PSIKOPATOLOGI
GANGGUAN SCHIZOPHRENIA
Disusun Oleh:
PSIKOPATOLOGI B-1
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
KERANGKA TEORI
1.1.1 Delusi
Delusi/waham menurut (Association, Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (4th ed., text rev.), 2000) dalam DSM-
IV yang direvisi adalah kepercayaan keliru yang berlandas pada
referensi yang tidak sesuai mengenai realitas eksternal yang
dipertahankan erat-erat, tidak peduli apapun keyakinan banyak
orang dan tidak peduli apapun dasar-dasar dan bukti-bukti nyata tak
terbantahkan yang menunjukkan kebalikannya. Delusi/waham
tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yakni (1)
Delusi persekusi (persecutory delusions) merupakan jenis delusi
yang paling sering terjadi, yaitu keyakinan individu bahwa dirinya
dalam keadaan terancam, diawasi atau diracuni oleh orang lain,
kelompok/ organisasi lain. (2) Delusi kebesaran (grandiose
delusions) adalah keyakinan individu bahwa dirinya merupakan
orang yang hebat, kaya, atau terkenal. (3) Delusi erotomania
(erotomanic delusions) adalah keyakinan keliru bahwa orang lain
sedang jatuh cinta dengannya. (4) Delusi nihilistik (nihilistic
delusions) adalah keyakinan bahwa suatu hal (dirinya, orang tertentu
atau benda tertentu) atau segalanya (dunia) sudah tidak ada lagi,
berakhir atau tidak nyata. (5) Delusi somatik (somatic delusions)
adaalah keyakinan individu bahwa kesehatan atau organ tubuhnya
mengalami perubahan (telah berubah). Selain itu, Delusi juga dapat
digolongkan menjadi dua jenis yaitu bizzare delusion atau delusi
yang tidak masuk akal dan non-bizarre delusion atau delusi yang
logis (mungkin terjadi di dunia nyata).
1.1.2 Halusinasi
Halusinasi ialah persepsi sebagaimana pengalaman yang terjadi
tanpa adanya stimulus eksternal. Persepsi tersebut nampak hidup
dan jelas dan berdampak pada persepsi normal. Halusinasi tersebut
dapat terjadi secara sensorik maupun auditori, tetapi pada orang
yang mengalami gangguan schizophrenia biasanya mengalami
halusinasi auditori seperti suara baik yang familiar atau tidak
familiar yang dirasa nyata berasal dari pikiran individu tersebut
(Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(5th ed.), 2013).
Pada anak perempuan akan tampak pemalu, tertutup dan menarik diri dari
lingkungan sosialnya, tidak mampu menikmati rasa senang, dan memberikan
ekspresi yang sangat sedikit. Lain halnya dengan yang terjadi pada anak laki-
laki yang suka menantang dengan alasan yang tidak jelas, sering mengganggu,
dan tidak disiplin.
1.3 Etiologi
1.3.1 Faktor Genetik
Dari beberapa penelitian disebutkan bahwa faktor genetik memiliki
peran dalam masalah kesehatan mental dengan pengaruh dari beberapa
faktor lain sehingga muncul gejala schizophrenia. Dalam (Bennet, 2006)
disebutkan bahwa orang-orang yang terdekat dengan penderita dapat
berbagi lingkungan yang sama dengan mereka, atau terpengaruh oleh
perilaku mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kety dkk di
tahun 1975 pada sanak keluarga biologis dari 34 anak adopsi, hanya
ditemukan satu orang yang didiagnosa menderita schizophrenia kronis
diantara keluarga tersebut. Mereka menemukan sembilan keluarga yang
terkena dampak dan seorang kritikus berpendapat tidak memberikan
bukti bahwa schizophrenia diwariskan.
Penelitian yang sama juga dilakukan pada keturunan adopsi kedua
ibu terdiagnosis schizophrenia dan yang tidak. Wahlberg dkk. pada tahun
2000 melaporkan adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
Anak perempuan terdiagnosis schizophrenia yang tinggal bersama
keluarga yang memiliki komunikasi cukup baik tidak berisiko terhadap
gangguan kognitif. Sebaliknya, yang tinggal bersama keluarga dengan
penyimpangan komunikasi berisiko lebih besar terkena schizophrenia.
Artinya, perkembangan schizophrenia bergantung pada risiko genetik
dan penyimpangan komunikasi di keluarga angkat yang terjadi sebelum
adopsi dan bukan merupakan akibat dari perilaku anak terdiagnosis
schizophrenia. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dimana faktor genetik
memengaruhi risiko schizophrenia tetapi tidak menjadi agen penyebab
tunggal dan faktor lainnya jelas terlibat dalam perkembangan gangguan
tersebut.
1.3.2 Mekanisme Biologis
Hipotesis Dopamine
Dalam gangguan ini, neuron yang dimediasi oleh dopamine
ditemukan dalam sistem limbik yang memiliki kaitan dengan
thalamus, hippocampus, frontal korteks, dan nigra substantia. Fitur
utama hipotesis dopamine adalah pengalaman orang-orang
terdiagnosis schizophrenia diakibatkan oleh kelebihan dopamine
atau reseptor pada sinapsis neuronal yang sangat super sensitif pada
jumlah dopamine normal.
Substrat Neurologis
Hal yang paling umum ditemukan dari scan otak penderita
schizophrenia termasuk pembesaran ventrikel serebral dan
penurunan kortikal terutama pada lobus temporal dan frontal
dibandingkan pemindaian normal. Hasil penelitian post-mortem
mengungkapkan adanya pengurangan kepadatan dan ukuran neuron
di daerah limbik, temporal, dan frontal, dan hubungan antara neuron
relatif tidak terorganisir.
Berikut merupakan sejumlah penyebeb potensial kerusakan
syaraf:
1) Kelebihan Dopamine
Pemicu awal episode pertama schizophrenia mungkin
melibatkan aktivitas dopaminergic yang menghasillkan gejala
positif. Namun aktivitas dopamine yang berlebihan
menyebabkan degenerasi neuron dalam sitem dopamine yang
menyebabkan tingkat aktivitas dopamine yang sangat rendah
sehingga gejalanya negatif. Meski demikian tidak semua bukti
bersifat suportif, hippocampus tampak sangat sensitif terhadap
kerusakan melalui berbagai jalur kimia. Kadar dopamine tingkat
tinggi merusak sistem saraf dalam otak, semakin lama episode
schizophrenia terjadi tanpa pengobatan, semakin banyak
kerusakan pada hippocampus yang harus terjadi dan kerusakan
yang terjadi dapat dengan dopaminergic atau proses neurotoksik
lainnya yang terkait dengan schizophrenia dan bukan aturan
pengobatan apapun.
2) Infeksi Virus
Beberapa bukti penelitian mengatakan bahwa anak-anak
yang lahir pada musim dingin lebih beriisko mengalami
schizophrenia daripada yang lahir pada musim panas. Hal ini
dikarenakan penyakit virus lebih banyak terjadi pada musim
dingin yang dapat menjadi faktor penyebab. Bukti pendukung
mengatakan anak yang terinfeksi virus lima kali lebih mungkin
mengembangkan schizophrenia daripada anak yang tidak
terinfeksi. Demikian pula pada salah satu penelitian lain, janin
perempuan yang terpapar virus influenza 5 bulan sebelum
kelahiran berisiko tinggi mengalami schizophrenia saat dewasa
daripada yang tidak.
3) Komplikasi Kehamilan dan Persalinan
Komplikasi kehamilan dan persalinan juga dapat
menyebabkan kerusakan otak halus yang meningkatkan risiko
schizophrenia. Dalam data meta-analisis yang relevan dari 11
studi mengungkapkan bahwa sejumlah komplikasi persalinan
tersebut termasuk berat lahir yang rendah, prematuritas,
memerlukan resuitasi atau ditempatkan di incubator,
kekurangan oksigen, dan ketuban pecah dini.
4) Stress kehamilan
Sejumlah penelitian menemukan bahwa perempuan Belanda
yang mengalami pemboman pada PD II selama kehamilan
mereka berisiko mengalami schizophrenia daripada yang tidak.
Namun tafsiran data ini agak rumit karena tidak semua wanita
mengalami stress sebagai konsekuensi dari faktor-faktor ini. Itu
bisa diatasi melalui perubahan hormonal pada saat stres,
perubahan perilaku kesehatan seperti merokok, konsumsi
alkohol, komplikasi persalinan, atau mekanisme lainnya.
Theory of Mind
Dalam situasi sosial, kita menafsirkan sinyal verbal dan
nonverbal orang lain untuk mnecoba dan memahami apa yang
mereka pikirkan, rasakan, yakini, dugaan, apa yang nyata, dan
sebagainya. Teori ini menyarankan pertama-tama kita perlu
memahami proses kognitif kita sendiri dan kemudian perlu
menerjemahkan pengetahuan ini ke tindakan orang lain. Elemen
kunci pada schizophrenia adalah penderita tidak memiliki teori
pikiran yang utuh. Mereka tidak dapat memahami sepenuhnya
proses kognitif mereka sendiri. Mereka dapat mengalami kesulitan
memantau maksud mereka sendiri yang menyebabkan perasaan
pasif dan tidak dapat mengendalikan tindakan mereka sendiri.
Penderita juga tidak dapat memahami pikiran orang lain sehingga
merasa sulit untuk menafsirkan apa yang dipikirkan dan dirasakan
orang lain.
Halusinasi sebagai kegagalan atensi
Penderita schizophrenia mengalami kegagalan untuk menyaring
rangsangan yang tidak relevan dan tidak diinginkan. Mereka tidak
dapat menyaring, atau memutuskan, elemen yang sesuai atau tidak
pantas untuk diperhatikan olehnya sehingga mereka merasa
terbebani oleh pengalaman indrawi danmerasa sulit untuk
berkonsentrasi dan merespons lingkungan mereka. Keteraturan
yaitu informasi tersimpan yang menentukan harapan atau
interpretasi kita terhadap suatu situasi yang mengatur reaksi kita
dalam situasi yang sama namun baru. Proses ini terjadi dengan cepat
dan otomatis dan memungkinkan kita memusatkan perhatian kita
pada apa yang penting di lingkungan kita, dan mana yang tidak.
Namun proses otomatis ini tidak terjadi pada penderita, dan
penderita tidak dapat memusatkan perhatian mereka secara tepat.
Mereka memasukkan segala sesuatu di dalam lingkungan mereka,
dan merasa terbebani oleh informasi sensorik.
Orang-orang dengan halusinasi mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi lokasi suara spasial, dan kurang akurat daripada
kontrol dalam menentukan arti kata-kata ketika dikatakan
bertentangan dengan latar belakang halusinasi meskipun sangat
yakin dengan makna yang mereka berikan pada suara tersebut.
Orang yang berhalusinasi kurang mampu membedakan kata-kata
dengan makna afektif yang membuat mereka rentan salah
menafsirkan kata-kata yang sarat akan emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
Model kognitif delusi
Menurut Bentall (2001) dalam (Bennet, 2006), delusi berada
pada ujung ekstrem sebuah rangkaian jenis pemikiran yang berjalan
dari 'pikiran biasa' hingga yang aneh dan tidak mungkin, tapi
semuanya adalah produk akhir dari proses kognitif yang serupa.
Dalam penelitiannya yang berfokus pada khayalan tentang
kepercayaan penganiayaan menunjukkan partisipannya memiliki
distorsi kognitif yang berbeda dalam kandungan spesifik mereka,
namun jenisnya sama dengan gangguan lainnya. Orang-orang yang
mengalami kepercayaan penganiayaan lebih mungkin untuk
mengingat tema yang mengancam dalam cerita yang mereka berikan
untuk dibaca sebagai bagian dari tes memori daripada orang-orang
depresi atau partisipan yang tidak memiliki masalah kesehatan
mental. Banyak orang dengan schizophrenia memiliki citra diri yang
buruk dan mengalami perbedaan yang signifikan antara diri aktual
dan ideal mereka, yaitu bagaimana mereka melihat diri mereka dan
bagaimana keadaan mereka.
Model trauma halusinasi
Romme dan Escher (1989) menganggap halusinasi sebagai
respon normal terhadap kejadian traumatis, terutama kematian dan
penyerangan seksual atau fisik. Fungsinya adalah untuk menarik
perhatian pada trauma emosional yang perlu diselesaikan dan untuk
memberikan pertahanan terhadap gangguan emosional yang terkait
dengan kenangan dengan menempatkan mereka ke orang ketiga.
Tujuan terapi adalah membantu orang mengembangkan strategi
untuk memahami makna suara yang mereka dengar, bukan untuk
menyingkirkan orang dari suara mereka (Bennet, 2006).
Coping model
Pendekatan terakhir untuk mempertimbangkan pengalaman
orang-orang yang didiagnosis dengan schizophrenia adalah bahwa
mereka adalah titik akhir dari serangkaian strategi penanggulangan
yang buruk dalam menghadapi tekanan hidup. Schizophrenia sering
menghadirkan pola perilaku yang melibatkan penarikan diri dari
teman dan keluarga, menghabiskan waktu yang terisolasi secara
sosial mungkin dalam satu ruangan, tidur yang buruk sampai
mengarah ke kelelahan, kehilangan struktur hari dan mungkin mulai
mengkonsumsi obat-obatan untuk mengurangi tekanan dan mood
yang rendah. Coping model ini menunjukkan bahwa pengalaman
orang-orang yang didiagnosis dengan schizophrenia mungkin tidak
begitu jauh dari orang lain.
ANALISA KASUS
2.3.2 Axis II
F60.0 Gangguan Kepribadian Paranoid
a. Memenuhi kriteria gangguan kepribadian dengan ciri-ciri kepekaan
berlebih terhadap kegagalan dan penolakan.
b. Kecenderungan yang mendalam dengan menyalahartikan tindakan
orang lain yang netral atau bersahabat sebagai suatu sikap
permusuhan atau penghinaan.
2.3.4 Axis IV
(1) . Masalah pendidikan dimana Nash merasa gagal menyelesaikan gelar
doktornya karena tidak kunjung menemukan teori baru.
(2). Masalah psikososial & lingkungan lain dimana hubungan pertemuan
Nash kurang berlangsung baik karena Nash yang cenderung menarik diri
merasa tidak ada yang suka dengannya dan menganggapnya kurang baik.
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Pada makalah ini, kami mengambil kasus dari salah satu film yang
berjudul “A Beautiful Mind”, pada film ini diceritakan mengenai seorang
bernama John Forbes Nash seorang ilmuwan matematika yang menderita
gangguan mental schizophrenia Dalam film ini, sebenarnya sudah dilakukan
beberapa metode penyembuhan untuk Nash, salah satunya adalah ECT
(Electroshock Therapy) atau terapi elektrokonvulsif selama 5 kali seminggu
selama 10 minggu di rumah sakit. Setelah pulang dari rumah sakit Nash
menjalani perawatan di rumah dengan Obat Psikoterapetik terus menerus.
Akan tetapi ada beberapa bagian proses penyembuhan yang belum dilakukan.
Penulis menyarankan untuk menerapkan pendekatan Family Intervention,
karena metode ini dinilai efektif memberikan support yang berguna bagi pasien
agar ia tidak relapse. Yang kedua adalah dilakukannya metode Cognitive
Behavioral Therapy. CBT berguna untuk mengubah pola berpikir pasien
sehingga berdampak juga dalam perilakunya sehari-hari agar pasien dapat
diterima secara sosial.
REFERENSI