Anda di halaman 1dari 16

Hubungan Antara Faktor Kebiasaan Merokok Keluarga Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Pasca Gempa Di Wilayah Kerja Puskesmas Penimbung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten
Lombok Barat Provinsi NTB Tahun 2018

Hartawan.1, Dwi Septian Wijaya.2


1.Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.HAMKA
2. Akademi Keperawatan Royhan Jakarta Timur

Email. Awanbeko66@gmail.com

ABSTRAK

Gempa bumi merupakan salah satu fenomena alam yang dapat disebabkan oleh
buatan atau akibat kegiatan manusia maupun akibat peristiwa alam. Gempa bumi selalu
datang secara mendadak dan mengejutkan sehingga menimbulkan kepanikan umum yang
luar biasa karena sama sekali tidak terduga sehingga tidak ada seorang pun yang sempat
mempersiapkan diri. ISPA adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur dan bakteri.
Jumlah kasus ISPA pada balita di Indonesia tahun 2017 adalah 447.431 terdiri dari kasus
ISPA 432.000 dan ISPA 15.431 dengan CFR 0,30%. Kasus ISPA lebih banyak ditemukan
pada balita umur 1-4 tahun yaitu 297.487 dibandingkan balita umur <1 tahun yaitu 149.944
kasus. Tujuan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk Hubungan Antara Faktor
Kebiasaan Merokok Keluarga Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita Pasca Gempa.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini berjumlah
132 balita dengan mengambil sampel sebanyak 80 balita. Analisa data dengan univariat,
bivariat dan multivariat. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan yang bermakna antara
status imunisasi p value=0,003, status gizi p value=0,017, kepadatan hunian rumah p
value=0,014, tingkat pendidikan p value=0,011, riwayat pemberian ASI eksklusif p value =
0,004, berat badan lahir bayi p value = 0,004, akses pelayanan kesehatan p value = 0,015,
penggunaan jamban p value = 0,031 dengan kejadian ISPA pada balita pasca gempa. Saran
diharapkan dapat meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang bagaimana cara
mencegah dan menanggulangi penyakit ISPA pada balita di masyarakat, serta menjelaskan
kepada masyarakat tentang penyebab ISPA yang dapat disebabkan dari berbagai faktor dan
menjelaskan kepada masyarkat tentang pentingnya melakukan imunisasi pada bayi,
pemberian ASI Eksklusif dan meningkatkan status gizi bayi agar terhindar dari berbagai
penyakit khususnya penyakit ISPA pasca terjadinya gempa di lombak.

Kata Kunci : Gempa Bumi, ISPA, Status Merokok, Balita

LATAR BELAKANG maupun akibat peristiwa alam. gempa bumi


Bencana menurut WHO adalah selalu datang secara mendadak dan
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah mengejutkan sehingga menimbulkan
yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kepanikan umum yang luar biasa karena sama
kerugian kehidupan manusia serta sekali tidak terduga sehingga tidak ada
memburuknya kesehatan serta pelayanan seorang pun yang sempat mempersiapkan diri
kesehatan yang bermakna sehingga (Sunarjo, 2012).
memerlukan bantuan luar biasa dari luar Dampak gempa bumi itu sendiri
lokasi bencana. Secara geografis Indonesia berdampak pada masalah kesehatan.
merupakan salah satu Negara yang rawan Timbulnya masalah kesehatan antara lain
terhadap bencana yaitu salah satunya adalah berawal dari kurangnya air bersih yang
Gempa gumi. Gempa bumi merupakan salah berakibat pada buruknya kebersihan diri,
satu fenomena alam yang dapat disebabkan buruknya sanitasi lingkungan yang
oleh buatan atau akibat kegiatan manusia merupakan awal dari perkembangbiakan
beberapa jenis penyakit menular Salah satu umur < 1 tahun yang sebesar 0,27%
permasalahan kesehatan akibat bencana (Kemenkes RI, 2018)
adalah meningkatnya potensi kejadian Jumlah kasus ISPA pada balita di
penyakit menular maupun penyakit tidak Indonesia tahun 2017 adalah 447.431 terdiri
menular. Bahkan, tidak jarang kejadian luar dari kasus ISPA 432.000 dan ISPA 15.431
biasa (KLB) untuk beberapa penyakit menular dengan CFR 0,30%. Kasus ISPA lebih
tertentu, seperti KLB diare dan disentri yang banyak ditemukan pada balita umur 1-4 tahun
dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang yaitu 297.487 dibandingkan balita umur < 1
memburuk akibat bencana seperti banjir. tahun yaitu 149.944 kasus. Berdasarkan Case
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) Fatality Rate (CFR) pneumonia juga lebih
merupakan keluhan yang paling banyak tinggi pada balita umur 1-4 tahun yaitu 0,32%
diderita pengungsi. ISPA terjadi karena dibandingkan balita umur < 1 tahun yaitu
masuknya kuman atau mirkoorganisme ke 0,27%. Lima provinsi terbanyak yang
dalam tubuh manusia dan berkembang biak memiliki jumlah kasus ISPA pada balita
sehingga menimbulkan gejala penyakit. tahun 2017 secara berurutan yaitu provinsi
Penyakit ISPA merupakan salah satu Jawa Barat (126.936), Jawa Timur (65.139),
penyakit pernafasan terberat dan terbanyak Jawa Tengah (52,033), DKI Jakarta (43.500),
menimbulkan akibat kematian. Sampai saat Banten (30.402), dan Nusa Tenggat Barat
ini ISPA masih menjadi masalah kesehatan (28,3) (Kemenkes RI, 2018).
dunia. Hal ini dapat dilahat dari tingginya Penyebab ISPA adalah sejumlah agen
angka kesakitan dan kematian akibat ISPA. menular termasuk virus, bakteri dan jamur.
Kematian akibat penyakit ISPA pada balita Faktor – faktor yang mempengaruhi resiko
mencapai 12,4 juta pada balita golonga umur peningkatan keparahan ISPA, yaitu status gizi
0- 4 tahun setiap tahun seluruh dunia, dimana kurang atau gizi buruk, pemberian air susu
dua pertiganya adalah bayi, yaitu golongan ibu (ASI) tidak sampai 6 bulan (tidak ASI
umur 0-1 tahun dan sebanyak 80,3% kematian eksklusif), bayi berat badan lahir rendah,
ini terjadi di negara berkembang (WHO, tidak vaksinasi dasar lengkap, polusi udara
2007). dalam kamar terutama dari asap rokok dan
Pada tahun 2015, WHO melaporkan asap, serta dan pendidikan ibu (Kartasasmita,
hampir 6 juta anak balita meninggal dunia, 16 2010).
% yaitu diperkirakan sebanyak 920.136 balita Kemungkinan faktor yang dapat
di tahun 2015 dari jumlah tersebut disebabkan mempengaruhi kejadian ISPA adalah orang
oleh ISPA sebagai pembunuh balita nomor 1 tua yang merokok,pendidikan ibu,status
di dunia. Diperkirakan sebanyak 2 Balita imunisasi,status gizi,ventilasi rumah,
meninggal setiap menit disebabkan oleh kepadatan penduduk dan BBLR (Buletin
ISPA. Populasi yang rentan terserang ISPA WHO, 2008). Menurut WHO (2010), faktor
adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, resiko tinggi ISPA terdapat pada anak – anak
usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh
memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, rendah yaitu pada keadaan malnutrisi atau
gangguan imunologi) (Kemenkes RI, 2017). kekurangan gizi, terutama pada bayi yang
Angka kematian akibat ISPA pada tidak di beri ASI eksklusif, penyakit seperti
balita di Indonesia tahun 2014 adalah 0,08% campak juga meningkatkan resiko anak
dan mengalami kenaikan yang cukup bearti tertular ISPA. Faktor lingkungan yang dapat
pada tahun 2015 yaitu 0,16% dan sedikit meningkatkan kerentanan anak untuk ISPA
mengalami penurunan di tahun 2016 yaitu adalah polusi udara dalam ruangan yang
0,11% namun mengalami kenaikan lagi pada disebabkan oleh memasak dan pemanasan
tahun 2017 yaitu 0,30. Pada tahun 2017 dengan bahan bakar seperti kayu atau kotoran,
Angka kematian akibat ISPA pada kelompok tinggal dirumah yang penuh sesak serta orang
umur 1-4 sedikit lebih tinggi yaitu sebesar tua yang merokok.
0,32% dibandingkan pada kelompok balita
TUJUAN Diketahui distribusi frekuensi status gizi
Mengetahui hubungan antara faktor balita sebagian besar adalah status gizi baik
kebiasaan merokok keluarga terhadap sebanyak 47 responden (58,8%) dan status
kejadian ISPA pada balita pasca gempa di gizi kurang sebanyak 33 responden (41,3%).
wilayah kerja Puskesmas penimbung Diketahui distribusi frekuensi kepadatan
kecamatan Gunung sari Kabupaten lombok hunian rumah sebagian besar hunian tidak
barat provinsi NTB tahun 2018. padat sebanyak 41 responden (51,3%) dan
hunian yang padat sebanyak 39 responden
METODE PENELITIAN (48,8%). Diketahui distribusi frekuensi
Penelitian ini bersifat analitik dengan tingkat pendidikan responden sebagian besar
pendekatan secara kuantitatif. Desain berpendidikan rendah sebanyak 57 responden
penelitian yang digunakan adalah cross (71,3%) dan yang berpendidikan tinggi
sectional (potong lintang) yaitu subjek hanya sebanyak 23 responden (28,8%). Diketahui
diobservasi sekali saja dan pengukuran distribusi frekuensi kebiasaan merokok
dilakukan terhadap karakter atau variabel keluarga sebagian besar tidak ada yang
subjek pada saat pemeriksaan. Studi Cross merokok sebanyak 42 responden (52,5%) dan
sectional mengukur variabel dependen dan ada yang merokok sebanyak 38 responden
independen secara bersamaan pada suatu saat. (47,5%). Diketahui distribusi frekuensi
jumlah yang di gunakan dalam penelitian ini riwayat ASI eksklusif sebagian besar
adalah sebanyak 73 responden dengan teknik memberikan ASI Eksklusif sebanyak 64
sampling random sampling. Analisa data responden (80%) dan tidak memberikan ASI
menggunakan uji univariat, bivariat dan Eksklusif sebanyak 16 responden (20%).
multivariat. Diketahui distribusi frekuensi berat badan
lahir sebagian besar berat badan lahir bayi
HASIL PENELITIAN normal sebanyak 53 responden (66,3%) dan
Analisa Univariat berat badan lahir rendah sebanyak 27
Diketahui distribusi frekuensi responden (33,8%). Diketahui distribusi
responden yang anak balitanya menderita frekuensi akses pelayanan kesehatan sebagian
ISPA sebanyak 37 orang (46,3%) dan yang besar adalah dekat sebanyak 43 responden
anak balitanya tidak menderita ISPA (53,8%) dan akses pelayanan jauh sebanyak
sebanyak 43 responden (53,8%). Diketahui 37 responden (46,3%). Diketahui distribusi
distribusi frekuensi status imunisasi balita frekuensi penggunaan jamban sebagian besar
sebagian besar tidak lengkap sebanyak 45 menggunakan jamban sehat sebanyak 56
responden (56,3%) dan status imunisasi responden (70%) dan penggunaan jamban
lengkap sebanyak 35 responden (43,8%). tidak sehat sebanyak 24 responden (30).

Analisa Bivariat
Hasil Seleksi Bivariat sebagai berikut
Variabel P value
Status Imunisasi 0,003
Status Gizi 0,017
Kepadatan Hunian 0,014
Tingkat Pendidikan 0,011
Kebiasaan Merokok 0,002
Riwayat ASI Eksklusif 0,004
Berat badan lahir bayi 0,004
Akses pelayanan kesehatan 0,015
Penggunaan jamban 0,031
Berdasarkan tabel diatas dari 9 pemodelan multivariat dengan p value < 0,25
variabel yang dilakukan analisis bivariat yaitu status imunisasi (p value = 0,003),
semuanya memenuhi syarat untuk masuk status gizi (p value = 0,017), kepadatan
hunian (p value = 0,014), tingkat pendidikan value = 0,004), akses pelayanan kesehatan (p
(p value = 0,011), kebiasaan merokok (p value = 0,015) dan penggunaan jamban (p
value = 0,002), riwayat ASI eksklusif (p value = 0,031) ada hubungan signifikan
value = 0,004), berat badan lahir bayi (p dengan kejadian ISPA pada balita.
Analisa Multivariat
Model Akhir Multivariat
95,0%
No Variabel Nilai P Exp B
Lower Uper
1. Status Imunisasi 0,218 2,628 0,564 12,237
2. Status Gizi 0,317 0,219 0,011 4,294
3. Kepadatan Hunian 0,308 2,884 0,376 22,125
4. Tingkat Pendidikan 0,025 6,061 1,256 29,240
5. Kebiasaan Merokok 0,001 11,570 2,633 50,844
6. Riwayat ASI Eksklusif 0,053 6,002 0,980 36,765
7. Berat badan lahir bayi 0,090 15,490 0,651 368,787
8. Akses pelayanan kesehatan 0,478 1,721 0,384 7,703
9. Penggunaan jamban 0,401 0,411 0,051 3,275

Didapatkan model akhir analisis


multivariat. Berdasarkan hasil akhir analisis PEMBAHASAN
di atas maka didapatkan variabel yang Hubungan Antara Status Imunisasi
memiliki hubungan yang bermakna dengan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
kejadian ISPA pada balita dengan nilai p < Berdasarkan analisis univariat
0,05 adalah variabel tingkat pendidikan dan diketahui distribusi frekuensi status
kebiasaan merokok sedangkan nilai p > 0,05 imunisasi balita sebagian besar tidak
tetapi berpengaruh terhadap perubahan nilai lengkap sebanyak 45 responden (56,3%) dan
OR sebesar 10% adalah status imunisasi, status imunisasi lengkap sebanyak 35
status gizi, kepadatan hunian, riwayat ASI responden (43,8%). Berdasarkan analisis
eksklusif, berat badan lahir bayi, akses bivariat diketahui analisis hubungan status
pelayanan kesehatan dan penggunaan jamban imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita,
sehingga harus tetap dimasukkan ke dalam dimana dari 45 responden yang status
model multivariat. Hasil analisis multivariat imunisasi balitanya tidak lengkap terdapat 28
variabel yang memiliki nilai Exp (β) terbesar responden (62,2%) yang balitanya menderita
yaitu variabel berat badan lahir bayi dengan ISPA, sedangkan dari 35 responden yang
nilai Exp(β) 15,490 yang artinya bayi yang imunisasi balitanya tidak lengkap terdapat 26
lahir dengan Berat Bayi Lahir Rendah responden (74,3%) yang balitanya tidak
(BBLR) memiliki pengaruh 15,490 kali menderita ISPA. Dari hasil uji Chi-Square
terhadap kejadian ISPA pada balita didapatkan nilai P Value = 0,003 < α (0,05)
dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
berat badan lahir normal setelah dikontrol yang bermakna antara status imunisasi
status imunisasi, status gizi, kepadatan dengan kejadian ISPA pada balita pasca
hunian, riwayat ASI eksklusif, akses gempa di Wilayah Kerja Puskesmas
pelayanan kesehatan dan penggunaan penimbung Kabupaten Lombok Barat Tahun
jamban. 2018. Sedangkan nilai OR (odds ratio)
didapatkan 4,758 hal ini menunjukkan bahwa
responden yang anak balitanya tidak
mendapat imunisasi lengkap akan beresiko
4,758 kali mengalami kejadian ISPA
dibandingkan dengan anak balita yang status
imunisasinya lengkap. Berdasarkan hasil berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA
analisis multivariat menunjukan bahwa adalah imunisasi pertussis yang terdapat
variabel status imunisasi tidak memiliki dalam DPT, campak, haemophilus influenza,
hubungan yang bermakna dengan kejadian dan pneumokokus (Monita, O et al., 2015).
ISPA pada balita pasca gempa di wilayah Vaksinasi dapat mencegah penderitaan dan
kerja Puskesmas Penimbung Kecamatan kematian yang terkait dengan penyakit
Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat menular seperti,ISPA diare, campak,
Provinsi NTB tahun 2018 dengan nilai p- penumonia, polio dan batuk rejan (WHO,
value 0,218 tetapi berpengaruh terhadap 2018).
perubahan OR 10%. Hubungan Antara Status Gizi Dengan
Hasil penelitian ini sejalan dengan Kejadian ISPA Pada Balita
penelitian Handayani, R. W (2016) Berdasarkan analisis univariat
menemukan proporsi responden yang tidak diketahui distribusi frekuensi status gizi
memiliki imunisasi DPT-HB-Hib (44,8%) balita sebagian besar adalah status gizi baik
lebih banyak pada kelompok kasus dari pada sebanyak 47 responden (58,8%) dan status
kontrol. Hasil uji Chi Square menunjukkan gizi kurang sebanyak 33 responden (41,3%).
ada hubungan antara imunisasi DPT-HB-Hib Berdasarkan analisis bivariat diketahui
dengan kejadian ISPA balita (P−value analisis analisis hubungan status gizi dengan
0,001). Balita yang tidak imunisasi DPT-HB- kejadian ISPA pada balita, dimana dari 33
Hib akan cenderung menderita ISPA 3,90 responden yang status gizi balitanya kurang
kali dibandingkan dengan balita yang terdapat 21 responden (63,6%) yang
memiliki imunisasi DPT-HB-Hib (95% CI balitanya menderita ISPA, sedangkan dari 47
1.94-7.84). Hal ini sejalan dengan Penelitian responden yang status gizi balitanya baik
Bansu, I. A (2017) menemukan hubungan terdapat 31 responden (66%) yang balitanya
bermakna secara statistik antara status tidak menderita ISPA. Dari hasil uji Chi-
imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita Square didapatkan nilai P Value = 0,017 < α
(OR= 2,696 C.I 95% 1,297-5,600; p= 0,012). (0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada
Artinya balita yang memiliki status imunisasi hubungan yang bermakna antara status gizi
DPT dan campak tidak lengkap berisiko dengan kejadian ISPA pada balita pasca
2,696 kali menderita ISPA dibandingkan gempa di Wilayah Kerja Puskesmas
dengan balita yang memiliki status imunisasi penimbung Kabupaten Lombok Barat Tahun
DPT dan Campak yang lengkap. 2018. Sedangkan nilai OR (odds ratio)
Imunisasi adalah proses di mana didapatkan 3,391 hal ini menunjukkan bahwa
seseorang dibuat kebal atau resisten terhadap responden yang status gizi anak balitanya
penyakit menular, biasanya dengan kurang akan beresiko 3,391 kali mengalami
pemberian vaksin. Vaksin merangsang kejadian ISPA dibandingkan dengan anak
sistem kekebalan tubuh sendiri untuk balita yang status gizinya baik. Berdasarkan
melindungi orang terhadap infeksi atau hasil analisis multivariat menunjukan bahwa
penyakit berikutnya. Imunisasi adalah alat variabel status gizi tidak memiliki hubungan
yang terbukti untuk mengendalikan dan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada
menghilangkan penyakit menular yang balita pasca gempa di wilayah kerja
mengancam jiwa dan diperkirakan mencegah Puskesmas Penimbung Kecamatan Gunung
antara 2 hingga 3 juta kematian setiap tahun Sari Kabupaten Lombok Barat Provinsi NTB
(WHO, 2018). Imunisasi lengkap adalah tahun 2018 dengan nilai p-value 0,317 tetapi
pemberian 5 vaksin imunisasi dasar sesuai berpengaruh terhadap perubahan OR 10%.
jadwal untuk anak. ISPA pada anak paling Hasil penelitian ini sejalan dengan
banyak ditemukan pada anak dengan status penelitian Alnur, R. D. et al. , (2017)
imunisasi yang belum lengkap. Anak yang menemukan bahwa ada hubungan antara
belum mendapatkan imunisasi lebih rentan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita
terkena ISPA. Adapun imunisasi yang (OR= 2,81; 95% CI: 1,028,51; p= 0,02).
Artinya balita yang memiliki status gizi gempa di Wilayah Kerja Puskesmas
kurang berisiko menderita ISPA 2,81 kali penimbung Kabupaten Lombok Barat Tahun
lebih besar dibanding dengan balita yang 2018. Sedangkan nilai OR (odds ratio)
memiliki status gizi baik. Selain itu dari didapatkan 3,446 hal ini menunjukkan
Hasil analisis stratifikasi menunjukkan bahwa anak balita yang hunian rumahnya
bahwa balita yang memiliki status gizi padat akan beresiko 3,446 kali mengalami
kurang dan memiliki anggota keluarga kejadian ISPA dibandingkan dengan anak
serumah dengan kebiasaan merokok berisiko balita yang tinggal di hunian rumah yang
18,75 kali lebih besar untuk mengalami tidak padat.
kejadian pneumonia. Sedangkan pada balita Berdasarkan hasil analisis multivariat
yang tinggal di rumah dengan kategori padat menunjukan bahwa variabel kepadatan
dan memiliki anggota keluarga serumah hunian tidak memiliki hubungan yang
dengan kebiasaan merokok berisiko 1,42 bermakna dengan kejadian ISPA pada balita
kali lebih besar untuk mengalami kejadian pasca gempa di wilayah kerja Puskesmas
ISPA. Penimbung Kecamatan Gunung Sari
Status gizi adalah keadaan yang Kabupaten Lombok Barat Provinsi NTB
diakibatkan oleh status keseimbangan antara tahun 2018 dengan nilai p-value 0,308 tetapi
jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah berpengaruh terhadap perubahan OR 10%.
yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan Alnur, R. D. et al., (2017) menemukan
fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan bahwa ada hubungan antara kepadatan
kesehatan, dan lainnya) (Suyanto, 2009). hunian dengan kejadian ISPA pada balita
Status gizi menjadi sangat penting karena (OR= 2,20; 95% CI: 1,00-4,93; p= 0,03).
salah satu faktor risiko untuk terjadinya Artinya Balita yang tinggal dirumah dengan
kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik kategori padat memiliki risiko mengalami
bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kejadian pneumonia 2,20 kali lebih besar
kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dibanding dengan balita yang tinggal
dalam proses pemulihan (Supariasa et al., dirumah dengan kategori tidak padat. Hal ini
2012). sejalan dengan hasil penelitian Zairinayati, et
Hubungan Antara Kepadatan Hunian al. (2013) yang menemukan hubungan yang
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita bermakna antara kepadatan hunian dengan
Berdasarkan analisis univariat kejadian ISPA balita (p=0,018; OR = 2.80;
diketahui distribusi frekuensi kepadatan CI 95% 1.263-6,242).
hunian rumah sebagian besar hunian tidak Hal ini sesuai dengan pernyataan
padat sebanyak 41 responden (51,3%) dan Soesanto (2000), yang menyatakan bahwa
hunian yang padat sebanyak 39 responden semakin banyak penghuni rumah yang
(48,8%). Berdasarkan analisis bivariat berkumpul dalam suatu ruangan,
diketahui analisis hubungan kepadatan kemungkinan mendapatkan risiko untuk
hunian rumah dengan kejadian ISPA pada terjadinya penularan penyakit akan lebih
balita, dimana dari 39 responden yang hunian mudah, khususnya bayi yang relatif rentan
rumahnya padat terdapat 24 responden terhadap penularan penyakit. Persyaratan
(61,5%) yang balitanya menderita ISPA kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasa
sedangkan dari 41 responden yang hunian dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimal
rumahnya tidak padat terdapat 28 responden per orang sangat relatif tergantung dari
(68,3%) yang balitanya tidak menderita kaulitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.
ISPA. Dari hasil uji Chi-Square didapatkan Untuk rumah sederhana minimal 10
nilai P Value = 0,014 < α (0,05) hal ini m2/orang, jadi untuk satu keluarga yang
menunjukkan bahwa ada hubungan yang terdiri dari 5 orang minimum 50 m2. Untuk
bermakna antara kepadatan hunian rumah kamar tidur diperlukan luas lantai minimum
dengan kejadian ISPA pada balita pasca 3 m2/orang dan untuk mencegah penularan
penyakit pernafasan jarak antara tepi tempat terdapat 18 responden (78,3%) yang anak
tidur yang satu dengan yang lain minimum balitanya tidak menderita ISPA. Dari hasil
90 cm. sebaiknya jangan digunakan tempat uji Chi-Square didapatkan nilai P Value =
tidur bertingkat, karena tempat tidur 0,011 < α (0,05) hal ini menunjukkan bahwa
semacam ini juga mempermudah penularan ada hubungan yang bermakna antara tingkat
penyakit pernapasan (Droplet infection). pendidikan dengan kejadian ISPA pada balita
Apabila ada anggota keluarga yang pasca gempa di Wilayah Kerja Puskesmas
menderita penyakit pernapasan sebaiknya penimbung Kabupaten Lombok Barat Tahun
tidak tidur sekamar dengan anggota keluarga 2018. Sedangkan nilai OR (odds ratio)
yang lain. Untuk menjamin volume udara didapatkan 4,608 hal ini menunjukkan
yang cukup, disyaratkan juga tinggi langit- bahwa responden yang berpendidikan rendah
langit minimum 2,75 m. akan beresiko 4,608 kali anak balitanya
Risiko balita terkena pneumonia akan mengalami kejadian ISPA dibandingkan
meningkat jika tinggal di rumah dengan dengan responden yang berpendidikan tinggi.
tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan Berdasarkan hasil analisis multivariat
hunian yang tidak memenuhi syarat menunjukan bahwa variabel pendidikan
disebabkan karena luas rumah yang tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan
sebanding dengan jumlah keluarga yang kejadian ISPA pada balita pasca gempa di
menempati rumah. Luas rumah yang sempit wilayah kerja Puskesmas Penimbung
dengan jumlah anggota keluarga yang Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok
banyak menyebabkan rasio penghuni dengan Barat Provinsi NTB tahun 2018 dengan nilai
luas rumah tidak seimbang. Kepadatan p-value 0,025 dan berpengaruh terhadap
hunian ini memungkinkan bakteri maupun perubahan OR 10%.
virus dapat menular melalui pernapasan dari Hasil penelitian ini sejalan dengan
penghuni rumah yang satu ke penghuni penelitian Rasyid, Z, (2013) menemukan
rumah lainnya. Tempat tinggal yang sempit, hubungan bermakna secara statistik antara
penghuni yang banyak, kurang ventilasi, variabel pendidikan ibu dengan kejadian
dapat meningkatkan polusi udara di dalam ISPA pada balita (OR= 4,001 C.I 95% 1,981-
rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya 6,198; p= 0,0001). Artinya balita yang
tahan tubuh balita. Balita dengan sistem memiliki ibu dengan pendidikan rendah
imunitas yang lemah dapat dengan mudah berisiko 4,001 kali menderita ISPA
terkena pneumonia kembali setelah dibandingkan dengan balita yang memiliki
sebelumnya telah terkena pneumonia atau pendidikan ibu tinggi. Hal ini sejalan dengan
pneumonia berulang (Soesanto, S. S, et al., hasil Penelitian Aldriana, N. (2015)
2000). menemukan hubungan bermakna secara
Hubungan Antara Pendidikan Dengan statistik antara variabel pendidikan ibu
Kejadian ISPA Pada Balita dengan kejadian ISPA pada balita (OR=
Berdasarkan analisis univariat 6.328 C.I 95% 1,7-22,4; p= 0,006).
diketahui distribusi frekuensi tingkat Hal ini sesuai dengan pernyataan
pendidikan responden sebagian besar Timmreck dalam Ariani (2011), yang
berpendidikan rendah sebanyak 57 menyatakan bahwa pendidikan memiliki
responden (71,3%) dan yang berpendidikan ukuran yang berharga dalam status ekonomi.
tinggi sebanyak 23 responden (28,8%). Mereka yang mendapat pelatihan,
Berdasarkan analisis bivariat diketahui keterampilan, dan pendidikan akan
analisis hubungan tingkat pendidikan dengan memperoleh pendapatan pertahun yang lebih
kejadian ISPA pada balita, dimana dari 57 daripada mereka yang tidak diberi pelatihan
responden yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan. Mereka
terdapat 32 responden (56,1%) yang anak yang memiliki tingkat pendidikan lebih
balitanya menderita ISPA sedangkan dari 23 tinggi, lebih berorientasi pada tindakan
responden yang berpendidikan tinggi preventif, tahu lebih banyak tentang masalah
kesehatan dan memiliki status kesehatan dibandingkan dengan balita yang tinggal di
yang baik. rumah yang tidak memiliki keberadaan
Hubungan Antara Kebiasaan Merokok perokok di dalam rumah. Hal ini senada
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita dengan hasil penelitian Sugihartono &
Berdasarkan analisis univariat Nurjazuli (2012) yang menunjukkan ada
diketahui distribusi frekuensi kebiasaan hubungan yang signifikan antara keberadaan
merokok keluarga sebagian besar tidak ada perokok di dalam rumah dengan kejadian
yang merokok sebanyak 42 responden ISPA dengan OR 5.74. Artinya balita yang
(52,5%) dan ada yang merokok sebanyak 38 tinggal dengan perokok dalam rumah
responden (47,5%). Berdasarkan analisis memiliki risiko 5,74 kali menderita ISPA
bivariat diketahui analisis hubungan dibandingkan dengan balita yang tidak
kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA tinggal dengan perokok.
pada balita, dimana dari 38 responden yang Hal ini sesuai dengan pernyataan
di dalam rumahnya terdapat anggota Kemenkes RI (2012) menyatakan di dalam
keluarga yang merokok terdapat 25 sebatang rokok terkandung 4000 jenis
responden (65,8%) yang anak balitanya senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh,
menderita ISPA, sedangkan dari 42 dengan 3 komponen utama yaitu : nikotin,
responden yang didalam rumahnya tidak tar, dan karbon monoksida. 1) Nikotin,
terdapat anggota keluarga yang merokok Nikotin adalah zat berbahaya yang
terdapat 30 responden (71,4%) yang anak menyebabkan kecanduan (adiktif). Nikotin
balitanya tidak menderita ISPA. Dari hasil bekerja di otak akan merangsang pelepasan
uji Chi-Square didapatkan nilai P Value = zat dopamine yang memberi rasa nyaman
0,002 < α (0,05) hal ini menunjukkan bahwa yang menyebabkan rasa ketergantungan. 2)
ada hubungan yang bermakna antara Tar, tar di dalam rokok menjadi bahan yang
kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA bersifat karsinogenik yang bisa
pada balita pasca gempa di Wilayah Kerja menyebabkan kanker. Partikel tar dapat
Puskesmas penimbung Kabupaten Lombok mengendap pada lendir pada saluran napas
Barat Tahun 2018. Sedangkan nilai OR (odds dalam waktu yang lama, rangsangan terus
ratio) didapatkan 4,808 hal ini menunjukkan menerus dari tar terhadap dinding saluran
bahwa responden yang didalam rumahnya pernafasan akan mengubah bentuk sel paru-
terdapat anggota keluarga yang merokok paru dan berkembang menjadi kanker paru-
akan beresiko 4,808 kali anak balitanya paru. Begitu juga dengan kejadian kanker
mengalami kejadian ISPA dibandingkan lainnya. 3) CO yang dihasilkan oleh rokok
dengan responden yang didalam rumahnya dapat menurunkan kandungan oksigen dalam
tidak terdapat anggota keluarga yang darah karena gas ini bersifat toksik yang
merokok. Berdasarkan hasil analisis bertentangan dengan gas oksigen dalam
multivariat menunjukan bahwa variabel transport hemoglobin. Kemampuan darah
kebiasaan merokok memiliki hubungan yang 200 kali lebih besar untuk mengikat CO
bermakna dengan kejadian ISPA pada balita ketimbang oksigen, dengan turunnya
pasca gempa di wilayah kerja Puskesmas kemampuan darah membawa oksigen akan
Penimbung Kecamatan Gunung Sari berdampak pada matinya sel-sel tubuh.
Kabupaten Lombok Barat Provinsi NTB Hubungan Antara Riwayat ASI Eksklusif
tahun 2018 dengan nilai p-value 0,001 dan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
berpengaruh terhadap perubahan OR 10%. Berdasarkan analisis univariat
Hasil penelitian ini sejalan dengan diketahui distribusi frekuensi riwayat ASI
penelitian Fatichaturrahchma S et al (2016) eksklusif sebagian besar memberikan ASI
menunjukkan bahwa balita yang tinggal Eksklusif sebanyak 64 responden (80%) dan
dirumah yang memiliki keberadaan perokok tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak
didalam rumah memiliki risiko 2,9 kali lebih 16 responden (20%). Berdasarkan analisis
besar untuk terkena penyakit ISPA bivariat diketahui analisis hubungan riwayat
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian bayi dalam enam bulan pertama kehidupan.
ISPA pada balita, dimana dari 16 responden Menyusui melindungi terhadap diare dan
yang balitanya tidak diberi ASI Eksklusif penyakit anak-anak umum seperti
terdapat 13 responden (81,3%) yang pneumonia, dan mungkin juga memiliki
balitanya menderita ISPA sedangkan dari 64 manfaat kesehatan jangka panjang bagi ibu
responden yang balitanya mendapatkan ASI dan anak, seperti mengurangi risiko
Eksklusif terdapat 40 responden (62,5%) kelebihan berat badan dan obesitas di masa
yang balitanya tidak menderita ISPA. Dari kanak-kanak dan remaja. Bayi dibawah usia
hasil uji Chi-Square didapatkan nilai P enam bulan yang tidak diberi ASI eksklusif 5
Value = 0,004 < α (0,05) hal ini kali berisiko mengalami kematian akibat
menunjukkan bahwa ada hubungan yang pneumonia disbanding bayi yang mendapat
bermakna antara riwayat pemberian ASI ASI eksklusif untuk enam bulan pertama
eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita kehidupan.
pasca gempa di Wilayah Kerja Puskesmas Hubungan Antara Berat Badan Lahir
penimbung Kabupaten Lombok Barat Tahun Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
2018. Sedangkan nilai OR (odds ratio) Berdasarkan analisis univariat
didapatkan 7,222 hal ini menunjukkan bahwa diketahui distribusi frekuensi berat badan
responden yang anak balitanya tidak diberi lahir sebagian besar berat badan lahir bayi
ASI Eksklusif akan beresiko 7,222 kali anak normal sebanyak 53 responden (66,3%) dan
balitanya mengalami kejadian ISPA berat badan lahir rendah sebanyak 27
dibandingkan dengan responden yang anak responden (33,8%). Berdasarkan analisis
balitanya diberi ASI eksklusif. Berdasarkan bivariat analisis hubungan berat badan lahir
hasil analisis multivariat menunjukan bahwa bayi dengan kejadian ISPA pada balita,
variabel riwayat pemberian ASI Eksklusif dimana dari 27 responden yang bayinya lahir
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan BBLR terdapat 19 responden
dengan kejadian ISPA pada balita pasca (70,4%) yang balitanya menderita ISPA
gempa di wilayah kerja Puskesmas sedangkan dari 53 responden yang balitanya
Penimbung Kecamatan Gunung Sari lahir dengan berat badan normal terdapat 35
Kabupaten Lombok Barat Provinsi NTB responden (66%) yang balitanya tidak
tahun 2018 dengan nilai p-value 0,053 menderita ISPA. Dari hasil uji Chi-Square
namun berpengaruh terhadap perubahan OR didapatkan nilai P Value = 0,004 < α (0,05)
10%.. hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang bermakna antara berat badan lahir bayi
penelitian Fikri, B. A. (2016) menunjukkan dengan kejadian ISPA pada balita pasca
bahwa ada hubungan yang bermakna antara gempa di Wilayah Kerja Puskesmas
ASI eksklusif dan kejadian ISPA balita penimbung Kabupaten Lombok Barat Tahun
dengan OR 7,407. Artinya bahwa kelompok 2018. Sedangkan nilai OR (odds ratio)
balita yang riwayat pemberian ASI tidak didapatkan 4,618 hal ini menunjukkan
eksklusif berisiko 7,407 kali lebih besar bahwa responden yang anak balitanya lahir
terkena ISPA balita daripada kelompok balita dengan BBLR akan beresiko 4,618 kali anak
yang pemberian ASInya eksklusif. Hal ini balitanya mengalami kejadian ISPA
juga sejalan dengan hasil Penelitian Ceria, I. dibandingkan dengan responden yang anak
(2016) menemukan hubungan bermakna balitanya lahir dengan berat badan normal.
secara statistik antara ASI eksklusif dengan Berdasarkan hasil analisis multivariat
kejadian ISPA pada balita (OR= 3.13 C.I menunjukan bahwa variabel berat badan lahir
95% 1,08-9.10; p= 0,031). bayi tidak memiliki hubungan yang
Menurut pernyataan WHO (2006), bermakna dengan kejadian ISPA pada balita
Menyusui memiliki banyak manfaat pasca gempa di wilayah kerja Puskesmas
kesehatan bagi ibu dan bayi. ASI Penimbung Kecamatan Gunung Sari
mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan Kabupaten Lombok Barat Provinsi NTB
tahun 2018 dengan nilai p-value 0,090 hasil analisis multivariat menunjukan bahwa
namun berpengaruh terhadap perubahan OR variabel akses pelayanan kesehatan tidak
10%. memiliki hubungan yang bermakna dengan
BBLR merupakan masalah dibidang kejadian ISPA pada balita pasca gempa di
kesehatan terutama kesehatan prenatal. wilayah kerja Puskesmas Penimbung
BBLR adalah bayi yang lair dengan berat < Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok
2500 gram (KemenKes RI, 2005). Ada dua Barat Provinsi NTB tahun 2018 dengan nilai
keadaan BBLR, yaitu BBLR akibat kelahiran p-value 0,478 namun berpengaruh terhadap
kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih perubahan OR 10%.
bulan. BBLR sering mengalami komplikasi Jarak adalah ruang sela antara dua
akibat gangguan pertumbuhan dan benda atau tempat yaitu jarak antara rumah
pematangan (maturasi) organ belum dengan tempat pelayanan kesehatan.
semourna yang dapat menyebabkan Keterjangkauan masyarakat termasuk jarak
kematian. Komplikasi yang bisa terjadi yaitu akan fasilitaas kesehatan akan
sindroma gangguan pernapasan , hipoternia, mempengaruhi pemilihan pelayanan
aspirasi, infeksi, dan perdarahan intrakrania kesehatan. Jarak juga merupakan komponen
(Maryunani, A, 2016). kedua yang memungkinkan seseorang untuk
memanfaatkan seseorang untuk
Hubungan Antara Akses Pelayanan memanfaatkan pelayanan pengobatan
Kesehatan Dengan Kejadian ISPA Pada (Padila, 2014). Jarak tempuh antara rumah
Balita dengan pusat pelayanan kesehatan secara
Berdasarkan analisis univariat tidak langsung akan berpengaruh pada
diketahui distribusi frekuensi akses kunjungan masyarakat untuk memeriksakan
pelayanan kesehatan sebagian besar adalah kesehatannya. Semakin jauh jarak yang harus
dekat sebanyak 43 responden (53,8%) dan ditempuh untuk melakukan pemeriksaan
akses pelayanan jauh sebanyak 37 responden kesehatan maka akan semakin kecil pula
(46,3%). Berdasarkan analisis bivariat kesempatan yang dimiliki masyarakat dalam
diketahui analisis hubungan akses pelayanan melakukan pemeriksaan kesehatan. Untuk
kesehatan dengan kejadian ISPA pada balita, melakukan kunjungan pemeriksaan
dimana dari 37 responden yang akses kesehatan, salah satu faktor yang akan
pelayanan kesehatannya jauh terdapat 23 dianalisa oleh masyarakat adalah jarak
responden (62,2%) yang anak balitanya tempuh. Masyarakat akan membayangkan
menderita ISPA sedangkan dari 43 rasa capek yang harus dialami jika dia
responden yang akses pelayanan melakukan pemeriksaan kesehatan jika jarak
kesehatannya dekat terdapat 29 responden tempuhnya terlalu jauh. Hal ini merupakan
(67,4%) yang anak balitanya tidak menderita model pemikiran yang wajar terjadi pada
ISPA. Dari hasil uji Chi-Square didapatkan setiap masyarakat (Kurnia, 2016).
nilai P Value = 0,015 < α (0,05) hal ini Hubungan Antara Penggunaan Jamban
menunjukkan bahwa ada hubungan yang Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
bermakna antara akses pelayanan kesehatan Berdasarkan analisis univariat
dengan kejadian ISPA pada balita pasca diketahui distribusi frekuensi penggunaan
gempa di Wilayah Kerja Puskesmas jamban sebagian besar menggunakan jamban
penimbung Kabupaten Lombok Barat Tahun sehat sebanyak 56 responden (70%) dan
2018. Sedangkan nilai OR (odds ratio) penggunaan jamban tidak sehat sebanyak 24
didapatkan 3,403 hal ini menunjukkan bahwa responden (30). Berdasarkan analisis bivariat
responden yang akses pelayanan hubungan diketahui analisis hubungan
kesehatannya jauh akan beresiko 3,403 kali penggunaan jamban dengan kejadian ISPA
anak balitanya mengalami kejadian ISPA pada balita, dimana dari 24 responden yang
dibandingkan dengan responden yang akses menggunakan jamban tidak sehat terdapat 16
pelayanan kesehatannya dekat. Berdasarkan responden (66,7%) yang anak balitanya
menderita ISPA sedangkan dari 56 dipisahkan dari kebiasaan hidup sehat setiap
responden menggunakan jamban sehat anggota keluarga, terutama ibu. Faktor
terdapat 35 responden (62,5%) yang anak penyebab tersebut antara lain pemberian
balitanya tidak menderita ISPA. Dari hasil ASI, makanan pendamping ASI, penggunaan
uji Chi-Square didapatkan nilai P Value = air bersih, menggunakan jamban, dan
0,031 < α (0,05) hal ini menunjukkan bahwa membuang tinja bayi dengan benar. Rumah
ada hubungan yang bermakna antara tangga yang menggunakan WC yang
penggunaan jamban dengan kejadian ISPA memenuhi syarat dan sehat untuk buang air
pada balita pasca gempa di Wilayah Kerja kecil dan besar mempunyai risiko lebih kecil
Puskesmas penimbung Kabupaten Lombok bagi anggota keluarga untuk tertular
Barat Tahun 2018. Sedangkan nilai OR (odds penyakit. Pembuangan tinja yang tidak
ratio) didapatkan 3,333 hal ini menunjukkan sesuai aturan akan mempermudah
bahwa responden yang menggunakan jamban penyebaran penyakit yang dapat menular
tidak sehat akan beresiko 3,333 kali anak melalui feses, seperti penyakit infeksi saluran
balitanya mengalami kejadian ISPA pernapasan akut dan diare. Rumah tangga
dibandingkan dengan responden yang yang mempunyai kebiasaan membuang tinja
menggunakan jamban sehat. Berdasarkan yang tidak sesuaiaturanakan meningkatkan
hasil analisis multivariat menunjukan bahwa risiko diare pada balita sebesar 2 kali lipat
variabel penggunaan jamban tidak memiliki dibandingkan dengan rumah tangga yang
hubungan yang bermakna dengan kejadian mempunyai kebiasaan membuang tinja
ISPA pada balita pasca gempa di wilayah sesuai aturan (Rohmah, 2016)
kerja Puskesmas Penimbung Kecamatan KESIMPULAN
Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat Berdasarkan hasil penelitian yang
Provinsi NTB tahun 2018 dengan nilai p- telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
value 0,401 namun berpengaruh terhadap penimbung kecamatan Gunung sari
perubahan OR 10%. Hasil penelitian ini Kabupaten lombok barat provinsi NTB tahun
sejalan dengan penelitian Vida (2016) 2018 bahwa ada hubungan yang bermakna
tentang Hubungan Kesehatan Rumah antara status imunisasi, status gizi, kepadatan
Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di hunian, tingkat pendidikan, kebiasaan
Wilayah Kerja Puskesmas Baamang I merokok, riwayat pemberian ASI Eksklusif,
Kecamatan Baamang Kabupaten berat badan lahir, akses pelayanan kesehatan
Kotawaringin Timur. Hasil analisis Chi- kesehatan dan penggunaan jamban dengan
Square, p value sebesar 0,000 < α = 0,05 kejadian ISPA pada balita.
artinya terdapat hubungan yang signifikan REFERENSI
dari variabel sarana sanitasi dengan variabel Adawiyah, R & Duarsa, A. B. S. (2016).
kejadian ISPA pada anak Balita. Faktor-Faktor yang Berpengaruh
Hal ini sesuai dengan pernyataan terhadap Kejadian ISPA pada Balita
Rohma (2016), pembuangan tinja yang tidak di Puskesmas Susunan Kota Bandar
sesuai dengan aturan akan mempermudah Lampung Tahun 2012. Jurnal
penyebaran feses yang dapat menularkan Kedokteran YARSI 24(1): 051-068
penyakit seperti penyakit saluran pernapasan Alimul, Hidayat (2009). Metode Penelitan
akut (ISPA) dan diare. Rumah tangga yang Kebidanan dan Teknik Analisis Data.
mempunyai kebiasan membuang feses yang Jakarta. Renika Cipta
tidak sesuai aturan akan menaikkan risiko Aldrian, N. (2014). Faktor-Faktor yang
penyakit penyakit saluran pernapasan akut Berhubungan dengan ISPA pada
(ISPA) dan diare pada balita sebesar 2 kali Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
lipat dibandingkan dengan rumah tangga Rambah Samo 1 Tahun 2014. Jurnal
yang membuang feses sesuai aturan. Maternity and Neonatal Vol 1 (6).
Penyebab penyakit saluran pernapasan akut Alnur, R. D et al. (2017). Kebiasaan
(ISPA) dan diare pada balita tidak dapat Merokok Keluarga Serumah dan
Kejadian ISPA pada Balita di Bantul. Ahmedabad – India. Yogyakarta:
Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. UGM
[33]No.[3] Efni, Y, et al., (2016). Faktor Risiko yang
Anwar, A. er al. (2014). ISPA pada Anak Berhubungan dengan Kejadian ISPA
Balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan pada Balita di Kelurahan Air Tawar
Masyarakat Nasional vol. 8 (8). Barat Padang. Jurnal Kesehatan
Jakarta: Pusat Teknologi Intervensi Andalas. 2016; 5(2)
Kesehatan Masyarakat Litbangkes Fatichaturrahchma S et al., (2016).
RI. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah
Asnawati, S & Wasniman. (2016). Faktor dengan Kejadian Penyakit ISPA pada
Risiko Kejadian ISPA pada Balita di Balita di Puskesmas Pekayon Jaya
Wilayah Kerja Puskesmas Siberida Kota Bekasi. Jurnal Kesehatan
Kecamatan Batang Gansal Tahun Masyarakat (4).http://ejournal-
2015. Jurnal Mutiara Kesehatan s1.undip.ac.id/index.php/jkm.
Masyarakat, 25/11 (2016), 9-18 Fikri, B. A. (2016). Analisis Faktor Risiko
Azwar, A. (2002). Pengantar Epidemiologi Pemberian Asi dan Ventilasi Kamar
Edisi Revisi. Jakarta Barat: Binarupa Terhadap Kejadian ISPA Balita. The
Aksara Indonesian Journal of Public Health,
Bustan. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Vol. 11 No. 1, Desember 2016: 14–
Menular. Jakarta. Rineka Cipta 27
Bansu, I. A. (2017). Faktor Risiko Kejadian Ginting, I. A. T (2017). Analisis Faktor
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Resiko ISPA pada Balita di Wilayah
Puskemas Wonomulyo Kabupaten Kerja Puskesmas Bogor Utara Kota
Polewali Mandar Tahun 2017. Tesis. Bogor Tahun 2017. Skripsi. Depok:
Jakarta :SPS UHAMKA FKM UI
Barson, W. J. (2016). ISPA in Children: Hidayat, A. (2005). Studi Retrospektif
Inpatient Treatment. Kejadian ISPA Pada Balita di
http://studyres.com/doc/2770146/ISP Wilayah Kerja Puskesmas Tongkuno
A-in-childrent-inpatient-treatment- Kecamatan Tongkuno Kabupaten
author-william-j-barson.htm Muna. Skripsi Kendari: STIK
Bradley J. S, et al., (2011). Executive Avicenna
Summary: The Management of Handayani, R. W. (2016). Beberapa Faktor
Community-Acquired ISPA in Infants Risiko Kejadian ISPA pada Balita
and Children Older Than 3 Months of (Studi di Kecamatan Kalikajar
Age: Clinical Infectious Diseases. 53 Kabupaten Wonosobo). Tesis: SPS
(7), pp 617-630. UNDIP
CDC. (2015). The National Institute for Hariadi, et al., (2010). Buku Ajar Ilmu
Occupational Safety and Health Penyakit Paru. Surabaya:
(NIOSH) :Indoor Environmental Departemen Ilmu Penyakit Paru FK
Quality-Building Ventilation. Last Unair SUD Dr. Soetomo Surabaya.
update: Hatta, M. (2001). Hubungan Imunisasi
August,19,2015.http://www.cdc.gov. Campak dengan Kejadian ISPA pada
niosh/topics/indoorenv/buildingventil Balita di Kabupaten Ogan Komering
ation/html. Ulu Sumatera Selatan Tahun 2000.
Chandra, B. (2007). Pengantar Kesehatan Program Pascasarjana. Depok: FKM
Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku UI.
Kedokteran. Hal. 124, dan 144-147. Hananto M. (2004). Analisis Faktor Resiko
Damayanti, R. (2010). Pertumbuhan Fisik yang Berhubungan dengan Kejadian
Kota Karena Pengaruh ISPA pada Anak Balita di RSUD
Industrialisasi, Studi Kasus Kota
Pasar Rebo. Jakarta. Tesis. Jakarta Kemenkes RI. (2015). Pedoman Tatalaksana
:FKIK UI ISPA Balita. Jakarta: Kemenkes RI
Hidayati, A. N & Wahyono, B. (2011). Kemenkes RI. (2016). Revisi buku Pedoman
Pelayanan Puskesmas Berbasis Pencegahan dan Pengendalian
Manajemen Terpadu Balita Sakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Dengan Kejadian ISPA Balita. Jurnal (ISPA). Jakarta: Kemenkes RI
Kesehatan Masyarakat. Vol (7) (1) Kemenkes RI. (2017). Buku Saku
(2011) 35-40 Pemantauan Status Gizi Tahun 2017.
Hidayat, (2005). Penganter Ilmu Jakarta: Kemenkes RI
Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Khasanah M et al., (2016). Hubungan
Medika Kondisi Lingkungan dalam Rumah
Hockenberry, M. J & Wilson, D. (2009). dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Essential of Pediatric Nursing. St. Wilayah Kerja Puskesmas Puring
Louis Missoury: Mosby Kabupaten Kebumen. Jurnal
http://www.africanjournalofrespiratorymedic Kesehatan Masyarakat. 4 (2),
ine.com/articles/march_2013/AJRM htttp://ejournal-
%20%20Mar%2013%204-9.pdf s1.undip.ac.id/index.php/jkm%0A.
Kartasasmita CB. (2010). Morbiditas dan Kisworini. P et al., (2010). Mortality
Faktor Risiko ISPA Pada Balita di Predictors of ISPA in Children.
Indonesia Majalah Kedokteran Pediatric Indonesian. 50;149-153
Jakarta. 25:135-142 Lailiyah, A. (2016) Hubungan Faktor
Katona P & Katona A. J (2008). The Pejamu dan Lingkungan dengan
Interaction Between Nutrition and ISPA pada Balita di Provinsi Pulau
Infection. Clin Infect Dis 46, 1582- Sulawesi (Analisis Data SDKI 2012).
1588 Skripsi. Depok: FKM UI
Kartasasmita, C. (2010). ISPA Pembunuh Lindawati, (2010). Partikulat (PM10) Udara
Balita. Kemenkes RI: Buletin Jendela Rumah Tinggal yang Mempengaruhi
Epidemiologi Vol 3, September 2010. Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
ISSN 2087-1546 ISPA Balita Akut (ISPA) Pada Balita (Penelitian
KepMenKes, RI No. di Kecamatan Mampang Prapatan,
829/Menkes/SK/VII/1999 Jakarta Selatan Tahun 2009-2010)
Kemenkes RI (2004). Pedoman Program Tesis. Depok: FKM UI
Pemberantasan Penyakit Infeksi Machmud, R. (2006). ISPA Balita di
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Indonesia dan Peranan Kabupaten
untuk Penanggulangan ISPA pada dalam Menanggulanginya. Padang:
Balita. Jakarta: Kemenkes RI. Andalas University Press.
Kemenkes RI. (2005). Pelatihan Pelayanan Mamdy, Z. (2001). Pendidikan Kesehatan
Kegawatdaruratan Obstetric dan Ilmu Perilaku. Jurnal Ilmu
Neonatal Esensial Dasar. Jakarta : Kesehatan UHAMKA. 1 (1).
Kemenkes RI Mandanas, A.R. et al., (2013). Fungal ISPA
Kemenkes RI. (2006). Panduan Promosi Overview of Fungal ISPA.
Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: http://emedicine.medscape.com/articl
Kemenkes RI e/300341-overview
Kemenkes RI. (2012). Modul Tatalaksana Mangoenprasodjo, A. S., & Hidayati S. N.
Standar ISPA: Lihat & Dengarkan (2005). Hidup Sehat Tanpa Rokok.
dan Selamatkan Balita Indonesia dari Yogyakarta: Pradiptu Publishing
Kematian. Jakarta: Kemenkes RI Misnadiarly (2008). Penyakit Infeksi Saluran
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Nafas ISPA pada Anak, Orang
Dasar 2013. Jakarta: Kemenkes RI Dewasa dan Usia Lanjut. Jakarta:
Pustaka Obor Populer.
Mukono. H. J. (2008). Pencemaran Udara & Penatalaksanaan di Indonesia.
dan Pengaruhnya Terhadap www.klikpdpi.com/
Gangguan Saluran Pernapasan. Price, S. A & Wilson, L. M. (2006).
Surabaya: Airlangga University Press Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Munthe, S. A. & Wasniman. (2016). Faktor Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Risiko Kejadian ISPA pada Balita di Oktaviani, I & Maesaroh, S. (2017). Faktor-
Wilayah Kerja Puskesmas Siberida Faktor yang Berhubungan dengan
Kecamatan Batang Gansal Tahun Kejadian ISPA pada Balita di
2015. Jurnal Mutiara Kesehatan Puskesmas Kecamatan Teluknaga
Masyarakat, 25/11 (2016), 9-18 Kabupaten Tangerang. Jurnal
Noor, M, et al., (2014). Faktor-Faktor yang Komunikasi Kesehatan Vol.VIII No.1
Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Tahun 2017
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rahmawati, D. A. (2013). Faktor Risiko
Guntung Payung Tahun 2013. yang Berhubungan dengan Kejadian
Mutiara Kusuma Wardani Jurkessia, ISPA pada Balita Umur 12 - 48
Vol. IV, No. 2, Maret 2014 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Notoatmodjo (2010). Metodologi Penelitian Mijen Kota Semarang. Jurnal
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Kesehatan Masyarakat 2013, Vol 2,
Padmonobo, H, et al. (2012). Hubungan (1), Tahun 2013.
Faktor Lingkungan Fisik Rumah Rasyid, Z. (2013). Faktor-Faktor yang
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Berhubungan dengan Kejadian ISPA
Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Anak Balita di RSUD Bangkinang
Kab. Brebes. Jurnal Kesehatan Kabupaten Kampar. Jurnal
Lingkungan Indonesia, vol 11 (2) hal Kesehatan Komunitas, Vol. 2 (3),
194-198 November 2013
Paavola, M. et al., (2004). Smoking from Said M. (2008). ISPA. Dalam :Rahajoe NN,
Adolescence to Adulthood, The Supriyatno B (eds). Buku Ajar
Effects of Parental and Own Respirologi Anak. Ed 1. Ikatan
Socioeconomic Status. European Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Pp
Journal of Public Health, 14(4): 417- 351.
420. 20 Desember 2015. Sartika M. H. D, et al., (2011). Faktor
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Lingkungan Rumah dan Praktik
Painter, et al., (2013). Poor Growth and ISPA Hidup Orang Tua yang Berhubungan
Seasonality in Infants in The dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Philippines: Cohory and Time Series Kabupaten Kubu Raya Tahun 2011.
Studies. PLoS One. Jun Jurnal Kesehatan Lingkungan
28;8(6):e67528 Indonesia. 11 (2), 153-159.
Pangandaheng, F, et al., (2014). Hubungan http://doi.org.
antara Faktor-Faktor Lingkungan /10.14710/jkli.11.2.153-159
Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA Sary, A. N., (2017). Analisis Faktor Risiko
pada Balita di Wilayah Kerja Intrinsik yang Berhubungan dengan
Puskesmas Tobelo Kabupaten ISPA pada Anak Balita di Wilayah
Halmahera Utara. Jurnal. Universitas Kerja Puskesmas Andalas Kota
Sam Ratulangi Manado Padang. Jurnal Kesehatan Medika
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Saintika vol 8 no 1
Tentang Penyehatan Udara dalam Schultz K. D, et al. (2004). The Changing
Ruang Rumah Tahun 2011 Face of Pleural Empyemas in
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Children: Epidemiology and
ISPA Komuniti: Pedoman Diagnosis Management. Pediatrics, 113 (6), pp
1735-1740
Sengkey, S. L et al., (2011). Tingkat Jurnal STIKNA, Vol. 1, No.2 (2017),
Pencemaran Udara CO Akibat Lalu 165-174
Lintas dengan Model Prediksi Polusi UNCF Benioff Children ‘S Hospital . 2004.
Udara Skala Mikro. Jurnal Ilmiah Very Low and Extremely Low
Media Engineering Vol. 1, No. 2, Juli Birthweight Infants, 65-68.
2011 ISSN 2087-9334 (119-126). http://www.ucsfbenioffchildrens.org.
https://media.neliti.com/media/public WHO (World Health Organization),
ations/98114-ID-none.pdf (2007). Penanganan ISPA Pada Anak di
Sidiq, R. et al., (2016). Risiko Kejadian ISPA Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang.
pada Anak Bawah Lima Tahun di Pedoman Untuk Dokter dan Petugas
Lambatee, Aceh. National Public Kesehatan Senior. Jakarta. EGC
Health Journal, 2016; 11 (2): 69-73 UU Kesehatan no 36 tahun 2009
Singh. V. 2005. The burden of ISPA in WHO. (2003). Penanganan ISPA pada Anak
children: an Asian perspective. di Rumah Sakit Kecil Negara
Paediatric Respiratory Reviews. Vol Berkembang. (Widjaja, A. C,
6, Issue 2, June 2005, Pages 88-93. Penterjemah). Jakarta: EGC.
Sitepoe, M. (2000). Kekhususan Rokok di WHO & UNICEF (2006). The Forgotten
Indonesia. Jakarta :PT Gramedia Killer of Children. New York: WHO
Widiasarana Indonesia. WHO. (2008). Manajemen Terpadu Balita
Soesanto, S. S. et al., (2000). Hubungan Sakit. Jakarta: Depkes RI
Kondisi Perumahan dengan WHO. (2009). Pelayanan Kesehatan di
Penularan Penyakit ISPA dan TB Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI
Paru. Artikel. Media Litbang WHO. (2010). ISPA, Sumber:
Kesehatan Vol X (2) Tahun 2000. http//222.who.int/mediacentre/,
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/in WHO. (2014). Nutrition. Exclusive
dex.php/. Breastfeeding.
Sualangi. A. F. (2012). Pendidikan http://www.who.int/nutrition/
Kesehatan: Pedoman Pelayanan WHO. (2018). 10 Facts on Immunization.
Kesehatan Dasar. Bandung: Penerbit http://www.who.int/
ITB dan Universitas Udayana WHO. (2018). Exclusive Breastfeeding for
Sugihartono & Nurjazuli (2012). Analisis Optimal Growth, Development and
Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Health Of Infants.
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas http://www.who.int/elena/titles/exclu
Sidorejo Kota Pagar. Jurnal sive_breastfeeding/
Kesehatan Lingkungan Indonesia. Wicaksono, H. (2015) Nutritional Status
11(1), 82- Affects Incidence of ISPA in
86.http://doi.org/10.14710/jkli.11.1.8 Underfives. Folia Medica
2-86 Indonesiana Vol. 51 No. 4. 285-291.
Supariasa., et al., (2012). Penilaian Status https://e-
Gizi. Jakarta: ECG journal.unair.ac.id/FMI/article/viewFi
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep le/2861/2074
Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: Widodo, N. (2006). Hubungan Faktor
EGC. Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan
Supartini, (2004). Konsep Keperawatan Karakteristik Anak dengan Kejadian
Anak. Jakarta: EGC ISPA pada Anak Balita di Wilayah
Triana, H. (2017). Faktor Risiko yang Puskesmas Kawalu Kota Tasik
Memengaruhi Kejadian ISPA pada Malaya. Tesis. Depok: FKM UI
Balita di Puskesmas Medan Krio Yunihasto, E. B. (2007). Lingkungan Rumah
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2017. Balita Penderita ISPA di Kecamatan
Sukmajaya Kota Depok Propinsi
Jawa Barat. Tesis: Yogyakarta :
FKM UGM
Yuwono, T. A. (2008). Faktor – Faktor
Lingkungan Fisik Rumah yang
Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Kawunganten Kabupaten
Cilacap. Program Pasca Sarjana
UNDIP
Zairinayati, et al., (2013). Analisis Faktor
Lingkungan Fisik Rumah yang
Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Sosial Kecamatan
Sukarame Palembang. Jurnal.
Volume 1, edisi 2, November 2013
Zulikhfan. (2004). Beberapa Faktor yang
Mempengaruhi Pemanfaatan
Pelaynaan Kesehatan oleh Pemulung
di TPA Namo Bintang Tahun 2004.
Program Sarjana FKM USU.

Anda mungkin juga menyukai