan BJ susu, semakin besar BJ susu akan semakin kental tekstur susu karena BJ
320susu dipengaruhi oleh bahan padat bukan lemak (Utami et al., 2014). Pada penelitian ini BJ pada H30
321meskipun mengalami kenaikan tapi masih berada dibawah standar SNI.
322Kesukaan susu
323 Tingkat kesukaan susu akibat perlakuan pemberian suplemen temulawak 1% kebutuhan BK dan
324antiseptik temulawak ditampilkan pada Gambar 6. dan Tabel 8.

80%

60%
% Responden

40%

20%

0%
t0h0 t1h0 t2h0 t3h0 t0h30 t1h30 t2h30 t3h30
Tidak Suka Suka Sangat Suka
325
326 Gambar 6. Tingkat Kesukaan Susu Sebelum Treatment (H0) dan Setelah Treatment pada hari ke-30 (H30).

327Tabel 8. Pengaruh penggunaan temulawak sebagai suplemen pakan dan antiseptik dipping puting selama 30 hari
328 terhadap kesukaan susu
Perlakuan H0 H30 P-value
T0 1,82 1,80 0,819
T1 2,17 1,97 0,676
T2 2,07 1,82 0,072
T3 1,52a 1,20b 0,005
329abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
330T0 : kontrol
331T1 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK)
332T2 : teat dipping temulawak (5% b/v)
333T3 : suplemen temulawak (1% kebutuhan BK) + teat dipping temulawak (5% b/v)
334H0 : sebelum perlakuan ; H30 : setelah perlakuan selama 30 hari
335
336 Berdasarkan Gambar 6, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kesukaan pada T1 dan
337T2, dimana dominan panelis masih menyukai susu tersebut yaitu T1sebesar 58% dan T2 sebesar 63%.
338Pada hari ke 30 tingkat kesukaan panelis pada T0 70%, T1 58% dan T2 63%. Pada kelompok T3 di
339hari ke 0 sebelum penelitian, sebanyak 57% panelis tidak menyukai rasa susu tersebut. Setelah
340perlakuan selama 30 hari, persen panelis yang tidak menyukai susu naik menjadi 82%.
341 Hasil uji wilcoxon (Tabel 8) antara H0 dan H30 menujukan bahwa ada perbedaan tingkat
342kesukaan (P>0,05) pada perlakuan T3. Penurunan tingkat kesukaan pada T3 diduga disebabkan karena
343rasa asin yang ditimbulkan pada susu. Rasa asin pada susu sering muncul pada akhir masa laktasi dan
344juga merupakan salah satu ciri dari sapi yang terkena mastitis (Robert, 1993).
345 Rataan tingkat kesukaan panelis terhadap sampel susu sapi sebelum diberi perlakuan dan setelah
346diberi perlakuan menunjukkan suka. Uji kesukaan merupakan penilaian terhadap suatu produk untuk
347mengetahui tingkat kesukaan melalui skala hedonik (Tarwendah, 2017). Tingkat kesukaan panelis
348terhadap produk merupakan interpretasi dari karakteristik yang telah diamati yaitu warna, aroma, rasa
349dan kehalusan atau tekstur. Menurut Sistanto et al. (2014) penilaian suatu produk secara keseluruhan
350sangat penting karena tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk tidak hanya dipengaruhi oleh
351satu faktor.
352 KESIMPULAN
353 Pemberian treatment suplemen pakan dan antiseptik temulawak dapat meningkatkan BJ susu
354dan pemberian treatment tunggal baik suplemen pakan maupun antiseptik dipping mampu
355memperbaiki organoleptik susu.

356 DAFTAR PUSTAKA


357Agustina, D., P. Sambodho dan D. W. Harjanti. 2019. Jumlah Sel Somatik Dan Kadar Laktosa Susu
358 Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis Yang Mendapat Treatment Suplemen Dan Teat
359 Dipping Temulawak. Skripsi Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.
360Anindita, N. S. dan D. S. Soyi. 2017. Studi kasus: pengawasan kualitas pangan hewani melalui
361 pengujian kualitas susu sapi yang beredar di Kota Yogyakarta. J. Peternakan Indonesia. 19 (2):
362 96 – 105.
363Ariyanti, D. W., Soetriono, E. S. Hani. 2015. Strategi Pemasaran Susu Sapi Perah Rakyat di Desa
364 Kemuning Lor. Skripsi Sarjana, Universitas Jember, Jember, Indonesia.
365(BSN) Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 01–3141–2011. Susu Segar. Jakarta (ID): Badan
366 Standardisasi Nasional.
367Diastari, I. G. A. F. dan K. K. Agustina. 2013. Uji organoleptik dan tingkat keasaman susu sapi
368 kemasan yang dijual di pasar tradisional Kota Denpasar. J. Indonesia Medicus Veterinus. 2 (4):
369 453 – 460.
370Kurnia, A. I., M. T. Furqon dan B. Rahayudi. 2018. Klasifikasi kualitas susu sapi menggunakan
371 Algoritme Support Vector Machine (SVM) (Studi kasus: perbandingan fungsi kernel linier dan
372 RBF Gaussian). J. Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 2 (11): 4453 –
373 4461.
374Mahpudin, F. Wahyono dan dan D. W. Harjanti. 2017. Efektivitas ekstrak daun babadotan sebagai
375 green antiseptik untuk pencelup puting sapi perah. J. Agripet 17 (1) 15 -23.
376Maitimu, C. V., A.M. Legowo dan A.N. AlBaarri. 2013. Karakteristik mikrobiologis, kimia, fisik dan
377 organoleptik susu pasteurisasi dengan penambahan ekstrak daun Aileru (Wrightiacalycina)
378 selama penyimpanan. J. Aplikasi Teknologi Pangan. 2(1): 18-29.
379Nurdin, E. 2007. Pengaruh pemberian tongkol bunga matahari dan prebiotik terhadap penurunan
380 derajat mastitis pada sapi perah FH penderita mastitis subklinis. J. Pengembangan Peternakan
381 Tropis. 32 (2): 76-79.
382Pratiwi, M. S., D. W. Harjanti dan P. Sambodho. 2018. Jumlah sel somatik pada sapi perah penderita
383 mastitis subklinis akibat suplementasi kombinasi herbal dan mineral proteinat. Dalam
384 prosiding: Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu 2, Purworejo.pp:25-36
385Riyanto, J., Sunarto, B. S. Hernanto, M. Cahyadi, R. Hidayah dan W. Sejati. 2016. Produksi dan
386 kualitas susu sapi perah penderita mastitis yang mendapat pengobatan antibiotic. J. Sains
387 Peternakan. 14 (2): 30 – 41.
388Roberts, H. A. (1993) "Raw milk quality – milk flavor," Kansas Agricultural Experiment Station
389 Research Reports. 0 (2) : 57 – 60.
390Solehah, D. A., D. W. Harjanti dan R. Hartanto. 2020. Tingkat peradangan kelenjar ambing dan pH
391 susu sapi perah mastitis subklinis yang mendapat treatment teat dipping dan suplemen pakan
392 tepung Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Skripsi Sarjana, Universitas Diponegoro,
393 Semarang, Indonesia.
394Sistanto, E. Soetrisno dan R. Saepudin. 2014. Sifat fisikokimia dan organoleptik permen susu
395 (caramel) rasa jahe (Zingiberofficinale Roscoe) dan temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb).
396 J. Sain Peternakan Indonesia. 9 (2): 81 – 90.
397Susanty, H. dan E. Nurdin. 2012. Efek pemberian temu putih (Curcumazedoaria) terhadap kualitas
398 susu sapi perah penderita mastitis subklinis. J. Peternakan Indonesia. 14 (2): 368 – 372.
399Tarwendah, I. P. 2017. Jurnal review: studi komparasi atribut sensoris dan kesadaran merek produk
400 pangan. J. Pangan dan Agroindutri. 5 (2): 66 – 73.
401Usmiati, S. dan Abubakar. 2009. Teknologi Pengolahan Susu. Balai Besar Penelitian dan
402 Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
403Utami, K. B., L. E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah PFH (studi
404 kasus pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang). J. Ilmu
405 Peternakan. 24 (2): 58 – 66.
406Yamin, A. A., A. Sudarman dan D. Evvyernie. 2013. In vitro rumen fermentation and anti mastitis
407 bacterial activity of diet containing betel leaf meal (Piper betle L.). J. Media Peternakan. 36(2):
408 137 – 142.

Anda mungkin juga menyukai