Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH PRESENTASI KELOMPOK

GANGGUAN SKIZOFRENIA

Oleh :

Maurenza Asyifa 111611133152

Rr Zahra Maghfira Ramadhani 111711133012

Egananda Gryzela 111711133020

Atika Rahayu Ghozali 111711133045

Naimatus Siliyah 111711133048

M. Iko Bangsawan 111711133116

PSIKOPATOLOGI KELAS C – 1

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I

KERANGKA TEORI

1.1 Definisi Skizofrenia


Skizofrenia adalah suatu gangguan mental yang ditandai oleh abnormalitas
dari satu atau lebih dari 5 domain : delusi, halusinasi, berbicara tidak teratur,
gerak motorik kasar abnormal, dan symptom negative (APA, 2013). Gangguan
psikotik yang ditandai dengan penderitanya mengalami gangguan pada
pikiran, persepsi, emosi, dan perilaku. Umumnya penderita Skizofrenia
memiliki pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan
biasanya memiliki dunianya sendiri atau kehidupan fantasi yang merupakan
delusi dan halusinasi penderita sehingga membuat penderita Skizofrenia sulit
membedakan antara dunia nyata dengan dunia fantasi atau pemikiran mereka
sendiri.

1.2 Gejala

Pasien skizofrenia biasanya menunjukkan gejala positif, negatif dan


terdisorganisasi (Lambert & Naber, 2012):
a. Gejala positif merujuk pada gejala yang muncul pada proses mental
abnormal (Hales, dkk., 2011) yang dapat berupa tambahan gejala atau
penyimpangan dari fungsi-fungsi normal (Lieberman, dkk., 2012). Gejala
positif terdiri dari fenomena yang tidak muncul pada individu sehat
(Santosh, dkk., 2013) antara lain yang paling penting, halusinasi (persepsi
yang salah dari berbagai indra) dan delusi atau waham (kepercayaan yang
diyakini dengan pasti, memenuhi pikiran pasien, yang tidak sesuai
sosiokultural) (Lambert & Naber, 2012). Simtom positif ini sebagian
besarnya dapat menjadi episode akut Skizofrenia.
- Delusi
Delusi secara umum diartikan sebagai pikiran atau pandangan
yang tidak berdasar (tidak rasional), biasanya berwujud sifat
kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar; pendapat yang tidak
berdasarkan kenyataan atau khayal. DSM V memberikan
penjelasan bahwa delusi adalah keyakinan yang menentap yang
tidak menerima untuk berubah pada kejadian yang terjadi serta
mungkin terdiri dari beberapa variasi tema seperti berikut:

● Persecutory delusions seperti keyakinan pada kejahatan,


godaan, dan seterusnya dilakukan oleh individu, organisasi,
atau kelompok lain
● Referential delusions seperti keyakitan pada gestur tertentu,
komentar, isyarat lingkungan dan dilakukan oleh orang
tersebut langsung
● Grandiose delusions terjadi ketika keyakinan individu
bahwa dia memiliki kemampuan luar biasa, kekayaan, dan
popularitas
● Erotomanie delusions terjadi ketika keyakinan individu
yang salah bahwa orang lain jatuh cinta padanya
● Nihilistic delusions termasuk pendirian yang kuat bahwa
malapetaka akan terjadi
● Somatic delusions fokus mengenai kesehatan dan fungsi
organ yang belum diperoleh (mengenai badan dan jasad)

- Halusinasi
Halusinasi merupakan suatu pengalaman indrawi tanpa adanya
stimulasi dari lingkungan. Penderita skizofrenia seringkali
mengatakan bahwa dunia itu tampak berbeda bahkan tidak nyata
bagi mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk menyadari apa
yang sedang terjadi di sekeliling mereka. Halusinasi auditori lebih
sering terjadi daripada halusinasi visual. Ada beberapa tipe
halusinasi antara lain :
● Pasien skizofrenia mendengar jika pikiran mereka di
ucapkan oleh suara lain.
● Pasien skizofrenia mendengar jika ada suara-suara yang
saling berdebat.
● Pasien skizofrenia mendengar ada suara-suara yang
mengomentari perilaku mereka.

b. Gejala negatif merujuk pada hilang atau berkurangnya fungsi mental


normal (Hales, dkk., 2011). Gejala negatif juga dapat diartikan sebagai
hilang atau berkurangnya beberapa fungsi yang ada pada individu sehat
(Santosh, dkk., 2013) antara lain penurunan ketertarikan sosial atau
personal, anhedonia, penumpulan atau ketidaksesuaian emosi, dan
penurunan aktivitas. Orang dengan skizofrenia sering memperlihatkan
gejala negatif jauh sebelum gejala positif muncul (Lambert & Naber,
2012). Simtom negatif ini cenderung bertahan dalam melampaui episode
akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan pasien Skizofrenia.
- Avolisi
Biasa disebut dengan perilaku apatis, yaitu kondisi
kurangnya energi dan ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk
tekun melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin.
Biasanya pasien mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, seperti sulit mengingat tugas-tugas kuliah, malas
menjaga kebersihan diri, dan sebagian besar mereka menghabiskan
waktu dengan duduk-duduk tanpa melakukan apa pun. (Davidson,
Neale, & Kring, 2010)
- Alogia
Merupakan suatu gangguan pikiran negatif, seperti miskin
percakapan. Dalam miskin percakapan ini pasien sering
mengulang-ulang kata sehingga jumlah dari percakapan memadai
namun, hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung
membingungkan. (Davidson, Neale, & Kring, 2010)
- Anhedonia
Ialah ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan.
Pasien biasanya gagal dalam menjalin hubungan dekat dengan
orang lain dan mereka menganggap bahwa hal yang biasanya
dianggap menyenangkan oleh orang lain tidak demikian bagi
mereka. (Davidson, Neale, & Kring, 2010)
- Afek datar
Afek datar ialah hampir tidak ada stimulus yang dapat
memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan
pandangan kosong dan mata mereka tidak hidup sehingga ketika
diajak bicara mereka menjawab dengan suara dan ekpresi wajah
yang datar. (Davidson, Neale, & Kring, 2010)
- Asosialisasi
Yaitu ketidakmampuan parah dalam hubungan sosial yang
dialami oleh pasien. Mereka memiliki sedikit teman karena sangat
kurangnya minat untuk berkumpul bersama orang lain. (Davidson,
Neale, & Kring, 2010)

c. Gejala terdisorganisasi yang terdiri dari pikiran, bicara dan perilaku yang
kacau (Lambert & Naber, 2012).
- Berbicara
Disorganisasi berbicara juga dikenal sebagai gangguan
berpikir formal. Pada disorganisasi berbicara lebih merujuk pada
masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dalam
berbicara sehingga pendengar dapat memahami. Gangguan dalam
pembicaraan pernah dianggap sebagai simtom klinis dari
skizofrenia namun gangguan dalam pembicaraan ini tetap menjadi
salah satu kriteria diagnosis. Terdapat bukti yang dapat
mengindikasikan bahwa cara bicara dari pasien skizofrenia tidak
mengalami disorganisasi dan terjadinya disorganisasi dalam
pembicaraan tidak membedakan dengan skizofrenia dan psikosis
lain, misalnya terdapat pada gangguan mood.
- Perilaku Aneh
Perilaku aneh dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Pasien
skizofrenia dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi
singkat yang tidak dapat dimengerti. Selain itu, pasien memakai
baju yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak,
menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan
perilaku seksual yang tidak pantas. Mereka juga mengalami
kesulitan dalam melakukan tugasnya sehari-hari dan mereka
tampak kehilangan dalam mengatur dan mengontrol perilakunya.

d. Gejala/Simtom Lain
- Katatonia
Katatonia merupakan suatu abnormalitas motorik, seperti
melakukan suatu gerakan berulang kali dengan urutan yang aneh
dan terkadang kompleks seperti menggerakkan tangan jari ataupun
lengan yang tampak seperti memiliki tujuan tertentu. Peningkatan
energi yang sangat besar seperti sangat riang dan penggerakkan
anggota tubuh secara liar juga terjadi pada sebagian pasien. Selain
itu, dalam katatonik terdapat abnormalitas motorik berupa
melakukan suatu postur dan tetap dalam posisi yang lama untuk
waktu yang lama, hal tersebut disebut dengan imobilitas katatonik.
Contohnya adalah individu tersebut berdiri dengan satu kaki dan
tetap seperti itu pada waktu yang lama.

- Afek tidak sesuai


Walaupun jarang terjadi, beberapa individu dengan
skizofrenia, mereka memiliki afek yang tidak sesuai, dimana
mereka memberikan respon yang tidak sesuai dan diluar konteks.
Mereka dengan cepat berubah dari suatu kondisi emosional ke
kondisi emosional laim tanpa alasan yang jelas. Contohnya adalah
tertawa saat mendengar kabar bahwa ibunya meninggal.
1.3 Diagnosis
a. DSM-V
Diagnosis gangguan skizofrenia ditegakkan saat pasien mengalami 2
gejala dari gejala 1 sampai 5 dari kriteria A pada tabel (e.g.bicara kacau),
kriteria B mensyaratkan adanya gangguan fungsi, gejala harus bertahan
selama minimal 6 bulan, dan diagnosis dari gangguan skizoafektif atau
gangguan mood harus ditepis (Sadock, dkk., 2015). Berikut kriteria
diagnostik skizofrenia yang lengkap dalam DSM-V:

1. Karakteristik gejala
Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing
terjadi dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau
kurang bila telah berhasil diobati). Paling tidak salah satunya harus
(1), (2), atau (3):
⮚ Delusi atau Waham
⮚ Halusinasi
⮚ Bicara Kacau (contoh:sering melantur atau inkoherensi)
⮚ Perilaku yang sangat kacau atau katatonike
⮚ Gejala negatif, yaitu: ekspresi emosi yang berkurang atau
kehilangan minat
2. Disfungsi sosial atau pekerjaan
Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan,
terdapat satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang
berada jauh di bawah tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau
jika awitan pada masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk
mencapai beberapa tingkat pencapaian hubungan interpersonal,
akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
3. Durasi
Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6
bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan
gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi
kriteria A (gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala
prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau
residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala
negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A
yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (misal; keyakinan
aneh, pengalaan perseptual yang tidak lazim).

4. Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif


Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan
ciri psikotik telah disingkirkan baik karena:
⮚ Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor
yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, maupun
⮚ Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi
totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif
dan residual.
5. Eksklusi kondisi medis umum/zat
Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu
zat (contoh: obat yang disalahgunakan, obat medis) atau kondisi
medis umum.
6. Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global
Jika terdapat riwayat gangguan autistik atau keterlambatan
perkembangan global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia
hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga
terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah
berhasil diobati) (Sadock, dkk., 2015).
Tetapkan jika:
Penentu kursus berikut hanya akan digunakan setelah durasi 1
tahun gangguan dan jika mereka tidak bertentangan dengan kriteria
kursus diagnostik.
- First episode, currently in acute episode: Manifestasi pertama dari
gangguan memenuhi gejala diagnostik yang menentukan dan
kriteria waktu. Episode akut adalah periode waktu di mana kriteria
gejala terpenuhi.
- First episode, currently in partial remission: Remisi parsial adalah
periode waktu di mana perbaikan setelah episode sebelumnya
dipertahankan dan di mana kriteria mendefinisikan gangguan
hanya terpenuhi sebagian.
- First episode, currently in full remission: Remisi penuh adalah
periode waktu setelah episode sebelumnya di mana tidak ada gejala
spesifik gangguan.
- Multiple episodes, currently in acute episode: Beberapa episode
dapat ditentukan setelah minimal dua episode (yaitu setelah
episode pertama, remisi dan minimal satu kambuh).
- Multiple episodes, currently in partial remission
- Multiple episodes, currently in full remission
- Continuous: Gejala yang memenuhi kriteria gejala diagnostik dari
kelainan tersebut masih tersisa untuk sebagian besar perjalanan
penyakit, dengan periode gejala subthreshold relatif sangat singkat
dibandingkan dengan keseluruhan perjalanan.

b. PPDGJ-IIII
Instrumen alat bantu diagnostik skizofrenia di Indonesia adalah
dengan menggunakan PPDGJ-III, berikut kriteria diagnosis skizofrenia:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau thought
insertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan thought
broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b. Delusion of control, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau delusion of influence yaitu
waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau delusion of passivitiy, yaitu waham tentang dirinya
tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang ”dirinya” dimana secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan
khusus); delusional perception, yaitu pengalaman inderawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya
bersifat mistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik antara lain (1) Suara halusinasi yang
berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
(2) Mendiskusikan perihal pasien-pasien di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau (3) Jenis suara
halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh;
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing
dan dunia lain);
2. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada
secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus.
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
e. Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase nonpsikotik prodromal)
f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam
diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial (Maslim, 2001).

1.4 Etiologi
a. Genetik
Dari beberapa literatur yang dapat meyakinkan bahwa suatu
predisposisi dari skizofrenia yang dapat diturunkan dari genetik. Terdapat
beberapa studi yang dapat memungkinkan adanya kriteria diagnostik.
- Studi Keluarga
Dapat dijelaskan bahwa dari kerabat pasien skizofrenia memiliki
resiko yang lebih tinggi dan resiko tersebut semakin tinggi bila
hubungan kekerabatannya semakin dekat. Namun, tidak hanya
dipengaruhi oleh gen yang sama tetapi juga dari pengalaman yang
sama. Perilaku orang tua yang menderita skizofrenia dapat
mengganggu bagi anak yang sedang mengalami pertumbuhan. Dengan
demikian, perilaku lingkungan tidak dapat diabaikan atas resiko
morbiditas yang lebih tinggi.

- Studi Orang Kembar


Terdapat masalah kritikal dalam menginterpretasi hasil studi
terhadap orang kembar. Kesamaan lingkungan yang menyimpang dan
bukan kesamaan faktor genetik dapat berperan dalam tingkat
kesesuaian tersebut. Kesamaan lingkungan disini berarti bukan hanya
pola asuh yang sama tetapi lingkungan di dalam rahim yang lebih
memiliki kesamaan karena kembar identik lebih mungkin
mendapatkan pasokan darah yang sama dibandingkan dengan kembar
dua telur.
- Studi Adopsi
Studi terhadap anak-anak dari ibu yang menderita skizofrenia,
namun sejak bayi dibesarkan oleh orang tua adopsi non-skizofreni
dapat memberikan informasi yang lebih meyakinkan mengenai peran
gen dalam skizofrenia dengan menghilangkan kemungkinan pengaruh
lingkungan yang menyimpang.
b. Biokimia
Dari peran faktor genetik dalam skizofrenia dapat diketahui jika
faktor-faktor biokimia pelu diteliti karena melalui kimia tubuh dan
proses-proses biologislah faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh
seperti adanya perbedaan neurotransmitter seperti norepinefrin dan
serotonin.
- Aktivitas Dopamine
Skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan pada
neurotransmitter dopamine karena obat-obatan yang digunakan untuk
menangani skizofrenia dapat menurunkan aktivitas dopamine di bagian
saraf otak karena struktur molekul obat-obatan tersebut sama dengan
struktur molekul dopamine sehingga menghambat berbagai reseptor
dopamine pasca-sinaptik. Reseptor yang dihambat oleh obat-obatan
antipsikotik tersebut disebut reseptor D2. Selain itu, amfetamin dapat
menyebabkan suatu kondisi yang menyebabkan skizofrenia paranoid
dan dapat memperparah simtom skizofrenia. Amfetamin menyebabkan
pelepasan katekolamin, termasuk norepinefrin dan dopamine ke dalam
celah sinaptik dan mencegah inaktivasinya. Dapat diketahuin jika efek
amfetamin yang menimbulkan psikosis merupakan akibat dari
peningkatan dopamine dan bukan peningkatan norepinefrin, karena
obat-obatan antipsikotik adalah obat yang menyembuhkan psikosis
amfetamin. Berdasarkan data tersebut merubah pandangan peneliti
yang awalnya berasumsi bahwa skizofrenia disebabkan oleh kelebihan
dopamine melainkan terlalu sensitifnya reseptor dopamine yang
menyebabkan skizofrenia bukan kadar dopamine yang tinggi.
Amfetamin memperparah simtom positif dan mengurangi simtom
negative. Perkembangan selanjutnya mengenai teori dopamine
memperluas ruang lingkupnya. Adanya perbedaan jalur-jalur saraf
yang menggunakan dopamine sebagai transmitter. Kelebihan aktivitas
dopamine yang berhubungan dengan skizofrenia terdapat di dalam
jalur mesolimbik. Berawal dari daeerah otak yang sama dengan jalur
mesolimbik,namun menjulur ke korteks prefrontalis. Akhirnya korteks
prefrontalis menjulur ke daerah limbik yang dipenuhi oleh neuron
dopamine.

Teori dopamine dalam skizofrenia

- Otak dan Skizofrenia


Beberapa pasien skizofrenia telah diketahui memiliki patologi otak
yang dapat diamati. Temuan yang paling konsisten adalah pelebaran
rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak.
Abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbic,seperti
hippocampus dan basal ganglia,korteks prefrontalis dan temporal.
Melalui pemindaian CT dan studi MRI mengungkap bahwa pasien
skizofrenia laki-laki memiliki rongga otak yang melebar,berkurangnya
daerah abu-abu kortikal di daerah temporal dan frontalis serta
berkurangnya volume basal ganglia dan struktur limbic.
Studi MRI menjelaskan bahwa orang kembar yang menderita
skizofrenia memiliki rongga otak yang lebih lebar disbanding orang
kembar yang normal. Rongga otak yang lebar pada pasien skizofrenia
berkorelasi dengan kinerja yang lemah dalam berbagai tes
neuropsikologis,penyesuaian yang buruk sebelum timbulnya
gangguan,dan respon yang buruk dalam terapi obat.

Bagian otak korteks prefrontalis secara khusus penting dalam


skizofrenia karena hal-hal berikut ini :

1. Korteks prefrontalis berperan dalam perilaku seperti berbicara,


pengambilan keputusan dan tindakan yang bertujuan yang semuanya
mengalami gangguan dalam skizofrenia.

2. Studi MRI menjelaskan berkurangnya abu-abu dalam korteks


prefrontalis.

3. Tingkat metabolism glukosa pada penderita skizofrenia saat


mengerjakan tes-tes psikologi menunjukkan tingkat metabolism yang
rendah dalam korteks prefrontalis.

Terlepas dari volume daerah abu-abu dalam korteks temporalis dan


frontalis,jumlah neuron dalam daerah-daerah tersebut tidak tampak
berkurang. Sesuatu yang hilang di daerah-daerah tersebut
kemungkinan adalah spinal dendritik yang merupakan cabang kecil
pada batang dendrite dimana tempat impuls-impuls saraf diterima dari
berbagai neuron lain. Hilangnya spinal dendritik menyebabkan
komunikasi antar neuron terganggu yang biasa disebut dengan istilah
“sindrom diskoneksi” yang menunjukkan disorganisasi pembicaraan
dan behavioral pada skizofrenia. Salah satu kemungkinan abnormalitas
pada otak adalah kerusakan semasa kehamilan atau kelahiran. Pasokan
oksigen yang kurang ke dalam otak semasa kehamilan dapat
mengakibatkan hilangnya daerah abu-abu kortikal. Orang yang
terpapar virus influenza selama lima minggu semasa kehamilan juga
dapat menjadi penyebab skizofrenia.

c. Psikososial
Berdasarkan beberapa temuan, dengan adanya stress, kekambuhan
dari berbagai macam kekambuhan pun meningkat. Ditemukan pula bahwa
penderita skizofrenia rentan akan stress. Hal tersebut dikarenakan stress
dapat menurunkan mood positif dan meningkatkan mood negatif. Kelas
sosial dan hubungan keluarga adalah stress dalam kehidupan yang
berpengaruh pada terjadinya skizofrenia.

Berdasarkan berbagai penelitian ditemukan bahwa semakin rendah


tingkat kelas sosial seseorang, tingkat kejadian skizofrenia semakin tinggi.
Terdapat berbagai hipotesis tentang bagaimana tingkat kelas sosial yang
rendah cenderung mengalami skizofrenia. Menurut hipotesis sosiogenik,
hal tersebut dikarenakan masyarakat pada kelas sosial rendah sering
mendapatkan stress seperti pandangan rendah dari orang lain terhadapnya,
rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya penghargaan dan kesempatan
dalam hidupnya. Dengan banyaknya stress yang ia alami, hal tersebut
dapat menyebabkan skizofrenia. Selain itu, bayi yang pada masa
kehamilannya tidak mendapat gizi cukup berisiko lebih tinggi untuk
mengalami skizofrenia. Sebagian ibu pada kelas sosial rendah akan susah
untuk memaksimalkan kebutuhan gizi janin yang ia kandung. Selain
hipotesis sosiogenik, terdapat teori seleksi-sosial. Skizofrenia cenderung
dialami oleh masyarakat dengan kelas sosial rendah yang tinggal di pusat
kota. Masyarakat tersebut memiliki berbagai masalah dalam
perkembangan kognitif dan motivasi yang kemudian dapat mengurangi
kemampuan mereka untuk mencari pendapatan mereka.

Selain kelas sosial, keluarga juga berpengaruh pada skizofrenia.


Teori ibu skizofrenogenik adalah teori terdahulu dimana teori tersebut
menjelaskan bahwa hubungan ibu dan anak laki-laki memiliki pengaruh
pada terjadinya skizofrenia pada anak. Ibu yang dominan terlihat dingin
dan selalu menciptakan konflik dengan karakter menolak tersebut dapat
menyebabkan anaknya mengalami skizofrenia. Walaupun tidak banyaknya
data yang mendukung teori tersebut, komunikasi keluarga selain tentang
ibu skizofrenogenik dan anak laki-laki juga berpengaruh pada terjadinya
skizofrenia. Individu dengan skizofrenia cenderung memiliki keluarga
dengan banyak konflik dan hubungan komunikasi yang membingungkan.
Hubungan keluarga tersebut dapat menyebabkan individu yang lebih muda
mengalami skizofrenia. Komunikasi buruk orang tua terhadap anaknya
dapat menyebabkan skizofrenia pada anak tersebut, contohnya adalah
dengan mengabaikan kekhawatiran anaknya dan malah mencela anaknya.
Selain itu, keluarga pun juga berpengaruh pada kecepatan kesembuhan
seseorang yang memiliki skizofrenia. Individu dengan skizofrenia yang
telah keluar dari rumah sakit dan dirawat oleh keluarga yang memiliki
ekspresi emosi atau EE yang tinggi, akan cenderung kambuh kembali.
Contoh dari EE sendiri adalah disaat keluarga pasien menganggap bahwa
pasien sengaja membuat atau menunjukkan symptom-simptom untuk
suatu alasan.
1.5 Jenis – Jenis Skizofrenia
1.5.1 Skiofrenia Hebefrenik
A. Pengertian
Biasa disebut dengan skizofrenia disorganisasi (skizofrenia tidak
teratur). Istilah “hebefrenia/hebefrenik" berasal dari bahasa Yunani
yang memiliki makna “pubertas” karena kelainan ini biasanya akan
muncul pada masa remaja atau usia 15-25 tahun. Tipe ini merupakan
bentuk skizofrenia yang paling parah karena individu dengan kondisi
ini merasa sangat sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari akibat
ketidakmampuan mereka untuk berpikir, berbicara, maupun bertindak
secara logis.
a. Gejala
- Ucapan tidak teratur → Penderita akan terlibat dalam
percakapan yang acak, tidak masuk akal, dan bertele-tele
sehingga kalimat dan kata-kata yang mereka utarakan bisa
menjadi tidak ada hubungan dan koherensi dalam topik yang
dibahas.
- Emosi tidak teratur → Penderita mengalami respon emosional
yang tidak relevan dengan konteks keadaan. Misalnya,
penderita terkikik secara tiba-tiba walaupun tidak ada hal yang
lucu sama sekali. Ekspresi wajah yang tidak pantas: penderita
menunjukkan ekspresi yang tidak sesuai dengan realita yang
ada.Misalnya, penderita tertawa dan tersenyum saat mendengar
sesuatu yang buruk.
- Perilaku yang tidak teratur → Perilaku yang ditimbulkan
penderita menjadi aneh. Misalnya, berkeliling rumah dan
memindahkan atau menggeser barang-barang secara
bolak-balik tanpa tujuan.
- Berpikir tidak logis → Penderita tidak dapat berpikir dengan
jernih sehingga tidak jarang mereka mengalami pola pikir yang
tidak masuk akal, seperti seringnya berganti topik setiap
kalimat dalam suatu percakapan.
- Perilaku yang sangat aktif → Perilaku penderita benar-benar
tidak terduga dan produktif, hanya acak, namun bisa agresif
dan kasar dibeberapa situasi.
- Kurangnya motivasi → Apabila penderita mengalami subtipe
ini, mereka tidak akan dapat melakukan apa-apa di siang hari
karena tidak adanya motivasi untuk melakukan sesuatu maupun
tugas yang seharusnya dikerjakan.
B. Etiologi
- Keturunan
Adanya resiko skizofrenia 4 kali lebih besar dengan ibu
penderita skizofrenia. Komplikasi kehamilan yang lebih besar
akan terkait dengan hypoxia dan usia kehamilan yang lebih besar
akan terkait dengan risiko yang lebih besar dari skizofrenia pada
janin yang berkembang. Kesukaran parental seperti, stress, infeksi,
mal nutrisi, diabetes maternal dan kondisi medis lainnya
berpengaruh dengan skizofrenia. (APA, 2013).
- Biologis
Skizofrenia diakibatkan oleh berlebihnya kadar dopamin
dalam otak atau meningkatnya sensitivitas reseptor dopamin
berkadar normal. Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan
pada system syaraf otak yang dapat ditunjukkan dengan adanya
pelebaran ventrikel otak dan penyempitan volume lobus
temporal dan frontal dari hasil pemindaian otak.
- Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor penyebab
skizofrenia antara lain adalah anak yang diperlakukan oleh ibu
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tidak berperasaan,
sedangkan ayahnya mengambil jarak dengan anaknya.
- Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan
skizofrenia pada seseorang. Hal ini dapat dijelaskan dengan
selection-drift hypothesis yaitu pemicu skizofrenia dapat
dicegah dengan mencapai kelas sosial yang lebih tinggi (APA,
2013) atau faktor terkait kondisi lingkungan kelas bawah
seperti pekerjaan berbahaya, kondisi ibu hamil yang kurang
baik, serta kesadaran akan pentingnya menjaga diri dari
stressor psikologis. Kurangnya interaksi dan afektif yang
terjalin dalam keluarga juga merupakan salah satu faktor
pemicu timbulnya skizofrenia.
C. Pengukuran dan Diagnosis
Dua atau lebih gejala di bawah, masing-masing muncul pada porsi
waktu tertentu selama periode 1 bulan (atau kurang bila dapat
ditangani). Salah satu harus merupakan (1), (2), atau (3)
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Berbicara tidak teratur
4. Motorik kasar tidak teratur atau perilaku katatonik
5. Simptom negatif

Untuk porsi waktu tertentu sejak gejala muncul, beberapa level


ranah seperti kerja, relasi interpersonal, atau perawatan diri berada
pada tingkatan lebih rendah sebelum gejala muncul (bila pada
anak-anak dan remaja, terdapat kegagalan untuk mencapai level
interpersonal, akademik, dan fungsi bekerja yang diharapkan).

- Tanda-tanda gangguan berkesinambungan berlangsung selama


sekurang-kurangnya 6 bulan. Selama masa enam bulan ini harus
mencakup sekurang-kurangnya 1 bulan gejala (atau kurang bila
dapat ditangani) yang sesuai dengan Kriteria A dan mungkin
mencakup periode simptom prodromal dan residual.
- Tidak termasuk Schizoaffective disorder atau bipolar disorder
with psychotic features karena 1) tidak ada major depressive
atau manic episode yang muncul bersamaan dengan gejala fase
aktif; atau 2) bila episode mood muncul ketika gejala fase aktif,
gejala tersebut juga muncul sebagai gejala minor dari total
waktu keseluruhan periode aktif dan residual.
- Kelainan tidak diatribusikan dengan efek fisiologis dari sebuah
zat seperti penggunaan obat terlarang maupun sebuah
pengobatan atau kondisi medis lainnya
- Bila terdapat riwayat kelainan spektrum autism atau kelainan
komunikasi pada masa kanak-kanak, maka diagnosis tambahan
skizofrenia hanya bila halusinasi atau delusi menonjol muncul
sekurang-kurangnya 1 bulan (atau kurang bila ditangani)

Khususkan bila:

Faktor spesifikasi hanya digunakan setelah durasi kelainan 1 tahun


dan bila tidak bertentangan dengan kriteria diagnostik:

1. First episode, currently in acute episode → manifestasi


pertama kali dipadukan dengan gejala diagnostik dan kriteria
waktu. Episdoe akut adalah masa dimana kriteria gejala
dipenuhi
2. First episode, currently in partial remission → Partial
remission adalah masa dimana terdapat peningkatan dari
episode sebelumnya dan ketika kriteria hanya dipenuhi
sebagian
3. First episode, currently in full remission → Full remission
adalah masa dimana tidak terdapat gejala diagnostik
4. Multiple episodes, currently in acute episode → Multiple
episode dapat dipastikan setelah minimal dua episode (First
episode, remisi, dan minimal satu relaps)
5. Multiple episodes, currently in partial remission
6. Multiple episodes, currently in full remission
7. Continuous → Gejala terpenuhi dan masih ada sebagai
8. Mayoritas masa penyakit, dengan ambang antar periode sangat
sedikit
9. Tidak terspeksifikasi

D. Intervensi
⮚ Penanganan Biologis
- Shock Therapy dan Psychosurgery
Sakel (1938) memperkenalkan praktek terapi bernama
coma-insulin therapy yang menyebabkan efek koma dengan
memberikan insulin dalam dosis tinggi. Sakel mengklaim
bahwa ¾ pasien skizofrenia yang ditangani dengan
coma-insulin therapy menunjukkan perbaikan signifikan,
namun beberapa penelitian tidak mendukung terapi ini karena
beresiko serius terhadap kesehatan pasien, bahkan pasien dapat
tidak sadar dan selanjutnya berimbas pada kematian. Sehingga
coma-insulin therapy secara bertahap ditinggalkan. Pada tahun
yang sama, Cerletti dan Bini menciptakan electroconvulsive
therapy (ECT) yang bekerja dengan cara memberikan efek
kejang dan ketidaksadaran sementara melalui aliran arus listrik
sebesar 70 dan 130 volts yang disalurkan melalui kepala ke
otak. Metaanalisis yang dilakukan oleh Tharyan (2002)
menyimpulkan bahwa separuh jumlah pasien yang ditangani
dengan ECT menunjukkan efektivitas minimal. Namun ECT
sedikit lebih efektif daripada pemberian obat-obatan
antipsikotik.
Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan lobotomi
prefrontalis yaitu prosedur pembedahan yang membuang
bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan
pusat otak bagian bawah. Berbagai laporan mengklaim tingkat
keberhasilan yang tinggi (Moniz, 1936). Kemudian selama 20
tahun sesudahnya, ribuan pasien yang mengidap gangguan
mental menjalani berbagai variasi psychosurgery. Prosedur
tersebut dilakukan terutama pada pasien yang perilakunya
agresif. Banyak pasien yang menjadi tenang dan dapat keluar
dari rumah sakit karena terapi ini. Namun pada tahun 1950an,
psychosurgery mulai ditinggalkan karena adanya terapi obat.
Selain itu, banyak pasien yang kehilangan kemampuan
kognitif dan kurang bertenaga setelah dilakukan pembedahan.
- Terapi Obat Tradisional
Obat-obatan pada skizofrenia ditemukan pada tahun
1950-an yang secara kolektif disebut obat antipsikotik atau
neuroleptik karena menimbulkan efek lain yang sama dengan
simtom-simtom penyakit neurologis.
a) Fenothiazin
Obat ini diciptakan oleh ahli kimia berkebangsaan jerman
diahir abad ke 19. Namun tidak mendapatkan banyak
perhatian sampai ditemukannya anti histamin yang
mengandung nukleus fenothiazin pada tahun 1940-an. Ahli
bedah berkebangsaan Prancis Laborit mempelopori
penggunaan anti histamin untuk mengurangi syok karena
pembedahan. Obat ini menimbulkan efek kantuk dan
ketakutan menghadapi operasi berkurang.

b) Khlorpromazin (Thorazine)

Obat ini merupakan suatu derivat baru Fenothiazin. Pertama


kali digunakan secara terapeutik di Amerika Serikat pada
tahun 1954 dan segera menjadi terapi pilihan untuk
skizofrenia karena obat ini terbukti sangat efektif untuk
menenangkan pasien skizofrenia.

c) Butirofenon dan thioksantin


Obat ini secara umum tampak sama efektifnya dengan
Fenothiazin dan memiliki cara kerja yang sama. Berbagai
kelompok obat tersebut dapat mengurangi simtom-simtom
positif skizofrenia, namun hanya sedikir efeknya atau
bahkan tidak memberi efek bagi simtom negatif.
d) Obat-obat Tambahan

Obat-obat yang digunakan sebagai tambahan, yaitu


diberikan bersama dengan psikotik untuk menangani
depresi atau kecemasan atau untuk menstabilkan mood.
Obat-obat tambahan ini mencakup lithium, anti depresan,
anti konvulsan, dan obat penenang.

Dosis pemeliharaan diberikan pada pasien yang merespon


positif terhadap obat-obatan anti psikotik untuk
mempertahankan efek terapiutik. Para pasien membasa
obat-obat tersebut dan kembali ke rumah sakit secara
berkala untuk mendapatkan penyesuaian pada dosis.
Meskipun demikian, para pasien yang sudah keluar dari
rumah sakit dan tetap mendapatkan pengobatan mungkin
hanya menjadi kelompok marjinal dalam masyarakat.
Mereka mungkin tidak banyak memiliki hubungan sosial.
Contohnya, mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang
sebenarnya mampu mereka dapatkan bila tidak menderita
skizofrenia.

Efek samping antipsikotik tradisional:

1. Yang umum dilaporkan adalah pusing, penglihatan


kabur, tidak bisa tenang, dan disfungsi seksual.
2. Efek samping ekstrapiramidal yang berakar dari
berbagai disfungsi batang syaraf yang menjulur dari
otak ke neuron motorik pada tulang belakang. Efek
samping ekstrapiramidal mirip dengan simtom-simtom
penyakit parkinson.
3. Biasanya mengalami tremor pada jari, langkah yang
terseret, dan berliur.
4. Distonia yaitu suatu kondisi kekakuan otot.
5. Diskinesia yaitu suatu gerakan abnormal otot-otot sadar
dan tidak sadar.
6. Akasthesia yaitu ketidakmampuan untuk tetap diam
atau terus-menerus bergerak dan tidak dapat tenang.
7. Diskinesia tardif dialami oleh pasien skizofrenia
berusia lanjut yang ditunjukkan dengan otot-otot mulut
yang tidak dapat dikendalikan membuat gerakan
menghisap, bibir berkecap, dan dagu bergerak ke kanan
dan ke kiri.
8. Neuroleptic malignant syndrome adalah efek samping
yang paling sedikit dialami oleh pasien skizofrenia
yang mengonsumsi obat-obatan tradisional. Terjadi
kekakuan otot yang parah disertai demam, denyut
jantung meningkat, tekanan darah naik, dan pasien
dapat mengalami koma.
- Terapi Obat terbaru
Klozapin (clozaril) diperkenalkan sebagai obat yang dapat
memberikan manfaat terapeutik bagi pasien skizofrenia yang
tidak merespon dengan baik obat-obat antipsikotik tradisional
(Kane dkk., 1988) dan memberikan manfaat terapiutik yang
lebih besar dalam mengurangi simtom-simtom positif
dibanding obat anti psikotik tradisiobal (Rosenheck dkk.,
1999: Wahlbeck dkk., 1999). Para pasien yang mengkonsumsi
Klozapin juga memiliki kemungkinan lebih kecil untuk
berhenti dari terapi (Kane dkk., 2001). Obat ini juga
menimbulkan efek samping motorik yang lebih sedikir
dibanding antipsikotik tradisional dan mangurangin angka
kekambuhan (Conley dkk., 1999). Perlu diketahui bahwa
klozapin berdampak besar pada reseptor serotonin. Di sisi
lain, obat ini menimbulkan efek samping serius berupa
melemahkan keberfungsian sistem imun pada sejumlah kecil
pasien (sekita satu persen) dengan menurunkan jumlah sel
darah putih, menjadikan pasien rentan terhadap infeksi bahkan
kematian. Obat ini juga dapat menimbulkan efek kejang,
pusing, fatik, berliur, dan penambahan berat badan (Meltzer ,
Cola, & Way, 1993).
Keberhasilan Klozapin menstimulasi munculnya olnzapin
(Zyprexa) dan risperidon (risperdal) yang menimbulkan efek
samping motorik yang lebih sedikit dibanding efek samping
antipsikotik tradisional. Obat-obatan terbaru ini tampaknya
sama efektifnya dengan antipsikotik tradisional dalam
mengurangi simtom positif (Conley & Mahmoud, 2001),
bahkan mungkin lebih efektif (Sanger dkk., 1999).
Obat-obatan tersebut tampaknya juga lebih baik dibanding
antipsikotik tradisional dalam mengurangi tingkat perawatan
kembali di rumah sakit (Csernansky dkk., 2002).
Bukti-bukti yang diperoleh bahwa risperidon memperbaiki
memori jangka pendek, contohnya mampu mengingat satu
nomor telpon cukup lama untuk dapat menghubungi nomor
tersebut tanpa melihat catatan, tampaknya dengan mengurangi
aktivitas reseptor yang sensitif terhadap serotonin dalam
korteks prefotalis (Green dkk., 1997). Penelitian juga
menunjukkan bahwa perbaikkan berkorelasi dengan
peningkatan kemampuan dalam mempelajari keterampilan
sosial dalam program rehabilitasi psikososial (Green,1996;
Marder dkk., 1999). Dengan demikian resperidon
memungkinkan terjadinya perubahan yang lebih menyeluruh
dalam skizofrenia dan berbagai konsekuansi behavioralnya
dibanding obat-obatan yang tidak memiliki berbagai efek
kognitif tersebut.
⮚ Penanganan Psikologis
Ada beberapa macam penanganan schizophrenia dengan
pendekatan psikologis, yaitu:
a) Terapi Psikodinamika
Para penderita skizofrenia tidak mampu mengembangkan
kemampuan interpersonalnya. Harry Stack Sullivan yang
merupakan seorang psikiater berpendapat bahwa skizofrenia
merupakan suatu kondisi dimana seseorang kembali ke
komunikasi awal yaitu pada masa kanak – kanak. Ego yang
lemah pada penderita skizofrenia menyebabkan mereka tidak
mapu mengatasi stress ekstrem dalam berbagai tantangan
interpersonal. Maka dari itu pasien mempelajari bentuk
komunikasi dewasa dan memperoleh insight pada masa
lalunya. Sullivan menyarankan untuk membentuk hubungan
kepercayaan yang bertahap dan tidak mengancam.
Suatu pendekatan ego-analisis juga diutarakan oleh Frieda
Fromm-Reich-mann yang berpendapat bahwa perilaku
menyendiri pada penderita skizofrenia merupakan cerminan
keinginan untuk menghindari berbagai penolakan yang pernah
dialami pada masa kanak –kanak dan kemudian dianggap tidak
dapat dihindarkan. Hal ini harus ditangani dengan sangat sabar
dan optimis besar.

b) Pelatihan Keterampilan Sosial

Intervensi psikososial mengambil langkah lebih aktif yang


berfokus pada masa sekarang dan berorientasi pada kenyataan.
Terapis berusaha membantu pasien dan keluarganya mengatasi
secara langsung berbagai masalah yang ada dalam sehari – hari
mereka hadapi dalam melakukan coping dengan penyakit yang
mengganggu dan melemahkan.

Pada pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk


mengajari para penderita skizofrenia untuk dapat berhasil dalam
situasi interpersonal yang sangat beragam misalnya
keterampilan kehidupan yaitu mmesan makanan direstoran,
mengisi formolir, belajar melakukan wawancara dan lain
sebagainya,. Ketrampilan kehidupan tersebut bukan hal yang
mudah yang dapat dilakukan oleh penderita skizofrenia, para
penderita harus berusaha keras untuk menguasainya kembali
atau kembali menguasainya.

c) Terapi Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi

- Memberikan edukasi tentang skizofrenia, kerentangan


biologis yang mempredisposisi seseorang terhadap
penyakit, masalah kognitif, simtom–simtomnya, dan
tanda–tanda akan terjadinya kekambuhan. Hal tersebut
diberitahukan kepada keluarga guna membantu mengurangi
kecenderungan para anggota keluarga terlalu mengkritik
anggota keluarga yang menderita skizofrenia, mengurangi
stress pada penderita skizofrenia dan mencegah
memburuknya kondisi.
- Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek
pengobatan antipsikotik. Memberitahukan kepada pihak
keluarga akan pentingnya penderita skizofrenia meminum
obat–obat antipsikotik dan mencaritau akan efek samping
obat–obat tersebut, selain itu memiliki inisiatif untuk
melakukan konsultasi medis.
- Menghindari saling menyalahkan, mendorong keluarga
untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri maupun si
penderita atas penyakit tersebut dan atas kesulitan yang
telah terjadi pada keluarga akan penyakit tersebut.
- Memperbaiki komunikasi dan keterampilan penyelesaiaan
masalah dalam keluarga. Terapi mengajarkan kepada
keluarga akan mengekspresikan perasaan positif dan
negative secara konstruktif, empatik, dan tidak menuntut,
buakan dengan menuding, mengkritik, atau terlalu
melindungi. Dan terapis juga mengurangi ketegangan yang
terjadi ditengah keluarga untuk menyelesaikan maasalah di
kehariaannya.
- Memperluas kontak sosial.
- Menanamkan sebuah harapan tentang sesuatu hal dapat
menjadi lebih baik.
d) Terapi Kognitif Behavioral
- Terapi personal (Personal Teraphy)

Suatu pendekatan kognitif behavioral berspektrum luas


terhadap multiplisitas masalah yang di alami oleh pasien
skizofrenia saat setelah keluar dari rumah sakit. Terapi ini
dilakukan dengan cara satu per satu ataupun dalam
kelompok kecil. Mengajari pasien bagaimana mengenali
afek yang tidak sesuai. Selain itu juga diajarkan untuk
meperhatikan tanda – tanda kekambuhan meskipun kecil.

- Terapi perilaku rasional emotif

Membantu pasien mencegah berbagai frustasi dan


tantangan yang tidak dapat terhindarkan dari kehidupan
dan akan menjadi bencana dan dapat membantu
menurunkan kadar stress. Selain itu juga diajarkan untuk
relaksasi otot yang berguna untuk belajar mendeteksi
kecemasan atau kemarahan yang berkembang secara
perlahan dan akan mengendalikannya menjadi lebih baik.

- Terapi Reatribusi (Reatribution Theraphy)


Membantu para pasien skizofrenia agar tidak menganngap
sesuatu hal yang tidak sesuai dengan mestinya menjadi
sebuah bencana bagi dirinya. Melalui diskusi kolaboratif
yang dimana pasien dibantu dalam memaknai nonpsikotik
terhadap berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi
intensitas dan karakteristiknya yang berbahaya.

- Mengamati Fungsi – fungsi kognitif Dasar

Fokus pada upaya menormalkan fungsi – fungsi kognitif


fundamental yaitu perhatian dan memori yang dapat
melemahkan pasien skizofrenia dan berhubungan dengan
adaptasi sosial yang kurang baik. Tujuannya adalah
menyusun berbagai strategi intervensi yang
memaksimumkan pengguna fungsi–fungsi kognitif yang
relatif tidak terkena kerusakan karena skizofrenia seperti
mengingat dan memahami.

1.5.2 Skizofrenia Katatonik

A. Pengertian

Katatonik pada dasarnya terdapat pada berbagai macam


gangguan mental, yaitu seperti Neurodevelopmental, psikotik,
bipolar, depresi, dan permasalahan kondisi medis lainnya.
Katatonik tidak dianggap sebagai suatu gangguan independen
tetapi katatonik dapat mengindikasikan suatu permasalahan
gangguan mental atau medis lainnya dan katatonik yang tidak
terspesifikasi. Katatonia yang berkatikan dengan gangguan mental
dan medis diindikasikan dengan adanya 3 atau lebih dari 12
ciri-ciri diagnosa katatonik. Kemunculan utama Katatonia ditandai
dengan terjadinya gangguan psikomotorik seperti terjadinya
penurunan fungsi motorik, penurunan keterlibatan diri terhadap
aktifitas fisik, atau bisa juga ditandai dengan berlebihnya aktifitas
motorik. Pada kesempatan kali ini kelompok kami akan berfokus
membahas katatonik yang berkaitan dengan ganguuan mental.

E. Etiologi
Terdapat berbagai hipotesis dari penyebab terjadinya katatonia,
walaupun belum ditemukan penyebab pastinya. Defisiensi cotical
gamma-aminobutyric (GABA), yaitu inhibitor utama bada
neurotransmitter pada otak, menyebabkan terjadinya ‘top-down
modulation’ pada bangsal ganglia, dimana hal ini menyebabkan efek
therapeutic pada penggunaan benzodiazepines yang dapat
meningkatkan aktivitas GABA. Selain itu katatonia juga dapat
disebabkan oleh penutupan dopamine secara tiba-tiba dan
besar-besaran. Karena ditemukan bahwa pemberian
dopamine-blocking antipsychotics tidak memberikan keuntugnan
(Rajagopal, 2007). Di dalam dalam evolusi, manusia zaman dulu
berhadapan dengan predator karnivora yang memiliki insting yang
dipicu oleh gerakan. Hanya saja respon ketakutan tersebut ditetapkan
pada situasi zaman ini. Genetik pun menjadi salah satu etiologi dari
katatonia. Individu dengan keluarga yang memiliki penyakit psikiatrik
mengalami katatonia. Berdasarkan studi Ramdurg dkk. (2013), genetik
memiliki hubungan dengan katatonia dengan hasil studinya yakni
16.4% individu dengan katatonia memiliki histori keluarga dengan
penyakit psikiatrik.
C. Pengukuran dan Diagnosis
Katatonia dapat diukur menggunakan beberapa alat ukur. Bush-Francis
Catatonia Rating Scale (BFCRS) adalah suatu skala berisi 23-item yang
dapat mendefinisikan tanda-tanda katatonik, menilai keparahan, dan
merupakan skema terstandar untuk pemeriksaan klinis. Alat tersebut
dibuat pada 1996. Terdapat pula versi singkat dari skala Bush-Francis,
yakni Bush-Francis Catatonia Screening Instrument (BFCSI) dimana
hanya terdapat 14 item dalam skala tersebut. Skala Bush-Francis
merupakan alat yang paling valid, realibel, dan mudah diantara alat-alat
lain yang dapat mengukur katatonia (Nunes L, dkk., 2017).

D. Intervensi

Katatonia dapat diintervesi melalui beberapa cara. Sacara medis,


terdapat pemberian Benzodiazepines, Zolpidem, dan Glutamate Antagonist.
Benzodiazepines merupakan pilihan pertama untuk penanganan katatonia.
Ditemukan bahwa keefektifan, keamanan, dan kemudahan benzodiazepins
setinggi 70-80%. Zolpidem merupakan salahsatu reseptif positif GABA-A
yang aman dan aktif sebagai sebuah alternatif. Glutamate antagonist seperti
amantadine dan memantine merupakan zat yang mengandung
N-methyl-D-aspartic acid (NMDA) antagonis (Sienaert dkk., 2014).

Electroconvulsive therapy atau ECT adalah salah satu dari terapi yang
digunakan untuk menangani gangguan-gangguan mental seperti depresi,
bipolar, schizophrenia, dan lain-lain, melalui pemberian arus listrik pada otak.
Arus listik tersebut dapat menghilangkan symptom dari gangguan yang
diderita. Pemberian arus listik tersebut tidak akan menimbulkan sakit ataupun
tidak nyaman. Secara umum, ECT diawali dengan pemeriksaan pada individu
yang akan medapatkan ECT. Kemudian individu tersebut ditidurkan dengan
memberi anesthesia. Setelah itu electro-pads akan diletakkan di beberapa
area di kepalanya. Mesin ECT pun dinyalakan dan terjadi pengaliran arus
listrik terkontrol selama beberapa detik. Aktivitas otak individu tersebut
direkam oleh Electroencephalogram (EEG) dimana akan terlihat peningkatan
aktivitas otak secara tiba-tiba setelah ECT dinyalakan. Setelah itu, individu
tersebut akan dibawa ke area pemulihan dan efek anesthetic akan berakhir
pada individu tersebut, yang dimana menyebabkan individu tersebut
terbangun. Terakhir, kebanyakan individu akan ada diberi anti-depressant dan
medikasi lainnya

1.5.3 Skizofrenia Paranoid

A. Pengertian

Skizofrenia paranoid adalah subtipe skizofrenia yang paling sering


didiagnosis. Biasanya penderita memiliki halusinasi pendengaran (mereka
mendengar suara-suara) dan mungkin mengalami delusi bahwa terdapat
seseorang yang "merencanakan" sesuatu terhadap mereka. Orang dengan
penyakit ini dapat menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan
cara-cara untuk melindungi diri dari orang lain yang mereka percaya
berada di luar untuk mendapatkan mereka. Meski demikian, penderita
dengan schizophrenia paranoid pada umumnya mampu melakukan
aktivitas sehari-hari dibandingkan dengan penderita dengan subtipe
lainnya karena schizophrenia paranoid yang paling mungkin mengalami
gejala positif daripada gejala negatif dan gejala kognitif.

B. Gejala

- Insomnia atau susah tidur 🡪 penderita mengalami kesulitan tidur karena


mereka meyakini bahwa seseorang keluar untuk mendapatkan mereka
sehingga penderita mungkin tetap terjaga sepanjang malam dalam
jangka waktu yang lama.
- Sulit makan 🡪 penderita mengalami kehilangan nafsu makan bukan
tanpa sebab. Mereka tidak mau membuang waktu untuk makan karena
penderita tidak akan membiarkan ketakutan mengejar mereka atau yang
biasa disebut “kesempatan untuk meraih mereka.”
- Agresi 🡪 penderita mungkin menjadi sangat agresif akibat dari delusi
dan halusinasi yang mereka alami.
- Mudah emosi 🡪 mudahnya tersulut emosi bahkan sampai mengamuk
yang dapat membuat orang lain ketakutan kepada penderita sehingga
penderita sulit untuk mendapatkan teman. Emosi skizofrenia tidak
dapat membawa penderita pada kondisi yang tenang.
- Paranoid 🡪 penderita mengalami perasaan kacau dan ketakutan yang
luar biasa.
- Mengisolasi diri 🡪 penderita mengisolasi diri dari dunia luar karena
merasa takut akan berbagai hal, seperti disakiti, dibunuh, dan lainnya.
- Halusinasi auditori 🡪 penderita mendengar suara-suara di kepala
mereka atau suara lainnya yang tidak didasarkan pada kenyataannya
sehingga sering kali mereka merasa terancam.
- Delusi 🡪 penderita memegang keyakinan yang tidak berdasar pada
kenyataan. Misalnya, penderita percaya bahwa pemerintah telah
menyadap telepon mereka dan mendengarkan semua percakapan
mereka sehingga mereka berpikir bahwa orang lain terus memantau
hidup mereka.
- Mudah curiga 🡪 penderita mengalami kecurigaan yang tinggi yang
bahkan tidak terpikirkan oleh orang normal akibat dari paranoid yang
tinggi sehingga penderita juga menjadi anti sosial.
- Ketergantungan pada obat-obatan 🡪 penderita mengonsumsi obatobatan
dan tidak jarang dengan alkohol sebagai bahan penenang walaupun
hanya sesaat sebelum akhirnya kembali pada keadaan semula.
- Kekerasan 🡪 beberapa penderita yang mengalami skizofrenia akan
menggunakan kekerasan sebagai akibat dari paranoia intens dan juga
sebagai alat pertahanan diri mereka dari orang-orang yang dianggap
sedang mencoba berbuat buruk kepadanya

C. Etiologi

- Keturunan
Adanya resiko skizofrenia 4 kali lebih besar dengan ibu penderita
schizophrenia. Komplikasi kehamilan yang lebih besar akan
terkait dengan hypoxia dan usia kehamilan yang lebih besar akan
terkait dengan risiko yang lebih besar dari skizofrenia pada janin
yang berkembang. Kesukaran parental seperti, stress, infeksi, mal
nutrisi, diabetes maternal dan kondisi medis lainnya berpengaruh
dengan skizofrenia. (APA, 2013)
- Biologis
Skizofrenia diakibatkan oleh berlebihnya kadar dopamin dalam
otak atau meningkatnya sensitivitas reseptor dopamin berkadar
normal. Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan pada sistem syaraf
otak yang dapat dintujukkan dengan adanya pelebaran ventrikel
otak dan penyempitan volume lobus temporal dan frontal dari hasil
pemindaian otak.
- Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor penyebab
skizofrenia antara lain adalah anak yang diperlakukan oleh ibu
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tidak berperasaan,
sedangkan ayahnya mengambi jarak dengan anaknya.
- Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan skizofrenia
pada seseorang. Hal ini dapat dijelaskan dengan selection-drift
hypothesis yaitu pemicu skizofrenia dapat dicegah dengan
mencapai kelas sosial yang lebih tinggi (APA, 2013) atau faktor
terkait kondisi lingkungan kelas bawah seperti pekerjaan
berbahaya, kondisi ibu hamil yang kurang baik, serta kesadaran
akan pentingnya menjaga diri dari stressor psikologis. Kurangnya
interaksi dan afektif yang terjalin dalam keluarga juga merupakan
salah satu faktor pemicu timbulnya skizofrenia.
D. Pengukuran dan Diagnosis

Dua atau lebih gejala di bawah, masing-masing muncul pada porsi


waktu tertentu selama periode 1 bulan (atau kurang bila dapat ditangani).
Salah satu harus merupakan (1), (2), atau (3)

- Delusi
- Halusinasi
- Berbicara tidak teratur
- Motorik kasar tidak teratur atau perilaku katatonik
- Simptom negatif
- Untuk porsi waktu tertentu sejak gejala muncul, beberapa level ranah
seperti kerja, relasi interpersonal, atau perawatan diri berada pada
tingkatan lebih rendah sebelum gejala muncul (bila pada anak- anak
dan remaja, terdapat kegagalan untuk mencapai level interpersonal,
akademik, dan fungsi bekerja yang diharapkan)
- Tanda-tanda gangguan berkesinambungan berlangsung selama
sekurang-kurangnya 6 bulan. Selama masa enam bulan ini harus
mencakup sekurang-kurangnya 1 bulan gejala (atau kurang bila dapat
ditangani) yang sesuai dengan Kriteria A dan mungkin mencakup
periode simptom prodromal dan residual.
- Tidak termasuk Schizoaffective disorder atau bipolar disorder with
psychotic features karena 1) tidak ada major depressive atau manic
episode yang muncul bersamaan dengan gejala fase aktif. 2) bila
episode mood muncul ketika gejala fase aktif, gejala tersebut juga
muncul sebagai gejala minor dari total waktu keseluruhan periode aktif
dan residual.
- Kelainan tidak diatribusikan dengan efek fisiologis dari sebuah zat
seperti penggunaan obat terlarang maupun sebuah pengobatan atau
kondisi medis lainnya.
- Bila terdapat riwayat kelainan spektrum autism atau kelainan komunikasi
pada masa kanak-kanak, maka diagnosis tambahan skizofrenia hanya bila
halusinasi atau delusi menonjol muncul sekurang-kurangnya 1 bulan
(atau kurang bila ditangani).

Khususkan bila:
Faktor spesifikasi hanya digunakan setelah durasi kelainan 1 tahun dan
bila tidak bertentangan dengan kriteria diagnostik:
- First episode, currently in acute episode 🡪 manifestasi pertama
kali dipadukan dengan gejala diagnostik dan kriteria waktu.
Episdoe akut adalah masa dimana kriteria gejala dipenuhi.
- First episode, currently in partial remission 🡪 Partial remission
adalah masa dimana terdapat peningkatan dari episode sebelumnya
dan ketika kriteria hanya dipenuhi sebagian.
- First eipsode, currently in full remission 🡪 Full remission adalah
masa dimana tidak terdapat gejala diagnostik.
- Multiple episodes, currently in acute episode 🡪 Multiple episode
dapat dipastikan setelah minimal dua episode (First episode,
remisi, dan minimal satu relaps).
- Multiple episodes, currently in partial remission
- Multiple episodes, currently in full remission
- Continuous 🡪 Gejala terpenuhi dan masih ada sebagai Mayoritas
masa penyakit, dengan ambang antar periode sangat sedikit
- Tidak terspeksifikasi

- Intervensi
⮚ Penanganan Biologis
⮚ Shock Therapy dan Psychosurgery
Sakel (1938) memperkenalkan praktek terapi bernama
coma-insulin therapy yang menyebabkan efek koma dengan
memberikan insulin dalam dosis tinggi. Sakel mengklaim bahwa ¾
pasien skizofrenia yang ditangani dengan coma-insulin therapy
menunjukkan perbaikan signifikan, namun beberapa penelitian
tidak mendukung terapi ini karena beresiko serius terhadap
kesehatan pasien, bahkan pasien dapat tidak sadar dan selanjutnya
berimbas pada kematian. Sehingga coma-insulin therapy secara
bertahap ditinggalkan. Pada tahun yang sama, Cerletti dan Bini
menciptakan electroconvulsive therapy (ECT) yang bekerja dengan
cara memberikan efek kejang dan ketidaksadaran sementara
melalui aliran arus listrik sebesar 70 dan 130 volts yang disalurkan
melalui kepala ke otak. ECT sedikit lebih efektif daripada
pemberian obat-obatan antipsikotik.
Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan lobotomi
prefrontalis yaitu prosedur pembedahan yang membuang
bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat
otak bagian bawah. Berbagai laporan mengklaim tingkat
keberhasilan yang tinggi. Kemudian selama 20 tahun sesudahnya,
ribuan pasien yang mengidap gangguan mental menjalani berbagai
variasi psychosurgery. Prosedur tersebut dilakukan terutama pada
pasien yang perilakunya agresif. Banyak pasien yang menjadi
tenang dan dapat keluar dari rumah sakit karena terapi ini. Namun
pada tahun 1950an, psychosurgery mulai ditinggalkan karena
adanya terapi obat. Selain itu, banyak pasien yang kehilangan
kemampuan kognitif dan kurang bertenaga setelah dilakukan
pembedahan.
⮚ Terapi Obat Tradisional
Obat-obat an pada skizofrenia ditemukan pada tahun 1950-an
yang secara kolektif disebut obat antipsikotik atau neuroleptik
karena menimbulkan efek lain yang sama dengan simtom-simtom
penyakit neurologis.
▪ Fenothiazin
Obat ini diciptakan oleh ahli kimia berkebangsaan jerman
diahir abad ke 19. Namun tidak mendapatkan banyak perhatian
sampai ditemukannya anti histamin yang mengandung nukleus
fenothiazin pada tahun 1940-an. Ahli bedah berkebangsaan
Prancis Laborit mempelopori penggunaan anti histamin untuk
mengurangi syok karena pembedahan. Obat ini menimbulkan
efek kantuk dan ketakutan menghadapi operasi berkurang.
▪ Khlorpromazin (Thorazine)
Obat ini merupakan suatu derivat baru Fenothiazin. Pertama kali
digunakan secara terapeutik di Amerika Serikat pada tahun 1954
dan segera menjadi terapi pilihan untuk skizofrenia karena obat
ini terbukti sangat efektif untuk menenangkan pasien
skizofrenia.
▪ Butirofenon dan thioksantin
Obat ini secara umum tampak sama efektifnya dengan
Fenothiazin dan memiliki cara kerja yang sama. Berbagai
kelompok obat tersebut dapat mengurangi simtom-simtom
positif skizofrenia, namun hanya sedikir efeknya atau bahkan
tidak memberi efek bagi simtom negatif.
▪ Obat-obat Tambahan
Obat-obat yang digunakan sebagai tambahan, yaitu diberikan
bersama dengan psikotik untuk menangani depresi atau
kecemasan atau untuk menstabilkan mood. Obat-obat
tambahan ini mencakup lithium, anti depresan, anti konvulsan,
dan obat penenang.
Dosis pemeliharaan diberikan pada pasien yang merespon
positif terhadap obat-obatan anti psikotik untuk
mempertahankan efek terapiutik. Para pasien membasa
obat-obat tersebut dan kembali ke rumah sakit secara berkala
untuk mendapatkan penyesuaian pada dosis. Meskipun
demikian, para pasien yang sudah keluar dari rumah sakit dan
tetap mendapatkan pengobatan mungkin hanya menjadi
kelompok marjinal dalam masyarakat. Mereka mungkin tidak
banyak memiliki hubungan sosial. Contohnya, mereka tidak
mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya mampu mereka
dapatkan bila tidak menderita skizofrenia.
Efek samping antipsikotik tradisional:

✔ Yang umum dilaporkan adalah pusing, penglihatan kabur,


tidak bisa tenang, dan disfungsi seksual
✔ Efek samping ekstrapiramidal yang berakar dari berbagai
disfungsi batang syaraf yang menjulur dari otak ke neuron
motorik pada tulang belakang. Efek samping
ekstrapiramidal mirip dengan simtom-simtom penyakit
parkinson
✔ Biasanya mengalami tremor pada jari, langkah yang
terseret, dan berliur
✔ Distonia yaitu suatu kondisi kekakuan otot
✔ Diskinesia yaitu suatu gerakan abnormal otot-otot sadar
dan tidak sadar
✔ Akasthesia yaitu ketidakmampuan untuk tetap diam atau
terus-menerus bergerak dan tidak dapat tenang
✔ Diskinesia tardif dialami oleh pasien skizofrenia berusia
lanjut yang ditunjukkan dengan otot-otot mulut yang tidak
dapat dikendalikan membuat gerakan menghisap, bibir
berkecap, dan dagu bergerak ke kanan dan ke kiri.
✔ Neuroleptic malignant syndrome adalah efek samping
yang paling sedikit dialami oleh pasien skizofrenia yang
mengonsumsi obat-obatan tradisional. Terjadi kekakuan
otot yang parah disertai demam, denyut jantung
meningkat, tekanan darah naik, dan pasien dapat
mengalami koma.
⮚ Terapi Obat terbaru
Klozapin (clozaril) diperkenalkan sebagai obat yang dapat
memberikan manfaat terapeutik bagi pasien skizofrenia yang tidak
merespon dengan baik obat-obat antipsikotik tradisional dan
memberikan manfaat terapiutik yang lebih besar dalam
mengurangi simtom-simtom positif dibanding obat anti psikotik
tradisiobal. Para pasien yang mengkonsumsi Klozapin juga
memiliki kemungkinan lebih kecil untuk berhenti dari terapi. Obat
ini juga menimbulkan efek samping motorik yang lebih sedikir
dibanding antipsikotik tradisional dan mangurangin angka
kekambuhan. Perlu diketahui bahwa klozapin berdampak besar
pada reseptor serotonin. Di sisi lain, obat ini menimbulkan efek
samping serius berupa melemahkan keberfungsian sistem imun
pada sejumlah kecil pasien (sekita satu persen) dengan
menurunkan jumlah sel darah putih, menjadikan pasien rentan
terhadap infeksi bahkan kematian. Obat ini juga dapat
menimbulkan efek kejang, pusing, fatik, berliur, dan penambahan
berat badan.
Keberhasilan Klozapin menstimulasi munculnya olnzapin
(Zyprexa) dan risperidon (risperdal) yang menimbulkan efek
samping motorik yang lebih sedikit dibanding efek samping
antipsikotik tradisional. Obat-obatan terbaru ini tampaknya sama
efektifnya dengan antipsikotik tradisional dalam mengurangi
simtom positif, bahkan mungkin lebih efektif. Obat-obatan tersebut
tampaknya juga lebih baik dibanding antipsikotik tradisional dalam
mengurangi tingkat perawatan kembali di rumah sakit.
Bukti-bukti yang diperoleh bahwa risperidon memperbaiki
memori jangka pendek, contohnya mampu mengingat satu nomor
telpon cukup lama untuk dapat menghubungi nomor tersebut tanpa
melihat catatan, tampaknya dengan mengurangi aktivitas reseptor
yang sensitif terhadap serotonin dalam korteks prefotalis.
Penelitian juga menunjukkan bahwa perbaikkan berkorelasi dengan
peningkatan kemampuan dalam mempelajari keterampilan sosial
dalam program rehabilitasi psikososial. Dengan demikian
resperidon memungkinkan terjadinya perubahan yang lebih
menyeluruh dalam skizofrenia dan berbagai konsekuansi
behavioralnya dibanding obat-obatan yang tidak memiliki berbagai
efek kognitif tersebut.

⮚ Penanganan Psikologis
Ada beberapa macam penanganan schizophrenia dengan
pendekatan psikologis, yaitu:
- Terapi Psikodinamika
Para penderita skizofrenia tidak mampu mengembangkan
kemampuan interpersonalnya. Harry Stack Sullivan yang
merupakan seorang psikiater berpendapat bahwa skizofrenia
merupakan suatu kondisi dimana seseorang kembali ke komunikasi
awal yaitu pada masa kanak–kanak. Ego yang lemah pada
penderita skizofr
enia menyebabkan mereka tidak mapu mengatasi stress ekstrem
dalam berbagai tantangan interpersonal. Maka dari itu pasien
mempelajari bentuk komunikasi dewasa dan memperoleh insight
pada masa lalunya. Sullivan menyarankan untuk membentuk
hubungan kepercayaan yang bertahap dan tidak mengancam.
Suatu pendekatan ego-analisis juga diutarakan oleh Frieda
Fromm-Reich-mann yang berpendapat bahwa perilaku menyendiri
pada penderita skizofrenia merupakan cerminan keinginan untuk
menghindari berbagai penolakan yang pernah dialami pada masa
kanak –kanak dan kemudian dianggap tidak dapat dihindarkan. Hal
ini harus ditangani dengan sangat sabar dan optimism besar.
- Pelatihan Keterampilan Sosial
Intervensi psikososial mengambil langkah lebih aktif yang
berfokus pada masa sekarang dan berorientasi pada kenyataan.
Terapis berusaha membantu pasien dan keluarganya mengatasi
secara langsung berbagai mssalah yang ada dalam sehari – hari
mereka hadapi dalam melakukan coping dengan penyakit yang
mengganggu dan melemahkan.
Pada pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk mengajari
para penderita skizofrenia untuk dapat berhasil dalam situasi
interpersonal yang sangat beragam misalnya keterampilan
kehidupan yaitu mmesan makanan direstoran, mengisi formolir,
belajar melakukan wawancara dan lain sebagainya,. Ketrampilan
kehidupan tersebut bukan hal yang mudah yang dapat dilakukan
oleh penderita skizofrenia, para penderita harus berusaha keras
untuk menguasainya kembali atau kembali menguasainya.
- Terapi Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi
▪ Memberikan edukasi tentang skizofrenia, kerentangan biologis
yang mempredisposisi seseorang terhadap penyakit, masalah
kognitif, simtom–simtomnya, dan tanda –tanda akan terjadinya
kekambuhan. Hal tersebut diberitahukan kepada keluarga guna
membantu mengurangi kecenderungan para anggota keluarga
terlalu mengkritik anggota keluarga yang menderita skizofrenia,
mengurangi stress pada penderita skizofrenia dan mencegah
memburuknya kondisi.
▪ Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan
antipsikotik. Memberitahukan kepada pihak keluarga akan
pentingnya penderita skizofrenia meminum obat–obat
antipsikotik dan mencaritau akan efek samping obat–obat
tersebut, selain itu memiliki inisiatif untuk melakukan konsultasi
medis.
▪ Menghindari saling menyalahkan, mendorong keluarga untuk
tidak menyalahkan dirinya sendiri maupun si penderita atas
penyakit tersebut dan atas kesulitan yang telah terjadi pada
keluarga akan penyakit tersebut.
▪ Memperbaiki komunikasi dan keterampilan penyelesaiaan
masalah dalam keluarga. Terapi mengajarkan kepada keluarga
akan mengekspresikan perasaan positif dan negative secara
konstruktif, empatik, dan tidak menuntut, buakan dengan
menuding, mengkritik, atau terlalu melindungi. Dan terapis juga
mengurangi ketegangan yang terjadi ditengah keluarga untuk
menyelesaikan maasalah di kehariaannya.
▪ Memperluas kontak sosial.
▪ Menanamkan sebuah harapan tentang sesuatu hal dapat menjadi
lebih baik.
- Terapi Kognitif Behavioral
a. Terapi personal (Personal Teraphy)
Suatu pendekatan kognitif behavioral berspektrum luas terhadap
multiplisitas masalah yang di alami oleh pasien skizofrenia saat
setelah keluar dari rumah sakit. Terapi ini dilakukan dengan cara
satu per satu ataupun dalam kelompok kecil. Mengajari pasien
bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai. Selain itu juga
diajarkan untuk meperhatikan tanda – tanda kekambuhan meskipun
kecil.
b. Terapi perilaku rasional emotif
Membantu pasien mencegah berbagai frustasi dan tantangan yang
tidak dapat terhindarkan dari kehidupan dan akan menjadi bencana
dan dapat membantu menurunkan kadar stress. Selain itu juga
diajarkan untuk relaksasi otot yang berguna untuk belajar
mendeteksi kecemasan atau kemarahan yang berkembang secara
perlahan dan akan mengendalikannya menjadi lebih baik.
c. Terapi Reatribusi (Reatribution Theraphy)
Membantu para pasien skizofrenia agar tidak menganngap sesuatu
hal yang tidak sesuai dengan mestinya menjadi sebuah bencana bagi
dirinya. Melalui diskusi kolaboratif yang dimana pasien dibantu
dalam memaknai nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid
sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya yang
berbahaya.
d. Mengamati Fungsi – fungsi kognitif Dasar
Fokus pada upaya menormalkan fungsi – fngsi kognitif fundamental
yaitu perhatian dan memori yang dapat melemahkan pasien
skizofrenia dan berhubungan dengan adaptasi sosial yang kurang
baik. Tujuannya adalah menyusun berbagai strategi intervensi yang
memaksimumkan pengguna fungsi – fungsi kognitif yang relatif
tidak terkena kerusakan karena skizofrenia seperti mengingat dan
memahami.
1.5.4 Skrizofenia Tidak Terspesifikasi
A. Pengertian

Unspecified Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic


Disorder merupakan diagnosis yang diberikan kepada individu
yang mengalami gejala skizofrenia atau gejala psikotik lainnya,
tetapi tidak memenuhi kriteria diagnostik lengkap untuk
skizofrenia atau gangguan psikotik lain yang lebih spesifik.
Gejala-gejalanya menyebabkan kesusahan, dan mengganggu fungsi
di bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi utama lainnya. Diagnosis
dapat ditetapkan ketika dokter memutuskan untuk tidak
menentukan alasan mengapa kriteria diagnostik tidak terpenuhi,
atau jika ada informasi yang tidak cukup tersedia pada saat evaluasi
untuk membuat diagnosis yang lebih spesifik (American
Psychiatric Association, 2013).

Kategori ini berlaku untuk presentasi di mana karakteristik


gejala dari spektrum skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya
yang menyebabkan gangguan signifikan secara klinis atau
gangguan di bidang sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya
berfungsi mendominasi tetapi tidak memenuhi kriteria lengkap
untuk salah satu gangguan di spektrum skizofrenia dan kelas
diagnostik gangguan psikotik lainnya. Spektrum skizofrenia yang
tidak spesifik dan kategori gangguan psikotik lainnya digunakan
dalam situasi di mana dokter memilih untuk tidak menentukan
alasan bahwa kriteria tidak terpenuhi untuk spektrum skizofrenia
tertentu dan gangguan psikotik lainnya, dan termasuk presentasi di
mana ada informasi yang cukup untuk membuat diagnosis yang
lebih spesifik (misalnya, di ruang gawat darurat).

B. Gejala
1. Gejala umum dari schizophrenia yang tidak sesuai dengan
klasifikasi tertentu atau diagnosis subtipe lain
2. Menunjukkan gejala "positif" dan "negatif", tetapi mereka
dapat berfluktuasi selama periode waktu
C. Pengukuran dan Diagnosis
Dokter harus memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk
mengenali variasi halusinasi atau delusi pasien untuk membuat
diagnosis yang akurat. Riwayat menyeluruh, informasi jaminan
dari rekanan dan kolaborasi staf medis yang menyediakan
pemeriksaan toksikologi urin atau pemeriksaan neurologis juga
dapat diindikasikan.
Pedoman Diagnostik (Menurut PPDGJ - III) :
⮚ Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
⮚ Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
paranoid,hebefrenik, atau katatonik.
⮚ Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau
depresi pasca skizofrenia.
D. Intervensi
Intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan diagnosa yang ada
mengenai Schizophrenia Tidak Terspesifikasi
1. Farmakoterapi
2. Psikoterapi
3. Sosioterapi
1.6 Perkembangan Psikopatologi Terhadap Psikotik Sejak Masa
Kanak-Kanak
A. Masa kanak-kanak awal
Pada masa kanak-kanak awal (sejak lahir hingga 6-7 tahun), anak
masih sangat tergantung pada pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhan
fisik dan psikologisnya, oleh karena itu mereka mengembangkan
kelekatan dengan pengasuhnya, biasanya ibunya. Hubungan antara
anak dengan pengasuhnya dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya,
dimana ciri kemampuan kognitif anak pada usia ini adalah pola pikir
pre-operasional (Mc Devitt & Ormrod, 2002 dalam Vernon, 2009).
Dalam masa ini, anak belajar lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang
mereka lihat atau dengar daripada hasil logika berpikir mereka. Oleh
karena itu mereka akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal
yang bersifat abstrak, contohnya seperti kesulitan memahami apa dan
bagaimana makna kematian.
Dalam hal perkembangan diri, mereka masih berada dalam fase
egosentris, artinya mereka berasumsi bahwa semua pikiran dan
perasaan semua orang sama atau merujuk pada pikiran dan perasaan
mereka, sehingga mereka sulit memahami situasi dari perspektif orang
lain (Vernon, 2009). Secara emosional, mereka sedang berproses untuk
mengenali berbagai bentuk perasaan dan emosi, serta emosi apa dan
bagaimana yang perlu ditunjukkan dalam suatu konteks situasi. Lebih
lanjut, keterbatasan perbendaharaan kata dan kepekaan penggunaan
kata yang dimiliki mereka masih terbatas, karena itu mereka juga sering
menggunakan perilaku untuk mengungkapkan emosi atau perasaan
mereka, contohnya: menangis dan melempar barang sebagai tanda
perasaan marah. Oleh karena itu, anak pada masa kanak-kanak awal
perlu mengembangkan kelekatan yang kuat (secured attachment)
dengan pengasuhnya, dimana pengasuh akan berperan penting sebagai
pemberi struktur dan sebagai panduan belajar dalam memahami dan
mengendalikan emosi anak (Edleson, 1999).
Pada usia ini anak masih sangat bergantung pada pengasuhnya atas
segala aspek kehidupan mereka, maka jika ada pengaruh negatif bisa
menimbulkan stress yang dialami balita muncul dalam berbagai gejala
seperti: mudah menangis, kurang berkembang atau mundurnya
kemampuan berbahasa dan toilet training (Osofsky, 1999); gangguan
tidur, serta persoalan kelekatan dimana anak mudah takut dan stress
jika ditinggal pengasuhnya (Lundy & Grossman, 2005). Juga
ditemukan gejala psikosomatis seperti sakit kepala, sakit perut, asma,
insomnia, mimpi buruk, tidur sambil berjalan, dan eneuresis
(Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008).
Gejala-gejala psikosomatis ini merupakan indikasi usaha ego mereka
untuk melepaskan diri dari rasa takut atau kecemasan mereka.
B. Masa Usia Sekolah
Pada masa usia sekolah (6-12 tahun) anak mengembangkan
kemampuan pemahaman emosi yang lebih kompleks. Oleh karena itu,
mereka menjadi lebih mampu merasakan apa dan bagaimana perasaan
mereka dan juga mampu memahami bagaimana perasaan orang lain.
Secara kognitif mereka juga mulai bergerak dari pola pikir
pra-operasional menuju operasional konkret; dimana kemampuan
berpikir menjadi lebih logis dan kemampuan memecahkan persoalan
menjadi lebih baik. Kemampuan bahasa berkembang melalui eksplorasi
dalam interaksi sosial. Akan tetapi, karena pola pikir yang masih
konkret, masih belum memungkinkan mereka untuk mengolah hal-hal
abstrak. Akibatnya, dalam berpikir mereka cenderung melompat pada
simpulan tertentu tanpa berpikir untuk melihat berbagai kemungkinan
atau alternatif lain terlebih dahulu (Vernon, 2009). Contohnya, jika ibu
tidak memeluk saya seperti yang biasanya ia lakukan sebelum tidur,
maka anak berpikir bahwa ada sesuatu yang ia lakukan sehingga
membuat ibunya marah dan tidak mau memeluknya. Secara personal,
perkembangan diri mereka berkembang dari pemahaman akan
atribut-atribut yang mereka miliki. Atribut psikologis atau fisik seperti,
“saya pintar”, atau “saya pendek” menjadi dasar pengembangan
kompetensi dan harga diri (self-esteem) mereka. Pada masa ini, secara
emosional mereka menjadi kritis terhadap diri sendiri dan peka
terhadap masukan dari orang lain; oleh karena itu mereka mampu
mengembangkan emosi kompleks seperti rasa bersalah, malu dan harga
diri (Cole & Cole, 1996 dalam Vernon, 2009).
Pada usia sekolah, efek yang paling sering terlihat adalah kurang
berkembangnya kemampuan sosial dan agresif, kesulitan menyesuaikan
diri dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, munculnya perasaan
sedih dan depresi (Grossman, 2005 dalam Vernon, 2009). Persoalan
yang paling besar mungkin adalah permasalahan dengan kemampuan
sosial anak. Anak dengan keterbatasan kemampuan sosial dapat
menjadi lebih reaktif-agresif atau menarik diri secara sosial; akibatnya
mereka sering dilaporkan menjadi pelaku atau korban dari bullying
(Bauer dkk., 2006). Lebih lanjut anak-anak ini dapat mengalami
kesulitan untuk mengikuti peraturan di sekolah, kurang mampu
mengembangkan relasi yang bermakna dengan teman sebaya dan sulit
mempercayai guru.
C. Masa Remaja
Periode remaja berlangsung dari usia pubertas hingga usia
kemasakan dewasa (11-12 tahun hingga 18 tahun). Pubertas ditandai
dengan perubahan fisik dan hormonal. Secara kognitif, terjadi transisi
secara bertahap dari pola piker operasional konkrit menuju operasional
formal, dimana kematangan berpikir ditandai dengan kemampuan
berpikir abstrak, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah
dan kemampuan mengkaji persoalan dari berbagai perspektif (Kaplan,
2000 dalam Vernon, 2009). Namun perlu dipahami bahwa pencapaian
kematangan berpikir biasanya dicapai pada periode akhir masa remaja,
dan waktu pencapaian kematangan berpikir ini sangat dipengaruhi oleh
perbedaan individual. Sedangkan seorang remaja muda (12-14 tahun),
kemampuan penalaran yang lebih tinggi belum tentu ikut disertai
pemahaman yang menyeluruh atas suatu situasi, misalnya: walau tahu
orang tuanya tidak memperbolehkan pulang malam, remaja mudah
akan mencoba menolak hukuman jika ia melanggar peraturan tersebut.
Secara personal, remaja berusaha untuk membentuk pribadi yang unik
dan lebih otonom.
Pada remaja muda, usaha individuasi ini masih sering berkonflik
dengan kebutuhan mereka yang masih tergantung pada orang tua baik
secara ekonomi, psikologis dan sosial. Kebutuhan menjadi diri sendiri
juga sering bersitegang dengan kebutuhan diterima oleh kelompok
teman sebaya dan teman dalam relasi intimnya. Akibatnya mereka
menjadi peka dan cenderung reaktif emosional terhadap persoalan yang
berkaitan dengan orang tua dan remaja sebayanya.
Pada remaja menengah-akhir (15-18 tahun), kemampuan berpikir
secara formal telah berkembang sehingga lebih mampu melakukan
perencanaan tentang masa depan yang lebih realistis. Secara personal,
mereka berproses untuk mengembangkan identitas dan kemandirian,
seiring dengan ini remaja juga mengalami tuntutan peran baru baik
secara seksual, psikologis dan sosial sebagai individu yang berproses
menuju kedewasaan. Kesuksesan dalam proses ini akan mempengaruhi
tingkat kepercayaan diri-nya (self confident). Didukung dengan
kedewasaan berpikir, remaja akhir lebih mampu mengendalikan emosi
dan perasaannya daripada remaja muda (Vernon, 2009).
Pada usia ini remaja masih mungkin melakukan perilaku yang
tidak konsisten antara sikap dan perilaku, contohnya: mengetahui
bahwa ia belum siap melakukan perilaku seksual namun ketika diminta
oleh pacarnya akhirnya melakukan perilaku seksual. Hal ini terjadi
bukan karena keterbatasan kognitif sehingga mereka tidak mampu
berpikir tentang alternatif lain, namun lebih dikarenakan keterbatasan
pengalaman sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang kurang
tepat.
Berbagai penelitian menunjukkan remaja yang mengalami psikotik
menunjukkan banyak persoalan dalam relasi sosialnya, mereka
mengalami kesulitan membentuk relasi intim yang sehat baik dengan
teman sebaya maupun dengan teman dalam relasi intimnya
(Levendosky, Huth-Bocks, & Semel, 2002). Memiliki masalah
kelekatan sosial terutama munculnya sikap sosial menjauh (avoidant
attachment style) yang berarti bahwa mereka memiliki tingkat
kepercayaan sosial yang rendah pada orang lain (Levendosky dkk.,
2002). Hal ini terjadi karena mereka melakukan sikap terhadap relasi
sosial yang telah dipelajari dari lingkungan keluarganya.

1.7 Faktor Penyebab Psikotik


▪ Faktor Biologik

⮚ Genetik (Heredity)

Adanya kromosom tertentu yang membawa sifat gangguan jiwa


(khususnya pada skizofrenia). Hal ini telah dipelajari pada penelitian
anak kembar, dimana pada anak kembar monozigot (satu sel telur)
kemungkinan terjadinya skizofrenia persentase tertinggi 86,2%,
sedangkan pada anak kembar dengan dua sel telur (heterozigot)
kemungkinannya hanya 14,5%.
⮚ Bentuk Tubuh (Konstitusi)

Kretschmer (1925) dan Sheldon (1942), meneliti tentang adanya


hubungan antara bentuk tubuh dengan emosi, temperamen dan
kepribadian (personality). Contohnya, orang yang berbadan gemuk
emosinya cendrung meledak – ledak, ia bisa lompat kegirangan ketika
mendapat hal yang menyenangkan baginya dan sebaliknya.

⮚ Terganggunya Otak Secara Organik

Contohnya tumor, trauma bisa disebabkan karena gagar otak yang


pernah dialami karena kecelakaan, infeksi, gangguan vaskuler,
gangguan metabolisme, toksin dan gangguan cogenital dari otak.

⮚ Pengaruh Cacat Cogenital

Contohnya: Down Syndrome (mongoloid).

⮚ Pengaruh Neurotrasmiter

Yaitu suatu zat kimia yang terdapat di otak yang berfungsi sebagai
pengantar implus antar neuron (sel saraf) yang sangat terkait dengan
penelitian berbagai macam obat–obatan yang bekerja pada susunan
saraf.
Contohnya perubahan aktivitas mental, emosi, dan perilaku yang
disebabkan akibat pemakaian zat psikoaktif.

⮚ Faktor Psikologik Hubungan Intrapersonal


⮚ Inteligensi
⮚ Keterampilan
⮚ Bakat dan minat
⮚ Kepribadian

⮚ Hubungan Interpersonal Interaksi antara kedua orang tua dengan


anaknya :
▪ Orang tua yang over protektif.
▪ Orang tua yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
▪ Peran ayah dalam keluarga.
▪ Persaingan antar saudara kandung.
▪ Kelahiran anak yang tidak diharapkan.
⮚ Faktor Sosio – Agama
▪ Pengaruh Rasial. Contoh adanya pengucilan pada warga berkulit
hitam di negara Eropa.
▪ Golongan Minoritas, Contoh pengucilan terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang menderita penyakit HIV.
▪ Masalah Nilai – Nilai yang ada dalam Masyarakat.
▪ Masalah Ekonomi, Contohnya karena selalu hidup dalam
kekurangan seorang ibu menganiyaya anaknya.
▪ Masalah Pekerjaan.
▪ Bencana Alam.
▪ Perang. Contohnya, karena perang yang berkepanjangan seorang
anak menjadi stress.
▪ Faktor Agama atau Religius baik Masalah Intra Agama ataupun
Inter Agama. Contoh perasaan bingung dalam keyakinan yang
dialami seorang anak karena perbedaan keyakinan dari orang
tuanya.

1.8 Faktor Resiko dan Pemicu Psikotik


A. Brief Psychotic Disorder
Temperamental atau emosional : gangguan dan sifat kepribadian yang
sudah ada sebelumnya dapat mempengaruhi individu terhadap
perkembangan gangguan tersebut.
B. Schizophreniform Disorder
Genetik dan fisiologis : kerabat dari individu dengan kelainan
schizophreniform memiliki peningkatan resiko untuk schizophrenia.

⮚ Schizophrenia
⮚ Lingkungan : untuk musim tertentu telah dikaitkan dengan
kejadian schizophrenia, termasuk akhir musim dingin ataun awal
musim semi di beberapa lokasi dan musim panas untuk
membentuk defisit penyakit. Insiden schizophrenia lebih tinggi
risikonya terhadap anak-anak yang tumbuh di lingkungan
perkotaan dan untuk beberapa kelompok etnis minoritas.
⮚ Genetik dan fisiologis : ada kontribusi yang kuat untuk faktor
genetik dalam menentukan risiko schizophrenia, meskipun
sebagian besar individu yang telah didiagnosis dengan
schizophrenia tidak memiliki riwayat keluarga psikosis.
Komplikasi kehamilan dan kelahiran dengan hipoksia dan usia
ayah yang lebih besar dikaitkan dengan risiko schizophrenia yang
lebih tinggi untuk janin yang sedang berkembang. Selain itu,
kesulitan prenatal dan perinatal lainnya, termasuk stress, infeksi,
malnutrisi, diabetes ibu, dan kondisi medis lainnya telah dikaitkan
dengan schizophrenia. Namun, sebagian besar keturunan dengan
faktor-faktor risiko ini tidak mengembangkan schizophrenia
⮚ Schizoaffective Disorder
⮚ Genetik dan fisiologis : diantara individu dengan
schizophrenia, mungkin ada peningkatan risiko gangguan
schizoaffective pada kerabat tingkat pertama. Risiko untuk
gangguan schizoaffective mungkin meningkat diantara individu
yang memiliki kerabat tingkat pertama dengan schizophrenia,
gangguan bipolar, atau gangguan schizoaffective.
BAB II

ANALISA KASUS

2.1 Deskripsi Kasus Secara Umum

2.1.1 Penampakan fisik kasus

Subjek : Tn. A

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Tidak Tamat SMP

Alamat : Cakung

Pasien laki-laki usia 39 tahun datang ke Poliklinik Psikiatri RS


Persahabata diantar oleh ayahnya untuk kontrol dan obat telah habis. Pasien
mengaku obat yang dikonsumsinya sudah habis sejak 2 hari yang lalu. Sejak
obat habis, pasien menjadi sedikit emosional menjadi cepat marah, tetapi
tidak ada gangguan dalam pola tidur.
Pasien pernah mendengar suara atau bisikan-bisikan seperti orang
mengobrol, pasien tidak pernah mengenal suara itu. Entah suara laki-laki atau
perempuan ataupun dari orang-orang yang pernah pasien kenal. Suara atau
bisikan-bisikan itu hampir setiap hari di dengar pasien dan perasaan pasien
menjadi cemas karena bisikan-bisikan itu terus ada terdengar ditelinga pasien.
Namun seiring perjalanan waktu, pasien mulai menghiraukan bisikan-bisikan
yang terdengar dari dalam dirinya. Pasien mengaku melihat adanya bayangan
atau penampakan menyerupai kuntilanak yang sering berada didekatnya
tetapi sosok penampakan itu tidak sampai menganggu pasien. Pasien juga
mengaku pernah merasakan menghirup bau-bauan busuk yang hanya dihirup
oleh dirinya sendiri, sedangkan lingkungan sekitar tidak menghirup bau
busuk yang dikeluhkan pasien. Selain itu pasien juga mengungkapkan bahwa
pasien pernah merasakan ada yang mencolek anggota badannya, pasien juga
merasa seperti sedang mengecap rasa asin padahal pasien tidak sedang makan
sesuatu. Saat menonton TV juga pasien mengungkapkan bahwa pembawa
acara mengejek, menertawakan serta mengajak pasien mengobrol dan pasien
juga merasa pikirannya bisa dibaca ataupun dikendalikan oleh orang lain.
Selama ini, pasien merasakan seperti ada seseorang yang mengikuti atau
bahkan seperti mengancam ingin membunuh pasien. Selain itu, pasien merasa
seperti ada seseorang yang mengontrolnya. Ini terungkap ketika pasien
sedang berada di luar rumah dan ingin kembali pulang, ketika separuh jalan
pulang pasien kembali ke tempat semula karena seperti ada yang mengontrol
dan menyuruhnya kembali ke tempat awal.
Sebenarnya, keluhan pasien sudah bermula di tahun 2001 saat pasien
masih berusia 27 tahun (sudah 12 tahun). Pasien merasa sering emosional
tanpa sebab jelas dan suka tertawa sendiri. Dengan adanya keluhan tersebut,
keluarga pasien membawa pasien berobat ke RS Jiwa Grogol namun karena
pasien disarankan untuk rawat inap oleh keluarga pasien dibawa pulang
kembali. Setelah itu, pasien sempat dibawa ke RS Jiwa Bogor atas saran
teman dari keluarga pasien. Di RS Jiwa Bogor, pasien hanya dilakukan rawat
jalan biasa dan kontrol setiap bulannya serta diberikan 3 macam obat-obatan
antara lain: Chlorpromazin 100 mg 1x1, Haloperinol 5mg 3x1dan
Trihexilphrenidil 2mg 3x1. Pasien merasa cocok diberi obat-obatan tersebut.
Setelah meminum obat yang diberikan dokter pasien mengaku keluhan seperti
sulit tidur atau mendengar suara-suara berkurang. Keluarga juga menyatakan
dengan obat-obatan tersebut, emosi pasien jauh lebih terkontrol sehingga
tidak marah-marah. Pasien tidak pernah mengalami riwayat trauma kepala,
seperti terbentur sehingga mengakibatkan gegar otak, maka kemungkinan
besar tidak ada gangguan mental organik pada pasien. Pasien mengungkapkan
bahwa keluarganya ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien
yaitu sepupu kandung pasien.
Dahulu pasien mengaku pernah mengkonsumsi atau riwayat
menggunakan zat psikotropik NAPZA yaitu cimeng dan alkohol , tetapi
sudah berhenti sebelum keluhan penyakit sekarang dikeluhkan oleh pasien.
Pasien juga mengaku sampai sekarang sehari-harinya masih mengkonsumsi
rokok. Pasien dari dulu hingga sekarang belum pernah menikah, padahal
dahulu pasien mengaku mempunyai banyak teman wanita yang dekat
dengannya. Sampai saat ini pasien ingin sekali menikah, menjadi orang kaya
dan naik haji. Saat ini suasana perasaan pasien sedang dalam keadaan sedih.
Pasien dapat melakukan kegiatan sehari-hari sendiri tanpa perlu dibantu oleh
pihak keluarga seperti mandi ataupun makan. Sehari-hari pasien tidak banyak
berakifitas, pasien dapat mengurus dirinya sendiri, seperti mandi, makan,
membersihkan kamar, menonton TV dan lain-lain. Tetapi harus diberikan
perintah terlebih dahulu. Pasien memiliki hobi berorasi dan bernyanyi,
sehingga pasien mengakui dia sering ditawari untuk bernyanyi lagu dangdut
saat acara-acara pernikahan. Pada saat ini pasien tinggal di rumah pribadi
milik orang tuanya. Ayah dan ibu kandung pasien sudah bercerai sejak pasien
berusia 6 tahun. Pasien tinggal bersama ayah kandung, ibu tiri, serta
saudaranya. Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, pasien juga
memiliki tiga orang saudara tiri. Hubungan antara pasien dengan anggota
keluarga pasien yang berada dalam satu rumah cukup baik, begitu pula
hubungan dengan ibu kandung dan keluarga tiri dari pihak ibu. Walaupun
tidak taat setiap waktu, dalam kesehariannya pasien melaksanakan ibadah
sholat lima waktu. Keluarga pasien sangat mendukung kesembuhan pasien
hal ini bisa dilihat dari kepedulian ayahnya mengantarkan kerumah sakit.
Serta biaya untuk keseharian kesehatan dan pengobatan pasien mengandalkan
uang pensiun ayah. Saat ini pasien tidak memiliki pekerjaan, dahulu pasien
pernah bekerja sebagai buruh SKU ( Standar Kerja Umum ) tetapi karena ada
pengurangan pegawai karena perusahaan bangkrut pasien harus berhenti
bekerja. Pasien menjalani pendidikan hingga SMP kelas 2, tetapi tidak tamat,
hal ini disebabkan karena tidak ada anggota keluarga yang mengawasi pasien.
Saat SD dan SMP pasien mengakui tidak pernah ada masalah baik secara
akademik maupun sosial. Masa kecil pasien hingga remaja berjalan baik
tanpa ada masalah interaksi sosial dan pasien dikenal sebagai kriteria yang
ceria dalam keluarga. Setelah sakitpun pasien juga tidak pernah merasa takut
untuk berinteraksi dengan orang lain. Pasien dapet bersosialisasi dengan baik
terhadap tertangga-tetangga rumah dan lingkungan sekitar.

2.1.2 Gejala-gejala yang tampak dalam kasus observasi

Gejala-gejala yang tampak pada pasien adalah pasien menjadi sedikit


emosional menjadi cepat marah, tetapi tidak ada gangguan dalam pola tidur.
Pasien mendengar suara atau bisikan-bisikan seperti orang mengobrol, pasien
tidak pernah mengenal suara itu. Pasien mengaku melihat adanya bayangan
atau penampakan menyerupai kuntilanak yang sering berada didekatnya
tetapi sosok penampakan itu tidak sampai menganggu pasien. Pasien juga
mengaku pernah merasakan menghirup bau-bauan busuk yang hanya dihirup
oleh dirinya sendiri, sedangkan lingkungan sekitar tidak menghirup bau
busuk yang dikeluhkan pasien. Selain itu pasien juga mengungkapkan bahwa
pasien pernah merasakan ada yang mencolek anggota badannya, pasien juga
merasa seperti sedang mengecap rasa asin padahal pasien tidak sedang makan
sesuatu. Saat menonton TV juga pasien mengungkapkan bahwa pembawa
acara mengejek, menertawakan serta mengajak pasien mengobrol dan pasien
juga merasa pikirannya bisa dibaca ataupun dikendalikan oleh orang lain.
Selama ini, pasien merasakan seperti ada seseorang yang mengikuti atau
bahkan seperti mengancam ingin membunuh pasien. Selain itu, pasien merasa
seperti ada seseorang yang mengontrolnya.

2.1.3 Perawatan yang diterima kasus selama ini

Sebenarnya, keluhan pasien sudah bermula di tahun 2001 saat pasien


masih berusia 27 tahun (sudah 12 tahun). Pasien merasa sering emosional
tanpa sebab jelas dan suka tertawa sendiri. Dengan adanya keluhan tersebut,
keluarga pasien membawa pasien berobat ke RS Jiwa Grogol namun karena
pasien disarankan untuk rawat inap oleh keluarga pasien dibawa pulang
kembali. Setelah itu, pasien sempat dibawa ke RS Jiwa Bogor atas saran
teman dari keluarga pasien. Di RS Jiwa Bogor, pasien hanya dilakukan rawat
jalan biasa dan kontrol setiap bulannya serta diberikan 3 macam obat-obatan
antara lain: Chlorpromazin 100 mg 1x1, Haloperinol 5mg 3x1dan
Trihexilphrenidil 2mg 3x1. Pasien merasa cocok diberi obat-obatan tersebut.
Setelah meminum obat yang diberikan dokter pasien mengaku keluhan seperti
sulit tidur atau mendengar suara-suara berkurang. Keluarga juga menyatakan
dengan obat-obatan tersebut,.

2.2 Analisa Kasus


2.2.1 Analisa Etiologi gejala kasus menurut literature review

Schizophrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis


Gangguan Jiwa III (PPDGJ, 2001) adalah suatu sindrom dengan variasi
penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan budaya.
Schizophrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering
mereda, namun timbul dengan manifestasi klinik yang sangat luas variasinya,
penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang sangat
bervariasi.

Menurut (Gerald C. Davidson, 2006) schizophrenia adalah gangguan


psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan
perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling
berhubungan secara logis seperti persepsi dan perhatian yang keliru, afek
yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktivitas motorik yang
bizarre.

Dari kasus tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa etiologi dari kasus tersebut
adalah :

● Organobiologik: sepupu pasien mempunyai keluhan yang sama.


● .Terdapat riwayat gangguan menilai realita berupa
- Halusinasi auditorik
- Halusinasi visual
- Halusinasi olfaktorik
- Halusinasi takti
- Halusinasi gustatorik
● Terdapat pula gangguan isi pikir berupa :
Waham kejar, delusion of reference, delusion of control, thought
broadcasting,thought withdrawal.
● Terdapat perubahan emosi (menjadi cepat marah) saat obat habis.

2.2.2 Rancangan intervensi yang perlu dilakukan dalam kasus

- Terapi Farmakologi
Rencana terapi yang diberikan adalah Psikofarmaka :Haloperinol
5mg 3x1, Chlorpromazin 100 mg 1x1 untuk malam hari,
Trihexilphrenidil 2mg 3x1. Akan diadakan evaluasi selama 2 minggu
penggunaan obat tersebut. Jika pasien tidak ada perubahan akan
ditingktkan dosis penggunaan obat.
- Psikoterapi dan Psikoedukasi
• Edukasi pentingnya minum obat secara teratur dan kontrol rutin
setiap bulan.
• Jika ada suara-suara jangan dipedulikan.
• Bila pada saat keluhan datang dan pasien merasa ketakutan, pasien
dapatmencari perlindungan dari anggota keluarganya atau jika
masih mengganggu juga segera kontrol ke dokter.
• Mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatif dengan mengisinya
dengankegiatan positif yang bermanfaat.
• Lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2.3 Diagnosa Multiaksial

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan pada pasien terdapat


kelainan pola perilaku dan psikologis yang secara klinis bermakna yang dapat
menyebabkan timbulnya distress dan disabilitas dalam fungsi sehari-hari maka
pasien dikatakan menderita gangguan jiwa

● Diagnosis Aksis I

Pada pasien ini tidak terdapat kelainan fisik yang menyebabkan


disfungsiotak, sehingga pasien ini bukan gangguan mental organik(F.0)
Dari anamnesis didapatkan riwayat penggunaan zat psikoaktif dan
minuman beralkohol, tetapi sekarang sudah berhenti.Maka pasien inibukan
gangguanmental dan perilaku akibat NAPZA (F.1).

Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan dalam menilai realita, yang
ditandai dengan adanya riwayat halusinasi visual, auditorik, olfaktorik,
taktil,gustatorik, delusion of reference , delusion of control, thought
broadcasting,thought withdrawal. Maka pasien termasuk gangguan
psikotik (F.20).

Gangguan berupa halusinasi tersebut berlangsung lebih dari 1 bulan yaitu


12 tahun yang lalu, sehingga dikatakan menderita skizofrenia (F.2)

Pada pasien ini ditemukan adanya riwayat halusinasi merasa ada yang
mengejarnya dan ingin membunuhnya. Maka pasien ini dikatakan
menderitagangguan skizofrenia paranoid (F20.0).

● Diagnosis Aksis II

Tumbuh kembang pada masa anak-anak baik, dapat bersosialisai maka


dari itu pasien tidak terdapat gangguan kepribadian. Pasien dapat
menyelesaikan pendidikan sampai kelas 2 SMP. Fungsi kognitif baik, tidak
terdapat retardasimental, oleh karena itu tidak ditemukan gangguan
kepribadian dan gangguanretardasi mental. Maka pada aksis II tidak ada
diagnosis.

● Diagnosis Aksis III

Pada anamnesis pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien ini tidak
ditemukan riwayat.Maka pada aksis III tidak ada diagnosis.

● Diagnosis Aksis IV

Pasien merupakan anak ke-1 dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama


ayah kandung, ibu tiri dan saudara nya, biaya pengobatan berasal ayahnya
karena pasien tidak bekerja karena di PHK.Maka diagnosis Aksis IV pada
pasienini adalah terdapatnya gangguan dalam perekonomian, pekerjaan.

● Diagnosis Aksis V

Pada pasien didapatkan gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.


Maka pada

aksis V didapatkan GAF Scale 60-51.

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, kelompok kami dapat
menyimpulkan bahwa Skizofrenia adalah suatu gangguan mental yang
ditandai oleh abnormalitas dari satu atau lebih dari 5 domain : delusi,
halusinasi, berbicara tidak teratur, gerak motorik kasar abnormal, dan simptom
negatif. Skizofrenia ditandai dengan penderitanya mengalami gangguan pada
pikiran, persepsi, emosi, dan perilaku. Umumnya penderita Skizofrenia
memiliki pemikiran- pemikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan
biasanya memiliki dunianya sendiri atau kehidupan fantasi yang merupakan
delusi dan halusinasi penderita. Sehingga membuat penderita Skizofrenia
sulit membedakan antara dunia nyata dengan dunia fantasi atau pemikiran
mereka sendiri. Skizofrenia pada umunya dapat terjadi melalui 3 peluang
besar, yaitu melalui genetik/keturunan, proses biokimia pada otak, serta
kondisi psikososial seseorang.
Terdapat banyak jenis skizofrenia, yaitu mulai dari Skizofrenia Hibefrenik
yang berdampak paling parah pada penderitanya karena dapat menyebabkan
sang penderita tidak dapat melakukan hal apapun. Selanjutnya ada Skizofrenia
Katatonia yang dapat juga mengindikasikan gangguan mental atau medis
lainnya. Lalu ada Skizofrenia Paranoid yang paling banyak terjadi, yaitu
ditandai dengan orang dengan Skizofrenia Paranoid mendengar suara-suara
yang berbisik. Hingga jenis Skizofrania Tidak Spesifik yang berupa jenis
skizofrenia namun tidak atau bemul dapat dipastikan dengan diagnosis yang
ada.

3.2 Saran
Bagi peneliti kasus, diharapkan dapat memperdalam pemahaman
mengenai etimologi serta gejala yang muncul dari kasus yang dialami oleh
subjek baik yang dapat diobservasi secara langsung maupun hasil wawancara
dari subjek terkait atau keluarga dan kerabat terdekat dari subjek. Peneliti
juga diharapkan agar tidak serta merta menjustifikasi subjek hanya dengan
melakukan sekali observasi dan wawancara, peneliti harus melakukan
diagnosa secara mendalam sehingga gejala-gejala khusus yang tadinya
terlihat samar dapat menjadi jelas apakah subjek mengidap schizophrenia tipe
hebefrenik, paranoid, katatonik, atau tidak terspesifikasi. Tidak hanya itu,
peneliti sangat diharapkan untuk dapat menelusuri riwayat biologis keluarga
subjek, karena tidak menutup kemungkinan bahwa subjek mendapat garis
keturunan gangguan schizophrenia sehingga subjek menderita gangguan
schizophrenia

DAFTAR PUSTAKA
DSM V. Washington: American Psychiatric Association
Francis, A. (2006, August 1). Update on Catatonia. Diambil kembali dari
www.psychiatrictimes.com:
http://www.psychiatrictimes.com/schizophrenia/update-catatonia/page/0/1
Nunes1, A. L., Filgueiras2, A., Nicolato3, R., Alvarenga4, J. M., Silveira1, L. A.,
Silva, R. A., & Cheniaux, E. (2017). Development and validation of the
Bush-Francis Catatonia Rating Scale – Brazilian version.
PPDGJ III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Rajagopal, S. (2007). Catatonia. Advances in Psychiatric Treatment.
Ramdurg, S., Kumar, S., Kumar, M., Singh, V., Kumar, D., & Desai, N. G. (2013).
Catatonia: Etiopathological diagnoses and treatment response in a
tertiary care setting: A clinical study.
Sienaert, P., Dhossche, D. M., Vancampfort, D., Hert, M. D., & Gazdag, G.
(2014). A Clinical Review of the Treatment of Catatonia.

Anda mungkin juga menyukai