Anda di halaman 1dari 104

UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU


PENCEGAHAN PENYAKIT LEPTOSPIROSIS (Studi Kasus di Kelurahan
Tandang Kecamatan Tembalang Kota Semarang)

Ayu Nur Illahi , Arulita Ika Fibriana

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Leptospirosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang berbahaya yang disebabkan oleh bakteri
Diterima September 2015 leptospira. Pelaksanaan pencegahan penyakit leptospirosis masih mengalami hambatan. Penelitian
Disetujui September 2015 ini adalah explanatory research dengan rancangan cross sectional. Sampel berjumlah 80 dengan
Dipublikasikan Oktober responden ibu rumah tangga. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Berdasarkan
2015 hasil penelitian didapatkan bahwa variabel yang berhubungan dengan perilaku pencegahan
________________ penyakit leptospirosis adalah pengetahuan (p value=0,023), umur (p value=0,005), pendidikan (p
Keywords: value=0,000), pendapatan keluarga (p value=0,014), sumber informasi (p value=0,001), dan
Leptospirosis; Prevention dukungan keluarga (p value=0,017). Variabel yang tidak berhubungan dengan perilaku pencegahan
behavior; Leptospirosis penyakit leptospirosis adalah sikap, pekerjaan, akses pelayanan kesehatan, dan pengalaman.
disease Abstract
____________________ ___________________________________________________________________
Leptospirosis is an emerging infectious diseases caused by Leptospira bacteria. Implementation for prevention
behavior of Leptospirosis diseases is barrier. This research was an explanatory research with cross sectional
design. Samples numbered 80 and the respondents were housewife. Data analysis was performed by univariate
and bivariate. Based on the results of this study found that variables related with prevention behavior
Leptospirosis diseases were knowledge (p value= 0.023), age (p value= 0.005), education (p value= 0.000),
family income (p value= 0.014), information resources (p value= 0.001), and family support (p value= 0.017).
Variables that were not related with prevention behavior Leptospirosis diseases were attitude, occupation,
health service access, and experience.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: ayunurillahiii@gmail.com

126
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan salah satu dibandingkan dengan negara subtropik


penyakit infeksi akut yang berbahaya yang yang memiliki risiko penyakit lebih berat.
disebabkan oleh bakteri patogen yaitu Indonesia termasuk dalam negara yang
leptospira. Leptospira dapat menyerang beriklim tropik dan merupakan salah satu
semua jenis mamalia seperti tikus, anjing, negara berkembang dengan jumlah
kucing, landak, dan sapi. Dapat ditularkan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.
dari hewan kepada manusia atau disebut Di Indonesia leptospirosis
dengan zoonosis. L. interrogans adalah spesies ditemukan antara lain di Propinsi Jawa
yang dapat menginfeksi manusia dan Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung,
hewan. Penyakit ini terjadi di seluruh Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
dunia, baik di negara berkembang maupun Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali,
di negara maju, di daerah pedesaan NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
maupun di perkotaan (Widoyono, 2008). Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Leptospirosis merupakan penyakit Risiko penularan leptospirosis umumnya
yang dapat menyerang manusia maupun menyerang para pekerja yang berhubungan
hewan yang paling tersebar luas di dunia. dengan hewan liar dan hewan peliharaan
Sebagian besar negara-negara yang terletak seperti peternak, petani, petugas
di Asia Tenggara merupakan negara laboratorium hewan, pekerja perkebunan,
endemik leptospirosis (Tilahun et al, 2013). dan bahkan tentara. Di samping itu tidak
Kasus leptospirosis banyak dijumpai sedikit pula para penggemar olahraga
sesudah banjir atau pada musim penghujan. renang yang terinfeksi leptospirosis
Musim penghujan juga menyebabkan (Widoyono, 2008).
adanya perubahan yang terjadi pada International Leptospirosis Society
lingkungan seperti banyaknya genangan air, menyatakan bahwa Indonesia sebagai
lingkungan yang menjadi becek, berlumpur, Negara dengan angka kejadian
serta banyak timbunan sampah, yang Leptospirosis yang cukup tinggi dan
menyebabkan mudahnya bakteri leptospira merupakan peringkat mortalitas ketiga di
untuk berkembang biak dan dunia (Djunaedi, 2007). Case Fatality Rate
mengkontaminasi lingkungan disekitarnya. (CFR) atau angka kematian leptospirosis di
World Health Organization (WHO) Indonesia mencapai 2,5-16,45% (Anies et al,
memperkirakan tingkat insiden leptospirosis 2009). Dari tahun 2005 sampai tahun 2011
tahunan di daerah endemik yaitu dari 1 per jumlah kasus leptospirosis di Indonesia
100.000 penduduk, meningkat menjadi 100 terus mengalami peningkatan (Kementerian
per 100.000 penduduk selama wabah di Kesehatan RI, 2012).
daerah iklim tropis, dibandingkan dengan Pada tahun 2012 wilayah kota
daerah beriklim subtropis dari 0,1-1 per Semarang yang memiliki jumlah kasus
100.000 penduduk. Insiden tertinggi di tertinggi adalah Kecamatan Tembalang
dunia terdapat di Karibia dengan tingkat yaitu sebanyak 14 kasus dan 1 orang
kematian kasus setinggi 23,6% (Keenan et meninggal (CFR = 7,1%). Kecamatan
al, 2010) . Tembalang merupakan wilayah kota
Leptospirosis terjadi lebih banyak Semarang yang mengalami peningkatan
1000 kali pada negara yang beriklim tropik jumlah kasus leptospirosis khususnya

127
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. leptospirosis yang masih kurang, 75%


Pada tahun 2011 di wilayah kerja memiliki sikap kurang mendukung
Puskesmas Kedungmundu terdapat 7 kasus terhadap pencegahan leptospirosis, 56%
leptospirosis dan 3 orang meninggal (CFR memiliki pendapatan sedang, 46% memiliki
= 42,86%) dan pada tahun 2012 jumlah hewan piaraan, dan 48% memiliki perilaku
kasus di wilayah kerja Puskesmas pencegahan leptospirosis yang buruk yaitu
Kedungmundu mengalami peningkatan perilaku menyimpan makanan, perilaku
sebanyak 14 kasus dan 1 orang meninggal mengobati dan menutup luka, dan perilaku
(CFR = 7,1%). Kasus Leptospirosis memakai alas kaki.
tertinggi di Kecamatan Tembalang terdapat
di Kelurahan Tandang yaitu sebanyak 6 METODE
kasus dan tidak ada yang meninggal dengan
jumlah IR 30,23 per 100.000 penduduk Jenis penelitian ini adalah penelitian
(Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011). explanatory research dengan metode
Dengan meningkatnya kasus observasional serta rancangan penelitian
leptospirosis dari tahun ke tahun maka Cross sectional. Jenis metode yang digunakan
diperlukan suatu cara untuk menurunkan adalah metode survei. Pengambilan sampel
kejadian leptospirosis. Cara untuk dalam penelitian ini dilakukan dengan
menurunkan angka kesakitan penyakit ini menggunakan cluster sampling (area
yaitu dengan melakukan upaya-upaya sampling). Populasi dalam penelitian ini
pencegahan (Budisaputro, 2002). Kegiatan adalah seluruh kepala keluarga yang berada
pencegahan tersebut dianggap murah, di Kelurahan Tandang Kecamatan
aman, mudah serta memiliki keberhasilan Tembalang Kota Semarang yaitu sebanyak
yang tinggi apabila dilakukan secara rutin 6.072 kepala keluarga. Jumlah sampel
dan serentak. Namun, dalam pelaksanaan dalam penelitian ini adalah 80 kepala
pencegahan penyakit leptospirosis masih keluarga dengan responden ibu rumah
mengalami hambatan karena ada beberapa tangga.
faktor yang mempengaruhi masyarakat Pengumpulan data dilakukan dengan
dalam melakukan pencegahan penyakit cara dengan menyebarkan angket/
leptospirosis tersebut. kuesioner, check list observasi lingkungan,
Dari hasil studi pendahuluan di dan dokumentasi. Teknik analisis data yang
Kelurahan Tandang yang telah dilakukan digunakan adalah analisis univariat dan
pada bulan Oktober 2013 dengan jumlah analisis bivariat.
responden 50 orang yaitu RT 9/14
sebanyak 7 orang, RT 11/13 8 orang, RT HASIL DAN PEMBAHASAN
9/12 7 orang, RT 4/9 7 orang, RT 10/13 7
orang, RT 9/2 7 orang, dan RT 1/9 7 Hasil penelitian mengenai perilaku
orang. Diketahui bahwa sebesar 57% pencegahan penyakit leptospirosis dapat
responden memiliki pengetahuan tentang dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Penelitian


Perilaku Pencegahan
No. Variabel Kategori Total p-value
Penyakit Leptospirosis

128
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Buruk Baik
n % n % n %
1. Pengetahuan Kurang 29 70,7 12 29,3 41 100
Cukup + baik 17 43,6 22 56,4 39 100 0,023
Total 46 57,5 34 42,5 80 100
2. Umur Dewasa 26 44,8 32 55,2 58 100
Lansia 18 81,8 4 18,2 22 100 0,005
Total 44 55 36 45 80 100
3. Pendidikan Rendah 37 83,3 7 16,7 42 100
Tinggi 16 42,1 22 57,9 38 100 0,000
Total 51 63,8 29 36,3 80 100
4. Sikap Tidak Mendukung 5 83,3 1 16,7 6 100
Mendukung 52 70,3 22 29,7 74 100 0,667
Total 57 71,3 23 28,8 80 100
5. Pekerjaan Tidak Bekerja 32 53,3 28 46,7 60 100
Bekerja 11 55 9 45 20 100 1,000
Total 43 53,8 37 46,3 80 100
6. Pendapatan Rendah 39 76,5 12 23,5 51 100
Keluarga Tinggi 14 48,3 15 51,7 29 100 0,014
Total 53 66,3 27 33,8 80 100
7. Sumber Tidak Ada 33 84,6 6 15,4 39 100
Informasi Ada 20 48,8 21 51,2 41 100 0,001
Total 53 66,3 27 33,8 80 100
8. Akses Kurang 18 69,2 8 30,8 26 100
Pelayanan Baik 39 72,2 15 27,8 54 100 0,797
Kesehatan Total 57 71,3 23 28,8 80 100
9. Pengalaman Tidak Ada 51 72,9 19 27,1 70 100
Ada 6 60 4 40 10 100 0,462
Total 57 71,3 23 28,8 80 100
10. Dukungan Rendah 36 72 14 28 50 100
Keluarga Tinggi 13 43,3 17 56,7 30 100 0,017
Total 49 61,3 31 38,8 80 100

Pengetahuan responden memiliki perilaku pencegahan


Berdasarkan hasil uji statistik Chi penyakit leptospirosis yang baik.
square diperoleh nilai p=0,023 (p<0,05), Menurut penelitian yang dilakukan
yang berarti bahwa ada hubungan antara oleh Supraptono dkk (2011) bahwa
pengetahuan dengan perilaku pencegahan pengetahuan memiliki hubungan yang
penyakit leptospirosis. Dari 41 responden signifikan dengan kejadian leptospirosis
yang memiliki pengetahuan kurang tentang (p=0,00). Hal ini menunjukkan dimana
penyakit leptospirosis, 29,3% memiliki pengetahuan memiliki peran penting untuk
perilaku pencegahan penyakit leptospirosis seseorang mengetahui penyakit dan cara
yang baik, sedangkan 39 responden pencegahannya. Apabila pengetahuan
memiliki pengetahuan cukup dan baik tentang penyakit leptospirosis kurang maka
tentang penyakit leptospirosis, 56,4%

129
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

berpengaruh pada perilaku pencegahan leptospirosis. Dari 58 responden yang


penyakit leptospirosis. berumur dewasa (26-45 tahun), 55,2%
Berdasarkan penelitian di lapangan, memiliki perilaku pencegahan penyakit
sebanyak 65% tidak mengetahui pengertian leptospirosis yang baik, sedangkan 22
dari penyakit leptospirosis, 46,2% tidak responden yang berumur lansia (46-55
mengetahui penyebab penyakit tahun), 18,2% responden memiliki perilaku
leptospirosis, 55,6% tidak mengetahui tanda pencegahan penyakit leptospirosis yang
dan gejala penyakit leptospirosis, 54,7% baik.
tidak mengetahui penularan penyakit Berdasarkan penelitian di lapangan,
leptospirosis, dan 94,4% tidak mengetahui sebagian besar responden memiliki kategori
pencegahan penyakit leptospirosis. umur dewasa yaitu dari 26-45 tahun.
Responden yang memiliki pengetahuan Dimana umur dapat mempengaruhi
tentang leptospirosis cukup+baik (40%) pengetahuan seseorang khususnya
memiliki perilaku pencegahan penyakit pengetahuan tentang leptospirosis dan
leptospirosis baik dibandingkan dengan pencegahannya. Responden yang memiliki
responden yang memiliki pengetahuan umur sekitar 26-45 tahun lebih banyak
tentang leptospirosis kurang. Hal ini mengetahui tentang penyakit leptospirosis
dikarenakan responden yang memiliki dibandingkan dengan responden yang
pengetahuan tentang leptospirosis lebih memiliki kategori umur lansia yaitu dari 46-
memahami bagaimana cara mencegah 55 tahun.
penyakit leptospirosis.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Pendidikan
Nurjanah (2013) yang menyatakan bahwa Berdasarkan hasil uji statistik Chi
tidak ada hubungan antara pengetahuan square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05),
dengan perilaku pencegahan leptospirosis. yang berarti bahwa ada hubungan antara
Teori Notoatmodjo (2012) juga pendidikan dengan perilaku pencegahan
mengatakan bahwa pengetahuan atau penyakit leptospirosis. Dari 42 responden
kognitif berperan penting dalam yang memiliki pendidikan rendah, 16,7%
membentuk perilaku atau tindakan memiliki perilaku pencegahan penyakit
seseorang. Pengetahuan responden dapat leptospirosis yang baik, sedangkan 38
diperoleh baik secara internal yaitu responden yang memiliki pendidikan tinggi,
pengetahuan yang berasal dari dirinya 57,9% responden memiliki perilaku
sendiri berdasarkan pengalaman hidup pencegahan penyakit leptospirosis yang
sehari-hari dan eksternal berdasarkan dari baik.
orang lain. Perilaku yang didasarkan oleh Berdasarkan penelitian di lapangan,
pengetahuan akan lebih langgeng daripada tingkat pendidikan responden sebagian
perilaku yang tidak didasari oleh besar adalah memiliki pendidikan rendah
pengetahuan. yaitu tidak sekolah, SD dan SMP. Tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi tingkat
Umur pengetahuan yang dimiliki responden,
Berdasarkan hasil uji statistik Chi khususnya pengetahuan tentang penyakit
square diperoleh nilai p=0,005 (p<0,05), leptospirosis serta cara pencegahannya.
yang berarti bahwa ada hubungan antara Pendidikan merupakan hal yang penting
umur dengan perilaku pencegahan penyakit yang dapat mempengaruhi pola pikir

130
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

seseorang termasuk tindakan seseorang mendukung tidak menjamin seseorang


dalam mengambil keputusan untuk untuk berperilaku lebih baik. Menurut
melakukan pencegahan penyakit Notoatmodjo (2012) mengungkapkan
leptospirosis. Semakin tinggi pendidikan bahwa perilaku tidak sama dengan sikap,
seseorang, maka mereka cenderung untuk sikap hanyalah sebagian dari perilaku.
melakukan pencegahan penyakit Suatu sikap belum tentu terwujud dalam
leptospirosis. suatu tindakan, diperlukan faktor
Menurut Notoatmodjo (2012) pendukung antara lain dukungan dari
kelompok masyarakat yang berpendidikan anggota keluarga untuk melakukan
tinggi cenderung lebih mengetahui cara- pencegahan penyakit leptospirosis.
cara mencegah suatu penyakit. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang maka Pekerjaan
semakin mudah seseorang menerima Berdasarkan hasil uji statistik Chi
informasi sehingga makin banyak pula square diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05),
pengetahuan yang dimiliki. yang berarti bahwa tidak ada hubungan
antara pekerjaan dengan perilaku
Sikap pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 60
Berdasarkan hasil uji statistik Chi responden yang tidak bekerja yang memiliki
square diperoleh nilai p=0,667 (p>0,05), perilaku pencegahan penyakit leptospirosis
yang berarti bahwa tidak ada hubungan baik sebesar 46,7% dan dari 20 responden
antara sikap dengan perilaku pencegahan yang bekerja 45% memiliki perilaku
penyakit leptospirosis. pencegahan penyakit leptospirosis baik.
Hasil penelitian di lapangan, Responden terbanyak adalah yang tidak
ditemukan bahwa tidak ada perbedaan bekerja yaitu sebagai ibu rumah tangga
perilaku pencegahan penyakit leptospirosis (IRT) sebanyak 60 responden (75%), yang
antara responden yang bersikap tidak bekerja sebagai pedagang sebanyak 13
mendukung dengan responden yang responden (16,3%), pembantu rumah
bersikap mendukung pencegahan penyakit tangga (PRT) sebanyak 4 responden (5%),
leptospirosis. Responden dalam penelitian pegawai negeri sipil (PNS/Guru SD)
ini sebagian besar memiliki sikap yang sebanyak 1 responden (1,3%) dan pegawai
mendukung terhadap pencegahan penyakit swasta sebanyak 2 responden (2,5%).
leptospirosis yaitu sebesar 92,5%. Sebagian Hasil penelitian ini tidak sesuai
besar responden menyatakan sikap dengan penelitian Priyanto dkk (2009) yang
mendukung terhadap pencegahan penyakit mengemukakan bahwa ada hubungan
leptospirosis, namun dari hasil pengamatan pekerjaan dengan kejadian leptospirosis
atau observasi lingkungan, perilaku dimana untuk mencegah penyakit
responden tidak sesuai dengan sikap yang leptospirosis dapat dilakukan dengan cara
mendukung pencegahan penyakit menghindari faktor risiko penularannya.
leptospirosis. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan
Perilaku pencegahan penyakit bahwa yang melakukan perilaku
leptospirosis tidak hanya dipengaruhi oleh pencegahan penyakit leptospirosis dengan
faktor sikap. Setiap individu memiliki cara baik lebih banyak adalah responden yang
berfikir, emosi, kecerdasan, motivasi dan tidak bekerja dibandingkan dengan
persepsi yang berbeda. Sikap yang responden yang bekerja. Responden yang

131
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

tidak bekerja merupakan ibu rumah tangga transportasi ke tempat pelayanan kesehatan
yang sebagian besar waktunya berada di dan biaya berobat.
rumah. Dimana tugas atau pekerjaan ibu
rumah tangga yaitu melakukan aktivitas Sumber Informasi
rumah tangga seperti membersihkan Berdasarkan hasil uji statistik Chi
lingkungan rumah. square diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05),
yang berarti bahwa ada hubungan antara
Pendapatan Keluarga sumber informasi dengan perilaku
Berdasarkan hasil uji statistik Chi pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 39
square diperoleh nilai p=0,014 (p<0,05), responden yang tidak ada sumber informasi
yang berarti bahwa ada hubungan antara tentang penyakit leptospirosis, 15,4%
pendapatan keluarga dengan perilaku memiliki perilaku pencegahan penyakit
pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 51 leptospirosis yang baik, sedangkan 41
responden yang memiliki pendapatan responden yang ada sumber informasi
keluarga yang rendah (<umk Kota tentang penyakit leptospirosis, 51,2%
Semarang), 23,5% memiliki perilaku responden memiliki perilaku pencegahan
pencegahan penyakit leptospirosis yang penyakit leptospirosis yang baik.
baik, sedangkan 29 responden yang Berdasarkan hasil penelitian di
memiliki pendapatan keluarga yang tinggi lapangan, responden mengetahui informasi
(>umk Kota Semarang), 51,7% responden tentang penyakit leptospirosis yaitu dari
memiliki perilaku pencegahan penyakit petugas kesehatan yang memberikan
leptospirosis yang baik. penyuluhan tentang leptospirosis atau lebih
Tingkat pendapatan keluarga menjadi dikenal dimasyarakat sebagai penyakit
pertimbangan responden akan kencing tikus. Sebanyak 11,5%
memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan mendapatkan informasi mengenai penyakit
yang dikehendaki. Responden yang leptospirosis melalui petugas kesehatan,
memilki pendapatan keluarga yang rendah 10% melalui penyuluhan, melalui arisan
atau dibawah UMK Kota Semarang yaitu < atau perkumpulan PKK sebanyak 12,3%,
Rp. 1.423.500,00 apabila mereka dan melalui tetangga sebanyak 16,3%.
mengalami gejala sakit mereka akan Responden yang mendapatkan
mempertimbangkan nilai ekonomis informasi tentang leptospirosis dari tetangga
terhadap transportasi dan biaya obat. mereka akan lebih berhati-hati karena
Berdasarkan penelitian di lapangan, mereka sudah pernah melihat langsung dan
beberapa responden mengungkapkan mengetahui tentang penyakit leptospirosis.
apabila mengalami sakit hanya Dengan mengetahui penyakit leptospirosis
membiarkannya dan hanya membeli obat- maka perilaku pencegahan penyakit
obatan yang dijual di warung. Mereka leptospirosis pun seharusnya akan semakin
hanya akan memeriksakan diri ke baik karena telah mengetahui akibat dari
pelayanan kesehatan apabila obat warung penyakit leptospirosis apabila tidak dicegah
tidak memberikan efek. Responden dan tidak mendapat penanganan yang
beranggapan untuk menghemat biaya tepat.
pengobatan yaitu dengan membeli obat Hal ini sesuai dengan penelitian yang
warung, hal tersebut dilakukan agar tidak dilakukan Quina et al (2014) yang
mengeluarkan banyak uang untuk menyatakan bahwa pencegahan

132
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

leptospirosis akan berjalan dengan baik bertanya atau berkonsultasi ke pelayanan


apabila informasi tentang penyakit dan kesehatan terdekat tentang penyakit
pencegahan leptospirosis disampaikan oleh leptospirosis, pencegahannya serta
anggota keluarga dan teman dekat. Selain pengobatan apabila terkena penyakit
itu, penyampaian informasi melalui media leptospirosis. Akses pelayanan kesehatan
massa juga dapat menjadi tambahan yang baik dapat didukung oleh jarak yang
pengetahuan tentang leptospirosis serta dekat yaitu kurang lebih 3 km, waktu yang
pencegahannya. ditempuh menuju pelayanan kesehatan
tidak lebih dari 15 menit dan tidak ada
Akses Pelayanan Kesehatan kesulitan dalam transportasi serta
Berdasarkan hasil uji statistik Chi mendapatkan pelayanan yang baik.
square diperoleh nilai p=0,797(p>0,05),
yang berarti bahwa tidak ada hubungan Pengalaman
antara akses pelayanan kesehatan dengan Berdasarkan hasil uji statistik Chi
perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. square diperoleh nilai p=0,462 (p>0,05),
Dari 26 responden dengan akses pelayanan yang berarti bahwa tidak ada hubungan
kesehatan kurang yang memiliki perilaku antara pengalaman dengan perilaku
pencegahan penyakit leptospirosis baik pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 70
sebesar 30,8% dan dari 54 responden responden yang tidak memiliki atau tidak
dengan akses pelayanan kesehatan yang ada pengalaman tentang penyakit
baik 27,8% memiliki perilaku pencegahan leptospirosis, 27,1% memiliki perilaku
penyakit leptospirosis baik. pencegahan penyakit leptospirosis yang
Berdasarkan penelitian di lapangan baik, sedangkan 10 responden yang
66,3% mengatakan bahwa Puskesmas memiliki atau ada pengalaman tentang
merupakan pelayanan kesehatan yang penyakit leptospirosis, 40% memiliki
terdapat di daerah tempat tinggal mereka. perilaku pencegahan penyakit leptospirosis
Di daerah dekat tempat tinggal semua yang baik.
responden tidak terdapat rumah sakit, Berdasarkan hasil penelitian di
71,3% pelayanan kesehatan yang terdapat lapangan, responden yang tidak ada atau
di daerah tempat tinggal responden adalah tidak memiliki pengalaman tentang
puskesmas, 7,5% mengatakan klinik swasta penyakit leptospirosis kurang peduli dengan
adalah pelayanan kesehatan yang ditempuh penyakit leptospirosis. Semua responden
dengan jarak yang cukup dekat dan tidak tidak pernah menderita penyakit
memerlukan waktu lama, dan dapat leptospirosis, 17,5% responden memiliki
ditempuh dengan berjalan kaki, 12,5% anggota keluarga yang pernah menderita
mengatakan kesulitan menuju ke tempat penyakit leptospirosis, dan 30% responden
pelayanan kesehatan, dan 10% mengatakan memiliki tetangga yang pernah menderita
pelayanan petugas kesehatan yang kurang penyakit leptospirosis.
baik. Menurut mereka penyakit
Hubungan antara akses pelayanan leptospirosis bukan penyakit yang
kesehatan dengan perilaku pencegahan berbahaya namun perlu untuk dicegah
penyakit leptospirosis yaitu apabila penyebarannya. Sedangkan pada responden
responden tidak mengetahui tentang yang memiliki atau pernah ada pengalaman
penyakit leptospirosis, responden dapat tentang leptospirosis baik anggota keluarga

133
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

maupun berdasarkan pengalaman tetangga keluarga dalam meningkatkan status


yang pernah menderita penyakit psikososial, dukungan informasi
leptospirosis, sehingga sebagian besar merupakan informasi mengenai penyakit
responden memiliki anggapan bahwa yang diderita oleh salah satu keluarga untuk
penyakit leptospirosis berbahaya dan dapat meningkatkan pengetahuan dalam
menyebabkan kematian apabila tidak melakukan pencegahan penyakit
ditangani secara tepat. leptospirosis dan dukungan instrumental
merupakan dukungan yang diberikan oleh
Dukungan Keluarga keluarga meliputi penyediaan fasilitas
Berdasarkan hasil uji statistik Chi seperti tenaga, dana dan waktu luang untuk
square diperoleh nilai p=0,017 (p<0,05), memberikan pengaruh yang berarti dalam
yang berarti bahwa ada hubungan antara pembentukkan perilaku pencegahan
dukungan keluarga dengan perilaku penyakit leptospirosis.
pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 50
responden yang memiliki dukungan SIMPULAN
keluarga rendah, 28% memiliki perilaku
pencegahan penyakit leptospirosis yang Berdasarkan penelitian tentang faktor-
baik, sedangkan 30 responden yang faktor yang berhubungan dengan perilaku
memiliki dukungan keluarga tinggi, 56,7% pencegahan penyakit leptospirosis (studi
responden memiliki perilaku pencegahan kasus di Kelurahan Tandang Kecamatan
penyakit leptospirosis yang baik. Tembalan Kota Semarang), dapat diambil
Berdasarkan hasil penelitian di kesimpulan bahwa ada hubungan antara
lapangan, ditemukan bahwa responden pengetahuan (p value=0,023), umur (p
yang memiliki dukungan keluarga tinggi value=0,005), pendidikan (p value=0,000),
cenderung lebih baik dalam melakukan pendapatan keluarga (p value=0,014),
pencegahan penyakit leptospirosis sumber informasi (p value=0,001), dan
dibandingkan dengan responden yang dukungan keluarga (p value=0,017) dengan
memiliki dukungan keluarga rendah. Hal perilaku pencegahan penyakit leptospirosis.
tersebut dikarenakan adanya dukungan Tidak ada hubungan antara sikap (p
keluarga akan mempengaruhi perilaku value=0,667), pekerjaan (p value=1,000),
pencegahan penyakit leptospirosis pada akses pelayanan kesehatan (p value=0,797),
responden. dan pengalaman (p value=0,462).
Menurut Green dalam Notoatmodjo
(2012) menjelaskan bahwa perilaku UCAPAN TERIMA KASIH
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
salah satunya yaitu faktor penguat yang Ucapan terima kasih kami
mendorong atau yang memperkuat tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu
terjadinya perilaku dan memperkuat Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu
perilaku yang terkait dengan kepatuhan. Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing
Dukungan keluarga terdiri dari 4 I, Dosen Pembimbing II, Kelurahan
aspek yaitu dukungan emosional keluarga Tandang Kecamatan Tembalang Kota
yang dapat mempengaruhi perasaan dan Semarang, Keluarga, serta teman-teman
motivasi seseorang, dukungan penghargaan yang telah memberi bantuan dan motivasi
keluarga merupakan bentuk fungsi afektif dalam penyelesaian penelitian ini.

134
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Nurjanah, S, 2013, Hubungan Antara Pengetahuan


DAFTAR PUSTAKA Masyarakat Tentang Pencegahan Leptospirosis
Dan Perilaku Petugas Kesehatan Puskesmas
Kedungmundu Dengan Praktik Pencegahan
Anies, Suharyo H, M. Sakundarno, dan Suhartono,
Leptospirosis Di Kelurahan Tandang Kota
2009, Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian
Semarang Tahun 2013, Semarang: Universitas
Leptospirosis, Volume 43, Nomor 6, halaman
Dian Nuswantoro Semarang.
306-311.
Priyanto, A, S. Hadisaputro, L.Santoso, H. Gasem,
Budisaputro, B, 2002, Pengantar Pendidikan
dan Sakundarno Adi, 2009, Faktor-Faktor
(Penyuluhan) Kesehatan Masyarakat, Semarang:
Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Universitas Diponegoro.
Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak),
Semarang: Universitas Diponegoro.
Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011, Profil
Kesehatan Kota Semarang, Semarang: Dinkes
Quina, Charmaine R, Joseph U, Almazan, dan JB.
Kota Semarang.
Tagarino, 2014, Knowledge, Attitudes, and
Practices of Leptospirosis in Catbalogan City,
Djunaedi, D, 2007, Kapita Selekta Penyakit Infeksi,
Samar, Philippines, American Journal of Public
Malang: UMM Press.
Health Research, Vol.2, No.3, 2014, 91-98.

Keenan J, G. Ervin, M. Aung, G. McGwin Jr, dan P.


Supraptono, B, B. Sumiarto, dan Dibyo
Jolly, 2010, Risk Factors for Clinical Leptospirosis
Pramono,2011, Interaksi 13 Faktor Risiko
from Western Jamaica, Am, J, Trop, Med,
Leptospirosis, Berita Kedokteran Masyarakat,
Hyg,83(3), 2010, pp, 633–636.
Volume 27, No 2, Juni 2011, hlm 55-65.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012,


Tilahun, Z, Reta dan K. Simenew, 2013, Global
Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2012,
Epidemiological Overview of Leptospirosis,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
International Journal of Microbiological
Research 4 (1): 09-15.
Notoatmodjo, S, 2012, Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan
Seni, Jakarta: Rineka Cipta.
Widoyono, 2008, Penyakit Tropis: Epidemiologi,
Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya,
Jakarta: Erlangga.

135
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

EVALUASI INPUT SISTEM SURVEILANS PENEMUAN PENDERITA


PNEUMONIA BALITA DI PUSKESMAS

Safaatul Choiriyah , Dina Nur Anggraini N

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Cakupan penemuan penderita pneumonia balita merupakan indikator utama pengendalian ISPA di Indonesia.
Diterima Januari 2015 Pada tahun 2011 hingga 2013 cakupan penemuan penderita pneumonia balitadi Kota Salatiga tidak bisa mencapai
Disetujui Januari 2015 target yang telah ditentukan. Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2012 Kota Salatiga
mengalami penurunan cakupan sebesar 73,55%. Data cakupan penemuan penderita pneumonia balita diperoleh
Dipublikasikan Oktober
melalui kegiatan surveilans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi input sistem surveilans
2015 penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas. Jenis penelitian ini yaitu kualitatif dengan rancangan studi
________________ evaluasi. Infoman utama penelitian berjumlah 6 orang terdiri dari kepala puskesmas dan petugas pemegang
Keywords: program P2 ISPA puskesmas, yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan yaitu
pedoman wawancara terstruktur, lembar observasi dan dokumentasi. Simpulan dari penelitian ini yaitu jumah
Input; Surveillance;
tenaga P2 ISPA yang tersedia di Puskesmas belum sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan sarana-
Pneumonia prasarana (material-machine) sudah sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan input method dalam
____________________ pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita sudah sesuai dengan pedoman dan aturan yang ada,
sumber dana puskesmas sudah sesuai dengan pedoman, hanya saja tidak ada alokasi dana untuk program P2
ISPA, ketersediaan market (sasaran informasi) sudah sesuai dengan pedoman hanya saja belum maksimal.
Abstract
___________________________________________________________________
Pneumonia sufferers detection coverage is the main indicator of ARI control in Indonesia. By 2011 until 2013 pneumonia sufferer
detection coverage in Salatiga city could not reach the target that was specified. According to the health profile of Central Java
Province, in 2012 Salatiga has decreased scope of 73,55%. Data coverage of the detection of pneumonia sufferers obtained through
surveillance activities. This research aim to know the results of the evaluation input system surveillance of pneumonia sufferer
detection at PHC’s. This type of research was qualitative with evaluation study design. There were 6 peoples as the main informan
that composed of Heads of PHC’s and the officer who hold programs P2 ISPA at PHC’s, which determined by purposive sampling
technique. The instruments used the guidelines structured interviews, observation and documentation sheets. Summary of this
research were the number of availability P2 ISPA expert at the PHC’s has not been inaccordance with the existing guidelines,
availability of material-machine were appropriate with the existing guidelines, availability of input method in the
implementation of surveillance of pneumonia sufferer detection were appropriate with the existing rules and guidelines, health
funds was appropriate with the guidelines, but there is no allocation of funds for program P2 ISPA, availability of market was
appropriate with the guidelines but hasn't been fullest.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: syafa.choiriyah@gmail.com

136
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah infeksi akut yang dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-
menyerang jaringan paru-paru (alveoli) yang 8 (IVAC, 2011). Menurut hasil Riskesdas
ditandai dengan adanya gejala batuk, dan 2007, prevalensi pneumonia balita di
atau kesukaran bernafas. Sampai saat ini Indonesia tahun 2007 sebesar 2,13%
pneumonia masih menjadi masalah (Depkes RI, 2008) dan pada tahun 2013
kesehatan masyarakat baik di negara maju meningkat menjadi 4,5% (Kemenkes, 2013).
maupun di negara berkembang karena Sedangkan CFR (Case Fatality Rate)
pneumonia masih menjadi penyebab utama pneumonia balita di Indonesia pada tahun
tingginya angka kematian pada bayi dan 2011 hingga 2012 mengalami penurunan
balita di dunia (Ditjen P2PL, 2011). Untuk 0,02% (Kemenkes, 2013). Angka cakupan
itu diperlukan adanya pengendalian penemuan penderita pneumonia balita
terhadap pneumonia. Pengendalian secara nasional belum pernah mencapai
pneumonia balita merupakan fokus utama target (Kemenkes, 2013). Dari tahun 2007
kegiatan pengendalian penyakit ISPA hingga tahun 2012 angka cakupan
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di penemuan pneumonia balita hanya berkisar
Indonesia, dimanaindikator utamanya yaitu antara 23% - 27,71%. Selain itu, pada tahun
cakupan penemuan penderita pneumonia 2012 tidak satupun provinsi di Indonesia
balita (Ditjen P2PL, 2011). Cakupan dapat mencapai target penemuan penderita
penemuan penderita pneumonia balita pneumoniabalita(Kemenkes, 2013). Pada
merupakan persentase jumlah pneumonia tahun 2011, cakupan penemuan penderita
balita baik pneumonia maupun pneumonia pneumonia balita Provinsi Jawa Tengah
berat terhadap jumlah target penemuan menempati urutan ke-2 terendah di Pulau
pneumonia balita yang ditetapkan (Ditjen Jawa dengan persentase sebesar 5,72% dan
P2PL, 2011; Kemenkes, 2013). CFR sebesar 0,10% dan pada tahun 2012
Untuk menunjang keberhasilan mengalami peningkatan menjadi 23,50%
program pengendalian pneumonia balita dengan CFR sebesar 0,02% (Kemenkes,
diperlukan adanya data epidemiologi 2013).
penyakit pneumonia yang dapat diperoleh Menurut Profil Kesehatan Provinsi
melalui kegiatan surveilans epidemiologi Jawa Tengah,dalam tiga tahun terakhir
pneumonia (Dinkes Prov.Jateng, 2006). Provinsi Jawa Tengah tidak bisa mencapai
Surveilans pneumonia berperan untuk target penemuan penderita pneumonia
menyediakan data yang valid bagi balita. Pada tahun 2010 persentase cakupan
manajemen kesehatan untuk menentukan penemuan dan penanganan penderita
tindakan yang tepat dalam penanggulangan pneumonia balita sebesar 40,63%, pada
dan pengendalian pneumonia balita (Dinkes tahun 2011 sebesar 25,5%, dan pada tahun
Prov. Jateng, 2006) dan juga berperan untuk 2012 sebesar 24,74%. Pada tahun 2012,
membantu meningkatkan manajemen kasus sebagian besar Kabupaten/Kota (91,42% )
serta monitoring program P2 ISPA (Ditjen yang ada di Provinsi Jawa Tengah tidak bisa
P2PL, 2003). mencapai target cakupan penemuan
Pada tahun 2006, Indonesia penderita pneumonia balita yang telah
merupakan negara dengan kejadian ditetapkan. Salah satunya adalah Kota
pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia Salatiga (Dinkes Prov. Jateng, 2013).

137
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Kota/Kabupaten, Puskesmas juga berperan


Jawa Tengah, pada tahun 2011 persentase sebagai penyedia data atau sumber data
cakupan penemuan penderita pneumonia utama penemuan kasus penderita
balita di Kota Salatiga sebesar 126,61% pneumonia balita bagi Dinas Kesehatan
(Dinkes Prov. Jateng, 2012) dan pada tahun Kota/Kabupaten. Agar kegiatan surveilans
2012 cakupan penemuan penderita dapat berjalan sesuai dengan harapan maka
pneumonia mengalami penurunan sebesar diperlukan adanya manajemen sistem
73,55% menjadi 53,06% (Dinkes Prov. surveilans yang baik, yang terdiri dari input,
Jateng, 2013). Data yang disampaikan proses, dan output. Untuk mengetahui
tersebut berbeda dengan data yang ada di keberhasilan dan juga hambatan yang
DKK Salatiga. Menurut profil kesehatan dialami oleh suatu sistem surveilans,
Kota Salatiga dan data laporan bulanan dibutuhkan adanya kegiatan evaluasi.
program P2 ISPA Kota Salatiga Tahun Evaluasi dalam sistem surveilans bertujuan
2013, Pada tahun 2011 persentase cakupan untuk meningkatkan sumber daya yang ada
penemuan penderita pneumonia balita di bidang kesehatan masyarakat secara
sebesar 41,8%, tahun 2012 sebesar 38,19%, maksimal melalui pengembangan suatu
dan pada tahun 2013 (per bulan Januari sistem surveilans yang efektif dan efisien
2014) sebesar 33,84% (Dinkes Kota Salatiga, (Ditjen P2PL, 2003). Evaluasi diukur
2013). berdasarkan indikator input, proses, dan
Pada penelitian sebelumnya yang output.
dilakukan oleh Pane (1998) di Kotamadya Penelitian ini difokuskan pada input
Bogor juga ditemukan beberapa masalah sistem surveilans yang meliputi man,
yang berkaitan dengan kegiatan surveilans material-machine, method, money, dan market)
pneumonia, yaitu pencatatan, pengolahan, dalam kegiatan penemuan penderita
dan interprestasi data dan penyebaran pneumonia balita di Puskesmas, karena
informasi yang belum maksimal, sumber komponen input merupakan sumber daya
daya tenaga, logistik, biaya dan kebijakan utama yang memiliki pengaruh cukup besar
secara relatif kurang mendukung terhadap terhadap proses maupun capaian dari sistem
pelaksanaan program P2 ISPA khususnya surveilans sehingga lebih diprioritaskan
untuk kategori pneumonia. Sedangkan pada untuk dievaluasi (Notoatmodjo, 2011).
penelitian yang dilakukan oleh Jirapat K et Dengan demikian rumusan masalah dalam
al. (2004) di Provinsi Sa Kaeo, Thailand, penelitian ini yaitu bagaimana evaluasi input
ditemukan masalah bahwa jumlah sistem surveilans penemuan penderita
morbiditas dan mortalitas pneumonia terus pneumonia balita di Puskesmas Wilayah
meningkat, terdapat perbedaan hasil Kerja Dinas Kesehatan Kota Salatiga?
pelaporan antara data surveilans pneumonia
dengan data pada sertifikat kematian, dan METODE
masih terdapat petugas yang tidak tahu
kriteria diagnosis pneumonia. Penelitian ini merupakan penelitian
Dalam pelaksanaan kegiatan kualitatif dengan rancangan studi evaluasi
surveilans pneumonia, selain berperan (Moleong, 2010; Ghony dan Fauzan, 2012).
sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan Rancangan studi evaluasi dilakukan untuk
yang dekat dengan masyarakat dan sebagai melihat dan menilai pelaksanaan maupun
unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan capaian dari kegiatan atau program yang

138
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

sedang atau yang sudah dilakukan untuk keberlangsungan kegiatan, material-machine


meningkatkan dan memperbaiki kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan
atau program tersebut (Notoatmodjo, 2010; menjadi keluaran, method yaitu peraturan
CDC, 2011). Informan utama penelitian atau prosedur kerja yang berguna untuk
terdiri dari kepala puskesmas dan petugas memperlancar jalannya pekerjaan, dan
pemegang program P2 ISPA puskesmas market yaitu tempat untuk memasarkan atau
yang berasal dari 2 puskesmas. Penentuan menyebarluaskan produk atau hasil kerja
puskesmas yang menjadi tempat penelitian suatu organisasi (Satrianegara, 2009). Untuk
dilakukan dengan menggunakan teknik mengetahui hambatan atau kendala yang
purposive sampling (Sugiyono, 2008), dengan dialami oleh input suatu sistem dapat
mempertimbangkan kriteria berikut: dilakukan dengan cara melakukan evaluasi
kelengkapan laporan bulanan ISPA yang terhadap input tersebut. Evaluasi dapat
dikumpulkan ≤ 100% di Tahun 2013, dilakukan dengan cara membandingkan
ketepatan waktu pengumpulan laporan kenyataan yang ada di lapangan dengan
bulanan ISPA ≥ 80% di tahun 2013, dapat pedoman yang ada.
mencapai target penemuan penderita
pneumonia balita dan yang belum dapat Evaluasi Input Man (Sumber Daya Manusia
mencapai target penemuan penderita Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan
pneumonia balita tahun 2013. Penderita Pneumonia Balita)
Teknik pengambilan data dilakukan Sumber daya manusia merupakan
dengan wawancara terstruktur, studi unsur atau modal yang paling penting dalam
dokumentasi dan observasi dengan suatu organisasi karena SDM berperan
menggunakan instrumen berupa panduan dalam menentukan arah dan tujuan
wawancara terstruktur, lembar organisasi, kemajuan organisasi dan
dokumentasi, dan lembar observasi. Dalam menentukan keberhasilan organisasi serta
penelitian ini evaluasi dilakukan dengan berperan pelaksana kegiatan manajemen
cara membandingkan kenyataan yang ada di (Fathoni, 2006; Satrianegara, 2009).Kondisi
lapangan atau membandingkan sumber tenaga puskesmas dapat berpengaruh pada
daya yang dimiliki oleh organisasi mutu pelayan puskesmas. Kondisi tenaga
(puskesmas) dengan pedoman yang ada. yang dimiliki oleh puskesmas dapat dilihat
dari jumlah tenaga kerja, latar belakang
HASIL DAN DISKUSI pendidikan, pelatihan yang pernah diikuti,
ketrampilan dan keahlian khusus yang
Dalam manajemen pelayanan, input dimiliki, masa kerja, beban kerja, dan
berfokus pada kegiatan-kegiatan yang riwayat jabatan. Pada penelitian ini evaluasi
dipersiapkan oleh organisasi untuk terhadap input SDM pendukung
memberikan pelayanan bagi masyarakat pelaksanaan kegiatan penemuan penderita
yang didalamnya termasuk komitmen dan pneumonia balita difokuskan pada jumlah
stakeholder, prosedur serta kebijakan, sarana tenaga P2 ISPA yang dimiliki oleh
dan prasarana fasilitas dimana pelayanan puskesmas dan ketersediaan tenaga terlatih
diberikan. Secara umum, input dalam P2 ISPA di Puskesmas. Hal ini dikarenakan
manajemen terdiri dari man yaitu sumber kedua hal tersebut merupakan
daya manusia yang dimiliki oleh organisasi, indikatorpuskesmas telah siap memberikan
money yaitu pendanaan untuk

139
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

pelayanan program P2 ISPA kepada autopsi verbal kematian balita akibat


masyarakat. pneumonia.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui Dalam kegiatan pengendalian ISPA,
bahwa jumlah tenaga P2 ISPA di puskesmas pelatihan bagi petugas kesehatan merupakan
tidak sesuai dengan pedoman yang ada. bagian terpenting dari program P2 ISPA
Jumlah tenaga yang tersedia sebanyak 1 dalam meningkatkan kemampuan SDM
orang tenaga paramedis, sedangkan khususnya dalam penatalaksanaan kasus
menurut pedoman tenaga P2 ISPA di dan manajemen program (Ditjen P2PL,
puskesmas seharusnya terdiri dari 1 orang 2011). Menurut penelitian Handayani dkk
tenaga medis dan 2 orang tenaga paramedis. (2009), pelatihan akan meningkatkan kinerja
Ketidaksesuaian ini dikarenakan jumlah mereka secara individu dalam memberikan
tenaga puskesmas yang terbatas dan pelayanan kesehatan di puskesmas dan
banyaknya program atau upaya kesehatan menurut penelitian Nurhayati (2011) ada
yang harus dilaksanakan oleh puskesmas hubungan antara pelatihan yang diikuti
sehingga tidak bisa memenuhi standar petugas dengan implementasi program di
tersebut. Agar kegiatan penemuan penderita puskesmas. Dengan demikian dapat
pneumonia balita di puskesmas tetap diketahui bahwa keberhasilan suatu
berjalan maka dalam pelaksanaan harian program kesehatan sangat dipengaruhi oleh
penemuan penderita pneumonia balita kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki
petugas pemegang program P2 ISPA oleh petugasnya.
dibantu oleh semua petugas kesehatan yang Meskipun sudah tersedia tenaga
ada di puskesmas. puskesmas yang terlatih manajemen
Sedangkan untuk ketersediaan tenaga program dan teknis P2 ISPA namun
puskesmas terlatih manajemen program dan jumlahnya masih kurang. Karena petugas
teknis P2 ISPA sudah sesuai dengan pemegang program P2 ISPA puskesmas
pedoman, meskipun jenis pelatihan yang hanya berjumlah 1 orang tiap puskesmas.
telah didapat belum sesuai dengan yang di Kondisi ketersediaan tenaga terlatih yang
pedoman. Karena menurut pedoman ada di puskesmas tersebut sejalan dengan
pengendalian ISPA pelatihan yang hasil penelitian evaluasi pelaksanaan MTBS
seharusnya diterima oleh tenaga kesehatan pneumonia di puskesmas Kabupaten
di puskesmas berupa pelatihan tatalaksana Lumajang tahun 2013 yang dilakukan oleh
ISPA, pelatihan manajemen program Diah P. dan Lucia Y.H. (2013). Dari
pengendalian ISPA dan pelatihan autopsi penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah
verbal kematian pneumonia balita, namun petugas kesehatan yang sudah dilatih MTBS
pada kenyataannya petugas yang sudah oleh Dinas Kesehatan jumlahnya masih
dilatih hanya mendapatkan pelatihan kurang untuk memberikan pelayanan
tatalaksana ISPA dan manajemen ISPA. pemeriksaan balita sakit sehingga
Petugas yang telah mendapatkan pelatihan pelaksanaan MTBS belum berjalan secara
tersebut adalah petugas pemegang program maksimal.
P2 ISPA yang menjabat sebelumnya dan Salah satu usaha yang dapat dilakukan
petugas pemegang program P2 ISPA yang oleh Dinas Kesehatan Kota masalah dalam
saat ini menjabat belum pernah mengikuti meningkatkan kualitaspetugas pemegang
pelatihan namun sudah mengikuti workshop program P2 ISPA dan memecahkan
masalah yang dihadapi oleh petugas di

140
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

lapangan yaitu dengan melakukan kegiatan form pelaksanaan kegiatan penemuan


pertemuan rutin/lokakarya/refreshing penderita pneumonia balita terdiri dari form
antarpetugas pemegang program P2 ISPA. stempel ISPA, form care seeking, PWS
Hal yang sama bisa juga dilakukan di tingkat pneumonia, dan form laporan bulanan P2
puskesmas antarpetugas puskesmas. Dengan ISPA. Masa pakai ARI sound timer di tingkat
demikian hambatan serta masalah yang puskesmas tidak sesuai dengan pedoman
dihadapi selama pelaksanaan kegiatan yang ada. Karena menurut pedoman, masa
penemuan penderita dapat dipecahkan pakai maksimal alat tersebut adalah 2 tahun
dengan baik sehingga tidak mempengaruhi atau 10.000 kali pemakaian sedangkan
kualitas pelayanan yang diberikan. berdasarkan hasil penelitian ARI sound timer
yang digunakan akan diganti apabila alat
Evaluasi Input Material-Machine (Sarana Dan telah digunakan selama 3 tahun atau sudah
Prasarana Pendukung Pelaksanaan Surveilans mengalami kerusakan.
Penemuan Penderita Pneumonia Balita)
Bersadarkan hasil penelitian Evaluasi Input Method (Metode Pelaksanaan
ketersediaan sarana-prasarana pendukung Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia
pelaksanaan kegiatan penemuan penderita Balita)
pneumonia balita, yang terdiri dari Method merupakan aturan, kebijakan
ketersediaan ATK, ketersediaan buku dan atau prosedur kerja yang mengatur
pedoman surveilans pneumonia, jalannya pelaksanaan kegiatan agar dapat
ketersediaan media KIE pneumonia balita, berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
ketersediaan surveilans kits, ketersediaan Dalam pelaksanaan surveilans penemuan
formulir pengumpulan data P2 ISPA, dan penderita pneumonia balita terdiri dari
ketersediaan alat bantu klasifikasi (ARI sound target penemuan penderita pneumonia
timer), sudah sesuai dengan pedoman yang balita, petunjuk teknis P2 ISPA dan
ada. Meskipun ketersediaannya sudah pengelolaan data program P2 ISPA.
sesuai namun masih terdapat beberapa Berdasarkan hasil penelitian method dalam
masalah, yaitu buku pedoman yang pelaksanaan surveilans penemuan penderita
digunakan oleh petugas pemegang program pneumonia balita yang terdiri dari
P2 ISPA puskesmas berupa buku pedoman ketersediaan target penemuan penderita
tatalaksana pneumonia, buku pedoman pneumonia balita, ketersediaan petunjuk
pengendalian ISPA dan buku pedoman teknis, dan pengelolaan data program P2
MTBS. Sedangkan menurut tataran ISPA telah sesuai dengan pedoman yang
idealnya, buku pedoman yang digunakan ada. Target adalah tolok ukur dalam bentuk
oleh petugas kesehatan untuk melaksanakan angka nominal atau persentase yang harus
surveilans pneumonia terdiri dari buku dicapai pada akhir tahun (Depkes, 2006).
pedoman pengendalian penyakit ISPA, Target penemuan penderita pneumonia
buku pedoman tatalaksana pneumonia balita adalah jumlah penderita pneumonia
balita, dan buku pedoman surveilans. balita yang harus dicapai di suatu wilayah
Formulir yang tersedia dan yang digunakan dalam 1 tahun sesuai dengan kebijakan yang
oleh petugas pemegang program P2 ISPA berlaku setiap tahun secara nasional (Ditjen
untuk mengumpulkan data yaitu form mtbs P2PL, 2011). Ketersediaan target penemuan
dan form laporan bulanan P2 ISPA penerita pneumonia balita di puskesmas juga
sedangkan menurut buku pedoman yang ada merupakan indikator yang menunjukkan

141
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

bahwa puskemas telah siap untuk pelacakan di lapangan. Tidak tersedianya


melaksanakan kegiatan penemuan penderita dana yang dialokasikan khusus untuk
pneumonia balita. program P2 ISPA/Pneumonia di tempat
Petunjuk teknis adalah pengaturan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis dari Pane (1998) yang menyatakan bahwa
kegiatan, tidak menyangkut wewenang dan biaya dan kebijakan secara relatif dirasakan
prosedur pelaksanaan. Petunjuk teknis yang kurang mendukung terhadap pelaksanaan
digunakan oleh petugas pemegang program program P2 ISPA khususnya untuk kategori
P2 ISPA puskesmas dalam menemukan pneumonia di Kotamadya Bogor, dan pada
penderita pneumonia balita yaitu bagan penelitian Diah P. dan Lucia Y.H. (2013)
MTBS, sesuai anjuran dan kesepakatan juga dinyatakan bahwa anggaran khusus
bersama antara petugas pemegang program pneumonia tidak tersedia untuk pelaksanaan
P2 ISPA Puskesmas dengan petugas program MTBS Pneumonia.
pemegng program P2 ISPA DKK. Tidak tersedianya alokasi dana khusus
Ketersediaan petunjuk teknis P2 ISPA di bukan berarti pelaksanaan program tidak
puskesmas menjadi hal yang penting dalam bisa berjalan. Menurut penelitian Nurhayati
menjalankan program P2 ISPA terutama (2011) meskipun ada kegiatan/program di
untuk penemuan penderita pneumonia Puskesmas yang tidak memiliki alokasi
balita karena membantu memudahkan dana, pelaksanaan kegiatan tersebut masih
petugas untuk mempersiapkan dan tetap berjalan walaupun hasilnya kurang
melaksanakan kegiatan surveilans maksimal. Agar pelaksanaan program P2
penemuan penderita pneumonia balita ISPA di puskesmas tempat penelitian tetap
dengan baik dan benar. berjalan, kepala puskesmas beserta
pengelola keuangan telah memiliki strategi
Evaluasi Input Money (Dana Pendukung khusus untuk mengatasi masalah tersebut
Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita yaitu apabila ada kegiatan yang berkaitan
Pneumonia Balita) dengan program P2 ISPA (pneumonia) yang
Komponen pendanaan (money) membutuhkan adanya pendanaan maka
merupakan salah satu unsur yang juga kegiatan tersebut akan diikutsertakan dalam
penting untuk menunjang keberlangsungan kegiatan dari program lain yang memiliki
pelaksanaan program atau kegiatan. alokasi dana.
Ketersediaan dana dapat berpengaruh
terhadap mutu pelayanan kesehatan yang Evaluasi Input Market (Sasaran Informasi
diberikan oleh suatu layanan Hasil Pelaksanaan Surveilans Penemuan
kesehatan(Azwar, 2008). Berdasarkan hasil Penderita Pneumonia Balita)
penelitian, sumber dana puskesmas untuk Market atau sasaran informasi adalah
menjalankan program-programnya telah tempat dimana organisasi memasarkan dan
sesuai dengan pedoman yang ada, namun menyebarluaskan produknya (informasi)
alokasi dana untuk program P2 ISPA tidak (Handoko, 2001). Tujuan dari adanya
sesuai dengan pedoman. Tidak adanya market tersebut yaitu untuk menciptakan
alokasi dana untuk pelaksanaan program P2 adanya kemitraan dan jejaring kerja.
ISPA khususnya pneumonia dikarenakan Menurut buku pedoman surveilans, yang
kegiatan penemuan penderita pneumonia terlibat dalam sistem surveilans pneumonia
masih bersifat pasif atau tidak ada kegiatan balita adalah program dan sektor terkait

142
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

yang erat hubungannya dengan kesakitan lanjut pengendalian penyakit ISPA di


dan kematian balita, seperti: imusisasi, puskesmas masih tertuju pada penderitanya
kesling (HS), gizi, KIA, Promkes, penyakit- saja, seperti melakukan kunjungan rumah
penyakit lain misal TB paru, diare, malaria, ke penderita pneumonia balita yang
HIV/AIDS; Pemda setempat dengan dinas membutuhkan kunjungan rumah, dalam hal
terkait (Dinas Kesehatan); dan LSM, PKK, ini penderita pneumonia berat dan penderita
Kader Kesehatan, Perguruan Tinggi, dll yang tidak melakukan kunjungan ulang, dan
(Dinkes Prov. Jateng, 2006). pemeriksaan ulang penderita pneumonia
Kemitraan dan jejaring merupakan yang ada kecurigaan TB.
faktor yang penting untuk menunjang
keberhasilan program. Kemitraan jejaring SIMPULAN
kerja dalam program P2 ISPA di arahkan
untuk meningkatkan peran serta Berdasarkan hasil penelitian dapat
masyarakat, lintas program, lintas sektor disimpulkan bahwa jumah tenaga P2 ISPA
terkait dan pengambil kebijakan termasuk yang tersedia di Puskesmas belum sesuai
penyandang dana. Peningkatan jejaring dengan pedoman yang ada, ketersediaan
kerjadiperlukan untuk meningkatkan sarana-prasarana (material-machine) untuk
koordinasi pelaksanaan pengendalian pelaksanaan survelans penemuan penderita
penyakit ISPA antar berbagai jenjang mulai pneumonia balita sudah sesuai dengan
dari perencanaan hingga evaluasi pedoman yang ada meskipun masih ada
program.Selain itu peningkatan jejaring beberapa yang belum maksimal,
kerja juga dapat membantu petugas ketersediaan input method yang berupa
pemegang program P2 ISPA untuk ketersediaan target penemuan penderita
menentukan intervensi dan tindak lanjut pneumonia balita di Puskesmas,
yang tepat sesuai dengan kondisi di ketersediaan petunjuk teknis P2 ISPA di
lapangan dan faktor risikonya (Ditjen P2PL, Puskesmas dan pengelolaan data program
2011). P2 ISPA sudah sesuai dengan pedoman dan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui aturan yang ada, sumber dana puskesmas
bahwa sasaran informasi hasil pelaksanaan (sumber dana untuk pelaksanaan program di
surveilans penemuan penderita pneumonia puskesmas) sudah sesuai dengan pedoman,
balita di puskesmas terdiri dari kepala hanya saja tidak ada alokasi dana untuk
puskesmas, petugas HS puskesmas, program P2 ISPA, dan ketersediaan market
pemegang program TB puskesmas, dan (sasaran informasi) hasil pelaksanaan
Dinas Kesehatan Kota Salatiga. surveilans penemuan penderita pneumonia
Ketersediaan market hasil pelaksanaan balita sudah sesuai dengan pedoman hanya
kegiatan surveilans penemuan penderita saja belum maksimal.
pnemonia balita telah sesuai dengan
pedoman yang ada. Kemitraan dan jejaring UCAPAN TERIMAKASIH
kerja yang dibangun oleh petugas pemegang
program P2 ISPA dapat dikatakan belum Ucapan terima kasih kami tunjukkan
maksimal, karena hanya melibatkan Dinas kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota
Kesehatan Kota, kepala puskesmas, HS Salatiga, Kepala Puskesmas Mangunsari,
puskesmas, dan pemegang program TB Kepala Puskesmas Cebongan, Petugas
puskesmas. Sehingga intervensi dan tindak pemegang program P2ISPA Dinas

143
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Kesehatan Kota Salatiga dan petugas


Ghony, M.D. dan Fauzan A, 2012, Metodologi
pemegang program P2ISPA Puskesmas
Penelitian Kualitatif, Ar-Ruzz Media,
serta informan lain yang ikut terlibat dalam Yogyakarta.
penelitian.
Fathoni, Abdurrahmat, 2006, Organisasi dan
DAFTAR PUSTAKA Manajemen Sumber Daya Manusia, Rineka
Cipta, Jakarta.

Azwar, A., 2008, Pengantar Administrasi Kesehatan,


Handayani, Lestari, dkk, 2009, Peran Tenaga Kesehatan
Binarupa Aksara, Jakarta.
Sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Puskesmas, Laporan Penelitian, Puslitbang
CDC, 2011, Introduction to Program Evaluation for Public
Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya.
Health Program: A Self-Study Guide, CDC,
Atlanta.
Handoko, T. Hani, 2001, Manajemen Personalia dan
Sumberdaya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.
Depkes RI, 2006, Pedoman Penilaian Kinerja Puskesmas,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
IVAC, 2011, Pneumonia Progress Report 2011, IVAC,
Baltimore.
--------------, 2008, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007,
Departemen Kesehatan RI,Jakarta.
Jirapat K., etal., Pneumonia Surveillance
Dinkes Kota Salatiga, 2013, Profil Kesehatan Kota In Thailand: Current Practice and Future Needs,
Salatiga 2012, Dinas Kesehatan Kota Volume 35, No.3, September 2004, hlm.
Salatiga,Salatiga.
711-716
----------------------------, 2013, Laporan Bulanan P2 ISPA
Tahun 2013, Dinas Kesehatan Kota Kemenkes RI, 2013, Profil Kesehatan
Salatiga,Salatiga. Indonesia 2012, Kementerian Kesehatan
RI,Jakarta.
Diah P. dan Lucia Y. H., 2013, Evaluasi Pelaksanaan
MTBS Pneumonia Di Puskesmas Di Kabupaten
Lumajang Tahun 2013, Jurnal Berkala Moleong, LJ, 2010, Metodologi
Epidemiologi, Volume 1, No. 2, September Penelitian Kualiatif Edisi Revisi, PT Remaja
2013, hlm. 291-301 Rosdakarya, Bandung.
Dinkes Prov. Jateng, 2006, Buku Pedoman Surveilans
Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Nurhayati, Agita Maris, 2011, Faktor
Tengah, Semarang. yang Berhubungan dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di
---------------------------, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010,
Tengah 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah,Semarang. Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

---------------------------, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi
Tengah 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Penelitian kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Tengah, Semarang.

Ditjen P2PL, 2003, Surveilans Epidemiologi Penyakit ---------------------,2011, Kesehatan


(PEP) Edisi 1, Depkes RI,Jakarta. Masyarakat: Ilmu dan Seni, Rineka Cipta,
Jakarta.
----------------, 2011, Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut, Kementerian Kesehatan
RI,Jakarta.

144
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Pane, Masdalina, 1998,Evaluasi Satrianegara, M. Fais, 2009, Buku Ajar


Penemuan Dan Pengobatan Penderita Infeksi Ogranisasi dan Manajemen Pelayanan
Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pnemonia Pada Kesehatanserta Kebidanan, Salemba Medika,
Balita Melalui Surveilans Epidemiologi Ispa Di Jakarta.
Kotamadya Bogor Tahun 1994-1997,Skripsi,
Universitas Diponegoro, Semarang. Sugiyono, 2008, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabet,
Bandung.

145
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN


HIPERTENSI USIA PRODUKTIF (25-54 TAHUN)

Riska Agustina , Bambang Budi Raharjo

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Hipertensi di Puskesmas Kedungmundu meningkat dari tahun ke tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk
Diterima Januari 2015 mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di wilayah
Disetujui Januari 2015 kerja Puskesmas Kedungmundu tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan case
control. Sampel berjumlah 30 orang pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol yang diambil dengan teknik
Dipublikasikan Oktober
accidental sampling. Analisis data menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Hasil penelitian
2015 menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan hipertensi usia produktif (25-54 tahun) adalah faktor
________________ genetik (p value=0,019, OR=4,125), obesitas (p value=0038, OR=3,5), kebiasaan merokok (p value=0,017, OR=6,0),
Keywords: konsumsi garam (p value=0,004, OR=5,675), penggunaan minyak jelantah (p value=0,009, OR=4,929) dan stress
psikis (p value=0,002, OR=6,417). Variabel yang tidak berhubungan adalah aktifitas fisik (p value=0,065), konsumsi
Hypertension; productive age
alkohol (p value=0,148), jenis pekerjaan (p value=0,333), pendapatan keluarga (p value=0,531) lama kerja (p
(25-54 years); psychological value=0,588). Saran bagi penderita hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di Kedungmundu supaya lebih
stress meningkatkan status kesehatan dengan lebih teratur memeriksakan kesehatannya, khususnya tekanan darah. Bagi
____________________ Puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi. Bagi peneliti lain untuk menambah
faktor risiko lain yang berhubungan dengan hipertensi usia produktif.
Abstract
___________________________________________________________________
Hypertension at Kedungmundu Puskesmas was ascending from year to year. The purpose of this study is to find risk factors
which related to the Hypertension productive age (25-54 years) at working area health centers Kedungmundu Year 2013. This
is a research of analytical survey with casecontrol approach. Sample of 30 people in each case group and controlgroup who were
taken using accidental sampling technique. Data analysis using chi square test with degrees of significance (α) = 0,05. The study
results show that the risk factor which related to the Hypertension productive age (25-54 years) genetic factor (p value=0,019,
OR=4,125), obesity (p value=0,038, OR=3,5), smooking habit (p value=0,017, OR=6,0), salt consumption (p value=0,004,
OR=5,675), use jelantah oil (p value=0,009, OR=4,929) and psychological stress (p value=0,002, OR=6,417). The risk factor
which are not related are physical activities (p value=0,065), alcohol consumption (p value=0,148), type of work (p value=0,333),
family’s income (p value=0,531) and duration of employment (p value=0,588). The advice to patient hypertension productive
age (25-54 tahun) at Kedungmundu to improve their health status by having themselves checked on more regular basis,
particularly for their blood pressure. For the public health center to improve knowledge of the hypertension to the public. For the
other researcher could find out another risk factors relate to the hypertension.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: riska_firapy@yahoo.co.id

146
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Perubahan pola hidup dan pola makan konsumsi garam dan stres dan hasil
akibat adanya perbaikan tingkat penelitian Sulistyowati (2009) yang
penghidupan membawa konsekuensi merupakan faktor risiko hipertensi adalah
terhadap berkembangnya penyakit umur, tingkat pendidikan, konsumsi garam,
degeneratif, diantaranya penyakit hipertensi. obesitas, aktifitas fisik, stres dan keturunan.
Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah Dari permasalahan tersebut, peneliti
suatu keadaan dimana tekanan darah ingin mengetahui hubungan antara faktor
seseorang adalah ≥140 mmHg (tekanan genetik, obesitas, aktifitas fisik, kebiasaan
sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi
diastolik) (Depkes RI, 2006: 12). garam, penggunaan minyak jelantah, stress
Menurut Riskesdas Jateng 2007, psikis, tingkat pendidikan dengan kejadian
prevalensi hipertensi pada usia >15 tahun hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di
mencapai 31,7%, tetapi hanya 23,9% saja wilayah kerja puskesmas Kedungmundu
yang mengetahui dirinya menderita pada tahun 2013.
hipertensi dan diterapi. Kematian akibat
stroke mencapai 15,4%. Berdasarkan profil METODE
Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2012,
Kota Semarang rangking pertama untuk Jenis penelitian ini adalah
kejadian hipertensi usia produktif sebanyak observasional yang bersifat analitik dengan
510 pasien merupakan hipertensi usia desain penelitian Case Control (Feinstein,
produktif (Dinkes Kota Semarang, 2013). 1977 dalam Bhisma M, 2003: 111).
Berdasarkan penelitian Aris S (2007) Populasi dalam penelitian ini adalah
yang terbukti sebagai faktor risiko hipertensi penderita hipertensi usia produktif di
adalah umur, riwayat keluarga, konsumsi Puskesmas Kedungmundupada tahun 2013
asin, konsumsi lemak jenuh, penggunaan berjumlah 510 penderita. Pengambilan
jelantah, tidak biasa olahraga, obesitas dan sampel dilakukan dengan menggunakan
penggunaan pil KB selama 12 tahun teknik accidental sampling. Sampel kasus
berturut-turut, sedangkan penelitian H Nasri berjumlah 30 orang dan sampel kontrol
MD terdapat hubungan antara tingkat stres, berjumlah 30 orang.
lama kerja, kualitas tidur, kebiasaan Instrumen yang digunakan dalam
merokok, konsumsi alkohol dan konsumsi penelitian ini adalah panduan wawancara
kafein, sedangkan penelitian Nia K (2006) terstruktur yang telah diuji validitas dan
yang merupakan faktor risiko hipertensi reliabilitas sebelum penelitian dilakukan.
adalah keturunan, obesitas, tipe kepribadian,
riwayat merokok, riwayat minum alkohol, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
aktifitas olahraga, asupan garam, dan stress,
sedangkan penelitian Nurma H (2010) yang Adapun hasil penelitian ini dapat
merupakan faktor risiko hipertensi usia dilihat pada Tabel1 :
muda adalahfaktor keturunan, obesitas,

Tabel 1. Hasil Penelitian

147
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Kejadian Hipertensi Usia


Produktif
Jumlah
No Variabel Kategori Tidak p value OR 95%CI
Hipertensi
Hipertensi
n % n % n %
Ada 18 60,0 8 26,7 26 45,0
Faktor 4,12
1. Tidak ada 12 40,0 22 73,3 34 55,0 0,019
Genetik 1,38-12,27
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Obesitas 18 60,0 9 30,0 27 45,0
Kejadian 3,5
2. Tidak Obesitas 12 40,0 21 70,0 33 55,0 0,038
Obesitas 1,20-10,19
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Tidak Olahraga 22 73,3 14 46,7 36 60,0
Rutin 3,14
3. Aktifitas Fisik 0,065
Olahraga Rutin 8 26,7 16 53,3 24 40,0 1,06-9,26
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Merokok 12 40,0 3 10,0 15 25,0
Kebiasaan 6,0
4. Tidak Merokok 18 60,0 27 90,0 45 75,0 0,017
Merokok 1,48-24,29
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Mengkonsumsi 7 23,3 2 6,7 9 15,0
Konsumsi Tidak 23 76,7 28 93,3 51 85,0 4,26
5. 0,148
Alkohol Mengkonsumsi 0,80-22,53
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
>7 gram 19 63,3 7 23,3 26 43,3
Konsumsi 5,67
6. ≤ 3 gram 11 36,7 23 76,7 34 56,7 0,004
Garam 1,84-17,49
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
≥ 3 kali per 18 60,0 7 23,3 25 41,7
Penggunaan minggu
4,92
7. Minyak < 3 kali per 0,009
12 40,0 23 76,7 35 58,3 1,61-15,07
Jelantah minggu
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Stres 22 73,3 9 30,0 31 51,7
6,41
8. Stres Psikis Tidak Stres 8 26,7 21 70,0 29 48,3 0,002
2,08-19,75
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Bekerja 26 86,7 22 73,3 48 80,0
Status
9. Tidak Bekerja 4 13,3 8 26,7 12 20,0 0,333 2,36
Pekerjaan
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0 0,62-8,91
Rendah 8 26,7 5 16,7 13 21,7
Pendapatan
10. Tinggi 22 73,3 25 83,3 47 78,3 0,531 1,81
Keluarga
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0 0,51-6,38
>51 jam per 12 40,0 9 30,0 21 35,0
minggu 1,55
11. Lama Kerja ≤ 51 jam per 18 60,0 21 70,0 39 65,0 0,588 0,53-4,53
minggu
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0

148
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Faktor Genetik faktor-faktor lingkungan lain, yang


Berdasarkan hasil penelitian yang kemudian menyebabkan seorang menderita
dilakukan, sebagian besar responden tidak hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan
memiliki faktor genetik yaitu 34 responden dengan metabolisme pengaturan garam dan
dengan persentase sebesar 55%, sedangkan rennin membrane sel. Menurut Davidson
responden memiliki faktor genetik sebanyak bila kedua orang tuanya menderita
26 responden dengan persentase 45%. hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke
Berdasarkan hasil uji statistik Chi anak – anaknya dan bila sudah satu orang
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tuanya yang menderita hipertensi maka
ada hubungan antara faktor genetik dengan sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (
kejadian hipertensi usia produktif (25-54 Depkes RI, 2006: 13-14).
tahun) dengan nilai p=0,019 (p <0,05).
Responden yang mengalami hipertensi Kejadian Obesitas
cenderungmemiliki faktor genetik (60%) Berdasarkan hasil penelitian yang
sedangkan responden yang tidak mengalami dilakukan, sebagian besar responden tidak
hipertensi cenderung tidak memiliki faktor mengalami obesitas yaitu 33 responden
genetik (73,3%). Dari hasil analisis diperoleh dengan persentase 55%, dan responden yang
pula nilai OR = 4,12 (OR > 1) dengan mengalami obesitas sebanyak 27 responden
interval 1,38-12,27 (tidak mencakup angka dengan persentase 45%.
1), artinya responden yang memiliki faktor Berdasarkan hasil uji statistik Chi
genetik memiliki risiko 4,12 kali mengalami Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
hipertensi usia produktif dibandingkan ada hubungan antara kejadian obesitas
responden yang tidak memiliki faktor dengan hipertensi usia produktif dengan
genetik. nilai p = 0,038 (p < 0,05). Responden yang
Hasil penelitian ini sesuai dengan mengalami hipertensi usia produktif
penelitian terdahulu oleh Nia Kurniasih cenderung mengalami obesitas (60%) dan
(2006) yang menyatakan bahwa ada responden yang tidak mengalami hipertensi
hubungan bermakna antara faktor genetik usia produktif cenderung tidak mengalami
dengan kejadian hipertensi (p=0,000). obesitas (70%). Dari hasil analisis diperoleh
Faktor genetik mempunyai risiko 11,982 kali pula nilai OR = 3,5 (OR > 1) dengan interval
lebih besar untuk terjadi hipertensi 1,20-10,1 (tidak mencakup angka 1), artinya
dibandingkan yang tidak memiliki faktor responden yang obesitas memiliki risiko 3,5
genetik. Berdasarkan hasil penelitian adanya kali mengalami hipertensi usia produktif
faktor genetik dengan kejadian hipertensi dibandingkan responden yang tidak
dikarenakan besarnya jumlah penderita obesitas.
hipertensi yang memiliki faktor genetik yaitu Hasil penelitian ini sesuai dengan
sebanyak 18 orang (60%) berbeda jauh penelitian terdahulu oleh Nia Kurniasih
dengan yang tidak menderita hipertensi (2006) yang menyatakan bahwa ada
sebanyak yaitu sebanyak 8 orang (26,7%). hubungan bermakna antara obesitas dengan
Riwayat keluarga dekat yang kejadian hipertensi (p=0,000).Berdasarkan
menderita hipertensi (faktor keturunan) juga hasil penelitian adanya hubungan antara
mempertinggi risiko terkena hipertensi, obesitas dengan kejadian hipertensi
terutama pada hipertensi primer.tentunya dikarenakan besarnya jumlah penderita
faktor genetik ini juga dihubungkan dengan hipertensi yang mengalami obesitas atau

149
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

hasil penghitungan BMI ≥ 25 yaitu sebanyak Dalam penelitian ini, ada variabel
18 orang (60%) berbeda jauh dengan yang yang berperan sebagai perancu atau
tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 9 pengganggu yaitu variabel aktifitas fisikyang
orang (30%).Secara umum, masyarakat merancukan hubungan antara obesitas
Indonesia cenderung lebih memiliki dengan kejadian hipertensi usia produktif
kelebihan berat badan.Hal ini merupakan (25-54 tahun), sehingga untuk
hal yang tidak sehat karena berbagai mengendalikan variabel aktifitas fisik
alasan.Berkaitan dengan tekanan darah, dilakukan dengan menggunakan teknik
secara umum semakin tinggi berat badan analisis berstrata. Adapun hasil analisis
kita, maka semakin tinggi pula tekanan berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
darah kita (Anna palmer, 2007).

Tabel 2.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan
Obesitas Berdasarkan Aktifitas Fisik.
Kejadian Hipertensi Usia
Produktif (25-54 Tahun)
Aktifitas Jumlah
Obesitas Hipertensi Tidak OR 95%CI
Fisik
Hipertensi
n % n % n %
Tidak Obesitas 13 59,1 4 28,6 17 47,2
3,611
Olahraga Tidak Obesitas 9 40,9 10 71,4 19 52,8
0,85-15,20
Rutin Jumlah 17 100,0 14 100,0 36 100,0
Obesitas 5 62,5 5 31,2 10 41,7
Olahraga 3,667
Tidak Obesitas 3 37,5 11 68,8 14 58,3
Rutin 0,61-21,73
Jumlah 8 100,0 16 100,0 24 100,0

Berdasarkan hasil penelitian, kejadian hipertensi usia produktif (25-54


hubungan antara obesitas dengan kejadian tahun) yang sesungguhnya.
hipertensi usia produktif OR = 3,5dengan Berdasarkan hasil penelitian,
interval (< 1) dengan interval 1,20-10,19 ( hubungan antara obesitas dengan kejadian
tidak mencakup angka 1) artinya penderita hipertensi usia produktif OR = 3,5dengan
yang mengalami obesitas memiliki risiko 3,5 interval (< 1) dengan interval 1,20-10,19 (
kali mengalami hipertensi dibandingkan tidak mencakup angka 1) artinya penderita
penderita yang tidak obesitas.Setelah yang mengalami obesitas memiliki risiko 3,5
dilakukan analisis berstrata untuk kali mengalami hipertensi dibandingkan
mengontrol variabel aktiftas fisik yang tidak penderita yang tidak obesitas. Setelah
olahraga rutin, ternyata responden yang dilakukan analisis berstrata untuk
tidak olahraga rutin meningkatkan mengontrol variabel aktifitas fisik yang
risikomeningkatkan risiko kejadian olahraga rutin, ternyata responden yang
hipertensi usia produktif (25-54 tahun) olahraga rutin meningkatkan risiko kejadian
karena OR kasar < OR (1) (3,5 <3,611), hipertensi usia produktif (25-54 tahun)
maka terdapat kerancuan yang memperkecil karena< OR (2) (3,5<3,667), maka terdapat
hubungan antara kejadian obesitasdengan kerancuan yang memperkecil hubungan
antara obesitas dengan kejadian hipertensi

150
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

usia produktif yang sesungguhnya. tidak rutin melakukan olahraga atau yang
Sehingga dapat diketahui bahwa aktifitas tidak melakukan olahraga 3-4 kali per
fisik bukan merupakanvariabel perancu minggu selama 30 menit yaitu sebanyak 22
dalam hubungan antara variabel obesitas orang (73,3%) tidak berbeda jauh dengan
dengan kejadian hipertensi usia produktif yang tidak menderita hipertensi yaitu
(25-54 tahun) karena pada perhitungan rasio sebanyak 14 orang (46,7%). Hal ini
kasar (3,5) tidak mempunyai selisih yang disebabkan karena pengkategorian aktifitas
besar dari OR 1 (3,611) dan OR 2 (3,667). fisik hanya di lihat dari rutin tidak rutinnya
responden dalam berolahraga tanpa melihat
Aktifitas Fisik aktifitas yang biasa dilakukan responden
Berdasarkan hasil penelitian yang setiap harinya.
dilakukan, sebagian besar responden tidak Hasil penelitian ini juga tidak sesuai
olahraga rutin yaitu 36 responden dengan dengan teori yang dikemukankan oleh Anna
persentase 60%, sedangkan responden yang Palmer (2007:40) yang menyatakan bahwa
olahraga rutin sebanyak 24 responden olahraga banyak dihubungkan dengan
dengan persentase 40%. pengelolaan hipertensi, orang dengan gaya
Berdasarkan hasil uji statistik Chi hidup yang tidak aktif akan lebih rentan
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terhadap tekanan darah tinggi. Melakukan
tidak ada hubungan aktifitas fisik dengan olahraga secara teratur tidak hanya menjaga
kejadian hipertensi usia produktif (25-54 bentuk tubuh dan berat badan, tetapi juga
tahun)dengan nilai p = 0,065 (p > 0,05). dapat menurunkan tekanan darah.Jika kita
Responden yang mengalami hipertensi usia menyandang tekanan darah tinggi, latihan
produktif (25-54 tahun) tidak melakukan aerobik sedang selama 30 menit sehari
olahraga rutin (73,3%) dan responden yang selama beberapa hari setiap minggu dapat
tidak hipertensi usia produktif (25-54 tahun) menurunkan tekanan darah.Jenis latihan
cenderung melakukan olahraga rutin yang dapat mengontrol tekanan darah
(73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula adalah berjalan kaki, bersepeda, berenang
nilai OR = 3,143 dengan interval 1,06- dan aerobik.
9,26(tidak mencakup angka 1), artinya
responden yang tidak melakukan olahraga Kebiasaan merokok
rutin memiliki risiko 3,143 kali Berdasarkan hasil penelitian yang
mengalamihipertensi usia produktif (25-54 dilakukan, sebagian besar responden tidak
tahun) dibandingan dengan responden yang merokok yaitu 45 responden dengan
melakukan olahraga rutin. persentase 75%, sedangkan responden yang
Hasil penelitian ini sesuai dengan merokok sebanyak 25responden dengan
penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar persentase 25%.
(2010) yang menyatakan bahwa tidak ada Berdasarkan hasil uji statistik Chi
hubungan bermakna antara aktifitas fisik Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
dengan kejadian hipertensi (p=0,209) di ada hubungan kebiasaan merokok dengan
wilayah kerja Puskesmas Kragan II kejadian hipertensi usia produktif (25-54
Kabupaten Rembang. Berdasarkan hasil tahun) dengan nilai p = 0,017 (p < 0,05).
penelitian tidak adanya hubungan antara Persentase responden yang mengalami
aktifitas fisik dengan hipertensi dikarenakan hipertensi usia produktif (25-54 tahun)
besarnya jumlah penderita hipertensi yang cenderung tidak merokok sebesar 60% dan

151
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

responden yang tidak mengalami hipertensi Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin
cenderung tidak merokok (90%). dan karbon monoksida yang diisap melalui
Hasil penelitian ini sesuai dengan rokok, yang masuk kedalam aliran darah
penelitian terdahulu oleh Nia Kurniasih dapat merusak lapisan endotel pembuluh
(2006) yang menyatakan bahwa ada darah arteri dan mengakibatkan proses
hubungan bermakna antara kebiasaan aterosklerosis dan hipertensi (Depkes RI,
merokok dengan kejadian hipertensi 2006: 21).
(p=0,004). Kebiasaan merokok mempunyai Dalam penelitian ini, ada variabel
risiko 3,087 kali lebih besar untuk terjadi yang berperan sebagai perancu atau
hipertensi dibandingkan yang tidak pengganggu yaitu variabel stres psikis yang
merokok.Berdasarkan hasil penelitian merancukan hubungan antara kebiasaan
adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia
merokok dengan kejadian hipertensi produktif (25-54 tahun), sehingga untuk
dikarenakan besarnya jumlah penderita mengendalikan variabel stres psikis
hipertensi yang mengkonsumsi rokok atau dilakukan dengan menggunakan teknik
yang berisiko ringan, sedang dan berat analisis berstrata. Adapun hasil analisis
sebanyak 12 orang (40%) berbeda jauh berstrata dapat dilihat pada Tabel3 :
dengan yang tidak menderita hipertensi
sebanyak 3 orang (10%).

Tabel 3.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan
kebiasaan merokokBerdasarkan stres psikis.
Kejadian Hipertensi Usia
Produktif (25-54 Tahun)
Kebiasaan Jumlah
Stres Hipertensi Tidak OR 95%CI
Merokok
Hipertensi
N % n % n %
Merokok 8 36,4 1 11,1 9 29,0
Mengalami 4,571
Tidak Merokok 14 63,6 8 88,9 22 71,0
stres psikis 0,48-43,50
Jumlah 22 100,0 9 100,0 31 100,0
Tidak Merokok 4 50,0 2 9,5 6 20,7
9,5
mengalami Tidak Merokok 4 50,0 19 90,5 23 79,3
1,27-70,96
stres psikis Jumlah 8 100,0 21 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil penelitian, yang mengalami stres psikis


hubungan antara kebiasaan merokok tidakmeningkatkan risiko kejadian
dengan kejadian hipertensi usia produktif hipertensi usia produktif (25-54 tahun)
OR = 6 (tidak mencakup angka 1) artinya karena karena OR kasar > OR (1)
penderita yang merokok memiliki risiko 6 (6,0>4,571), maka terdapat kerancuan yang
kali mengalami hipertensi dibandingkan memperbesar hubungan kebiasaan merokok
penderita yang tidak merokok. Setelah dengan kejadian hipertensi usia prodiktif
dilakukan analisis berstrata untuk (25-54 tahun) yang sesungguhnya.
mengontrol variabel stres dengan kategori Berdasarkan hasil penelitian,
mengalami stres psikis, ternyata responden hubungan antara kebiasaan merokok

152
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

dengan kejadian hipertensi usia produktif Hasil penelitian ini sesuai dengan
OR = 6 (tidak mencakup angka 1) artinya penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar
penderita yang merokok memiliki risiko 6 (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada
kali mengalami hipertensi dibandingkan hubungan bermakna antara konsumsi
penderita yang tidak merokok. Setelah alkohol dengan kejadian hipertensi
dilakukan analisis berstrata untuk (p=0,148) di wilayah kerja Puskesmas
mengontrol variabel stres psikis dengan Kragan II Kabupaten Rembang. Dalam
kategori tidak mengalami stres psikis, penelitian ini konsumsi alkohol tidak
ternyata kebiasaan merokok meningkatkan berhubungan dengan kejadian hipertensi
risiko kejadian hipertensi usia produktif (25- usia produktif karena besarnya jumlah
54 tahun) karena OR kasar < OR (2) (6,0< penderita hipertensi yang mengkonsumsi
9,5), maka terdapat kerancuan yang secara rutin atau yang minum alkohol > 6
memperkecil hubungan kebiasaan merokok gelas per minggu yaitu sebanyak 7 orang
dengan kejadian hipertensi usia prodiktif (23,3%) tidak berbeda jauh dengan yang
(25-54 tahun) yang sesungguhnya. Sehingga tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 2
dapat diketahui bahwa stres psikis (6,7%). Menurut Depkes RI, di Negara barat
merupakanvariabel perancu dalam seperti Amerika, konsumsi alkohol yang
hubungan antara variabel kebiasaan berlebihan hanya berpengaruh sekitar 10%
merokok dengan kejadian hipertensi usia terhadap terjadinya hipertensi yang biasanya
produktif (25-54 tahun) karena pada dikonsumsi pada kalangan pria separuh
perhitungan rasio kasar (6)mempunyai baya, padahal dalam penelitian ini
selisih yang besar dari OR 1 (4,571) dan OR cenderung perempuan (68,3%) yang
2 (9,5). menjadi responden, sehingga hipertensi
dapat disebabkan karena faktor yang lain.
Konsumsi Alkohol
Berdasarkan hasil penelitian yang Konsumsi Garam
dilakukan, sebagian besar responden tidak Berdasarkan hasil penelitian yang
mengkonsumsi alkoholyaitu 51 responden dilakukan, sebagian besar responden
dengan persentase 85%, sedangkan mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per hari
responden yang mengkonsumsi alkohol yaitu 34 responden dengan persentase 56,7%
sebanyak 9responden dengan persentase sedangkan responden yang mengkonsumsi
15%. garam > 7 gram per minggu sebanyak 26
Berdasarkan hasil uji statistik Chi responden dengan persentase 43,3%.
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Berdasarkan hasil uji statistik Chi
tidak ada hubungan antara konsumsi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
alkohol dengan penderita kejadian ada hubungan konsumsi garam dengan
hipertensi usia produktif (25-54 tahun) kejadian hipertensi usia produktif (25-54
dengan nilai p = 0,148(p >0,05). Responden tahun) dengan nilai p = 0,004 (p < 0,05).
yang mengalami hipertensi usia produktif Responden yang mengalami hipertensi usia
(25-54 tahun) cenderung tidak produktif (25-54 tahun) cenderung
mengkonsumsi alkohol(76,7%) dan mengkonsumsi garam > 7 gram per hari
responden yang tidak mengalami hipertensi (63,3%) dan responden yang tidak
usia produktif (25-54 tahun) cenderung tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54
mengkonsumsi alkohol (93,3%). tahun) mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per

153
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

hari (76,7%).Dari hasil analisis diperoleh minggu yaitu 35 responden dengan


pula nilai OR = 5,675 (tidak mencakup persentase 58,3%, sedangkan responden
angka 1) artinya penderita yang yang menggunakan minyak jelantah ≥ 3 kali
mengkonsumsi garam > 7 gram per memiliki per minggusebanyak 25 responden dengan
risiko 5,675 kali mengalami hipertensi persentase 41,7%.
dibandingkan penderita yang Berdasarkan hasil uji statistik Chi
mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per hari. Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
Hasil penelitian ini sesuai dengan adahubungan antara penggunaan minyak
penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar jelantah dengan kejadian hipertensi usia
(2010) yang menyatakan bahwa ada produktif (25-54 tahun) dengan nilai p =
hubungan bermakna antara kebiasaan 0,009 (p < 0,05). Responden yang
mengkonsumsi garam dengan kejadian mengalami hipertensi usia produktif (25-54
hipertensi (p=0,001). Kebiasaan tahun) cenderung menggunakan minyak
mengkonsumsi garam yang lebih dari 7 jelantah ≥ 3 kali per minggu (60%)
gram per hari mempunyai risiko4,792 kali sedangkan responden yang tidak mengalami
lebih besar untuk terjadi hipertensi hipertensi usia produktif (25-54 tahun)
dibandingkan yang tidak mengkonsumsi cenderung menggunakan minyak jelantah <
garam lebih dari 7 gram per hari. 3 kali per minggu(60%).
Berdasarkan hasil penelitian adanya Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
hubungan antara konsumsi garam dengan OR = 4,929 artinya penderita yang
kejadian hipertensi dikarenakan besarnya menggunakan minyak jelantah ≥ 3 kali per
jumlah penderita hipertensi yang minggu memiliki risiko 4,929 kali
mengkonsumsi garam lebih dari 7 gram mengalami hipertensi dibandingkan
perhari yaitu sebanyak 19 orang (63,3%) penderita yang tmenggunakan minyak
berbeda jauh dengan yang tidak menderita jelantah < 3 kali per minggu. Dianjurkan
hipertensi yaitu sebanyak 7 orang (23,3%). oleh Ali Komsan, bagi mereka yang tidak
Menurut Depkes RI (2006), Garam menginginkan menderita hiperkolesterolemi
menyebabkan penumpukan cairan dalam dianjurkan untuk membatasi penggunaan
tubuh karena menarik cairan di luar sel agar minyak goreng terutama jelantah karena
tidak dikeluarkan, sehingga akan akan meningkatkan pembentukan kolesterol
meningkatkan volume dan tekanan darah. yang berlebihan yang dapat menyebabkan
Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer aterosklerosis dan hal ini dapat memicu
(esensial) terjadi respons penurunan tekanan terjadinya penyakit tertentu, seperti penyakit
darah dengan mengurangi asupan garam. jantung, darah tinggi dan lain-lain.
Pada masyarakat yang mengkonsumsi Hasil penelitian ini sesuai dengan
garam 3 gram atau kurang, ditemukan penelitian terdahulu oleh Aris (2007) yang
tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan menyatakan bahwa ada hubungan
pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 bermakna antara penggunaan minyak
gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi. jelantah dengan kejadian hipertensi
(p=0,0001). Berdasarkan hasil penelitian
Penggunaan Minyak Jelantah adanya hubungan antara penggunaan
Berdasarkan hasil penelitian yang minyak jelantah dengan kejadian hipertensi
dilakukan, sebagian besar responden dikarenakan besarnya jumlah penderita
menggunakan minyak jelantah < 3 kali per hipertensi menggunakan minyak jelantah ≥

154
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

3 kali perminggu yaitu sebanyak 18 orang adrenalin dan memacu jantung berdenyut
(60%) berbeda jauh dengan yang tidak lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
menderita hipertensi yaitu sebanyak 7 orang tekanan darah akan meningkat.
(23,3%).
Status Pekerjaan
Stres Psikis Berdasarkan hasil penelitian yang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden bekerja
dilakukan, sebagian besar responden yaitu 48 responden dengan persentase 80%,
mengalami stres psikisyaitu 31 responden sedangkan responden yang tidak bekerja
dengan persentase 51,7%, sedangkan sebanyak 12 responden dengan persentase
responden yang tidak mengalami stres psikis 20%.
sebanyak 29 responden dengan persentase Berdasarkan hasil uji statistik Chi
48,3%. Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
Berdasarkan hasil uji statistik Chi tidakada hubungan antara status
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pekerjaandengankejadian hipertensi usia
ada hubungan antara stres psikis dengan produktif (25-54 tahun) dengan nilai p =
kejadian hipertensi usia produktif (25-54 0,531 (p >0,05). Persentase responden yang
tahun) dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05). mengalami hipertensi cenderung memiliki
Persentase responden yang hipertensi pendapatan keluarga dengan kategori tinggi
cenderung mengalami stres psikis (73,3%) (73,3%)dan responden yang tidak
dan responden yang tidak mengalami mengalami hipertensi usia produktif (25-54
hipertensi usia produktif (25-54 tahun) tahun) cenderung memiliki pendapatan
cenderung tidak mengalami stres (70%). keluarga dengan kategori rendah (26,7%).
Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = Hasil penelitian ini sesuai dengan
6, 417 dengan interval 2,084-19,755 (tidak penelitian terdahulu oleh Sulistyowati
mencakup angka 1) artinya penderita yang (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada
mengalami stres psikis memiliki risiko 6,417 hubungan bermakna antara status pekerjaan
kali mengalami hipertensi dibandingkan dengan kejadian hipertensi (p=0,703) di
penderita yang tidak mengalami stres psikis. Kampung Botton kelurahan Magelang
Hasil penelitian ini sesuai dengan Kecamatan Magelang Tengah Kota
penelitian terdahulu oleh sulistyowati (2009) Magelang.
yang menyatakan bahwa ada hubungan Dalam penelitian ini status pekerjaan
bermakna antara penggunaan stres psikis tidak berhubungan dengan kejadian
dengan kejadian hipertensi (p=0,000). hipertensi usia produktif karena besarnya
Berdasarkan hasil penelitian adanya jumlah penderita hipertensi yang bekerja
hubungan stres psikis dikarenakan besarnya (swasta, buruh, PNS) yaitu sebanyak 26
jumlah responden yang mengalami stres orang (86,7%) tidak berbeda jauh dengan
psikis 22 orang (73,3%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu
yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 22 (73,3%). Kejadian hipertensi
sebanyak 9 orang (30%). Menurut Depkes usia produktif dapat disebabkan karena
RI (2006), Stres atau ketegangan jiwa (rasa faktor lain, misalnya tekanan dari rumah
tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa tangga.
takut, rasa bersalah) dapat merangsang
kelenjar anak ginjal melepaskan hormone Pendapatan Keluarga

155
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Berdasarkan hasil penelitian yang yaitu 39 responden dengan persentase 65%,


dilakukan, sebagian besar responden sedangkan responden yang memiliki lama
memiliki pendapatan keluarga dengan kerja > 51 jam per minggu sebanyak 21
kategori tinggiyaitu 47 responden dengan responden dengan persentase 35%.
persentase 78,3%, sedangkan responden Berdasarkan hasil uji statistik Chi
yang memiliki pendapatan keluarga dengan Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
kategori rendahsebanyak 13 responden tidakada hubungan antara lama kerjadengan
dengan persentase 21,7%. kejadian hipertensi usia produktif (25-54
Berdasarkan hasil uji statistik Chi tahun) dengan nilai p = 0,588 (p > 0,05).
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Persentase responden yang mengalami
tidakada hubungan antara status hipertensi cenderung bekerja ≤ 51 jam per
pekerjaandengan kejadian hipertensi usia minggu (60%) dan responden yang tidak
produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = mengalami hipertensi usia produktif (25-54
0,333 (p > 0,05). Persentase responden yang tahun) cenderung bekerja> 51 jam per
mengalami hipertensi cenderung bekerja minggu (70%).
(86,7%) dan responden yang tidak Hasil penelitian ini tidak sesuai
mengalami hipertensi usia produktif (25-54 dengan penelitian terdahulu oleh H nasri
tahun) cenderung bekerja (73,3%). MD (2010) yang menyatakan bahwa ada
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori hubungan bermakna antara lama kerja
Sarwono Waspadji (2001) yang di kutip dengan kejadian hipertensi (p=0,0001).
dalam Sulistyowati 2009, yang menyatakan Hasil penelitian H nasri MD ini
bahwa di negara-negara yang berada pada menunjukkan bahwa lama jam kerja
tahap pasca peralihan perubahan ekonomi mempengaruhi kejadian hipertensi yang
dan epidemiologi selalu dapat ditunjukkan disebabkan stres kerja. Hal tersebut juga
bahwa arus tekanan darah dan prevalensi dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat
hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada bekerja, seperti paparan panas, debu,
golongan sosial ekonomi rendah. Hubungan ataupun asap, sehingga jika terpapar dalam
yang selalu terbalik itu ternyata berkaitan waktu yang lama akan dapat mengakibatkan
dengan tingkat penghasilan, pendidikan dan stres kerja, sedangkan stres merupakan salah
pekerjaan. satu faktor risiko penyakit hipertensi.
Dalam penelitian ini pendapatan Dalam penelitian ini lama kerja tidak
keluarga tidak berhubungan dengan berhubungan dengan kejadian hipertensi
kejadian hipertensi usia produktif karena usia produktif karena besarnya jumlah
besarnya jumlah penderita hipertensi yang penderita hipertensi yang lama kerjanya ≥
pendapatan keluarga dengan kategori (< 51 jam per minggu sebanyak 12 orang (40%)
259.520 per bulan) sebanyak 8 orang (26,7%) tidak berbeda jauh dengan yang tidak
tidak berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 9 orang
menderita hipertensi yaitu sebanyak 5 orang (30%). Hal ini disebabkan karena responden
(16,7%). yang di wawancarai cenderung bekerja < 51
jam per minggu (65%).
Lama Kerja
Berdasarkan hasil penelitian yang SIMPULAN
dilakukan, sebagian besar responden
memiliki lama kerja ≤ 51 jam per minggu

156
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Anna Palmer dan Bryan Williams, 2007, Tekanan
Darah Tinggi, Jakarta: Erlangga
faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian hipertensi usia produktif di wilayah Aris Sugiharto, 2007, Faktor-Faktor Risiko Hipertensi
kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Grade II Pada Masyarakat (Studi Kasus di
Semarang Tahun 2013, diperoleh simpulan Kabupaten Karanganyar), thesis: Diponegoro
sebagai berikut: (1) Sebagian besar University Press.

responden mengkonsumsi alkohol ≥ 6 gelas


Bhisma Murti, 2003, Prinsip dan Metode Riset
per minggu (85%), bekerja (80%), Epidemiologi, Solo: Gadjah Mada
pendapatan keluarga tinggi (78,3%), tidak
merokok (75%), lama kerja ≥ 51 jam per Depkes RI, 2006, Pedoman Teknis Penemuan dan
Tatalaksana Penyakit Hipertensi, diakses tanggal
minggu (65%), tidak melakukan 3-4 kali per
14 Oktober 2012
minggu (60%), menggunakan minyak (http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstr
jelantah < 3 kali per minggu (58,3%), tidak eam/123456789/742/1/pdmnp
memiliki faktor genetik (56,7%), konsumsi nmuantthipertensi.pdf)
garam ≤ 3 gram per hari (56,7%), tidak
Dinkes Provinsi Jawa Tengah , 2011, Profil Kesehatan
mengalami obesitas (55%) dan mengalami
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010, Dinas
stress psikis (51,7%). (2) Tidak ada Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
hubungan antara aktifitas fisik, konsumsi
alkohol, status pekerjaan, pendapatan Dinkes Kota Semarang, 2013, Jumlah Kasus Penyakit di
Kota Semarang Tahun 2012, Semarang:
keluarga dan lama kerja dengan kejadian
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
hipertensi usia produktif (25-54 tahun). (3)
Ada hubungan antara faktor genetik (p H Nasri MD, 2006, coronary artery disease riskfactors
value=0,019, OR=4,125), obesitas (p in drivers versus people in other occupations,
value=0,038, OR=3,5), kebiasaan merokok (p Journal: ARYA

value=0,017, OR=6,0), konsumsi garam (p


Nia kurniasih, 2006, Faktor-Faktor Risiko yang
value=0,004, OR=5,675), penggunaan Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada
minyak jelantah (p value=0,009, OR=4,929) Laki-Laki Usia 40 tahun ke atas di Rumah Sakit
dan stres psikis (p value=0,002, Umum Daerah Brebes, Skripsi: UNNES
OR=6,417)dengan kejadian hipertensi usia
Nurma Hajar, 2010, Faktor Risiko yang Berhubungan
produktif (25-54 tahun). dengan Kejadian Hipertensi pada Usia Dewasa
Muda (15-44 tahun), skripsi: UNNES
UCAPAN TERIMA KASIH
Riskesdas Jateng, 2008, Riset Kesehatan Dasar 2007
Laporan Provinsi Jawa Tengah, diakses tanggal
Ucapan terima kasih kami tunjukkan
28 Oktober 2012,
kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, (http://www.dinkesjatengprov.go.id/downlo
Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, ad/mi/riskesdas_jateng2007.pdf)
Dosen Pembimbing, Keluarga, serta Teman-
teman yang telah memberi bantuan dan Sulistyowati, 2009, Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Hipertensi di Kampung Botton
motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.
Kelurahan Magelang Kecamatan Magelang
Tengah Kota Magelang Tahun 2009, skripsi:
DAFTAR PUSTAKA UNNES

157
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

158
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN YODISASI TERHADAP MUTU GARAM


PADA INDUSTRI GARAM SKALA KECIL DI KABUPATEN REMBANG

Luthfia Zauma , Mardiana

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu garam yang di produksi oleh produsen garam serta menganalisis
Diterima Januari 2015 faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan tentang yodisasi dan pengadaan garam beryodium di
Disetujui Januari 2015 Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang. Jenis penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indept interview) dengan para informan awal yang di tentukan
Dipublikasikan Oktober
dengan teknik purposive sampling yaitu dari Kepala Seksi Usaha Industri Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi
2015 dan UMKM Kabupaten Rembang, Kepala Bidang Pemerintahan, sosial dan Budaya Bappeda Kabupaten
________________ Rembang, Pemilik Perusahaan Garam, dan Petani garam dengan jumlah informan seluruhnya 6 orang. Instrumen
Keywords: penelitian adalah peneliti sendiri dengan alat bantu panduan wawancara dan pengumpulan data melalui
wawancara, dokumemntasi. Teknik analisis data penelitian menggunakan model analisis interaktif. Hasil
Implementation of policy;
penelitian ini adalah Implementasi kebijakan tentang yodisasi dan pengadaan garam beryodium di Kecamatan
Iodization; iodized salt Kaliori Kabupaten Rembang belum berjalan maksimal. Faktor yang mendukung dan menghambat implementasi
____________________ kebijakan tentang yodisasi dan pengadaan garam beryodioum antara lain, komunikasi yang belum berjalan
optimal, kurangnya informasi dari petugas mengenai isi kebijakan, perbedaan persepsi antara petugas dan
produsen serta tidak tegasnya pengawasan terhadap pelanggaran yang terjadi. Saran yang peneliti rekomendasikan
adalah sosialisasi merk dagang garam yang terjamin kualitasnya dan meningkatkan bantuan alat yodisasi.
Abstract
___________________________________________________________________
The aim of this research is to study salt quality produced by salt producer and analizes supporting factors and inhibiting factors
policy implementation of iodization dan levying iodized salt in Kaliori Subdistrict, Rembang Regency. This type of research is,
technical collecting data by in-depth interview, the firs informan were selected by Sampling Purposive Method. They are form
Head of Labor Industry Section Trade and Industry Departement of Rembang Regency, Head of Goverment, Social, and Culture
Section Planning and Development Committee of Rembang Regency, Salt Producer, Salt Farmer, altogether amout to 6 peoples.
The instrument tools used for this research are researcher itself and Interview guide, collecting data from interview result,
documentation. The techiques analyze of research data use Interactive model analyzes. The results of this research are the policy
implementation of iodization dan levying iodized salt in Kaliori Subdistrict, Rembang Regency not works maximally yet. It can
be seen from the orientation of goverment and the realization talked about that were not appropriate with that expected after
policy was acceptable. There are many supporting factors and inhibiting factors of policy implementation of iodization dan
levying iodized salt, they are communications which not worked optimally yet, Lack of information about a policy from officer,
the perception differences between producer and officer and not explicitly controling and monitoring about infraction. The advice
can be given is salt brand secured sosialization and improve assist of iodization tools.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: chi.wonie@gmail.com

159
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Yodium merupakan mikronutrien Yodium yang antara lain menginstruksikan


yang diperlukan oleh tubuh untuk sintesis kepada seluruh Dinas Kesehatan
hormon tiroid yang berperan penting dalam Kabupaten/Kota agar meningkatkan
metabolisme di dalam sel. Kekurangan kerjasama dengan instansi terkait dalam
yodium merupakan masalah yang serius peningkatan garam beryodium dan
mengingat dampaknya sangat besar menghentikan suplementasi kapsul minyak
terhadap kelangsungan hidup dan kualitas yodium pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu
sumber daya manusia (Setyawan H, 2013: menyusui dan anak SD/MI). Hal ini
2). Selain berupa pembesaran kelenjar diperkuat dengan Keputusan Presiden
gondok dan hipotiroid, kekurangan yodium Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan
pada wanita hamil mempunyai risiko Garam Beryodium sebagai upaya
terjadinya abortus, lahir mati, sampai cacat Penanggulangan Gangguan Akibat
bawaan, sedangkan pada bayi yang lahir Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia.
akan mengakibatkan gangguan Keppres No. 69 Tahun 1994 yang
perkembangan syaraf, mental dan fisik yang mengatur mengenai pengadaan garam
disebut kretin. Semua gangguan ini dapat beryodium menyebutkan bahwa dalam
berakibat pada rendahnya prestasi belajar rangka untuk meningkatkan kualitas sumber
anak usia sekolah, rendahnya produktifitas daya manusia, dipandang perlu melakukan
kerja pada orang dewasa serta timbulnya upaya pencegahan dan penanggulangan
berbagai permasalahan sosial ekonomi berbagai gangguan terhadap kesehatan
masyarakat yang dapat menghambat manusia akibat dari kekurangan yodium
pembangunan (Departemen Kesehatan RI, melalui kegiatan Yodisasi garam. Hakekat
2005 ). dari regulasi tersebut adalah bahwa garam
Hasil Riset Kesehatan Dasar yang dapat diperdagangkan untuk keperluan
(Riskesdas) tahun 2007, secara keseluruhan konsumsi manusia, ternak, pengasinan ikan
(perkotaan dan pedesaan) rumah tangga dan bahan penolong industri pangan adalah
yang mengonsumsi garam mengandung garam beryodium yang telah memenuhi
cukup yodium mencapai 62,3%, yang Standar Nasional Indonesia (SNI).
mengonsumsi garam kurang mengandung Dalam mempercepat pencapaian
yodium sebesar 23,7% dan yang tidak konsumsi Garam Beryodium Untuk Semua
mengandung yodium sebesar 14,0%. Angka atau Universal Salt Iodization (USI),
tersebut masih jauh dari pencapaian pemerintah melakukan pemenuhan garam
Universal Salt Iodization (USI) dan Indonesia nasional yang dilakukan melalui program
Sehat, yaitu 90% rumah tangga intensifikasi dan ekstensifikasi produksi
mengonsumsi garam beryodium dengan garam nasional, perbaikan kualitas,
kandungan yodium yang cukup secara perbaikan tata niaga untuk mendukung
berkesinambungan. Berkaitan dengan itu pencapaian stabilitas dan kesesuaian harga,
Direktur Jenderal Bina Kesehatan serta dukungan sarana dan prasarana, dan
Masyarakat, mengeluarkan Surat Edaran aspek lain yang menjadi perhatian adalah
Nomor : JM.03.03/BV/2195/09 tertanggal upaya pemenuhan garam beryodium
3 Juli 2009, mengenai Percepatan untuk kebutuhan konsumsi yang sesuai
Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang dengan SNI. Garam beryodium yang

160
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

memenuhi syarat SNI didukung dengan ini menggunakan teknik purposive sampling
dikeluarkannya Peraturan Menteri yaitu peneliti menetapkan informan
Perindustrian Nomor 42/M- berdasarkan anggapan bahwa informan
IND/PER/11/2005 tentang Persyaratan dapat memberikan informasi yang
teknis pengolahan, pengemasan dan diinginkan penelitian sesuai dengan
pelabelan garam beryodium. permasalahan penelitian sebanyak 5 orang
Kabupaten Rembang merupakan (Sugiyono, 2012; 218). Sebelumnya
salah satu sentra garam yang ada di wilayah dilakukan Observasi untuk mengetahui
Jawa Tengah dengan pesisir yang memiliki Sosio kultural masyarakat, kemudian
luas lahan garam sebanyak 1.515,24 ha kesemua informan utama diwawancarai
dengan jumlah penduduk sebanyak 4.120 secara mendalam (indepth interview) untuk
orang yang bekerja disektor ini atau sebagai mendapatkan informasi yang valid, relevan
produsen garam. Pada tahun 2013 produksi dan memadai juga dilakukan Focus Group
garam di Rembang mencapai 107.121,09 ton Disscustion (FGD) untuk melengkapi
atau sekitar 6,8 persen dari kebutuhan garam informan yang sudah ada. Selanjutnya
nasional (Dinas Kelautan dan Perikanan dibutuhkan informan tambahan dan diambil
Kabupaten Rembang, 2013). dengan menggunakan teknik Snowball
Hasil penelitian Uji kandungan Sampling sebanyak 2 orang. Dari informan
yodium dalam garam dapur yang beredar tambahan tersebut kemudian diputuskan
oleh Sumandi dari UNNES pada tahun 2007 untuk menambyah satu kelompok diskusi
di Kabupaten Rembang menunjukan bahwa yang berjumlah 8 orang yang merupakan
bahwa 13 merek dagang garam rumah Kader PT PKK dan Posyandu di Kabupaten
tangga yang ada di Rembang tidak Rembang. Instrumen dalam penelitian ini
mengandung yodium. Hal ini berbeda dari adalah peneliti sendiri dengan alat bantu
label setiap kemasan yang menuliskan pengumpulan data yakni panduan
“mengandung KIO3 30-80ppm” atau wawancara. Pemeriksaan keabsahan data
“beryodium. menggunakan teknik triangulasi yaitu
Dengan adanya permasalahan membandingkan hasil wawancara yang
tersebut maka peneliti tertarik untuk merupaka data primer dengan data sekunder
melakukan penelitian dengan judul berupa data-data yang didapat serta
“Implementasi Kebijakan Tentang Yodisasi membandingkan dengan kebijakan yang
Terhadap Mutu Garam Pada Industri Garam telah ada yaitu kebijakan tentang pengadaan
Skala Kecil di Kecamatan Kaliori Kabupaten garam beryodium (Sugiyono, 2012; 241).
Rembang”. Teknik analisis data dilakukakn dengan
menggunakan model analisis Miles dan
METODE Huberman yaitu analisi Interaktif
(Sugiyono, 2012).
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan rancangan deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN
eksploratif dan hasilnya di analisis serta
disajikan secara deskriptif . Dalam penelitian Implementasi Kebijakan Pengadaan
ini terdapat dua macam informan, yaitu Beryodioum Dan Yodisasi
informan awal dan informan tambahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Penetapan informan awal dalam penelitian informan di lokasi penelitian yaitu Informan

161
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

yangmeru petani garam di Kecamatan masih mengandung NaCl di bawah standar


Kaliori Kabupaten Rembang, garam yang SNI. Berikut penuturan dari informan yang
dihasilkan oleh petani garam Rembang merupakan petani garam Kaliori :

“ kalo garam Rembang ini mbak, NaCl nya rata-rata masih 92, belum bisa 94. Masalahnya
kan petani garam di Rembang ini masih pakai cara tradisional. Lahannya diratakan, terus kalau
airnya sudah tua (25 Be) nanti disiramkan ke lahan garamnya mbak, ya kalau cuacanya panas gitu
bisa cepet mbak garamnya... “

Pada penelitian di lapangan proses garam Kecamatan Kaliori Kabupaten


pengyodisasian garam dilakukan sebagai Rembang :
berikut menurut penuturan dari produsen

“... garam krosok dari petani itu kan warnanya masih kuning, nggak putih, nah itu di cuci dulu,
dikeringkan 5-6 hari setelah di cuci baru dihaluskan menggunakan mesin, setelah itu baru di semprot
menggunakan yodium, ya kira-kira s1 Kg yodium itu dicampur dengan 30 Liter air dan di semprotkan
untuk sekitar 20 ton garam lah baru di kemas untuk garam halus atau briket...”

Kemudian penelitian yang dilakukan melakukan proses yodisasi yang berbeda


kepada produsen garam lain di Kecamatan dengan produsen garam yang lain, berikut
Kaliori Kabupaten Rembang diketahui petikan wawancaranya :

“... garam krosok dicuci, lalu di tiriskan selama 4-5 hari, kalau sudah kering disemprotkan
yodium dan dikeringkan lagi selama 5 hari, baru dihaluskan...”

Di lokasi penelitian pengolahan garam  Garam Kualitas II : merupakan sisa


masih dilakukan secara tradisional sehingga kristalisasi di atas pada kondisi
hanya memperoleh garam dengan kadar kelarutan 29,5-35 Be dengan kadar
NaCl yang rendah dan mengandung Ca dan NaCl minimal 94,7%
Mg yang relatif tinggi serta cenderung kotor  Garam Kualitas III : merupakan sisa
(impuritas tinggi). Sedangkan garam tua larutan kepekatan di atas pada
adalah garam yang diperoleh dengan proses kondisi >35 Be dengan kadar NaCl
pengkristalan yang memadai pada kondisi <94,7%
kepekatan antara 24-25 Be (Be adalah Pada kondisi lokasi penelitian garam
derajat kepekatan suatu larutan yang dapat yang dihasilkan merupakan garam kualitas
diukur dengan alat hidrometer atau III karena walaupun petani garam
Baumeter). Secara bertahap sesuai dengan mengatakan menggunakan kepekatan air 25
tingkat kepekatan larutan dan proses Be namun kadar NaCl garam yang
kristalisasi akan diperoleh : dihasilkan masih kurang dari 94,7%. Hal ini
 Garam Kualitas I : merupakan hasil disebabkan karena garam mendapat kadar
proses kristalisasi pada larutan 24- impuritas yang cukup tinggi sehingga garam
29,5 Be dengan kadar NaCl minimal menjadi kotor karena unsur-unsur ikutan
97,1% seperti bromida, magnesium, kalium dan
sulfat, pada larutan semakin sulit

162
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

terpisahkan dari senyawa NaCl. Karena di Kabupaten Rembang yang terdiri dari
tingkat impuritas yang tinggi pula garam halus dan briket tidak memenuhi
menghasilkan garam dengan tingkatan standar garam konsumsi atau kandungan
warna mulai dari warna putih transparan, yodium pada garam tidak memenuhi
putih drop dan putih kecokelatan yang standar yang telah di tetapkan.
dipengaruhi oleh kadar kotoran dan kadar Selain itu fenomena di lapangan
impuritas itu sendiri. Kotoran pada garam menunjukan bahwa produsen garam di
dapat menyebabkan menurunnya mutu Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang
garam yaitu rendahnya kadar NaCl, masih memproduksi garam krosok dan
sehingga pada garam yang kotor perlu garam briket meskipun sudah mengetahui
dilakukan pencucian untuk mendapatkan hal tersebut bertentangan dengan kebijakan
garam sesuai dengan persyaratan yang tentang pengadaan garam beryodium dan
ditentukan sebagai bahan baku pembuatan yodisasi. Hal ini dikarenakan permintaan
garam beryodium. garam dalam bentuk krosok dan briket
Faktanya di lapangan juga terlihat masih tinggi sehingga mau tidak mau
bahwa produsen garam masih ada yang produsen garam harus mengikuti
mengyodisasi garam dalam keadaan garam permintaan pasar.
krosok. Hal tersebut tentu saja bertentangan Dari informasi hasil wawancara
dengan SK Menteri Perindustrian nomor dengan informan dan penelitian di lapangan
77/M/SK/5/1995 yang mengatakan bahwa maka target dari implementasi kebijakan
dalam pencucian garam dan mengyodisasi tentang pengadaan garam beryodium di
garam dilakukan dalam keadaan halus Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang
supaya garam yang dicuci lebih bersih secara masih belum bisa memberikan apa yang
merata dan yodium yang disemprotkan akan inginkan oleh pemerintah, begitu juga pasal
lebih merata pada partikel garam yang lebih 5 yang belum terealisasikan dengan
kecil. maksimal karena tidak semua produsen
garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten
Target Yang Diinginkan Pemerintah Mengenai Rembang memiliki laboratorium pengujian
Realisasi Pengadaan Garam Dan Program mutu garam sendiri.
Yodisasi Target yang diinginkan oleh
Berdasarkan hasil pemantauan garam pemerintah dengan adanya kebijakan
di pasaran yang dilakukan oleh tim tentang pengadaan garam beryodium di
GAKKUM atau Tim Penegak Hukum Kabupaten Rembang ini adalah tercapainya
Garam Beryodium kabupaten Rembang produksi garam dengan kandungan yodium
(Lampiran 1), masih ada beberapa garam dan garam yang beredar di masyarakat yang
konsumsi yang kandungan Yodiumnya sesuai dengan Keppres No 69 tahun 1994
kurang dari standar atau malah tidak tentang Pengadaan Garam beryodium.
beryodium. Dari 11 pasar di Kabupaten Namun pada kenyataannya dari hasil
Rembang yang dilakukan pemantauan, pengujian yang dilakukan oleh Dinas
terdapat 33 merk dagang garam yang di test Perindustrian Kabupaten Rembang kepada
kandungan yodiumnya, dan dari seluruh produsen garam yang ada di Kecamatan
merk dagang yang yang telah di uji Kaliori Kabupaten Rembang dan juga
kandungan yodiumnya terdapat 13 merk garam yang beredar di pasaran Rembang di
dagang atau sekitar 40% garam yang beredar dapatkan sebanyak 7 merk dagang dari 29

163
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

merk dagang yang di produksi oleh produsen


garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten Pemahaman Masyarakat Terhadap Kebijakan
Rembang tidak memenuhi syarat. Untuk Pengadaan Garam Beryodium Dan Yodisasi
garam konsumsi yang beredar di pasaran Produsen garam di Kecamatan Kaliori
juga diketahui masih ada 13 merk dagang belum sepenuhnya paham dan mengetahui
yang tidak memenuhi syarat. Hal tersebut isi dari Keppres Nomor 69/1994 tentang
menandakan bahwa target yang diinginkan pengadaan garam, apa yang disampaikan
oleh pemerintah dengan dikeluarkannya oleh Informan yang juga merupakan
kebijakan tentang pengadaan garam produsen garam Rembang kepada peneliti
beryodium masih belum tercapai secara pada wawancara :
maksimal.

“...Ya saya nggak tau apa isi peraturan-peraturan itu, yang saya tau ada peraturan apa Perda
gitu yang jelas isinya tentang garam. Garam konsumsi
harus beryodium, kalau jelasnya apa isi peraturan itu saya kurang paham mbak...”

Selain itu petugas yang yaitu Ketua Koordinasi Tim Penegak


mengimplementasikan peraturan ini pun Hukum (GAKKUM) Kabupaten Rembang
belum tahu adanya peraturan tersebut. yang juga merupakan Kepala Bidang
Seperti yang di ungkapkan oleh informan Pemsosbud Bappeda Kabupaten Rembang :

“Wah, itu peraturan apa ya? Saya kurang tau e mbak kalo peraturan-peraturan itu jelasnya
seperti apa. Kalau peraturan itu saya baru dengar. Mungkin kalau pihak Indakop tau peraturan itu,
kan dasar kerjanya mereka dari situ. Kalau kami tau perdanya saja...”

Hakikat utama implementasi pentingnya mengonsumsi garam beryodium


kebijakan adalah memahami apa yang bagi kesehatan tubuh manusia namun nasih
seharusnya terjadi sesudah suatu program saja memproduksi dan mengonsumsi garam
dinyatakan berlaku atau dirumuskan. yang mengandung yodium kurang.
Pemahaman tersebut mencakup usaha- Penyebab dari ketimpangan tersebut adalah
usaha untuk mengadministrasikannya dan kurang tegasnya pemerintah dalam
menimbulkan dampak nyata pada menangani masalah tersebut, dan juga
masyarakat atau kejadian. Idelanya isi suatu karena budaya masyarakat yang lebih
kebijakan dapat dipahami oleh pembuat menyukai mengonsumsi garam krosok yaitu
kebijakan, pelaksana kebijakan dan juga garam yang tidak mengandung yodium
sasaran dari kebijakan tersebut. Tetapi karena selain lebih murah beberapa
paham saja belum cukup, karena unsur- mengatakan rasanya berbeda dengan garam
unsur dari kebijakan tersebut harus mengerti halus yang sudah di yodisasi.
maksud dari isi kebijakan tersebut, sehingga
dapat tercapai dari adanya kebijakan Upaya Pemerintah Dalam Meningkatkan
tersebut. Fakta yang ditemukan di lokasi Garam Beryodium
penelitian adalah pemahaman masyarakat Upaya yang dilakukan oleh
sasaran dalam hal ini produsen dan pemerintah setempat untuk meningkatkan
konsumen yang mengetahui tentang garam beryodium di Kabupaten Rembang

164
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

sudah banyak. Diantaranya adalah dengan kebijakan (Subarsono, 2013). Sama dengan
dibentuknnya GAKKUM (Penegak yang dilakukan oleh pemerintah setempat
Hukum) yang dibentuk untuk melakukan untuk menangani masalah garam
pengawasan garam beryodium yang beredar beryodium dengan membentuk Tim
dan di produksi di Kabupaten Rembang. Gakkum yang memberikan pengarahan-
Tim GAKKUM sendiri merupakan pengarahan dan penjelasan kepada para
gabungan dari beberapa Instansi yang produsen garam dan petani garam di
berwenang dalam melakukan pengawasan Kecamtan Kaliori Kabupaten Rembang
garam beryodium seperti Dinas ketika bertemu dilapangan. Bimbingan itu
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan berusaha untuk menjelaskan yang
UMKM, Bappeda, Dinas Kesehatan, Satpol sebenarnya tentang apa dan bagaimana isi
PP, dan beberapa instansi lainnya. Selain dari Kebijakan tentang Pengadaan Garam
dengan dibentuknya Gakkum sebagai salah Beryodium tersebut.
satu upaya dalam mengimplementasikan Dari keseluruhan uraian di atas
kebijakan tentang pengadaan garam mengenai ukuran yang menjadi tolok ukur
beryodium, pemerintah setempat juga implementasi dapat disimpulkan bahwa
mengadakan sosialisasi dan pembinaan dampak dari suatu penyimpangan kebijakan
terhadap masyarakat khususnya Produsen publik berimplikasi terhadap berbagai hal
garam dan petani garam mengenai garam antara lain gagalnya upaya mencapai
beryodium. GAKKUM (Penegak Hukum) sasaran maupun tujuan kebijakan, yang
dibentuk untuk melakukan pengawasan dalam konteks ini adalah kurang tercapainya
garam beryodium yang beredar dan di tujuan dari pengadaan garam beryodium.
produksi di Kabupaten Rembang. Tim Dengan demikian penyimpangan di dalam
GAKKUM sendiri merupakan gabungan implementasi kebijakan terjadi hanya
dari beberapa Instansi yang berwenang sebatas kesenjangan antara produsen garam
dalam melakukan pengawasan garam dan pihak pemerintah daerah.
beryodium seperti Dinas Perindustrian
Perdagangan Koperasi dan UMKM, Faktor-Faktor Pendorong Dan Penghambat
Bappeda, Dinas Kesehatan, Satpol PP, PKK Impelemntasi Kebijakan Tentang Pengadaan
dan beberapa instansi lainnya. Garam Beryodium Dan Yodisasi
Meter dan Horn mendefinisikan 1) Komunikasi
implementasi sebagai tindakan yang Ketika peneliti bertanya tentang
dilakukan pemerintah maupun swasta baik adanya Keppres Nomor 69/1994 tentang
secara individu maupun kelompok, yang pengadaan garam:, informan dari Bappeda
dimaksudkan untuk mencapai tujuan Kabupaten Rembang menjawab sebagai
sebagaimana dirumuskan dalam suatu berikut :

“... wah saya malah belum tau itu mbak, itu peraturan nya seperti apa ya? Itu isinya ngomongin
soal apa? Coba nanti tanya ke Indakop mbak, mungkin itu ada di tupoksinya mereka, kalau kami kan
taunya secara umum saja...”

Jika pemerintah menginginkan suatu petunjuk dari pelaksanaan kebijakan


kebijakan diimplementasikan dengan benar tersebut harus dipahami, tidak hanya
dan sebagaimana mestinya, maka petunjuk- dipahami saja tetapi juga harus jelas agar

165
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

sasaran paham maksud, tujuan dan isi dari 2) Sumberdaya


kebijakan tersebut. Sebelum kebijakan Pada kenyataannya selama ini
tersebut disampaikan dan dijelaskan kepada sebagian besar petugas yang
sasaran, tentu saja implementor atau mengimplementasikan kebijakan tentang
pelaksana harus mengerti dan paham akan pengadaan garam beryodium yang ada di
maksud dari isi kebijakan tersebut, agar Kabupaten Rembang hanya mengetahui
nantinya dapat menjelaskan sejelas-jelasnya istilah Standar pembuatan garam beryodium
kepada sasaran. Dalam hal ini kebijakan yang boleh di konsumsi oleh manusia saja
tentang pengadaan garam beryodium tidak tanpa berdasarkan pada Kepppres No. 69
disampaikan dengan jelas karena dari tahun 1994 tentang pengadaan garam
pelaksana sendiri tidak begitu mengetahui beryodium yang sebenarnya isi dari
apa isi dari kebijakan tentang pengadaan kebijakan tersebut tidak terbatas hanya pada
garam beryodium tersebut. Sosialisasi yang standarisasi garam beryodium untuk
dilakukan oleh pemerintah setempat konsumsi manusia saja.
tersesan hanya itu-itu saja atau monoton Keterbatasan petugas sendiri dalam
dengan materi yang terus memfokuskan mengetahui isi kebijakan tentang pengadaan
pada garam harus lebih dari standar minimal garam beryodium, berakibat pada
yang ditentukan. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya pengarahan yang diberikan
fakta bahwa masih ada produsen garam kepada Produsen garam tentang pokok isi
yang memproduksi dan memperjual belikan kebijakan tentang garam beryodium itu
garam tidak beryodium. sendiri.

Tabel 1.1 Komposisi Pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten


Rembang Menurut Pendidikan Formal Tahun 2010
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (%)
1. S2 8 10,5
2. S1 17 22,4
3. SLTA 48 63,2
4. SLTP 2 2,6
5. SD 1 1,3
Jumlah 76 100
Sumber : Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang

Dari data tersebut terlihat bahwa bisa menjadi faktor kritis di dalam
kondisi pendidikan formal yang dimiliki mengimplementasikan kebijakan publik.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumberdaya penting meliputi staf dengan
Kabupaten Rembang sebagian besar jumlah yang cukup, dan dengan
berpendidikan SLTA (63,2%) sehingga keterampilan untuk melakukan tugasnya
kemampuan petugas dalam memberikan serta informasinya, otoritas dan fasilitas
pengarahan mengenai implementasi yang perlu untu menerjemahkan proposal
kebijakan pengadaan garam beryodium dan pada makalah ke dalam pemberian
yodisasi masih kurang maksimal. pelayanan publik. Akibat tidak tersedianya
Menurut George Edward III tahun sumber daya yang tidak memadai, maka
1990 menyatakan bahwa : “sumber daya

166
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

akan mendatangkan rintangan terhadap petugas dalam memberikan pengarahan


implementasi kebijakan” (Subarsono, 2013). mengenai implementasi kebijakan
Berdasarkan teori yang ada dapat pengadaan garam beryodium dilihat
dirumuskan kemampuan yang dimaksud berdasarkan tingkat pendidikan pegawai
adalah kecakapan, keterampilan, dan dengan asumsi yang dibangun adalah bahwa
pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai semakin tinggi tingkat pendidikan yang
pelaksana kebijakan. Sedangkan yang dimiliki organisasi, maka kinerja organisasi
dimaksud dengan kemampuan dalam tersebut akan berhasil.
penelitian ini adalah semua potensi berupa 3) Disposisi
pengetahuan, keterampilan, pengalaman Pernyataan tersebut berbeda dengan
dan pendidikan yang dimiliki oleh petugas yang disampaikan oleh informan dari
Dinas Perindag Kabupaten Rembang dalam Bappeda Kabupaten Rembang yang
melaksanakan tugas yang dibebankan menyatakan bahwa :
kepadanya. Dalam kajian ini kemampuan

“ya untuk produsen garam yang ketawan tidak memenuhi standar itu nanti akan kita sita, kita
ambil sebagai barang bukti, kan itu ada dua polisi ya yang mengawasi, sama reskrim dan bimasnya,
bimbingan masyarakat, iya kayaknya itu istilahnya bimas. Kalo bimas itu dalam takalan nanti ada
panggilan ke pengusahanya. Selama ini masih dalam ranah pembinaan sih...”

Dari kedua pernyataan tersebut dapat program pembaharuan dibanding dengan


diketahui bahwa sikap antar petugas dalam masyarakat yang masih tertutup dan
menangani Kebijakan tentang pengadaan tradisional. Demikian juga dengan
garam beryodium ini masih belum sejalan. kemajuan teknologi akan membantu dalam
Di satu sisi ada petugas yang berusaha untuk proses keberhasilan implementasi program,
tegas dalam pengambilan keputusan atau karena program-program dapat
tindakan, namun disisi lain petugas lain disosialisasikan dan diimplementasikan
menginginkan cara yang lebih dengan baik dengan bantuan teknologi. Di
memasyarakat atau bermusyawarah dalam lokasi penelitian ini masyarakat sudah
menangani pelanggaran tersebut. Ketegasan cenderung terbuka dan modern, mereka
dalam mengimplentasikan suatu kebijaka menerima dengan baik adanya kebijakan
harusnya ditunjukan oleh petugas sebagai tentang pengadaan garam beryodium dan
bentuk konsistensi dalam menjalankan juga mendukung adanya kebijakan ini.
kebijakan. Jika petugas dinilai tidak tegas Mereka sudah paham dengan pentingnya
dalam menangani masalah yang terjadi garam beryodium untuk manusia dan
terkait dengan kebijakan yang dijalankan, kesehatan.
maka petugas akan di nilai tidak serius 5) Faktor Lainnya
dalam menjalankan kebijakan tersebut. Faktor lain yang penting dalam
4) Keadaan Lingkungan mendukung keberhasilan implementasi
Keadaan sosial dan budaya dari lokasi program pengadaan garam beryodium
sasaran kebijakan berpengaruh terhadap menurut informan adalah komitmen. Hal
penyampaian suatu isi kebijakan. tersebut diungkapkan oleh petugas
Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik pengimplementasi kebijakan yaitu informan
akan relatif mudah menerima program- dari Bappeda :

167
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

“... dari pengambil kebijakan, komintmen bersama dari perda, perbu, kalo mau menjalankan
git kalo komitmennya nggak kuat susah lho mba, kaya ini kepala bappeda juga sebenernya kan
ngomong ngapa lho masalah garam aja kok dipikirin nemen-nemen, tapi kan akhirnya di paham dan
dia tau, makanya anggaran bisa turun ...”

Pendapat tersebut senada dengan yang Kabupaten Rembang yang menuturkan


disampaikan oleh informan dari Perindakop bahwa :

“... komponen masyarakat, tidak hanya petani garam, tidak hanya produsen garam, tidak
hanya instansi pemerintah, ini kan semua tergabung dalam satu kelompok diibaratkan membentuk
satu kelmbagaan yang mereka percaya bahwa ini lho garam yang beredar di masyarakat, kalau nggak
ada komitmen dari semua institusi itu, nggak mungkin program itu akan berjalan... “

Berdasarkan hasil penelitian yang memproduksi garam krosok yang pada


dilakukan di lokasi penelitian maka faktor dasarnya adalah garam yang tidak
yang mendukung keberhasilan implementasi beryodium. (2) Faktor yang mendukung dan
kebijakan tentang pengadaan garam menghambat implementasi kebijakan
beryodium adalah Komitmen. Komitmen tentang pengadaan garam beyodium dan
dari pelaksana kebijakan menjadi faktor yodisasi di Kecamatan Kaliori Kabupaten
yang sangat mendukung keberhasilan Rembang adalah dilihat dari unsur
kebijakan tersebut, karena dengan adanya Komunikasi (Kejelasan Informasi seputar
komitmen antar pelaksana kebijakan, maka garam beryodium, Kecukupan informasi
kebijakan tersebut dapat bejalan. Apapun yang disampaikan, Ketepatan dalam
tantangan yang ada di depan, jika para menyampaikan infomasi), Sumberdaya
pelaksana kebijakan saling berkomitmen (Kemampuan petugas memberi pengarahan,
untuk menjalankan kebijakan tersebut Kemampuan petugas berkomunikasi,
dengan baik, maka mereka akan selalu jumlah personil), Disposisi (Sikap
berusaha menemukan jalan untuk mengatasi pemerintah terkait pelanggaran, Persepsi
halang rintang dalam mengimplementasikan produsen terhadap kebijakan), dan Keadaan
kebijakan tersebut. Lingkungan (Sumberdaya pelaksana dan
sasaran, Sosio kultural lokasi penelitian,
SIMPULAN Infrastruktur fisik).

Berdasarkan hasil penelitian dan UCAPAN TERIMAKASIH


pembahasan makan simpulan dalam
penelitian ini adalah (1) Garam konsumsi Terimakasih kepada Bapak Dr. H.
yang di produksi oleh produsen Rembang Harry Pramono, M. Kes Selaku Dekan
masih belum memenuhi target pemerintah Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ibu Dr.dr.
yang menginginkan hanya garam Oktia Woro Selaku Ketua Jurusan Ilmu
beryodium sesuai syarat SNI beredar di Kesehatan Masyarakat dan Dosen Penguji I,
masyarakat. Masih ada produsen garam Bapak Drs. Bambang Wahyono, M.Kes
yang memproduksi garam yang tidak selaku Penguji II dan Ibu Mardiana, S.KM,
memenuhi syarat garam konsumsi dan juga M.Si selaku Dosen Pembimbing, serta tak

168
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

lupa untuk Ayahanda (Zaenuri Abha) dan


Keputusan Menteri Perindustrian, 1995, Nomor
Ibunda (Umi Marhamah), adik-adikku dan
77/M/SK/5/1995 Tanggal 4 Mei 1995
teman-temanku yang selalu memberikan Tentang Persyaratan Teknis Pengelolahan,
motivasi dan dukungan untuk Pengemasan, dan Pelabelan Garam
menyelesaikan penelitian ini. Beryodium.

Keputusan Presiden Republik Indonesia, 1994,


DAFTAR PUSTAKA
Nomor 69 Tahun 1994 Tentang Pengadaan
Garam Beryodium.
Departemen Kesehatan RI, 2005, Akibat Kekurangan
Yodium, Jakarta : Departemen Kesehatan, Riskerdas. 2007. Laporan Nasional 2007. Badan Peneliti
2005 dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan RI.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang,
2013, Produksi Garam di Rembang. Setyawan H, 2013, Analisis Implementasi Kebijakan
Pemerintah Dalam Penghentian Suplementasi
Dinas Prindustrian Perdagangan, Koperasi dan Kapsul Iodium di Kabupaten Magelang, Kemas,
UMKM Kabupaten Rembang, 2010, Komposisi Volume II, No. 1, Tahun 2013, Hlm 41-51
Pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Rembang Menurut Pendidikan Formal. Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Teori
dan Aplikasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Juklis Pemantauan Garam Beryodium, diakses
tanggal 7 Februari 2014, 10:35 Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
(http://www.scribd.com/doc/91303778/Jukl dan R&D, Bandung : Alfabeta
is-Pemantauan-Garam-Beryodium)
Sumandi, Sri Ngabekti, 2007, Uji Kandungan Yodium
Keputusan Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Dalam Kandungan Garam Dapur yang Beredar di
2005, Nomor 42/M-IND/PER/11/2005 Kab. Rembang, Universitas Negeri Semarang.
Tentang Pengelolahan, Pengemasan dan
Pelabelan Garam Beryodium.

169
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

GAMBARAN SANITASI LINGKUNGAN DAN HIGIENE PERORANGAN


PEDAGANG JUS BUAH DI SEKARAN GUNUNGPATI SEMARANG

Tri Khuswataningrum , Eram Tunggul Pawenang

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Jus buah merupakan salah satu minuman yang digemari masyarakat dan mahasiswa. Tujuan
Diterima Januari 2015 penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sanitasi lingkungan dan higiene perorangan
Disetujui Januari 2015 pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April
Dipublikasikan Oktober 2014. Jenis dan rancangan penelitian ini deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional.
2015 Populasi penelitian ini seluruh pedagang jus buah di wilayah Kelurahan Sekaran Gunungpati
________________ Semarang. Sampel sebanyak 15 pedagang. Instrumen menggunakan lembar check list dan kuesioner.
Keywords: Analisis data dilakukan secara univariat. Hasil penelitian ini adalah menggambarkan sanitasi
Hygiene; Sanitation; Seller lingkungan, kondisi sanitasi air 53,3% buruk dan 46,7% baik, kondisi sanitasi peralatan 40% buruk
____________________ dan 60% baik, kondisi tempat sampah 33,3% buruk dan 66,7% baik, kondisi tempat penampungan
limbah 46,7% buruk dan 53,3% baik, ketersediaan bahan pembersih 53,3% buruk dan 46,7% baik.
Gambaran higiene perorangan, kebiasaan praktik mencuci tangan 46,7% buruk dan 53,3% baik, dan
kebersihan dan kesehatan diri 73,3% buruk dan 26,7% baik. Saran untuk pedagang adalah hindari
penggunaan air bersamaan dan cucilah tangan.
Abstract
___________________________________________________________________
Fruit juice is a kind of drinks that liked by people and students. The purpose of this research were to know the
description of environment sanitation and personal hygiene of fruit juice sellers in Sekaran Gunungpati
Semarang. This research worked on April 2014. This type and design of research was quantitative descriptive
with cross sectional. The population in this research were all fruit juice sellers in the area of Sekaran Gunungpati
Semarang. Samples of the research were 15 sellers. The instrument used a check list and questionnaire. Data
analysis was performed univariate. The result of this research were to describe of environmental sanitation, 53,3%
had bad and 46,7% had good water sanitation condition, 40% had bad and 60% had good sanitation equipment
condition, 33,3% had bad and 66,7% had good rubbish place condition, 46,7% had bad and 53,3% had good
waste handling place condition 53,3% had bad and 46,7% had good cleaning substance. In description of
personal hygiene, when they washed their hand 46,7% had bad 53,3% had good habit, and 73,3% had bad habit
and 26,7% had good habit in personal cleanness and health. The suggestions for sellers is to avoid the use of
water together and washing hands.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: wata.ningrum@gmail.com

170
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Makanan merupakan kebutuhan 65,2% responden memiliki sanitasi peralatan


pokok manusia, namun makanan yang tidak yang tidak baik. Dilihat dari higiene
dikelola dengan baik akan menjadi media perorangan, tidak ada pedagang yang
yang sangat efektif didalam penularan menggunakan celemek selama menjamah
penyakit pada saluran pencernaan. Sumber makanan, terdapat 86,9% responden tidak
kontaminasi makanan yang paling utama mencuci tangan saat menjamah makanan,
berasal dari pekerja, peralatan, sampah, 69,6% responden menjamah makanan
serangga, tikus, dan faktor lingkungan dengan tangan tanpa alas atau perlengkapan
seperti udara dan air. Dari sumber lain, dan responden laki-laki melakukan
kontaminasi makanan tersebut pekerja kebiasaan merokok saat menunggu pembeli.
adalah paling besar pengaruh Penelitian Agustin TE dan Adriyani R
kontaminasinya (Agustina T, 2005:2). (2007:75) pada nasi tempe penyet pedagang
Banyak kejadian keracunan makanan atau kaki lima Surabaya menyimpukan bahwa
minuman yang disebabkan oleh penjamah dari 12 responden terdapat 100% responden
makanan yang tidak bersih. Bakteri memiliki tempat sampah terbuka dengan
penyebab penyakit yang ditularkan oleh menggunakan kantong plastik. Namun
makanan atau minuman dapat bersarang responden tidak memeriksa kantong plastik
pada bagian tubuh manusia misalnya berlubang atau tidak, sehingga sampah atau
tangan, kuku, hidung, mulut, dan rambut. air lindi tercecer keluar menimbulkan bau
Disamping itu, pakaian yang tidak bersih tidak sedap dan mengundang datangnya
juga berpotensi menjadi sarang bakteri dan serangga, terdapat 75% responden tidak
menjadi tempat berpindahnya bakteri ke memakai pakaian kerja, 92% tidak memakai
makanan oleh tangan penjamah makanan celemek, dan 67% tidak memakai penutup
(Depkes RI, 2004:21). kepala.
Peralatan harus segera dibersihkan Wilayah kerja Puskesmas Sekaran
dan didesinfeksi untuk mencegah meliputi Sekaran, Kalisegoro, Ngijo,
kontaminasi silang pada makanan, baik Patemon, dan Sukorejo. Menurut laporan
pada tahap persiapan, pengolahan, bidang kesehatan lingkungan dan
penyimpanan sementara, maupun epidemiologi pada tahun 2012, angka
penyajian. Peralatan seperti pisau, talenan, kesakitan diare di Sekaran sebanyak 266
dan alat saji merupakan sumber kontaminan kasus. Angka tersebut merupakan peringkat
potensial bagi makanan (Purnawijayanti pertama di Sekaran. Sekaran merupakan
HA, 2001:33). Peralatan lain seperti blender wilayah yang tergolong banyak penduduk
serta peralatan yang bermulut lebar dan dan ramai. Banyak pendatang bertempat
terbuka harus dilindungi dari kemungkinan tinggal di Sekaran untuk melanjutkan
kontaminasi, terutama selama digunakan studinya di Semarang sebagai mahasiswa.
untuk mengolah makanan (BPOM RI, Kenyataan tersebut dapat dijadikan sebagai
2007:30). peluang usaha bagi penduduk setempat
Berdasarkan penelitian Agustina F, untuk mendirikan usaha berbagai macam
dkk, (2009:6) pada pedagang makanan minuman. Salah satu jenis minuman yang
jajanan tradisional di lingkungan Sekolah dijual dan mudah dijumpai yaitu jus buah
Dasar Palembang menyimpulkan bahwa yang banyak digemari masyarakat dan

171
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

mahasiswa Universitas Negeri Semarang kepala sebanyak 90%, tidak menggunakan


karena harga yang murah, praktis, dan kaya sarung tangan dan tidak mencuci tangan
kandungan vitamin, mineral dan enzim setelah memegang uang sebanyak 100%,
yang sangat diperlukan tubuh. Proses sebanyak 30% pedagang memakai cincin
pembuatan jus buah dimulai dari pemilihan dan tidak melepas cincin saat membuat jus
buah matang dan segar dicampur sukrosa buah. Saat akan diblender, buah hanya
yang dalam kehidupan sehari-hari disebut dicelupkan pada air dalam ember pencucian
gula pasir, susu sebagai pelengkap, es batu yang disediakan pedagang. Air diganti
serta sedikit air minum. apabila terlihat sangat kotor. Selain itu,
Dari hasil observasi awal yang dalam pembuatan jus buah 60% pedagang
dilaksanakan pada tanggal 25 April 2013 menggunakan air isi ulang (galon) dan
pada 10 pedagang jus buah di wilayah langsung dicampurkan dalam proses
Kelurahan Sekaran diketahui buah yang pembuatan jus buah, tanpa direbus terlebih
dijadikan jus bermacam-macam yaitu buah dahulu.
naga, jeruk, jambu, strawberri, anggur, Berdasarkan latar belakang di atas,
melon, alpukat, tomat, wortel, dan maka dilakukan penelitian dengan judul
sebagainya. Setelah observasi pada 10 “Gambaran Sanitasi Lingkungan dan
pedagang jus buah diketahui bahwa Higiene Perorangan Pedagang Jus Buah di
sebanyak 8 pedagang (80%) berjenis kelamin Sekaran Gunungpati Semarang”.
perempuan dan sebanyak 2 pedagang (20%)
berjenis kelamin laki-laki. Dari 10 pedagang METODE
jus buah terdapat 100% pedagang memiliki
tempat penampungan sampah yang masih Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
terbuka, 60% pedagang memiliki tempat April 2014. Jenis dan rancangan penelitian
pembuangan air limbah yang ditampung adalah penelitian deskriptif kuantitatif
pada ember dan 80% pedagang memiliki dengan pendekatan cross sectional. Sampel
tempat pencucian alat, tangan, dan buah penelitian ini seluruh total populasi
yang digunakan bersamaan pada ember pedagang jus buah di wilayah Kelurahan
pencucian. Keadaan demikian dapat Sekaran Gunungpati Semarang yang
menimbulkan bau yang tidak sedap dari air tersebar di Sekaran dan Banaran sebanyak
limbah, sampah, dan tempat pencucian 15 pedagang. Instrumen penelitian ini
sehingga mengundang datangnya lalat. adalah lembar check list dan kuesioner.
Higiene perorangan pedagang jus Analisis data dilakukan secara univariat
buah diketahui belum memenuhi syarat untuk menggambarkan sanitasi lingkungan
sesuai Kepmenkes RI Nomor dan higiene perorangan pedagang jus buah
942/Menkes/SK/VII/2003 mengenai di Sekaran Gunungpati Semarang.
higiene sanitasi makanan jajanan. Hal ini
diketahui dari hasil observasi awal pada 10 HASIL DAN PEMBAHASAN
pedagang bahwa terdapat kebiasaan
pedagang yang tidak memakai celemek Karakteristik Responden
sebanyak 80%, tidak memakai penutup

Tabel 1 Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan

172
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

No. Karakteristik Responden Kategori Jumlah Prosentase (%)


1. Jenis Kelamin Laki-laki 3 20
Perempuan 12 80
Jumlah 15 100
2. Pendidikan Pendidikan Dasar 8 53,3
Pendidikan Menengah 6 40
Pendidikan Tinggi 1 6,7
Jumlah 15 100

Pada Tabel 1 distribusi responden dasar responden sebanyak 8 responden


menurut jenis kelamin diketahui bahwa (53,3%), pendidikan menengah responden
sebanyak 3 responden (20%) berjenis sebanyak 6 responden (40%) dan pendidikan
kelamin laki-laki dan 12 responden (80%) tinggi responden sebanyak 1 responden
berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin (6,7%). Pendidikan responden paling
responden paling banyak yaitu responden banyak yaitu pendidikan dasar sebanyak 8
perempuan sebanyak 12 responden (80%) responden (53,3%) berbentuk SD (Sekolah
dan distribusi responden menurut Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah
pendidikan diketahui bahwa pendidikan Pertama).

Tabel 2 Distribusi Responden menurut Umur dan Lama Kerja


No. Karakteristik Responden Mean Median Modus
1. Umur 32 32 35
2. Lama Kerja 3 3 3

Pada Tabel 2 distribusi responden responden yaitu 3 tahun, nilai tengah lama
menurut umur diketahui bahwa rata-rata kerja responden yaitu 3 tahun, dan lama
umur responden yaitu 32 tahun, nilai tengah kerja responden paling banyak yaitu 3 tahun.
umur responden yaitu 32 tahun, dan umur
responden paling banyak yaitu 35 tahun dan Gambaran Sanitasi Lingkungan dan Higiene
distribusi responden menurut lama kerja Perorangan
diketahui bahwa rata-rata lama kerja

Tabel 3 Distribusi Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perorangan


No. Variabel Kategori Jumlah Prosentase (%)
1. Kondisi Sanitasi Air Buruk 8 53,3
Baik 7 46,7
Jumlah 15 100
2. Kondisi Sanitasi Peralatan Buruk 6 40,0
Baik 9 60,0
Jumlah 15 100
3. Kondisi Tempat Sampah Buruk 5 33,3
Baik 10 66,7
Jumlah 15 100

173
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

4. Kondisi Tempat Penampungan Buruk 7 46,7


Limbah Baik 8 53,3
Jumlah 15 100
5. Ketersediaan Bahan Pembersih Buruk 8 53,3
Baik 7 46,7
Jumlah 15 100
6. Praktik Mencuci Tangan Baruk 7 46,7
Baik 8 53,3
Jumlah 15 100
7. Kebersihan dan Kesehatan Diri Buruk 11 73,3
Baik 4 26,7
Jumlah 15 100

Kondisi Sanitasi Air Kondisi Sanitasi Peralatan


Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi
sanitasi air pada pedagang jus buah di sanitasi peralatan pada pedagang jus buah di
Sekaran Gunungpati Semarang diketahui Sekaran Gunungpati Semarang diketahui
bahwa sebanyak 8 responden (53,3%) bahwa sebanyak 6 responden (40,0%)
mempunyai kondisi sanitasi air yang buruk mempunyai kondisi sanitasi peralatan yang
dan 7 responden (46,7%) mempunyai buruk dan 9 responden (60,0%) mempunyai
kondisi sanitasi air yang baik. kondisi sanitasi peralatan yang baik.
Hasil pengamatan diketahui bahwa Hasil pengamatan diketahui bahwa 12
pada proses pembuatan jus buah terdapat 12 responden (80%) mudah dalam
responden (80%) menggunakan air isi ulang membersihkan peralatan dan sesudah
(galon) dan 3 responden (20%) tidak digunakan peralatan dibersihkan dan 3
menggunakan air isi ulang (galon). Selain responden (20%) tidak mudah dalam
itu, 8 responden (53,3%) menggunakan air membersihkan peralatan dan sesudah
sumur dan 7 responden (46,7%) tidak digunakan peralatan tidak segera
menggunakan air sumur. Responden dibersihkan. Dari 15 responden terdapat 5
merebus air sumur hingga mendidih untuk responden (33,3%) membilas peralatan
membuat jus buah sebanyak 3 responden menggunakan air mengalir dan 10
(20%) dan sebanyak 12 responden (80%) responden (66,7%) tidak menggunakan air
tanpa direbus terlebih dahulu. Persediaan air mengalir. Peralatan untuk pembuatan jus
cukup sebanyak 9 responden (60%) dan air buah dikeringkan dengan lap atau kain
tidak cukup sebanyak 6 responden (40%) kering sebanyak 8 responden (53,3%) dan 7
untuk proses pembuatan jus buah. responden (46,7%) tidak mengeringkan
Air berperan pada tahapan proses peralatan. Penelitian ini sesuai hasil
pengolahan makanan, dari merendam, penelitian Agustina F, dkk, (2009:7) bahwa
membersihkan bahan makanan, penghantar responden mengeringkan peralatan
panas selama proses pemasakan, komponen menggunakan lap untuk berbagai keperluan,
masakan seperti kuah, sirup, dan media misalnya untuk membersihkan sarana yang
pembersih peralatan, ruangan, dan pekerja kotor, mengeringkan peralatan basah,
(Fathonah S, 2005:71). bahkan untuk menyeka keringat di dahi.

174
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Tempat penyimpanan peralatan Sekaran Gunungpati Semarang diketahui


sebanyak 7 responden (46,7%) terlihat bahwa sebanyak 5 responden (33,3%)
tertutup dan sebanyak 8 responden (53,3%) mempunyai kondisi tempat sampah yang
terlihat terbuka. Peralatan diletakkan di rak buruk dan 10 responden (66,7%)
khusus sebanyak 8 responden (53,3%) dan mempunyai kondisi tempat sampah yang
peralatan tidak diletakkan di rak khusus baik.
sebanyak 7 responden (46,7%), responden Hasil pengamatan diketahui bahwa 12
meletakkan peralatan bersamaan dengan responden (80%) menyediakan tempat
buah. Kenyataan demikian memungkinkan sampah dan 3 responden (20%) tidak
datangnya lalat yang dapat menyediakan tempat sampah. Tempat
mengkontaminasi minuman dan membawa sampah yang disediakan responden tidak
penyakit khususnya pada saluran semua memenuhi syarat karena masih
pencernaan yaitu diare. terdapat tempat sampah yang kontruksinya
Kontruksi sarana penjaja harus dapat tidak kuat sebanyak 5 responden (33,3%)
melindungi makanan dari pencemaran atau dan terdapat 10 responden (66,7%) yang
debu, sesuai yang ditetapkan Kepmenkes RI menyediakan tempat sampah kontruksinya
Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 bahwa kuat. Selain itu, terdapat tempat sampah
kontruksi sarana penjaja harus mudah yang tidak mudah bocor sebanyak 9
dibersihkan, tersedia tempat air bersih, responden (60%) dan tempat sampah yang
tempat penyimpanan bahan makanan, mudah bocor sebanyak 6 responden (40%).
tempat penyimpanan makanan siap Tempat sampah yang tahan terhadap hama
disajikan, tempat penyimpanan peralatan, sebanyak 9 responden (60%) dan tidak tahan
tempat cuci alat, tangan dan bahan hama sebanyak 6 responden (40%). Tempat
makanan, dan tempat sampah. Lokasi sampah yang tertutup dengan tutup yang
jualan harus jauh dari sumber pencemar, mudah dibuka dan dibersihkan sebanyak 9
seperti pembuangan sampah terbuka, tempat responden (60%) dan tempat sampah yang
pengolahan limbah, dan jalan yang ramai terbuka sebanyak 6 responden (40%).
dengan arus kecepatan tinggi. Tempat sampah yang disediakan responden
Menurut Kepmenkes RI Nomor dapat diangkut satu orang sebanyak 12
942/Menkes/SK/VII/2003 mengenai responden (80%) dan tidak dapat diangkut
higiene sanitasi makanan jajanan satu orang sebanyak 3 responden (20%).
menyatakan bahwa peralatan untuk Pada pedagang sampah yang dihasilkan 11
mengolah dan menyajikan makanan harus responden (73,3%) dihinggapi lalat dan 4
sesuai kegunaan dan memenuhi syarat, yaitu responden (26,7%) tidak dihinggapi lalat.
peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan Lalat merupakan serangga yang paling
air bersih dan menggunakan sabun, berkaitan dengan area pengolahan makanan
peralatan dikeringkan dengan alat pengering dan area yang tercemar seperti toilet dan
atau lap bersih, kemudian peralatan timbunan sampah.
disimpan di tempat yang bebas dari Sampah yang tidak dikelola dapat
pencemaran. menimbulkan penyakit, terutama yang
ditularkan melalui tikus, lalat, dan nyamuk,
Kondisi Tempat Sampah tidak sedap dipandang mata, menyebabkan
Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi polusi udara atau bau tidak enak. Lalat,
tempat sampah pada pedagang jus buah di semut, kecoa dan hama serangga lainnya

175
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

memindahkan organisme patogen ke Limbah yang dihasilkan dari proses


makanan. Lalat memiliki kebiasaan makan pengolahan makanan dapat berupa limbah
yang buruk yaitu memuntahkan kembali padat dan limbah cair. Limbah padat dan
makanan sebelumnya ke dalam cair yang dihasilkan selama proses
makanannya untuk membantu pengolahan makanan umumnya
melembekkan. Untuk itu perlu adanya mengandung bahan organik yang
pengelolaan sampah yang tepat yaitu dimanfaatkan oleh mikroorganisme seperti
dengan menyediakan tempat sampah yang bakteri, jamur, parasit, serangga dan hewan
memenuhi syarat antara lain: kontruksi pengerat (Purnawijayanti HA, 2001:14).
kuat, tidak mudah bocor, tahan terhadap
hama, tertutup dengan tutup yang mudah Ketersediaan Bahan Pembersih
dibuka dan dibersihkan dan dapat diangkut Berdasarkan Tabel 3 distribusi
satu orang (Fathonah S, 2005:37). ketersediaan bahan pembersih pada
pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati
Kondisi Tempat Penampungan Limbah Semarang diketahui bahwa sebanyak 8
Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi responden (53,3%) mempunyai ketersediaan
tempat penampungan limbah pada bahan pembersih yang buruk dan 7
pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati responden (46,7%) mempunyai ketersediaan
Semarang diketahui bahwa sebanyak 7 bahan pembersih yang baik.
responden (46,7%) mempunyai kondisi Hasil pengamatan diketahui bahwa 12
tempat penampungan limbah yang buruk responden (80%) menggunakan sabun atau
dan 8 responden (53,3%) mempunyai bahan pembersih untuk mencuci peralatan
kondisi tempat penampungan limbah yang dan 3 responden (20%) tidak menggunakan
baik. sabun atau bahan pembersih. Jenis bahan
Hasil pengamatan diketahui bahwa pembersih yang digunakan pedagang untuk
saat dilakukan penelitian 11 responden mencuci peralatan berupa sabun cair, sabun
(73,3%) menghasilkan jenis limbah padat colek, dan deterjen. Jenis bahan pembersih
dan 4 responden (26,7%) belum berupa sabun cair yang digunakan
menghasilkan limbah padat. Jenis limbah responden untuk mencuci peralatan
cair dihasilkan oleh 9 responden (60%) dan sebanyak 9 responden (60%) dan sabun cair
6 responden (40%) belum menghasilkan yang tidak digunakan responden sebanyak 6
limbah cair. Tempat penampungan limbah responden (40%). Jenis bahan pembersih
padat yang disediakan pedagang sebanyak berupa sabun colek yang digunakan
11 responden (73,3%) dan yang tidak responden sebanyak 11 responden (73,3%)
disediakan sebanyak 4 responden (26,7%). dan yang tidak digunakan responden
Responden menampung limbah padat pada sebanyak 4 responden (26,7%). Sedangkan
ember bekas atau kantong plastik. Jenis bahan pembersih berupa deterjen yang
Sedangkan tempat penampungan limbah digunakan sebanyak 3 responden (20%) dan
cair yang disediakan pedagang sebanyak 9 yang tidak digunakan responden sebanyak
responden (60%) dan yang tidak disediakan 12 responden (80%).
sebanyak 6 responden (40%). Responden Proses pembersihan dilakukan untuk
membuang limbah cair di tanah dekat menghilangkan sisa makanan, zat gizi yang
gerobag jualannya, sehingga menimbulkan diperlukan untuk pertumbuhan
lalat. mikroorganisme dan dapat menghilangkan

176
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

populasi mikroorganisme melalui kerja fisik mengeringkan tangan dengan tissue atau kain
dari pencucian dan pembilasan (Fathonah S, kering yang bersih.
2005:60). Tangan kotor dapat memindahkan
bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses,
Praktik Mencuci Tangan atau sumber lain ke makanan. Mencuci
Berdasarkan Tabel 9 distribusi praktik tangan dengan sabun, sebagai pembersih,
mencuci tangan pada pedagang jus buah di penggosokan, dan pembilasan dengan air
Sekaran Gunungpati Semarang diketahui mengalir akan menghanyutkan partikel
bahwa sebanyak 7 responden (46,7%) kotoran yang banyak mengandung
mempunyai kebiasaan buruk dalam praktik mikroorganisme (Fathonah S, 2005:12).
mencuci tangan dan 8 responden (53,3%) Sabun yang digunakan berupa sabun cair
mempunyai kebiasaan baik dalam praktik yang lebih terjamin kebersihannya, karena
mencuci tangan. tempat sabun padat berisi genangan air
Hasil wawancara diketahui bahwa 12 sabun yang bisa menjadi tempat
responden (80%) mencuci tangan setelah pertumbuhan mikroorganisme (Depkes RI,
dari toilet dan 3 responden (20%) tidak 2004:22).
mencuci tangan. Dalam penggunaan sabun, Kuku jari tangan pada 8 responden
11 responden (73,3%) menggunakan sabun (53,3%) dipotong pendek dan 7 responden
saat mencuci tangan dan 4 responden (46,7%) tidak dipotong pendek. Kuku jari
(26,7%) tidak menggunakan sabun. Saat responden menggunakan pewarna kuku
mencuci tangan, 4 responden (26,7%) sebanyak 5 responden (33,3%) dan tidak
menggunakan air mengalir dan 11 menggunakan pewarna kuku sebanyak 10
responden (73,3%) tidak menggunakan air responden (66,7%). Saat membuat jus buah,
mengalir, hanya menggunakan air yang 5 responden (33,3%) memakai cincin tetapi
sudah ditampung pada ember untuk saat akan berjualan 4 responden (26,7%)
mencuci tangan. melepas cincin dan 10 responden (66,7%)
Saat mencuci tangan, 4 responden tidak memakai cincin.
(26,7%) menggosok bagian punggung Perhiasan yang dipakai menjadi
tangan dan 11 responden (73,3%) tidak sarang kotoran dari debu ataupun keringat
menggosok bagian punggung tangan. Pada sehingga tidak perlu dipakai sewaktu
bagian telapak tangan, terdapat 12 mengolah makanan. Tangan yang
responden (80%) menggosok bagian telapak dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci
tangan dan 3 responden (20%) tidak hingga bersih karena lekukan perhiasan dan
menggosok bagian telapak tangan. Selain permukaan kulit disekitar perhiasan tidak
itu, 6 responden (40%) menggosok secara akan sempurna pembersihannya. Kosmetik
teliti pada sela jari dan 9 responden (60%) seperti pewarna kuku, akan menjadi sumber
tidak menggosok secara teliti pada sela jari. pencemar karena kosmetik merupakan
Pada bagian di bawah kuku, 6 responden bahan racun yang mudah luntur apabila
(40%) menggosok bagian di bawah kuku dan terkena keringat sehingga berbahaya jika
9 responden (60%) tidak menggosok bagian masuk ke dalam makanan (Depkes RI,
di bawah kuku. Setelah mencuci tangan, 10 2006:209).
responden (66,7%) mengeringkan tangan
dengan tissue atau kain kering yang bersih Kebersihan dan Kesehatan Diri
dan 5 responden (33,3%) tidak

177
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Berdasarkan Tabel 10 distribusi menangani makanan harus memenuhi


kebersihan dan kesehatan diri pada persyaratan yaitu tidak menderita penyakit
pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati menular seperti, batuk, pilek, influenza, sakit
Semarang diketahui bahwa sebanyak 11 perut atau diare.
responden (73,3%) mempunyai kebiasaan Luka pada tangan pernah terjadi pada
buruk pada kebersihan dan kesehatan diri 7 responden (46,7%) dan 8 responden
dan 4 responden (26,7%) mempunyai (53,3%) tidak pernah. Luka biasanya
kiasaan baik pada kebersihan dan kesehatan disebabkan oleh pisau untuk memotong
diri. buah dan luka ditutup dengan plester.
Hasil wawancara diketahui bahwa 4 Penjamah jika luka tidak diperkenankan
responden (26,7%) memakai celemek dan 11 bekerja dan tidak boleh menyentuh bahan
responden (73,3%) tidak memakai celemek. makanan atau peralatan yang kontak
Responden secara rutin keramas 2 hari sekali dengan makanan (Agustina T, 2005:3).
sebanyak 7 responden (46,7%) dan 8
responden (53,3%) tidak keramas 2 hari SIMPULAN
sekali. Responden memakai penutup kepala
sebanyak 6 responden (40%) dan 9 Berdasarkan penelitian tentang
responden (60%) tidak memakai penutup sanitasi lingkungan pedagang jus buah di
kepala. Celemek harus bersih dan tidak Sekaran Gunungpati Semarang diperoleh
digunakan sebagai lap makanan. Celemek simpulan bahwa kondisi sanitasi air 53,3%
dilepaskan jika penjamah meninggalkan buruk dan 46,7% baik, kondisi sanitasi
tempat pengolahan makanan peralatan 40% buruk dan 60% baik, kondisi
(Purnawijayanti HA, 2001:47). Saat bekerja, tempat sampah 33,3% buruk dan 66,7%
penjamah makanan harus memakai penutup baik, kondisi tempat penampungan limbah
kepala (hair cap) dan jala rambut (hair net) 46,7% buruk 53,3% baik, ketersediaan bahan
untuk membantu mencegah masuknya pembersih 53,3% buruk dan 46,7% baik.
rambut ke dalam makanan, membantu Sedangkan penelitian tentang higiene
menyerap keringat di dahi, mencegah perorangan pedagang jus buah di Sekaran
kontaminasi bakteri Staphilococci, dan Gunungpati Semarang diperoleh simpulan
menjaga rambut bebas dari kotoran. Rambut bahwa kebiasaan praktik mencuci tangan
yang kotor akan menimbulkan rasa gatal 46,7% buruk dan 53,3% baik, dan kebersihan
pada kulit kepala sehingga mendorong dan kesehatan diri 73,3% mempunyai
untuk menggaruknya dan dapat kebiasaan buruk dan 26,7% mempunyai
mengakibatkan kotoran, ketombe, dan kebiasaan baik.
rambut jatuh ke dalam makanan serta kuku
menjadi kotor. Untuk itu, keramas harus UCAPAN TERIMA KASIH
dilaksanakan teratur (Fathonah S, 2005:17).
Saat wawancara, 2 responden (13,3%) Ucapan terima kasih kami tunjukkan
sedang sakit perut atau diare dan 13 kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan
responden (86,7%) tidak sedang sakit perut Bapak Dr. H. Harry Pramono, M.Si, Ketua
atau diare. Penelitian ini sesuai Kepmenkes Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Ibu Dr.
RI Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 dr. Hj. Oktia Woro KH, M.Kes, Dosen
mengenai higiene sanitasi makanan jajanan Pembimbing Bapak Drs. Sugiharto, M.Kes
yang menyatakan bahwa penjamah dalam dan Bapak Eram Tunggul Pawenang,

178
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

S.KM., M.Kes, Kepala Bagian Tata Usaha


BPOM RI, 2007, Sanitasi dan Higiene, Bogor: Institut
Puskesmas Sekaran, Kepala Kelurahan
Pertanian Bogor.
Sekaran, Perangkat Kelurahan Sekaran,
Responden penelitian, Bapak dan Ibu serta Depkes RI, 2004, Pedoman bagi Petugas dalam
Keluarga, dan Teman-teman atas Penyusunan Peraturan Daerah tentang
motivasinya dalam penyelesaian penelitian Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman,
Jakarta: Direktorat Penyehatan Air dan
ini.
Sanitasi, Ditjen PPM & PL.

DAFTAR PUSTAKA , 2006, Higiene Perorangan, Jakarta: Direktorat


Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal
Agustin, TE dan Adriyani, R, 2007, Higiene dan PP & PL.
Sanitasi Nasi Tempe Penyet Pedagang Kaki
Lima Jalan Karangmenjangan Surabaya, Fathonah, S, 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan,
(http://eprints.unsri.ac Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
.id/64/3/Abstrak8.pdf), diakses tanggal 20 November
2012. Kepmenkes RI, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
Agustina, F, dkk, Higiene dan Sanitasi pada Pedagang 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman
Makanan Jajanan Tradisional di Lingkungan Persyaratan Higiene Sanitasi Makanan
Sekolah Dasar di Kelurahan Demang Lebar Jajanan,(http://buk.depkes.go.id/index.php?
Daun Palembang Tahun 2009, option=com_docman&task=doc_download&
(http://eprints.unsri.ac.id/64/3/Abstrak8.pdf gid=214&Itemid=112), diakses tanggal 15
), diakses tanggal 20 November 2012. Agustus 2012.
Agustina, T, 2005, Pentingnya Higiene Penjamah
Makanan Tradisional, Proceeding Seminar Purnawijayanti, HA, 2001, Sanitasi Higiene dan
Nasional Memebangun Citra Pangan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan
Tradisonal tanggal 15 April 2005. Semarang: Makanan, Yogyakarta: Kanisius.
Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas
Teknik Universitas Negeri Semarang.

No. Pengarang Tahun


1. Agustin, TE dan Adriyani, R 2007
2. Agustina, F, dkk 2009
3. Agustina, T 2005
4. BPOM RI 2007
5. Depkes RI 2004
6. Depkes RI 2006
7. Fathonah, S 2005
8. Kepmenkes RI 2003
9. Purnawijayanti, HA 2001

179
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEMATIAN


AKIBAT DEMAM BERDARAH DENGUE

Mamluatul Hikmah , Oktia Woro Kasmini H

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Tugurejo Semarang meningkat dari
Diterima Januari 2015 tahun 2012-2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan
Disetujui Januari 2015 kejadian kematian akibat demam berdarah dengue (DBD). Jenis penelitian ini adalah survei analitik
Dipublikasikan Oktober dengan pendekatan case control. Sampel berjumlah 62 orang, 31 kelompok kasus dan 31 kelompok
2015 kontrol yang diambil dengan teknik simple random sampling. Analisis data menggunakan uji chi square
________________ dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang
Keywords: berhubungan dengan kejadian kematian akibat demam berdarah dengue (DBD) adalah umur
Dengue Haemorhaege Fever; penderita (p value=0,022, OR=3,8), pendapatan (p value=0,022, OR=3,8), akses pelayanan kesehatan
the mortality; Affliction (p value=0,019), riwayat penyakit penyerta (p value=0,021, OR=3,9), keterlambatan pengobatan
DHF DBD (p value=0,042, OR=3,3) dan derajat beratnya penyakit (p value=0,021, OR=3,9). Variabel
____________________ yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin penderita (p value=0,611) dan riwayat pernah
menderita DBD (p value=0,668). Saran bagi peneliti lain untuk menambah sampel penelitian dan
menambah variabel lain yang ada kaitannya dengan faktor yang berhubungan dengan kematian
akibat DBD.
Abstract
___________________________________________________________________
The mortality caused by Dengue Haemorhaege Fever (DHF) in RSUD Tugurejo Semarang incresed from 2012
to 2014. The objective of this study to find out factors of mortality that are caused by dengue. The research method
of this study was analitic survey by case control. In this research, the sample was 62 people where 31 people were
included in cases and the others were in controls. The sample was randomly taken by simple random sampling
technique. The data analysis used chi-square with the level of independence (α) = 0,05. The result of this research
showed that factors of mortality which were caused by dengue was age of patients (p value=0,022, OR=3,8),
income (p value=0,022), access of health care (p value=0,019), case history (p value=0,021, medical tardiness of
DHF (p value=0,042, OR=3,3) and degree of disease (p value=0,021, OR=3,9). The variables which were not
related to factors of mortality were sex of patients (p value=0,611) and case history of DHF (p value=0,668).
Some suggestions for other researchers, they may develop the similar research in different dimensions such as
adding the sample and variable which are related to factors of mortality that are caused by dengue.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: mamluatulh@yahoo.com

180
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Penyakit Dengue maupun penyakit Kota Semarang dengan total kasus 1.082
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah terdapat 38 kematian. Pada tahun 2012
penyakit infeksi yang sering berjangkit di terdapat 8 kematian dan pada tahun 2013
daerah tropis sehingga termasuk dalam meningkat menjadi 12 kematian, sedangkan
penyakit Infeksi Tropis (Tropic Infection). data sampai bulan Juli 2014 kematian
Demam Dengue (DD) atau Dengue Fever (DF) karena DBD di RSUD Tugurejo tetap tinggi
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus sebanyak 11 kematian.
dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Menurut Penelitian Sarwanto (1999)
aegypti, sedangkan DBD atau Dengue dalam Anggy Pangaribuan (2012) dan
Haemorhaege Fever (DHF) juga penyakit yang Ramaningrum G (1998) bahwa umur, jenis
disebabkan virus dengue dan disebarkan oleh kelamin dan beratnya penyakit merupakan
nyamuk Aedes aegypti yang disertai faktor terjadinya kematian pada penderita
manifestasi perdarahan dan cenderung DBD. Peneliti lain seperti Soegijanto S
menimbulkan shock dan kematian (2001), berpendapat bahwa ada hubungan
(Misnadiarly, 2009). antara beratnya penyakit, adanya renjatan
Menurut data Dinas Kesehatan Kota pada saat dibawa ke Rumah Sakit dan
Semarang, jumlah penderita DBD pada adanya perdarahan pada konsultasi awal
tahun 2010 yaitu 5.556 kasus dan 47 sebelum dikirim ke rumah sakit dengan
meninggal. Jumlah penderita yang kematian karena DBD. Berdasarkan latar
meninggal pada tahun 2011 sebanyak 10 belakang di atas, dapat diketahui rasio angka
orang dengan Case Fatality Rate (CFR) DBD kematian akibat DBD di RSUD Tugurejo
0,77 %, sedangkan pada tahun 2012 jumlah tahun 2012-2014.
penderita DBD yang mengalami kematian
sebanyak 22 orang dengan CFR 1,76% dan METODE
pada bulan Januari 2012 mengalami
Kejadian Luar Biasa (KLB) (DKK Jenis penelitian ini menggunakan
Semarang, 2012). Rumah Sakit Umum metode Survei Analitik dengan pendekatan
Daerah (RSUD) Tugurejo merupakan salah atau desain studi kasus kontrol (case control
satu rumah sakit yang berada di Kota study). Populasi dalam penelitian ini adalah
Semarang yang terdapat kasus kematian penderita DBD yang mengalami kematian
karena DBD setiap tahunnya. Pada tahun di RSUD Tugurejo Semarang pada tahun
2010-2014 RSUD Tugurejo masuk ke dalam 2012-2014 berjumlah 38 orang. Besar sampel
3 besar jumlah kematian karena DBD di dihitung dengan rumus (Dahlan S, 2009) :

2
𝑍𝛼√2PQ + 𝑍𝛽√𝑃₁𝑄₁ + 𝑃₂𝑄₂
𝑁1 = 𝑁2 = [ ]
(𝑃₁ − 𝑃₂)²

Dari rumus diatas diperoleh besar dilakukan dengan menggunakan teknik


sampel 31 orang, dengan Sampel kasus simple random sampling agar setiap individu
berjumlah 31 orang dan sampel kontrol pada setiap populasi kasus dan kontrol
berjumlah 31 orang. Pengambilan sampel mendapatkan peluang yang sama sebagai

181
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

sampel penelitian, sehingga hasil yang reliabilitas sebelum penelitian dilakukan dan
didapatkan dapat mewakili keseluruhan data rekam medik.
populasi penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam HASIL DAN PEMBAHASAN
penelitian ini adalah panduan wawancara
terstruktur yang telah diuji validitas dan Adapun hasil penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1 :

Tabel 1. Hasil Penelitian


Status Responden
Jumlah
No Variabel Kategori Meninggal Hidup P value OR 95%CI
n % n % n %
Anak-anak 22 71 12 38,7 40 64,5
Remaja+Dew 9 29 19 61,3 22 35,5 3,87
1. Umur Penderita 0,022
asa 1,34-11,17
Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0
Laki-laki 14 45,2 17 54,8 31 50
Jenis Kelamin 0,67
2. Perempuan 17 54,8 14 45,2 31 50 0.611
Penderita 0,24-1,84
Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0
Rendah 21 67,7 11 35,5 32 51,6
3,8
3. Pendapatan Tinggi 10 32,3 20 64,5 30 48,4 0,022
1,33-10,94
Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0
Akses Mudah 14 45,2 24 77,4 38 61,3
0,24
4. Pelayanan Susah 17 54,8 7 22,6 24 38,7 0,019
0,08-0,72
Kesehatan Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0
Pernah 4 12,9 2 6,5 6 9,7
Riwayat pernah 2,14
5. Tidak pernah 27 87,1 29 93,5 56 90,3 0,668
DBD 0,36-12,69
Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0
Riwayat Ada 18 58,1 8 25,8 26 41,9
3,98
6. Penyakit Tidak ada 13 41,9 23 74,2 36 58,1 0,021
1,35-11,66
Penyerta Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0
Ya 21 67,7 12 38,7 33 53,2
Keterlambatan Tidak 10 32,3 19 61,3 29 46,8 3,32
7. 0,042
Pengobatan 1,17-9,44
Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0
Derajat Ringan 18 58,1 8 25,8 26 41,9
3,98
8. Beratnya Berat 13 41,9 23 74,2 36 58,1 0,021
1,35-11,66
Penyakit Jumlah 31 100,0 31 100,0 62 100,0

Umur Penderita sebanyak 22 responden dengan persentase


Berdasarkan hasil penelitian yang sebesar 35,5%.
dilakukan, sebagian besar responden dengan Berdasarkan hasil uji statistik Chi
kategori anak-anak yaitu 40 responden Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
dengan persentase sebesar 64,5%, sedangkan ada hubungan antara umur penderita
responden dengan kategori remaja+dewasa dengan Kejadian Kematian Akibat DBD

182
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

dengan nilai p = 0,022 (p < 0,05). Responden Upaya kejadian kematian akibat DBD juga
yang mengalami kematian cenderung dipengaruhi oleh kondisi rumah responden
memiliki umur dengan kategori anak-anak yang jauh dari kategori sehat banyak
(71%) sedangkan responden yang hidup genangan air disekitar rumah tersebut.
cenderung memiliki umur dengan kategori
Remaja+Dewasa (61,3%). Dari hasil Jenis Kelamin Penderita
analisis diperoleh pula nilai OR = 3,870 (OR Berdasarkan hasil penelitian yang
> 1) dengan interval 1,341-11,172 (tidak dilakukan, jumlah responden dengan jenis
mencakup angka 1), artinya penderita kelamin laki-laki yaitu 31 responden dengan
dengan kategori anak-anak memiliki risiko persentase 50%, dan responden dengan jenis
3,8 kali mengalami kejadian kematian akibat kelamin perempuan juga sebanyak 31
DBD dibandingkan dengan penderita responden dengan persentase 50%.
dengan kategori remaja+dewasa. Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Sarwanto tidak ada hubungan antara jenis kelamin
(1999) dalam Anggy Pangaribuan (2012) penderita dengan Kejadian Kematian
dan Ramaningrum G (1998) bahwa umur Akibat DBD dengan nilai p = 0,611 (p >
merupakan faktor terjadinya kematian pada 0,05). Responden yang mengalami kematian
penderita DBD. Hasil penelitian ini juga cenderung memiliki jenis kelamin
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh perempuan (54,8%) sedangkan responden
Gamble dkk, (2000:215) bahwa umur yang hidup cenderung memiliki jenis
merupakan faktor risiko terjadinya dengue kelamin laki-laki (54,8%).
berat dan kematian. Anak mempunyai Hasil penelitian ini tidak sesuai
faktor risiko yang lebih tinggi untuk dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
mengalami DBD dibandingkan dengan Sarwanto (1999) dalam Anggy Pangaribuan
orang dewasa. Hal ini dimungkinkan karena (2012) dan Ramaningrum G (1998) bahwa
pembuluh darah bayi dan anak-anak lebih jenis kelamin merupakan faktor terjadinya
permeable (berpori) dibandingkan dengan kematian pada penderita DBD dan menurut
dewasa. Menurut Maria Guzman dkk, Kouri dkk, (1981) Penelitian di Kuba DBD
(2002) untuk infeksi sekunder, terdapat pada orang dewasa lebih banyak terjadi pada
hubungan yang erat antara umur dengan perempuan baik itu kasusnya ataupun
kematian, dimana anak umur 3-4 tahun kejadian kematiannya. Penelitian ini sesuai
berisiko 3 kali dibanding umur 5-9 tahun, dengan penelitian Rampengan, (2007) tidak
dan berisiko 5 kali dibanding dengan umur terdapat perbedaan antara jenis kelamin
10-14 tahun. penderita demam berdarah dengue tetapi
Berdasarkan hasil penelitian yang kematian lebih banyak ditemukan pada anak
telah dilakukan, ditemukan bahwa ada perempuan daripada anak laki-laki,
perbedaan antara kejadian kematian akibat sedangkan menurut Huang et al, (2001)
DBD antara responden yang masih penyakit infektius yang berakibat kematian
berumur anak-anak dengan remaja dan banyak terjadi pada laki-laki daripada
dengan yang sudah dewasa. Responden perempuan.
yang meninggal pada kategori anak-anak Berdasarkan penelitian ini, terdapat 14
lebih banyak daripada responden yang responden meninggal yang memiliki jenis
meninggal pada kategori remaja+dewasa. kelamin laki-laki sebagian besar dalam

183
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

kategori anak-anak dan 17 responden kontrol berbeda. Pendapatan kelompok


meninggal yang memiliki jenis kelamin kasus rata-rata rendah <UMK, sedangkan
perempuan sebagian besar dalam kategori Pendapatan kelompok kontrol rata-rata
anak-anak. tinggi >UMK. Responden yang memiliki
pendapatan rendah sebagian besar tinggal di
Pendapatan pedesaan dengan status ekonomi yang
Standar pendapatan yang digunakan rendah. Mereka mendapatkan uang dengan
dalam penelitian ini sesuai dengan UMK mengandalkan pekerjaannya sebagai buruh,
(Upah Minimum Kota) Semarang sebesar ada yang buruh bangunan, tukang rongsok
Rp. 1.209.100 per bulan. Berdasarkan hasil dan supir, sehingga pendapatan yang
penelitian yang dilakukan, sebagian besar mereka terima pun hasilnya relatif kecil dan
responden memiliki pendapatan rendah tidak menentu, dalam penelitian ini juga
<UMK yaitu 32 responden dengan responden yang diteliti sebagian besar
persentase 51,6%, dan responden dengan kurang mengetahui gejala DBD dan
pendapatan tinggi >UMK yaitu sebanyak 30 menganggap panas itu biasa hingga mereka
responden dengan persentase 48,4%. akhirnya memeriksakan keluarganya setelah
Berdasarkan hasil uji statistik Chi beberapa hari dan sudah terlambat.
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
ada hubungan antara pendapatan dengan Akses Pelayanan Kesehatan
Kejadian Kematian Akibat DBD dengan Berdasarkan hasil penelitian yang
nilai p = 0,022 (p < 0,05). Responden yang dilakukan, sebagian besar responden
mengalami kematian cenderung memiliki memiliki akses pelayanan kesehatan mudah
pendapatan rendah yaitu <UMK (67,7%) yaitu 38 responden dengan persentase
sedangkan responden yang hidup cenderung 61,3%, dan responden dengan akses
memiliki pendapatan tinggi yaitu >UMK pelayanan kesehatan susah yaitu sebanyak
(64,5%). Dari hasil analisis diperoleh pula 24 responden dengan persentase 38,7%.
nilai OR = 3,818 (OR > 1) dengan interval Berdasarkan hasil uji statistik Chi
1,332-10,942 (tidak mencakup angka 1), Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
artinya penderita yang memiliki pendapatan ada hubungan antara akses pelayanan
rendah yaitu <UMK memiliki risiko 3,8 kali kesehatan dengan Kejadian Kematian
mengalami kejadian kematian akibat DBD Akibat DBD dengan nilai p = 0,019 (p <
dibandingkan dengan penderita yang 0,05). Responden yang mengalami kematian
memiliki pendapatan tinggi yaitu >UMK. cenderung memiliki akses pelayanan
Responden dalam penelitian ini kesehatan dengan susah (54,8%) sedangkan
sebagian besar menggunakan asuransi responden yang hidup cenderung memiliki
kesehatan berupa Jamkesda, Jamkesmas akses pelayanan kesehatan dengan mudah
dan BPJS. Menurut Soemirat J, (2000:109) (77,4%).
Kebiasaan, kualitas lingkungan, Penelitian ini sesuai dengan
pengetahuan keberadaan sumber daya Notoatmodjo S, (2010:108) kemudahan
materi sehingga efek agent terhadap status penderita DBD untuk menjangkau
sosial ekonomi akan berbeda pula. pelayanan kesehatan dari tempat tinggalnya,
Berdasarkan hasil penelitian, baik dari segi transportasi, jarak dan lama
pendapatan keluarga yang dimiliki oleh waktu tempuh. Pasien keluarga miskin
responden kelompok kasus dan kelompok ternyata tak mudah mengakses pelayanan

184
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

jaminan kesehatan yang disediakan bagi sebelum terinfeksi oleh dengue serotipe lain
mereka. Akses ke pelayanan kesehatan dalam jarak waktu tertentu, dan infeksi yang
disini lebih dikaitkan dengan individu kedua oleh serotipe DEN-2. Teori ini disebut
anggota masyarakat yang mengalami sebagai The Secondary Heterologus Infection
masalah kesehatan atau sakit dalam upaya Hypothesis. Menurut Halstead (1980) atau
mencari atau menggunakan pelayanan teori infeksi sekunder menunjukkan DEN-3
kesehatan yang tersedia di masyarakat. merupakan serotipe virus yang dominan dan
Berdasarkan hasil penelitian yang yang menyebabkan kasus berat. Sebagai
telah dilakukan, 54,8% responden yang contoh adanya infeksi sekunder yakni
meninggal memiliki jarak rumah yang jauh seseorang dapat menderita DBD bila
dengan pelayanan kesehatan. Jarak rumah mendapat infeksi ulangan tipe virus yang
yang jauh ke tempat pelayanan kesehatan berbeda. Misalnya infeksi pertama oleh virus
juga dipengaruhi dengan tidak adanya alat DEN-1 menyebabkan terbentuknya antibodi
transportasi atau yang dimiliki oleh DEN-1. Apabila kemudian terkena infeksi
responden, ada yang jalan kaki serta berikutnya oleh virus DEN-2 dalam waktu 6
lamanya waktu tempuh untuk menuju bulan sampai 5 tahun pada sebagian yang
puskesmas atau tempat pelayanan mendapat infeksi ke-2 itu dapat terjadi suatu
kesehatan, dengan kata lain akses responden reaksi imunologis antara virus DEN-2
dari rumah menuju tempat pelayanan sebagai antigen dengan antibodi DEN-1
kesehatan masih susah. yang dapat mengakibatkan gejala DBD.
Dari 62 responden, sebagian besar
Riwayat pernah DBD responden tidak pernah mengalami penyakit
Berdasarkan hasil penelitian yang DBD.
dilakukan, sebagian besar responden tidak
memiliki riwayat pernah DBD yaitu 56 Riwayat Penyakit Penyerta
responden dengan persentase 90,3%, dan Berdasarkan hasil penelitian yang
responden yang memiliki riwayat pernah dilakukan, sebagian besar responden tidak
DBD yaitu sebanyak 6 responden dengan memiliki riwayat penyakit penyerta yaitu 36
persentase 9,7%. responden dengan persentase 58,1%, dan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi responden yang memiliki riwayat penyakit
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penyerta yaitu sebanyak 26 responden
tidak ada hubungan antara riwayat pernah dengan persentase 41,9%.
DBD dengan Kejadian Kematian Akibat Berdasarkan hasil uji statistik Chi
DBD dengan nilai p = 0,668 (p > 0,05). Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
Responden yang mengalami kematian ada hubungan antara riwayat penyakit
cenderung tidak memiliki riwayat pernah penyerta dengan Kejadian Kematian Akibat
DBD (87,1%) sedangkan responden yang DBD dengan nilai p = 0,021 (p < 0,05).
hidup juga cenderung tidak memiliki Responden yang mengalami kematian
riwayat pernah DBD (93,5%). cenderung memiliki riwayat penyakit
Penelitian ini tidak sesuai dengan penyerta (58,1%) sedangkan responden yang
penelitian di Thailand yang menunjukan hidup cenderung tidak memiliki riwayat
bahwa faktor host mempengaruhi berat penyakit penyerta (74,2%). Dari hasil
ringannya penyakit. DBD hanya terjadi analisis diperoleh pula nilai OR = 3,981 (OR
apabila seseorang memiliki virus dengue > 1) dengan interval 1,358-11,666 (tidak

185
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

mencakup angka 1), artinya responden yang responden dewasa dan demam thypoid pada
memiliki riwayat penyakit penyerta anak-anak.
memiliki risiko 3,9 kali mengalami kejadian
kematian akibat DBD dibandingkan dengan Keterlambatan Pengobatan
responden yang tidak memiliki riwayat Berdasarkan hasil penelitian yang
penyakit penyerta. dilakukan, sebagian besar responden
Penelitian ini sesuai dengan penelitian mengalami keterlambatan pengobatan yaitu
Kouri dkk (1981:377), di Kuba telah 33 responden dengan persentase 53,2%, dan
menggambarkan suatu peningkatan responden yang tidak mengalami
hubungan antara kematian dengan riwayat keterlambatan pengobatan yaitu sebanyak
penyakit kronik seperti asma bronchial, sickle 29 responden dengan persentase 46,8%.
cell anemia, dan kemungkinan diabetes Berdasarkan hasil uji statistik Chi
mellitus. Pada anak yang mengalami asma Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
bronchial berisiko 2 kali untuk mengalami ada hubungan antara keterlambatan
kematian, namun pada orang dewasa tidak pengobatan dengan Kejadian Kematian
menggambarkan hubungan yang signifikan. Akibat DBD dengan nilai p = 0,042 (p <
Sickle cell anemia pada anak tidak 0,05). Responden yang mengalami kematian
berhubungan dan pada orang dewasa cenderung mengalami keterlambatan
memiliki hubungan yang signifikan dengan pengobatan (67,7%) sedangkan responden
nilai p<0,01. Penelitian ini juga sesuai yang hidup cenderung tidak mengalami
dengan penelitian Chuansumrit dan keterlambatan pengobatan (61,3%). Dari
Tangnararatchakit (2005) dalam Anggy hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,325
Pangaribuan (2012), Faktor penyakit (OR > 1) dengan interval 1,171-9,442 (tidak
penyerta seperti thalassemia, defisiensi mencakup angka 1), artinya responden yang
enzim G6PD, penyakit jantung merupakan mengalami keterlambatan pengobatan
risiko tinggi untuk terjadinya kematian memiliki risiko 3,3 kali mengalami kejadian
karena DBD. kematian akibat DBD dibandingkan dengan
Berdasarkan penelitian, sebagian besar responden yang tidak mengalami
penyakit penyerta DBD yang diderita keterlambatan pengobatan.
kelompok kasus adalah Diare yang dialami Dalam penelitian ini, ada variabel
pada responden dengan kategori anak-anak, yang berperan sebagai perancu atau
Demam thypoid dialami pada anak-anak, pengganggu yaitu variabel derajat beratnya
gastritis pada anak-anak dan dewasa, TBC penyakit yang merancukan hubungan antara
pada anak-anak, diabetes melitus dan keterlambatan pengobatan dengan kejadian
penyakit jantung koroner pada responden kematian akibat DBD, sehingga untuk
dewasa. Sedangkan penyakit penyerta yang mengendalikan variabel derajat beratnya
diderita pada responden kelompok kontrol penyakit dilakukan dengan menggunakan
yaitu diare pada anak-anak dan remaja, teknik analisis berstrata. Adapun hasil
gastritis pada remaja, diabetes mellitus pada analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :

Tabel 2. Crosstab Hubungan antara Kejadian Kematian Akibat DBD dengan


Keterlambatan Pengobatan DBD Berdasarkan Derajat Beratnya Penyakit

186
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Keterlambatan Pengobatan
Derajat
DBD Jumlah
Beratnya Status Responden OR 95%CI
Ya Tidak
Penyakit
N % N % N %
Meninggal 16 64 8 32 24 48
3,778
Ringan Hidup 9 36 17 68 26 52
1,170-12,194
Jumlah 25 100,0 25 100,0 50 100,0
Meninggal 5 62,5 2 50 7 58,3 1,667
Berat Hidup 3 37,5 2 50 5 41,7 0,147-18,874
Jumlah 8 100,0 4 100,0 12 100,0

Berdasarkan hasil analisis berstrata kejadian kematian akibat DBD karena OR


mengenai hubungan antara kejadian kasar > OR (2) (3,3 > 1,6), maka terdapat
kematian akibat DBD dengan keterlambatan kerancuan yang memperbesar hubungan
pengobatan DBD berdasarkan derajat keterlambatan pengobatan DBD dengan
beratnya penyakit, diperoleh nilai OR (1) = kejadian kematian akibat DBD yang
3,7 yang artinya responden yang mengalami sesungguhnya.
keterlambatan pengobatan DBD dan Responden dikatakan terlambat
mengalami penyakit ringan memiliki risiko apabila ketika masuk ke pelayanan
3,7 kali mengalami kematian akibat DBD kesehatan sudah dalam keadaan syok
dibandingkan dengan responden yang tidak hipotensif (tekanan darah rendah) bahkan
mengalami keterlambatan pengobatan DBD sampai mengalami pendarahan. Para
dan mengalami penyakit berat. Setelah orangtua menganggap panas itu biasa
mengontrol hubungan derajat beratnya hingga mereka akhirnya memeriksakan
penyakit, ternyata mengalami keluarganya setelah beberapa hari dan sudah
keterlambatan pengobatan DBD terlambat yang menyebabkan kematian.
meningkatkan risiko kejadian kematian Berdasarkan penelitian, sebagian besar
akibat DBD karena OR kasar < OR (1) (3,3 responden mengalami keterlambatan dalam
< 3,7), maka terdapat kerancuan yang pengobatan DBD ke pelayanan kesehatan.
memperkecil hubungan keterlambatan Pada kelompok kasus ketika dibawa ke
pengobatan DBD dengan kematian akibat rumah sakit dalam keadaan lemah, tekanan
DBD yang sesungguhnya. darah rendah bahkan ada yang sudah terjadi
Hasil analisis berstrata juga pendarahan seperti mimisan dan muntah
menghasilkan OR (2) = 1,6 yang artinya darah. Selain itu, dari responden kasus 14
responden yang mengalami keterlambatan diantaranya mengalami meninggal < 48 jam
pengobatan DBD dan mengalami penyakit dan rata-rata dirawat < 3 hari bahkan ada
berat memiliki risiko 1,6 kali mengalami responden yang dirawat hanya 1 hari dan
kejadian kematian akibat DBD dibandingkan akhirnya meninggal, kemudian 17
dengan responden yang tidak mengalami responden diantaranya mengalami
keterlambatan pengobatan DBD dan meninggal > 48 jam dan dirawat > 3 hari.
mengalami penyakit berat. Setelah
mengontrol hubungan beratnya penyakit, Derajat Beratnya penyakit
ternyata mengalami keterlambatan Berdasarkan hasil penelitian yang
pengobatan DBD tidak meningkatkan risiko dilakukan, sebagian besar responden

187
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

mengalami penyakit berat (Derajat 3 dan 4)


yaitu 36 responden dengan persentase SIMPULAN
58,1%, dan responden yang mengalami
penyakit ringan (Derajat 1 dan 2) yaitu Berdasarkan hasil penelitian mengenai
sebanyak 26 responden dengan persentase faktor yang berhubungan dengan kejadian
41,9%. kematian akibat DBD di RSUD Tugurejo
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Semarang, diperoleh simpulan sebagai
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa berikut: (1) Sebagian besar responden
ada hubungan antara derajat beratnya memiliki kategori umur anak-anak (64,5%),
penyakit dengan Kejadian Kematian Akibat jenis kelamin laki-laki (50%) dan jenis
DBD dengan nilai p = 0,021 (p < 0,05). kelamin perempuan (50%), pendapatan
Responden yang mengalami kematian rendah <UMK (51,6%), akses pelayanan
cenderung mengalami penyakit ringan kesehatan susah (38,7%), riwayat tidak
(Derajat 1 dan 2) (58,1%) sedangkan pernah menderita DBD (90,3%), riwayat
responden yang hidup cenderung memiliki penyakit penyerta (41,9%),
mengalami penyakit berat (Derajat 3 dan 4) keterlambatan pengobatan DBD (53,2%)
(74,2%). Dari hasil analisis diperoleh pula dan mengalami penyakit berat (58,1%). (2)
nilai OR = 3,981 (OR > 1) dengan interval Tidak ada hubungan antara jenis kelamin,
1,358-11,666, artinya responden yang riwayat pernah menderita DBD dengan
mengalami penyakit berat memiliki risiko kejadian kematian akibat DBD. (3) Ada
3,9 kali meninggal dibandingkan responden hubungan antara umur penderita, jenis
yang mengalami penyakit ringan. kelamin penderita, pendapatan, akses
Penelitian ini sesuai dengan penelitian pelayanan kesehatan, riwayat pernah DBD,
Sarwanto (1999) dalam Anggy Pangaribuan riwayat penyakit penyerta penderita,
(2012) dan Soegijanto S (2001) yang keterlambatan pengobatan penderita DBD
menunjukan bahwa beratnya penyakit dan derajat beratnya penyakit dengan
merupakan faktor terjadinya kematian pada kejadian kematian akibat DBD.
penderita DBD. Setelah dilakukan analisis
berstrata, terbukti bahwa derajat beratnya UCAPAN TERIMA KASIH
penyakit merancukan keterlambatan
pengobatan DBD. Ucapan terima kasih kami tunjukkan
Berdasarkan penelitian, pada kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan,
responden yang meninggal terdapat 18 Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,
responden yang mengalami penyakit ringan Dosen Pembimbing, Keluarga, serta Teman-
(Derajat 1 dan 2), dari data rekam medik teman yang telah memberi bantuan dan
responden pada derajat 1 dan 2 memiliki motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.
gejala panas berlangsung 2-7 hari, badan
terasa sakit, nyeri otot serta kejang-kejang DAFTAR PUSTAKA
pada anak. Sedangkan pada derajat 3 dan 4
Dahlan S, 2009, Besar Sampel dan Cara Pengambilan
memiliki gejala pendarahan seperti mimisan
Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan
dan muntah darah, tekanan nadi cepat dan Kesehatan, Jakarta : Salemba Medika.
lemah, ada juga responden yang nadinya
tidak teraba bahkan tekanan darah tidak Dinkes Kota Semarang. 2012. Rekapitulasi Penderita
dapat diukur serta gagal napas. DBD Kota Semarang Tahun 2012.

188
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Cuban Epidemic, WHO Bulletin OMS.


Gamble, J, et al. 2000. Age – related Changes in Vol:67. hal 375-380. diakses pada 25 Mei 2014
Microvascullar Permeability : a Significant (www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2805215).
Factors in the Suscepbility of Children to
Shock, Clinical Science. Vol:98. hal 211-216. Misnadiarly. 2009. Demam Berdarah Dengue (DBD)
diakses pada 25 Mei 2014 (http://www-05.all- : Ekstrak Daun Jambu Biji Bisa untuk
portland.net/cs/098/0211/0980211.pdf). Mengatasi DBD. Jakarta: Pustaka Populer
Obor.
Guzman, Maria, et al. 2004. Dengue diagnosis,
advances and challenges, International Journal Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian
of Infectious Diseases. Vol:8. hal 69-80. diakses Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
pada 3 maret 2014
(http://www.ijidonline.com/article/S1201- Pangaribuan A. 2012. Faktor Prognosis Kematian
9712%2802%2990072-X/abstract). pada Dengue Shock Syndrome pada Anak.
Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Halstead SB. 2001. Haiti: Absence of Dengue
Hemorrhagic Fever Despite Hyperendemic Ramaningrum G. 1998. faktor hematologi yang
Dengue Virus Transmission, mempengaruhi kematian pada penderita DSS.
Am.J.Trop.Med.Hyg. Vol:3, hal 180-183. Tesis. UNDIP.
diakses pada 25 Mei 2014
(http://biosurveillance.typepad.com/files/hy Rampengan TH. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada
perendemic-dengue-in-haiti.pdf). Anak. Jakarta: EGC

Huang YH, et al. 2001. Activation of Coagulation and Soegijanto S. 2001. Faktor-faktor resiko yang
Fibrinolysis During Dengue Virus Infection. mempengaruhi kematian pada penderita
Journal of Medical Virology. Vol:63. hal 247- demam berdarah dengue. Tesis. Universitas
251. diakses pada 3 maret 2014 Airlangga, Surabaya.
(http://140.116.203.51/site2/ocwCoursePPT
/61JBS20018377.pdf). Soemirat J. 2000. Epidemiologi Lingkungan.
Bandung: Gajah Mada University Press.
Kouri, GP, et al. 1981. Dengue Hemorrhagic Fever /
Dengue Shock Syndrome : Lessons from the

189
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

GAMBARAN KECEMASAN TERHADAP KEMAMPUAN SEKS PADA


AKSEPTOR KONTRASEPSI MANTAP PRIA/VASEKTOMI
(Studi di Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang)

Ahmad Dzakia Faris , Sofwan Indarjo

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Vasektomi merupakan metode kontrasepsi dengan jumlah akseptor terkecil secara umum.
Diterima Januari 2015 Vasektomi dapat mengurangi kecemasan akan terjadinya kehamilan, namun diikuti dengan
Disetujui Januari 2015 kecemasan lain yang dapat muncul yaitu kecemasan terhadap potensi seksual dan kecemasan akan
Dipublikasikan Oktober kemampuan fungsi sebagai pria akan terganggu pasca kontrasepsi mantap. Penelitian ini
2015 menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan informan purposive
________________ sampling. Informan utama berjumlah 4 orang dan informan triangulasi berjumlah 4 orang. Teknik
Keywords: pengambilan data menggunakan teknik wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Hasil
Anxiety; Secure penelitian ini adalah : Pertama, Kecemasan terhadap potensi seks yang dialami oleh akseptor
contraceptive; Sex; Vasektomi di Kecamatan Gunung Pati masih berada dalam fase adaptif. Kedua, Kecemasan
Vasectomy terhadap menurunnya potensi seksual tidak berdampak signifikan pada kehidupan seksual
____________________ akseptor vasektomi karena hal tersebut tidak terbukti terjadi secara langsung pada akseptor
vasektomi. Bagi masyarakat disarankan agar lebih aktif untuk menggali informasi-informasi
dengan mengikuti penyuluhan-penyuluhan, menambah sumber bacaan agar tidak mudah
terpengaruh oleh mitos-mitos yang salah.
Abstract
___________________________________________________________________
Vasectomy is a method of contraception with the lowest number of acceptors. Vasectomy can reduce the anxiety
of pregnancy but followed with other anxiety which can appear such as anxiety against sexual potency and
anxiety against decreasing function as men after secure contraceptive. This type of research was applied
qualitative study method with receipt of the informants used purposive sampling method. The informants in
this research consist of 4 vasectomy acceptors, 4 vasectomy acceptors wife as informants triangulation. The
information collection technique used an in-depth interviews, and study documentation. The result of this
research were: the first, anxiety about the potential sex experienced by vasectomy acceptors gunungpati district
still in adaptive phase. Second, anxiety against the decline in sexual potency sexual life had no significant
impact on vasectomy acceptors because it was not proved happened directly at vasectomy acceptors. It was
recommended for people to be more active to search information by following the counseling, increase source of
reading to be unaffected by wrong myth.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: adzfaris@yahoo.co.id

86
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Program Keluarga Berencana pria/vasektomi (Handayani, 2010).


nasional merupakan program Berdasarkan data yang diperoleh dari SDKI
pembangunan sosial dasar yang sangat tahun 2012 akseptor MOP sebanyak 0,3%
penting artinya bagi pembangunan nasional sedangkan akseptor kondom sebanyak
dan kemajuan bangsa. Program Keluarga 3,1%. Pada tahun 2013 akseptor MOP
Berencana (KB) adalah upaya peningkatan sebanyak 0,25% sedangkan akseptor
kepedulian dan peran serta masyarakat kondom sebanyak 5,95 %. Sedangkan
melalui pendewasaan usia perkawinan, untuk wilayah Jawa Tengah pada tahun
pengaturan kelahiran, pembinaan 2012 akseptor MOP sebanyak 0,2% dan
ketahanan keluarga serta peningkatan akseptor kondom sebanyak 5,1% (BPS,
kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan 2013). Pada tahun 2013 akseptor MOP
keluarga kecil bahagia dan sejahtera. sebanyak 0,30% sedangkan akseptor
Gerakan Keluarga Berencana Nasional kondom sebanyak 6,17%. Data ini
selama ini telah berhasil mendorong menunjukkan bahwa peranan pria dalam
peningkatan peran serta masyarakat dalam mengikuti kontrasepsi masih sangat kecil
membangun keluarga kecil yang semakin jika dibandingkan dengan peranan wanita
mandiri. Keberhasilan ini mutlak harus dalam keikutsertaan dalam KB
diperhatikan bahkan terus ditingkatkan (BALITBANGKES KEMENKES RI,
karena pencapaian tersebut belum merata 2013).
(Hartanto H, 2004). Akseptor KB aktif MOP untuk
Akseptor Keluarga Berencana adalah kecamatan Gunungpati pada tahun 2013
pasangan usia subur yang sedang adalah sebanyak 47 orang sedangkan untuk
menggunakan salah satu metode atau alat peserta KB baru pada tahun 2013 adalah
kontrasepsi. Pria maupun wanita dapat sebanyak 5 orang dan berdasarkan angka
berperan sebagai akseptor KB, tetapi sejauh tersebut kecamatan Gunungpati merupakan
ini peranan pria sebagai akseptor KB masih kecamatan dengan CPR (Contraceptive
sangat rendah hal ini terbukti dengan Prevalence Rate) terkecil (0,31%) untuk
adanya prevelensi KB menurut alat atau wilayah Kota Semarang.
cara ber-KB berdasarkan data dari Berdasarkan laporan pelaksanaan
RISKESDAS 2013 menunjukan bahwa program kependudukan dan keluarga
proporsi pengguna KB di Indonesia adalah berencana dari BAPERMASPER & KB
59,7%. Diantaranya akseptor pria hanya Kecamatan Gunungpati tahun 2013 peserta
sebanyak (6,15%). Dalam penggunaan KB aktif kecamatan Gunungpati untuk
kontrasepsi kebanyakan orang berfikir dan akseptor IUD 727 jiwa (6.31%), akseptor
menyerahkan tanggung jawab hanya untuk kondom sebanyak 354 jiwa (3.07%),
wanita saja, sehingga perencanaan keluarga akseptor Pil KB sebanyak 1.600 jiwa
menjadi pincang (Manuaba I.A.C, dkk, (13.88%), akseptor Implant sebanyak 736
2009). jiwa (6.39%), akseptor Suntik sebanyak
Metode kontrasepsi pria yang ada 7.578 jiwa (65.74%) sedangkan untuk
dalam program KB di Indonesia antara lain akseptor KB MOP sebanyak 47 jiwa atau
metode kontrasepsi sederhana seperti (0.4%) dan akseptor KB MOW sebanyak
kondom dan kontrasepsi mantap 385 jiwa atau (3.34%) dari jumlah semua

87
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

akseptor KB sebanyak 11.527 jiwa. Dari Berdasarkan hasil wawancara yang


data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah telah dilakukan pada pria usia subur yang
pengguna kontrasepsi mantap khususnya telah menikah di Kecamatan Gunungpati di
MOP atau disebut juga Vasektomi menjadi dapatkan hasil bahwa 8 dari 10 pria tersebut
yang paling kecil diantara jumlah pengguna tidak bisa mendeskripsikan perbedaan
alat kontrasepsi lain. Salah satu penyebab antara vasektomi dan kebiri.
pengguna kontrasepsi mantap masih sangat Kesalahpahaman yang bersumber dari
sedikit adalah karena sebagian masyarakat ketidaktahuan akan perbedaan antara
masih merasa takut untuk melakukan vasektomi dan kebiri itulah yang
metode operatif, terutama yang berada di menimbulkan anggapan bahwa dengan
desa (Hartanto H, 2004). melakukan vasektomi maka dapat
Kontrasepsi mantap merupakan salah menghilangkan nafsu kelamin atau
satu jenis dari kontrasepsi pada umumnya, seksualitas.
sehingga berbagai aspek psikologi yang Tujuan penelitian ini adalah untuk
dapat mempengaruhi pengguna kontrasepsi mengetahui bagaimanakah gambaran
pada umumnya juga akan berlaku pada kecemasan terhadap kemampuan seks pada
kontrasepsi mantap. Perbedaan yang akseptor kontrasepsi mantap
mencolok adalah akibat penggunaan pria/vasektomi di Kecamatan Gunungpati
metode tersebut maka kemungkinan Kota Semarang.
kehamilan akan tercegah sangat tinggi.
Oleh karena itu kecemasan untuk terjadinya METODE
kehamilan akan berkurang, namun bukan
berarti tanpa disertai kecemasan lain. Salah Penelitian ini menggunakan metode
satu kecemasan lain yang menyertai adalah penelitian kualitatif. Teknik pengambilan
kecemasan terhadap menurunnya informan secara purposive sampling.
kemampuan seksual dan kecemasan akan Informan dalam penelitian ini berjumlah 8
kemampuan fungsi sebagai pria akan orang yang terdiri dari 4 orang informan
terganggu secara pemanen pasca utama yang merupakan akseptor vasektomi
kontrasepsi mantap (Everett S, 2008: 75). dan 4 orang istri dari akseptor vasektomi
Gejala kecemasan merupakan sebagai informan triangulasi. Kriteria yang
komponen utama bagi hampir semua ditentukan peneliti untuk informan utama
gangguan kejiwaan. Kecemasan merupakan adalah akseptor yang telah mendapatkan
suatu perasaan yang menyakitkan, seperti tindakan vasektomi dengan pertimbangan
kegelisahan, kebingungan, dan sebagainya, menjalankan program KB bukan karena
yang berhubungan dengan aspek subyektif alasan lain seperti; penyakit atau kelainan
emosi. Kecemasan tidak sama dengan rasa tertentu, usia < 50 tahun, masih berdomisili
takut meskipun saling berkaitan satu sama di daerah Kecamatan Gunung Pati,
lain. Kecemasan merupakan respon bersedia menjadi informan.
terhadap bahaya yang memperingatkan Pengumpulan data dilakukan dengan
dalam bentuk naluri bahwa ada bahaya dan cara wawancara mendalam. Alat bantu
dapat menyebabkan seorang individu yang digunakan dalam pengumpulan data
kehilangan kendali atas situasi yang adalah panduan wawancara mendalam dan
dialaminya (Ramaiah S, 2007). alat perekam. Uji keabsahan data dilakukan
dengan teknik triangulasi sumber, yaitu

88
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

dengan cara membandingkan hasil dimulai dari pengumpulan data, reduksi


wawancara antara akseptor vasektomi data, penyajian data dan verifikasi data
dengan hasil wawancara dengan istri (Sugiyono, 2010:337).
akseptor vasektomi untuk mengecek
kebenaran jawaban yang diberikan oleh HASIL DAN PEMBAHASAN
akseptor vasektomi. Teknik analisis data
dalam penelitian ini menggunakan teknik Karakteristik akseptor vasektomi
analisis data model Miles dan Huberman, dapat disajikan dalam tabel 1 berikut ini:
yaitu analisis data secara induktif. Analisis

Tabel 1 Karakteristik akseptor vasektomi


No Informan Umur Pendidikan Usia Pernikahan Jumlah Anak
Terakhir
1 Informan 1 39 SMA 14 tahun 3
2 Informan 2 38 SMP 12 tahun 3
3 Informan 3 46 SMA 21 tahun 4
4 Informan 4 35 SI 12 tahun 2

Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan


informan berusia 35-46 tahun pada tahun lebih lama dari pada yang tidak didasari
2014. Pendidikan terakhir informan pengetahuan. Berdasarkan hasil wawancara
beragam diantaranya tamat SMP, tamat mengenai pengetahuan dasar tentang
SMA dan Sarjana SI. Usia pernikahan vasektomi didapatkan hasil bahwa seluruh
masing-masing informan juga beragam informan telah mampu mendeskripsikan
mulai dari telah menikah selama 12 tahun, tentaang vasektomi walaupun terdapat
14 tahun hingga 21 tahun. Keempat keberagaman informasi yang disampaikan
informan juga memiliki jumlah anak yang yang menggambarkan keberagaman tingkat
berbeda yaitu ada 2, 3 dan 4. pengetahuan dari seluruh informan.
Para informan juga diminta untuk
Pengetahuan Tentang Vasektomi menjelaskan keuntungan dalam
Bloom dan Skinner dalam Indrayani penggunaan vasektomi namun dari
(2014) mendefinisikan bahwa pengetahuan pernyataan yang diungkapkan oleh para
adalah kemampuan seseorang untuk informan tentang keuntungan vasektomi
mengungkapkan kembali apa yang dapat diketahui bahwa sebagian besar
diketahuinya dalam bentuk bukti atau informan belum menyadari sepenuhnya
jawaban, baik lisan maupun tulisan. Bukti manfaat dan keuntungan dari
atau jawaban tersebut merupakan reaksi menggunakan vasektomi yang sangat
suatu stimulus yang dapat berupa beragam.
pertanyaan lisan maupun tulisan. Selain keuntungan vasektomi para
Pengetahuan atau kognitif merupakan informan juga memberikan pernyataaan
dominan yang sangat penting untuk mereka mengenai kelemahan atau kerugian
terbentuknya tindakan seseorang karena saat menggunakan vasektomi namun
dari pengalaman dan penelitian ternyata sebagian besar informan menyatakan tidak

89
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

mengalami kerugian apapun ketika menyatakan bahwa ada alasan lain yaitu
menggunakan metode vasektomi. Hal ini faktor jumlah anak. Jumlah anak hidup
tidak sejalan dengan yang dinyatakan oleh yang dimiliki pasangan suami istri (PUS)
BKKBN Jatim mengenai kelemahan juga menjadi pertimbangan dalam
vasektomi sebagai berikut: mengambil keputusan untuk menggunakan
1. Harus dilakukan pembedahan. vasektomi (Wibowo, 2013). PUS yang
2. Masih dimungkinkan untuk terjadinya mempunyai jumlah anak hidup yang lebih
komplikasi ringan. sedikit, mempunyai kecenderungan untuk
3. Tidak seperti sterilisasi wanita yang menggunakan jenis kontrasepsi dengan
langsung menghasilkan steril permanen, efektivitas rendah, keputusan pilihan
pada vasektomi masih harus menunggu tersebut disebabkan adanya keinginan
beberapa hari, minggu atau bulanan untuk menambah anak lagi. Pada pasangan
sampai sel mani menjadi negatif. dengan jumlah anak hidup yang banyak,
4. Tidak dapat dilakukan pada orang yang terdapat kecenderungan untuk
masih ingin mempunyai anak lagi. menggunakan kontrasepsi dengan
5. Perlindungan hanya untuk laki-laki efektivitas tinggi. Pilihan ini disebabkan
(perempuan pasangannya tetap beresiko rendahnya keinginan atau tidak adanya
untuk hamil). keinginan atau tidak adanya keinginan
6. Kurangnya perlindungan dari penyakit untuk menambah anak lagi. Sebagian besar
menular seksual dan infeksi. informan memiliki anak lebih dari dua
orang. Dengan alasan informan yang sudah
Latar Belakang Peserta Menggunakan merasa cukup dengan jumlah anak yang
Vasektomi telah dimiliki sekarang sehingga tidak ingin
Ada banyak faktor yang menambah jumlah anak lagi menjadi salah
mempengaruhi seseorang dalam satu latar belakang pria memutuskan untuk
berperilaku, tidak terkecuali dalam menggunakan vasektomi.
menentukan jenis/metode kontrasepsi yang
akan digunakan. Berdasarkan pernyataan Gejala-Gejala Kecemasan
dari para informan mengenai alasan Kecemasan juga memiliki
menggunakan vasektomi dapat dilihat karakteristik berupa munculnya perasaan
bahwa faktor pasangan sangat dominan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan
sebagai alasan utama pria memutuskan yang tidak jelas dantidak menyenangkan.
untuk menggunakan vasektomi atau Gejala-gejala kecemasan yang muncul
kontrasepsi mantap. Dimana para suami dapat berbeda pada masing-masing orang.
lebih mengalah untuk menggunakan 1. Gangguan Psikologis
vasektomi dikarenakan kondisi istri yang Berdasarkan dari pernyataan yang
tidak cocok dalam penggunaan kontrasepsi diungkapkan oleh para informan mengenai
baik itu pil, IUD, maupun spiral dengan gangguan psikologis yang mungkin dialami
alasan mengalami efek samping seperti oleh para informan dapat ditarik
tumbuhnya jerawat bertambahnya berat kesimpulan bahwa para informan yang
badan, dan lain-lain. telah diwawancarai tidak merasakan dan
Selain faktor pasangan yang sangat tidak menyadari adanya gejala psikologis
dominan sebagai alasan pria menggunakan terhadap kecemasan pasca tindakan
vasektomi sebagian informan juga vasektomi yang telah dilakukan, Namun

90
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

hal ini tidak serta merta membuktikan Berdasarakan hasil penelitian ini,
bahwa para informan tidak memiliki dapat disimpulkan bahwa para informan
kecemasan karena gejala-gejala psikologis pernah mengalami kecemasan akan
merupakan gejala yang sulit dideteksi menurunnya kemampuan seksual namun
karena hanya dirasakan oleh individu dan hal ini terjadi pada masa awal setelah
akan sulit diketahui jika tidak diungkapkan tindakan vasektomi, hal ini mungkin
oleh individu tersebut. Hal ini bisa saja disebabkan karena para informan masih
terjadi karena banyak gejala yang terjadi termakan oleh mitos-mitos yang ada dan
namun tidak menimbulkan derita yang menyebar di masyarakat. Namun, setelah
cukup untuk memakasa individu untuk melakukan hubungan suami-istri beberapa
mencari bantuan penanganan (Davidson, kali akhirnya informan mulai menyadari
2006). dan merasakan bahwa tidak adanya
2. Gangguan Fisik penurunan kemampuan seksual yang terjadi
Gejala fisik yang menyertai pasca tindakan vasektomi.
kecemasan dapat terjadi dalam berbagai
bentuk. Ketika tubuh mengalami gejala fisik Respon Terhadap Kecemasan
tersebut maka hal ini menandakan bahwa Ada faktor-faktor yang dapat
tubuh berada dalam fase reaksi peringatan, menyebabkan individu mengalami
maka tubuh mempersiapkan diri untuk kecemasan. Faktor-faktor tersebut adalah
berjuang. Pada fase ini tubuh merasakan keadaan biologis, kemampuan
tidak enak sebagai akibat dari peningkatan beradaptasi/mempertahankan diri terhadap
sekresi hormon adrenalin dan non lingkungan yang diperoleh dari
adrenalin. Berdasarkan dari pengalaman perkembangan dan pengalaman, serta
yang diungkapkan oleh para informan, adaptasi terhadap rangsangan, situasi atau
maka dapat diungkapkan bahwa sebagian stressor yang dihadapi. Sumber
besar informan telah mengalami gejala- stressor/situasi yang dapat menyebabkan
gejala fisik yang dimaksud yang menyertai kecemasan didapatkan dari lingkungan
kecemasan namun para informan sendiri sosial. Lingkungan sosial mempunyai
masih ragu-ragu dan tidak yakin tentang hal aturan-aturan, kebiasaan, hukum-hukum
tersebut. yang berlaku di daerah tertentu. Hal inilah
yang menyebabkan individu harus dapat
Kecemasan Terhadap Kemampuan Seksual menyesuaikan diri dengan lingkungan
Hubungan seksual adalah salah satu sosial yang ada. Individu yang tidak dapat
kebutuhan individu yang dalam menyesuikan diri dengan norma/aturan
pemenuhannya harus melalui transaksi dalam masyarakat akan menyebabkan
dengan objek-objek dunia luar atau ketidakseimbangan dalam diri dan
lingkungan. Dalam berhubungan seksual sosialnya, sehingga dapat menimbulkan
individu memerlukan individu lain untuk kecemasan. Berdasarkan hasil penelitian,
dijadikan pasangan seksnya. Masing- dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang
masing individu berusaha memuaskan diri dialami oleh informan hanya dialami dalam
dan pasangan seksnya agar tercapai suatu jangka waktu yang tidak lama dan para
keslarasan dan keharmonisan baik secara informan hanya membiarkan kecemasan
psikis maupun fisik. tersebut tanpa melakukan treatment tertentu
untuk menghilangkan kecemasan yang

91
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

mereka alami namun kecemasan tersebut merasakan terjadinya gejala-gejala yang


hilang dengan sendirinya seiring bersifat psikologis seperti depresi, minder
berjalannya waktu dan kekhawatiran mulai dan sedih yang berkaitan dengan tindakan
dilupakan. Hal ini sangat mungkin terjadi vasektomi. Kecemasan terhadap
karena kecemasan yang dialami oleh menurunnya potensi seksual tidak
informan selaku akseptor vasektomi masih menimbulkan gangguan dan efek yang
dalam fase yang adaptif, dalam artian nyata pada kehidupan seksual akseptor
informan masih bisa mengatasi sendiri dan vasektomi karena hal tersebut tidak terbukti
beradaptasi dengan kecemasan yang terjadi secara langsung pada akseptor
dialaminya karena gangguan yang vasektomi. Untuk mengatasi gejala-gejala
dirasakan tidak terlalu kuat sehingga tidak kecemasan yang dialaminya akseptor
bisa memaksa dirinya untuk mencari dan vasektomi di Kecamatan Gunungpati tidak
berusaha memperoleh bantuan dalam melakukan treatment atau tindakan khusus
mengatasi kecemasan tersebut. melainkan hanya dibiarkan saja hingga
Pada dasarnya, kecemasan kecemasan yang dialaminya hilang dan
merupakan hal wajar yang pernah dialami dilupakan dengan sendirinya.
oleh setiap manusia. Kecemasan sudah
dianggap sebagai bagian dari kehidupan UCAPAN TERIMA KASIH
sehari-hari. Kecemasan adalah suatu
perasaan yang sifatnya umum, dimana Ucapan terima kasih kami
seseorang merasa ketakutan atau tunjukkan kepada Kepala
kehilangan kepercayaan diri yang tidak KesbangPolinmas Kota Semarang, Kepala
jelas asal maupun wujudnya. UPT BAPERMASPER & KB Kecamatan
Gunungpati, Dekan Fakultas Ilmu
SIMPULAN Keolahragaan Dr. H. Harry Pramono,
M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian Masyarakat Dr. dr. Oktia Woro KH.
mengenai Gambaran Kecemasan Terhadap M.Kes, dosen pembimbing Sofwan Indarjo,
Kemampuan Seks Pada Akseptor S.KM. M.Kes. dan akseptor vasektomi
Kontrasepsi Mantap Pria/Vasektomi (Studi serta seluruh keluarga informan yang
Di Kecamatan Gunung Pati Kota terlibat dalam penelitian ini.
Semarang), maka dapat disimpulkan bahwa
kecemasan terhadap potensi seks yang DAFTAR PUSTAKA
dialami oleh akseptor vasektomi di
Kecamatan Gunung Pati masih berada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, 2013, Riset
dalam fase adaptif dalam artian bahwa para
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Jakarta.
informan berhasil mengatasi kecemasan
yang dialaminya. Gejala-gejala yang Badan Pusat Statistik, 2013, Survei Demograsi dan
menyertai kecemasan terhadap potensi Kesehatan Indonesia 2012, Jakarta.
seksual yang terjadi pada akseptor
Davison, Gerald C, Neale, John M, Kring, Ann M.
vasektomi di Kecamatan Gunung Pati
2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja
meliputi gejala fisik seperti gangguan tidur Grafindo Persada.
dan jantung berdebar-debar. Akseptor
vasektomi di Kecamatan Gunung Pati tidak

92
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Everett, S, 2008, Kontrasepsi & Kesehatan Seksual


Reproduktif, Penerbit buku kedokteran EGC, Miles, Matthew B, Huberman AM, 1992, Analisis
Jakarta. Data Kualitatif, UI-Press, Jakarta.

Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Ramaiah, S, 2007, All You Want To Know About
Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama. Anxiety, Sterling Publisher Pvt. Ltd, New
Delhi.
Hartanto, H, 2004, Keluarga Berencana dan Kontrasepsi,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sugiyono, 2008, Metode penelitian kuantitatif kualitatif
dan R&D, Alfabeta, Bandung.
Indrayani, 2014, VASEKTOMI: Tindakan Sederhana
dan Menguntungkan Bagi Pria Untuk Tenaga Wibowo, Johari Adi, 2013, Proses Implementasi
Kesehatan, Trans Info Media, Jakarta. Program Akseptor Pria Vasektomi di
Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong
Manuaba I.A.C, Manuaba I.G.F, 2009, Memahami Utara, Jurnal S1 Ilmu Pemerintahan, Volume.
Kesehatan Reproduksi Wanita, EGC, Jakarta. 2, No. 2, Agustus 2013, hlm. 1-7.

93
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

PENGGUNAAN JOB SAFETY ANALYSIS DALAM IDENTIFIKASI RISIKO


KECELAKAAN KERJA DI BAGIAN WORKSHOP
PT. TOTAL DWI DAYA KOTA SEMARANG

Tegar Bramasto , Intan Zainafree

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Setiap tempat kerja selalu mempunyai risiko kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit
Diterima September 2015 akibat kerja. Sebagai upaya pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu
Disetujui September 2015 diidentifikasi sumber bahaya yang ada di tempat kerja dan dievaluasi tingkat risikonya serta
Dipublikasikan Oktober dilakukan pengendalian yang memadai. Insiden kecelakaan dan cedera di tempat kerja dapat
2015 dikurangi dengan penggunaan Job Safety Analysis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
________________ mengetahui potensi bahaya serta pengendalian yang tepat pada bagian workshop PT. Total Dwi
Keywords: Daya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan observasional. Data
Accident Risk; Hazard yang digunakan dalam penelitian adalah data primer hasil observasi pada proses kerja dan
Identification; Job Safety wawancara kepada supervisor, serta data sekunder yang digunakan yaitu instruksi kerja dan data
Analysis. kecelakaan kerja. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa risiko kecelakaan kerja yang terdapat
____________________ pada bagian workshop yaitu: kejang otot, terkena plat jatuh, terkilir, terpeleset, terjepit plat, terjepit
mesin, tersengat listrik, terbentur mesin, tersayat plat, tersambar plat, terkena permukaan panas,
terkena api, menghirup asap, tersandung kabel, terkena gerinda, terkena percikan api, tersambar
pipa, terkena mata bor, tertimpa, terkena steelwool, terkena paku, tersandung plat, terkena pisau
dan tergores. Saran untuk PT. Total Dwi Daya yaitu peningkatan pengawasan terhadap pekerja
serta pelatihan pembuatan Job Safety Analysis.
Abstract
___________________________________________________________________
Every workplace always have risk and possibility of accidents and occupational diseases. In an effort to control
the risk of accidents and occupational diseases, sources of hazards that exist in the workplace need to be
identified, evaluated its level of risk and proper control. The incident of accident and injury at work can be
reduced by using Job Safety Analysis. The purpose of this research was to understand the potential of danger
and right control of it in workshop division Total Dwi Daya Corporation. This study was using qualitative
descriptive research with observational approach. Primary data used in this research were observation in
working process and interview with supervisor. Secondary data were work instruction and accident data.
Conclusion of this research, potential dangers found in workshop division were: muscle spasms, hit by fallen
plate, sprains, slips, squished by plate, squished by machine, electric shock, collide, cut by plate, strucked by
plate, exposed to hot surfaces, exposed to fire, smoke inhalation, tripping over wires, grinding exposed, exposed
to sparks, struck pipe, drill hit, exposed nails and scraped. Suggestions for Total Dwi Daya Corporation are
raising a control of workers and training Job Safety Analysis training.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: tegar.bramasto@gmail.com

94
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, terutama ditujukan pada pekerjaan manual


melainkan ada sebabnya. Oleh karena itu dengan penggunaan metode observasi yang
kecelakaan dapat dicegah, asal kita cukup disebut studi gerak atau Motion Studies
kemauan untuk pencegahannya. Oleh (Syukri, 1997:103).
karena itu pula sebab-sebab kecelakaan PT. Total Dwi Daya, berdiri sejak
harus diteliti dan ditemukan, agar untuk 1995, adalah perusahaan yang
selanjutnya dengan usaha-usaha koreksi memproduksi alat dan mesin-mesin food
yang ditujukan kepada sebab itu kecelakaan processing. Alat-alat yang pernah dibuat
dapat dicegah dan tidak berulang kembali seperti Alat pengolahan ikan menjadi
(Suma’mur, 2009:405). surimi, otak-otak, nugget, serta alat untuk
Sebagai upaya pengendalian risiko proses industri makanan seperti sosis, bakso
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu ikan, bandeng presto, kerupuk udang,
diidentifikasi sumber bahaya yang ada di kekian dan lain-lain. PT. Total Dwi Daya
tempat kerja dan dievaluasi tingkat memiliki 30 orang karyawan. Bahan baku
risikonya serta dilakukan pengendalian berupa plat baja yang berat, serta
yang memadai (Syukri, 1997:102). banyaknya proses kerja baik manual
Identifikasi bahaya merupakan landasan maupun menggunakan mesin,
dari program pencegahan kecelakaan atau menimbulkan risiko kecelakaan kerja.
pengendalian risiko. Tanpa mengenal Beberapa risiko kecelakaan kerja yang
bahaya, maka risiko tidak dapat ditentukan, mungkin terjadi pada bagian workshop,
sehingga upaya pencegahan dan diantaranya adalah terpeleset, tersandung
pengendalian risiko tidak dapat dijalankan material, keram otot, terjepit mesin dan
(Soehatman, 2010:54). Sasaran penilaian terpotong mesin. Sepanjang tahun 2013
risiko adalah identifikasi bahaya sehingga terjadi 17 kali kecelakaan kerja. Kecelakaan
tindakan dapat diambil untuk kerja yang terjadi berupa 15 kejadian
menghilangkan, mengurangi, atau tergores plat baja, 1 kejadian sakit pinggang
mengendalikannya sebelum terjadi dan 1 kejadian terjepit mesin bending.
kecelakaan yang dapat menyebabkan Observasi awal yang dilaksanakan
cedera atau kerusakan (John, 2008:46). tanggal 17 April 2014, ada beberapa
Banyak teknik analisis untuk evaluasi tindakan tidak aman (unsafe act) yang
risiko bahaya yang ada di tempat kerja, baik dilakukan pekerja, misalnya tidak
sebelum mesin, instalasi atau peralatan menggunakan alat pelindung diri dengan
digunakan, maupun setelah dioperasikan. benar dan tidak mengembalikan peralatan
Teknik analisis ini sangat bermanfaat untuk kerja ke tempat semula setelah dipakai.
penekanan tingkat risiko tersebut sehingga Juga terdapat kondisi tidak aman (unsafe
tingkat kecelakaan dan penyakit akibat condition) seperti bahan baku yang
kerja terkurangi. Salah satu teknik analisis menumpuk dan sisa material yang
yang dilakukan oleh perusahaan adalah berserakan. PT. Total Dwi Daya belum
yang disebut analisis keselamatan memiliki ahli K3 dan tidak ada program
pekerjaan atau Job Safety Analysis (JSA). khusus tentang K3 serta disini belum
Teknik ini relatif tidak sulit dilakukan, pernah dilakukan job safety analysis. Oleh

95
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

karena itu, terdapat potensi bahaya dan secara sistematik dan akurat. Populasi yang
layak untuk dilakukan penelitian. menjadi objek dalam penelitian ini yaitu
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk seluruh pekerja di bagian workshop PT.
mengetahui risiko kecelakaan kerja apa saja Total Dwi Daya yang berjumlah 24 pekerja.
yang mungkin terjadi di PT. Total Dwi Sedangkan sampel penelitiannya diambil
Daya dan tindakan apa yang dapat dengan menggunakan teknik snowball
dilakukan untuk meminimalkan risiko sampling.
kecelakaan kerja tersebut menggunakan job Instrumen yang digunakan yaitu
safety analysis. panduan wawancara, digunakan untuk
mengetahui proses kerja, material yang
METODE digunakan pada proses kerja dan cara
mengoperasikan mesin. Lembar observasi
Penelitian ini dilaksanakan di PT. digunakan untuk panduan dalam
Total Dwi Daya Kota Semarang pada melakukan observasi.
bulan Juli sampai Agustus 2014. Jenis Pemeriksaan keabsahan data
penelitian yang digunakan dalam penelitian menggunakan teknik triangulasi dan
ini adalah penelitian deskriptif kualitatif analisis data menggunakan model Miles
dengan pendekatan observasional karena dan Huberman.
fakta dan karakteristik mengenai populasi
atau mengenai bidang tertentu digambarkan

Tabel 1 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Making.


No. Langkah Pekerjaan Potensi Bahaya L C RR
1. Mengangkat plat stainless dan Kejang otot C 1 L
meletakkannya pada meja Terkena plat jatuh D 2 L
drawing. Terkilir C 2 M
Terpeleset C 2 M
2. Menggambar pola pada plat Tergores sisi plat C 1 L
stainless. Tersandung plat D 1 L

Tabel 2 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Cutting.


No. Langkah Pekerjaan Potensi Bahaya L C RR
1. Mengangkat plat stainless dan Kejang otot C 1 L
meletakkannya pada mesin Terkena plat jatuh D 2 L
cutting. Terkilir C 2 M
Terpeleset C 2 M
2. Memotong plat menggunakan Terjepit mesin cutting E 3 M
mesin cutting. Tersengat listrik E 3 M
Terbentur mesin C 1 L
3. Memindahkan plat ke mesin Kejang otot D 1 L
potong sudut. Tersayat plat B 2 H
4. Memotong plat menggunakan Terjepit mesin D 2 L
mesin notcher. Tersengat listrik E 3 M
5. Memotong plat secara manual Tersambar sisa potongan yang B 1 M
menggunakan tang terpental

96
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

6. Memindahkan plat ke mesin Kejang otot D 1 L


bending. Tersayat plat B 2 H

7. Membersihkan sisa potongan Kejang otot C 1 L


plat. Tersayat plat B 2 H
Terkilir C 2 M
Tersengat listrik D 3 M

Tabel 3 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Bending.


No. Langkah Pekerjaan Potensi Bahaya L C RR
1. Mengangkat plat stainless dan Kejang otot D 1 L
meletakkannya pada mesin Terkena plat jatuh C 2 M
bending. Tersayat plat B 2 H
2. Melipat plat menggunakan Terjepit mesin bending D 3 M
mesin bending. Terjepit plat C 2 M
Tersengat listrik E 3 M

3. Memindahkan plat ke proses Kejang otot D 1 L


WA. Terpeleset C 2 M

Tabel 4 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Welding and Assembling.


No. Langkah Pekerjaan Potensi Bahaya L C RR
1. Mengelas plat menjadi satu Terkena plat yang panas B 2 H
Terkena api las D 3 M
Tersengat listrik C 3 H
Menghirup asap las A 2 H
Tersandung selang dan kabel A 1 H
2. Memotong pipa besi Terkena gerinda A 3 E
Terkena percikan api B 1 M
Tersambar pipa yang terpental B 1 M
3. Melubangi plat Tersandung kabel A 1 H
Terkena mata bor C 3 H

Tabel 5 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Finishing and Packing.


No. Langkah Pekerjaan Potensi Bahaya L C RR
1. Menggerinda bekas las Terkena gerinda C 3 H
menggunakan gerinda. Terkena debu potong A 1 H
Terkena percikan api A 1 H
2. Mengamplas produk Terkena putaran steelwool C 2 M
menggunakan steelwool. Tersandung kabel A 1 H
Terkilir C 1 L
3. Membungkus produk Tertimpa produk C 2 M
menggunakan plastik
pembungkus.
4. Memasukkan produk ke Kejang otot C 1 L
dalam kotak kayu. Terkena paku C 2 M
Terpeleset B 1 M

97
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Terkilir C 2 M

5. Mengikat produk. Terkena pisau saat memotong tali D 2 L

Keterangan: L = Likehood (tingkat C = Consequncy (estimasi tingkat


kekerapan, berdasarkan standar AS/NZS keparahan, standar AS/NZS 4360)
4360) RR = Risk Rate (skala prioritas
risiko, standar AS/NZS 4360)

Berdasarkan tabel 1-5 diatas, diketaui dapat terjadi dikarenakan kabel-kabel listrik
risiko kecelakaan kerja yang terdapat pada yang tidak tertata rapi. Apabila pekerja
bagian workshop yaitu: kejang otot, terkena tersandung kabel dan kabel putus dapat
plat jatuh, terkilir, terpeleset, terjepit plat, mengakibatkan tersengat listrik.
terjepit mesin, tersengat listrik, terbentur Penyebab tersandung pada bagian
mesin, tersayat plat, tersambar plat, terkena workshop adalah kabel-kabel yang tertata
permukaan panas, terkena api, menghirup dan material yang diletakkan di lantai.
asap, tersandung kabel, terkena gerinda, Menurut Work Cover NSW (2007),
terkena percikan api, tersambar pipa, mengubah desain tempat kerja dapat
terkena mata bor, tertimpa, terkena mengurangi risiko tersandung maupun
steelwool, terkena paku, tersandung plat, terpeleset.
terkena pisau dan tergores. Selain digunakan untuk memotong
Pada bagian workshop PT. Total Dwi bahan baku, gerinda juga digunakan untuk
Daya terdapat beberapa aktivitas berulang menghaluskan permukaan setelah bahan di
yaitu pada saat mengangkat dan las. Menggerinda banyak dilakukan pada
memindahkan bahan baku. Beberapa saat proses welding and assembling dan
pekerja juga tidak melakukan teknik finisihing. Pada saat menggerinda, banyak
mengangkat beban dengan benar. Mereka pekerja yang tidak menggunakan alat
memindahkan plat baja dengan pelindung diri. Juga pada saat berhenti
membawanya diatas kepala. sejenak, pekerja tidak mematikan alat
Bagian workshop menggunakan gerinda.
beberapa mesin dengan tenaga listrik. Salah Setelah risiko kecelakaan kerja
satunya adalah mesin las listrik. Mesin yang diketahui dan didapatkan alternatif
digunakan yaitu Titan TIG 160 dengan arus pengendalian masalah kemudian data
output 10-160 A. Kondisi mesin cukup baik, dituangkan dalam lembar job safety analysis
namun bila tidak hati-hati saat seperti pada tabel 6-10.
mengoperasikannya maka pekerja berisiko
tersengat listrik. Risiko tersengat listrik juga

98
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Tabel 6 Job Safety Analysis pada proses making


Halaman: 1 Tanggal: Baru / Revisi :
Nama Pekerjaan: Making JSA No.
dari 1 14 Juli 2014 Baru
Peralatan: Meja, penggaris, Supervisor: Imam
spidol, pensil Analisis oleh: Tegar Bramasto
Bagian: Workshop Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Safety shoes.

Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

Mengangkat plat stainless dan 1a. Kejang otot 1a. Mengangkat plat dengan
meletakkannya pada meja 1b. Terkena plat yang jatuh dibantu beberapa orang pekerja.
drawing. 1c. Terkilir 1b.1. Membuat SOP
1d. Terpeleset mengangkat plat stainless.
1b.2. Menggunakan safety shoes.
1c.1. Berhati hati dalam
melangkah
1c.2. Membuat SOP
mengangkat plat stainless.
1d.1. Lantai dibuat agar
bergerigi.
Menggambar pola pada plat 2a. Tergores sisi plat 1d.2. Membersihkan lantai dari
stainless. 2b. Tersandung plat debu
1d.3. Mengenakan safety shoes
dengan bahan sole polyurethane.

2a. Jaga jarak dengan plat saat


berpindah posisi.
2b.1. Menata plat agar tidak
berserakan.
2b.2. Tidak meletakkan plat di
lantai.
2b.3. Menggunakan safety shoes.

Tabel 7 Job Safety Analysis pada proses cutting.


Halaman: 1 Tanggal: Baru / Revisi :
Nama Pekerjaan: Cutting JSA No.
dari 2 14 Juli 2014 Baru
Peralatan: Mesin cutting, mesin Supervisor: Imam
notcher, guillotine Analisis oleh: Tegar Bramasto
Bagian: Workshop Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Sarung tangan, safety shoes, face shield.

Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

99
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

1a. Mengangkat plat dengan


Mengangkat plat stainless dan 1a. Kejang otot dibantu beberapa orang pekerja.
meletakkannya pada mesin 1b. Terkena plat yang jatuh 1b.1. Membuat SOP mengangkat
cutting. 1c. Terkilir plat stainless.
1d. Terpeleset 1b.2. Menggunakan safety shoes.
1c.1. Berhati hati dalam melangkah
1c.2. Membuat SOP mengangkat
plat stainless.
1d.1. Lantai dibuat agar bergerigi.
1d.2. Membersihkan lantai dari
2a. Terjepit mesin cutting debu
Memotong plat menggunakan 2b. Tersengat listrik 1d.3. Mengenakan safety shoes
mesin cutting. 2c. Terbentur mesin dengan bahan sole polyurethane.

2a1. Membuat SOP dalam


mengoperasikan mesin cutting.
2a3. Membuat tulisan peringatan
yang terlihat jelas di depan mesin.
2b.1 Membuat SOP dalam
menyalakan mesin.
2c. Mengecat bagian mesin
dengan warna yang mudah terlihat

Halaman: 2 Tanggal: Baru / Revisi :


Nama Pekerjaan: Cutting JSA No.
dari 2 14 Juli 2014 Baru
Peralatan: Mesin cutting, mesin Supervisor: Imam
notcher, guillotine Analisis oleh: Tegar Bramasto
Bagian: Workshop Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Sarung tangan, safety shoes, face shield

Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

100
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

3a.1. Mengangkat pada sisi


Memindahkan plat ke mesin 3a. Tersayat plat yang tidak tajam.
potong sudut. 3b. Kejang otot 3a.2. Menggunakan safety gloves
3b. Mengangkat plat dengan
dibantu beberapa orang pekerja
4a.1. Memperhatikan posisi
4a. Terjepit mesin tangan sebelum
Memotong plat menggunakan 4b. Tersengat listrik mengoperasikan mesin.
mesin notcher. 4a.2. Membuat SOP
menggunakan mesin notcher.
4b.1. Menggunakan alat
penurun tegangan otomatis.
5a. Terkena potongan plat 4b.2. Menggunakan sarung
yang terpental tangan berisolator.
Memotong plat secara manual 5a.1. Menggunakan tang yang
menggunakan tang potong. tajam.
6a. Tersayat plat 5a.2. Menggunakan face shield
Memindahkan plat ke mesin
bending. 6a.1. Mengangkat pada sisi
yang tidak tajam.
Membersihkan sisa potongan 7a. Kejang otot 6a.2. Menggunakan sarung
plat. 7b. Tersayat plat tangan.
7c. Terkilir
7d. Tersengat listrik 7a.1. Memindahkan plat sisa
menggunakan gerobak.
7a.2. Menggunakan sarung
tangan dan safety shoes.
7b. Menggunakan sarung
tangan.
7c. Memindahkan plat sisa
menggunakan gerobak.
7d.1. Merapihkan kabel di
belakang mesin.
7d.2. Menggunakan alat
penurun tegangan otomatis.

Tabel 8 Job Safety Analysis pada proses bending.


Halaman: 1 Tanggal: Baru / Revisi :
Nama Pekerjaan: Bending JSA No.
dari 1 14 Juli 2014 Baru
Peralatan: Mesin bending Supervisor: Imam
Bagian: Workshop Disetujui Oleh: Analisis oleh: Tegar Bramasto
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan

Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

101
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Mengangkat plat stainless dan 1a. Kejang otot 1a. Mengangkat plat dengan
meletakkannya pada mesin 1b. Terkena plat yang jatuh dibantu beberapa orang pekerja.
bending. 1c. Tersayat plat 1b.1. Membuat SOP mengangkat
plat stainless.
1b.2. Menggunakan safety shoes
1c.1. Memegang pada sisi yang
tidak tajam.
2a. Terjepit mesin bending 1c.2. Menggunakan sarung
Menekuk plat menggunakan 2b. Terjepit plat tangan.
mesin bending 2c. Tersengat listrik
2a.1. Memperhatikan posisi
Memindahkan plat ke proses 3a. Kejang otot tangan sebelum mengoperasikan
WA 3b. Terpeleset mesin.
2a.2. Membuat SOP dalam
menggunakan mesin bending.
2a.3. Membuat tulisan
peringatan yang terlihat jelas di
depan mesin.
2a.4. Menggunakan sarung
tangan.
2b. Menggunakan sarung
tangan.
2c. Menggunakan alat penurun
tegangan otomatis.
3a. Mengangkat plat dengan
dibantu beberapa orang pekerja.
3b.1. Lantai dibuat agar
bergerigi.
3b.2. Membersihkan lantai dari
debu
3b.3. Mengenakan safety shoes
dengan bahan sole polyurethane

Tabel 9 Job Safety Analysis pada proses welding and assembling.


Baru /
Nama Pekerjaan: Welding and Halaman: 1 Tanggal:
JSA No. Revisi :
Assembling dari 2 14 Juli 2014
Baru
Peralatan: Las, gerinda, bor Supervisor: Imam
duduk Analisis oleh: Tegar Bramasto
Bagian: Workshop Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, topeng las, safety googles.

Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

102
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

1a.1. Memakai safety gloves.


Merangkai dan mengelas plat 1a. Terkena plat panas 1a.2. Memakai pakaian lengan
1b. Terkena api las panjang
1c. Tersengat listrik 1b. Memakai safety gloves
1d. Menghirup asap las berbahan dasar kulit
1e. Tersandung selang dan 1c.1. Menggunakan mesin dengan
kabel tegangan rendah
1c.2. Menggunakan alat penurun
tegangan otomatis.
1d.1. Memberikan ventilasi yang
cukup pada ruangan las.
1d.2. Menggunakan respirator.
1e. Membuat jalur khusus untuk
kabel dan selang

Nama Pekerjaan: Welding Halaman: 2 Tanggal: Baru / Revisi :


JSA No.
and Assembling dari 2 14 Juli 2014 Baru
Peralatan: Las, gerinda, bor Supervisor: Imam
duduk Analisis oleh: Tegar Bramasto

Bagian: Workshop Disetujui Oleh:

APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, topeng las, safety googles.

Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

Memotong pipa besi 2a. Terkena gerinda 2a.1. Periksa roda gerinda dari
2b. Terkena percikan api keretakan.
2c. Terkena potongan pipa 2a.2. Matikan gerinda bila tidak
yang terpental digunakan
2b. Menggunakan safety
googles.
2c.1. Membuat tempat khusus
Melubangi plat untuk pipa.
3a. Tersandung kabel 2c.2. Kencangkan pipa sebelum
3b. Terkena mata bor digerinda.
2c.3. Memakai face shield.

3a. Membuat jalur khusus


kabel.
3b. Mematikan bor saat tidak
digunakan.

103
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Tabel 10 Job Safety Analysis pada proses finishing and packing.


Nama Pekerjaan: Finishing Halaman: 1 Tanggal: Baru / Revisi :
JSA No.
and Packing dari 2 14 Juli 2014 Baru
Peralatan: Gerinda, amplas, Supervisor: Imam
steelwool¸ plastic Analisis oleh: Tegar Bramasto
pembungkus, selotip, tali,
pisau, paku, palu.
Bagian: Workshop Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, safety googles, face shield.
Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

Menggerinda bekas las 1a. Terkena gerinda 1a.1. Periksa roda gerinda dari
1b. Terkena percikan api keretakan.
1c. Terkena debu potong 1a.2. Matikan gerinda bila tidak
digunakan
1b. Menggunakan safety
Mengamplas produk 2a. Terkena putaran googles.
menggunakan steelwool steelwool. 1c. Menggunakan masker
2b. Tersandung kabel penyaring debu.
2c. Terkilir
2a.1. Menggunakan steelwool
yang lebih halus
2a.2. Menggunakan safety
Membungkus produk 3a. Tertimpa produk gloves.
menggunakan plastik 2b. Membuat jalur khusus
pembungkus untuk kabel.
2c. Menggunakan mesin
steelwool yang lebih ringan.

3a.1. Melakukan pekerjaan


dibantu pekerja lain.

Nama Pekerjaan: Finishing and Tanggal: Baru / Revisi :


Halaman: 2 dari 2 JSA No.
Packing 14 Juli 2014 Baru
Peralatan: Gerinda, amplas, Supervisor: Imam
steelwool¸ plastic pembungkus, Analisis oleh: Tegar Bramasto
selotip, tali, pisau, paku, palu.
Bagian: Workshop Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, safety googles, face shield.

Langkah Kerja Potensi Bahaya Pengendalian

104
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Memasukkan produk ke dalam 4a. Kejang otot 4a. Mengangkat produk dengan
kotak kayu 4b. Terkena paku dibantu beberapa pekerja.
4c. Terpeleset 4b. Mengenakan pakaian lengan
4d. Terkilir panjang atau wearpack
4c.1. Melakukan packing di luar
ruangan
4c.2. Lantai dibuat agar bergerigi.
4c.3. Membersihkan lantai dari
debu
4c.4. Mengenakan safety shoes
5a. Terkena pisau saat dengan bahan sole polyurethane
Mengikat produk memotong tali. 4d. Mengangkat produk dengan
dibantu beberapa pekerja.

5a.1. Memegang pisau pada sisi


yang tidak tajam.
5a.2. Mengenakan safety gloves.

SIMPULAN Semarang, Dr. H. Harry Pramono, M.Si,


dosen pembimbing I Bapak Eram Tunggul
Risiko kecelakaan kerja yang Pawenang, SKM, M.Kes dan dosen
terdapat pada bagian workshop yaitu: kejang pembimbing II Ibu dr. Intan Zainafree,
otot, terkena plat jatuh, terkilir, terpeleset, M.H.Kes atas arahan serta bimbingannya,
terjepit plat, terjepit mesin, tersengat listrik, Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat
terbentur mesin, tersayat plat, tersambar Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
plat, terkena permukaan panas, terkena api, Negeri Semarang Dr. dr. Oktia Woro KH,
menghirup asap, tersandung kabel, terkena M.Kes, Direktur PT. Total Dwi Daya, atas
gerinda, terkena percikan api, tersambar ijin penelitian serta seluruh pekerja bagian
pipa, terkena mata bor, tertimpa, terkena Workshop PT. Total Dwi Daya, atas
steelwool, terkena paku, tersandung plat, bantuan serta partisipasi dalam pelaksanaan
terkena pisau, tergores. penelitian.
Pengendalian yang diperlukan menjalankan
instruksi kerja sesuai dengan jenis DAFTAR PUSTAKA
pekerjaannya dengan baik dan benar,
Suma’mur P.K., 2009, Higiene Perusahaan dan
menjaga jarak antara posisi mesin dengan
Kesehatan Kerja, Jakarta: CV. Sagung Seto.
bagian tubuh, tidak membawa beban terlalu
banyak dan berat, pergunakan alat bantu Sahab, Syukri. 1997, Teknik Manajemen Keselamatan
dan alat pelindung diri yang tepat. dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Bina Sumber
Daya Manusia.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ramli, Soehatman. 2010, Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya Jakarta: PT. Dian Rakyat.
ucapkan kepada Dekan Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Ridley, John. Channing, John. 2008, Safety at Work
Seventh Edition. Inggris: Elsevier.

105
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Work Cover New South Wales, 2007, Preventing Slips,


Trips and Falls. New South Wales: New South
Wales Government.

106
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

EFEKTIVITAS METODE SIMULASI PERMAINAN “MONOPOLI HIV”


TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN KOMPREHENSIF HIV/AIDS
PADA REMAJA DI KOTA SEMARANG
(studi kasus di SMA Kesatrian 1 Semarang)

Indramala Yulmi Saputri , Mahalul Azam

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Di Indonesia jumlah kasus HIV/AIDS meningkat pada kelompok umur 20-29 tahun. Upaya
Diterima September 2015 pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada
Disetujui September 2015 remaja melalui pendidikan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
Dipublikasikan Oktober metode simulasi permainan terhadap pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja dikota
2015 Semarang (studi kasus di SMA Kesatrian 1 Semarang). Penelitian ini merupakan penelitian
________________ eksperimen semu dengan rancangan penelitian pretest-posttest with control group. Sampel dalam
Keywords: penelitian berjumlah 25 pada masing-masing kelompok kontrol dan eksperimen. Pengambilan
Comprehensive Knowledge; data berupa pretest dan posttes dengan selang waktu 16 hari. Analisis menggunakan Uji McNemar
HIV/AIDS; monopoli game dan chi square. Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS
____________________ yang bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pendidikan kesehatan dengan metode
simulasi permainan (p value = 0,000). Maka dapat disimpulkan bahwa metode simulasi permainan
efektif dalam meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja di SMA
Kesatrian 1 Semarang.
Abstract
___________________________________________________________________
In Indonesia, cases of HIV / AIDS increased in the age group 20-29 years. Prevention efforts can be made to
improve the comprehensive knowledge of HIV / AIDS among adolescents through health education. The
purpose of this study was to determine the effectiveness of the simulation game method to comprehensive
knowledge of HIV / AIDS among adolescents in the city of Semarang (case study in Kesatrian 1 Semarang
senior high school). This study was a quasi-experimental research with pretest-posttest study design with
control group. The total sample were 25 on each of the control and experimental groups. Collecting data in the
form of pretest and posttes with an interval of 16 days. Analysis used the McNemar test and chi-square. The
results showed there was significantly difference in the comprehensive knowledge of HIV / AIDS between
before and after the intervention of health education with game simulation method (p value = 0.000). It could
be concluded that the simulation game method was effective in improving the comprehensive knowledge of HIV
/ AIDS among adolescents in Kesatrian 1 Semarang senior high school.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: indramalayulmi@ymail.com

107
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Menurut WHO pada tahun 2013, rentan dengan perilaku berisiko (KPA,
pada akhir tahun 2012, secara global 2011). Data Surveilans Terpadu Biologis
terdapat 35,3 juta orang hidup dengan HIV. dan Perilaku (STBP) 2011 menunjukan
Pada tahun yang sama, sekitar 75 juta hanya 22,3% remaja memiliki pengetahuan
orang terinfeksi HIV, dan 1,6 juta orang komprehensif HIV/AIDS (Kemenkes RI,
meninggal karena AIDS. Kasus HIV di 2011). Data dari Ditjen Pengendalian
Asia Tenggara menduduki peringkat Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
keempat tertinggi di dunia, terhitung tahun 2013 berdasarkan survey cepat (Rapid
hampir 3,4 juta orang mengidap Survey) yang dilakukan tahun 2012
HIV/AIDS, dan 200.000 meninggal karena menunjukan remaja usia 15-24 tahun yang
HIV/AIDS (WHO, 2013). memiliki pengetahuan komprehensif
Bedasarkan data Ditjen PP &PL mengenai HIV dan AIDS hanya 21,25%
Kemenkes, perkembangan HIV/AIDS di saja, sedangkan tahun 2014 target remaja
Indonesia tahun 2013 terdapat penambahan yang memiliki pengetahuan komprehensif
kasus 1.983 kasus. Dengan demikian, HIV/AIDS harus mencapai 95% (Ditjen PP
jumlah komulatif AIDS dari tahun 1987 & PL, 2013).
sampai dengan bulan September 2013 Berdasarkan observasi awal yang
sebanyak 45.650 orang (Ditjen PP & PL dilakukan pada empat SMA yang berada di
Kemenkes, 2013). Berdasarkan data dari sekitar lokalisai kecamatan Semarang
profil Kesehatan provinsi Jawa Tengah Barat, siswa SMA Kesatrian 1 Semarang
kasus AIDS tahun 2012 mengalami mempunyai pengetahuan komprehensif
peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu HIV/AIDS sebesar 20%. Data tersebut
dari 755 kasus menjadi 797 kasus. lebih rendah dari ketiga SMA yang lain
Kematian karena AIDS dari 89 kasus yaitu SMA Negeri 7 Semarang sebesar
menjadi 149 kasus (Dinkes Provinsi Jateng, 21,6%, SMA Setia Budi sebesar 20,6% dan
2012). Di Kota Semarang sendiri menurut SMA Purmana 3 sebesar 21,1%. Oleh
laporan Dinas Kesehatan Kota Semarang karena itu, perlu upaya pemberian
kasus HIV tahun 2012 untuk Kota informasi kesehatan reproduksi terutama
Semarang saja sebanyak 176 orang dengan masalah tentang HIV/AIDS pada remaja
kondisi 104 orang sudah pada stadium khususnya siswa SMA dalam upaya
AIDS ( Dinkes Kota Semarang, 2012). peningkatan pengetahuan Komprehensif
Secara kumulatif kasus AIDS HIV/AIDS.
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur Promosi kesehatan dapat dilakukan
20-29 tahun (34,5%), diikuti kelompok dengan menggunakan berbagai metode dan
umur 30-39 tahun (28,7%), kelompok umur media yang disesuaikan dengan sasaran.
40-49 tahun (10,6%), kelompok umur 15-19 Media permainan sebagai alat belajar dan
tahun (3,2%), dan 50-59 tahun (3,2%) mengajar dapat dipakai dalam promosi
(Ditjen PP & PL, 2013). kesehatan. Permainan sebagai media
Menurut Komisi Penanggulangan promosi kesehatan karena merupakan
AIDS pemahaman remaja tentang media belajar yang menyenangkan dan
HIV/AIDS masih sangat minim, padahal kembali pada manfaat permainan,
remaja termasuk kelompok usia yang permainan mampu menghadirkan sesuatu

108
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

kegembiraan dalam belajar bagi siswa dan


tanpa sadar menstimulus otak, dan dapat METODE
meningkatkan IQ, serta meningkatkan rasa
percaya diri. Suasana yang tercipta dapat Jenis dan rancangan penelitian yang
mengakrabkan hubungan antara peneliti digunakan pada penelitian ini adalah
dan siswa. Dan nilai penting dari setiap ekperimen semu atau Quasi Eksperiment
permainan, apa yang diperlukan untuk dengan menggunakan pendekatan
mempersiapkannya (alat, bahan, dan rancangan pretest-posttest with control group.
bentuk peran serta peneliti) serta bagaimana Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh
permainan itu dilakukan yang kemudian siswa kelas XII SMA Kesatrian 1 Semarang
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan yang berjumlah 289 siswa.
untuk pemecahan suatu masalah, dan Besar sampel pada penelitian ini
akhirnya peserta memberikan penilaian sebanyak 25 responden pada setiap
terhadap apa yang disampaikan dan kelompok, karena pada penelitian ini
dilihatnya (Prasojo, 2010). terdapat dua kelompok yaitu kelompok
Penggunaan media permainan tidak eksperimen dan kelompok kontrol, jadi
untuk setiap pembelajaran, perlu dirancang jumlah keseluruhan sampel berjumlah 50.
pada waktu-waktu tertentu dan topik dan Pada penelitian ini kelompok
sub pokok bahasan tertentu. Media bisa eksperimen yaitu kelompok yang
mengadopsi dari berbagai jenis permainan mendapatkan pendidikan kesehatan dengan
yang sudah dikenal oleh siswa, namun metode simulasi permainan. Akan
materi dan pertanyaan-pertanyaan bias melaksanakan pretest, mendapatkan
disesuaikan dengan indikator pembelajaran. intervensi dan posttest sesuai dengan jadwal.
Misalnya permainan monopoli Pretest dan posttest dilaksanakan selama 15
(Rahmawati, 2009). Permainan-permainan menit dengan jarak 16 hari. Dan intervensi
sederhana dapat menjadi sumber inspirasi yaitu berupa permainan monopoli HIV
dalam merancang sebuah media yang akan dilaksanakan selama 50 menit.
pembelajaran. Kita mengetahui bahwa Sedangkan pada kelompok kontrol adalah
permainan monopoli adalah salah satu jenis kelompok pembanding. Akan
permainan papan yang terkenal di dunia. melaksanakan pretest, mendapat intervensi
Permainan ini tidak hanya berlaku di dan posttest sesuai jadwal. Pretest dan posttest
Negara kita saja, tetapi juga di berbagai dilaksanalam selama 15 menit dengan jarak
negara lain di dunia (Rifkisajid, 2013). 16 hari. Dan intervensi yaitu pendidikan
Maka dari itu perlu adanya inovasi dari kesehatan tentang HIV berupa
permainan monopoli sebagai media penyululuhan atau ceramah yang akan
pendidikan kesehatan khususnya pada dilaksanakan selama 20 menit.
pengetahuan tentang HIV/AIDS pada Analisis data yang dilakukan dalam
remaja. penelitian ini adalah analisis univariat dan
Penelitian ini bertujuan untuk analisis bivariat dengan menggunakan uji
mengetahui efektivitas metode simulasi statistik McNemar karena data yang
permainan “monopoli HIV” terhadap digunakan berskala ordinal dengan dua
peningkatan penhethauan komprehensif sampel yang berpasangan dengan tabel 2x2
HIV/AIDS pada remaja di SMA Kesatrian dan uji statistic Chi Square karena data yang
1 Semarang. digunakan berskala ordinal dengan 2

109
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

sampel yang tidak berpasangan dengan


tabel 2x2. Variabel penelitian yang HASIL DAN PEMBAHASAN
digunakan terdiri dari variabel terikat yaitu:
pengetahuan komprehensif HIV/AIDS Karakteristik responden
pada remaja, sedangkan variabel bebasnya Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data
adalah pendidikan kesehatan tentang karakteristik responden berdasarkan jenis
HIV/AIDS dengan metode simulasi kelamin dan usia yang dapat dilihat pada
permainan. tabel 1 berikut:

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia


Karakteristik Eksperimen Kontrol
n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 8 32,0 13 52,0
Perempuan 17 68,0 12 48,0
Usia
16 Tahun 2 8,0 4 16,0
17 Tahun 22 88,0 20 80,0
18 Tahun 1 4,0 1 4,0
Total 25 100 25 100

Berdasarkan tabel distribusi (88,00%) dan pada kelompok kontrol


responden menurut jenis kelamin di atas sebanyak 20 responden (80,00%).
dapat diketahui bahwa jumlah responden
perempuan pada kelompok eksperimen Perbedaan pengetahuan komprehensif
lebih banyak dari pada responden laki-laki HIV/AIDS antara pretest dan posttest
yaitu sebanyak 17 responden (68,00%). Pengukuran pengetahuan
Sedangkan pada kelompok kontrol jumlah komprehensif HIV/AIDS dilakukan
responden laki-laki lebih banyak dari pada terhadap 50 responden pada kelompok
responden perempuan, yaitu sebanyak 13 kepsrimen dan kelompok kontrol yang
responden (52,00%). Sedangkan distribusi dilakukan sebelum dan sesudah intervensi.
responden menurut usia tersebut, diketahui Adapun hasil dapat dilihat pada tabel 2
bahwa pada kelompok eksperimen dan berikut ini.
kelompok kontrol yang terbanyak adalah
pada usia 17 tahun, yaitu pada kelompok
eksperiemen sebanyak 22 responden

Tabel 2. Perbedaan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS antara pretest dan posttest


Kelompok Pengetahuan HIV/AIDS
Tidak Komprehensif Komprehensif P Value
n % n %
Eksperimen Pretest 18 72,0 7 28,0 0,000
Posttest 4 16,0 21 84,0
Jumlah 50

110
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Kontrol Pretest 17 68,0 8 32,0 0,063


Posttest 12 48,0 13 52,0
Jumlah 50

Berdasarkan tabel 2, hasil uji penyuluh dengan peserta yang disuluhnya,


statistik dengan McNemar menunjukan kemudian hasil dari penyuluhan sulit untuk
adanya perbedaan tingkat pengetahuan dinilai hasilnya (Ircham, Machfoedz dan
komprehensif HIV/AIDS sebelum dan Eko Suryani, 2008). Dibanding pendidikan
sesudah simulasi permainan diperoleh nilai kesehatan dengan menggunakan metode
p value = 0,000 yang berarti < 0,05. Artinya, simulasi permainan yang mempunyai
terdapat perbedaan bermakna antara berbagai keunggulan yang dapat
pengetahuan sebelum dan sesudah memungkinkan kemudahan dalam proses
dilakukannya simulais permainan. belajar, keungggulan-keunggulan dari
Sedangkan pada kelompok kontrol metode simulasi permainan antara lain
diperoleh nilai p value = 0,063 yang berarti meningkatkan partisipasi aktif peserta didik,
> 0,05, yang artinya, tidak terdapat memungkinkan adanya umpan balik yang
perbedaan bermakna antara pengetahuan menjadikan proses belajar lebih efektif,
sebelum dan sesudah dilakukannya meningkatkan kemampuan untuk
intervensi berupa penyuluhan. menyampaikan pendapat dalam diskusi
Berdasarkan analisis, diperoleh hasil kelompok (Sadiman, Arief dkk, 2009). Hal
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan ini menyebabkan tidak adanya perbedaan
antara pretest dan posttest pada kelompok yang signifikan antara penegtahuan
kontrol. Hal ini disebabkan karena pada komprehensif HIV/AIDS sebelum
kelompok tersebut tidak diberikan intervensi penyuluhan dan setelah
intervensi berupa pendidikan kesehatan intervensi penyuluhan.
HIV/AIDS dengan menggunakan metode
simulasi permainan. Lain halnya pada Perbedaan posttest pada kelompok
kelompok eksperimen. Kondisi yang Eksperimen dan kelompok control
demikian tidak memberikan perubahan Pengukuran pengetahuan
yang positif terhadap peningkatan komprehensif HIV/AIDS dilakukan pada
pengetahuan komprehensif HIV/AIDS kelompok eksperimen dan kelompok
pada remaja dibanding kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi yang
eksperimen. Menurut Machfoedz, Ircham berbeda pada setiap kelompoknya. Adapun
dan Eko Suryani (2008) bahwa metode hasil pengukuran pengetahuan
pendidikan kesehatan berupa penyuluhan komprehensif HIV/AIDS dapat dilihat
mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu pada tabel berikut ini ini.
kurang adanya umpan balik antara

Tabel 3. Perbedaan posttsest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol


Pengetahuan Kelompok Total P value
Kontrol % Eksperimen %
Tidak komprehensif 12 48,0 4 16,0 16
Komprehensif 13 52,0 21 84,0 34 0,034
Total 25 50,0 25 50,0 50

111
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Sedangkan pada tabel 3, hasil dari berkelompok. Oleh karena ini dalam
uji statistik dengan Chi-Square tidak simulasi permainan ini dipilih dengan
berpasangan antara kelompok eksperimen menggunakan permainan yang dilakukan
dan kelompok kontrol, dengan nilai p value secara mengelompok yaitu salah satunya
(0,034) < 0,05 dapat diketahui bahwa dengan permainan monopoli.
terdapat perbedaan pengetahuan Menurut Ircham, Machfoedz dan
komprehensif HIV/AIDS yang signifikan Eko Suryani (2008), bila fasilitas untuk
antara post-test kelompok eksperimen dan belajar dan materi cukup, tentu proses akan
kelompok kontrol. Artinya bahwa metode berhasil maka malalui metode permainan
simulasi permainan efektif dalam berupa monopoli memungkinkan terjadinya
meningkatkan pengetahuan komprehensif hal-hal sebagai berikut :
HIV/AIDS pada remaja SMA Kesatrian 1 1. Meningkatkan pertisipasi aktif
Semarang tahun ajaran 2014-2015. Permainan memungkinkan adanya
Hal ini sesuai dengan penelitian partisipasi aktif untuk belajar. Seperti kita
yang dilakukan oleh Nanda Aditya yang ketahui, belajar yang baik adalah belajar
menyatakan bahwa Metode Simulasi Game yang aktif. Permainan monopoli
(SIG) lebih berpengaruh dibanding dengan mempunyai kemampuan untuk melibatkan
metode Focus Group Discussion (FGD). Hal peserta didik dalam proses belajar secara
ini dikarenakan metode Simulation Game aktif untuk menggali informasi mengenai
(SIG) dalam fasilitator memungkinkan pengetahuan HIV/AIDS. Dalam
penyuluh atau fasilitator lebih mudah penyuluhan tentang HIV/AIDS pada
dalam menyampaikan materi, peningkatan remaja dengan metode simulasi permainan,
minat siswa saat penyuluhan karena peran penyuluh disini dapat benar-benar
penyampaian materi dengan metode ini berperan sebagai fasilitator. Permainan
menggunakan media permainan, motivasi monopoli menjadi menarik karena
siswa menjadi meningkat karena terdapat didalamnya terdapat unsur kompetisi.
unsur kompetisi pada metode ini, adanya Partisipasi aktif juga meningkat karena
umpan balik secara langsung (Rizki, Nanda adanya unsur kompetisi dalam permainan
A, 2012). ini. Adanya unsure kompetisi ini akan
Metode simulasi permainan menimbulkan suasana keragu-raguan
merupakan sebuah metode pendidikan karena tidak tahu sebelumnya siapa yang
kesehatan dengan menggunakan permainan bakal menimbulkan suasana keragu-raguan
monopoli efektif dalam meningkatkan siapa yang menang dan kalah (Sadiman,
pengetahuan komprehensif HIV/AIDS Arief dkk, 2009).
pada remaja, dikarenakan metode simulasi 2. Memungkinkan adanya umpan
permainan dengan menggunakan balik langsung
permainan monopoli telah dimodifikasi Umpan balik yang secepatnya atas
sedemikian rupa sehingga bisa apa yang dilakukan akan memungkinkan
menyesuaikan karakteristik sasaran proses belajar menjadi lebih efektif
penyuluhan yaitu remaja SMA. Menurut (Sadiman, Arief, dkk, 2009).
Muhamad Ali dan Muhamad Asrori 3. Meningkatkan kemampuan
(2008:60), karakteristik remaja yang salah untuk menyampaikan pendapat
satunya yaitu suka bergaul dan dalam diskusi kemlompok.

112
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Pendidikan kesehatan tentang SMA Kesatrian 1 Semarang. Meskipun


HIV/AIDS melalui metode simulasi belum meningkat sesuai target MDGs yaitu
permainan dengan permainan monopoli 95%, namun dari perbandingan sebelum
menerapkan metode diskusi. Adanya dan sesudah terdapat peningkatan dari 28%
diskusi kelompok dalam sebuah permainan menjadi 84%, hal tersebut menunjukan
akan memperluas wawasan karena saling peningkatan sebesar 56%.
tukar pendapat diantara anggota kelompok.
Diskusi dalam pendidikan tentang UCAPAN TERIMA KASIH
HIV/AIDS dengan metode permainan
monopoli dilakukan ketika pemain Ucapan terima kasih kami tujukan
mendapat pertanyaan dari pemandu kepada Kepala Sekolah SMA Kesatrian 1
permainan ataupun harus menjawab Semarang atas kerjasama dan ijin
pertanyaan yang ada di dalam papan melakukan penelitian di sekolah tersebut.
permainan, setelah menjawab pertanyaan Terimakasih juga disampaikan kepada
maka pemain yang lain menilai apakah siswa kelas XII SMA Kesatrian 1
jawaban tersebut benar atau tidak secara Semarang, khususnya yang terlibat pada
berdiskusi satu sama lain. penelitian ini.
Perubahan pengetahuan remaja
tentang pengetahuan komprehensif DAFTAR PUSTAKA
HIV/AIDS merupakan salah satu effect dari
input (metode simulasi permainan). Hal ini Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012, Profil
Kesehatan Kota Semarang 2012, Dinas
sesuai dengan penelitian yang diadakan
Kesehatan Kota Semarang, Semarang.
pada remaja SMA Kesatrian 1 Semarang
yang mempunyai pengetahuan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012, Profil
komprehensif HIV/AIDS sebelum Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas
dilakukan pendidikan kesehatan dengan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.

menggunkan metode simulasi permainan Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan, 2013,


sebanyak 28% saja, setelah dilakukan Laporan Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia
pendidikan kesehatan khususnya tentang Triwulan III Tahun 2013, Kementerian
HIV/AIDS dengan menggunkan metode Kesehatan RI, Jakarta.

simulasi permainan siswa yang mempunyai


-----------------------------------------------------, 2013, Profil
pengetahuan komprehensif HIV/AIDS Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
sebanyak 84%, yang berarti terjadi Lingkungan Tahun 2012, Kementerian
peningkatan jumlah siswa yang mempunyai Kesehatan RI, Jakarta.
pengetahuan komprehensif HIV/AIDS
Ircham, Machfoedz dan Eko Suryani, 2008,
sebanyak 56%. Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi
Kesehatan, Yogyakarta: Fitramaya.
SIMPULAN
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Laporan STBP 2011
Lembar Fakta Remaja, Kementerian Kesehatan
Setelah dilakukan analisis, maka
RI, Jakarta.
dapat disimpulkan bahwa dengan
menggunakan metode simulasi permainan Komisi Penanggulangan AIDS, 2011, Lembar Fakta
efektif dalam meningkatkan pengetahuan Orang Muda dan HIV di Indonesia, Jakarta.
komprehensif HIV/AIDS pada remaja di

113
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008, c267000005/manfaat-dari-bermain-


Psikologi Remaja Perkembangan Persera Didik, monopoli.)
Jakarta: Bumi Aksara.
Rizki, Nanda A, 2012, Metode Focus Group Discussion
Prasojo, S, 2010, Super Brain Game, Penerbit Gelar Dan Simulation Game Terhadap Peningkatan
Semesta Aksara, Yogyakarta. Pengetahuan Kesehetan Reproduksi, KEMAS,
Volume 8, No 1, Juli 2012, hlm. 23-29.
Rahmawati, Indah, Media Permainan Meningkatkan
Motivasi Belajar Siswa, 9 Februari 2009, Sadiman, Arief S, dkk, 2009, Media Pendidikan
diakses tanggal 20 Agustus 2014, Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatan.
(http/suaraguru.wordpress.com/2009/02/09/ Jakarta: Raja Grafinda Persada.
media-permainan-meningkatkan-motivasi-
belajar-siswa/) World Health Organization, 2013, Data on the size of
the HIV/AIDS epidemic: Data by WHO region
Rifkisajid, Manfaat Dari Bermain Monopoli, 27 Data by WHO region [ homepage on the
Maret 2013, diakses pada tanggal 20 Agustus internet ]. Diakses pada 25 Maret 2014.
2014, http://apps.who.int/gho/data/node.main.61
(http/m.kaskus.co.id/thread/51530e114f6ea1 9?lang=en.

114
UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEBERHASILAN PENGOBATAN (SUCCESS RATE) TB PARU DI
KABUPATEN SRAGEN

Desi Rahmawati , Irwan Budiono

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Success Rate merupakan
Diterima September 2015 salah satu indikator untuk menilai kemajuan penanggulangan TB. Capaian Success Rate di Kabupaten Sragen,
Disetujui September 2015 Jawa Tengah tahun 2011 sebesar 90,2% kemudian tahun 2012 meningkat menjadi sebesar 90,6%, namun pada
tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 86,7%. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik (explanatory
Dipublikasikan Oktober
research), menggunakan metode survei dengan rancangan cross sectional. Populasi sebanyak 25 puskesmas,
2015 pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat
________________ (menggunakan uji chi square dengan α=0,05) dengan uji alternatif yakni uji fisher. Hasil penelitian ini
Keywords: menunjukkan bahwa faktor pengetahuan petugas (p=0,010), sikap petugas (p=0,037), motivasi kerja petugas
(p=0,010), ketersediaan logistik (p=0,027) dan pelaksanaan supervisi oleh Dinas Kesehatan (p=0,041)
Success Rate; Health service;
berhubungan dengan keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen, sedangkan faktor
Pulmonary TB
keikutsertaan petugas dalam pelatihan (p=1,000), persepsi petugas terhadap kepemimpinan kepala puskesmas
____________________ (p=0,360) dan sistem pencatatan dan pelaporan (p=0,200) tidak berhubungan dengan keberhasilan pengobatan
(Success Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen. Saran kepada kepala puskesmas dan petugas P2TB yaitu
meningkatkan penjaringan suspek secara aktif dan kreatif serta meningkatkan capaian Success Rate dengan
pendekatan khusus pada pasien yang rawan putus berobat.
Abstract
___________________________________________________________________
Tuberculosis was an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. Success Rate was one indicators used to assess
the progress of TB reduction. The achievement of success rate in Sragen regency, Central Java in 2011 was 90.2% then in 2012
increased to 90.6% but in 2013 fell to 86.7%. This research was an analytical study (explanatory research), used a cross
sectional survey. The population was about 25 health center in Sragen Regency. Sampling used total sampling technique. Data
analysis were performed by univariate and bivariate (used chi square test with α=0.05) and alternative test used fisher test. The
results of this study showed that the factors of officer’s knowledge (p=0.010), officer’s attitude (p=0.037), officer’s work
motivation (p=0.010), the availability of logistics (p=0.027) and the implementation of supervision by the regional health
agency (p=0.041) were related to the Success Rate of pulmonary TB in Sragen Regency, while the factors of the officer’s
participation in training (p=1.000), officer’s perception of the health center head’s leadership (p=0.360) and the system of
recording and reporting (p=0.200) were not related to the treatment success (Success Rate) of pulmonary TB in Sragen
Regency. Advice to the head of health center and the officer are to increase suspect finding actively and creatively and also
improve the achievement of success rate with special approach in patients who susceptible to drop out during the medical
treatment.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: daissy7sm@gmail.com

115
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Tuberkulosis atau sering disebut minimal 90% (Dinkesprov Jateng, 2013:


dengan TB adalah suatu penyakit menular 45). Treatment Success Rate penderita TB
yang disebabkan oleh bakteri yang bernama Paru BTA (+) di Indonesia pada tahun
Mycobacterium tuberculosis (WHO, 2013). TB 2011 telah mencapai 86,7% (Kemenkes RI,
merupakan masalah kesehatan global yang 2012). Capaian ini belum memenuhi target
menyebabkan jutaan orang menderita yang diharapkan yaitu sebesar 90% atau
penyakit ini dan menjadi penyakit yang dapat disimpulkan bahwa usaha
meyebabkan kematian terbesar kedua penanggulangan TB di Indonesia belum
setelah HIV (Human Immunodeficiency mencapai keberhasilan.
Virus). Menurut WHO (2013) dalam Global Berdasarkan Profil Kesehatan
Tuberculosis Report 2013, pada tahun 2012 Provinsi Jawa Tengah tahun 2012,
terdapat 8.600.000 kasus TB baru dan prevalensi tuberkulosis di Jawa Tengah
1.300.000 meninggal akibat TB. Untuk pada tahun 2012 yaitu sebesar 106,42 per
mengatasi kegawatan ini, WHO sejak 100.000 penduduk (Dinkesprov Jateng,
pertengahan tahun 1990 menerapkan 2012), sedangkan menurut Buku Saku
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Kesehatan Triwulan 3 Tahun 2013 yang
Shortcourse) (WHO, 2013). dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Indonesia menempati peringkat Jawa Tengah, penemuan kasus TB Paru
keempat dengan insidensi sebesar 0,4-0,5 (Case Detection Rate) di Jawa Tengah pada
juta (WHO, 2013). Untuk menanggulangi tahun 2012 adalah sebesar 58,45%, belum
keadaan tersebut Indonesia juga telah mencapai target nasional yakni 70%. Angka
menerapkan strategi DOTS yang Kesembuhan TB Paru (Cure Rate) pada
dicanangkan oleh WHO. Dalam program tahun yang sama telah mencapai 81,46%,
DOTS terdapat dua indikator untuk menilai namun masih di bawah target sebesar 85%,
kemajuan atau keberhasilan sedangkan capaian Success Rate sebesar
penanggulangan TB yaitu Angka 87,72%, belum mencapai target sebesar
Penemuan Pasien baru TB BTA positif 90% (Dinkesprov Jateng, 2012; Depkes,
(Case Detection Rate = CDR) dan Angka 2006).
Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = Kabupaten Sragen merupakan salah
SR). CDR adalah prosentase jumlah pasien satu kabupaten yang berada di Provinsi
baru BTA positif yang ditemukan dan Jawa Tengah. Data tahun 2011, 2012 dan
diobati dibanding jumlah pasien baru BTA 2013 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan
positif yang diperkirakan ada dalam Kabupaten Sragen menyebutkan bahwa
wilayah tersebut. Target CDR Program indikator CDR (Case Detection Rate) belum
Penanggulangan TB Nasional minimal 70% mencapai target yang ditentukan yaitu
(Kemenkes, 2009: 66). Sedangkan SR sebesar 70%. Pada tahun 2011 pencapaian
adalah prosentase pasien baru TB paru CDR hanya sebesar 55,1% kemudian pada
BTA positif yang menyelesaikan tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi
pengobatan (baik yang sembuh maupun sebesar 56,0% akan tetapi pada tahun 2013
pengobatan lengkap) di antara pasien baru terjadi penurunan pada capaian CDR
TB paru BTA positif yang tercatat. Target menjadi sebesar 52,4%. Selain itu, indikator
SR Program Penanggulangan TB Nasional CR (Cure Rate) pada tahun 2013 juga

116
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

mengalami penurunan dimana target dari Sehingga dalam penelitian kali ini penulis
indikator ini adalah sebesar 85%. Pada tertarik untuk meneliti faktor pelayanan
tahun 2011 indikator CR telah mencapai kesehatan.
88,1% kemudian pada tahun 2012 Berdasarkan latar belakang tersebut,
meningkat menjadi 89,2% namun pada maka rumusan masalah dalam penelitian
tahun 2013 terjadi penurunan menjadi ini adalah adakah hubungan antara tingkat
84,3%. Indikator lain yaitu SR (Success Rate) pengetahuan petugas P2TB, sikap petugas
pada tahun 2013 juga tidak luput dari P2TB, motivasi petugas P2TB,
penurunan. Pada tahun 2011 indikator SR keikutserttaan petugas P2TB dalam
telah mencapai 90,2% kemudian pada pelatihan, persepsi petugas P2TB terhadap
tahun 2012 meningkat menjadi 90,6% kepemimpinan kepala puskesmas,
namun pada tahun 2013 terjadi penurunan ketersediaan logistik, ketersediaan dana,
menjadi 86,7% padahal target dari indikator pelaksanaan rapat koordinasi tingkat
ini adalah sebesar 90% (DKK Sragen, puskesmas, sistem pencatatan dan
2014). pelaporan, pelaksanaan supervisi oleh dinas
Dari hasil observasi pada bulan kesehatan dan pelaksanaan evaluasi oleh
Maret tahun 2014 di Kabupaten Sragen, Kepala Puskesmas dengan keberhasilan
dari tahun ke tahun terjadi peningkatan pengobatan di Kabupaten Sragen. Tujuan
jumlah pasien yang diobati oleh Puskesmas. dari penelitian ini adalah mengetahui
Hal ini tidak lepas dari usaha DKK hubungan antara faktor-faktor tersebut
Kabupaten Sragen yang giat melaksanakan dengan keberhasilan pengobatan di
penyuluhan di berbagai daerah. Sehingga Kabupaten Sragen.
terjadi peningkatan kesadaran masyarakat
untuk membawa seseorang dengan gejala- METODE
gejala TB ke fasilitas pelayanan kesehatan
namun tidak diikuti dengan peningkatan Penelitian ini bersifat “explanatory
pada angka keberhasilan pengobatan research” (penelitian penjelasan) yaitu
(Success Rate) TB Paru. menjelaskan hubungan antara variabel
Angka Keberhasilan Pengobatan pengaruh dengan variabel terpengaruh
(SR) sangat dipengaruhi oleh beberapa melalui pengujian hipotesis. Dengan
faktor baik faktor dari penderita maupun demikian maka penelitian rancangan
faktor pelayanan kesehatan. Penelitian penelitian yang digunakan dalam penelitian
Bertin Tanggap Tirtana (2011) variabel ini adalah metode potong lintang (cross
bebasnya adalah berupa faktor penderita sectional). Dimana variabel bebas dan terikat
yang meliputi keteraturan berobat, lama diukur dalam satu waktu. Dalam penelitian
pengobatan, tingkat pendapatan, jenis ini data Success Rate yang digunakan adalah
pekerjaan, kebiasaan merokok, jarak tempat data Success Rate pada tahun 2013
tinggal pasien hingga tempat pengobatan sedangkan penelitian dilakukan pada tahun
dan status gizi. Hasil dari penelitian 2014. Hal ini dapat dimaklumi karena
tersebut adalah terdapat pengaruh antara kondisi pada tahun 2014 tidak jauh berbeda
keteraturan berobat dan lama pengobatan dengan kondisi tahun 2013 mulai dari
terhadap keberhasilan pengobatan, petugas P2TB Puskesmas masih sama
sedangkan untuk faktor pelayanan hingga pendanaan yang tidak jauh berbeda.
kesehatan belum dilakukan penelitian. Beberapa keuntungan menggunakan

117
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

pendekatan cross sectional ini adalah dapat dari WHO, Kementerian Kesehatan
menekan biaya penelitian, waktu yang Republik Indonesia dan Dinas Kesehatan
dibutuhkan relatif singkat dan efisiensi kerja Provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga
(Murti, 2003: 220). digunakan data Success Rate dalam evaluasi
Instrumen yang digunakan dalam P2TB Sragen yang diperoleh dari Dinas
penelitian ini adalah kuesioner dan lembar Kesehatan Kabupaten Sragen serta
checklist yang telah diuji validitas dan formulir-formulir pencatatan TB di
reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. Puskesmas.
Sumber data yaitu data primer yang
diperoleh langsung dari responden dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
menggunakan kuesioner dan lembar
checklist. Data sekunder dalam penelitian ini Adapun hasil penelitian ini dapat
berupa data tentang penyakit tuberkulosis dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut

Tabel 1. Hasil Penelitian


Keberhasilan Pengobatan
(Success Rate) Jumlah
No. Variabel Kategori p value
Baik Kurang
n % N % n %
Baik 14 56,0 3 12,0 17 68,0
Pengetahuan
1. Kurang 2 8,0 6 24,0 8 32,0 0,010
Petugas
Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Baik 16 64,0 6 24,0 22 88,0
2. Sikap Petugas Kurang 0 0,0 3 12,0 3 12,0 0,037
Jumlah 16 9 25 100,0
Baik 14 56,0 3 12,0 17 68,0
Motivasi Kerja
3. Kurang 2 8,0 6 24,0 8 32,0 0,010
Petugas
Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Keikutsertaan Pernah 11 44,0 7 28,0 18 72,0
4. Petugas dalam Belum Pernah 5 20,0 2 8,0 7 28,0 1,000
Pelatihan Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Persepsi Petugas Baik 16 64,0 8 32,0 24 96,0
terhadap Kurang 0 0,0 1 4,0 1 4,0
5. 0,360
Kepemimpinan
Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Kepala Puskesmas
Lengkap 7 28,0 0 0,0 7 28,0
Ketersediaan
6. Tidak Lengkap 9 36,0 9 36,0 18 72,0 0,027
Logistik
Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Ada 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Ketersediaan
7. Tidak Ada 0 0,0 0 0,0 0 0,0 -
Dana
Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Pelaksanaan Ada 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Rapat Koordinasi Tidak Ada 0 0,0 0 0,0 0 0,0
8. -
Tingkat
Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Puskesmas

118
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Terisi Lengkap 4 16,0 5 20,0 9 36,0


Sistem Pencatatan Terisi Tidak
9. 12 48,0 4 16,0 16 64,0 0,200
dan Pelaporan Lengkap
Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Pelaksanaan Rutin 11 44,0 2 8,0 13 52,0
10. Supervisi oleh Tidak Rutin 5 20,0 7 28,0 12 48,0 0,041
Dinas Kesehatan Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0
Pelaksanaan Ada 16 64,0 9 36,0 25 100,0
11. Evaluasi oleh Tidak Ada 0 0,0 0 0,0 0 0,0 -
Kepala Puskesmas Jumlah 16 64,0 9 36,0 25 100,0

Pengetahuan Petugas Berdasarkan hasil uji statistik Fisher pada


Berdasarkan hasil uji statistik Fisher Tabel 1, dimana nilai p value sebesar 0,037
pada Tabel 1, dimana nilai p value sebesar lebih kecil dari 0,05 (0,037 > 0,05) yang
0,010 lebih kecil dari 0,05 (0,010 < 0,05) artinya faktor sikap petugas berhubungan
yang artinya faktor pengetahuan petugas dengan capaian Success Rate TB Paru di
berhubungan dengan capaian Success Rate Kabupaten Sragen.
TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan hasil
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Nurmala (2002) yang
hasil penelitian dari Widjanarko (2006) menyatakan bahwa ada pengaruh antara
yang menyatakan bahwa ada hubungan sikap petugas dengan keberhasilan program
yang signifikan antara pengetahuan penanggulangan TB Paru di Puskesmas
responden (Petugas P2 TB Puskesmas) Helvetia tahun 2002 dengan p value 0,002.
dengan praktik penemuan suspek TB paru. Target kerja seorang petugas P2 TB telah
Ilyas dalam Maryun (2007) berpendapat ditentukan secara nasional, namun tidak
bahwa pengetahuan merupakan faktor ada peraturan khusus tentang bagaimana
dominan yang sangat penting untuk cara mencapai target tersebut. Sehingga
terbentuknya tindakan seseorang. petugas P2TB dapat melakukan inovasi
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dalam melaksanakan tugasnya guna
dengan wawancara atau kuesioner yang mencapai target yang telah ditetapkan
menanyakan tentang isi materi yang ingin tersebut.
diukur dari subyek penelitian atau Dalam penelitian ini juga ditemui
responden. Penelitian Abbas (2012) yang salah seorang pertugas P2 TB yang cukup
melakukan wawancara mendalam terhadap inovatif dalam menjalankan tugasnya. Cara
respondennya menyimpulkan bahwa unik yang digunakan adalah dengan
pengetahuan baik menunjukkan kinerja membagikan stiker yang bertuliskan gejala-
baik petugas P2 TB. Oleh karena itu, gejala penyakit TB pada penjual sayur
pengetahuan yang baik terkait pengobatan keliling. Pertimbangan yang dipakai oleh
TB perlu lebih ditingkatkan agar dapat petugas P2 TB ini adalah bahwa ketika ibu-
menunjang pencapaian angka Success Rate ibu sedang ramai berbelanja pasti akan
TB Paru. dilakukan sambil mengobrol ringan satu
sama lain, disinilah peran pedagang sayur
Sikap Petugas keliling, yakni untuk menyampaikan pesan
yang ada pada stiker tersebut. Dengan

119
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

demikian dari obrolan ringan yang tertular TB dari pasien yang sedang
dilakukan diharapkan masyarakat dapat ditanganinya.
mengenali gejala TB untuk kemudian
apabila mereka menemui kasus semacam Keikutsertaan Petugas dalam Pelatihan
itu dapat segera dibawa ke pelayanan Berdasarkan hasil uji statistik Chi
kesehatan untuk mendapat penanganan square pada Tabel 1, dimana nilai p value
medis. sebesar 1,000 lebih besar dari 0,05 (1,000 >
0,05) yang artinya faktor keikutsertaan
Motivasi Kerja Petugas petugas dalam pelatihan tidak berhubungan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi dengan capaian Success Rate TB Paru di
square pada Tabel 1, dimana nilai p value Kabupaten Sragen.
sebesar 0,010 lebih kecil dari 0,05 (0,010 < Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
0,05) yang artinya faktor motivasi kerja hasil penelitian dari Maryun (2007) yang
petugas berhubungan dengan capaian menunjukkan bahwa ada hubungan yang
Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. sedang antara pelatihan dengan kinerja
Hasil penelitian ini sesuai dengan petugas pengelola program TB puskesmas
pendapat Gibson et al dalam Maryun terhadap cakupan penemuan kasus baru
(2007) yang menyatakan bahwa kinerja BTA (+). Akan tetapi penelitian dari Duhri
seseorang yang dinilai tidak memuaskan (2013) menunjukkan hasil yang sesuai
sering disebabkan oleh motivasi yang dengan penelitian ini yakni keterampilan
rendah. Menurut pendapat Budioro (2002) petugas P2TB tidak menggambarkan
motivasi adalah upaya penggerakan dengan kinerja yang baik. Artinya dalam penelitian
cara menghidupkan kekuatan pendorong tersebut, petugas P2TB yang terampil atau
yang sebenarnya sudah ada dalam diri tiap tidak terampil memiliki peluang yang sama
orang. Dalam menjalankan tugas, apabila untuk menemukan penderita TB Paru.
terdapat pasien yang tidak datang Pelatihan bagi para petugas P2TB di
mengambil obat pada hari yang telah Kabupaten Sragen bukan merupakan acara
ditentukan maka petugas P2 TB akan yang sering ataupun rutin dilaksanakan.
melakukan tindakan minimal dengan Sehingga upaya peningkatan kemampuan
menelepon pasien untuk mengingatkannya. petugas P2 TB tidak bisa hanya
Apabila pasien belum juga datang, maka mengandalkan kegiatan pelatihan.
petugas akan melakukan kunjungan rumah Menyikapi hal ini, DKK Kabupaten Sragen
dengan membawa obat untuk pasien lantas mengadakan pertemuan rutin setiap
tersebut. Hal ini menunjukkan motivasi tiga bulan sekali yang diikuti oleh seluruh
yang baik dari petugas P2 TB dalam petugas P2TB Kabupaten Sragen.
pencapaian angka Success Rate TB Paru. Pertemuan ini dimanfaatkan secara
Pada petugas dengan motivasi yang kurang maksimal oleh para petugas untuk berbagi
sebagian mengeluhkan tentang risiko informasi terbaru tentang penanggulangan
tertular sebagaimana diketahui TB TB. Hal ini diduga dapat menggantikan
merupakan penyakit yang mudah menular. peran pelatihan yang tidak rutin
Kekhawatiran pada petugas P2 TB ini tetap dilaksanakan. Selain itu, petugas P2TB juga
muncul meski telah mendapatkan informasi melaksanakan tugasnya berdasarkan
tentang keamanan kerja agar petugas tidak pengalaman yang telah mereka miliki
selama mengemban tugas dan disesuaikan

120
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

pula dengan instruksi yang diberikan oleh Berdasarkan hasil uji statistik Chi
wasor TB. square pada Tabel 1, dimana didapatkan p
value sebesar 0,027 (0,027 < 0,05) yang
Persepsi Petugas terhadap Kepemimpinan artinya faktor ketersediaan logistik
Kepala Puskesmas berhubungan dengan capaian Success Rate
Berdasarkan hasil uji statistik Chi TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil
square pada Tabel 1, dimana nilai p value penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
sebesar 0,360 lebih besar dari 0,05 (0,360 > Maryun (2007) yang menyatakan bahwa
0,05) yang artinya faktor persepsi petugas ada hubungan yang kuat antara persepsi
terhadap kepemimpinan Kepala Puskesmas terhadap sarana dengan kinerja petugas
tidak berhubungan dengan capaian Success pengelola program TB Puskesmas terhadap
Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. cakupan penemuan kasus baru BTA (+).
Hasil penelitian ini tidak sesuai Seharusnya semakin lengkap logistik
dengan hasil penelitian Maryun (2007) yang P2TB maka akan semakin baik pula Success
menyatakan bahwa ada hubungan yang Rate yang dicapai. Akan tetapi, dalam
kuat antara persepsi terhadap penelitian ini menunjukkan hasil yang
kepemimpinan dengan kinerja petugas terbalik yakni semakin tidak lengkap
pengelola program TB puskesmas terhadap logistik maka Success Rate yang dicapai
cakupan penemuan kasus baru BTA (+). justru semakin baik. Temuan ini menuntut
Menurut pendapat Budioro (2002), kepala adanya analisis yang lebih mendalam
puskesmas harus berperan sebagai tokoh tentang mengapa hal tersebut dapat terjadi.
dan pembina bagi semua kegiatan yang Setelah dilihat kembali ternyata logistik
berkaitan dengan bidang kesehatan dalam yang tidak tersedia di puskesmas
wilayah puskesmasnya. Penelitian Yarman merupakan logistik yang memang jarang
(2006) menunjukkan hasil yang sesuai digunakan dalam upaya penanggulangan
dengan penelitian ini, yakni tidak TB. Sebagai contoh adalah formulir TB 09
didapatkan hubungan antara dan formulir TB 10. TB 09 merupakan
kepemimpinan dengan faktor-faktor formulir rujukan/pindahan sedangkan TB
kedisiplinan pegawai puskesmas. 10 merupakan formulir hasil akhir
Pada kenyataannya, kepala pengobatan dari pasien TB pindahan.
puskesmas adalah seseorang yang Formulir ini jarang digunakan karena
memimpin sebuah puskesmas namun tidak memang puskesmas sangat jarang
berarti kepala puskesmas selalu ada di menerima maupun melakukan
puskesmas yang ia pimpin untuk rujukan/pindah pasien. Hal yang sama juga
mengawasi jalannya pelayanan karena terjadi pada OAT selain kategori 1 karena
memang banyak hal lain yang harus diurus OAT selain kategori 1 akan tersedia apabila
oleh seorang kepala puskesmas. Dengan memang terdapat pasien yang
demikian kesadaran petugas untuk membutuhkan kategori tersebut.
melaksanakan tugasnya dengan maksimal Selama kegiatan penelitian juga
tanpa harus menunggu perintah kepala diketahui bahwa terdapat dua puskesmas,
puskesmas sangat diperlukan dalam usaha yakni Puskesmas Jenar dan Puskesmas
penanggulangan TB. Gemolong, tidak memiliki tenaga analis
laboratorium. Posisi analis laboratorium di
Ketersediaan Logistik dua puskesmas tersebut dipegang oleh

121
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

perawat yang pernah mengikuti pelatihan. koordinasi tingkat puskesmas ini tidak
Kekhawatiran yang muncul akibat masalah dapat dilanjutkan ke uji korelasi Chi-Square
ini adalah terjadinya kesalahan saat karena seluruh puskesmas atau 100% telah
pembacaan sediaan dahak karena melaksanakan rapat koordinasi tingkat
keterampilan pembacaan seorang analis puskesmas secara rutin. Sehingga tidak
laboratorium akan berbeda dengan seorang terdapat hubungan antara pelaksanaan
perawat yang dilatih. Hal ini dianggap oleh rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan
petugas TB puskesmas sebagai hambatan Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen.
dalam proses diagnosa dan penemuan Rapat koordinasi tingkat puskesmas
suspek. atau yang sering disebut sebagai
minilokakarya telah dilaksanakan di
Ketersediaan Dana seluruh puskesmas di Kabupaten Sragen.
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui Rapat ini dilaksanakan setiap satu bulan
bahwa untuk variabel ketersediaan dana ini sekali sesuai jadwal yang telah ditentukan
tidak dapat dilanjutkan ke uji korelasi Chi- dan diikuti oleh kepala puskesmas dan
Square karena seluruh puskesmas atau 100% seluruh petugas puskesmas dari semua
telah menyediakan dana untuk program P2 bidang. Dalam rapat ini dibahas tentang
TB. Sehingga tidak terdapat hubungan pencapaian yang telah diraih dalam sebulan
antara ketersediaan dana dengan Success terakhir oleh para pemegang program. Serta
Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. akan dipaparkan berbagai hambatan yang
Pada dasarnya pengobatan TB di dihadapi untuk dipecahkan secara bersama-
puskesmas adalah gratis. Namun terdapat sama.
bantuan baik dari pemerintah maupun dari
luar negeri yang dapat digunakan untuk Sistem Pencatatan dan Pelaporan
penjaringan suspek TB. Bantuan tersebut Berdasarkan hasil uji statistik Chi
berasal dari Global Fund dan BOK (Bantuan square pada Tabel 1, dimana nilai p value
Operasional Kesehatan). Global Fund sebesar 0,200 lebih besar dari 0,05 (0,200 >
adalah sebuah mekanisme yang dibentuk 0,05) yang artinya faktor sistem pencatatan
oleh PBB untuk memerangi tiga penyakit dan pelaporan tidak berhubungan dengan
yaitu HIV/AIDS, Malaria dan TB. capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten
Sedangkan BOK merupakan bantuan Sragen.
pemerintah pusat kepada pemerintah Dalam Pedoman Nasional Penaggulangan
daerah untuk percepatan pencapaian TB telah dijelaskan bahwa salah satu
MDGs bidang kesehatan melalui komponen penting dari surveilans adalah
peningkatan kinerja Puskesmas dan pencatatan dan pelaporan. Semua unit
jaringannya serta Poskesdes/Polindes, pelaksana program penanggulangan TB
Posyandu dan UKBM lainnya dalam harus melaksanakan suatu sistem
menyelenggarakan pelayanan kesehatan pencatatan dan pelaporan yang baku.
yang bersifat promotif dan preventif. Sistem pencatatan dan pelaporan ini sangat
berguna dalam proses evaluasi program TB.
Pelaksanaan Rapat Koordinasi Tingkat Selain itu juga dapat digunakan sebagai
Puskesmas langkah antisipasi jika terdapat pasien yang
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui mangkir. Data pasien yang mangkir
bahwa untuk variabel pelaksanaan rapat tersebut dapat dilihat dalam formulir

122
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

pencatatan untuk kemudian dilakukan Pelaksanaan Evaluasi oleh Kepala Puskesmas


pelacakan. Hal ini sangat membantu untuk Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui
mengurangi angka drop out pada pasien TB. bahwa untuk variabel evaluasi oleh kepala
Akan tetapi apabila dihubungkan dengan puskesmas ini tidak dapat dilanjutkan ke uji
capaian Success Rate faktor pencatatan dan korelasi Chi-Square karena seluruh
pelaporan ini menjadi tidak berhubungan. puskesmas atau 100% telah melaksanakan
Hal ini terjadi karena sistem pencatatan dan rapat koordinasi tingkat puskesmas secara
pelaporan tidak dapat secara langsung rutin. Sehingga tidak terdapat hubungan
mempengaruhi capaian Success Rate. Sistem antara pelaksanaan evaluasi oleh Kepala
pencatatan dan pelaporan ini hanya bersifat Puskesmas dengan Success Rate TB Paru di
membantu dalam pelaksanaan surveilans Kabupaten Sragen.
dan evaluasi TB Paru. Evaluasi oleh kepala puskesmas
dilakukan pada saat kegiatan
Pelaksanaan Supervisi oleh Dinas Kesehatan minilokakarya yang diadakan setiap satu
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher bulan sekali. Dalam minilokakarya tersebut
pada Tabel 1, dimana didapatkan p value masing-masing pemegang program
sebesar 0,041 (0,041 > 0,05) yang artinya melaporkan hasil kegiatan selama sebulan
faktor supervisi oleh Dinas Kesehatan terakhir. Dengan demikian kepala
berhubungan dengan capaian Success Rate puskesmas dapat mengevaluasi jalannya
TB Paru di Kabupaten Sragen. berbagai program yang ada di
Penelitian Gari (2009) juga puskesmasnya, termasuk program
menunjukkan hasil yang sejalan dengan pemberantasan TB. Dari evaluasi ini akan
penelitian ini, yakni supervisi berpengaruh muncul saran-saran yang bertujuan untuk
secara signifikan terhadap kinerja petugas memperbaiki jalannya suatu program.
TB Paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan
teori Green dimana faktor penguat SIMPULAN
(reinforcing factor) yaitu faktor-faktor yang
menguatkan termasuk supervisi Wasor Berdasarkan hasil penelitian,
berpengaruh langsung terhadap perilaku diperoleh simpulan sebagai berikut: (1)
seseorang. Pendapat Anwar dalam Maryun Terdapat hubungan antara pengetahuan
(2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan petugas, sikap petugas, motivasi kerja
merupakan inti manajemen karena petugas, ketersediaan logistik dan
kepemimpinan adalah motor penggerak pelaksanaan supervisi oleh dinas kesehatan
dari sumber daya manusia dan sumber daya dengan keberhasilan pengobatan (Success
lainnya. Teori Notoatmodjo (2003) Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen. (2)
menyatakan bahwa keberhasilan kinerja Tidak terdapat hubungan antara
pelaksanaan suatu kegiatan juga sangat keikutsertaan petugas dalam pelatihan,
ditentukan ada tidaknya bimbingan dan persepsi petugas terhadap kepemimpinan
supervisi yang baik dari atasan kepada kepala puskesmas serta sistem pencatatan
bawahannya yang menanyakan dan pelaporan dengan keberhasilan
permasalahan serta kendala yang dihadapi pengobatan (Success Rate) TB Paru di
dalam pelaksanaan agar dapat diberikan Kabupaten Sragen. (3) Tidak diketahui
solusi dari permasalahan tersebut. hubungan antara ketersediaan dana,
pelaksanaan rapat koordinasi tingkat

123
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

puskesmas dan pelaksanaan evaluasi oleh Gari, N.N, 2009, Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap
Kinerja Petugas TB Paru Puskesmas dalam
kepala puskesmas dengan keberhasilan
Penemuan Penderita TB Paru Pada Program
pengobatan (Success Rate) TB Paru di Pemberantasan Penyakit (P2P) TB Paru di
Kabupaten Sragen. Kota Medan Tahun 2009, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara
UCAPAN TERIMA KASIH
H.S, Nurmala, 2002, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan Program
Ucapan terima kasih kami tujukan Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Paru di
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Puskesmas Medan Helvetia Tahun 2002,
Sragen, seluruh Kepala Puskesmas di Skripsi, Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Sragen serta seluruh petugas
Maryun, Yuyun, 2007, Beberapa Faktor yang
P2TB puskesmas Kabupaten Sragen atas
Berhubungan dengan Kinerja Petugas
segala bantuan, kerja sama dan partisipasi Program TB Paru Terhadap Cakupan
yang telah diberikan. Penemuan Kasus Baru BTA (+) di Kota
Tasikmalaya Tahun 2006, Tesis, Universitas
Diponegoro
DAFTAR PUSTAKA

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009, KMK


Abbas, Akhmadi, 2012, Kinerja Petugas TB dalam Nomor 364/MENKES/SK/V/2009,
Pencapaian Angka Kesembuhan TB Paru di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Puskesmas Kabupaten Sidrap Tahun 2012, Jakarta
Universitas Hasanudin, Makassar
Murti, Bhisma, 2003, Prinsip dan Metode Riset
B, Budioro, 2002, Pengantar Administrasi Kesehatan Epidemiologi, Gadjah Mada University Press,
Masyarakat, Badan Penerbit Universitas Yogyakarta
Diponegoro, Semarang
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pendidikan dan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Departemen Kesehatan Tirtana, BT, 2011, Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Republik Indonesia, Jakarta Keberhasilan Pengobatan pada Pasien
Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012, Profil Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah,
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012, Artikel Ilmiah, Universitas Diponegoro,
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang
Semarang
Widjanarko, Bagoes, 2006, Pengaruh Karakteristik,
____________, 2013, Buku Saku Kesehatan Triwulan Pengetahuan dan Sikap Petugas Pemegang
3 tahun 2013, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Program Tuberkulosis Paru Puskesmas
Tengah, Semarang Terhadap Penemuan Suspek TB Paru di
Kabupaten Blora, Jurnal Promosi Kesehatan
Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2014, Evaluasi Indonesia, Volume 1, No 1, Januari 2006, hlm
P2 TBC Sragen 2011, 2012 dan 2013, Dinas 41-52
Kesehatan Kabupaten Sragen, Sragen
World Health Organization (WHO), 2013, Global
Duhri, Asti Pratiwi, 2013, Kinerja Petugas Tuberculosis Report 2013, WHO, Perancis
Puskesmas dalam Penemuan Penderita TB
Paru di Puskesmas Kabupaten Wajo, Skripsi, Yarman, Indra Prasetya, 2006, Pengaruh
Universitas Hasanuddin Kepemimpinas terhadap Faktor-faktor
Kedisiplinan Pegawai Puskesmas Garuda

124
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

yang Berhubungan dengan Keberhasilan Kristen Maranatha


Pelayanan Puskesmas, Tesis, Universitas

125

Anda mungkin juga menyukai