Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PROMOSI KESEHATAN SAAT BENCANA

Oleh :
KELOMPOK 8

Dhea rezky amalia : 20.1.10.7.1.062


Nurfatan : 20.1.10.7.1.076
Lanny Engeline Vanecha Tumadang : 21.1.10.7.1.080
Savia Wayan Sriani : 22.1.10.7.1.019
Andika hadi permana : 22.1.10.7.1.084

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU
2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim…..
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu. Tak lupa pula
sayahaturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga
syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul “PROMOSI KESEHATAN SAAT BENCANA”
bertujuan untuk memenuhi tugas.
Akhirul kalam, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar
harapan kami agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…

Palu, 7 Januari 2023

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

A Latar Belakang..........................................................................................................1

B Rumusan Masalah.....................................................................................................2

C Tujuan.......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3

A Permasalahan kesehatan dalam kondisi bencana.......................................................3

B promosi kesehatan pada situasi emergensi................................................................5

C pengetahuan tentang kesiagaan bencana melalui promosi dan pelatihan

siaga gempa bumi....................................................................................................11

BAB III PENUTUP.............................................................................................................13

A Kesimpulan...............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara geologis dan hidrologis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana
alam. Salah satunya adalah gempa bumi dan potensi tsunami. Hal ini dikarenakan wilayah
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-
Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di
bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga
Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa
bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-
Australia yang bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan
menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau
Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sejajar dengan jalur penunjaman kedua
lempeng tersebut.
Bencana menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk,
termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terj adi bencana
adalah pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk penanganan kesehatan
korban bencana, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah dikeluarkan. Salah
satunya adalah peraturan yang menyebutkan peran penting Puskesmas dalam
penanggulangan bencana (Departemen Kesehatan RI, 2007). Namun berkaitan dengan
permasalahan kesehatan dalam kondisi bencana dan penanganannya relatif masih terbatas.
Bentuk-bentuk promosi kesehatan dalam situasi emergensi akan tergantung dengan
berbagai hal. Implementasi program promosi di lingkungan pengungsian misalnya, bisa
akan bervariasi mengingat situasi dan penyebab pengungsian itu sendiri. Situasi di
kamp/barak atau tenda-tenda di lingkungan rumah-rumah tinggal sebagaimana terjadi
dalam gempa di Yogyakarta atau di kamp-kamp besar seperti di Aceh dan Nias misalnya.
Atau pengungsi Merapi dan banjir di Kalimantan Timur yang mobilisasi dalam satu lokasi
kamp hanya berlangsung dalam jangka pendek.
Setiap situasi dan setiap titik-titik dalam manajemen bencana (preparedness,
respon, recover, mitigate), akan memberikan tantangan dan output promosi yang spesifik.
Situasi konflik sosial dan bersenjata seperti di NAD, Ambon, dan Poso juga memerlukan
pendekatan yang berbeda dalam memberikan pelayanan, dalam hal ini misalnya adalah
kontak waktu dengan sasaran yang akan secara signifikan terkurangi mengingat kondisi
1
keamanan. Sehingga dengan demikian, kondisi, situasi dan tahap manajemen bencana
yang spesifik tersebut memerlukan kajian dan perancangan promosi yang berbeda.
Ada banyak pengetahuan di bidang ilmu sosial, perilaku, dan ekonomi yang dapat
memberikan wawasan yang besar tentang pengambilan keputusan, mengkomunikasikan
risiko, dan dinamika manusia yang terlibat dalam mitigasi bahaya (FEMA, 2008).
Beragam pendekatan promosi kesehatan di dalam sejarah kesehatan masyarakat
membuktikan bahwa persiapan yang sederhana sekalipun dapat memberikan perbedaan
yang berarti dalam mengurangi resiko dan korban dalam kejadian-kejadian gempa bumi.
Pendekatan promosi dan pelatihan siaga gempa dipilih berdasarkan pemahaman (Fabrigar
L.R., 2006) yang menyatakan bahwa sikap yang selaras dengan perilaku yang berdasarkan
pada pengetahuan dapat menjadi prediktor terhadap perilaku. Kesiagaan terhadap bencana
gempa merupakan salah satu perilaku kesehatan untuk melindungi diri, keluarga hingga
masyarakat yang menitikberatkan perhatian kepada perilaku setiap anggota masyarakat.
Dengan pengetahuan dan pelatihan maka diharapkan akan membangun perilaku kesiagaan
gempa bumi yang tangguh.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan permasalahan, yaitu:
1. Apa saja permasalahan kesehatan dalam kondisi bencana ?
2. Apa yang dimaksud promosi kesehatan pada situasi emergensi?
3. Bagaimana pengetahuan tentang kesiagaan bencana melalui promosi dan pelatihan
siaga gempa bumi ?

C. Tujuan
Adapun tujuan permasalahan, yaitu:
1. Untuk mengetahui permasalahan kesehatan dalam kondisi bencana.
2. Untuk mengetahui promosi kesehatan pada situasi emergensi.
3. Untuk mengetahui pengetahuan tentang kesiagaan bencana melalui promosi dan
pelatihan siaga gempa bumi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana


Potensi bencana alam dengan frekuensi yang cukup tinggi lainnya adalah bencana
hidrometerologi, yaitu banjir, longsor, kekeringan, puting beliung dan gelombang pasang.
Frekuensi bencana hidrometerologi di Indonesia terus meningkat dalam 10 tahun terakhir,
Akibat bencana membuat dampak terhadap penduduk dan kesehatan masyarakat.

1. Dampak Bencana Terhadap Penduduk


Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia memberikan dampak dan
pengaruh terhadap kualitas hidup penduduk yang dapat dirasakan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Salah satu dampak langsung dari tetjadinya bencana alam
terhadap penduduk adalah jatuhnya korban jiwa, hilang dan luka-luka. Sedangkan
dampak tidak langsung terhadap penduduk antara lain adalah tetjadinya banyak
kerusakan-kerusakan bangunan perumahan penduduk, sarana sosial seperti bangunan
sekolah, rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya, perkantoran dan infrastruktur jalan,
jembatan, jaringan listrik dan telekomunikasi. Selain itu, terjadinya bencana alam juga
mengakibatkan adanya kerugian ekonomi bagi penduduk, seperti kerusakan lahan
pertanian dan kehilangan mata pencaharian, terutama bagi penduduk yang bekerja
disektor informal.
Salah satu bencana banjir dan tanah longsor yang cukup banyak menelan korban
jiwa dan harta benda adalah bencana banjir bandang di Wasior pada tanggal 4 Oktober
2010. Bencana ini telah mengakibatkan sekitar 162 orang meninggal, 146 orang hilang,
91 luka berat dan sekitar 9.016 jiwa mengungsi. Kerugian akibat bencana banjir
bandang ini ditaksir mencapai 700 rnilyar (Pemerintah RI, 2007; BNPB, 2012;
Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama, 2010). Pada tahun yang sama, letusan Gunung
Merapi telah mengakibatkan banyak korban jiwa. Menurut data Pusat Pengendalian dan
Operasi BNPB yang dirilis pada tanggal 11 Nopember 2010 jurnlah korban jiwa
mencapai sekitar 194 jiwa meninggal.
Gempa bumi di Flores Timur (Nusa Tenggara Timur) yang terjadi pada tahun
1992 juga merupakan salah satu yang terparah dan menyebabkan sekitar 2.500 orang
meninggal. Tidak hanya korban jiwa, bencana gempa bumi seringkali mengakibatkan
banyak korban luka-luka, banyak orang mengungsi, serta merusak banguoan rumah dan

3
fasilitas umum, termasuk jalan dan pelayanan kesehatan. Sebagian gempa bumi disertai
dengan gelombang tsunami yang semakin memperparah dampak bencana tersebut
terhadap penduduk yang terkena dampak. Data BNPB mencatat gempa bumi dan
tsunami besar pada akhir tahun 2004 merupakan yang terbesar. Ratusan ribu orang
menjadi korban dalam peristiwa tersebut, terutama di wilayah Provinsi Aceh dan
Sumatera Barat. Selain gempa-tsunarni 2004 tersebut, bencana serupa yang relatif
parah juga teijadi di Kepulauan Mentawai (2010) dan Ciarnis (2006).

2. Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Masyarakat


Salah satu dampak hencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk
dapat dilihat dari herhagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi. Bencana
yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimhulkan masalah kesehatan yang
sehenamya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Bencana gempa bumi, banjir,
longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat herdampak pada korhan
meninggal, korhan cedera herat yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan
risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan
American Health Organization, 2006). Timbulnya masalah kesehatan antara lain
herawal dari kurangnya air hersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri,
buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa
jenis penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses
terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi
secara langsung tingkat pemenuhan kehutuhan gizi korban bencana. Pengungsian
tempat ttnggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga
secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan daya tahan tuhuh dan hila
tidak segera ditanggulangi akan menimhulkan masalah di hidang kesehatan. Sementara
itu, pemherian pelayanan kesehatan pada kondisi hencana sering menemui hanyak
kendala akihat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis ohat
serta alat kesehatan, terhatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini
tentunya dapat menimhulkan dampak lehih huruk hila tidak segera ditangani (Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan,
2001).
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif herheda-heda, antara
lain tergantung dari jenis dan hesaran hencana yang terjadi. Kasus cedera yang

4
memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lehih hanyak dijumpai pada hencana
gempa humi dihandingkan dengan kasus cedera akihat hanjir dan gelomhang pasang.
Sehaliknya, hencana hanjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyehahkan
kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta menimhulkan potensi kejadian luar biasa
(KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases)
seperti diare dan leptospirosis. Terkait dengan hencana gempa humi, selain dipengaruhi
kekuatan gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi hanyak sedikitnya korhan
meninggal dan cedera akihat hencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya
gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health Organization, 2006).

Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi masyarakat


Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: I). Bayi, balita dan anak-anak; 2).
Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut
usia. Selain keempat kelompok penduduk tersehut, dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor
7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan
'orang sakit' sebagai bagian dari kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya
perlindungan tentunya perlu diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai dari
penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan dan
psikososial.

B. Promosi Kesehatan Pada Situasi Emergensi


Tim kesehatan yang terlibat dalam penanganan bencana, seluruhnya
bertanggungjawab untuk menjamin prinsip-prinsip kesehatan melekat dalam pekerjaannya
dengan standar maksimal dan mampu setiap saat menarik respon dari mereka yang terkena
dampak bencana untuk suatu melakukan upaya perbaikan. Bentuk-bentuk promosi
kesehatan dalam situasi emergensi akan tergantung dengan berbagai hal, yaitu:

1. Tahapan Penanganan Bencana


Dalam materi-materi terdahulu mungkin telah dijelaskan dengan detail
pentahapan bencana. Dalam kesempatan ini pendekatan akan lebih diarahkan kepada
keterkaitan proses dengan pendekatan promosi kesehatan. Hal ini dikaitkan dengan
lebih melihat kepada proses bencana
Konteks proses bencana ditetapkan dalam bentuk segitiga yang dimulai dari
kejadian bencana, dampak dari bencana dan bahaya yang diperoleh akibat dampak

5
bencana. Pada bagian akhir dari bencana adalah fase mitigasi (penurunan) dimana
berbagai hal terkait dengan dampak bencana mulai menurun, penduduk telah mulai
kembali kepada kondisi keseharian yang “normal”.
Garis penghubung fase mitigasi dan kejadian berikutnya, tidak secara langsung
sebagai rangkaian bencana. Seringkali garis ini terjadi dalam jangka panjang sebagai
contoh kasus gempa di Yogyakarta yang telah berlangsung cukup lama dari kasus
gempa besar sebelumnya. Garis ini juga terjadi pada kondisi tanpa bencana.
Bentuk penjelasan lain sebagaimana diadopsi dari Oxfam adalah sebagai berikut:
a. Tahap Risiko tinggi
Tahap ini bisa terjadi dalam hitungan hari atau minggu dan dicirikan
dengan transisi orang-orang ke kamp-kamp pengungsian. Seringkali dicirikan
dengan masih adanya gempa susulan, banjir yang masih berlangsung atau
konflik. Pergerakan cenderung dilakukan untuk mempertahankan atau
memenuhi kebutuhan dasar. Keselamatan fisik termasuk perlukaan seringkali
tidak menjadi pilihan utama. Disinilah kasus tetanus menjadi tinggi terjadi saat
terjadinya gempa di Yogykarta dan sekitarnya. Dalam kondisi ini, kekacauan
masih sangat terlihat jelas, seringkali pula akan banyak ditemui adanya keluarga
yang tercerai berai. Partisipasi penuh dari masyarakat tidak memungkinkan
untuk dilakukan namun demikian tahap pengkajian promosi sudah bisa dimulai
melalui pengamatan dan diskusi pendalaman. Perubahan kondisi yang bisa
berlangsung dengan cepat juga menjadi alasan untuk segera bisa mengambil
kesimpulan tentang kebutuhan (program promosi).
b. Tahap Risiko Sedang / Menengah (Medium Risk)
Situasi mulai berangsur tenang yang bisa berlangsung dalam beberapa
minggu namun juga bisa dalam berbulan-bulan. Stabilitas di kamp dan atau
tempat lain mulai terlihat. Struktur-struktur sosial darurat di komunitas mulai
terbentuk dan bekerja. Meskipun demikian struktur sosial ini tidak selalu baru
muncul pada tahapan ini. Pada banyak kasus, seperti di El Salvadore, dan
beberapa daerah di Afrika menunjukkan bahwa struktur dan ikatan sosial justru
tumbuh pada fase akut diatas. Struktur ini bisa merupakan struktur baru atau
merupakan struktur lama yang diaktifkan kembali. Kebutuhan dasar pada tahap
ini tidak selalu telah terpenuhi demikian pula dengan perawatan medis
(kekurangan atau kurang merata). Salah satu cirri khas dari bencana gempa di
Yogyakarta bahwa kamp tersebar luas di seluruh wilayah dan tidak
6
mengelompok seperti halnya di Aceh maupun di Nias. Pada kondisi ini
distribusi logistik dan kebutuhan dasar lain sebagaimana pula perawatan medik
menjadi lebih sulit dilakukan termasu pemerataannya. Angka kesakitan dan
kematian mulai menurun, meskipun resiko kesakitan dan kematian kadangkala
masih cukup tinggi atau justru semakin tinggi karena kondisi lingkungan dan
keterbatasan lain. Struktur sosial yang telah terbentuk semakin lama semakin
memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan di lingkungannya.
Partisipasi warga juga semakin teroorganisir dan terkoordinasi. Pada tahap ini
upaya promosi dengan melibatkan partisipasi masyarakat menjadi semakin
terbuka.
c. Mempertahankan kesehatan
Bisa saja terjadi bahwa orang-orang akan tinggal dalam jangka panjang
di kamp pengungsian seperti di NAD, namun bisa pula bahwa orang-orang akan
kembali di lingkungan rumahnya dan mendirikan tenda di sekitarnya seperti di
Jogja atau kembali ke rumah yang masih bisa ditinggali seperti dalam kasus
banjir di Sulawei atau Kalimantan. Bagaimanapun kondisinya, tetaplah
pentinguntuk diperhatikan dan diwaspadai adanya kemungkinan bahwa
mungkin situasi kembali memburuk. Para korban telah melakukan kembali
aktifitas harian rutin seperti bekerja datang ke pasar. Infrastruktur telah mulai
dibangun kembali dalam jangka panjang dan organisasi komunitas telah
beroperasi lagi secara penuh. Pemerintahan telah berjalan normal, demikian
pula untuk sekolah, kelompok-kelompok masyarakat mungkin semakin
bertambah kuat dan lebih aktif daripada sebelum bencana. Upaya promosi
semakin terbuka lebar dengan semakin lengkapnya infra struktur. Beberapa
kebutuhan lanjutan mungkin diperlukan dalam masa transisi ke kondisi normal
ini misalnya kebutuhan tempat pembuangan tinja.

2. Pemahaman Perilaku Korban Bencana


Perilaku korban bencana beragam dalam bentuknya dan juga dipengaruhi oleh
tahapan dari proses perkembangannya.Perilaku tersebut terjadi dalam konteks
individual namun juga bisa berlaku dalam konteks kolektif. Pemahaman terhadap
perilaku ini juga penting sebagai bekal kita memahami situasi, khususnya dalam
penyusunan program promosi kesehatan.

7
Perilaku korban dalam hal ini bisa kita asumsikan kepada dua masa/tahapan
yaitu masa akut dan masa rehabilitasi/recovery. Masa/tahap preparedness bisa
dikategorikan dalam rangkaian bencana namun pada umumnya adalah situasi yang
tidak sedang dalam kondisi bencana. Sehingga penilaian tentang perilaku lebih
menyandarkan kepada perilaku-perilaku dalam kondisi normal.
Pada masa akut (misalnya pada saat gempa terjadi), contoh seseorang yang
mendengar (berita, isu) atau merasakan sesuatu bencana, seringkali mengalami rasa
ketakutan yang berlebih dan panik. Kondisi ini seringkali diikuti dengan meninggalkan
daerah bencana ke tempat yang justru dalam beberapa kasus malah tempat bencana
yang sesungguhnya. Kondisi ketidak pastian ini semakin diperburuk dengan
minimnya informasi dan komunikasi yang valid yang bisa menenangkan kondisi.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan pengetahuan dan informasi yang kurang tepat
serta minimnya kemampuan dalam menghadapi kondisi bencana. Kasus isu tsunami di
berbagai wilayah di Indonesia adalah contoh dari perilaku ini.
Ketidakmampuan untuk memahami dan mengontrol situasi ini erat kaitannya
dengan minimnya informasi yang benar terkait bencana yang mengimplikasikan peran
promosi dalam tahapan preparedness yang masih belum berjalan dengan baik.
Ketidak mampuan dalam mengontrol situasi membawa kepada kekacauan, disorientasi
dan munculnya perilaku-perilaku yang tidak terduga. Emosi yang berlebih dan tidak
terkontrol juga terlihat dalam kondisi tersebut yang seringkali diikuti dengan histeria,
dalam hal ini lebih cenderung terjadi pada individu- individu dan tidak berpengaruh
kepada orang banyak.
Karakteristik kondisi emergensi selalu ditandai dengan titik kejadian (bencana).
Titik ini memisahkan situasi yang berbeda sebelum dan sesudah bencana. Hal ini
penting untuk diketahui dan dikaji oleh setiap promotor kesehatan karena akan
memiliki dampak yang cukup luas dalam mempersiapkan materi untuk promosi
kesehatan. Meskipun dalam hal ini penduduk yang telah memiliki pengalaman bukan
berarti mereka benar- benar telah siap untuk menghadapi bencana berikutnya.
Intervensi promosi menjadi komponen krusial untuk menghilangkan gap ini.

3. Framework Program Promosi


Situasi di satu sisi dan maksimalisasi efek promosi di sisi yang lain ketika
terjadi bencana, merupakan kompromi utama. Pada saat merancang promosi, akan
banyak memunculkan masalah, ide dan inovasi. Secara natural banyak option yang

8
akan muncul, sehingga prioritisasi pekerjaan menjadi bagian tugas penting dalam
kondisi emergensi pada khususnya.
Beberapa karakteristik membedakan antara emergensi dengan kondisi normal.
Situasi yang bisa berubah dengan cepat, waktu yang sangat pendek (khususnya untuk
fase akut/respon), sumberdaya lokal yang terbatas dll, namun tetap penting untuk
memasukan semua siklus dan tahapan perancangan dengan hati-hati. Framework
perancangan promosi tetap bisa diterapkan meskipun pada akhirnya harus mengikuti
pola situasi yang ada. Rentang waktu perancangan program menjadi sangat berbeda.

Need Assesment
Sumative (Commumity.Analysis &
Targeted Assesment)

Evaluation Planning

Formative
Implementation

Need assesment adalah tahapan dimana tim perencana mengkaji berbagai


sumber data yang ada yang pada intinya adalah untuk merumuskan kebutuhan
kesehatan spesifik dari kelompok target. Kegiatan bisa dilakukan dalam berbagai
bentuk, dari kuantitatif sampai dengan kualitatif dengan berbagai metode pengambilan
data yang bisa digunakan. Tahapan pengkajian juga disertai dengan proses anailsis
sehingga menghasilkan rumusan yang mendekati jenis kebutuhan yang sebenarnya.
Tahap kedua dari proses adalah melakukan pengkajian target. Inti dari kegiatan di
tahap ini adalah melakukan verifiksai hasil kajian kebutuhan komunitas dengan
berbagai stake holder khususnya adalah kelompok target promosi itu sendiri. Metode
yang digunakan bisa beragam, dengan tujuan untuk memastikan permasalahan dan
kebutuhan kesehatan yang dirasakan oleh target.
Alur perancangan lain yang juga bisa menjadi acuan. Secara prinsip sebenarnya
sama dengan alur sebelumnya. Tahap need assesment dalam hal ini dimulai dengan
persiapan awal oleh manajemen dan melakukan kajian situasi. Kajian situasi ini juga
mencakup kegiatan verifikasi kepada sasaran. Menyusun tujuan, sasaran, strategi serta
populasi sasaran menjadi tahap berikutnya. Kajian permasalahan juga diimbangi
9
dengan kajian terhadap sumber daya dan kekuatan – hambatan yang akan dihadapi.
Dalam setiap penyusunan rencana jangan dilupakan untuk mulai menyusun indikator
keberhasilan yang akan digunakan dalam evaluasi dan monitoring.

4. Tahap Emergensi Respon


a. Kampanye massal seringkali merupakan jawaban paling sesuai dalam fase
emergensi akut ini dan dari pengalaman menunjukkan bahwa dalam periode ini
orang-orang lebih reseptif terhadap diseminasi pesan. Training pendukung
diperlukan baik bagi petugas lapangan, wakil masyarakat, komite komunitas
dan lain sebagainya untuk kampanye tersebut yang dengan diikuti kegiatan
supervisi. Dari pengalaman dgempa di Yogyakarta, Nias dan beberapa tempat
lain menunjukkan bahwa, pelatihan sebagai pendukung kampanye seringkali
tidak diperhitungkan demikian halnya dengan supervisi.
b. Pada proses selanjunya yaitu transisi antara respon dengan rehabilitasi, aktifitas
lebih ditujukan terutama untuk mendukung mobilisasi tindakankolektif dan
strategi pengendalian dan ketika situasi semakin stabil akan ada kesempatan
lebih banyak untuk meningkatkan partisipasi komunitas baik dalam aktifitas
implementasi maupun pengkajian berkelanjutan. Seringkali diperlukan lebih
banyak lagi fasilitator pendamping komunitas dalam tahap ini
c. Diseminasi pesan sebaiknya dilakukan secara berulang dan diperkuat dengan
menggunakan alat bantu visual seperti poster dan leaflet sebagai pengganti
interaksi dan diskusi dalam masa emergensi. Diskusi kelompok, pertunjukan
boneka, permainan dan lagu-lagu diikuti dengan diskusi mungkin bisa lebih
efektif daripada kunjungan rumah.

5. Rehabiiltasi Dan Mitigasi


a. Ketika situasi stabil sekolah akan mulai berfungsi, kelompok agama mungkin
menjadi termobilisasi dan struktur pemerintah telah terlibat lagi dalam
pemberian pelayanan. Dalam kondisi ini akan lebih terbuka kemungkinan untuk
bekerjasama dengan semua struktur tersebut. Bekerja sama dengan komite
komunitas tetap dilanjutkan dan kelompok seharusnya mulai mencoba untuk
membuat tujuan mereka sendiri. Dari banyak aktifitas yang telah dilakukan pada
beberapa bencana di Indonesia, prosedur ini nampaknya masih sangat kurang
mendapat perhatian baik oleh agensi non pemerintah maupun pemerintah.

10
b. Kontak dengan dengan unit pelayanan kesehatan khususnya bagian medik untuk
meilhat perkembangan situasi kesehatan dan surveilance epidemiologi tetap
diperlukan. Hal ini penting sebagai cara untuk memonitor seberapa bagus
kontribusi program terhadap dampak perbaikan atau pencegahan resiko
kesehatan akibat bencana.
c. Pada tahap ini mungkin akan banyak ditemukan program-progrm promosi dari
berbagai agensi. Program atau intervensi oleh berbagai agensi dan pemerintah
mungkin tidak secara tegas adalah sebagai sebuah program promosi (misal
imunisasi), namun yang seringkali ditemukan bahwa program-program tersebut
juga mengandung komponen promosi. Program-program yang secara tegas
menyebutkan sebagai aktifitas promosi kemungkinkan juga akan bermunculan,
meskipun dari pengalaman di NAD, Nias, Yogyakarta belum optimal. Pembaca
disarankan untuk mengkaji lebih lanjut dalam 7 Step To Build Media In
Emergency Situation dari WHO.

C. Pengetahuan Tentang Kesiagaan Bencana Melalui Promosi Dan Pelatihan Siaga


Gempa Bumi
Secara umum sangat sedikit anggota masyarakat yang mengetahui apa yang harus
dilakukan pada saat terjadi gempa.
Pemberian penyuluhan kesehatan yang menuntun peningkatan pengetahuan dan
sikap secara empiris, Pengetahuan tentang gempa bumi didapati pula meningkat dalam
penelitian yang dilakukan oleh Emami (2015) terhadap siswa dan siwi SD
Muhammadiyah Trisiganmurtiganding Sanden Bantul. Dalam penelitian ini dilakukan
penyuluhan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi terhadap siswa di SD
didapati pengetahuan awalnya dalam kategori baik, dan hal ini berkaitan dengan penelitian
yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dengan data ini mengindikasikan bahwa
promosi bencana alam tentang gempa bumi secara berkelanjutan benar-benar diperlukan.
Penelitian lain dilakukan oleh Larasati (2017) yang mendapati bahwa tingkat pengetahuan
siswa SMP yang tinggi berkorelasi dengan pengalaman memperoleh promosi atau
penyuluhan dari penelitian sebelumnya. Penelitian tersebut menyimpulkan pentingnya
penyuluhan bencana gempa bumi kepada peserta didik untuk mengurangi resiko bencana.
Pendekatan promosi dan pelatihan dalam penelitian Nurjanah (2015) mengatakan
bahwa penyuluhan kesehatan terhadap kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi
pada siswa SMP Kristen Kakaskasen Kota Tomohon didapati berbeda secara berarti saat
11
sebelum dan setelah kegiatan. Sedangkan dalam penelitian Laili Rahayuwati (2018)
kesimpulan penelitiannya menuliskan bahwa pelayanan masyarakat melalui pemberian
penyuluhan kesehatan perlu dilakukan secara berkesinambungan. Program penyuluhan
keseahatan yang berkesinambungan merupakan langkah menindaklanjuti atau proses
monitoring yang dapat mempertahankan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
program kesehatan tertentu yang dalam hal ini adalah kesiagaan bencana gempa bumi.
Pendekatan promosi dan pelatihan merupakan suatu pendekatan pengajaran yang
memberikan responden dua pendekatan pembelajaran yaitu cara mengetahui melalui
aktivitas mendengar dan mengetahui melalui aktivitas meniru melalui pelatihan. Pelatihan
memberikan contoh kepada responden sebagai peserta kegiatan pelayanan masyarakat cara
berperilaku atau merespons pada saat terjadinya gempam bumi. Robin Oxman (2001)
menuliskan dalam bukunya bahwa melalui berbagaim ujicoba perilaku terlihat pola bahwa
manusia belajar terlebih dahulu untuk meniru dan kemudian belajar untuk mengetahui.
Penelitian ini menggabungkan dua pendekatan dengan maksud mempertegas pembentukan
perilaku melalui meniru dan mendengar.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bencana alam yang disertai dengan pengungsian seringkali menimbulkan dampak


terhadap kesehatan masyarakat yang menjadi korban, terlebih mereka yang termasuk
dalam kelompok rentan. Permasalahan kesehatan akibat bencana beragam, termasuk
meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular,
permasalahan kesehatan lingkungan dan sanitasi serta kesehatan reproduksi perempuan
dan pasangan. Kondisi dapat menjadi lebih buruk antara lain dikarenakan pemberian
pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak memadai.
Tim kesehatan yang terlibat dalam penanganan bencana, seluruhnya bertanggung
jawab untuk menjamin prinsip-prinsip kesehatan melekat dalam pekerjaannya dengan
standar maksimal dan mampu setiap saat menarik respon dari mereka yang terkena
dampak bencana untuk suatu melakukan upaya perbaikan. Hal ini dikaitkan dengan lebih
melihat kepada proses bencana Konteks proses bencana ditetapkan dalam bentuk segitiga
yang dimulai dari kejadian bencana, dampak dari bencana dan bahaya yang diperoleh
akibat dampak bencana. Ketidakmampuan untuk memahami dan mengontrol situasi ini
erat kaitannya dengan minimnya informasi yang benar terkait bencana yang
mengimplikasikan peran promosi dalam tahapan preparedness yang masih belum
berjalan dengan baik.
Dengan pengetahuan yang baik diharapkan akan menumbuhkan sikap dan perilaku
siaga gempa yang baik sehingga dapat mengurangi resiko korban jiwa sewaktu-waktu jika
terjadi gempa bumi yang sesungguhnya. Pelatihan kesiagaan gempa dan respons terhadap
gempa merupakan hal yang perlu dilakukan secara berkelanjutan dan berkala oleh
lembaga-lembaga pendidikan tinggi untuk mewujudkan kampus tangguh bencana.

13
DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPBj. 2008. Peraturan Kepala Badan


Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata
Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar. Jakarta: BNPB; 2008.

BNPB. 2010. Laporan harlan tanggap darurat Gunung Merapi 8 Desember 2010.
Yogyakarta: BNPB.

Departemen Kesehatan (Depkes ). 2001 Standar minimal penanggulangan masalah


kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi. Jakarta: Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan - Sekretariat Jenderal Depkes.

Emami, S. B. (2015). Pengaruh penyuluhan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa


bumiterhadap pengetahuan siswa di SD Muhammadiyah Trisigan Murtigading
Sanden Bantul. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah.

Few, R. dan Matthies, F. 2006. Flood hazards and health: responding to present and future
risks. London: Earthscan.

Larasati, C. (2017). Pengembangan media pembelajaran posteruntuk meningkatkan


pengetahuan siswa terhadap bencana gempa bumi di SMPN 3 Gantiwarno.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Nurjanah, I. S. (2015). Penggunaan Metode Pembelajaran Simulasi Untuk Materi


Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi Siswa Kelas X Iis Di SMAN 1 Tawangsari
Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Oxfam, (2005), Guidelines for Public Health Promotion in Emergencies,


http://www.oxfam.org.uk/what_we_do/emergencies

Oxman, R. (2001). Knowledge: The Sciences: Not What We Believe but What We Really
Know.USA: Xlibris corporation.

14
Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat. 2010. Laporan Pasca
Bencana Kota Wasior 4 Oktober 2010. Wasior: Pemerintah Kabupaten Teluk
Wondama.

Pemerintah Republik Indonesia (RI). 2007. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24


Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta: Pemerintah RI.

Public Health Emergency Preparedness: Fundamentals of the “System”,


http://www.nhpf.org/pdfs_bp

Rahayuwati, L., Nurhidayah, I., Ibrahim, K., & Setyorini, D. (2018). Pendidikan dan
Promosi Kesehatan tentang Pencegahan Penyakit Kanker melalui Pilihan Jajan
pada Siswa-Siswi Sekolah Dasar serta mengenali Potensi Masyarakat dalam
Peningkatan Kesehatan. Media Karya Kesehatan, 1(2).

United States Agency for International Development (USAID) Indonesia - Environmental


Services Program (ESP). 2006. Assessments on clean water and sanitation
facilities in temporary shelters for Merapi eruption affected people. Jakarta:
USAID Indonesia- ESP.

Widyastuti, E., Silaen, G., Priesca, A., Handoko, A., Blanton, C., Handzel, T., Brennan,
M. dan Mach, 0. 2006. Assessment of health-related needs after tsunami and
earthquake - Three districts, Aceh Province, Indonesia, July-August 2005.
Morbidity and Mortality Weekly Report, 55(4):93-7.

WHO, (2005), Effective Media Communication during Public Health Emergencies,


http://www.who.int/csr/resources/publications

15

Anda mungkin juga menyukai