Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“MANAJEMEN TRAUMA HEALING TERHADAP BENCANA ”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3
ANTENG PURWATI WULANSARI 193210007
ULFATUL HASANAH 193210040
EFI YANA 193210011
MUCHLISATUL ELIN AULIYATIN 193210024
HERLIN INDRIA SAFITRI 193210016
FAJAR BAGUS KURNIAWAN 193210042
FEBRI CELLYNA KUSMITA 193210014
PUTRI
ACH ROYAN 193210011
RIKA
MERI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penyusun masih
diberikan kesehatan sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah yang berjudul “ MANAJEMEN TRAUMA HEALING TERHADAP BENCANA ”
” ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah di program studi S1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang semester 4.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai
bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa, masyarakat dan pembaca.

Jawa Timur , 25 April 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................
1.1 Latar Belakang..........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................................
BAB 2 PEMBAHASAN...................................................................................
2.1 Konsep Bencana......................................................................................
2.1.1 Macam macam bencana.................................................................
2.1.2 Penyebab bencana ..........................................................................
2.1.3 Proses terjadinya bencana ..............................................................
2.2 Trauma......................................................................................................
2.2.1 Definisi trauma...............................................................................
2.2.2 Penyebab trauma ............................................................................
2.2.3 Dampak trauma...............................................................................
2.2.4 Ciri- ciri trauma ..............................................................................
2.3 Model konseling trauma ..........................................................................
2.4 Model layanan bimbingan .......................................................................
BAB 3 PENUTUP............................................................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 pasal 1, Bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam berupa gempa, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor (Paramesti, 2011).
Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat kawasan bencana yang tinggi. Indonesia
menduduki peringkat pertama dalam paparan terhadap penduduk atau jumlah manusia yang
menjadi korban meninggal akibat bencana alam. Wilayah Indonesia terletak pada kondisi
geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana alam
(Siti, 2016).
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan
empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua asia, benua austarlia, lempeng samudra hindia
dan samudra pasifik. Disekitar pertemuan lempeng umumnya terjadi akumulasi energi yang
tabrakan yang dapat terkumpul sehingga pada suatu saat lapisan bumi yang tabrak tidak
sanggup lagi menahannya, patah atau terlepas yang berakibat terjadinya gempa bumi.
Peristiwa seperti ini dapat juga menimpa kawasan sumatera barat, karena kawasan ini berada
diatas bagian lempeng yang dimaksud yaitu pertemuan antara lempeng Asia dibagian utara,
lempeng Australia di bagian selatan, lempeng Samudra Hindia di bagian barat dan lempeng
Samudra Pasifik di bagian timur (Rahmanto, 2016).
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat
tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Pada umumnya resiko bencana
alam meliputi bencana akibat faktor geologi (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api),
bencana akibat hydrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan , angin topan), bencana
akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman atau ternak, hama
tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakaan industri, kecelakaan transportasi, radiasi
nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar
manusia akibat perebutan sumber daya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik.
Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu
daerah konflik (Harjadi, 2007).
Gempa bumi merupakan sebuah guncangan hebat yang menjalar ke permukaaan bumi
yang disebabkan oleh ganggguan di dalam litosfir (kulit bumi). Gangguan ini terjadi karena
didalam lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km terjadi akumulasi energi akibat dari
pergeseran kulit bumi itu sendiri (Mustafa, 2010). Gempa bumi adalah sebuah getaran atau
pergerakan yang terjadi secara tiba-tiba akibat adanya pelepasan energi secara tiba-tiba yang
terjadi pada permukaan bumi. Pelepasan energi yang secara tiba-tiba mengakibatkan
gelombang seismik yang bisa bersifat destruktif pada berbagai hal yang berdiri diatas
permukaan bumi, termasuk bangunan, pohonpohon, dan lainnya (Febriana, 2015).
1.2 Rumusan Masalah
1. apa itu bencana ?
2.apa itu trauma ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu bencana
2. Untuk mengetahui apa itu trauma

BAB II

TINJAUAN TEORI
Manajemen Trauma Healing Terhadap Bencana

2.1 Konsep Bencana


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2007).
Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan
lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan
intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi
secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia.
Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial
dan lingkungan. Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas sosial, dampak dalam
bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal dan kekacauan
komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan yang
melindungi daratan. Bencana seperti banjir pun dapat memakan korban yang signifikan pada
komunitas manusia karena mencakup suatu wilayah tanpa ada peringatan terlebih dahulu
dan dapat dipicu oleh bencana alam lain seperti hujan lebat. (Ade Rahman, 2018)
Bencana Alam dapat terjadi sebagai akibat perilakudan adanya peristiwa alam. Bencana
alam sebagai akibat dari perilaku sebagai contohnya adalah fenomena banjir akibat
penebangan liar atau tata kota yang tidak tertata dengan benar. Sementara itu ada juga
bencana alam yang murni merupakan akibat dari peristiwaalam. Karenanya peristiwa
geologi dan psikologi sangat erat kaitannya. Berbagai tempat di Indonesia pemah mengalami
bencana alam yang amat dahsyat. Gunung Galunggung di Jawa Barat pemah meletus dengan
menelan korban nyawa, harta.dan benda yang tidak sedikit. Bemlangkali hampirtiaptahun
Gunung Merapi diYogyakarta menyemburkan wedusgembel. Kasus lumpurpanasdi Sidoatjo
juga bencana yang mengakibatkan korban yang lumayan besar. Bukan hanya bencana
vulkanik, tetapi bencana tektonik acapkali terjadi di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2002
terjadi bencana tektonik yang menyebabkan Lampung porak poranda. Banyakrumah-rumah
roboh, nyawa manusia melayang sia-sia. (Koentjoro, 2007)
Berbagai peristiwa traumatik banyak terjadi di Indonesia. Peristiwa traumatik tersebut
tidak hanya dalam bentuk konflik dan kekerasan secara sosialsaja. Peristiwa traumatik di
Indonesia antara lain kerena faktor alam seperti tsunami, gempa, banjir, kebakaran, dan
erupsi gunung berapi. Dari berbagai peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia, pengungsian
selalu mengikuti dan menimbulkan masalah psikososial bagi masyarakat dengan
penyelesaianyang tidak mudah. Masalah psikologis yang ditimbulkan oleh konflik memberi
efek yang lebih dalam bagi masyarakat mengalaminya. (Latipun, 2014)
2.1.1 Macam-macam bencana alam
a. Banjir
Banjir adalah bencana alam yang diakibatkan oleh curah hujan yang cukup tinggi
dengan tidak diimbangi dengan saluran-saluran pembuangan air yang memadai,
sehingga banjir dapat meredam berbagai wilayah – wilayah yang cukup luas. Pada
umumnya banjir terjadi karena luapan sungai yang tidak mampu menghadang
derasnya air yang datang sehingga menyebabkan jebolnya sitem perairan disuatu
daerah. Banjir juga diakibatkan oleh manusia itu sendiri karena membuang sampah
sembarangan ke saluran-saluran pembuangan air dan nenebang pohon secara liar,
pohon bermanfaat sebagai penyerap air dikala datangnya hujan.
b. Longsor
Longsor atau disebut juga gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi
karena pergerakan masa bantuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti
jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara umum longsor bisa terjadi
disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Bencana
longsor terjadi karena setelah hujan yang cukup lebat dan tanah tersebut tidak sama
sekali ditumbuhi tanaman maka terjadilah longsor itu. Tanaman berguna untuk
menahan tanah-tanah agar tidak mudah longsur atau terseret. Ada juga bencana
longsor yang terjadi secara alami, karena memang tanah yang kurang padat, curah
hujan yang cukup tinggi dan kemiringa yang cukup curang.
c. Kebakaran
Kebakaran bisa terjadi dikaitkan oleh wilayah itu sendiri, bisa juga dikaitkan oleh
ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Bahay yang tibul karena
kebakaran adalah asap yang dihasilkan dapat merusak pernafasan.
d. Gempa Bumi
Gempa bumi diukur dengan menggunakan alat yang bernama seismometer. Moment
magnitudo adalah skala yang paling umum dimana gempa bumi terjadi untuk seluruh
dunia. Skala Rickter adalah skala besarnya lokal 5 magnitude. Biasanya gempa bumi
terjadi pada daerah – daerah yang dekat dengan patahan lempengan bumi. Gempa
adalah bencana alam yang tidak dapat diperkirakan, oleh karena itu gempa
merupakan bencana alam yang sangat berbahaya. Ada berbagai cara untuk
mengurangikerugian akibat dampak gempa bumi, seperti membangun bangunan
yang dapat meredam getaran gempa, memperkuat pondasi bangunan dan masih
banyak yang lain.
e. Letusan Gunung Api
Gunung api adalah bukit atau gunung yang mempunyai lubang kepundan atau
rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan batuan (magma) dan gas
kepermukaan bumi lubang tersebut dinamakan kawah bila berdiameter < 2.000 m
dan di sebut kaldera bila ber-diameter > 2.000 m. Gunung meletus bisa terjadi karena
endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan
tinggi. Dari letusan letusan seperti itulah gunung merapi bisa terbentuk. Letusan
gunung merapi bisa merenggut korban jiwa dan menghabiskan harta benda yang
besar. Gunung meletus merupakan salah satu bencana alam yang sangat dahsyat
karena diakibatkan meningkatnya aktivitas magma yang ada dalam perut bumi. Jika
gunung akan meletus maka dapat dideteksi dengan cara melihat aktivitas
perkembangannya., mulai dari siaga,waspada, awas dan hingga puncaknya itu
meletus. Ketika suatu gunung meletus maka akan mengeluarkan material-material
yang ada dalam bumi, mulai dari debu, batu, kerikil, awan panas, krikil hingga
magmanya. Karena waktu terjadinya gunung meletus dapat diperediksi, maka bisa
diberi peringatan kepada warga agar segera mengungsi ke tempat ynag lebih aman.
(Kristanti, 2013).
2.1.2 Penyebab Bencana
Terdapat 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya bencana, yaitu :
a. Faktor alam (natural disaster) karena fenomena alam dan tanpa ada campur
tangan manusia.
b. Faktor non-alam (nonnatural disaster) yaitu bukan karena fenomena alam dan
juga bukan akibat perbuatan manusia.
c. Faktor sosial/manusia (man-made disaster) yang murni akibat perbuatan manusia,
misalnya konflik horizontal, konflik vertikal, dan terorisme. (Kristanti, 2013).
2.1.3 Proses terjadinya bencana
Secara umum manajemen bencana dapat dikelompokkan menjadi 3 tahapan
dengan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan mulai dari pra bencana,
pada saat tanggap darurat, dan pasca bencana.

a. Tahap Pra Bencana (mencangkup Kegiatan pencegahan, mitigasi,kesiapsiagaan, dan


peringatan dini)
1. Pencegahan (Prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika mungkin
dengan meniadakan bahaya).Misalnya:Melarang pembakaran hutan dalam
perladangan, Melarang penambangan batu didaerah yang curam, dan Melarang
membuang sampah sembarangan.
2. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dapat dilakukan melalui
a.Pelaksanaan penataan ruang
b. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tatabangunan
c.Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baiksecara
konvensional maupun modern (UU Nomor 24 Tahun 2007Pasal 47 ayattentang
Penanggulangan Bencana).
3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Beberapa bentuk aktivitas kesiapsiagaan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana
b. Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini
c. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar
d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat
e. Penyiapan lokasi evakuasi
f. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tentang
tanggap darurat bencana
Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.
4. Peringatan Dini (Early Warning)
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang (UU 24/2007) atau Upaya untuk memberikan tanda
peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi. Pemberian
peringatan dini harus : Menjangkau masyarakat (accesible), Segera (immediate),
Tegas tidak membingungkan (coherent), Bersifat resmi (official).

b. Tahap saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan bantuan darurat dan
pengungsian
1. Tanggap Darurat (Response)
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Beberapa aktivitas yang
dilakukan pada tahapan tanggap darurat ( UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 48
tentang Penaanggulangan Bencana).
2. Bantuan Darurat (Relief)
Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar berupa : Pangan, Sandang, Tempat tinggal
sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih.
c. Tahap pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi
1. Pemulihan (Recovery)
Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan
kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya
rehabilitasi. Beberapa kegiatan yang terkait dengan pemulihan.
2. Rehabilitasi (Rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
3. Rekonstruksi (Reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah langkah
nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun
kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik
di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan
rekonstruksi terdiri atas program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi
non fisik.

2.2 Konsep Trauma


Trauma pada korban bencana alam tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Agar korban
bencana dapat terus melanjutkan kehidupannya secara normal, maka diperlukan terapi
trauma/pemulihan trauma (trauma healing). Trauma healing adalah salah satu kebutuhan
utama bagi korban bencana. Dengan terapi trauma healing diharapkan korban bisa benar-
benar sembuh dari traumanya dan dapat menjalani kehidupannya sebagaimana sebelum
bencana terjadi. Trauma Healing sangat diperlukan di Indonesia yang merupakan Negara
rawan bencana alam, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa dan lain sebagainya. Bencana
alam tersebut banyak menimbulkan kerugian dan kesedihan pada korbannya. Bahkan tak
jarang pula korban bencana alam mengalami trauma berat akibat bencana. Ketakutan
terhadap bencana adalah reaksi yang sangat umum dialami oleh korban bencana. Terkadang
korban bencana mengalami pengulangan ingatan mengena bencana tersebut yang kemudian
dapat berkembang lebih serius menjadi rasa hilangnya emosi, atau bahkan mengalami
insomnia, dan waspada berlebihan. Pada anak-anak trauma terhadap bencana alam dapat
merenggut keceriaan anak. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan trauma
healing. terapi trauma healing dapat dilakukan dengan pemberian obat atau terapi psikis.
Pada prisnipnya trauma healing yang diberikn pada orang dewasa dan berbeda pada anak-
anak. Pada anak-anak trauma healing dapat dilakukan melalui beberapa metode, yang
pertama adalah melalui teknik play teraphy pada anak. Dengan menggunakan pla therapy
pada anak akan diajak mengatasi traumanya melalui media permainan. Metode lain yaitu
dengan terapi melalui tari, dengan tari anak dapat mengekspresikan emosi yang ada di dalam
dirinya. Hal ini dikarenakan tari bersifat rekreatif. (Ade Rahman, 2018)
Trauma merupakan suatu kejadian pisik atau emosional serius yang menyebabkan
kerusakan substansial terhadap pisik dan psikologis seseorang dalam rentangan waktu yang
relative lama (Weaver, Flannelly, dan Preston, 2003). Sementara trauma psikis dalam
psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilingkungan
seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau
menghindar. Di samping itu, trauma adalah suatu kondisi emosional yang berkembang
setelah suatu peristiwa trauma yang tidak mengenakkan, menyedihkan, menakutkan,
mencemaskan dan menjengkelkan, seperti peristiwa: pemerkosaan, peperangan, kekerasan
dalam keluarga, kecelakaan, bencana alam dan peristiwa-peristiwa tertentu yang membuat
batin tertekan (Lawson, 2001; Kinchin, 2007). Trauma psikis terjadi ketika seseorang
dihadapkan pada peristiwa yang menekan yang menyebabkan rasa tidak berdaya dan
dirasakan mengancam. Reaksi umum terhadap kejadian dan pengalaman yang traumatis
adalah berusaha menghilangkannya dari kesadaran, namun bayangan kejadian itu tetap
berada dalam memori.

2.2.1 Definisi Trauma


Trauma adalah tekanan emosional dan psikologis padaumumnya karena kejadian yang tidak
menyenangkan atau pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan.Kata trauma jugabisa
digunakan untuk mengacu pada kejadian yang menyebabkan stres berlebih. Suatu kejadian dapat
disebut traumatisbila kejadian tersebutmenimbulkan stres yang ekstrem dan melebihi
kemampuan individu untuk mengatasinya (Giller.1999).Orang bisa dikatakan mempunyai
Trauma adalah mereka harus mengalami suatu stres emosional yang besar dan berlebih sehingga
orang tersebut tidak bisa mengendalikan perasaan itu sendiri yang menyebabkan munculnya
trauma pada hampir setiap orang (Kaplan dan sadock,1997).
Sejumlah gejala yang dapat menandakan individu dengan pengalaman traumatis. Beberapa
gejala yang umum adalah mempunyai kenangan menyakitkan yang tidak mudah dilupakan,
mimpi buruk berulang akan kejadian traumatis,dan timbulnya kenangan akan kejadian traumatis
ketika melihat hal-hal yang terkait dengan kejadian tersebut. Dari segi kognitif, kenangan akan
kejadian traumatis dapat memicu perasaan cemas, ketakutan berlebih, dan perasaan tertekan
(American Psychiatric Association, 2013).Pada anak-anak gejala trauma dapat berupa kesulitan
tidur, perasaan takut ketika harus tidur sendiri, tidak ingin ditinggal sendirian meskipun untuk
waktu singkat, bersikap agresif ketika diajak membahas masa lalu, dan marah secara tiba-tiba.

2.2.2 Penyebab Trauma


Trauma disebabkan oleh kejadian yang begitu negatif hingga menghasilkan dampak
berkepanjangan pada stabilitas mental dan emosional individu.Sumber dari kejadian trauma
sendiri dapat berupa fisik ataupun psikologis. Beberapa kejadian traumatis yang umum
mencakup pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pengalaman akan bencana alam,
penyakit ataupun kecelakaan serius, kematian orang-orang yang dicintai, ataupun menyaksikan
suatu bentuk kekerasan (Allen, 2005).
Seorang individu tidak harus berada langsung dan terlibat secara langsung dalam
kejadian yang menyebabkan trauma.Individu juga dapat mengalami trauma ketika menyaksikan
suatu kejadian buruk dari jarak jauh.

2.2.3 Dampak Trauma


Salah satu dampak trauma pada individu, terutama anak-anak, terletak pada kemampuan
individu untuk membentuk hubungan interpersonal yang positif dan bermakna.Tokoh pengasuh
atau orangtua merupakan jendela bagi anak untuk memandang dunia sebagai hal yang aman
ataupun berbahaya. Anak yang mengalami kejadian traumatis berupa kekerasan oleh tokoh
pengasuh akan memandang dunia sebagai tempat yang berbahaya. Oleh karena itu, anak yang
memiliki pengalaman traumatis cenderung bersikap curiga pada orang-orang di sekitar mereka
dan mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan sosial ataupun romantis.
Selain dampak pada kognisi, kejadian traumatis juga memiliki dampak terhadap fisiologi
individu.Ketika berhadapan dengan situasi yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatis,
individu dapat menunjukkan nafas yang tidak teratur, detak jantung berlebih, ataupun mengalami
dampak psikosomatis seperti sakit perut dan kepala(Kolk, Roth, Pelcovitz, & Mandel, 1993).
Anak dengan sejarah kejadian trauma yang kompleks dapat dengan mudah terpancing
dan mengeluarkan reaksi berlebih akan stimulus-stimulus yang umumnya tidak berbahaya. Anak
tersebut juga akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya (misal sulit
menenangkan diri ketika marah) dan seringkali bertindak secara impulsif tanpa memikirkan
konsekuensinya. Oleh karena itu, anak yang mengalami trauma dapat berperilaku secara tidak
terduga dan ekstrem.Ia dapat bersikap agresif atau malah bersikap kaku dan penurut secara tidak
wajar(American Psychiatric Association,2013).
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa anak yang hidup dalam lingkungan traumatis,
seperti orangtua yang abusive, dan secara terus menerus berhadapan dengan stres akan
mengalami gangguan dalam perkembangannya. Daya tahan tubuh, sistem otak, dan jaringan
saraf pada anak tidak akan berkembang sempurna ketika ia beranjak dewasa.(Kaplan, Harold ,
Sadock, Benjamin, & Grebb, 1997)

2.2.4 Ciri-ciri Trauma


gejala dari fisik bisa seperti gangguan makan,gangguan tidur,disfungsi seksual,energy
yang rendah ataupun merasakan sakit terus menerus yang tidak bisa di jelaskan, ataupun bisa
juga gejala melalui Emosional dari anak bisa itu adanya perasaan depresi,putus asa,kecemasan
serangan panic,takut,kompulsif dan perilaku obsesif ataupun yang terakhir adalah penarikan diri
dari rutinitas normal. Bisa juga gejala yang ditimbulkan oleh trauma melalui kognitif adalah
penyimpangan memori terutama tentang trauma, kesulitan memberikan keputusan, penurunan
kemampuan untuk berkonsentrasi,merasa terganggu oleh lingkunga sekitar ataupun yang terakhir
adalah gejala seperti gangguan pada perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya
menjadi hiperaktif, impulsif, serta susah memusatkan perhatian.
Beberapa ciri lain seperti mengingat peristiwa masa lalu, gangguan tidur dikarenakan
mimpi buruk, cemas, marah, sedih, merasa bersalah, tidak merasakan simpati dan empati, sulit
percaya pada orang lain, panik, ketakutan. Beberapa ciri ciri tersebut juga dialami oleh Anak
pada LPKA. (Drever, 1987)

2.3 Model Konseling Trauma


Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban selamat yang
mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak. Anak-anak perlu
dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi
yang baru pula. Bagi orang tua, layanan konseling trauma akan membantu mereka memahami
dan menerima kenyataan hidup saat ini; untuk selanjutnya mampu melupakan semua tragedi
dan memulai kehidupan baru.Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan
konseling trauma bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan
modal awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang
dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin
menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan
kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah. Untuk mencapai efektivitas
layanan, konseling trauma dilakukan dengan dua format, yaitu format individual (untuk
korban yang tingkat stres dan depresinya berat), dan format kelompok (untuk individu yang
beban psikologisnya masih pada derajat sedang). (Herman Nirwana, 2012)
Sebelum pelaksanaan layanan konseling diberikan, langkah pertama adalah menciptakan
rasa aman (Weaver, dkk. 2003). Bagi individu yang mengalami trauma, dunia ini dirasa tidak
aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka memerlukan orang lain yang bisa memberikan
perlindungan dan rasa nyaman pada mereka, sehingga mereka merasa tidak sendirian dalam
hidup ini. Penciptaan rasa aman teresebut bisa dilakukan dengan mengadakan permainan yang
bias mendorong individu untuk melupakan sejenak peristiwa traumatis yang dialaminya. Bagi
individu yang mengalami trauma karena perampokan di tempat kerja, penciptaan rasa aman
bisa dilakukan dengan memberi izin untuk tidak masuk kerja dalam beberapa hari; dan bagi
yang kena rampok di rumah, bisa dilakukan dengan pindah rumah buat sementara.
Pendekatan klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan rasa
takut yang tidak adaptif (Prawitasari, 2011). Salah satu teknik yang digunakan secara luas
bagi klien yang mengalami masalah kecemasan karena peristiwa traumatis adalah disensitisasi
sistematik (Holden, dalam Locke, Myers, dan Herr, 2001; George dan Cristiani, 1995).
Prawitasari (2011: 159) menyebutnya dengan istilah “nirpeka beraturan”. Teknik ini
didasarkan atas prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah
bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar, dan untuk
mengubah, memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga melalui belajar. Oleh
sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bias dipelajari atau dikondisikan (Wolpe, dalam
Hock, 1999), dan proses ini disebut dengan terapi (Corey, 2012).
Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling untuk mengetahui
informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami latar belakang diri klien secara
komprehensif. Konselor harus mengidentifikasi gejala-gejala trauma atau PTSD yang dialami
oleh klien (Lawson, 2001) dengan menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa
khusus yang memicu rasa takut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien merasa nyaman, dan
rasa nyaman itu diciptakan oleh konselor.
Setelah penyulut kecemasan terdeteksi, konselor bersama klein menyusun daftar urutan
situasi yang menyulut kecemasan dalam bentuk hirarki, mulai dari situasi yang menimbulkan
kecemasan rendah sampai tinggi (Wolpe, dalam Hock, 1999; Holden, dalam Locke, Myers,
dan Herr, 2001). Jumlah tahapan atau hirarki urutan kecemasan yang disusun tergantung pada
tingkat kecemasan yang dialami klien, biasanya sampai lima, enam, atau lebih (Wolpe, dalam
Hock, 1999). “Dalam teknik ini, klien dilatih dulu untuk relaksasi kemudian secara bertahap
relaksasi ini dipasangkan dengan situasi yang menakutkannya sampai akhirnya ia dapat
mengatasi rasa takutnya” (Prawitasasi, 2011: 159).
Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh klien duduk dalam keadaan santai dan
nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut latihan rileksasi, yaitu proses
penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti lengan, tangan, wajah, perut, kaki, dan
lain sebagainya (Wolpe dalam Hock, 1999). Setelah klien merasa rileks, ia diminta untuk
membayangkan sesuatu yang paling sedikit menimbulkan kecemasan sesuai dengan hirarki
yang telah disusun. Apabila klien masih bias santai dalam membayangkan peristiwa tersebut,
konselor bisa bergerak maju dalam hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa
pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat itu pula skenario dihentikan
(Wolpe, dalam Hock, 1999). Klien disuruh membuka matanya dan disuruh duduk santai.
Apabila klien tidak bersedia melanjutkan pada hirarki kecemasan yang lebih tinggi,
konselor bersama klien membahas secara mendalam apa yang dialaminya, atau
melanjutkannya pada konseling berikutnya. Sebaliknya bila klien bersedia melanjutkan
konseling, pengendoran ketegangan dimulai lagi dan dilanjutkan dengan hirarki kecemasan
yang lebih tinggi lagi
2.4 Model layanan bimbingan
Berbagai model layanan bimbingan menurut Edi Purwanta (2010) dalam makalah
disampaikan pada Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Korban Erupsi Merapi
telah dikonstruksikan untuk membantu mereka, tetapi model yang sesuai sangat tergantung
pada masalah dan kondisi lingkungan pendukungnya (keluarga utamanya orangtua,
significant’ others yang membantu mereka). Salah satu model umum adalah Sequentially
Planned Integrative Counseling for Children (Model SPICC). Model ini merupakan model
integratif yang telah memperoleh dukungan riset sejak tahun 1995 (Geldard dan Geldard,
2010). Secara skuential model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Model SPICC ini bila digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Sequentially Planned Integratif Counseling for Children (SPICC)
Fase Proses yang dibutuhkan Pendekatan Metode/strategi
Fase 1  Anak bergabung dengan Konseling Berbagi cerita akan
konselor berbasis membantu anak-anak
 Anak mulai klien mulai merasa lebih baik
menceriterakan kisah
mereka

Fase 2  Anak melanjutkan kisah Terapi Memunculkan


mereka gestalt kesadaran anak-anak
 Kesadaran anak membuat anak-anak
terhadap masalah mulai mampu mengenali
meningkat masalah secara jelas,
 Anak-anak mulai berhubungan dengan
berhubungan dengan emosi dan melepaskan
emosi dan mungkin emosi tersebut
mengalami perasaan
terharu
 Anak-anak akan
membelokkan
pembicaraan dan
menunjukkan resistensi

Fase 3 Anak-anak Terapi Merekonstruksi dan


mengembangkan perspektif naratif menebalkan kisah yang
atau pandangan yang lebih dimasalahkan
berbeda terhadap dirinya. anak-anak dan
memperkuat perspektif
mereka
Fase 4  Anak-anak Terapi Proses menantang
berhubungan dengan perilaku pikiran yang tidak
keyakinan yang kognitif membantu
merusak diri menghasilkan
 Anak-anak mencari opsi perubahan sikap
dan pilihan

Fase 5 Anak-anak berlatih Terapi Merasakan sikap baru


merasakan dan perilaku dan menghasilkan
mengevaluasi sikapnya penguatan pada sikap
yang baru adaptif
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Kinchin, D. 2007. A Guide to Psychological Debriefing. London: Jessica Kingsley
Publishers.

Koentjoro, Budi Andayani. 2007. Recovery Kawasan Bencana: Perwujudan Trauma


Healing Melalui Kegiatan Psikologi dan Rohani. UNISIA No 63/XXX/I/2007

Latipun. 2014. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi “Pemulihan Trauma Berbasis
Komunitas: Pengalaman Indonesia dalam Intervensi Trauma Massal”. Volume
2 (3) 278-285

Nirwana, Herman. 2012. Konseking Trauma Pasca Bencana. Vol 15 No 2 (Desember


2012)

Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi Klinis:Pengantar terapan mikro & makro. Jakarta:
Penerbit Erlangga

Purwanta, Edi. 2010. Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Korban Erupsi
Merapi.

Rahman, Ade. 2018. Analisa Kebutuhan Program Trauma Healing Untuk Anak-Anak
Pasca Bencana Banjir Di Kecamatan Sungai Pua Tahun 2018 : Implementasi
Manajemen Bencana. Vol XII No 7 Juli 2018

Undang undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Weaver, A.J., Flannelly, L.T., dan Preston, J.D. 2003. Counseling Survivors of Traumatic
Events: A handbook for pastors and other helping professional. Avenue South,
Nashville: Abingdon Press.

Anda mungkin juga menyukai