Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) masih merupakan masalah di

dunia, terutama di Negara maju. Di antara berbagai jenis infeksi adalah

pneumonia. ISPA khususnya Pneumonia atau pronchopneumonia termasuk

infeksi nafas bagian bawah yang sering di jumpai dan merupakan salah satu

penyebab tingginya angka kematian bayi di Negara berkembang. WHO (1997)

melaporkan bahwa setiap tahun 4 dari 13 juta kematian balita di Negara

berkembang disebabkan oleh pneumonia.

Secara nasional angka kematian pada balita karena ISPA di perkiran 6

per 1000 balita atau berkisar 150.000 balita per tahun dan angka kematian

ISPA pada bayi sebesar 40 per 1000 kelahiran hidup, sedangakan pada anak

balita diperkirakan sebesar 10-12% balita per tahun (Depkes Ri 1996).

Sedangkan menurut survai kesehatan rumah tangga (SKRT 1995)

menunjukkan 30,8% dari kematian balita di sebabkan oleh ISPA.

Berdasarkan pola penyakit pada balita menurut hasil SKRT tahun 1995 di

Indonesia menunjukkan ISPA masih menduduki urutan pertama yaitu

sebanyak 95 per 1000 balita (Depkes RI 1999). Dalam profil kesehatan

Indonesia tahun 1992 di dapatkan angka kematian balita sekitar 60 per 1000

kelahiran dan angka kematian balita yaitu 84,4 per 1000 anak balita. Angka ini

masih tinggi di bandingkan dengan angka-angka di Asia Tenggara (Thailan 51

per 1000, Sri Langka 45 per 1000, Filipina 75 per 1000, dan Malaysia 33 per

1000) serta berapa kali lipat lebih tinggi di bandingkan dengan negara maju
2

(Canada 9 per 1000, Inggris 11 per 1000, Jepan 8 per 1000, dan Swedia 7 per

1000). Analisis lebih jauh memperlihatkan bahwa penyebab tingginya angka

kematian tersebut sebagian besar adalah konstribusi dari penyakit diare dan

ISPA, dalam penekanan selanjutnya penyakit ISPA yang lebih di utamakan

adalah pneumonia (Depkes RI 1993). Sedangkan berdasarkan profil kesehatan

propinsi tahun 2000 yang dikirimkan oleh 17 propinsi, pada tahun 1999

jumlah kunjungan ISPA usia <5 tahun yang dating ke Puskesmas dilaporkan

sebanyak 180.521 balita dan di Rumah Sakit sebanyak 6.798 balita, dari

laporan Rumah Sakit juga diperoleh jumlah kematian sebanyak 759 kasus atau

CFR 22.58%. kejadian ISPA di Indonesia pada baliat diperkirakan antara

10%-20% per tahun. Program P2 ISPA menetapkan angka 10% balita sebagai

target penemuan penderita ISPA balita per tahun pada suatu wilayah kerja.

Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari penderita ISPA akan

meninggal bila tidak diberikan pengobatan. Bila hal ini benar maka

diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan di dapat 250.000kematian

balita.akibat ISPA setiap tahunnya . perkiraan angka kematian ISPA secara

nasional adalah 6 per 1000 balita.

Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Elisabeth CP tahun 1999 di

kabupaten Banjarmasin menemukan bahwa ada 512 (10%) penderita

pneumonia pada umur 1-4 tahun. Sedangkan pasien kunmjungan rawat jalan

di Rumah Sakit umur kurang 28 hari dan kurang dari 1 tahun sejumlah 12

orang (0.85%). Sedangkan umur 1-4 tahun yang menjalani rawat inap di

rumah sakit sebanyak 29 orang (5,97%). Jumlah pasien rawat inap di RSUD

Banjarmasin karena pneumonia sebanyak 19 orang (8.84%). Insiden rate


3

pneumonia di kabupaten Banjarmasin pada tahun 1998 sebesar 2,5 per 1000

penduduk balita dan meningkat menjadi 5.8 per 1000 balita.

Sedangkan menurut profil kesehatan propinsi Sulawesi Selatan tahun

2010, penyakit ISPA menempati urutan 7 dari 57 penyakit rawat jalan di

Rumah Sakit untuk anak berusia 1-4 tahun dengan jumlah kasus baru

sebanyak 543 kasus. Untuk tingkat Puskesmas pneumonia masih merupakan

penyakit yang terbanyak kasusnya yaitu 11.774 kasus yang tercatat sampai

tahun 2011.

Khusus di wilayah Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2012 kejadian Pneumonia tetap merupakan 10

penyakit terbesar di Puskesmas, dan jumlah kasusnya meningkat dari tahun

ketahun sebesar 1.524 kasus, pada tahun 2010, 477 kasus, pada tahun 2011

sebanyak 423 kasus, dan terus menurun pada tahun 2012 sebesar 364 kasus,

dan sebagian besar kasus adalah balita yaitu sebesar 60% atau 875 kasus

(PKM Mungtajang, 2012).

Menurunkan angka kejadian ISPA khususnya pneumonia sejalk tahun

1990 upaya penanggulangan ISPA merupakan fokus kegiatan pelaksanan

program P2 ISPA. Program ini mengupayakan agar istilah ISPA dapat lebih

dikenal di masyarakat. Upaya ini dimaksud untuk lebih memudahkan kegiatan

penyuluhan dan penyebaran informasi tentang penanggulangan ISPA.

Pengalaman sari program kesehatan lain menujukkan bahwa penyebaran

istilah baru bersal dari kata asing di bidang kesehatan layak (feasible) untuk di

laksanakan di Indonesia dan umumnya berhasil. Selain itu gejala pneumonia

berupa nafas cepat nafas sesak dan juga susah di pahami masyarakat awam

jika hanya diterangkan secara lisan atau tertulis tanpa contoh kasus atau
4

tayangan gambar yang bergerak di layar TV atau dalam film (DEPKES RI,

1991).

Walaupun berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam

upaya menurunkan kejadian penyakit pneumonia ternyataISPA masih tetap

meningkat sebagai penyebab kematian, hal ini disebabkan karena penanganan

penyakit pneumonia hanya di arahkan pada bentuk kuratif saja atau

pengobatan saja sedangkan faktor lain masih kurang mendapatkan perhatian,

sedangkan diketahui bahwa penyakit pneumonia ini adalah penyakit yang

multikausa dan penyakit pneumonia itu tergolongpenyakit yang banyak

jenisnya sehingga sulit menbedakan penyebab tunggal dari penyakit

pneumonia. Penyakit pneumonia disebabkan oleh beberapa faktor resiko:

Umur, Ketahanan imunitas, Status Gizi, Berat Badan LAhir Rendah (BBLR),

Sanitasi lingkungan dan kebiasaan dan perilaku.

Bayi yang lahir dengan berat badan rendah akan mudah terkena

berbagaimacam penyakit karena kondisi yang belum optimalsehingga daya

tahan tubuhnya rendah dan sangat di pengaruhi oleh lingkungan, sehingga bila

ada rangsangan dari lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap

kesehatannya dan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit termasuk

penyakit saluran pernafasan misalnya pneumonia. Bayi yang BBLR

mempunyai kemungkinan meninggal pada masa neonatal 40 kali lebih besar

dibandingkan dengan berat lahir normal (Mecorwick, 1985).

Masalah gizi merupakan masalah di Negara-negara sedang

berkembang termasuk Indonesia, karena dapat mengakibatkan merosotnya

mutu hidup, rendahnya produktivitas kerja ,angka kematian yang tinggi pada

bayi dan anak-anak, terganggunya pertumbuhan badan, gangguan pada


5

pertumbuhan mental dan kecerdasan serta terdapatnya penyakit infeksi

tertentu seperti pneumonia.

Ventilasi yang tidak baik yang sudah dihuni oleh manusia akan

mengalami kenaoikan kelembaban yang disebabkan oleh penguapancairan

tubuh dan kulit atau karena uap pernafasan. Jika udara tertentu banya

mengandung air, maka udara yang basah yang dihirup berlebihan akan

mengganggu funsi paru-pru (Agustina, 1996).

Beranjak dari hal tersebut, maka sangatlah penting untuk mengetahui

faktor yang berhubungan dengan penyakit pneumonia dalam upaya

pencegahan dan penaggulangan pneumonia yang masih merupakan penyebab

utama kematian di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan da lebih khusus

lagi di wilayah puskesmas laying.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, rumusan masalah

dikemukakan sebagai berikut:

1. Apakah tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian ISPA di

wilayah Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2012 ?

2. Apakah kepadatan penghuni rumah berhubungan dengan kejadian ISPA di

wilayah Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2012 ?

3. Apakah ventilasi berhubungan dengan kejadian ISPA di wilayah

Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan Tahun

2012 ?
6

4. Apakah berat badan lahir berhubungan dengan kejadian ISPA di wilayah

Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan Tahun

2012 ?

5. Faktor apakah yang paling berhubungan dengan kejadian ISPA di wilayah

Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan Tahun

2012 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada

balita di Wilayah Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi

Selatan Tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian

ISPA pada Balita.

b. Untuk mengetahui hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada

balita.

c. Untuk mengetahui hubungan kepadatan penghuni rumah dengan

kejadian ISPa pada balita.

d. Untuk mengetahui hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA

pada balita.

D. Manfaat Penelitian

1. Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Depertemen

Kesehatan dalam penaggulangan ISPA.


7

2. Perguruan Tinggi

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

khususnya mengenai pneumonia dan faktor yang berhubungan dengan

ISPA. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah wawsan

masyarakat mengenai ISPA dan upaya penanggulangannya.

3. Peneliti

Sebagai aplikasi ilmu yang telah didapat untuk menambah wawasan

ilmiah khususnya mengenai kejadian ISPA.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang ISPA

1. Definisi ISPA

ISPA adalah suatu radang paru yang dapat disebabkan oleh

bermacam-macam etiologi seperti bakteri, jamur, dan benda asing. ISPA

juga berati bahwa proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(Alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan

terjadinya proses infeksi akut pada bronchus dan disebut

bronchuspneumonia. Dalam pelaksaan program P2 ISPA semua bentuk

pneumonia maupun bronchuspneumonia disebut pneumonia saja

(Magdalena, 1999).

2. Klasifikasi ISPA

Kriteria untuk menguunakan pola tatalaksana penderita ISPA pada

pelita VI adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran berbapas.

Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 bagian, yaitu

(Magdalena,2000):

a. Pemeriksaan

b. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

c. Penentuan klasifikasi penyakit

d. Pengobatan

Dalam penetuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok,

yaitu kelompok untuk umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun dan kelompok

umur 2 tahun yaitu:


9

a. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai kurang 5 tahunklasifikasi dibagi

atas : pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia.

b. Untuk kelompok umur kurang 2 bulan klasifikasi di bagi atas:

pneumonia berat dan bukan pneumonia.

Klasifikasi bukan pneumonia mengcakup kelompok penderita

balita dengan bentuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan

frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dad

kedalam. Dengan demikian klasifikasi pneumonia pencakup penyakit-

penyakit ISPA lain diluar pneumonia seperti: batuk pilek biasa (commond

cool), pharingitis, tonsillitis, otitis,

Pola tatalaksana ISPA yang di terapkan pada Pelita IV hanya

dimaksudkan untuk tatalaksana penderita pneumonia berat, pneumonia

dan batuk pilek biasa. Ini berarti bahwa penyakit yang penanggulanganya

dicakup oleh Program P2 ISPA adalah pneumonia berat, pneumonia dan

batuk pilek biasa. Sedangkan ISPA lain seperti Pharingitis, tonsillitis dan

otitis belum dicakup oleh program ini.

3. Diagnose

Dalam pelaksanaan Program P2 ISPA, penentuan klasifikasi

pneumonia berat dan segaligus merupakan penegakan diagnose,

sedangkan penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak dianggap sebagai

penegakan diagnosis. Jika seorang balita keadaan penyakitnya termasuk

dalam kalsifikasi bukan pneumonia maka disgnosis penyakitnya kemu

ngkinan adalah batuk pilek biasa, pharingitis, tonsillitis, otitis atau

penyakit ISPA non oneumonia lainnya (Magdalena, 2000).


10

Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai oleh

Program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada

adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai peningkatan frekuensi

napas sesuai umur. Adanya napas yang cepat ini ditentukan denga cara me

ghitung frekuensi bernapas. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan

permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang 5 tahun.

Padaanak usia kurang 2 bulan tidak dikenal diagnosis pneumonia,

Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau

kesukaran bernapas disertai napas sesak atau penarikan dinding dada

sebelah bawah kedalam pada anak usia 2 bulan sampai kurang 5 tahun.

Untuk kelompok umur kurang 2 bula diagnosis pneumonia berat ditandai

dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali

permenirt atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada

sebelah bawah kedalam.

Untuk tatalaksana penderita di rumah sakit atau sarana kesehatan

rujukan bagi kelopok umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun. Dikenal pula

diagnosis pneumonia sangat berat yaitu gejala batuk atau kesukaran

bernapas yang disertai adanbay gejala sianosis sentral dan tidak dapat

minum.

Dalam system pencacatan dan pelaporan terapadu (SP2TP)tahun

1995 diagnosa penyakit yang dipantau oleh program P2 ISPA untuk

penanggulangan pneumonia pada balita adalah pneumonia. Meskipun

jumlah kunjungan penderita dengan jenis penyakit yang lebih luas dari

hanya batuk pilek biasa akan tetapi jumlah ini dianggap menddekati

kunjungan penderita batuk pilek biasa(Commobd Cool).


11

4. Etiologi ISPA

Diagnose etiologi ISPA pada balita sukar untuk di tegakkan karena

dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan

imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan

adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari specimen

fungsi atau aspirasi paru untuk pemeriksaan specimen darah yang dapat

diandalkan untuk menbantumenegakkan diagnosis etiologi pneumonia.

Meskipun pemeriksaan specimen funsi paru-paru merupakan cara yang

sensitive untuk mendapatkan dan menetukan bakteri penyebab pneumonia

pada balita akan tetapi fungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya

danbertentangan dengan etika. Terutama jika hanya di maksudkan untuk

penelitian (Magdalena, 2000).

Oleh karena itu alasan tersebut diatas adalah penetuan etiologi

pneumonia di Indonesia nasih didasarkan pada hasil penelitian di luar

Indonesia. Menurut pblikasi WHO, penelitian diberbagai Negara

menunjukkan bahwa streptococcus pneumonia dan hemophylus influenza

merupakan bakteri yang selalu di temukan pada penelitian tentang etiologi

di Negara berkembang. Jenis-jenis bakteri ini di temukan pada dua pertiga

dari hasil alokasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dan

specimen darah. Sedangkan di Negara maju, dewasa ini pneumonia pada

anak umumnya disebabkan oleh virus.

Disamping etiologi, tingkat morbiditas dan morbilitas pneumonia di

sebabkan oleh beberapa faktor resiko (Depkes, 1996). Yaitu umur, jenis

kelamin, gizi BBLR, polusi udara, kepadatan penhuni rumah,

imunisasi,dan defisiensi vitamin A.


12

5. Patologi dan Patogenesis

Umumnya bakteri penyebab terisap keparu-paru pariefer melalui

napas, mula-mula terjadi edem karena reaksi jaringan yang mempermudah

proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringa sekitarnya. Bagian paru yang

terkena mengalamai konsolodasi yaitu terjadinya sel polimorfonuklir.

Fibrin, eritrosit, cairan edem, dan ditemukannya kuman di alveoli.

Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah.

Selanjutnya terjadi depoisisi fibrin keprmukaan pleura. Terdapatnya

fibri dan leukasit polimorfonuklir di alveoli dan terjadinya proses

fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatitisasi kelabu.

Akhirnya jumlah sel makrofag meningkat di alveoli, sel akan degenerasi

dan fibrin menipis, kuman dab debris menghilang, stadium ini disebut

stadium resolusi.

Sistem bronchopulmoner jaringan paru yang tidak terkema akan

tetap normal. Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong

perjalanan penyakit sehingga stadium khas yang diuraikan diatas tidak

terlihat lagi.

Beberapa bakteri tertentu lebih sering menimbulkan gelaja/keadaan

tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Demikian pula bakteri

tertentu lebih sering ditemukan pada kelompok umur tertentu, misalnya S.

Pneimoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak bercak-bercak

konsolidasi merata diseluruh lapangan paru namun pada anak besar atau

remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus.

Pneumatokel atau abses-abses kecil sering di sebabkan oleh S,

aureus menghasilkan berbagai toksi dan enzim seperti hemolisin, leukosin,


13

stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis,

pendarahan dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan

menghasilkan bahan aktif dan mengkomfersi fibrinogen menjadi fibrin

hingga terjadi eksudatfibrin non purulen. Terdapat korelasi antara produksi

koagulase dan virulensi kuman. Stafilokokus yang tidak menghasilkan

koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel dapat

menetap sampai berbulan-bulan tetapi biasanya tidak memerlukan terapi

lebih lanjut,

Micobacterium pneumoniae menimbulkan pandangan dengan

gambaran beragam pada paru dan lebih sering mengenai anak usia sekolah

atau remaja. M. Pneumoniae cenderung berkembang biak pada permulaan

sel mukosa saluran napas. Kerusakan yang terjadi ialah deskuamasi dan

uslerasi lapisan mukpsa, edem dinding bronchus dan timbulnya secret

memnuhi saluran napas dan alveoli. Kerusakan ini timbul dalam waktu

yang relatif singkat antara 24-28 jam dan dapat terjadi pada bagian paru

yang cukup luas. (Magdalena, 2000).

B. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian

1. Tingkat Pendidikan

pendidkan cenderung akan merubah pola pikir dari pandangan

bahwa waniata hanyalah cocok untuk bekerja didapur dan mengurus anak-

anak ke pandangan bahwa wanita pun bisa bekerja diluar rumah serta ikut

berperan dalam pengambilan keputusan dan selanjutnya akan lebih mudah

menerima pemikiran-pemikiran baru termasuk mengenai pemeliharaan

kesehatan dan perawatan anak.

2. Ventilasi
14

Penularan penyakit saluran pernapasan lebih besar terjadi karena

jumlah /kosentrasi kuman lebih banyak di udara yang tidak tertukar. Untuk

itu untuk mengurangi terjadinya pencemaran udara didalam rumah dan

agar supaya terjadinya pertukarab udara di dalam rumah dan lingkunga

luara adalah dengan menciptakan ventilasi dan penggunaan jendela yang

memenuhi syarat kesehatan, yang menurut American Public Health

Assosiation (APHA) yaitu berkisar 10-20% dari luas lantai dengan

persyaratan jendela harus terbuka tiap hari. Agar proses pertukaran udara

dalam ruangan dapat berjalan dengan baik.

Selain dari pergantian segar dalam rumah, penggunaan pentilasi

juga dapat menjaga temperatur dan kelembapan udara dalam ruangan

sebaikanya harus lebih rendah (paling sedikit 4oC) Dan temperatur udara

luar untuk daerah tropis (Agustina, 1996)

Adapun rumah yang memiliki ventilasi yang jelek akan

menyebabkan terjadinya terganggunya pertukaran udara didalam rumah

dan dapat menyebabkan terjadinya 3 faktor yaitu: berkurangnya oksigen

dan udara, bertyambahnya CO2, dan adanya bahan bahan racun yang ikut

terhirup. Disamping itu ruangan dengan ventilasi yang tidak baik yang

sudah dihuni oleh manusia akan mengalami kenaikan kelembapan yang

disebabkan oleh penguapan cairan tubuh dari kulit atau karena uap

pernapasan., jika udara terlalu banyak mengandung uap air, maka udara

basah yang di hirup akan mengganggu funsi paru-paru. (Agustina, 1996)

3. Kepadatan Penghuni Rumah

Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia seperti halnya

sandang dan pangan. Sebagai salah satu kebutuhan dasar, funsi rumah
15

tidak hanya tempat berteduh ataupun berlindung saja tetapi juga harus di

lengkapi dengan pasilitas lain yang memperhatikan segi keamanan dan

kenyamanan serta kesehatan.

Dari segi kesehatan hunia sangat bermakna pengaruhnya yang

mana akan memudahkan terjadinya penularan penyakit seperti ISPA dan

penyakit lainnya yang menyebar melalui udara. Disamping itu semakin

banyak orang menempati suatu rumah akan semakin banyak pula

menghasilkan karbondioksida (CO2) yang kurang bermanfaat bagi

kesehatan manusia. Suatu lingkungan perumahan tempat tinggal dikatakan

baik bila anggota keluarganya tinggal didalam suatu ruangan denga ukuran

minimal 10 m2 perjiwa (Djaffar, 1997). Menurut Transtenojo (1996),

status lingkungan dan sosial berpengaruh pada kejadian ISPA . kemukakan

pula oleh Tupasi bahwa kepadatan hunian yang banyak berperan pada

kejadian penyakit ISPA adalah kepadatan kamar tidur melebihi 3 orang

dalam 1 kamar maka besarnya resiko anak terkena ISPA adalah 1,2 kali.

C. Kerangka Konsep

1. Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidkan cenderung akan merubah pola pikir dari pandangan

bahwa waniata hanyalah cocok untuk bekerja didapur dan mengurus anak-

anak ke pandangan bahwa wanita pun bisa bekerja diluar rumah serta ikut

berperan dalam pengambilan keputusan dan selanjutnya akan lebih mudah


16

menerima pemikiran-pemikiran baru termasuk mengenai pemeliharaan

kesehatan dan perawatan anak.

2. Ventilasi

Penyakit saluran pernapasan lebih besar terjadi karena

jumlah/kosentrasi kuman lebih banyak pada udara yang tidak bertukar.

Untuk itu dalam mengurangi terjadinya pencemaran udara dalam rumah

dan agar supaya dapat terjadi pertukaran udara dalam rumah dan

lingkungan luar adalah dengan menciptakan ventilasi dan penggunaan

jendela yang memenuhi syarat kesehatan. Selain sebagai pergantian udara

segar dalam rumah, penggunaan ventilasi juga untuk menjaga temperatur

dalam ruangan sebaiknya harus lebih rendah ( paling sedikit 4 oC) Dan

temperatur udara luar untuk daerah tropis (Agustina, 1006).

3. Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan hunia secara kesehatan sangat bermakna pengaruhnya

yang mana akan memudahkan terjadinya penularan penyakit seperti ISPA

dan penyakit lainnya yang menyebar melalui udara. Disamping itu

semakin banyak orang menempati suatu rumah akan semakin banyak pula

menghasilkan karbondioksida (CO2) yang kurang bermanfaat bagi

kesehatan manusia. Suatu lingkungan perumahan tempat tinggal dikatakan

baik bila anggota keluarganya tinggal didalam suatu ruangan denga ukuran

minimal 10 m2 perjiwa (Djaffar, 1997).

4. Berat Badan Lahir

Bayi yang lahir dengan berat badan rendah akan mudah terkena

berbagai macam penyakit karena kondisi yang belum optimal sehingga

daya tahan tubuhnya rendah dan sangat dipengaruhi lingkungan, sehingga


17

bila ada rangsangan dari lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap

kesehatannya dan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit termasuk

penyakit saluran pernapasan misalnya infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA).

D. Pola Pikir Variabel Penelitian

Dari tinjauan pustaka di atas maka dapat digambarkan kerangka konsep

penelitian sebagai berikut:

Pendidikan Ibu

Ventilasi

Kepadatan Penghuni Rumah


ISPA
Pada Balita
Berat Badan Lahir

Asupan Makanan

Pekerjaan
Keterangan:
= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti


Gambar 1. Bagan Pola Pikir Variabel Penelitian

E. Hipotesis Penelitian

1. Pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita.

2. Ventilasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita

3. Kepadatan penghuni rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada

balita
18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian obsevasional

dengan menggunakan rancang potong lintang (cross sectional study), dengan

maksud bahwa semua pengukuran variabel penelitian dilakukan pada periode

waktu yang sama.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Puskesmas Mungtajang Kota

Palopo Provinsi Sulawesi Selatan dan dilakukan pada bulan Oktober tahun

2012.

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh balita yang ada di Puskesmas

Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 sebanyak

431 balita.

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagaian balita yang ada di

Puskesmas Mungtajang Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan, teknik

pengambilan sampel yaitu menggunakan teknik purphosive sampling.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah daftar wawancara, format observasi (Chek List)

dan data pencatatan penderita.

D. Validasi Data

Validitas data dipengaruhi oleh kemapuan dan keahlian orang yang

mengumpulkan data serta kehandalan instrument penelitian, instrument yang


19

digunakan pada penelitian ini adalah pedoman wawancara berupa kuesioner,

dengan melakukan langkah –langkah sebagai berikut :

1. Uji coba kuesioner terhadap beberapa responden.

2. Setiap pertanyaan yang diajukan diupayakan dapat dimengerti dan dijawab

responden dengan baik.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan instrument

pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dimana sebelum melakukan

penelitian instrument tersebut dilakukan uji coba validitas dan realibilitas guna

melihat kemampuan instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data

dilapangan.

E. Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer diperoleh berdasarkan wawancara terhadap kepala

keluarga atau keluarga penderita yang disertai observasi lansung ke rumah

untuk melihat secara langsung kondisi ventilasi.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui pencatatan dan pelaporan atau

dokumentasi yang ada diwilayah Puskesmas Mungtajang Kota Palopo

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012.

F. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. ISPA

Definisi Operasional :

Ispa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses infeksi akut

yang mengenai saluran pernapasan.


20

Kriteria Objektif :

Menderita : Bila balita dinyatakan menderita ISPA dari hasil

diagnosis dokter yang tercatat dalam rekam medik.

Tidak Menderita : Bila balita dinyatakan tidak menderita ISPA dari hasil

diagnosis dokter yang tercatat dalam rekam medik.

2. Pendidikan Ibu

Definisi Operasional :

Pendidikan ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat

pendidikan secara formal dengan bukti adanya Surat Tanda Tamat Belajar

(STTB) dan Mengacuh pada wajib belajar 9 tahun.

Kriteria Objektif :

Tinggi : Bila pendidikan yang pernah ditamatkan oleh ibu minimal

tamat SLTA keatas.

Rendah : Bila pendidikan yang pernah ditamatkan oleh ibu minimal

tamat SLTA keatas.

3. Ventilasi

Definisi Operasional :

Ventilasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sarana untuk

proses pertukaran udara segar kedalam rumah atau ruangan dan

pengeluaran udara kotor dari ruangan, baik secara alamiah maupun buatan

(SK Menkes, 1999). Pengukuran/observasi akan dilakukan pada saat

penelitian.

Kriteria Objektif :

Memenuhi Syarat : Bila luas vemtilasi ≥5-10% luas lantai rumah.


21

Tidak memenuhi syarat : Bila luas ventilasi <5-10% luas lantai rumah.

4. Berat Badan Lahir

Definisi Operasional :

Berat badan lahir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berat

badan lahir bayi ketika dilahirkan baik yang cukup maupun yang kurang

bulan yang diukur dengan timbangan/seca alfa yang tercatat pada rekam

medis dinyatakan dalam satuan gram.

Kriteria Objektif :

BBLR : Apabila berat badan lahir bayi < 2500 gram

Tidak BBLR : Apabila berat badan lahir bayi ≤ 2500 gram

G. Analisis Data

Analisis data hasil penelitian dilakukan dengan 2 tahapan yauitu

analisis univariat berupa deskripsi variabel penelitian, analisis bivariat dengan

tabulasi silang, dan analisisnya akan menggunakan komputer program dan

SPSS (Statistica Package for Social Sciencesi).

a. Analisis Univariat

Dilakukan perhitungan nilai dengan menyajikan distribusi frekuensi dari

variabel-variabel yang diteliti yang ditemukan. Hasil analisis ini akan

memberikan gambaran secara deskripsi hasil penelitian secara umum

b. Analisis Bivariat

Dilakukan dengan tabulasi silang diantara semua variabel-variabel bebas

dan variabel terikat

c. Analisa multivariate yaitu untuk melihat faktor yang paling berhubungan.

Menggunakan rumus Cki Square sebagaiberikut:


22

2 ( O−E )2
x =∑
E

Sumber: Statiska untuk penelitian, Sugiono, 2002, Alfabeta dimana:

O = Nilai observasi (nilai yang diperoleh)

E = Nilai Expected (nilai yang diharapkan) α = 5 % Hipotesis :

Hipotesis diterima bila nilai p < 0,05


23

DAFTAR PUSTAKA

Akip, Z.Y.1989. ISPA dan Campak. Berita Pokja Campak Edisi IV.
Jakarta.

Departemen Kesehatan R.I. 1988. Buku Pedoman Penatalaksanaan Infeksi


Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare. Jakarta.

............, 1992. Pedoman pemberantasan infeksi saluran pernapasan Akut


(ISPA). Jakarta

............, 1994. Pelatihan Pengawasan Kualitas Kesehatan Lingkungan


Pemukiman Bidang Perumahan dan Lingkungan. Modul 3.
Jakarta

............. 1999. Tatalaksana Standar Kasus Infeksi Saluran Pernapasan


Akut. Modul 2. Jakarta.

............. 2001. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2000. Jakarta

Dinas Kesehatan Kabupaten Maros. 2001. Profil Kesehatan Kabupaten


Maros Tahun 2001. Sulawesi Selatan

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan. 2001. Profil Kesehatan


Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000. Sulawesi Selatan

Djaffar, H. 1997. Kesehatan Lingkungan Pemukiman. FKM-UH. Ujung


Pandang

Dudeng D. 1999. Kejadian ISPA Pada Anak Balita Ditinjau Dari Aspek
Kebiasaan Keluarga di Perumahan Tradisional Desa Umatos
Kecamatan Malaka Barat Kabuoaten Belu Nusa Tenggara
timur, Jurnal Kesehatan Masyarakat Paradigma. Volume I.
Halaman 25 – 29.

Elizabeth C. 2000. Peranan pendidikan ibu dan pekerjaan orang tua serta
factor-faktor lingkungan dengan kejadian Pneumonia pada
anak balita di kabupaten dompu prop. NTB. FKM – UH.
Ujung Pandang

Indriati, Titi.S. 1989. Masalah ISPA di Indonesia. Prosiding Lokakarya


ISPA II Ciloto oktober 1988. Ditjen PPM dan PLP Depkes
R.I. Jakarta
24

Indriyono. 1997. Tinjauan Tingkas Tentang Aspek Komunikasi Dan


Penyebaran Informasi Dalam Pemberantasan ISPA Di
Indonesia Cermin Dunia Kedokteran. Nomor 57. Jakarta

Lemeshow. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.

Magdalena. 1999. Pneumonia Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran.


Volume 33. Nomor 2. Jakarta

............. 2000. Keselarasan Pneumonia Radiologik Klasifikasi WHO.


Cermin Dunia Kedokteran. Volme 33. Nomor 3. Jakarta

Nelson. 1995. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 12 Bagian 2. Penerbit Buku


Kedokteran. Jakarta

Pusdiklat Departemen Kesehatan RI. 1988. Upaya Pemberantasan


Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.
Jakarta.

Ridwan. 1996. Hubungan Keterpaparan Media Komunikasi Ibu Balita


Dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Untuk Balita
ISPA. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta

Rohde, Jhon. E. 1979. Prioritas Pediatri di Negara Berkembang. Yayasan


Essensia Medica. Yogyakarta. Indonesia

Satriono. 1986. Ilmu Gizi II. Lab. Ilmu Gizi FK-UJ. Ujung Pandang.

Sobariah, Dyah. 1995. Gambaran Kecenderungan Penyakit ISPA Akibat


Pertambahan Penduduk Daerah Tingkat II Bekasi 1990 –
1994, FKM-UH. Ujung Pandang
25

LEMBAR KUESIONER

“FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA


BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS MUNGTAJANG KOTA PALOPO
PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2012 ”

No. Responden : ...........


Tanggal : ...........\...............\ 2010
Keadaan Sampel : ...........

I. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama : ..........................................................
2. Jenis Kelamin : 1 : Laki-laki
2 : Wanita
3. Umur : .......... Tahun
4. Pendidikan Ibu : ..........................................................
5. Jenis Pekerjaan : 1 = Tidak Bekerja
2 = Pegawai Negeri Sipil
3 = Petani
4 = Pedagang
5 = Swasta
6 = dan lain-lain
6. Alamat : ..................................................................................
..................................................................................
..................................................................................

II. KARAKTERISTIK BALITA


1. Apakah ibu/bapak mempunyai anak balita :
a. Ya
b. Tidak
2. Bila ya, berapa usia anak ibu/bapak saat ini : ……….Bln
26

3. Berapa berat badan anak ibu/bapak saat ini (KMS) : …………Kg


4. Berapa berat badan lahir anak ibu/bapak (lihat Surat Keterangan Lahir
atau KMS Bayi) : …………gram

III. OBSERVASI KONDISI PERUMAHAN

Karakteristik Luas (M2) Keterangan


Luas Rumah
Kamarisasi
Lantai Rumah
Jendela
Tempat Pertukaran Udara
27

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................iii

ABSTRAK .....................................................................................................iv

ABSTRACT ....................................................................................................v

DAFTAR ISI ..................................................................................................vi

DAFTAR TABEL...........................................................................................vii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...............................................................................5

C. Tujuan Penelitian ................................................................................6

D. Manfaat Penelitian ..............................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang ISPA ...........................................................8

B. Tinjauan Umum Tentang Faktor Yang Berhubungan

Dengan Ispa ........................................................................................14

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian..................................................18

B. Kerangka Konsep Penelitian ..............................................................19

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ........................................20


28

D. Hipotesis Penelitian ............................................................................20

E. Desain Penelitian ................................................................................21

F. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................21

G. Populasi dan Sampel...........................................................................21

H. Instrumen Penelitian...........................................................................21

I. Pengumpulan Data..............................................................................21

J. Analisis Data.......................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA
29

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................

A. Hasil Penelitian ....................................................................................

B. Pembahasan ..........................................................................................

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................

B. Saran .....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
30

Anda mungkin juga menyukai