Anda di halaman 1dari 20

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT

ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KASIMBAR


KABUPATEN PARIGI MOUTONG

SKRIPSI

OLEH

NENI ANDRIANI
19.1.10.7.1.017

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO (2016) penyebab utama kematian anak dibawah lima tahun adalah
pneomonia (14%), diare (14%), infeksi lain (9%), malaria (8%), dan noncomunicable disease
(4%) (WHO),2016). Angka kejadian pneumonia sudah mengalami penurunan namun masih
mennjadi penyebab kematian balita tertinggi. Penyakit ISPA merupakan salah satu dari
banyak penyakit yang menginfeksi di negara maju maupun negara berkembang. Hal ini
diperkuat dengan tingginya angka kesakitan dan angka kematian akibat ISPA khususnya
pneumonia, terutama pada balita(Nur dkk,2018)
Infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli,
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA masih merupakan masalah kesehatan
utama yang banyak ditemukan di indonesia. Saluran pernapasan Akut (ISPA) juga
merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai dan merupakan penyebab kematian paling
tinggi pada anak balita ISPA menjadi salah satu penyakit pernafasan terberat dimana
penderita yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, apalagi bila udara lembab,
dingin atau cuaca terlalu panas(Ditadkk, 2017)
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Hal ini karena daya tahan
tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena system pertahanan tubuhnya belum
kuat. Apabila dalam satu rumah tangga anggota keluarga terkena pilek, maka balita akan
lebih mudah tertular, proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat apabila kondisi anak
lemah. Penyakit ISPA masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting
untuk di perhatikan, karena merupakan penyakit akut dan dapat menyebabkan kematian pada
balita di berbagai Negara berkembang termasuk Negara indonesia. Infeksi saluran pernafasan
Akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu
atau gejala : tenggorokan sakit, atau nyeri telan, pilek, batuk kering, atau berdahak(Sofia,
2017)
Pelaksanaan program pemberitahuan penyakit ISPA di indonesia telah dilakukan
mulai tahun 1984, walaupun demikian sampai saat ini penyakit tersebut masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat, kejadian penyakit ISPA di indonesia masih cukup tinggi
terutama pada anak-anak yaitu kelompok balita. Usah peningkatan kesehatan masyarakat
pada kenyataannya tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan saja, karena masalah
ini sangatlah kompleks, dimana penyakit yang terbanyak di derita oleh masyarakat terutama
pada anak yang paling rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil daqn ibu yang meneteki serta
anak bawah lima tahun(Afriani, 2017)
Dalam melaksanakan program pemberantasan penyakit ISPA pada anak balita, yang
ditandai dengan adanya batuk yang disertai dengan peningkatan frekuensi napas sesuai
dengan golongan umur. ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa faktor secara umum
terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta
faktor perilaku (Asih, Y. 2017)
Bedasarkan beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering dialami oleh balita dan anak, karena penyakit
ISPA merupakan penyakiy yang mudah ditularkan melalui udara yang tercemar seperti
paparan asap rokok. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pengaribun (2017) bahwa rumah
yang orng tuanya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian
penyakit ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang orang tuanya tidak
merokok di dalam rumah. Dan berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan Efni yulia dkk
(2018) bahwa terdapat nilai p value sebesar 0,039 yang menunjukan bahwa hubungan antara
asap rokok dengan kejadian ISPA. Nilai OR adalah 2,366 (95% CI= 1,111-5,040) yang di
artikan balita yang terpapar oleh asap rokok memiliki resiko 2,366 kali untuk mengalami
kejadian ISPA.

Selain itu mudahnya balita terserang ISPA adalah karena faktor pemberian ASI
eksklusif . WHO (2013) menyatakan sekita 15% dari total kasus kematian anak di bawah usia
lima tahun di negara berkembag disebabkan oleh pemberian ASI secara tidak eksklusi, Di
perkirakan 1 dari 4 kematian bayi yang terjadi di indonesia di sebabkan oleh penyakit ISPA
dan kematian yang terbesar adalah pneumonia. Pemberian ASI eksklusif selam 6 bulan atau
lebih memberikan efek produktif yang lebih besar berkaitan dengan respon dosis efek
protektif yang lebih besar berkaitan dengan respon dosis efek produktif yang dihasilkan.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh sirait (2014) bahwa pengaruh pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak balita diperoleh data bahwa dari 19 anak (24,1%)
yang mendapat ASI eksklusif ada 8 anak (10,1%) yang terkena ISPA. Dan dari 60 orang
(75,9% ) anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif ada 49 orang (62,0%) anak yang
terkena ISPA. Hasil uji statistik chi-square di dapat nilai p=0,002 artinya ada hubungan
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA. Hasil penelitian yang di lakukan oleh
Timbayo A (2017) menunjukan bahwa pemberian ASI tidak eksklusif sebanyak 64 (76,2% )
balita yang tidak mendapat ASI eksklusif dan mengalami ISPA sebanyak 51 (79,7% ) hasil
uji chi-square diperoleh nilai p=0,028, artinya ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian ISPA pada balita

Disamping itu bila kejadiaqn ISPA menyerang balita yang memiliki riwayat lahir
dengan BBLR, maka akan beresiko kematian lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat
lahir yang normal. Analisa data yang dilakukan oleh pertiwi (2014) menggunakan uji kolerasi
pearson didapatkan nilai kekuatan kolerasi ( r ) sebesar 0,839 yang menyatakan derajat
kolerasi antara berat badan lahir rendah dengan frekuensi kejadian ISPA adalah dikategorikan
sangat kuat. Berarti BBLR merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
frekuensi kejadian ISPA pada balita.

Di indonesia terjadi lima kasus diantara 1000 bayi atau balita, ISPA mengakibatkan
150.000 bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus
perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap lima menit selain itu ISAP juga sering
berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit dan di puskesmas.(Nur dkk, 2018)

Berdasarkan dari data Dinas Kesehatan kota palu tahun 2016 jumlah penduduk balita di
kota palu sebayak 36.017 balita dan jumlah balita yang menderita infeksi saluran pernapasan
Akut (ISPA) adalah 24.052 balita. Pada tahun 2017 jumlah penduduk balita di kota palu
sebanyak 36.097 dan yang menderita ISPA sebanyak 21.146 dan pada tahun 2018 jumlah
penduduk balita di kota palu sebayak 36.659 dan jumlah balita yang menderita ISPA
sebanyak 18,693 (Dinkes kota palu, 2018).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten
parigi moutong ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas
kasimbar kabupaten parigi moutong.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya paparan asap rokok sebagai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong
b. Diketehuinya ASI Eksklusif sebagai salah satu faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi
moutong.
c. Diketahuinya BBLR sebagai salah satu faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi
moutong.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit
ISPA pada balita di puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai bahan bacaan mengenai penyakit
ISPA pada balita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
Penyakit ISPA pada balita di puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) ke dalam organ
saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada anak di negara berkembang. Bahaya
penyakit ISPA pada Balita antara lain dapat mengakibatkan gagal napas dan gagal jantung.
ISPA menyebabkan empat dari lima belas juta perkiraan kematian pada anak berusia di
bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (Depkes
RI, 2007).
ISPA mengandung dua unsur yaitu infeksi dan saluran pernapasan. Pengertian infeksi
Adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan berkembang biak
sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah sistem organ yang
digunakan untuk membawa udara kedalam paru-paru dimana terjadi pertukaran gas.
Diagfragma menarik udara masuk dan juga mengeluarkannya (Widyono, 2011)
ISPA pada umumnya menginfeksi struktur saluran pernapasan diatas laring, tetapi
kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau
berurutan. Infeksi pernapasan menyebar dari satu struktur ke streuktur lain karena
terhimpitnya membrane mukus yang membentuk garis lurus pada seluruh sistem. Akibatnya
infeksi sistem pernapsan meliputi beberapa area dari pada struktur tunggal, walaupun efeknya
berpengaruh pada banyak penyakit (Hartono. R, 2012)
ISPA menjadi penyakit utama penyebab kematian bayi dan sering menempati urutan
pertama angka kesakitan balita. Penanganan dini terhadap penyakit ISPA terbukti dapat
menurunkan kematian (Hartono. R, 2012)
2. Klasifikasi ISPA
Dalam hal penentuan kriteria ISPA, penggunaan pola tatalaksana penderita ISPA adalah
balita, dengan gejala batuk dan atau kesusahan bernafas. Pola tatalaksana penderita ini sendiri
terdiri atas 4 bagian yakni pemeriksaan, penentuan ada tidaknya tanda bahaya, penentuan
klasifikasi penyakit, dan pengobatan juga tindakan. Dalam penentuan klasifikasi, penyakit
dibedakan atas dua kelompok umur kurang dari 2 bulan (Triana A, 2014)
Berikut adalah Klasifikasi ISPA (Kunoli F, 2013)
a. Untuk kelompok umur 2 bulan-<5 tahun klasifikasi dibagi atas :
1. Pneumonia berat
Didasarkan apabila terdapat gejala batuk atau kesusahan bernafas disertai sesak atau
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan - <5
tahun.

2. Pneumonia
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesusahan bernafas disertai adanya nafas sesuai
umur. Batas nafas cepat pada anak usia 2 bulan - < 1 tahun 50 kali per menit dan 40 kali per
menit untuk usia 1- < 5 tahun
3. Bukan Pneumonia
b. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas :
1. Pneumonia Berat
Untuk anak berumur kurang dari 2 bulan diagnosa pneumonia berat di tandai dengan
adanya nafas (fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebayak 60 kali per menit.
2. Bukan Pneumonia
Mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukan gejala
peningkatan frekuensi panas dan tidak menunjukan adanya bagian bawah kedalam penyakit
ISPA di luar pneumonia ini antara lain : batuk, pilek, biasa, pharyngitis, tonsillitis, otitis.
3. Etiologi
Penyakit ISPA terjadi disebabkan oleh virus dan bakteri virus terbanyak yang
menyebabkan ISPA di antaranya adalah Rhinovirus, Adenovirus, RSV (Respiratory syncytia
virus), virus influenza, virus parainfluenza. Pada klasifikadsi khusus seperti bronkhitisakut
ditemukan virus rubeola dan paramyxavirus. Sedangkan pada bronkiolitis ditemukan virus
Mycoplasma. Virus-virus tersebut paling banyak ditemukan pada khasus ISP. Selain virus,
penyebab infeksi pada pernafasan akut juga disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering
menyerang seperti bakteri Streptococcus, pada kasus penyakit firingitis, tonsilitis dan
tonsilofaringitis adalah bakteri strepcoccus beta hemolitikus grup A dan Strepcoccusgrup A.
golongan Strepcoccus lainnya yang biasanya menyebabkan infeksi adalah Strepcoccus
pnemuoniae dan Strepcoccus pyogenes. Bakteri lain seperti Hemophilus influenza (beberapa
di antaranya tipe B), Staphylococcus aereus, dan Mycoplasma pneumoniae (Wantania, ddk.
2014)
4. Tanda dan gejala
Tanda dan Gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas),
anoreksi (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk,
keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnes (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal
(adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas
apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian. (faisal, 2013)
Terdapat tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratorium
a. Tanda-tanda klinis
1. Pada sistem respiratorik adalah tachypnea, nafas tak teratur (apnea), retraksi dinding
rotaks nafas cuping hidung, cyanosis, suara nafas lemas atau hilang, grunting expiration, dan
chyanosis, suara nafas lemas atau hilang, grunting expiration, dan wheezing.
2. pada system cardial adalah tachycardia, bradycardium, hipertensi, hypotensi, dan cardiac
arrest.
3. pada system cardial adalah gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil
bending, kejang dan koma.
4. pada hal umum adalah : letih, dan berkeringat banyak.
b. Tanda-tanda laboratoris infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA)
1. Hypoxemia
2. Hypercapnia
3. Acydosis (metabolik atau respiratorik)
5. Epidemiologi
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit batuk, pilek pada balita
di indonesia di perkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata e kali per tahun), artinya seorang balita
rata-rata mendapatkan seranganbatuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. Dari hasil pengamatan
epidemiologi dapat diketahi bahwa angka kesakitan di kota cenderung leih besar dari pada di
desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran
lingkungan di kota yang lebih tinggi dari pada di desa (Kunoli F, 2013).
6. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebgai antigen kesaluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak keatas mendorong virus kearah faring atau dengan suatu
tangkapan reflex spasmusoleh laring. Jika reflex itu gagal maka virus merusak lapisan
dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak
terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang
melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk.
(Triana, 2014)
7. Faktor-faktor penyebab ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan,
faktor individu anak, serta faktor perilaku (Widyono M, 2011):
a. Faktor individu anak
1. Umur anak
2. Berat badan lahir
3. status Gizi
4. Vitamin A
b. Faktor lingkungan
1. Pencemaran udara dalam rumah
2. cerobong asap
c. Faktor perilaku
1. kebiasaan merokok
2. pemberian air susu ibu (ASI)
3. penggunaan fasilitas kesehatan
8. pencegahan ISPA
Cegah penularan ISPA pada balita dengan kiat-kiat berikutini (Faisal, 2013).
a. Rajin mencuci tangan
salah satu cara penularan ISPA pada balita adalah melalui udara dan makanan. Virus
yang terbang di udara dan menempel di makanan atau barang-barang yang disentuh anak
dengan mudah masuk ke tubuhnya. Untuk mencegah hal tersebut, ajarkan si kecil untuk
selalu mencuci tangan sebelu dan sesudah beraktifitas agar virus tidak masuk ke tubuhnya.
b. Konsumsi Vitamin C
Agar virus ISPA tidak meyarang tubuh, maka sikecil butuh kekebalan tubuh yang
kuat. Nutrisi yang paling tepat untuk menjaga kekebalan tubuh adalah vitaminC, yang aktif
mmbunuh kuman dan bakteri, berikan sikecil makanan yang banyak mengandung vitamin C
seperti buah-buahan dan sayuran hijau.
c. Hindari asap rokok
Asap rokok dari orng lain sangat berbahaya untuk saluran pernafasan sikecil, untuk
mencegah ISPA pada balita, jauhkan sikecil dari segala asapn rokok agar saluran
pernapasannya tetap sehat.
d. Kenakan Masker di Tempat Umum
saat membawa sikecil ketempat umum yang banyak polusi, kenakan masker padanya.
Masker bisa mencegah penularan ISPA melalui udara sehingga virus tidak mudah masuk
kedalam tubuh.
e. Tetap di Rumah
Bila sikecil di khawatirkan telah terserang virus ISPA, biarkan ia tetap di rumah dan
beristirahat. Beristirahat penuh diperlukan oleh penderita ISPA agar cepat pulih, selai itu juga
mencegah virus agar tidak tertular ke orang lain.
B. Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Anak Balita
1. Paparan Asap Rokok
Merokok adalah perilaku tidak sehat dan masih banyak dilakukan sehingga telah
dianggap biasa oleh masyarakat hingga saat ini, padahal, merokok menyumbang resiko
kematian yang besar. Salah satunya adalah masalah pernapasan di samping itu, kebiasaan
merokok merupakan kebiasaan yang sulit untuk dihentikan. Bahkan, tanpa disadari merokok
menjadi perilaku yang membudayakan di indonesia (Mukono H, 2014)
Rokok adalah silinder daqri kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm
(bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun” tembakau
yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya yang dibiarkan mebara agar asap
dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya (Wirdani N, 2015)
Data Riset kesehatan Dasar sulawesi tengah (RISKESDAS) yang dilakukan kementrian
kesehatan menunjukan peningkatan prevalensi perokok pada tahun 2007, 2010, dan 2013
berturut-turut meningkatkan dari 34,2%, 34,7 dan akhirnya 36,3%. Tak hanya itu, dari 92 juta
orang merokok pasif, 34 juta di antaranya anak-anak dan yang paling memperhatikan adalah
11,4% juta anak-anak ini masih berusia balita (Depkes RI, 2013)
Asap rokok diperkirakan mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia, secara
farmakologis terbukti aktif beracun, dapat menyebabkan mutasi (utagenetic) dan kangker
(carcinogenetic). Tiga racun utama dalam rokok yaitu nikotin, tar, dan karbon monoksida.
Asap rokok menyebabkan berbagai masalah kesehatan salah satunya adalah infeksi
pernapasan. Meskipun tidak menghisap rokok secara langsung, zat nikotin yang ditemukan
pada perokok aktif juga ditemukan pada tubuh perokok pasif (Rachmawati R, dkk. 2018)
Menjadi seorang perokok pasif dapat menimbulkan berbagai penyakit salah satu
penyakit yang dapat ditimbulkan yaitu ISPA yang menyerang saluran pernapasan manusia
dengan jumlah penderita infeksi kebanyakan pada anak. Kebiasaan merokok orang tua di
dalam rumah menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok.
Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan
kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah. Sementara itu jumlah perokok
dalam suatu keluarga cukup tinggi (Pangaribua S. 2017)
2. ASI Eksklusif
ASI merupakan makanan alamiah terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada
anak yang baru dilahirkannya, selain komposisinya sesuai untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi yang berubah sesuai dengan kebutuhan bayi pada setiap saat. ASI juga
mengandung zat pelindung yang dapat menghindari dari berbagai penyakit infeksi.
Pemberian ASI juga mempunyai pengaruh emosional yang luar biasa yang mempengaruhi
hubungan batin ibu dan anak serta perkembangan jiwa anak (Sirait, 2014)
ASI Eksklusif berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang
pemberian ais susus ibu Eksklusif adalah ASI yang pada tahun 2017. Angka ini juga terbilang
sangat kecil jika mengingat pentingnya peran ASI bagi kehidupan anak (Kemenkes RI, 2017)
Kematian bayi dinegara berkembang, terjadi setiap detik satu kematian karena penyakit
ISPA. Diperkirakan 1 dari 4 kematian bayi yang terjadi di indonesia di sebabkan oleh
penyakit ISPA dan kematian yang terbesar adalah Pneumonia (Timbayo, A. 2017)
3. BBLR terhadap ISPA
Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, yang ditimbang pada saat
lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir. Bayi berat badan lahir Rendah (BBLR)
yaitu bayi baru lahir yang berat badannya 2500 gram atau lebih rendah tanpa memperhatikan
usia kehamilan. Dalam definisi ini tidak termasuk bayi-bayi dengan berat badan kurang dari
pada 1000 gram (Imelda, 2017)
Berat badan lahir menetukan tumbuh kembang fisik dan mental pada masa balita. BBLR
mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan, terutama pada bulan-bulan
petama kelahiran, karena pembentukan zar anti kekebalan yang kurang sempurna sehingga
lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit saluran pernapasan.
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan paru yang belum sempurna dan otot
pernapasan yang masih lemah (Pertiwi F, 2014)
Mayoritas responden yang BBLR ternyata mengalami ISPA. Bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan
berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan
zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama
pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya. Penelitian menunjukan bahwa berat bayi
kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran
pernapasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status pekerjaan,
pendapatan, pendidkan (Imelda, 2017)
Riwayat BBLR mempengaruhi kejadian ISPA sehingga status gizi anak usia 1-5 tahun
menjadi kurang atau sangat kurang. Berdasarkan kurva Dancis rata-rata anak yang memiliki
riwayat BBLR sulit mencapai berat badan ideal dibandingkan dengan anak yang memiliki
berat badan lahir normal. Berat badan secara umum digunkan untuk mengukur status gizi.
Bila status gizi kurang atau sangat kurang secara langsung akan mengakibatkan hambatan
reaksi imunologis sehingga pasien rentan terkena infeksi terutama infeksi saluran pernapasan
(Azril, 2015)

BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Penelitian
Angka kesakitan dan angka kematian balita masih tinggi, salah satu penyebab
tingginya angka kematian dan angka kesakitan pada anak tersebut adalah penyakit ISPA yang
hingga saat ini masih merupakan masalah dan tantangan bagi upaya pembangunan kesehatan
(Sirait, 2017).
WHO (2013) menyatakan sekitar 15% dari total kasus kematian anak di bawah usia
lima tahun di negara berkembang disebabkan oleh pemberian ASI secara tidak eksklusif,
Diperkirakan 1 dan 4 kematian bayi yang terjadi di indonesia di sebabkan oleh penyakit ISPA
dan kematian yang terbesar adalah pneumonia (Tibayo. A. 2017)
BBLR mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan BBLC, terutama
pada bulan-bulan pertama kelahiran, karena pemebntukan zat anti kekebalan yang kurang
sempurna dan disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan paru yang belum sempurna
dan otot pernafasan yang masih lemah (Pertiwi, 2014).
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah skala guddman yaitu memberi skor dari nilai tertinggi
ke nilai terendah berdasarkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2003).
Variabel penelitian ini terdiri dari variabel independen dan variabel dependent.
1. Variabel independent (bebas)
Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi variabel dependen, yang
mana dalam penelitian ini variabel independen yaitu paparan asap rokok, ASI eksklusif dan
BBLR.
2. Variabel dependent (terikat)
Variabel independen merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen,
yang mana variabel dependent dalam penelitian ini yaitu infeksi saluran pernafasan Akut
(ISPA) pada anak balita

C. Alur Kerangka Konsep


Dalam penelitian ini peneliti menuangkan alur kerangka konsep “faktor-faktor yang
berhubungan denga kejadian penyakit ISPA pada balita” dalam skema variabel berikut :
Paparan asap roko

ASI Eksklusif ISPA pada anak balita

BBLR

Gambar 3.1 Alur Kerangka Konsep


D. Definisi Operasi Dan Kriteria Objektif
Definisi operasional dan kriteria objektif terdiri dari beberapa bagian yaitu :
1. Paparan asap rokok
Paparan asap rokok dalam penelitian adalah terpaparnya balita dengan asap rokok karena
adanya anggota keluarga yang merokok di dalam rumah.
2. BBLR
BBLR yang dimaksud dalam penelitian ini adalah waktu bayi yang lahir dengan berat
badan kurang dari 2500 gram.
e. Cacar ukur : wawancara
f. Alat ukur : kuisioner
g. Skala ukur : Nominal
h. Hasil ukur : 1= ada riwayat BBLR, jika Berat Badan Lahir < 2500 gr
0= tidak ada riwayat BBLR, jika Berat Badan Lahir > 2500 gr
3. ISPA
Penderita ISPA yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kejadian ISPA yang berada di
puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong yang telah diagnosa oleh dokter dalam satu
tahun terakhir.
a. Cara ukur : wawancara terhadap orang tua balita
b. Alat ukur : Kuisoner
c. Skala ukur : Nominal
d. Hasil ukur : 1= Sakit, jika hasil diagnosa dokter positif ISPA
0= Tidak sakit, jika hasil diagnosa dokter negatif ISPA
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan sementara mengenai kemungkinan hasil dari suatu penelitian.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA
pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong. Untuk
pada saat ini maka dapat menyatakan bahwasanya :
1. paparan asap rokok merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit
ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong
2. Pemberian ASI eksklusif merupakan faktor resiko kejadian ISPA pada balita di wilayah
Kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong
3. BBLR merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit ISPA pada balita di
Wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasi analitik dengan pendekatan
case control dimana faktor yang berhubungan dipelajari dengan menggunakan pendekatan
retrospektif, penelitian retrospektif merupakan suatu rancangan pengamatan epidemiologis
untuk mempelajari hubungan tingkat keterpaparan dengan berbagai kejadian penyakit atau
masalah kesehatan lainnya. Pengamatan ini di dasarkan atas pengamatan penyakit yang sudah
ada (sudah terjadi) sehingga mampu menganalisis dua kelompok tertentu yakni :

Faktor risiko
(+) Kelompok kasus
retrospektif
n Faktor risiko

(-) Matching Faktor risiko

Faktor risiko (+)

(+)
retrospektif Kelompok kontrol
Faktor risiko
(-)

Gambar 4.1. Bagan Penelitian Kasus Kontrol

B. Waktu dan Lokasi Penelitian


a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Parigi Moutong tepatnya di Puskesmas
kasimbar
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan di laksanakan pada bulan Mei 2023 sampai dengan 2 Juni 2023
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang menjadi pasien di
puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong sebanyak 50 orang.
C. Sampel
Penetuan besar sampel dengan menggunakan rumus lemeslow dalam Murti (2006)
sebagai berikut :
n= N. Z2 1-a /2. p.q
d2 (N – 1) + Z2 1-a/2. p.q

n = jumlah sampel
N = besar populasi
p = perkiraan proporsi (0,2)
q = 1- p
d = presisi absolute (10%)
Z2 1-a/2= statistic Z (Z = 1,96 untuk a = 0.05)
Hasil pertungan besar sampel sebagai berikut :

n= 748 (1,96)2.0.2 (1-0,2)


(0,1)2 (748-1)+ (1,96)2 .0,2 (1-0,2)

n= 748 X 3,8 X 0,16


7,5 + 0,6
n= 748 X 3,8 X 0,16
7,5 + 0,6
n= 454, 78
8,1
n = 56

Pada sampel ini akan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kasus sebanyak 56 responden dan
kontrol sebanyak 56 responden. Dimana pertandingan jumlah kasus dan kontrol adalah 1:1,
jadi jumlah seluruh responden adalah 112 responden. Pengamnilan sampel dilakukan engan
teknik simple random sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel atau elemen secara
acak, dimana setiap elemen atau anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk
terpilih menjadi sampel.
Kelompok kasus yaitu ISPA yang secara klinis menderita ISPA di puskesmas kasimbar
kabupaten parigi moutong. Sedangkan kelompok kontrol yaitu para tetangga terdekat dari si
penderita ISPA yang mempunyai umur dan jenis kelamin yang sama dengan kelompok kasus.
3. Kriteria inklusi
Kriteria atau ciri-ciri yang harus dipenuhi setiap masing-masing angota populasi yang akan
Dijadikan sampel, yaitu :
a. Merupakan pasien yang berdomisili kecamatan kasimbar wilayah kerja PKM kasimbar
b. Balita yang menderita ISPA 1 tahun terakhir
c. Bersedia menjadi responden
4. Kriteria Eksklusi
Kriteria atau ciri-ciri anggota populasi yang tidak bisa dijadikan sebagai sampel penelitian
Yaitu :
a. Anak balita yang sudah tidak berdomisili di kecamatan kasimbar
D. Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah :
1. Data Primer
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner tentang
keterpaparan asap rokok, pemberian ASI eksklusif, dan riwayat BBLR dengan kejadian ISPA
Pada anak balita di puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari data penderita ISPA yang diidentifikasi dan dicatat oleh
petugas kesehatan di wilayah kerja puskesmas kasimbar kabupaten parigi moutong.
E. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah berikut :
1. Editing yaitu upaya untuk memeriksa kembali data-data yang telah dikumpul
2. Coding yaitu pemberian nomor kode atau bobot pada jawaban yang bersifat kategori
3. Tabulating yaitu penyusunan dan perhitungan data berdasarkan variable yang diteliti
4. Entri data yaitu memasukan data hasil penelitian untuk diolah dengan menggunakan
Program computer
5. Cleaning yaitu membersihkan data dengan melihat variable-variable yang telah digunakan
Apakah ada kesalahan entry atau masih kosong.
6. Describing yaitu menggambarkan atau menjelaskan data yang sudah dikumpul.
F. Analisi Data
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan software statical program for
social (SPSS)
a. Analisis Univariat
Analisi univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi masing-masing
variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variable dependen.
b. Analisis Bivariat
Analisi bivariat dilakukan untuk melihat faktor yang berhungan dalam penelitian
kasus kontrol menggunakan uji Odd Ratio (OR) dengan tingkat kepercayaan 95% Criteria
nilai IR adalah :

Rumus Tabel :

Diagnosis
Faktor risiko
Kasus Kontrol
Faktor risiko + A B
Faktor risiko - C D

Odds Ratio = ad : bc
a. Jika OR = 1, variabel independen bukan merupakan faktor yang
berhubungan terhadap variabel dependen
b. Jika OR < 1, variabel independen merupakan faktor protektif
terhadap variabel dependen.
c. Jika OR > 1, variabel independen merupakan faktor yang berhungan
terhadap variabel dependen
G. Penyajian Data
Penelitian ini disajikan dalam bentuk table distribusi dan penjelasan segala sesuatu
yang berhungan dengan penelitian agar mempermudah untuk menganalisa data.

DAFTAR PUSTAKA
Afriani, Berta, (2017). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Ispa Pada
Balita yang Berkunjung di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Runjung
Agung Kabupaten Oku Selatan tahun 2017. Cendeki Medika Volume 2 No 2,
80-90.
Siti, Aisyah. Dkk. (2018) Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyakit ISPA
Pada Anak Balita Desa Tinombo Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi
Moutong. Jurnal Kolaboratif. Vol 1 no 1.
Asih, Y. (2017). Hubungan Status Gizi dan Paparan Rokok dengan Kejadian ISPA
Pada Balita di Sukaraja Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai
Volume Vii No. 1, 41-47.
Azri Iskandar, S.T. (2015) Hubungan Jenis Kelamin dan Usia Anak Satu Sampai
Lima Tahun dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Global Medical and Health Communication vol.3 no 1.
Departemen Kesehatan RI. (2013), Riset Kesehtatan Dasar Provinsi Sulawesi Tengah
2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI
Dinas Kesehatan Kota Palu. 2018. Profil Kesehatan Kota Palu Tahun 2018,
Pemerintah Kota Palu, Palu
Dita Maharani, F.F. (2017) Profil Balita Penderita Infeksi Saluran Nafas Akut Atas
Di Poliklinik Anak RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2012-2013. Jurnal
Kesehatan Andalas Vol 6, no 1, 152-157.
Efni Yulia, Rizanda Machmud, dan Pertiwi Dian (2016). Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Kelurahan Aie
Tawar Barat Padang. Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 2
Faisal, Y. (2013). Macam-Macam Penyakit Menular dan Cara Pecegahannya
Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Hartono R, Dwi Ramawati H (2012). ISPA: Gangguan Pernapasan Pada Anak.
Padang: Nuha Medika.

Imaniyah Ervi, Irma Jayatmi (2019). Determinan Kejadian Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Jurnal Ilmiah Kebidanan Indonesia.
Vol 9 No.
Imelda. (2017). Hubungan -Berat Badan lahir Rendah dan Status Imunisasi dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Aceh Besar. Jurnal
Ilmu keperawatan 5:2 , 91-96
Kemeskes RI. (2017). Profil kesehatan Indonesia: Cakupan bayi mendapat ASI
Eksklusif menurut Profil tahun 2017.
Kunoli Firdaus J (2013). Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : CV
Trans Info Media.
Mukono H, J. (2014) Perencanaan udara dalam ruangan. Surabaya: Airlangga
Universitas Press (AUP).
Nur F, Yulvira Febriani, dan Angesti Nugraheni (2018). Hubungan Antara Status
Imunisasi dan infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di
Puskesmas Ngoresan Surakarta. Jurnal Kesehatan dan Aplikasinya Vol 6, No
1, 9-11.
Pangaribuan, S. (2017). Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Puskesmas Remu Kota Sorong. Global Health Sctence,
Volume 2 Issue 1,7-10
Pertiwi F,C, dan Farha ni Alhabsyi. Hubungan Berat Badan Lahir RendahTerhadap
Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Vol. 10 No. 1
Sirait, S.H. (2017). Pengaruh pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada
Anak Balita di Puskkesmas Singosari Kota Pematangsiantar. Global Health
Science, Volume 2 Issue 1, 70-79.
Sofia. (2017). Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. AcTion Journal,
Volume 2, Nomor 1, 43-50.
Widyono, M. (2011). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Semarang: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai