GANGGUAN SKIZOFRENIA
Oleh :
PSIKOPATOLOGI KELAS C – 1
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
KERANGKA TEORI
1.2 Gejala
- Halusinasi
Halusinasi merupakan suatu pengalaman indrawi tanpa adanya
stimulasi dari lingkungan. Penderita skizofrenia seringkali
mengatakan bahwa dunia itu tampak berbeda bahkan tidak nyata
bagi mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk menyadari apa
yang sedang terjadi di sekeliling mereka. Halusinasi auditori lebih
sering terjadi daripada halusinasi visual. Ada beberapa tipe
halusinasi antara lain :
● Pasien skizofrenia mendengar jika pikiran mereka di
ucapkan oleh suara lain.
● Pasien skizofrenia mendengar jika ada suara-suara yang
saling berdebat.
● Pasien skizofrenia mendengar ada suara-suara yang
mengomentari perilaku mereka.
c. Gejala terdisorganisasi yang terdiri dari pikiran, bicara dan perilaku yang
kacau (Lambert & Naber, 2012).
- Berbicara
Disorganisasi berbicara juga dikenal sebagai gangguan
berpikir formal. Pada disorganisasi berbicara lebih merujuk pada
masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dalam
berbicara sehingga pendengar dapat memahami. Gangguan dalam
pembicaraan pernah dianggap sebagai simtom klinis dari
skizofrenia namun gangguan dalam pembicaraan ini tetap menjadi
salah satu kriteria diagnosis. Terdapat bukti yang dapat
mengindikasikan bahwa cara bicara dari pasien skizofrenia tidak
mengalami disorganisasi dan terjadinya disorganisasi dalam
pembicaraan tidak membedakan dengan skizofrenia dan psikosis
lain, misalnya terdapat pada gangguan mood.
- Perilaku Aneh
Perilaku aneh dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Pasien
skizofrenia dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi
singkat yang tidak dapat dimengerti. Selain itu, pasien memakai
baju yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak,
menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan
perilaku seksual yang tidak pantas. Mereka juga mengalami
kesulitan dalam melakukan tugasnya sehari-hari dan mereka
tampak kehilangan dalam mengatur dan mengontrol perilakunya.
d. Gejala/Simtom Lain
- Katatonia
Katatonia merupakan suatu abnormalitas motorik, seperti
melakukan suatu gerakan berulang kali dengan urutan yang aneh
dan terkadang kompleks seperti menggerakkan tangan jari ataupun
lengan yang tampak seperti memiliki tujuan tertentu. Peningkatan
energi yang sangat besar seperti sangat riang dan penggerakkan
anggota tubuh secara liar juga terjadi pada sebagian pasien. Selain
itu, dalam katatonik terdapat abnormalitas motorik berupa
melakukan suatu postur dan tetap dalam posisi yang lama untuk
waktu yang lama, hal tersebut disebut dengan imobilitas katatonik.
Contohnya adalah individu tersebut berdiri dengan satu kaki dan
tetap seperti itu pada waktu yang lama.
1. Karakteristik gejala
Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing
terjadi dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau
kurang bila telah berhasil diobati). Paling tidak salah satunya harus
(1), (2), atau (3):
⮚ Delusi atau Waham
⮚ Halusinasi
⮚ Bicara Kacau (contoh:sering melantur atau inkoherensi)
⮚ Perilaku yang sangat kacau atau katatonike
⮚ Gejala negatif, yaitu: ekspresi emosi yang berkurang atau
kehilangan minat
2. Disfungsi sosial atau pekerjaan
Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan,
terdapat satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang
berada jauh di bawah tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau
jika awitan pada masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk
mencapai beberapa tingkat pencapaian hubungan interpersonal,
akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
3. Durasi
Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6
bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan
gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi
kriteria A (gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala
prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau
residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala
negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A
yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (misal; keyakinan
aneh, pengalaan perseptual yang tidak lazim).
b. PPDGJ-IIII
Instrumen alat bantu diagnostik skizofrenia di Indonesia adalah
dengan menggunakan PPDGJ-III, berikut kriteria diagnosis skizofrenia:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau thought
insertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan thought
broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b. Delusion of control, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau delusion of influence yaitu
waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau delusion of passivitiy, yaitu waham tentang dirinya
tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang ”dirinya” dimana secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan
khusus); delusional perception, yaitu pengalaman inderawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya
bersifat mistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik antara lain (1) Suara halusinasi yang
berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
(2) Mendiskusikan perihal pasien-pasien di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau (3) Jenis suara
halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh;
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing
dan dunia lain);
2. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada
secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus.
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
e. Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase nonpsikotik prodromal)
f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam
diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial (Maslim, 2001).
1.4 Etiologi
a. Genetik
Dari beberapa literatur yang dapat meyakinkan bahwa suatu
predisposisi dari skizofrenia yang dapat diturunkan dari genetik. Terdapat
beberapa studi yang dapat memungkinkan adanya kriteria diagnostik.
- Studi Keluarga
Dapat dijelaskan bahwa dari kerabat pasien skizofrenia memiliki
resiko yang lebih tinggi dan resiko tersebut semakin tinggi bila
hubungan kekerabatannya semakin dekat. Namun, tidak hanya
dipengaruhi oleh gen yang sama tetapi juga dari pengalaman yang
sama. Perilaku orang tua yang menderita skizofrenia dapat
mengganggu bagi anak yang sedang mengalami pertumbuhan. Dengan
demikian, perilaku lingkungan tidak dapat diabaikan atas resiko
morbiditas yang lebih tinggi.
c. Psikososial
Berdasarkan beberapa temuan, dengan adanya stress, kekambuhan
dari berbagai macam kekambuhan pun meningkat. Ditemukan pula bahwa
penderita skizofrenia rentan akan stress. Hal tersebut dikarenakan stress
dapat menurunkan mood positif dan meningkatkan mood negatif. Kelas
sosial dan hubungan keluarga adalah stress dalam kehidupan yang
berpengaruh pada terjadinya skizofrenia.
Khususkan bila:
D. Intervensi
⮚ Penanganan Biologis
- Shock Therapy dan Psychosurgery
Sakel (1938) memperkenalkan praktek terapi bernama
coma-insulin therapy yang menyebabkan efek koma dengan
memberikan insulin dalam dosis tinggi. Sakel mengklaim
bahwa ¾ pasien skizofrenia yang ditangani dengan
coma-insulin therapy menunjukkan perbaikan signifikan,
namun beberapa penelitian tidak mendukung terapi ini karena
beresiko serius terhadap kesehatan pasien, bahkan pasien dapat
tidak sadar dan selanjutnya berimbas pada kematian. Sehingga
coma-insulin therapy secara bertahap ditinggalkan. Pada tahun
yang sama, Cerletti dan Bini menciptakan electroconvulsive
therapy (ECT) yang bekerja dengan cara memberikan efek
kejang dan ketidaksadaran sementara melalui aliran arus listrik
sebesar 70 dan 130 volts yang disalurkan melalui kepala ke
otak. Metaanalisis yang dilakukan oleh Tharyan (2002)
menyimpulkan bahwa separuh jumlah pasien yang ditangani
dengan ECT menunjukkan efektivitas minimal. Namun ECT
sedikit lebih efektif daripada pemberian obat-obatan
antipsikotik.
Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan lobotomi
prefrontalis yaitu prosedur pembedahan yang membuang
bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan
pusat otak bagian bawah. Berbagai laporan mengklaim tingkat
keberhasilan yang tinggi (Moniz, 1936). Kemudian selama 20
tahun sesudahnya, ribuan pasien yang mengidap gangguan
mental menjalani berbagai variasi psychosurgery. Prosedur
tersebut dilakukan terutama pada pasien yang perilakunya
agresif. Banyak pasien yang menjadi tenang dan dapat keluar
dari rumah sakit karena terapi ini. Namun pada tahun 1950an,
psychosurgery mulai ditinggalkan karena adanya terapi obat.
Selain itu, banyak pasien yang kehilangan kemampuan
kognitif dan kurang bertenaga setelah dilakukan pembedahan.
- Terapi Obat Tradisional
Obat-obatan pada skizofrenia ditemukan pada tahun
1950-an yang secara kolektif disebut obat antipsikotik atau
neuroleptik karena menimbulkan efek lain yang sama dengan
simtom-simtom penyakit neurologis.
a) Fenothiazin
Obat ini diciptakan oleh ahli kimia berkebangsaan jerman
diahir abad ke 19. Namun tidak mendapatkan banyak
perhatian sampai ditemukannya anti histamin yang
mengandung nukleus fenothiazin pada tahun 1940-an. Ahli
bedah berkebangsaan Prancis Laborit mempelopori
penggunaan anti histamin untuk mengurangi syok karena
pembedahan. Obat ini menimbulkan efek kantuk dan
ketakutan menghadapi operasi berkurang.
b) Khlorpromazin (Thorazine)
A. Pengertian
E. Etiologi
Terdapat berbagai hipotesis dari penyebab terjadinya katatonia,
walaupun belum ditemukan penyebab pastinya. Defisiensi cotical
gamma-aminobutyric (GABA), yaitu inhibitor utama bada
neurotransmitter pada otak, menyebabkan terjadinya ‘top-down
modulation’ pada bangsal ganglia, dimana hal ini menyebabkan efek
therapeutic pada penggunaan benzodiazepines yang dapat
meningkatkan aktivitas GABA. Selain itu katatonia juga dapat
disebabkan oleh penutupan dopamine secara tiba-tiba dan
besar-besaran. Karena ditemukan bahwa pemberian
dopamine-blocking antipsychotics tidak memberikan keuntugnan
(Rajagopal, 2007). Di dalam dalam evolusi, manusia zaman dulu
berhadapan dengan predator karnivora yang memiliki insting yang
dipicu oleh gerakan. Hanya saja respon ketakutan tersebut ditetapkan
pada situasi zaman ini. Genetik pun menjadi salah satu etiologi dari
katatonia. Individu dengan keluarga yang memiliki penyakit psikiatrik
mengalami katatonia. Berdasarkan studi Ramdurg dkk. (2013), genetik
memiliki hubungan dengan katatonia dengan hasil studinya yakni
16.4% individu dengan katatonia memiliki histori keluarga dengan
penyakit psikiatrik.
C. Pengukuran dan Diagnosis
Katatonia dapat diukur menggunakan beberapa alat ukur. Bush-Francis
Catatonia Rating Scale (BFCRS) adalah suatu skala berisi 23-item yang
dapat mendefinisikan tanda-tanda katatonik, menilai keparahan, dan
merupakan skema terstandar untuk pemeriksaan klinis. Alat tersebut
dibuat pada 1996. Terdapat pula versi singkat dari skala Bush-Francis,
yakni Bush-Francis Catatonia Screening Instrument (BFCSI) dimana
hanya terdapat 14 item dalam skala tersebut. Skala Bush-Francis
merupakan alat yang paling valid, realibel, dan mudah diantara alat-alat
lain yang dapat mengukur katatonia (Nunes L, dkk., 2017).
D. Intervensi
Electroconvulsive therapy atau ECT adalah salah satu dari terapi yang
digunakan untuk menangani gangguan-gangguan mental seperti depresi,
bipolar, schizophrenia, dan lain-lain, melalui pemberian arus listrik pada otak.
Arus listik tersebut dapat menghilangkan symptom dari gangguan yang
diderita. Pemberian arus listik tersebut tidak akan menimbulkan sakit ataupun
tidak nyaman. Secara umum, ECT diawali dengan pemeriksaan pada individu
yang akan medapatkan ECT. Kemudian individu tersebut ditidurkan dengan
memberi anesthesia. Setelah itu electro-pads akan diletakkan di beberapa
area di kepalanya. Mesin ECT pun dinyalakan dan terjadi pengaliran arus
listrik terkontrol selama beberapa detik. Aktivitas otak individu tersebut
direkam oleh Electroencephalogram (EEG) dimana akan terlihat peningkatan
aktivitas otak secara tiba-tiba setelah ECT dinyalakan. Setelah itu, individu
tersebut akan dibawa ke area pemulihan dan efek anesthetic akan berakhir
pada individu tersebut, yang dimana menyebabkan individu tersebut
terbangun. Terakhir, kebanyakan individu akan ada diberi anti-depressant dan
medikasi lainnya
A. Pengertian
B. Gejala
C. Etiologi
- Keturunan
Adanya resiko skizofrenia 4 kali lebih besar dengan ibu penderita
schizophrenia. Komplikasi kehamilan yang lebih besar akan
terkait dengan hypoxia dan usia kehamilan yang lebih besar akan
terkait dengan risiko yang lebih besar dari skizofrenia pada janin
yang berkembang. Kesukaran parental seperti, stress, infeksi, mal
nutrisi, diabetes maternal dan kondisi medis lainnya berpengaruh
dengan skizofrenia. (APA, 2013)
- Biologis
Skizofrenia diakibatkan oleh berlebihnya kadar dopamin dalam
otak atau meningkatnya sensitivitas reseptor dopamin berkadar
normal. Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan pada sistem syaraf
otak yang dapat dintujukkan dengan adanya pelebaran ventrikel
otak dan penyempitan volume lobus temporal dan frontal dari hasil
pemindaian otak.
- Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor penyebab
skizofrenia antara lain adalah anak yang diperlakukan oleh ibu
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tidak berperasaan,
sedangkan ayahnya mengambi jarak dengan anaknya.
- Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan skizofrenia
pada seseorang. Hal ini dapat dijelaskan dengan selection-drift
hypothesis yaitu pemicu skizofrenia dapat dicegah dengan
mencapai kelas sosial yang lebih tinggi (APA, 2013) atau faktor
terkait kondisi lingkungan kelas bawah seperti pekerjaan
berbahaya, kondisi ibu hamil yang kurang baik, serta kesadaran
akan pentingnya menjaga diri dari stressor psikologis. Kurangnya
interaksi dan afektif yang terjalin dalam keluarga juga merupakan
salah satu faktor pemicu timbulnya skizofrenia.
D. Pengukuran dan Diagnosis
- Delusi
- Halusinasi
- Berbicara tidak teratur
- Motorik kasar tidak teratur atau perilaku katatonik
- Simptom negatif
- Untuk porsi waktu tertentu sejak gejala muncul, beberapa level ranah
seperti kerja, relasi interpersonal, atau perawatan diri berada pada
tingkatan lebih rendah sebelum gejala muncul (bila pada anak- anak
dan remaja, terdapat kegagalan untuk mencapai level interpersonal,
akademik, dan fungsi bekerja yang diharapkan)
- Tanda-tanda gangguan berkesinambungan berlangsung selama
sekurang-kurangnya 6 bulan. Selama masa enam bulan ini harus
mencakup sekurang-kurangnya 1 bulan gejala (atau kurang bila dapat
ditangani) yang sesuai dengan Kriteria A dan mungkin mencakup
periode simptom prodromal dan residual.
- Tidak termasuk Schizoaffective disorder atau bipolar disorder with
psychotic features karena 1) tidak ada major depressive atau manic
episode yang muncul bersamaan dengan gejala fase aktif. 2) bila
episode mood muncul ketika gejala fase aktif, gejala tersebut juga
muncul sebagai gejala minor dari total waktu keseluruhan periode aktif
dan residual.
- Kelainan tidak diatribusikan dengan efek fisiologis dari sebuah zat
seperti penggunaan obat terlarang maupun sebuah pengobatan atau
kondisi medis lainnya.
- Bila terdapat riwayat kelainan spektrum autism atau kelainan komunikasi
pada masa kanak-kanak, maka diagnosis tambahan skizofrenia hanya bila
halusinasi atau delusi menonjol muncul sekurang-kurangnya 1 bulan
(atau kurang bila ditangani).
Khususkan bila:
Faktor spesifikasi hanya digunakan setelah durasi kelainan 1 tahun dan
bila tidak bertentangan dengan kriteria diagnostik:
- First episode, currently in acute episode 🡪 manifestasi pertama
kali dipadukan dengan gejala diagnostik dan kriteria waktu.
Episdoe akut adalah masa dimana kriteria gejala dipenuhi.
- First episode, currently in partial remission 🡪 Partial remission
adalah masa dimana terdapat peningkatan dari episode sebelumnya
dan ketika kriteria hanya dipenuhi sebagian.
- First eipsode, currently in full remission 🡪 Full remission adalah
masa dimana tidak terdapat gejala diagnostik.
- Multiple episodes, currently in acute episode 🡪 Multiple episode
dapat dipastikan setelah minimal dua episode (First episode,
remisi, dan minimal satu relaps).
- Multiple episodes, currently in partial remission
- Multiple episodes, currently in full remission
- Continuous 🡪 Gejala terpenuhi dan masih ada sebagai Mayoritas
masa penyakit, dengan ambang antar periode sangat sedikit
- Tidak terspeksifikasi
- Intervensi
⮚ Penanganan Biologis
⮚ Shock Therapy dan Psychosurgery
Sakel (1938) memperkenalkan praktek terapi bernama
coma-insulin therapy yang menyebabkan efek koma dengan
memberikan insulin dalam dosis tinggi. Sakel mengklaim bahwa ¾
pasien skizofrenia yang ditangani dengan coma-insulin therapy
menunjukkan perbaikan signifikan, namun beberapa penelitian
tidak mendukung terapi ini karena beresiko serius terhadap
kesehatan pasien, bahkan pasien dapat tidak sadar dan selanjutnya
berimbas pada kematian. Sehingga coma-insulin therapy secara
bertahap ditinggalkan. Pada tahun yang sama, Cerletti dan Bini
menciptakan electroconvulsive therapy (ECT) yang bekerja dengan
cara memberikan efek kejang dan ketidaksadaran sementara
melalui aliran arus listrik sebesar 70 dan 130 volts yang disalurkan
melalui kepala ke otak. ECT sedikit lebih efektif daripada
pemberian obat-obatan antipsikotik.
Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan lobotomi
prefrontalis yaitu prosedur pembedahan yang membuang
bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat
otak bagian bawah. Berbagai laporan mengklaim tingkat
keberhasilan yang tinggi. Kemudian selama 20 tahun sesudahnya,
ribuan pasien yang mengidap gangguan mental menjalani berbagai
variasi psychosurgery. Prosedur tersebut dilakukan terutama pada
pasien yang perilakunya agresif. Banyak pasien yang menjadi
tenang dan dapat keluar dari rumah sakit karena terapi ini. Namun
pada tahun 1950an, psychosurgery mulai ditinggalkan karena
adanya terapi obat. Selain itu, banyak pasien yang kehilangan
kemampuan kognitif dan kurang bertenaga setelah dilakukan
pembedahan.
⮚ Terapi Obat Tradisional
Obat-obat an pada skizofrenia ditemukan pada tahun 1950-an
yang secara kolektif disebut obat antipsikotik atau neuroleptik
karena menimbulkan efek lain yang sama dengan simtom-simtom
penyakit neurologis.
▪ Fenothiazin
Obat ini diciptakan oleh ahli kimia berkebangsaan jerman
diahir abad ke 19. Namun tidak mendapatkan banyak perhatian
sampai ditemukannya anti histamin yang mengandung nukleus
fenothiazin pada tahun 1940-an. Ahli bedah berkebangsaan
Prancis Laborit mempelopori penggunaan anti histamin untuk
mengurangi syok karena pembedahan. Obat ini menimbulkan
efek kantuk dan ketakutan menghadapi operasi berkurang.
▪ Khlorpromazin (Thorazine)
Obat ini merupakan suatu derivat baru Fenothiazin. Pertama kali
digunakan secara terapeutik di Amerika Serikat pada tahun 1954
dan segera menjadi terapi pilihan untuk skizofrenia karena obat
ini terbukti sangat efektif untuk menenangkan pasien
skizofrenia.
▪ Butirofenon dan thioksantin
Obat ini secara umum tampak sama efektifnya dengan
Fenothiazin dan memiliki cara kerja yang sama. Berbagai
kelompok obat tersebut dapat mengurangi simtom-simtom
positif skizofrenia, namun hanya sedikir efeknya atau bahkan
tidak memberi efek bagi simtom negatif.
▪ Obat-obat Tambahan
Obat-obat yang digunakan sebagai tambahan, yaitu diberikan
bersama dengan psikotik untuk menangani depresi atau
kecemasan atau untuk menstabilkan mood. Obat-obat
tambahan ini mencakup lithium, anti depresan, anti konvulsan,
dan obat penenang.
Dosis pemeliharaan diberikan pada pasien yang merespon
positif terhadap obat-obatan anti psikotik untuk
mempertahankan efek terapiutik. Para pasien membasa
obat-obat tersebut dan kembali ke rumah sakit secara berkala
untuk mendapatkan penyesuaian pada dosis. Meskipun
demikian, para pasien yang sudah keluar dari rumah sakit dan
tetap mendapatkan pengobatan mungkin hanya menjadi
kelompok marjinal dalam masyarakat. Mereka mungkin tidak
banyak memiliki hubungan sosial. Contohnya, mereka tidak
mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya mampu mereka
dapatkan bila tidak menderita skizofrenia.
Efek samping antipsikotik tradisional:
⮚ Penanganan Psikologis
Ada beberapa macam penanganan schizophrenia dengan
pendekatan psikologis, yaitu:
- Terapi Psikodinamika
Para penderita skizofrenia tidak mampu mengembangkan
kemampuan interpersonalnya. Harry Stack Sullivan yang
merupakan seorang psikiater berpendapat bahwa skizofrenia
merupakan suatu kondisi dimana seseorang kembali ke komunikasi
awal yaitu pada masa kanak–kanak. Ego yang lemah pada
penderita skizofr
enia menyebabkan mereka tidak mapu mengatasi stress ekstrem
dalam berbagai tantangan interpersonal. Maka dari itu pasien
mempelajari bentuk komunikasi dewasa dan memperoleh insight
pada masa lalunya. Sullivan menyarankan untuk membentuk
hubungan kepercayaan yang bertahap dan tidak mengancam.
Suatu pendekatan ego-analisis juga diutarakan oleh Frieda
Fromm-Reich-mann yang berpendapat bahwa perilaku menyendiri
pada penderita skizofrenia merupakan cerminan keinginan untuk
menghindari berbagai penolakan yang pernah dialami pada masa
kanak –kanak dan kemudian dianggap tidak dapat dihindarkan. Hal
ini harus ditangani dengan sangat sabar dan optimism besar.
- Pelatihan Keterampilan Sosial
Intervensi psikososial mengambil langkah lebih aktif yang
berfokus pada masa sekarang dan berorientasi pada kenyataan.
Terapis berusaha membantu pasien dan keluarganya mengatasi
secara langsung berbagai mssalah yang ada dalam sehari – hari
mereka hadapi dalam melakukan coping dengan penyakit yang
mengganggu dan melemahkan.
Pada pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk mengajari
para penderita skizofrenia untuk dapat berhasil dalam situasi
interpersonal yang sangat beragam misalnya keterampilan
kehidupan yaitu mmesan makanan direstoran, mengisi formolir,
belajar melakukan wawancara dan lain sebagainya,. Ketrampilan
kehidupan tersebut bukan hal yang mudah yang dapat dilakukan
oleh penderita skizofrenia, para penderita harus berusaha keras
untuk menguasainya kembali atau kembali menguasainya.
- Terapi Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi
▪ Memberikan edukasi tentang skizofrenia, kerentangan biologis
yang mempredisposisi seseorang terhadap penyakit, masalah
kognitif, simtom–simtomnya, dan tanda –tanda akan terjadinya
kekambuhan. Hal tersebut diberitahukan kepada keluarga guna
membantu mengurangi kecenderungan para anggota keluarga
terlalu mengkritik anggota keluarga yang menderita skizofrenia,
mengurangi stress pada penderita skizofrenia dan mencegah
memburuknya kondisi.
▪ Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan
antipsikotik. Memberitahukan kepada pihak keluarga akan
pentingnya penderita skizofrenia meminum obat–obat
antipsikotik dan mencaritau akan efek samping obat–obat
tersebut, selain itu memiliki inisiatif untuk melakukan konsultasi
medis.
▪ Menghindari saling menyalahkan, mendorong keluarga untuk
tidak menyalahkan dirinya sendiri maupun si penderita atas
penyakit tersebut dan atas kesulitan yang telah terjadi pada
keluarga akan penyakit tersebut.
▪ Memperbaiki komunikasi dan keterampilan penyelesaiaan
masalah dalam keluarga. Terapi mengajarkan kepada keluarga
akan mengekspresikan perasaan positif dan negative secara
konstruktif, empatik, dan tidak menuntut, buakan dengan
menuding, mengkritik, atau terlalu melindungi. Dan terapis juga
mengurangi ketegangan yang terjadi ditengah keluarga untuk
menyelesaikan maasalah di kehariaannya.
▪ Memperluas kontak sosial.
▪ Menanamkan sebuah harapan tentang sesuatu hal dapat menjadi
lebih baik.
- Terapi Kognitif Behavioral
a. Terapi personal (Personal Teraphy)
Suatu pendekatan kognitif behavioral berspektrum luas terhadap
multiplisitas masalah yang di alami oleh pasien skizofrenia saat
setelah keluar dari rumah sakit. Terapi ini dilakukan dengan cara
satu per satu ataupun dalam kelompok kecil. Mengajari pasien
bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai. Selain itu juga
diajarkan untuk meperhatikan tanda – tanda kekambuhan meskipun
kecil.
b. Terapi perilaku rasional emotif
Membantu pasien mencegah berbagai frustasi dan tantangan yang
tidak dapat terhindarkan dari kehidupan dan akan menjadi bencana
dan dapat membantu menurunkan kadar stress. Selain itu juga
diajarkan untuk relaksasi otot yang berguna untuk belajar
mendeteksi kecemasan atau kemarahan yang berkembang secara
perlahan dan akan mengendalikannya menjadi lebih baik.
c. Terapi Reatribusi (Reatribution Theraphy)
Membantu para pasien skizofrenia agar tidak menganngap sesuatu
hal yang tidak sesuai dengan mestinya menjadi sebuah bencana bagi
dirinya. Melalui diskusi kolaboratif yang dimana pasien dibantu
dalam memaknai nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid
sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya yang
berbahaya.
d. Mengamati Fungsi – fungsi kognitif Dasar
Fokus pada upaya menormalkan fungsi – fngsi kognitif fundamental
yaitu perhatian dan memori yang dapat melemahkan pasien
skizofrenia dan berhubungan dengan adaptasi sosial yang kurang
baik. Tujuannya adalah menyusun berbagai strategi intervensi yang
memaksimumkan pengguna fungsi – fungsi kognitif yang relatif
tidak terkena kerusakan karena skizofrenia seperti mengingat dan
memahami.
1.5.4 Skrizofenia Tidak Terspesifikasi
A. Pengertian
B. Gejala
1. Gejala umum dari schizophrenia yang tidak sesuai dengan
klasifikasi tertentu atau diagnosis subtipe lain
2. Menunjukkan gejala "positif" dan "negatif", tetapi mereka
dapat berfluktuasi selama periode waktu
C. Pengukuran dan Diagnosis
Dokter harus memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk
mengenali variasi halusinasi atau delusi pasien untuk membuat
diagnosis yang akurat. Riwayat menyeluruh, informasi jaminan
dari rekanan dan kolaborasi staf medis yang menyediakan
pemeriksaan toksikologi urin atau pemeriksaan neurologis juga
dapat diindikasikan.
Pedoman Diagnostik (Menurut PPDGJ - III) :
⮚ Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
⮚ Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
paranoid,hebefrenik, atau katatonik.
⮚ Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau
depresi pasca skizofrenia.
D. Intervensi
Intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan diagnosa yang ada
mengenai Schizophrenia Tidak Terspesifikasi
1. Farmakoterapi
2. Psikoterapi
3. Sosioterapi
1.6 Perkembangan Psikopatologi Terhadap Psikotik Sejak Masa
Kanak-Kanak
A. Masa kanak-kanak awal
Pada masa kanak-kanak awal (sejak lahir hingga 6-7 tahun), anak
masih sangat tergantung pada pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhan
fisik dan psikologisnya, oleh karena itu mereka mengembangkan
kelekatan dengan pengasuhnya, biasanya ibunya. Hubungan antara
anak dengan pengasuhnya dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya,
dimana ciri kemampuan kognitif anak pada usia ini adalah pola pikir
pre-operasional (Mc Devitt & Ormrod, 2002 dalam Vernon, 2009).
Dalam masa ini, anak belajar lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang
mereka lihat atau dengar daripada hasil logika berpikir mereka. Oleh
karena itu mereka akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal
yang bersifat abstrak, contohnya seperti kesulitan memahami apa dan
bagaimana makna kematian.
Dalam hal perkembangan diri, mereka masih berada dalam fase
egosentris, artinya mereka berasumsi bahwa semua pikiran dan
perasaan semua orang sama atau merujuk pada pikiran dan perasaan
mereka, sehingga mereka sulit memahami situasi dari perspektif orang
lain (Vernon, 2009). Secara emosional, mereka sedang berproses untuk
mengenali berbagai bentuk perasaan dan emosi, serta emosi apa dan
bagaimana yang perlu ditunjukkan dalam suatu konteks situasi. Lebih
lanjut, keterbatasan perbendaharaan kata dan kepekaan penggunaan
kata yang dimiliki mereka masih terbatas, karena itu mereka juga sering
menggunakan perilaku untuk mengungkapkan emosi atau perasaan
mereka, contohnya: menangis dan melempar barang sebagai tanda
perasaan marah. Oleh karena itu, anak pada masa kanak-kanak awal
perlu mengembangkan kelekatan yang kuat (secured attachment)
dengan pengasuhnya, dimana pengasuh akan berperan penting sebagai
pemberi struktur dan sebagai panduan belajar dalam memahami dan
mengendalikan emosi anak (Edleson, 1999).
Pada usia ini anak masih sangat bergantung pada pengasuhnya atas
segala aspek kehidupan mereka, maka jika ada pengaruh negatif bisa
menimbulkan stress yang dialami balita muncul dalam berbagai gejala
seperti: mudah menangis, kurang berkembang atau mundurnya
kemampuan berbahasa dan toilet training (Osofsky, 1999); gangguan
tidur, serta persoalan kelekatan dimana anak mudah takut dan stress
jika ditinggal pengasuhnya (Lundy & Grossman, 2005). Juga
ditemukan gejala psikosomatis seperti sakit kepala, sakit perut, asma,
insomnia, mimpi buruk, tidur sambil berjalan, dan eneuresis
(Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008).
Gejala-gejala psikosomatis ini merupakan indikasi usaha ego mereka
untuk melepaskan diri dari rasa takut atau kecemasan mereka.
B. Masa Usia Sekolah
Pada masa usia sekolah (6-12 tahun) anak mengembangkan
kemampuan pemahaman emosi yang lebih kompleks. Oleh karena itu,
mereka menjadi lebih mampu merasakan apa dan bagaimana perasaan
mereka dan juga mampu memahami bagaimana perasaan orang lain.
Secara kognitif mereka juga mulai bergerak dari pola pikir
pra-operasional menuju operasional konkret; dimana kemampuan
berpikir menjadi lebih logis dan kemampuan memecahkan persoalan
menjadi lebih baik. Kemampuan bahasa berkembang melalui eksplorasi
dalam interaksi sosial. Akan tetapi, karena pola pikir yang masih
konkret, masih belum memungkinkan mereka untuk mengolah hal-hal
abstrak. Akibatnya, dalam berpikir mereka cenderung melompat pada
simpulan tertentu tanpa berpikir untuk melihat berbagai kemungkinan
atau alternatif lain terlebih dahulu (Vernon, 2009). Contohnya, jika ibu
tidak memeluk saya seperti yang biasanya ia lakukan sebelum tidur,
maka anak berpikir bahwa ada sesuatu yang ia lakukan sehingga
membuat ibunya marah dan tidak mau memeluknya. Secara personal,
perkembangan diri mereka berkembang dari pemahaman akan
atribut-atribut yang mereka miliki. Atribut psikologis atau fisik seperti,
“saya pintar”, atau “saya pendek” menjadi dasar pengembangan
kompetensi dan harga diri (self-esteem) mereka. Pada masa ini, secara
emosional mereka menjadi kritis terhadap diri sendiri dan peka
terhadap masukan dari orang lain; oleh karena itu mereka mampu
mengembangkan emosi kompleks seperti rasa bersalah, malu dan harga
diri (Cole & Cole, 1996 dalam Vernon, 2009).
Pada usia sekolah, efek yang paling sering terlihat adalah kurang
berkembangnya kemampuan sosial dan agresif, kesulitan menyesuaikan
diri dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, munculnya perasaan
sedih dan depresi (Grossman, 2005 dalam Vernon, 2009). Persoalan
yang paling besar mungkin adalah permasalahan dengan kemampuan
sosial anak. Anak dengan keterbatasan kemampuan sosial dapat
menjadi lebih reaktif-agresif atau menarik diri secara sosial; akibatnya
mereka sering dilaporkan menjadi pelaku atau korban dari bullying
(Bauer dkk., 2006). Lebih lanjut anak-anak ini dapat mengalami
kesulitan untuk mengikuti peraturan di sekolah, kurang mampu
mengembangkan relasi yang bermakna dengan teman sebaya dan sulit
mempercayai guru.
C. Masa Remaja
Periode remaja berlangsung dari usia pubertas hingga usia
kemasakan dewasa (11-12 tahun hingga 18 tahun). Pubertas ditandai
dengan perubahan fisik dan hormonal. Secara kognitif, terjadi transisi
secara bertahap dari pola piker operasional konkrit menuju operasional
formal, dimana kematangan berpikir ditandai dengan kemampuan
berpikir abstrak, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah
dan kemampuan mengkaji persoalan dari berbagai perspektif (Kaplan,
2000 dalam Vernon, 2009). Namun perlu dipahami bahwa pencapaian
kematangan berpikir biasanya dicapai pada periode akhir masa remaja,
dan waktu pencapaian kematangan berpikir ini sangat dipengaruhi oleh
perbedaan individual. Sedangkan seorang remaja muda (12-14 tahun),
kemampuan penalaran yang lebih tinggi belum tentu ikut disertai
pemahaman yang menyeluruh atas suatu situasi, misalnya: walau tahu
orang tuanya tidak memperbolehkan pulang malam, remaja mudah
akan mencoba menolak hukuman jika ia melanggar peraturan tersebut.
Secara personal, remaja berusaha untuk membentuk pribadi yang unik
dan lebih otonom.
Pada remaja muda, usaha individuasi ini masih sering berkonflik
dengan kebutuhan mereka yang masih tergantung pada orang tua baik
secara ekonomi, psikologis dan sosial. Kebutuhan menjadi diri sendiri
juga sering bersitegang dengan kebutuhan diterima oleh kelompok
teman sebaya dan teman dalam relasi intimnya. Akibatnya mereka
menjadi peka dan cenderung reaktif emosional terhadap persoalan yang
berkaitan dengan orang tua dan remaja sebayanya.
Pada remaja menengah-akhir (15-18 tahun), kemampuan berpikir
secara formal telah berkembang sehingga lebih mampu melakukan
perencanaan tentang masa depan yang lebih realistis. Secara personal,
mereka berproses untuk mengembangkan identitas dan kemandirian,
seiring dengan ini remaja juga mengalami tuntutan peran baru baik
secara seksual, psikologis dan sosial sebagai individu yang berproses
menuju kedewasaan. Kesuksesan dalam proses ini akan mempengaruhi
tingkat kepercayaan diri-nya (self confident). Didukung dengan
kedewasaan berpikir, remaja akhir lebih mampu mengendalikan emosi
dan perasaannya daripada remaja muda (Vernon, 2009).
Pada usia ini remaja masih mungkin melakukan perilaku yang
tidak konsisten antara sikap dan perilaku, contohnya: mengetahui
bahwa ia belum siap melakukan perilaku seksual namun ketika diminta
oleh pacarnya akhirnya melakukan perilaku seksual. Hal ini terjadi
bukan karena keterbatasan kognitif sehingga mereka tidak mampu
berpikir tentang alternatif lain, namun lebih dikarenakan keterbatasan
pengalaman sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang kurang
tepat.
Berbagai penelitian menunjukkan remaja yang mengalami psikotik
menunjukkan banyak persoalan dalam relasi sosialnya, mereka
mengalami kesulitan membentuk relasi intim yang sehat baik dengan
teman sebaya maupun dengan teman dalam relasi intimnya
(Levendosky, Huth-Bocks, & Semel, 2002). Memiliki masalah
kelekatan sosial terutama munculnya sikap sosial menjauh (avoidant
attachment style) yang berarti bahwa mereka memiliki tingkat
kepercayaan sosial yang rendah pada orang lain (Levendosky dkk.,
2002). Hal ini terjadi karena mereka melakukan sikap terhadap relasi
sosial yang telah dipelajari dari lingkungan keluarganya.
⮚ Genetik (Heredity)
⮚ Pengaruh Neurotrasmiter
Yaitu suatu zat kimia yang terdapat di otak yang berfungsi sebagai
pengantar implus antar neuron (sel saraf) yang sangat terkait dengan
penelitian berbagai macam obat–obatan yang bekerja pada susunan
saraf.
Contohnya perubahan aktivitas mental, emosi, dan perilaku yang
disebabkan akibat pemakaian zat psikoaktif.
⮚ Schizophrenia
⮚ Lingkungan : untuk musim tertentu telah dikaitkan dengan
kejadian schizophrenia, termasuk akhir musim dingin ataun awal
musim semi di beberapa lokasi dan musim panas untuk
membentuk defisit penyakit. Insiden schizophrenia lebih tinggi
risikonya terhadap anak-anak yang tumbuh di lingkungan
perkotaan dan untuk beberapa kelompok etnis minoritas.
⮚ Genetik dan fisiologis : ada kontribusi yang kuat untuk faktor
genetik dalam menentukan risiko schizophrenia, meskipun
sebagian besar individu yang telah didiagnosis dengan
schizophrenia tidak memiliki riwayat keluarga psikosis.
Komplikasi kehamilan dan kelahiran dengan hipoksia dan usia
ayah yang lebih besar dikaitkan dengan risiko schizophrenia yang
lebih tinggi untuk janin yang sedang berkembang. Selain itu,
kesulitan prenatal dan perinatal lainnya, termasuk stress, infeksi,
malnutrisi, diabetes ibu, dan kondisi medis lainnya telah dikaitkan
dengan schizophrenia. Namun, sebagian besar keturunan dengan
faktor-faktor risiko ini tidak mengembangkan schizophrenia
⮚ Schizoaffective Disorder
⮚ Genetik dan fisiologis : diantara individu dengan
schizophrenia, mungkin ada peningkatan risiko gangguan
schizoaffective pada kerabat tingkat pertama. Risiko untuk
gangguan schizoaffective mungkin meningkat diantara individu
yang memiliki kerabat tingkat pertama dengan schizophrenia,
gangguan bipolar, atau gangguan schizoaffective.
BAB II
ANALISA KASUS
Subjek : Tn. A
Agama : Islam
Alamat : Cakung
Dari kasus tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa etiologi dari kasus tersebut
adalah :
- Terapi Farmakologi
Rencana terapi yang diberikan adalah Psikofarmaka :Haloperinol
5mg 3x1, Chlorpromazin 100 mg 1x1 untuk malam hari,
Trihexilphrenidil 2mg 3x1. Akan diadakan evaluasi selama 2 minggu
penggunaan obat tersebut. Jika pasien tidak ada perubahan akan
ditingktkan dosis penggunaan obat.
- Psikoterapi dan Psikoedukasi
• Edukasi pentingnya minum obat secara teratur dan kontrol rutin
setiap bulan.
• Jika ada suara-suara jangan dipedulikan.
• Bila pada saat keluhan datang dan pasien merasa ketakutan, pasien
dapatmencari perlindungan dari anggota keluarganya atau jika
masih mengganggu juga segera kontrol ke dokter.
• Mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatif dengan mengisinya
dengankegiatan positif yang bermanfaat.
• Lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
● Diagnosis Aksis I
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan dalam menilai realita, yang
ditandai dengan adanya riwayat halusinasi visual, auditorik, olfaktorik,
taktil,gustatorik, delusion of reference , delusion of control, thought
broadcasting,thought withdrawal. Maka pasien termasuk gangguan
psikotik (F.20).
Pada pasien ini ditemukan adanya riwayat halusinasi merasa ada yang
mengejarnya dan ingin membunuhnya. Maka pasien ini dikatakan
menderitagangguan skizofrenia paranoid (F20.0).
● Diagnosis Aksis II
Pada anamnesis pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien ini tidak
ditemukan riwayat.Maka pada aksis III tidak ada diagnosis.
● Diagnosis Aksis IV
● Diagnosis Aksis V
BAB III
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, kelompok kami dapat
menyimpulkan bahwa Skizofrenia adalah suatu gangguan mental yang
ditandai oleh abnormalitas dari satu atau lebih dari 5 domain : delusi,
halusinasi, berbicara tidak teratur, gerak motorik kasar abnormal, dan simptom
negatif. Skizofrenia ditandai dengan penderitanya mengalami gangguan pada
pikiran, persepsi, emosi, dan perilaku. Umumnya penderita Skizofrenia
memiliki pemikiran- pemikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan
biasanya memiliki dunianya sendiri atau kehidupan fantasi yang merupakan
delusi dan halusinasi penderita. Sehingga membuat penderita Skizofrenia
sulit membedakan antara dunia nyata dengan dunia fantasi atau pemikiran
mereka sendiri. Skizofrenia pada umunya dapat terjadi melalui 3 peluang
besar, yaitu melalui genetik/keturunan, proses biokimia pada otak, serta
kondisi psikososial seseorang.
Terdapat banyak jenis skizofrenia, yaitu mulai dari Skizofrenia Hibefrenik
yang berdampak paling parah pada penderitanya karena dapat menyebabkan
sang penderita tidak dapat melakukan hal apapun. Selanjutnya ada Skizofrenia
Katatonia yang dapat juga mengindikasikan gangguan mental atau medis
lainnya. Lalu ada Skizofrenia Paranoid yang paling banyak terjadi, yaitu
ditandai dengan orang dengan Skizofrenia Paranoid mendengar suara-suara
yang berbisik. Hingga jenis Skizofrania Tidak Spesifik yang berupa jenis
skizofrenia namun tidak atau bemul dapat dipastikan dengan diagnosis yang
ada.
3.2 Saran
Bagi peneliti kasus, diharapkan dapat memperdalam pemahaman
mengenai etimologi serta gejala yang muncul dari kasus yang dialami oleh
subjek baik yang dapat diobservasi secara langsung maupun hasil wawancara
dari subjek terkait atau keluarga dan kerabat terdekat dari subjek. Peneliti
juga diharapkan agar tidak serta merta menjustifikasi subjek hanya dengan
melakukan sekali observasi dan wawancara, peneliti harus melakukan
diagnosa secara mendalam sehingga gejala-gejala khusus yang tadinya
terlihat samar dapat menjadi jelas apakah subjek mengidap schizophrenia tipe
hebefrenik, paranoid, katatonik, atau tidak terspesifikasi. Tidak hanya itu,
peneliti sangat diharapkan untuk dapat menelusuri riwayat biologis keluarga
subjek, karena tidak menutup kemungkinan bahwa subjek mendapat garis
keturunan gangguan schizophrenia sehingga subjek menderita gangguan
schizophrenia
DAFTAR PUSTAKA
DSM V. Washington: American Psychiatric Association
Francis, A. (2006, August 1). Update on Catatonia. Diambil kembali dari
www.psychiatrictimes.com:
http://www.psychiatrictimes.com/schizophrenia/update-catatonia/page/0/1
Nunes1, A. L., Filgueiras2, A., Nicolato3, R., Alvarenga4, J. M., Silveira1, L. A.,
Silva, R. A., & Cheniaux, E. (2017). Development and validation of the
Bush-Francis Catatonia Rating Scale – Brazilian version.
PPDGJ III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Rajagopal, S. (2007). Catatonia. Advances in Psychiatric Treatment.
Ramdurg, S., Kumar, S., Kumar, M., Singh, V., Kumar, D., & Desai, N. G. (2013).
Catatonia: Etiopathological diagnoses and treatment response in a
tertiary care setting: A clinical study.
Sienaert, P., Dhossche, D. M., Vancampfort, D., Hert, M. D., & Gazdag, G.
(2014). A Clinical Review of the Treatment of Catatonia.