Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: ayunurillahiii@gmail.com
126
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
127
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
128
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Buruk Baik
n % n % n %
1. Pengetahuan Kurang 29 70,7 12 29,3 41 100
Cukup + baik 17 43,6 22 56,4 39 100 0,023
Total 46 57,5 34 42,5 80 100
2. Umur Dewasa 26 44,8 32 55,2 58 100
Lansia 18 81,8 4 18,2 22 100 0,005
Total 44 55 36 45 80 100
3. Pendidikan Rendah 37 83,3 7 16,7 42 100
Tinggi 16 42,1 22 57,9 38 100 0,000
Total 51 63,8 29 36,3 80 100
4. Sikap Tidak Mendukung 5 83,3 1 16,7 6 100
Mendukung 52 70,3 22 29,7 74 100 0,667
Total 57 71,3 23 28,8 80 100
5. Pekerjaan Tidak Bekerja 32 53,3 28 46,7 60 100
Bekerja 11 55 9 45 20 100 1,000
Total 43 53,8 37 46,3 80 100
6. Pendapatan Rendah 39 76,5 12 23,5 51 100
Keluarga Tinggi 14 48,3 15 51,7 29 100 0,014
Total 53 66,3 27 33,8 80 100
7. Sumber Tidak Ada 33 84,6 6 15,4 39 100
Informasi Ada 20 48,8 21 51,2 41 100 0,001
Total 53 66,3 27 33,8 80 100
8. Akses Kurang 18 69,2 8 30,8 26 100
Pelayanan Baik 39 72,2 15 27,8 54 100 0,797
Kesehatan Total 57 71,3 23 28,8 80 100
9. Pengalaman Tidak Ada 51 72,9 19 27,1 70 100
Ada 6 60 4 40 10 100 0,462
Total 57 71,3 23 28,8 80 100
10. Dukungan Rendah 36 72 14 28 50 100
Keluarga Tinggi 13 43,3 17 56,7 30 100 0,017
Total 49 61,3 31 38,8 80 100
129
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
130
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
131
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
tidak bekerja merupakan ibu rumah tangga transportasi ke tempat pelayanan kesehatan
yang sebagian besar waktunya berada di dan biaya berobat.
rumah. Dimana tugas atau pekerjaan ibu
rumah tangga yaitu melakukan aktivitas Sumber Informasi
rumah tangga seperti membersihkan Berdasarkan hasil uji statistik Chi
lingkungan rumah. square diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05),
yang berarti bahwa ada hubungan antara
Pendapatan Keluarga sumber informasi dengan perilaku
Berdasarkan hasil uji statistik Chi pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 39
square diperoleh nilai p=0,014 (p<0,05), responden yang tidak ada sumber informasi
yang berarti bahwa ada hubungan antara tentang penyakit leptospirosis, 15,4%
pendapatan keluarga dengan perilaku memiliki perilaku pencegahan penyakit
pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 51 leptospirosis yang baik, sedangkan 41
responden yang memiliki pendapatan responden yang ada sumber informasi
keluarga yang rendah (<umk Kota tentang penyakit leptospirosis, 51,2%
Semarang), 23,5% memiliki perilaku responden memiliki perilaku pencegahan
pencegahan penyakit leptospirosis yang penyakit leptospirosis yang baik.
baik, sedangkan 29 responden yang Berdasarkan hasil penelitian di
memiliki pendapatan keluarga yang tinggi lapangan, responden mengetahui informasi
(>umk Kota Semarang), 51,7% responden tentang penyakit leptospirosis yaitu dari
memiliki perilaku pencegahan penyakit petugas kesehatan yang memberikan
leptospirosis yang baik. penyuluhan tentang leptospirosis atau lebih
Tingkat pendapatan keluarga menjadi dikenal dimasyarakat sebagai penyakit
pertimbangan responden akan kencing tikus. Sebanyak 11,5%
memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan mendapatkan informasi mengenai penyakit
yang dikehendaki. Responden yang leptospirosis melalui petugas kesehatan,
memilki pendapatan keluarga yang rendah 10% melalui penyuluhan, melalui arisan
atau dibawah UMK Kota Semarang yaitu < atau perkumpulan PKK sebanyak 12,3%,
Rp. 1.423.500,00 apabila mereka dan melalui tetangga sebanyak 16,3%.
mengalami gejala sakit mereka akan Responden yang mendapatkan
mempertimbangkan nilai ekonomis informasi tentang leptospirosis dari tetangga
terhadap transportasi dan biaya obat. mereka akan lebih berhati-hati karena
Berdasarkan penelitian di lapangan, mereka sudah pernah melihat langsung dan
beberapa responden mengungkapkan mengetahui tentang penyakit leptospirosis.
apabila mengalami sakit hanya Dengan mengetahui penyakit leptospirosis
membiarkannya dan hanya membeli obat- maka perilaku pencegahan penyakit
obatan yang dijual di warung. Mereka leptospirosis pun seharusnya akan semakin
hanya akan memeriksakan diri ke baik karena telah mengetahui akibat dari
pelayanan kesehatan apabila obat warung penyakit leptospirosis apabila tidak dicegah
tidak memberikan efek. Responden dan tidak mendapat penanganan yang
beranggapan untuk menghemat biaya tepat.
pengobatan yaitu dengan membeli obat Hal ini sesuai dengan penelitian yang
warung, hal tersebut dilakukan agar tidak dilakukan Quina et al (2014) yang
mengeluarkan banyak uang untuk menyatakan bahwa pencegahan
132
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
133
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
134
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
135
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: syafa.choiriyah@gmail.com
136
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi akut yang dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-
menyerang jaringan paru-paru (alveoli) yang 8 (IVAC, 2011). Menurut hasil Riskesdas
ditandai dengan adanya gejala batuk, dan 2007, prevalensi pneumonia balita di
atau kesukaran bernafas. Sampai saat ini Indonesia tahun 2007 sebesar 2,13%
pneumonia masih menjadi masalah (Depkes RI, 2008) dan pada tahun 2013
kesehatan masyarakat baik di negara maju meningkat menjadi 4,5% (Kemenkes, 2013).
maupun di negara berkembang karena Sedangkan CFR (Case Fatality Rate)
pneumonia masih menjadi penyebab utama pneumonia balita di Indonesia pada tahun
tingginya angka kematian pada bayi dan 2011 hingga 2012 mengalami penurunan
balita di dunia (Ditjen P2PL, 2011). Untuk 0,02% (Kemenkes, 2013). Angka cakupan
itu diperlukan adanya pengendalian penemuan penderita pneumonia balita
terhadap pneumonia. Pengendalian secara nasional belum pernah mencapai
pneumonia balita merupakan fokus utama target (Kemenkes, 2013). Dari tahun 2007
kegiatan pengendalian penyakit ISPA hingga tahun 2012 angka cakupan
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di penemuan pneumonia balita hanya berkisar
Indonesia, dimanaindikator utamanya yaitu antara 23% - 27,71%. Selain itu, pada tahun
cakupan penemuan penderita pneumonia 2012 tidak satupun provinsi di Indonesia
balita (Ditjen P2PL, 2011). Cakupan dapat mencapai target penemuan penderita
penemuan penderita pneumonia balita pneumoniabalita(Kemenkes, 2013). Pada
merupakan persentase jumlah pneumonia tahun 2011, cakupan penemuan penderita
balita baik pneumonia maupun pneumonia pneumonia balita Provinsi Jawa Tengah
berat terhadap jumlah target penemuan menempati urutan ke-2 terendah di Pulau
pneumonia balita yang ditetapkan (Ditjen Jawa dengan persentase sebesar 5,72% dan
P2PL, 2011; Kemenkes, 2013). CFR sebesar 0,10% dan pada tahun 2012
Untuk menunjang keberhasilan mengalami peningkatan menjadi 23,50%
program pengendalian pneumonia balita dengan CFR sebesar 0,02% (Kemenkes,
diperlukan adanya data epidemiologi 2013).
penyakit pneumonia yang dapat diperoleh Menurut Profil Kesehatan Provinsi
melalui kegiatan surveilans epidemiologi Jawa Tengah,dalam tiga tahun terakhir
pneumonia (Dinkes Prov.Jateng, 2006). Provinsi Jawa Tengah tidak bisa mencapai
Surveilans pneumonia berperan untuk target penemuan penderita pneumonia
menyediakan data yang valid bagi balita. Pada tahun 2010 persentase cakupan
manajemen kesehatan untuk menentukan penemuan dan penanganan penderita
tindakan yang tepat dalam penanggulangan pneumonia balita sebesar 40,63%, pada
dan pengendalian pneumonia balita (Dinkes tahun 2011 sebesar 25,5%, dan pada tahun
Prov. Jateng, 2006) dan juga berperan untuk 2012 sebesar 24,74%. Pada tahun 2012,
membantu meningkatkan manajemen kasus sebagian besar Kabupaten/Kota (91,42% )
serta monitoring program P2 ISPA (Ditjen yang ada di Provinsi Jawa Tengah tidak bisa
P2PL, 2003). mencapai target cakupan penemuan
Pada tahun 2006, Indonesia penderita pneumonia balita yang telah
merupakan negara dengan kejadian ditetapkan. Salah satunya adalah Kota
pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia Salatiga (Dinkes Prov. Jateng, 2013).
137
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
138
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
139
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
140
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
141
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
142
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
143
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
---------------------------, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi
Tengah 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Penelitian kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Tengah, Semarang.
144
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
145
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: riska_firapy@yahoo.co.id
146
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Perubahan pola hidup dan pola makan konsumsi garam dan stres dan hasil
akibat adanya perbaikan tingkat penelitian Sulistyowati (2009) yang
penghidupan membawa konsekuensi merupakan faktor risiko hipertensi adalah
terhadap berkembangnya penyakit umur, tingkat pendidikan, konsumsi garam,
degeneratif, diantaranya penyakit hipertensi. obesitas, aktifitas fisik, stres dan keturunan.
Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah Dari permasalahan tersebut, peneliti
suatu keadaan dimana tekanan darah ingin mengetahui hubungan antara faktor
seseorang adalah ≥140 mmHg (tekanan genetik, obesitas, aktifitas fisik, kebiasaan
sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi
diastolik) (Depkes RI, 2006: 12). garam, penggunaan minyak jelantah, stress
Menurut Riskesdas Jateng 2007, psikis, tingkat pendidikan dengan kejadian
prevalensi hipertensi pada usia >15 tahun hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di
mencapai 31,7%, tetapi hanya 23,9% saja wilayah kerja puskesmas Kedungmundu
yang mengetahui dirinya menderita pada tahun 2013.
hipertensi dan diterapi. Kematian akibat
stroke mencapai 15,4%. Berdasarkan profil METODE
Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2012,
Kota Semarang rangking pertama untuk Jenis penelitian ini adalah
kejadian hipertensi usia produktif sebanyak observasional yang bersifat analitik dengan
510 pasien merupakan hipertensi usia desain penelitian Case Control (Feinstein,
produktif (Dinkes Kota Semarang, 2013). 1977 dalam Bhisma M, 2003: 111).
Berdasarkan penelitian Aris S (2007) Populasi dalam penelitian ini adalah
yang terbukti sebagai faktor risiko hipertensi penderita hipertensi usia produktif di
adalah umur, riwayat keluarga, konsumsi Puskesmas Kedungmundupada tahun 2013
asin, konsumsi lemak jenuh, penggunaan berjumlah 510 penderita. Pengambilan
jelantah, tidak biasa olahraga, obesitas dan sampel dilakukan dengan menggunakan
penggunaan pil KB selama 12 tahun teknik accidental sampling. Sampel kasus
berturut-turut, sedangkan penelitian H Nasri berjumlah 30 orang dan sampel kontrol
MD terdapat hubungan antara tingkat stres, berjumlah 30 orang.
lama kerja, kualitas tidur, kebiasaan Instrumen yang digunakan dalam
merokok, konsumsi alkohol dan konsumsi penelitian ini adalah panduan wawancara
kafein, sedangkan penelitian Nia K (2006) terstruktur yang telah diuji validitas dan
yang merupakan faktor risiko hipertensi reliabilitas sebelum penelitian dilakukan.
adalah keturunan, obesitas, tipe kepribadian,
riwayat merokok, riwayat minum alkohol, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
aktifitas olahraga, asupan garam, dan stress,
sedangkan penelitian Nurma H (2010) yang Adapun hasil penelitian ini dapat
merupakan faktor risiko hipertensi usia dilihat pada Tabel1 :
muda adalahfaktor keturunan, obesitas,
147
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
148
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
149
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
hasil penghitungan BMI ≥ 25 yaitu sebanyak Dalam penelitian ini, ada variabel
18 orang (60%) berbeda jauh dengan yang yang berperan sebagai perancu atau
tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 9 pengganggu yaitu variabel aktifitas fisikyang
orang (30%).Secara umum, masyarakat merancukan hubungan antara obesitas
Indonesia cenderung lebih memiliki dengan kejadian hipertensi usia produktif
kelebihan berat badan.Hal ini merupakan (25-54 tahun), sehingga untuk
hal yang tidak sehat karena berbagai mengendalikan variabel aktifitas fisik
alasan.Berkaitan dengan tekanan darah, dilakukan dengan menggunakan teknik
secara umum semakin tinggi berat badan analisis berstrata. Adapun hasil analisis
kita, maka semakin tinggi pula tekanan berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
darah kita (Anna palmer, 2007).
Tabel 2.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan
Obesitas Berdasarkan Aktifitas Fisik.
Kejadian Hipertensi Usia
Produktif (25-54 Tahun)
Aktifitas Jumlah
Obesitas Hipertensi Tidak OR 95%CI
Fisik
Hipertensi
n % n % n %
Tidak Obesitas 13 59,1 4 28,6 17 47,2
3,611
Olahraga Tidak Obesitas 9 40,9 10 71,4 19 52,8
0,85-15,20
Rutin Jumlah 17 100,0 14 100,0 36 100,0
Obesitas 5 62,5 5 31,2 10 41,7
Olahraga 3,667
Tidak Obesitas 3 37,5 11 68,8 14 58,3
Rutin 0,61-21,73
Jumlah 8 100,0 16 100,0 24 100,0
150
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
usia produktif yang sesungguhnya. tidak rutin melakukan olahraga atau yang
Sehingga dapat diketahui bahwa aktifitas tidak melakukan olahraga 3-4 kali per
fisik bukan merupakanvariabel perancu minggu selama 30 menit yaitu sebanyak 22
dalam hubungan antara variabel obesitas orang (73,3%) tidak berbeda jauh dengan
dengan kejadian hipertensi usia produktif yang tidak menderita hipertensi yaitu
(25-54 tahun) karena pada perhitungan rasio sebanyak 14 orang (46,7%). Hal ini
kasar (3,5) tidak mempunyai selisih yang disebabkan karena pengkategorian aktifitas
besar dari OR 1 (3,611) dan OR 2 (3,667). fisik hanya di lihat dari rutin tidak rutinnya
responden dalam berolahraga tanpa melihat
Aktifitas Fisik aktifitas yang biasa dilakukan responden
Berdasarkan hasil penelitian yang setiap harinya.
dilakukan, sebagian besar responden tidak Hasil penelitian ini juga tidak sesuai
olahraga rutin yaitu 36 responden dengan dengan teori yang dikemukankan oleh Anna
persentase 60%, sedangkan responden yang Palmer (2007:40) yang menyatakan bahwa
olahraga rutin sebanyak 24 responden olahraga banyak dihubungkan dengan
dengan persentase 40%. pengelolaan hipertensi, orang dengan gaya
Berdasarkan hasil uji statistik Chi hidup yang tidak aktif akan lebih rentan
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terhadap tekanan darah tinggi. Melakukan
tidak ada hubungan aktifitas fisik dengan olahraga secara teratur tidak hanya menjaga
kejadian hipertensi usia produktif (25-54 bentuk tubuh dan berat badan, tetapi juga
tahun)dengan nilai p = 0,065 (p > 0,05). dapat menurunkan tekanan darah.Jika kita
Responden yang mengalami hipertensi usia menyandang tekanan darah tinggi, latihan
produktif (25-54 tahun) tidak melakukan aerobik sedang selama 30 menit sehari
olahraga rutin (73,3%) dan responden yang selama beberapa hari setiap minggu dapat
tidak hipertensi usia produktif (25-54 tahun) menurunkan tekanan darah.Jenis latihan
cenderung melakukan olahraga rutin yang dapat mengontrol tekanan darah
(73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula adalah berjalan kaki, bersepeda, berenang
nilai OR = 3,143 dengan interval 1,06- dan aerobik.
9,26(tidak mencakup angka 1), artinya
responden yang tidak melakukan olahraga Kebiasaan merokok
rutin memiliki risiko 3,143 kali Berdasarkan hasil penelitian yang
mengalamihipertensi usia produktif (25-54 dilakukan, sebagian besar responden tidak
tahun) dibandingan dengan responden yang merokok yaitu 45 responden dengan
melakukan olahraga rutin. persentase 75%, sedangkan responden yang
Hasil penelitian ini sesuai dengan merokok sebanyak 25responden dengan
penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar persentase 25%.
(2010) yang menyatakan bahwa tidak ada Berdasarkan hasil uji statistik Chi
hubungan bermakna antara aktifitas fisik Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
dengan kejadian hipertensi (p=0,209) di ada hubungan kebiasaan merokok dengan
wilayah kerja Puskesmas Kragan II kejadian hipertensi usia produktif (25-54
Kabupaten Rembang. Berdasarkan hasil tahun) dengan nilai p = 0,017 (p < 0,05).
penelitian tidak adanya hubungan antara Persentase responden yang mengalami
aktifitas fisik dengan hipertensi dikarenakan hipertensi usia produktif (25-54 tahun)
besarnya jumlah penderita hipertensi yang cenderung tidak merokok sebesar 60% dan
151
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
responden yang tidak mengalami hipertensi Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin
cenderung tidak merokok (90%). dan karbon monoksida yang diisap melalui
Hasil penelitian ini sesuai dengan rokok, yang masuk kedalam aliran darah
penelitian terdahulu oleh Nia Kurniasih dapat merusak lapisan endotel pembuluh
(2006) yang menyatakan bahwa ada darah arteri dan mengakibatkan proses
hubungan bermakna antara kebiasaan aterosklerosis dan hipertensi (Depkes RI,
merokok dengan kejadian hipertensi 2006: 21).
(p=0,004). Kebiasaan merokok mempunyai Dalam penelitian ini, ada variabel
risiko 3,087 kali lebih besar untuk terjadi yang berperan sebagai perancu atau
hipertensi dibandingkan yang tidak pengganggu yaitu variabel stres psikis yang
merokok.Berdasarkan hasil penelitian merancukan hubungan antara kebiasaan
adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia
merokok dengan kejadian hipertensi produktif (25-54 tahun), sehingga untuk
dikarenakan besarnya jumlah penderita mengendalikan variabel stres psikis
hipertensi yang mengkonsumsi rokok atau dilakukan dengan menggunakan teknik
yang berisiko ringan, sedang dan berat analisis berstrata. Adapun hasil analisis
sebanyak 12 orang (40%) berbeda jauh berstrata dapat dilihat pada Tabel3 :
dengan yang tidak menderita hipertensi
sebanyak 3 orang (10%).
Tabel 3.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan
kebiasaan merokokBerdasarkan stres psikis.
Kejadian Hipertensi Usia
Produktif (25-54 Tahun)
Kebiasaan Jumlah
Stres Hipertensi Tidak OR 95%CI
Merokok
Hipertensi
N % n % n %
Merokok 8 36,4 1 11,1 9 29,0
Mengalami 4,571
Tidak Merokok 14 63,6 8 88,9 22 71,0
stres psikis 0,48-43,50
Jumlah 22 100,0 9 100,0 31 100,0
Tidak Merokok 4 50,0 2 9,5 6 20,7
9,5
mengalami Tidak Merokok 4 50,0 19 90,5 23 79,3
1,27-70,96
stres psikis Jumlah 8 100,0 21 100,0 29 100,0
152
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
dengan kejadian hipertensi usia produktif Hasil penelitian ini sesuai dengan
OR = 6 (tidak mencakup angka 1) artinya penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar
penderita yang merokok memiliki risiko 6 (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada
kali mengalami hipertensi dibandingkan hubungan bermakna antara konsumsi
penderita yang tidak merokok. Setelah alkohol dengan kejadian hipertensi
dilakukan analisis berstrata untuk (p=0,148) di wilayah kerja Puskesmas
mengontrol variabel stres psikis dengan Kragan II Kabupaten Rembang. Dalam
kategori tidak mengalami stres psikis, penelitian ini konsumsi alkohol tidak
ternyata kebiasaan merokok meningkatkan berhubungan dengan kejadian hipertensi
risiko kejadian hipertensi usia produktif (25- usia produktif karena besarnya jumlah
54 tahun) karena OR kasar < OR (2) (6,0< penderita hipertensi yang mengkonsumsi
9,5), maka terdapat kerancuan yang secara rutin atau yang minum alkohol > 6
memperkecil hubungan kebiasaan merokok gelas per minggu yaitu sebanyak 7 orang
dengan kejadian hipertensi usia prodiktif (23,3%) tidak berbeda jauh dengan yang
(25-54 tahun) yang sesungguhnya. Sehingga tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 2
dapat diketahui bahwa stres psikis (6,7%). Menurut Depkes RI, di Negara barat
merupakanvariabel perancu dalam seperti Amerika, konsumsi alkohol yang
hubungan antara variabel kebiasaan berlebihan hanya berpengaruh sekitar 10%
merokok dengan kejadian hipertensi usia terhadap terjadinya hipertensi yang biasanya
produktif (25-54 tahun) karena pada dikonsumsi pada kalangan pria separuh
perhitungan rasio kasar (6)mempunyai baya, padahal dalam penelitian ini
selisih yang besar dari OR 1 (4,571) dan OR cenderung perempuan (68,3%) yang
2 (9,5). menjadi responden, sehingga hipertensi
dapat disebabkan karena faktor yang lain.
Konsumsi Alkohol
Berdasarkan hasil penelitian yang Konsumsi Garam
dilakukan, sebagian besar responden tidak Berdasarkan hasil penelitian yang
mengkonsumsi alkoholyaitu 51 responden dilakukan, sebagian besar responden
dengan persentase 85%, sedangkan mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per hari
responden yang mengkonsumsi alkohol yaitu 34 responden dengan persentase 56,7%
sebanyak 9responden dengan persentase sedangkan responden yang mengkonsumsi
15%. garam > 7 gram per minggu sebanyak 26
Berdasarkan hasil uji statistik Chi responden dengan persentase 43,3%.
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Berdasarkan hasil uji statistik Chi
tidak ada hubungan antara konsumsi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
alkohol dengan penderita kejadian ada hubungan konsumsi garam dengan
hipertensi usia produktif (25-54 tahun) kejadian hipertensi usia produktif (25-54
dengan nilai p = 0,148(p >0,05). Responden tahun) dengan nilai p = 0,004 (p < 0,05).
yang mengalami hipertensi usia produktif Responden yang mengalami hipertensi usia
(25-54 tahun) cenderung tidak produktif (25-54 tahun) cenderung
mengkonsumsi alkohol(76,7%) dan mengkonsumsi garam > 7 gram per hari
responden yang tidak mengalami hipertensi (63,3%) dan responden yang tidak
usia produktif (25-54 tahun) cenderung tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54
mengkonsumsi alkohol (93,3%). tahun) mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per
153
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
154
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
3 kali perminggu yaitu sebanyak 18 orang adrenalin dan memacu jantung berdenyut
(60%) berbeda jauh dengan yang tidak lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
menderita hipertensi yaitu sebanyak 7 orang tekanan darah akan meningkat.
(23,3%).
Status Pekerjaan
Stres Psikis Berdasarkan hasil penelitian yang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden bekerja
dilakukan, sebagian besar responden yaitu 48 responden dengan persentase 80%,
mengalami stres psikisyaitu 31 responden sedangkan responden yang tidak bekerja
dengan persentase 51,7%, sedangkan sebanyak 12 responden dengan persentase
responden yang tidak mengalami stres psikis 20%.
sebanyak 29 responden dengan persentase Berdasarkan hasil uji statistik Chi
48,3%. Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
Berdasarkan hasil uji statistik Chi tidakada hubungan antara status
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pekerjaandengankejadian hipertensi usia
ada hubungan antara stres psikis dengan produktif (25-54 tahun) dengan nilai p =
kejadian hipertensi usia produktif (25-54 0,531 (p >0,05). Persentase responden yang
tahun) dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05). mengalami hipertensi cenderung memiliki
Persentase responden yang hipertensi pendapatan keluarga dengan kategori tinggi
cenderung mengalami stres psikis (73,3%) (73,3%)dan responden yang tidak
dan responden yang tidak mengalami mengalami hipertensi usia produktif (25-54
hipertensi usia produktif (25-54 tahun) tahun) cenderung memiliki pendapatan
cenderung tidak mengalami stres (70%). keluarga dengan kategori rendah (26,7%).
Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = Hasil penelitian ini sesuai dengan
6, 417 dengan interval 2,084-19,755 (tidak penelitian terdahulu oleh Sulistyowati
mencakup angka 1) artinya penderita yang (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada
mengalami stres psikis memiliki risiko 6,417 hubungan bermakna antara status pekerjaan
kali mengalami hipertensi dibandingkan dengan kejadian hipertensi (p=0,703) di
penderita yang tidak mengalami stres psikis. Kampung Botton kelurahan Magelang
Hasil penelitian ini sesuai dengan Kecamatan Magelang Tengah Kota
penelitian terdahulu oleh sulistyowati (2009) Magelang.
yang menyatakan bahwa ada hubungan Dalam penelitian ini status pekerjaan
bermakna antara penggunaan stres psikis tidak berhubungan dengan kejadian
dengan kejadian hipertensi (p=0,000). hipertensi usia produktif karena besarnya
Berdasarkan hasil penelitian adanya jumlah penderita hipertensi yang bekerja
hubungan stres psikis dikarenakan besarnya (swasta, buruh, PNS) yaitu sebanyak 26
jumlah responden yang mengalami stres orang (86,7%) tidak berbeda jauh dengan
psikis 22 orang (73,3%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu
yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 22 (73,3%). Kejadian hipertensi
sebanyak 9 orang (30%). Menurut Depkes usia produktif dapat disebabkan karena
RI (2006), Stres atau ketegangan jiwa (rasa faktor lain, misalnya tekanan dari rumah
tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa tangga.
takut, rasa bersalah) dapat merangsang
kelenjar anak ginjal melepaskan hormone Pendapatan Keluarga
155
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
156
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Anna Palmer dan Bryan Williams, 2007, Tekanan
Darah Tinggi, Jakarta: Erlangga
faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian hipertensi usia produktif di wilayah Aris Sugiharto, 2007, Faktor-Faktor Risiko Hipertensi
kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Grade II Pada Masyarakat (Studi Kasus di
Semarang Tahun 2013, diperoleh simpulan Kabupaten Karanganyar), thesis: Diponegoro
sebagai berikut: (1) Sebagian besar University Press.
157
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
158
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: chi.wonie@gmail.com
159
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
160
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
memenuhi syarat SNI didukung dengan ini menggunakan teknik purposive sampling
dikeluarkannya Peraturan Menteri yaitu peneliti menetapkan informan
Perindustrian Nomor 42/M- berdasarkan anggapan bahwa informan
IND/PER/11/2005 tentang Persyaratan dapat memberikan informasi yang
teknis pengolahan, pengemasan dan diinginkan penelitian sesuai dengan
pelabelan garam beryodium. permasalahan penelitian sebanyak 5 orang
Kabupaten Rembang merupakan (Sugiyono, 2012; 218). Sebelumnya
salah satu sentra garam yang ada di wilayah dilakukan Observasi untuk mengetahui
Jawa Tengah dengan pesisir yang memiliki Sosio kultural masyarakat, kemudian
luas lahan garam sebanyak 1.515,24 ha kesemua informan utama diwawancarai
dengan jumlah penduduk sebanyak 4.120 secara mendalam (indepth interview) untuk
orang yang bekerja disektor ini atau sebagai mendapatkan informasi yang valid, relevan
produsen garam. Pada tahun 2013 produksi dan memadai juga dilakukan Focus Group
garam di Rembang mencapai 107.121,09 ton Disscustion (FGD) untuk melengkapi
atau sekitar 6,8 persen dari kebutuhan garam informan yang sudah ada. Selanjutnya
nasional (Dinas Kelautan dan Perikanan dibutuhkan informan tambahan dan diambil
Kabupaten Rembang, 2013). dengan menggunakan teknik Snowball
Hasil penelitian Uji kandungan Sampling sebanyak 2 orang. Dari informan
yodium dalam garam dapur yang beredar tambahan tersebut kemudian diputuskan
oleh Sumandi dari UNNES pada tahun 2007 untuk menambyah satu kelompok diskusi
di Kabupaten Rembang menunjukan bahwa yang berjumlah 8 orang yang merupakan
bahwa 13 merek dagang garam rumah Kader PT PKK dan Posyandu di Kabupaten
tangga yang ada di Rembang tidak Rembang. Instrumen dalam penelitian ini
mengandung yodium. Hal ini berbeda dari adalah peneliti sendiri dengan alat bantu
label setiap kemasan yang menuliskan pengumpulan data yakni panduan
“mengandung KIO3 30-80ppm” atau wawancara. Pemeriksaan keabsahan data
“beryodium. menggunakan teknik triangulasi yaitu
Dengan adanya permasalahan membandingkan hasil wawancara yang
tersebut maka peneliti tertarik untuk merupaka data primer dengan data sekunder
melakukan penelitian dengan judul berupa data-data yang didapat serta
“Implementasi Kebijakan Tentang Yodisasi membandingkan dengan kebijakan yang
Terhadap Mutu Garam Pada Industri Garam telah ada yaitu kebijakan tentang pengadaan
Skala Kecil di Kecamatan Kaliori Kabupaten garam beryodium (Sugiyono, 2012; 241).
Rembang”. Teknik analisis data dilakukakn dengan
menggunakan model analisis Miles dan
METODE Huberman yaitu analisi Interaktif
(Sugiyono, 2012).
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan rancangan deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN
eksploratif dan hasilnya di analisis serta
disajikan secara deskriptif . Dalam penelitian Implementasi Kebijakan Pengadaan
ini terdapat dua macam informan, yaitu Beryodioum Dan Yodisasi
informan awal dan informan tambahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Penetapan informan awal dalam penelitian informan di lokasi penelitian yaitu Informan
161
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
“ kalo garam Rembang ini mbak, NaCl nya rata-rata masih 92, belum bisa 94. Masalahnya
kan petani garam di Rembang ini masih pakai cara tradisional. Lahannya diratakan, terus kalau
airnya sudah tua (25 Be) nanti disiramkan ke lahan garamnya mbak, ya kalau cuacanya panas gitu
bisa cepet mbak garamnya... “
“... garam krosok dari petani itu kan warnanya masih kuning, nggak putih, nah itu di cuci dulu,
dikeringkan 5-6 hari setelah di cuci baru dihaluskan menggunakan mesin, setelah itu baru di semprot
menggunakan yodium, ya kira-kira s1 Kg yodium itu dicampur dengan 30 Liter air dan di semprotkan
untuk sekitar 20 ton garam lah baru di kemas untuk garam halus atau briket...”
“... garam krosok dicuci, lalu di tiriskan selama 4-5 hari, kalau sudah kering disemprotkan
yodium dan dikeringkan lagi selama 5 hari, baru dihaluskan...”
162
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
terpisahkan dari senyawa NaCl. Karena di Kabupaten Rembang yang terdiri dari
tingkat impuritas yang tinggi pula garam halus dan briket tidak memenuhi
menghasilkan garam dengan tingkatan standar garam konsumsi atau kandungan
warna mulai dari warna putih transparan, yodium pada garam tidak memenuhi
putih drop dan putih kecokelatan yang standar yang telah di tetapkan.
dipengaruhi oleh kadar kotoran dan kadar Selain itu fenomena di lapangan
impuritas itu sendiri. Kotoran pada garam menunjukan bahwa produsen garam di
dapat menyebabkan menurunnya mutu Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang
garam yaitu rendahnya kadar NaCl, masih memproduksi garam krosok dan
sehingga pada garam yang kotor perlu garam briket meskipun sudah mengetahui
dilakukan pencucian untuk mendapatkan hal tersebut bertentangan dengan kebijakan
garam sesuai dengan persyaratan yang tentang pengadaan garam beryodium dan
ditentukan sebagai bahan baku pembuatan yodisasi. Hal ini dikarenakan permintaan
garam beryodium. garam dalam bentuk krosok dan briket
Faktanya di lapangan juga terlihat masih tinggi sehingga mau tidak mau
bahwa produsen garam masih ada yang produsen garam harus mengikuti
mengyodisasi garam dalam keadaan garam permintaan pasar.
krosok. Hal tersebut tentu saja bertentangan Dari informasi hasil wawancara
dengan SK Menteri Perindustrian nomor dengan informan dan penelitian di lapangan
77/M/SK/5/1995 yang mengatakan bahwa maka target dari implementasi kebijakan
dalam pencucian garam dan mengyodisasi tentang pengadaan garam beryodium di
garam dilakukan dalam keadaan halus Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang
supaya garam yang dicuci lebih bersih secara masih belum bisa memberikan apa yang
merata dan yodium yang disemprotkan akan inginkan oleh pemerintah, begitu juga pasal
lebih merata pada partikel garam yang lebih 5 yang belum terealisasikan dengan
kecil. maksimal karena tidak semua produsen
garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten
Target Yang Diinginkan Pemerintah Mengenai Rembang memiliki laboratorium pengujian
Realisasi Pengadaan Garam Dan Program mutu garam sendiri.
Yodisasi Target yang diinginkan oleh
Berdasarkan hasil pemantauan garam pemerintah dengan adanya kebijakan
di pasaran yang dilakukan oleh tim tentang pengadaan garam beryodium di
GAKKUM atau Tim Penegak Hukum Kabupaten Rembang ini adalah tercapainya
Garam Beryodium kabupaten Rembang produksi garam dengan kandungan yodium
(Lampiran 1), masih ada beberapa garam dan garam yang beredar di masyarakat yang
konsumsi yang kandungan Yodiumnya sesuai dengan Keppres No 69 tahun 1994
kurang dari standar atau malah tidak tentang Pengadaan Garam beryodium.
beryodium. Dari 11 pasar di Kabupaten Namun pada kenyataannya dari hasil
Rembang yang dilakukan pemantauan, pengujian yang dilakukan oleh Dinas
terdapat 33 merk dagang garam yang di test Perindustrian Kabupaten Rembang kepada
kandungan yodiumnya, dan dari seluruh produsen garam yang ada di Kecamatan
merk dagang yang yang telah di uji Kaliori Kabupaten Rembang dan juga
kandungan yodiumnya terdapat 13 merk garam yang beredar di pasaran Rembang di
dagang atau sekitar 40% garam yang beredar dapatkan sebanyak 7 merk dagang dari 29
163
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
“...Ya saya nggak tau apa isi peraturan-peraturan itu, yang saya tau ada peraturan apa Perda
gitu yang jelas isinya tentang garam. Garam konsumsi
harus beryodium, kalau jelasnya apa isi peraturan itu saya kurang paham mbak...”
“Wah, itu peraturan apa ya? Saya kurang tau e mbak kalo peraturan-peraturan itu jelasnya
seperti apa. Kalau peraturan itu saya baru dengar. Mungkin kalau pihak Indakop tau peraturan itu,
kan dasar kerjanya mereka dari situ. Kalau kami tau perdanya saja...”
164
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
sudah banyak. Diantaranya adalah dengan kebijakan (Subarsono, 2013). Sama dengan
dibentuknnya GAKKUM (Penegak yang dilakukan oleh pemerintah setempat
Hukum) yang dibentuk untuk melakukan untuk menangani masalah garam
pengawasan garam beryodium yang beredar beryodium dengan membentuk Tim
dan di produksi di Kabupaten Rembang. Gakkum yang memberikan pengarahan-
Tim GAKKUM sendiri merupakan pengarahan dan penjelasan kepada para
gabungan dari beberapa Instansi yang produsen garam dan petani garam di
berwenang dalam melakukan pengawasan Kecamtan Kaliori Kabupaten Rembang
garam beryodium seperti Dinas ketika bertemu dilapangan. Bimbingan itu
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan berusaha untuk menjelaskan yang
UMKM, Bappeda, Dinas Kesehatan, Satpol sebenarnya tentang apa dan bagaimana isi
PP, dan beberapa instansi lainnya. Selain dari Kebijakan tentang Pengadaan Garam
dengan dibentuknya Gakkum sebagai salah Beryodium tersebut.
satu upaya dalam mengimplementasikan Dari keseluruhan uraian di atas
kebijakan tentang pengadaan garam mengenai ukuran yang menjadi tolok ukur
beryodium, pemerintah setempat juga implementasi dapat disimpulkan bahwa
mengadakan sosialisasi dan pembinaan dampak dari suatu penyimpangan kebijakan
terhadap masyarakat khususnya Produsen publik berimplikasi terhadap berbagai hal
garam dan petani garam mengenai garam antara lain gagalnya upaya mencapai
beryodium. GAKKUM (Penegak Hukum) sasaran maupun tujuan kebijakan, yang
dibentuk untuk melakukan pengawasan dalam konteks ini adalah kurang tercapainya
garam beryodium yang beredar dan di tujuan dari pengadaan garam beryodium.
produksi di Kabupaten Rembang. Tim Dengan demikian penyimpangan di dalam
GAKKUM sendiri merupakan gabungan implementasi kebijakan terjadi hanya
dari beberapa Instansi yang berwenang sebatas kesenjangan antara produsen garam
dalam melakukan pengawasan garam dan pihak pemerintah daerah.
beryodium seperti Dinas Perindustrian
Perdagangan Koperasi dan UMKM, Faktor-Faktor Pendorong Dan Penghambat
Bappeda, Dinas Kesehatan, Satpol PP, PKK Impelemntasi Kebijakan Tentang Pengadaan
dan beberapa instansi lainnya. Garam Beryodium Dan Yodisasi
Meter dan Horn mendefinisikan 1) Komunikasi
implementasi sebagai tindakan yang Ketika peneliti bertanya tentang
dilakukan pemerintah maupun swasta baik adanya Keppres Nomor 69/1994 tentang
secara individu maupun kelompok, yang pengadaan garam:, informan dari Bappeda
dimaksudkan untuk mencapai tujuan Kabupaten Rembang menjawab sebagai
sebagaimana dirumuskan dalam suatu berikut :
“... wah saya malah belum tau itu mbak, itu peraturan nya seperti apa ya? Itu isinya ngomongin
soal apa? Coba nanti tanya ke Indakop mbak, mungkin itu ada di tupoksinya mereka, kalau kami kan
taunya secara umum saja...”
165
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Dari data tersebut terlihat bahwa bisa menjadi faktor kritis di dalam
kondisi pendidikan formal yang dimiliki mengimplementasikan kebijakan publik.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumberdaya penting meliputi staf dengan
Kabupaten Rembang sebagian besar jumlah yang cukup, dan dengan
berpendidikan SLTA (63,2%) sehingga keterampilan untuk melakukan tugasnya
kemampuan petugas dalam memberikan serta informasinya, otoritas dan fasilitas
pengarahan mengenai implementasi yang perlu untu menerjemahkan proposal
kebijakan pengadaan garam beryodium dan pada makalah ke dalam pemberian
yodisasi masih kurang maksimal. pelayanan publik. Akibat tidak tersedianya
Menurut George Edward III tahun sumber daya yang tidak memadai, maka
1990 menyatakan bahwa : “sumber daya
166
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
“ya untuk produsen garam yang ketawan tidak memenuhi standar itu nanti akan kita sita, kita
ambil sebagai barang bukti, kan itu ada dua polisi ya yang mengawasi, sama reskrim dan bimasnya,
bimbingan masyarakat, iya kayaknya itu istilahnya bimas. Kalo bimas itu dalam takalan nanti ada
panggilan ke pengusahanya. Selama ini masih dalam ranah pembinaan sih...”
167
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
“... dari pengambil kebijakan, komintmen bersama dari perda, perbu, kalo mau menjalankan
git kalo komitmennya nggak kuat susah lho mba, kaya ini kepala bappeda juga sebenernya kan
ngomong ngapa lho masalah garam aja kok dipikirin nemen-nemen, tapi kan akhirnya di paham dan
dia tau, makanya anggaran bisa turun ...”
“... komponen masyarakat, tidak hanya petani garam, tidak hanya produsen garam, tidak
hanya instansi pemerintah, ini kan semua tergabung dalam satu kelompok diibaratkan membentuk
satu kelmbagaan yang mereka percaya bahwa ini lho garam yang beredar di masyarakat, kalau nggak
ada komitmen dari semua institusi itu, nggak mungkin program itu akan berjalan... “
168
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
169
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: wata.ningrum@gmail.com
170
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
171
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
172
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Pada Tabel 2 distribusi responden responden yaitu 3 tahun, nilai tengah lama
menurut umur diketahui bahwa rata-rata kerja responden yaitu 3 tahun, dan lama
umur responden yaitu 32 tahun, nilai tengah kerja responden paling banyak yaitu 3 tahun.
umur responden yaitu 32 tahun, dan umur
responden paling banyak yaitu 35 tahun dan Gambaran Sanitasi Lingkungan dan Higiene
distribusi responden menurut lama kerja Perorangan
diketahui bahwa rata-rata lama kerja
173
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
174
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
175
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
176
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
populasi mikroorganisme melalui kerja fisik mengeringkan tangan dengan tissue atau kain
dari pencucian dan pembilasan (Fathonah S, kering yang bersih.
2005:60). Tangan kotor dapat memindahkan
bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses,
Praktik Mencuci Tangan atau sumber lain ke makanan. Mencuci
Berdasarkan Tabel 9 distribusi praktik tangan dengan sabun, sebagai pembersih,
mencuci tangan pada pedagang jus buah di penggosokan, dan pembilasan dengan air
Sekaran Gunungpati Semarang diketahui mengalir akan menghanyutkan partikel
bahwa sebanyak 7 responden (46,7%) kotoran yang banyak mengandung
mempunyai kebiasaan buruk dalam praktik mikroorganisme (Fathonah S, 2005:12).
mencuci tangan dan 8 responden (53,3%) Sabun yang digunakan berupa sabun cair
mempunyai kebiasaan baik dalam praktik yang lebih terjamin kebersihannya, karena
mencuci tangan. tempat sabun padat berisi genangan air
Hasil wawancara diketahui bahwa 12 sabun yang bisa menjadi tempat
responden (80%) mencuci tangan setelah pertumbuhan mikroorganisme (Depkes RI,
dari toilet dan 3 responden (20%) tidak 2004:22).
mencuci tangan. Dalam penggunaan sabun, Kuku jari tangan pada 8 responden
11 responden (73,3%) menggunakan sabun (53,3%) dipotong pendek dan 7 responden
saat mencuci tangan dan 4 responden (46,7%) tidak dipotong pendek. Kuku jari
(26,7%) tidak menggunakan sabun. Saat responden menggunakan pewarna kuku
mencuci tangan, 4 responden (26,7%) sebanyak 5 responden (33,3%) dan tidak
menggunakan air mengalir dan 11 menggunakan pewarna kuku sebanyak 10
responden (73,3%) tidak menggunakan air responden (66,7%). Saat membuat jus buah,
mengalir, hanya menggunakan air yang 5 responden (33,3%) memakai cincin tetapi
sudah ditampung pada ember untuk saat akan berjualan 4 responden (26,7%)
mencuci tangan. melepas cincin dan 10 responden (66,7%)
Saat mencuci tangan, 4 responden tidak memakai cincin.
(26,7%) menggosok bagian punggung Perhiasan yang dipakai menjadi
tangan dan 11 responden (73,3%) tidak sarang kotoran dari debu ataupun keringat
menggosok bagian punggung tangan. Pada sehingga tidak perlu dipakai sewaktu
bagian telapak tangan, terdapat 12 mengolah makanan. Tangan yang
responden (80%) menggosok bagian telapak dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci
tangan dan 3 responden (20%) tidak hingga bersih karena lekukan perhiasan dan
menggosok bagian telapak tangan. Selain permukaan kulit disekitar perhiasan tidak
itu, 6 responden (40%) menggosok secara akan sempurna pembersihannya. Kosmetik
teliti pada sela jari dan 9 responden (60%) seperti pewarna kuku, akan menjadi sumber
tidak menggosok secara teliti pada sela jari. pencemar karena kosmetik merupakan
Pada bagian di bawah kuku, 6 responden bahan racun yang mudah luntur apabila
(40%) menggosok bagian di bawah kuku dan terkena keringat sehingga berbahaya jika
9 responden (60%) tidak menggosok bagian masuk ke dalam makanan (Depkes RI,
di bawah kuku. Setelah mencuci tangan, 10 2006:209).
responden (66,7%) mengeringkan tangan
dengan tissue atau kain kering yang bersih Kebersihan dan Kesehatan Diri
dan 5 responden (33,3%) tidak
177
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
178
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
179
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: mamluatulh@yahoo.com
180
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Penyakit Dengue maupun penyakit Kota Semarang dengan total kasus 1.082
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah terdapat 38 kematian. Pada tahun 2012
penyakit infeksi yang sering berjangkit di terdapat 8 kematian dan pada tahun 2013
daerah tropis sehingga termasuk dalam meningkat menjadi 12 kematian, sedangkan
penyakit Infeksi Tropis (Tropic Infection). data sampai bulan Juli 2014 kematian
Demam Dengue (DD) atau Dengue Fever (DF) karena DBD di RSUD Tugurejo tetap tinggi
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus sebanyak 11 kematian.
dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Menurut Penelitian Sarwanto (1999)
aegypti, sedangkan DBD atau Dengue dalam Anggy Pangaribuan (2012) dan
Haemorhaege Fever (DHF) juga penyakit yang Ramaningrum G (1998) bahwa umur, jenis
disebabkan virus dengue dan disebarkan oleh kelamin dan beratnya penyakit merupakan
nyamuk Aedes aegypti yang disertai faktor terjadinya kematian pada penderita
manifestasi perdarahan dan cenderung DBD. Peneliti lain seperti Soegijanto S
menimbulkan shock dan kematian (2001), berpendapat bahwa ada hubungan
(Misnadiarly, 2009). antara beratnya penyakit, adanya renjatan
Menurut data Dinas Kesehatan Kota pada saat dibawa ke Rumah Sakit dan
Semarang, jumlah penderita DBD pada adanya perdarahan pada konsultasi awal
tahun 2010 yaitu 5.556 kasus dan 47 sebelum dikirim ke rumah sakit dengan
meninggal. Jumlah penderita yang kematian karena DBD. Berdasarkan latar
meninggal pada tahun 2011 sebanyak 10 belakang di atas, dapat diketahui rasio angka
orang dengan Case Fatality Rate (CFR) DBD kematian akibat DBD di RSUD Tugurejo
0,77 %, sedangkan pada tahun 2012 jumlah tahun 2012-2014.
penderita DBD yang mengalami kematian
sebanyak 22 orang dengan CFR 1,76% dan METODE
pada bulan Januari 2012 mengalami
Kejadian Luar Biasa (KLB) (DKK Jenis penelitian ini menggunakan
Semarang, 2012). Rumah Sakit Umum metode Survei Analitik dengan pendekatan
Daerah (RSUD) Tugurejo merupakan salah atau desain studi kasus kontrol (case control
satu rumah sakit yang berada di Kota study). Populasi dalam penelitian ini adalah
Semarang yang terdapat kasus kematian penderita DBD yang mengalami kematian
karena DBD setiap tahunnya. Pada tahun di RSUD Tugurejo Semarang pada tahun
2010-2014 RSUD Tugurejo masuk ke dalam 2012-2014 berjumlah 38 orang. Besar sampel
3 besar jumlah kematian karena DBD di dihitung dengan rumus (Dahlan S, 2009) :
2
𝑍𝛼√2PQ + 𝑍𝛽√𝑃₁𝑄₁ + 𝑃₂𝑄₂
𝑁1 = 𝑁2 = [ ]
(𝑃₁ − 𝑃₂)²
181
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
sampel penelitian, sehingga hasil yang reliabilitas sebelum penelitian dilakukan dan
didapatkan dapat mewakili keseluruhan data rekam medik.
populasi penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam HASIL DAN PEMBAHASAN
penelitian ini adalah panduan wawancara
terstruktur yang telah diuji validitas dan Adapun hasil penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1 :
182
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
dengan nilai p = 0,022 (p < 0,05). Responden Upaya kejadian kematian akibat DBD juga
yang mengalami kematian cenderung dipengaruhi oleh kondisi rumah responden
memiliki umur dengan kategori anak-anak yang jauh dari kategori sehat banyak
(71%) sedangkan responden yang hidup genangan air disekitar rumah tersebut.
cenderung memiliki umur dengan kategori
Remaja+Dewasa (61,3%). Dari hasil Jenis Kelamin Penderita
analisis diperoleh pula nilai OR = 3,870 (OR Berdasarkan hasil penelitian yang
> 1) dengan interval 1,341-11,172 (tidak dilakukan, jumlah responden dengan jenis
mencakup angka 1), artinya penderita kelamin laki-laki yaitu 31 responden dengan
dengan kategori anak-anak memiliki risiko persentase 50%, dan responden dengan jenis
3,8 kali mengalami kejadian kematian akibat kelamin perempuan juga sebanyak 31
DBD dibandingkan dengan penderita responden dengan persentase 50%.
dengan kategori remaja+dewasa. Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Sarwanto tidak ada hubungan antara jenis kelamin
(1999) dalam Anggy Pangaribuan (2012) penderita dengan Kejadian Kematian
dan Ramaningrum G (1998) bahwa umur Akibat DBD dengan nilai p = 0,611 (p >
merupakan faktor terjadinya kematian pada 0,05). Responden yang mengalami kematian
penderita DBD. Hasil penelitian ini juga cenderung memiliki jenis kelamin
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh perempuan (54,8%) sedangkan responden
Gamble dkk, (2000:215) bahwa umur yang hidup cenderung memiliki jenis
merupakan faktor risiko terjadinya dengue kelamin laki-laki (54,8%).
berat dan kematian. Anak mempunyai Hasil penelitian ini tidak sesuai
faktor risiko yang lebih tinggi untuk dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
mengalami DBD dibandingkan dengan Sarwanto (1999) dalam Anggy Pangaribuan
orang dewasa. Hal ini dimungkinkan karena (2012) dan Ramaningrum G (1998) bahwa
pembuluh darah bayi dan anak-anak lebih jenis kelamin merupakan faktor terjadinya
permeable (berpori) dibandingkan dengan kematian pada penderita DBD dan menurut
dewasa. Menurut Maria Guzman dkk, Kouri dkk, (1981) Penelitian di Kuba DBD
(2002) untuk infeksi sekunder, terdapat pada orang dewasa lebih banyak terjadi pada
hubungan yang erat antara umur dengan perempuan baik itu kasusnya ataupun
kematian, dimana anak umur 3-4 tahun kejadian kematiannya. Penelitian ini sesuai
berisiko 3 kali dibanding umur 5-9 tahun, dengan penelitian Rampengan, (2007) tidak
dan berisiko 5 kali dibanding dengan umur terdapat perbedaan antara jenis kelamin
10-14 tahun. penderita demam berdarah dengue tetapi
Berdasarkan hasil penelitian yang kematian lebih banyak ditemukan pada anak
telah dilakukan, ditemukan bahwa ada perempuan daripada anak laki-laki,
perbedaan antara kejadian kematian akibat sedangkan menurut Huang et al, (2001)
DBD antara responden yang masih penyakit infektius yang berakibat kematian
berumur anak-anak dengan remaja dan banyak terjadi pada laki-laki daripada
dengan yang sudah dewasa. Responden perempuan.
yang meninggal pada kategori anak-anak Berdasarkan penelitian ini, terdapat 14
lebih banyak daripada responden yang responden meninggal yang memiliki jenis
meninggal pada kategori remaja+dewasa. kelamin laki-laki sebagian besar dalam
183
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
184
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
jaminan kesehatan yang disediakan bagi sebelum terinfeksi oleh dengue serotipe lain
mereka. Akses ke pelayanan kesehatan dalam jarak waktu tertentu, dan infeksi yang
disini lebih dikaitkan dengan individu kedua oleh serotipe DEN-2. Teori ini disebut
anggota masyarakat yang mengalami sebagai The Secondary Heterologus Infection
masalah kesehatan atau sakit dalam upaya Hypothesis. Menurut Halstead (1980) atau
mencari atau menggunakan pelayanan teori infeksi sekunder menunjukkan DEN-3
kesehatan yang tersedia di masyarakat. merupakan serotipe virus yang dominan dan
Berdasarkan hasil penelitian yang yang menyebabkan kasus berat. Sebagai
telah dilakukan, 54,8% responden yang contoh adanya infeksi sekunder yakni
meninggal memiliki jarak rumah yang jauh seseorang dapat menderita DBD bila
dengan pelayanan kesehatan. Jarak rumah mendapat infeksi ulangan tipe virus yang
yang jauh ke tempat pelayanan kesehatan berbeda. Misalnya infeksi pertama oleh virus
juga dipengaruhi dengan tidak adanya alat DEN-1 menyebabkan terbentuknya antibodi
transportasi atau yang dimiliki oleh DEN-1. Apabila kemudian terkena infeksi
responden, ada yang jalan kaki serta berikutnya oleh virus DEN-2 dalam waktu 6
lamanya waktu tempuh untuk menuju bulan sampai 5 tahun pada sebagian yang
puskesmas atau tempat pelayanan mendapat infeksi ke-2 itu dapat terjadi suatu
kesehatan, dengan kata lain akses responden reaksi imunologis antara virus DEN-2
dari rumah menuju tempat pelayanan sebagai antigen dengan antibodi DEN-1
kesehatan masih susah. yang dapat mengakibatkan gejala DBD.
Dari 62 responden, sebagian besar
Riwayat pernah DBD responden tidak pernah mengalami penyakit
Berdasarkan hasil penelitian yang DBD.
dilakukan, sebagian besar responden tidak
memiliki riwayat pernah DBD yaitu 56 Riwayat Penyakit Penyerta
responden dengan persentase 90,3%, dan Berdasarkan hasil penelitian yang
responden yang memiliki riwayat pernah dilakukan, sebagian besar responden tidak
DBD yaitu sebanyak 6 responden dengan memiliki riwayat penyakit penyerta yaitu 36
persentase 9,7%. responden dengan persentase 58,1%, dan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi responden yang memiliki riwayat penyakit
Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penyerta yaitu sebanyak 26 responden
tidak ada hubungan antara riwayat pernah dengan persentase 41,9%.
DBD dengan Kejadian Kematian Akibat Berdasarkan hasil uji statistik Chi
DBD dengan nilai p = 0,668 (p > 0,05). Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
Responden yang mengalami kematian ada hubungan antara riwayat penyakit
cenderung tidak memiliki riwayat pernah penyerta dengan Kejadian Kematian Akibat
DBD (87,1%) sedangkan responden yang DBD dengan nilai p = 0,021 (p < 0,05).
hidup juga cenderung tidak memiliki Responden yang mengalami kematian
riwayat pernah DBD (93,5%). cenderung memiliki riwayat penyakit
Penelitian ini tidak sesuai dengan penyerta (58,1%) sedangkan responden yang
penelitian di Thailand yang menunjukan hidup cenderung tidak memiliki riwayat
bahwa faktor host mempengaruhi berat penyakit penyerta (74,2%). Dari hasil
ringannya penyakit. DBD hanya terjadi analisis diperoleh pula nilai OR = 3,981 (OR
apabila seseorang memiliki virus dengue > 1) dengan interval 1,358-11,666 (tidak
185
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mencakup angka 1), artinya responden yang responden dewasa dan demam thypoid pada
memiliki riwayat penyakit penyerta anak-anak.
memiliki risiko 3,9 kali mengalami kejadian
kematian akibat DBD dibandingkan dengan Keterlambatan Pengobatan
responden yang tidak memiliki riwayat Berdasarkan hasil penelitian yang
penyakit penyerta. dilakukan, sebagian besar responden
Penelitian ini sesuai dengan penelitian mengalami keterlambatan pengobatan yaitu
Kouri dkk (1981:377), di Kuba telah 33 responden dengan persentase 53,2%, dan
menggambarkan suatu peningkatan responden yang tidak mengalami
hubungan antara kematian dengan riwayat keterlambatan pengobatan yaitu sebanyak
penyakit kronik seperti asma bronchial, sickle 29 responden dengan persentase 46,8%.
cell anemia, dan kemungkinan diabetes Berdasarkan hasil uji statistik Chi
mellitus. Pada anak yang mengalami asma Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
bronchial berisiko 2 kali untuk mengalami ada hubungan antara keterlambatan
kematian, namun pada orang dewasa tidak pengobatan dengan Kejadian Kematian
menggambarkan hubungan yang signifikan. Akibat DBD dengan nilai p = 0,042 (p <
Sickle cell anemia pada anak tidak 0,05). Responden yang mengalami kematian
berhubungan dan pada orang dewasa cenderung mengalami keterlambatan
memiliki hubungan yang signifikan dengan pengobatan (67,7%) sedangkan responden
nilai p<0,01. Penelitian ini juga sesuai yang hidup cenderung tidak mengalami
dengan penelitian Chuansumrit dan keterlambatan pengobatan (61,3%). Dari
Tangnararatchakit (2005) dalam Anggy hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,325
Pangaribuan (2012), Faktor penyakit (OR > 1) dengan interval 1,171-9,442 (tidak
penyerta seperti thalassemia, defisiensi mencakup angka 1), artinya responden yang
enzim G6PD, penyakit jantung merupakan mengalami keterlambatan pengobatan
risiko tinggi untuk terjadinya kematian memiliki risiko 3,3 kali mengalami kejadian
karena DBD. kematian akibat DBD dibandingkan dengan
Berdasarkan penelitian, sebagian besar responden yang tidak mengalami
penyakit penyerta DBD yang diderita keterlambatan pengobatan.
kelompok kasus adalah Diare yang dialami Dalam penelitian ini, ada variabel
pada responden dengan kategori anak-anak, yang berperan sebagai perancu atau
Demam thypoid dialami pada anak-anak, pengganggu yaitu variabel derajat beratnya
gastritis pada anak-anak dan dewasa, TBC penyakit yang merancukan hubungan antara
pada anak-anak, diabetes melitus dan keterlambatan pengobatan dengan kejadian
penyakit jantung koroner pada responden kematian akibat DBD, sehingga untuk
dewasa. Sedangkan penyakit penyerta yang mengendalikan variabel derajat beratnya
diderita pada responden kelompok kontrol penyakit dilakukan dengan menggunakan
yaitu diare pada anak-anak dan remaja, teknik analisis berstrata. Adapun hasil
gastritis pada remaja, diabetes mellitus pada analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
186
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Keterlambatan Pengobatan
Derajat
DBD Jumlah
Beratnya Status Responden OR 95%CI
Ya Tidak
Penyakit
N % N % N %
Meninggal 16 64 8 32 24 48
3,778
Ringan Hidup 9 36 17 68 26 52
1,170-12,194
Jumlah 25 100,0 25 100,0 50 100,0
Meninggal 5 62,5 2 50 7 58,3 1,667
Berat Hidup 3 37,5 2 50 5 41,7 0,147-18,874
Jumlah 8 100,0 4 100,0 12 100,0
187
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
188
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Huang YH, et al. 2001. Activation of Coagulation and Soegijanto S. 2001. Faktor-faktor resiko yang
Fibrinolysis During Dengue Virus Infection. mempengaruhi kematian pada penderita
Journal of Medical Virology. Vol:63. hal 247- demam berdarah dengue. Tesis. Universitas
251. diakses pada 3 maret 2014 Airlangga, Surabaya.
(http://140.116.203.51/site2/ocwCoursePPT
/61JBS20018377.pdf). Soemirat J. 2000. Epidemiologi Lingkungan.
Bandung: Gajah Mada University Press.
Kouri, GP, et al. 1981. Dengue Hemorrhagic Fever /
Dengue Shock Syndrome : Lessons from the
189
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: adzfaris@yahoo.co.id
86
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
87
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
88
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
89
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mengalami kerugian apapun ketika menyatakan bahwa ada alasan lain yaitu
menggunakan metode vasektomi. Hal ini faktor jumlah anak. Jumlah anak hidup
tidak sejalan dengan yang dinyatakan oleh yang dimiliki pasangan suami istri (PUS)
BKKBN Jatim mengenai kelemahan juga menjadi pertimbangan dalam
vasektomi sebagai berikut: mengambil keputusan untuk menggunakan
1. Harus dilakukan pembedahan. vasektomi (Wibowo, 2013). PUS yang
2. Masih dimungkinkan untuk terjadinya mempunyai jumlah anak hidup yang lebih
komplikasi ringan. sedikit, mempunyai kecenderungan untuk
3. Tidak seperti sterilisasi wanita yang menggunakan jenis kontrasepsi dengan
langsung menghasilkan steril permanen, efektivitas rendah, keputusan pilihan
pada vasektomi masih harus menunggu tersebut disebabkan adanya keinginan
beberapa hari, minggu atau bulanan untuk menambah anak lagi. Pada pasangan
sampai sel mani menjadi negatif. dengan jumlah anak hidup yang banyak,
4. Tidak dapat dilakukan pada orang yang terdapat kecenderungan untuk
masih ingin mempunyai anak lagi. menggunakan kontrasepsi dengan
5. Perlindungan hanya untuk laki-laki efektivitas tinggi. Pilihan ini disebabkan
(perempuan pasangannya tetap beresiko rendahnya keinginan atau tidak adanya
untuk hamil). keinginan atau tidak adanya keinginan
6. Kurangnya perlindungan dari penyakit untuk menambah anak lagi. Sebagian besar
menular seksual dan infeksi. informan memiliki anak lebih dari dua
orang. Dengan alasan informan yang sudah
Latar Belakang Peserta Menggunakan merasa cukup dengan jumlah anak yang
Vasektomi telah dimiliki sekarang sehingga tidak ingin
Ada banyak faktor yang menambah jumlah anak lagi menjadi salah
mempengaruhi seseorang dalam satu latar belakang pria memutuskan untuk
berperilaku, tidak terkecuali dalam menggunakan vasektomi.
menentukan jenis/metode kontrasepsi yang
akan digunakan. Berdasarkan pernyataan Gejala-Gejala Kecemasan
dari para informan mengenai alasan Kecemasan juga memiliki
menggunakan vasektomi dapat dilihat karakteristik berupa munculnya perasaan
bahwa faktor pasangan sangat dominan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan
sebagai alasan utama pria memutuskan yang tidak jelas dantidak menyenangkan.
untuk menggunakan vasektomi atau Gejala-gejala kecemasan yang muncul
kontrasepsi mantap. Dimana para suami dapat berbeda pada masing-masing orang.
lebih mengalah untuk menggunakan 1. Gangguan Psikologis
vasektomi dikarenakan kondisi istri yang Berdasarkan dari pernyataan yang
tidak cocok dalam penggunaan kontrasepsi diungkapkan oleh para informan mengenai
baik itu pil, IUD, maupun spiral dengan gangguan psikologis yang mungkin dialami
alasan mengalami efek samping seperti oleh para informan dapat ditarik
tumbuhnya jerawat bertambahnya berat kesimpulan bahwa para informan yang
badan, dan lain-lain. telah diwawancarai tidak merasakan dan
Selain faktor pasangan yang sangat tidak menyadari adanya gejala psikologis
dominan sebagai alasan pria menggunakan terhadap kecemasan pasca tindakan
vasektomi sebagian informan juga vasektomi yang telah dilakukan, Namun
90
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
hal ini tidak serta merta membuktikan Berdasarakan hasil penelitian ini,
bahwa para informan tidak memiliki dapat disimpulkan bahwa para informan
kecemasan karena gejala-gejala psikologis pernah mengalami kecemasan akan
merupakan gejala yang sulit dideteksi menurunnya kemampuan seksual namun
karena hanya dirasakan oleh individu dan hal ini terjadi pada masa awal setelah
akan sulit diketahui jika tidak diungkapkan tindakan vasektomi, hal ini mungkin
oleh individu tersebut. Hal ini bisa saja disebabkan karena para informan masih
terjadi karena banyak gejala yang terjadi termakan oleh mitos-mitos yang ada dan
namun tidak menimbulkan derita yang menyebar di masyarakat. Namun, setelah
cukup untuk memakasa individu untuk melakukan hubungan suami-istri beberapa
mencari bantuan penanganan (Davidson, kali akhirnya informan mulai menyadari
2006). dan merasakan bahwa tidak adanya
2. Gangguan Fisik penurunan kemampuan seksual yang terjadi
Gejala fisik yang menyertai pasca tindakan vasektomi.
kecemasan dapat terjadi dalam berbagai
bentuk. Ketika tubuh mengalami gejala fisik Respon Terhadap Kecemasan
tersebut maka hal ini menandakan bahwa Ada faktor-faktor yang dapat
tubuh berada dalam fase reaksi peringatan, menyebabkan individu mengalami
maka tubuh mempersiapkan diri untuk kecemasan. Faktor-faktor tersebut adalah
berjuang. Pada fase ini tubuh merasakan keadaan biologis, kemampuan
tidak enak sebagai akibat dari peningkatan beradaptasi/mempertahankan diri terhadap
sekresi hormon adrenalin dan non lingkungan yang diperoleh dari
adrenalin. Berdasarkan dari pengalaman perkembangan dan pengalaman, serta
yang diungkapkan oleh para informan, adaptasi terhadap rangsangan, situasi atau
maka dapat diungkapkan bahwa sebagian stressor yang dihadapi. Sumber
besar informan telah mengalami gejala- stressor/situasi yang dapat menyebabkan
gejala fisik yang dimaksud yang menyertai kecemasan didapatkan dari lingkungan
kecemasan namun para informan sendiri sosial. Lingkungan sosial mempunyai
masih ragu-ragu dan tidak yakin tentang hal aturan-aturan, kebiasaan, hukum-hukum
tersebut. yang berlaku di daerah tertentu. Hal inilah
yang menyebabkan individu harus dapat
Kecemasan Terhadap Kemampuan Seksual menyesuaikan diri dengan lingkungan
Hubungan seksual adalah salah satu sosial yang ada. Individu yang tidak dapat
kebutuhan individu yang dalam menyesuikan diri dengan norma/aturan
pemenuhannya harus melalui transaksi dalam masyarakat akan menyebabkan
dengan objek-objek dunia luar atau ketidakseimbangan dalam diri dan
lingkungan. Dalam berhubungan seksual sosialnya, sehingga dapat menimbulkan
individu memerlukan individu lain untuk kecemasan. Berdasarkan hasil penelitian,
dijadikan pasangan seksnya. Masing- dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang
masing individu berusaha memuaskan diri dialami oleh informan hanya dialami dalam
dan pasangan seksnya agar tercapai suatu jangka waktu yang tidak lama dan para
keslarasan dan keharmonisan baik secara informan hanya membiarkan kecemasan
psikis maupun fisik. tersebut tanpa melakukan treatment tertentu
untuk menghilangkan kecemasan yang
91
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
92
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Ramaiah, S, 2007, All You Want To Know About
Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama. Anxiety, Sterling Publisher Pvt. Ltd, New
Delhi.
Hartanto, H, 2004, Keluarga Berencana dan Kontrasepsi,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sugiyono, 2008, Metode penelitian kuantitatif kualitatif
dan R&D, Alfabeta, Bandung.
Indrayani, 2014, VASEKTOMI: Tindakan Sederhana
dan Menguntungkan Bagi Pria Untuk Tenaga Wibowo, Johari Adi, 2013, Proses Implementasi
Kesehatan, Trans Info Media, Jakarta. Program Akseptor Pria Vasektomi di
Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong
Manuaba I.A.C, Manuaba I.G.F, 2009, Memahami Utara, Jurnal S1 Ilmu Pemerintahan, Volume.
Kesehatan Reproduksi Wanita, EGC, Jakarta. 2, No. 2, Agustus 2013, hlm. 1-7.
93
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: tegar.bramasto@gmail.com
94
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
95
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
karena itu, terdapat potensi bahaya dan secara sistematik dan akurat. Populasi yang
layak untuk dilakukan penelitian. menjadi objek dalam penelitian ini yaitu
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk seluruh pekerja di bagian workshop PT.
mengetahui risiko kecelakaan kerja apa saja Total Dwi Daya yang berjumlah 24 pekerja.
yang mungkin terjadi di PT. Total Dwi Sedangkan sampel penelitiannya diambil
Daya dan tindakan apa yang dapat dengan menggunakan teknik snowball
dilakukan untuk meminimalkan risiko sampling.
kecelakaan kerja tersebut menggunakan job Instrumen yang digunakan yaitu
safety analysis. panduan wawancara, digunakan untuk
mengetahui proses kerja, material yang
METODE digunakan pada proses kerja dan cara
mengoperasikan mesin. Lembar observasi
Penelitian ini dilaksanakan di PT. digunakan untuk panduan dalam
Total Dwi Daya Kota Semarang pada melakukan observasi.
bulan Juli sampai Agustus 2014. Jenis Pemeriksaan keabsahan data
penelitian yang digunakan dalam penelitian menggunakan teknik triangulasi dan
ini adalah penelitian deskriptif kualitatif analisis data menggunakan model Miles
dengan pendekatan observasional karena dan Huberman.
fakta dan karakteristik mengenai populasi
atau mengenai bidang tertentu digambarkan
96
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
97
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Terkilir C 2 M
Berdasarkan tabel 1-5 diatas, diketaui dapat terjadi dikarenakan kabel-kabel listrik
risiko kecelakaan kerja yang terdapat pada yang tidak tertata rapi. Apabila pekerja
bagian workshop yaitu: kejang otot, terkena tersandung kabel dan kabel putus dapat
plat jatuh, terkilir, terpeleset, terjepit plat, mengakibatkan tersengat listrik.
terjepit mesin, tersengat listrik, terbentur Penyebab tersandung pada bagian
mesin, tersayat plat, tersambar plat, terkena workshop adalah kabel-kabel yang tertata
permukaan panas, terkena api, menghirup dan material yang diletakkan di lantai.
asap, tersandung kabel, terkena gerinda, Menurut Work Cover NSW (2007),
terkena percikan api, tersambar pipa, mengubah desain tempat kerja dapat
terkena mata bor, tertimpa, terkena mengurangi risiko tersandung maupun
steelwool, terkena paku, tersandung plat, terpeleset.
terkena pisau dan tergores. Selain digunakan untuk memotong
Pada bagian workshop PT. Total Dwi bahan baku, gerinda juga digunakan untuk
Daya terdapat beberapa aktivitas berulang menghaluskan permukaan setelah bahan di
yaitu pada saat mengangkat dan las. Menggerinda banyak dilakukan pada
memindahkan bahan baku. Beberapa saat proses welding and assembling dan
pekerja juga tidak melakukan teknik finisihing. Pada saat menggerinda, banyak
mengangkat beban dengan benar. Mereka pekerja yang tidak menggunakan alat
memindahkan plat baja dengan pelindung diri. Juga pada saat berhenti
membawanya diatas kepala. sejenak, pekerja tidak mematikan alat
Bagian workshop menggunakan gerinda.
beberapa mesin dengan tenaga listrik. Salah Setelah risiko kecelakaan kerja
satunya adalah mesin las listrik. Mesin yang diketahui dan didapatkan alternatif
digunakan yaitu Titan TIG 160 dengan arus pengendalian masalah kemudian data
output 10-160 A. Kondisi mesin cukup baik, dituangkan dalam lembar job safety analysis
namun bila tidak hati-hati saat seperti pada tabel 6-10.
mengoperasikannya maka pekerja berisiko
tersengat listrik. Risiko tersengat listrik juga
98
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Mengangkat plat stainless dan 1a. Kejang otot 1a. Mengangkat plat dengan
meletakkannya pada meja 1b. Terkena plat yang jatuh dibantu beberapa orang pekerja.
drawing. 1c. Terkilir 1b.1. Membuat SOP
1d. Terpeleset mengangkat plat stainless.
1b.2. Menggunakan safety shoes.
1c.1. Berhati hati dalam
melangkah
1c.2. Membuat SOP
mengangkat plat stainless.
1d.1. Lantai dibuat agar
bergerigi.
Menggambar pola pada plat 2a. Tergores sisi plat 1d.2. Membersihkan lantai dari
stainless. 2b. Tersandung plat debu
1d.3. Mengenakan safety shoes
dengan bahan sole polyurethane.
99
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
100
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
101
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Mengangkat plat stainless dan 1a. Kejang otot 1a. Mengangkat plat dengan
meletakkannya pada mesin 1b. Terkena plat yang jatuh dibantu beberapa orang pekerja.
bending. 1c. Tersayat plat 1b.1. Membuat SOP mengangkat
plat stainless.
1b.2. Menggunakan safety shoes
1c.1. Memegang pada sisi yang
tidak tajam.
2a. Terjepit mesin bending 1c.2. Menggunakan sarung
Menekuk plat menggunakan 2b. Terjepit plat tangan.
mesin bending 2c. Tersengat listrik
2a.1. Memperhatikan posisi
Memindahkan plat ke proses 3a. Kejang otot tangan sebelum mengoperasikan
WA 3b. Terpeleset mesin.
2a.2. Membuat SOP dalam
menggunakan mesin bending.
2a.3. Membuat tulisan
peringatan yang terlihat jelas di
depan mesin.
2a.4. Menggunakan sarung
tangan.
2b. Menggunakan sarung
tangan.
2c. Menggunakan alat penurun
tegangan otomatis.
3a. Mengangkat plat dengan
dibantu beberapa orang pekerja.
3b.1. Lantai dibuat agar
bergerigi.
3b.2. Membersihkan lantai dari
debu
3b.3. Mengenakan safety shoes
dengan bahan sole polyurethane
102
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, topeng las, safety googles.
Memotong pipa besi 2a. Terkena gerinda 2a.1. Periksa roda gerinda dari
2b. Terkena percikan api keretakan.
2c. Terkena potongan pipa 2a.2. Matikan gerinda bila tidak
yang terpental digunakan
2b. Menggunakan safety
googles.
2c.1. Membuat tempat khusus
Melubangi plat untuk pipa.
3a. Tersandung kabel 2c.2. Kencangkan pipa sebelum
3b. Terkena mata bor digerinda.
2c.3. Memakai face shield.
103
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Menggerinda bekas las 1a. Terkena gerinda 1a.1. Periksa roda gerinda dari
1b. Terkena percikan api keretakan.
1c. Terkena debu potong 1a.2. Matikan gerinda bila tidak
digunakan
1b. Menggunakan safety
Mengamplas produk 2a. Terkena putaran googles.
menggunakan steelwool steelwool. 1c. Menggunakan masker
2b. Tersandung kabel penyaring debu.
2c. Terkilir
2a.1. Menggunakan steelwool
yang lebih halus
2a.2. Menggunakan safety
Membungkus produk 3a. Tertimpa produk gloves.
menggunakan plastik 2b. Membuat jalur khusus
pembungkus untuk kabel.
2c. Menggunakan mesin
steelwool yang lebih ringan.
104
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Memasukkan produk ke dalam 4a. Kejang otot 4a. Mengangkat produk dengan
kotak kayu 4b. Terkena paku dibantu beberapa pekerja.
4c. Terpeleset 4b. Mengenakan pakaian lengan
4d. Terkilir panjang atau wearpack
4c.1. Melakukan packing di luar
ruangan
4c.2. Lantai dibuat agar bergerigi.
4c.3. Membersihkan lantai dari
debu
4c.4. Mengenakan safety shoes
5a. Terkena pisau saat dengan bahan sole polyurethane
Mengikat produk memotong tali. 4d. Mengangkat produk dengan
dibantu beberapa pekerja.
105
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
106
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: indramalayulmi@ymail.com
107
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Menurut WHO pada tahun 2013, rentan dengan perilaku berisiko (KPA,
pada akhir tahun 2012, secara global 2011). Data Surveilans Terpadu Biologis
terdapat 35,3 juta orang hidup dengan HIV. dan Perilaku (STBP) 2011 menunjukan
Pada tahun yang sama, sekitar 75 juta hanya 22,3% remaja memiliki pengetahuan
orang terinfeksi HIV, dan 1,6 juta orang komprehensif HIV/AIDS (Kemenkes RI,
meninggal karena AIDS. Kasus HIV di 2011). Data dari Ditjen Pengendalian
Asia Tenggara menduduki peringkat Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
keempat tertinggi di dunia, terhitung tahun 2013 berdasarkan survey cepat (Rapid
hampir 3,4 juta orang mengidap Survey) yang dilakukan tahun 2012
HIV/AIDS, dan 200.000 meninggal karena menunjukan remaja usia 15-24 tahun yang
HIV/AIDS (WHO, 2013). memiliki pengetahuan komprehensif
Bedasarkan data Ditjen PP &PL mengenai HIV dan AIDS hanya 21,25%
Kemenkes, perkembangan HIV/AIDS di saja, sedangkan tahun 2014 target remaja
Indonesia tahun 2013 terdapat penambahan yang memiliki pengetahuan komprehensif
kasus 1.983 kasus. Dengan demikian, HIV/AIDS harus mencapai 95% (Ditjen PP
jumlah komulatif AIDS dari tahun 1987 & PL, 2013).
sampai dengan bulan September 2013 Berdasarkan observasi awal yang
sebanyak 45.650 orang (Ditjen PP & PL dilakukan pada empat SMA yang berada di
Kemenkes, 2013). Berdasarkan data dari sekitar lokalisai kecamatan Semarang
profil Kesehatan provinsi Jawa Tengah Barat, siswa SMA Kesatrian 1 Semarang
kasus AIDS tahun 2012 mengalami mempunyai pengetahuan komprehensif
peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu HIV/AIDS sebesar 20%. Data tersebut
dari 755 kasus menjadi 797 kasus. lebih rendah dari ketiga SMA yang lain
Kematian karena AIDS dari 89 kasus yaitu SMA Negeri 7 Semarang sebesar
menjadi 149 kasus (Dinkes Provinsi Jateng, 21,6%, SMA Setia Budi sebesar 20,6% dan
2012). Di Kota Semarang sendiri menurut SMA Purmana 3 sebesar 21,1%. Oleh
laporan Dinas Kesehatan Kota Semarang karena itu, perlu upaya pemberian
kasus HIV tahun 2012 untuk Kota informasi kesehatan reproduksi terutama
Semarang saja sebanyak 176 orang dengan masalah tentang HIV/AIDS pada remaja
kondisi 104 orang sudah pada stadium khususnya siswa SMA dalam upaya
AIDS ( Dinkes Kota Semarang, 2012). peningkatan pengetahuan Komprehensif
Secara kumulatif kasus AIDS HIV/AIDS.
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur Promosi kesehatan dapat dilakukan
20-29 tahun (34,5%), diikuti kelompok dengan menggunakan berbagai metode dan
umur 30-39 tahun (28,7%), kelompok umur media yang disesuaikan dengan sasaran.
40-49 tahun (10,6%), kelompok umur 15-19 Media permainan sebagai alat belajar dan
tahun (3,2%), dan 50-59 tahun (3,2%) mengajar dapat dipakai dalam promosi
(Ditjen PP & PL, 2013). kesehatan. Permainan sebagai media
Menurut Komisi Penanggulangan promosi kesehatan karena merupakan
AIDS pemahaman remaja tentang media belajar yang menyenangkan dan
HIV/AIDS masih sangat minim, padahal kembali pada manfaat permainan,
remaja termasuk kelompok usia yang permainan mampu menghadirkan sesuatu
108
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
109
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
110
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
111
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Sedangkan pada tabel 3, hasil dari berkelompok. Oleh karena ini dalam
uji statistik dengan Chi-Square tidak simulasi permainan ini dipilih dengan
berpasangan antara kelompok eksperimen menggunakan permainan yang dilakukan
dan kelompok kontrol, dengan nilai p value secara mengelompok yaitu salah satunya
(0,034) < 0,05 dapat diketahui bahwa dengan permainan monopoli.
terdapat perbedaan pengetahuan Menurut Ircham, Machfoedz dan
komprehensif HIV/AIDS yang signifikan Eko Suryani (2008), bila fasilitas untuk
antara post-test kelompok eksperimen dan belajar dan materi cukup, tentu proses akan
kelompok kontrol. Artinya bahwa metode berhasil maka malalui metode permainan
simulasi permainan efektif dalam berupa monopoli memungkinkan terjadinya
meningkatkan pengetahuan komprehensif hal-hal sebagai berikut :
HIV/AIDS pada remaja SMA Kesatrian 1 1. Meningkatkan pertisipasi aktif
Semarang tahun ajaran 2014-2015. Permainan memungkinkan adanya
Hal ini sesuai dengan penelitian partisipasi aktif untuk belajar. Seperti kita
yang dilakukan oleh Nanda Aditya yang ketahui, belajar yang baik adalah belajar
menyatakan bahwa Metode Simulasi Game yang aktif. Permainan monopoli
(SIG) lebih berpengaruh dibanding dengan mempunyai kemampuan untuk melibatkan
metode Focus Group Discussion (FGD). Hal peserta didik dalam proses belajar secara
ini dikarenakan metode Simulation Game aktif untuk menggali informasi mengenai
(SIG) dalam fasilitator memungkinkan pengetahuan HIV/AIDS. Dalam
penyuluh atau fasilitator lebih mudah penyuluhan tentang HIV/AIDS pada
dalam menyampaikan materi, peningkatan remaja dengan metode simulasi permainan,
minat siswa saat penyuluhan karena peran penyuluh disini dapat benar-benar
penyampaian materi dengan metode ini berperan sebagai fasilitator. Permainan
menggunakan media permainan, motivasi monopoli menjadi menarik karena
siswa menjadi meningkat karena terdapat didalamnya terdapat unsur kompetisi.
unsur kompetisi pada metode ini, adanya Partisipasi aktif juga meningkat karena
umpan balik secara langsung (Rizki, Nanda adanya unsur kompetisi dalam permainan
A, 2012). ini. Adanya unsure kompetisi ini akan
Metode simulasi permainan menimbulkan suasana keragu-raguan
merupakan sebuah metode pendidikan karena tidak tahu sebelumnya siapa yang
kesehatan dengan menggunakan permainan bakal menimbulkan suasana keragu-raguan
monopoli efektif dalam meningkatkan siapa yang menang dan kalah (Sadiman,
pengetahuan komprehensif HIV/AIDS Arief dkk, 2009).
pada remaja, dikarenakan metode simulasi 2. Memungkinkan adanya umpan
permainan dengan menggunakan balik langsung
permainan monopoli telah dimodifikasi Umpan balik yang secepatnya atas
sedemikian rupa sehingga bisa apa yang dilakukan akan memungkinkan
menyesuaikan karakteristik sasaran proses belajar menjadi lebih efektif
penyuluhan yaitu remaja SMA. Menurut (Sadiman, Arief, dkk, 2009).
Muhamad Ali dan Muhamad Asrori 3. Meningkatkan kemampuan
(2008:60), karakteristik remaja yang salah untuk menyampaikan pendapat
satunya yaitu suka bergaul dan dalam diskusi kemlompok.
112
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
113
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
114
UJPH 4 (4) (2015)
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: daissy7sm@gmail.com
115
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
116
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mengalami penurunan dimana target dari Sehingga dalam penelitian kali ini penulis
indikator ini adalah sebesar 85%. Pada tertarik untuk meneliti faktor pelayanan
tahun 2011 indikator CR telah mencapai kesehatan.
88,1% kemudian pada tahun 2012 Berdasarkan latar belakang tersebut,
meningkat menjadi 89,2% namun pada maka rumusan masalah dalam penelitian
tahun 2013 terjadi penurunan menjadi ini adalah adakah hubungan antara tingkat
84,3%. Indikator lain yaitu SR (Success Rate) pengetahuan petugas P2TB, sikap petugas
pada tahun 2013 juga tidak luput dari P2TB, motivasi petugas P2TB,
penurunan. Pada tahun 2011 indikator SR keikutserttaan petugas P2TB dalam
telah mencapai 90,2% kemudian pada pelatihan, persepsi petugas P2TB terhadap
tahun 2012 meningkat menjadi 90,6% kepemimpinan kepala puskesmas,
namun pada tahun 2013 terjadi penurunan ketersediaan logistik, ketersediaan dana,
menjadi 86,7% padahal target dari indikator pelaksanaan rapat koordinasi tingkat
ini adalah sebesar 90% (DKK Sragen, puskesmas, sistem pencatatan dan
2014). pelaporan, pelaksanaan supervisi oleh dinas
Dari hasil observasi pada bulan kesehatan dan pelaksanaan evaluasi oleh
Maret tahun 2014 di Kabupaten Sragen, Kepala Puskesmas dengan keberhasilan
dari tahun ke tahun terjadi peningkatan pengobatan di Kabupaten Sragen. Tujuan
jumlah pasien yang diobati oleh Puskesmas. dari penelitian ini adalah mengetahui
Hal ini tidak lepas dari usaha DKK hubungan antara faktor-faktor tersebut
Kabupaten Sragen yang giat melaksanakan dengan keberhasilan pengobatan di
penyuluhan di berbagai daerah. Sehingga Kabupaten Sragen.
terjadi peningkatan kesadaran masyarakat
untuk membawa seseorang dengan gejala- METODE
gejala TB ke fasilitas pelayanan kesehatan
namun tidak diikuti dengan peningkatan Penelitian ini bersifat “explanatory
pada angka keberhasilan pengobatan research” (penelitian penjelasan) yaitu
(Success Rate) TB Paru. menjelaskan hubungan antara variabel
Angka Keberhasilan Pengobatan pengaruh dengan variabel terpengaruh
(SR) sangat dipengaruhi oleh beberapa melalui pengujian hipotesis. Dengan
faktor baik faktor dari penderita maupun demikian maka penelitian rancangan
faktor pelayanan kesehatan. Penelitian penelitian yang digunakan dalam penelitian
Bertin Tanggap Tirtana (2011) variabel ini adalah metode potong lintang (cross
bebasnya adalah berupa faktor penderita sectional). Dimana variabel bebas dan terikat
yang meliputi keteraturan berobat, lama diukur dalam satu waktu. Dalam penelitian
pengobatan, tingkat pendapatan, jenis ini data Success Rate yang digunakan adalah
pekerjaan, kebiasaan merokok, jarak tempat data Success Rate pada tahun 2013
tinggal pasien hingga tempat pengobatan sedangkan penelitian dilakukan pada tahun
dan status gizi. Hasil dari penelitian 2014. Hal ini dapat dimaklumi karena
tersebut adalah terdapat pengaruh antara kondisi pada tahun 2014 tidak jauh berbeda
keteraturan berobat dan lama pengobatan dengan kondisi tahun 2013 mulai dari
terhadap keberhasilan pengobatan, petugas P2TB Puskesmas masih sama
sedangkan untuk faktor pelayanan hingga pendanaan yang tidak jauh berbeda.
kesehatan belum dilakukan penelitian. Beberapa keuntungan menggunakan
117
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
pendekatan cross sectional ini adalah dapat dari WHO, Kementerian Kesehatan
menekan biaya penelitian, waktu yang Republik Indonesia dan Dinas Kesehatan
dibutuhkan relatif singkat dan efisiensi kerja Provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga
(Murti, 2003: 220). digunakan data Success Rate dalam evaluasi
Instrumen yang digunakan dalam P2TB Sragen yang diperoleh dari Dinas
penelitian ini adalah kuesioner dan lembar Kesehatan Kabupaten Sragen serta
checklist yang telah diuji validitas dan formulir-formulir pencatatan TB di
reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. Puskesmas.
Sumber data yaitu data primer yang
diperoleh langsung dari responden dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
menggunakan kuesioner dan lembar
checklist. Data sekunder dalam penelitian ini Adapun hasil penelitian ini dapat
berupa data tentang penyakit tuberkulosis dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut
118
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
119
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
demikian dari obrolan ringan yang tertular TB dari pasien yang sedang
dilakukan diharapkan masyarakat dapat ditanganinya.
mengenali gejala TB untuk kemudian
apabila mereka menemui kasus semacam Keikutsertaan Petugas dalam Pelatihan
itu dapat segera dibawa ke pelayanan Berdasarkan hasil uji statistik Chi
kesehatan untuk mendapat penanganan square pada Tabel 1, dimana nilai p value
medis. sebesar 1,000 lebih besar dari 0,05 (1,000 >
0,05) yang artinya faktor keikutsertaan
Motivasi Kerja Petugas petugas dalam pelatihan tidak berhubungan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi dengan capaian Success Rate TB Paru di
square pada Tabel 1, dimana nilai p value Kabupaten Sragen.
sebesar 0,010 lebih kecil dari 0,05 (0,010 < Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
0,05) yang artinya faktor motivasi kerja hasil penelitian dari Maryun (2007) yang
petugas berhubungan dengan capaian menunjukkan bahwa ada hubungan yang
Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. sedang antara pelatihan dengan kinerja
Hasil penelitian ini sesuai dengan petugas pengelola program TB puskesmas
pendapat Gibson et al dalam Maryun terhadap cakupan penemuan kasus baru
(2007) yang menyatakan bahwa kinerja BTA (+). Akan tetapi penelitian dari Duhri
seseorang yang dinilai tidak memuaskan (2013) menunjukkan hasil yang sesuai
sering disebabkan oleh motivasi yang dengan penelitian ini yakni keterampilan
rendah. Menurut pendapat Budioro (2002) petugas P2TB tidak menggambarkan
motivasi adalah upaya penggerakan dengan kinerja yang baik. Artinya dalam penelitian
cara menghidupkan kekuatan pendorong tersebut, petugas P2TB yang terampil atau
yang sebenarnya sudah ada dalam diri tiap tidak terampil memiliki peluang yang sama
orang. Dalam menjalankan tugas, apabila untuk menemukan penderita TB Paru.
terdapat pasien yang tidak datang Pelatihan bagi para petugas P2TB di
mengambil obat pada hari yang telah Kabupaten Sragen bukan merupakan acara
ditentukan maka petugas P2 TB akan yang sering ataupun rutin dilaksanakan.
melakukan tindakan minimal dengan Sehingga upaya peningkatan kemampuan
menelepon pasien untuk mengingatkannya. petugas P2 TB tidak bisa hanya
Apabila pasien belum juga datang, maka mengandalkan kegiatan pelatihan.
petugas akan melakukan kunjungan rumah Menyikapi hal ini, DKK Kabupaten Sragen
dengan membawa obat untuk pasien lantas mengadakan pertemuan rutin setiap
tersebut. Hal ini menunjukkan motivasi tiga bulan sekali yang diikuti oleh seluruh
yang baik dari petugas P2 TB dalam petugas P2TB Kabupaten Sragen.
pencapaian angka Success Rate TB Paru. Pertemuan ini dimanfaatkan secara
Pada petugas dengan motivasi yang kurang maksimal oleh para petugas untuk berbagi
sebagian mengeluhkan tentang risiko informasi terbaru tentang penanggulangan
tertular sebagaimana diketahui TB TB. Hal ini diduga dapat menggantikan
merupakan penyakit yang mudah menular. peran pelatihan yang tidak rutin
Kekhawatiran pada petugas P2 TB ini tetap dilaksanakan. Selain itu, petugas P2TB juga
muncul meski telah mendapatkan informasi melaksanakan tugasnya berdasarkan
tentang keamanan kerja agar petugas tidak pengalaman yang telah mereka miliki
selama mengemban tugas dan disesuaikan
120
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
pula dengan instruksi yang diberikan oleh Berdasarkan hasil uji statistik Chi
wasor TB. square pada Tabel 1, dimana didapatkan p
value sebesar 0,027 (0,027 < 0,05) yang
Persepsi Petugas terhadap Kepemimpinan artinya faktor ketersediaan logistik
Kepala Puskesmas berhubungan dengan capaian Success Rate
Berdasarkan hasil uji statistik Chi TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil
square pada Tabel 1, dimana nilai p value penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
sebesar 0,360 lebih besar dari 0,05 (0,360 > Maryun (2007) yang menyatakan bahwa
0,05) yang artinya faktor persepsi petugas ada hubungan yang kuat antara persepsi
terhadap kepemimpinan Kepala Puskesmas terhadap sarana dengan kinerja petugas
tidak berhubungan dengan capaian Success pengelola program TB Puskesmas terhadap
Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. cakupan penemuan kasus baru BTA (+).
Hasil penelitian ini tidak sesuai Seharusnya semakin lengkap logistik
dengan hasil penelitian Maryun (2007) yang P2TB maka akan semakin baik pula Success
menyatakan bahwa ada hubungan yang Rate yang dicapai. Akan tetapi, dalam
kuat antara persepsi terhadap penelitian ini menunjukkan hasil yang
kepemimpinan dengan kinerja petugas terbalik yakni semakin tidak lengkap
pengelola program TB puskesmas terhadap logistik maka Success Rate yang dicapai
cakupan penemuan kasus baru BTA (+). justru semakin baik. Temuan ini menuntut
Menurut pendapat Budioro (2002), kepala adanya analisis yang lebih mendalam
puskesmas harus berperan sebagai tokoh tentang mengapa hal tersebut dapat terjadi.
dan pembina bagi semua kegiatan yang Setelah dilihat kembali ternyata logistik
berkaitan dengan bidang kesehatan dalam yang tidak tersedia di puskesmas
wilayah puskesmasnya. Penelitian Yarman merupakan logistik yang memang jarang
(2006) menunjukkan hasil yang sesuai digunakan dalam upaya penanggulangan
dengan penelitian ini, yakni tidak TB. Sebagai contoh adalah formulir TB 09
didapatkan hubungan antara dan formulir TB 10. TB 09 merupakan
kepemimpinan dengan faktor-faktor formulir rujukan/pindahan sedangkan TB
kedisiplinan pegawai puskesmas. 10 merupakan formulir hasil akhir
Pada kenyataannya, kepala pengobatan dari pasien TB pindahan.
puskesmas adalah seseorang yang Formulir ini jarang digunakan karena
memimpin sebuah puskesmas namun tidak memang puskesmas sangat jarang
berarti kepala puskesmas selalu ada di menerima maupun melakukan
puskesmas yang ia pimpin untuk rujukan/pindah pasien. Hal yang sama juga
mengawasi jalannya pelayanan karena terjadi pada OAT selain kategori 1 karena
memang banyak hal lain yang harus diurus OAT selain kategori 1 akan tersedia apabila
oleh seorang kepala puskesmas. Dengan memang terdapat pasien yang
demikian kesadaran petugas untuk membutuhkan kategori tersebut.
melaksanakan tugasnya dengan maksimal Selama kegiatan penelitian juga
tanpa harus menunggu perintah kepala diketahui bahwa terdapat dua puskesmas,
puskesmas sangat diperlukan dalam usaha yakni Puskesmas Jenar dan Puskesmas
penanggulangan TB. Gemolong, tidak memiliki tenaga analis
laboratorium. Posisi analis laboratorium di
Ketersediaan Logistik dua puskesmas tersebut dipegang oleh
121
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
perawat yang pernah mengikuti pelatihan. koordinasi tingkat puskesmas ini tidak
Kekhawatiran yang muncul akibat masalah dapat dilanjutkan ke uji korelasi Chi-Square
ini adalah terjadinya kesalahan saat karena seluruh puskesmas atau 100% telah
pembacaan sediaan dahak karena melaksanakan rapat koordinasi tingkat
keterampilan pembacaan seorang analis puskesmas secara rutin. Sehingga tidak
laboratorium akan berbeda dengan seorang terdapat hubungan antara pelaksanaan
perawat yang dilatih. Hal ini dianggap oleh rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan
petugas TB puskesmas sebagai hambatan Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen.
dalam proses diagnosa dan penemuan Rapat koordinasi tingkat puskesmas
suspek. atau yang sering disebut sebagai
minilokakarya telah dilaksanakan di
Ketersediaan Dana seluruh puskesmas di Kabupaten Sragen.
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui Rapat ini dilaksanakan setiap satu bulan
bahwa untuk variabel ketersediaan dana ini sekali sesuai jadwal yang telah ditentukan
tidak dapat dilanjutkan ke uji korelasi Chi- dan diikuti oleh kepala puskesmas dan
Square karena seluruh puskesmas atau 100% seluruh petugas puskesmas dari semua
telah menyediakan dana untuk program P2 bidang. Dalam rapat ini dibahas tentang
TB. Sehingga tidak terdapat hubungan pencapaian yang telah diraih dalam sebulan
antara ketersediaan dana dengan Success terakhir oleh para pemegang program. Serta
Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. akan dipaparkan berbagai hambatan yang
Pada dasarnya pengobatan TB di dihadapi untuk dipecahkan secara bersama-
puskesmas adalah gratis. Namun terdapat sama.
bantuan baik dari pemerintah maupun dari
luar negeri yang dapat digunakan untuk Sistem Pencatatan dan Pelaporan
penjaringan suspek TB. Bantuan tersebut Berdasarkan hasil uji statistik Chi
berasal dari Global Fund dan BOK (Bantuan square pada Tabel 1, dimana nilai p value
Operasional Kesehatan). Global Fund sebesar 0,200 lebih besar dari 0,05 (0,200 >
adalah sebuah mekanisme yang dibentuk 0,05) yang artinya faktor sistem pencatatan
oleh PBB untuk memerangi tiga penyakit dan pelaporan tidak berhubungan dengan
yaitu HIV/AIDS, Malaria dan TB. capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten
Sedangkan BOK merupakan bantuan Sragen.
pemerintah pusat kepada pemerintah Dalam Pedoman Nasional Penaggulangan
daerah untuk percepatan pencapaian TB telah dijelaskan bahwa salah satu
MDGs bidang kesehatan melalui komponen penting dari surveilans adalah
peningkatan kinerja Puskesmas dan pencatatan dan pelaporan. Semua unit
jaringannya serta Poskesdes/Polindes, pelaksana program penanggulangan TB
Posyandu dan UKBM lainnya dalam harus melaksanakan suatu sistem
menyelenggarakan pelayanan kesehatan pencatatan dan pelaporan yang baku.
yang bersifat promotif dan preventif. Sistem pencatatan dan pelaporan ini sangat
berguna dalam proses evaluasi program TB.
Pelaksanaan Rapat Koordinasi Tingkat Selain itu juga dapat digunakan sebagai
Puskesmas langkah antisipasi jika terdapat pasien yang
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui mangkir. Data pasien yang mangkir
bahwa untuk variabel pelaksanaan rapat tersebut dapat dilihat dalam formulir
122
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
123
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
puskesmas dan pelaksanaan evaluasi oleh Gari, N.N, 2009, Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap
Kinerja Petugas TB Paru Puskesmas dalam
kepala puskesmas dengan keberhasilan
Penemuan Penderita TB Paru Pada Program
pengobatan (Success Rate) TB Paru di Pemberantasan Penyakit (P2P) TB Paru di
Kabupaten Sragen. Kota Medan Tahun 2009, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara
UCAPAN TERIMA KASIH
H.S, Nurmala, 2002, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan Program
Ucapan terima kasih kami tujukan Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Paru di
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Puskesmas Medan Helvetia Tahun 2002,
Sragen, seluruh Kepala Puskesmas di Skripsi, Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Sragen serta seluruh petugas
Maryun, Yuyun, 2007, Beberapa Faktor yang
P2TB puskesmas Kabupaten Sragen atas
Berhubungan dengan Kinerja Petugas
segala bantuan, kerja sama dan partisipasi Program TB Paru Terhadap Cakupan
yang telah diberikan. Penemuan Kasus Baru BTA (+) di Kota
Tasikmalaya Tahun 2006, Tesis, Universitas
Diponegoro
DAFTAR PUSTAKA
124
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
125