Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PRESENTASI KELOMPOK

PSIKOPATOLOGI

GANGGUAN SCHIZOPHRENIA

Disusun Oleh:

Nova Andya S 111711133038


Maria Febiola 111711133063
Rafael Hans C. 111711133083
Teofilus Zeindian. K. 111711133096
Mochammad Rizal R. 111711133187

PSIKOPATOLOGI B-1

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I

KERANGKA TEORI

1.1 Definisi Schizophrenia


Schizophrenia adalah suatu penyakit otak persisten serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah.
Schizophrenia awalnya disebut dementia praecox oleh Kreaplin dan di
indikasikan dengan penyakit yang akan selalu memburuk tanpa adanya harapan
untuk kembali ke tingkat pre-morbid.
Menurut buku DSM-IV-TR (Association, Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders (4th ed., text rev.), 2000) terdapat gejala yang bisa
mengindikasikan schizophrenia dalam periode 1 bulan pertama yaitu delusi,
halusinasi, kemampuan berbicara yang tak teratur, perilaku katatonik atau
abnormalitas, dan gejala negatif lainnya seperti suasana hati yang datar.
Seseorang tetap bisa diduga menderita schizophrenia meskipun hanya
menunjukan satu gejala, jika salah satu gejala tersebut muncul terlalu berbeda
dari kondisi normal manusia. Contohnya berupa halusinasi suara yang selalu
mengomentari tiap tindakan individu atau adanya halusinasi suara percakapan.

1.1.1 Delusi
Delusi/waham menurut (Association, Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (4th ed., text rev.), 2000) dalam DSM-
IV yang direvisi adalah kepercayaan keliru yang berlandas pada
referensi yang tidak sesuai mengenai realitas eksternal yang
dipertahankan erat-erat, tidak peduli apapun keyakinan banyak
orang dan tidak peduli apapun dasar-dasar dan bukti-bukti nyata tak
terbantahkan yang menunjukkan kebalikannya. Delusi/waham
tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yakni (1)
Delusi persekusi (persecutory delusions) merupakan jenis delusi
yang paling sering terjadi, yaitu keyakinan individu bahwa dirinya
dalam keadaan terancam, diawasi atau diracuni oleh orang lain,
kelompok/ organisasi lain. (2) Delusi kebesaran (grandiose
delusions) adalah keyakinan individu bahwa dirinya merupakan
orang yang hebat, kaya, atau terkenal. (3) Delusi erotomania
(erotomanic delusions) adalah keyakinan keliru bahwa orang lain
sedang jatuh cinta dengannya. (4) Delusi nihilistik (nihilistic
delusions) adalah keyakinan bahwa suatu hal (dirinya, orang tertentu
atau benda tertentu) atau segalanya (dunia) sudah tidak ada lagi,
berakhir atau tidak nyata. (5) Delusi somatik (somatic delusions)
adaalah keyakinan individu bahwa kesehatan atau organ tubuhnya
mengalami perubahan (telah berubah). Selain itu, Delusi juga dapat
digolongkan menjadi dua jenis yaitu bizzare delusion atau delusi
yang tidak masuk akal dan non-bizarre delusion atau delusi yang
logis (mungkin terjadi di dunia nyata).

1.1.2 Halusinasi
Halusinasi ialah persepsi sebagaimana pengalaman yang terjadi
tanpa adanya stimulus eksternal. Persepsi tersebut nampak hidup
dan jelas dan berdampak pada persepsi normal. Halusinasi tersebut
dapat terjadi secara sensorik maupun auditori, tetapi pada orang
yang mengalami gangguan schizophrenia biasanya mengalami
halusinasi auditori seperti suara baik yang familiar atau tidak
familiar yang dirasa nyata berasal dari pikiran individu tersebut
(Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(5th ed.), 2013).

1.1.3 Kemampuan berbicara yang tak teratur


Kekacauan berpikir yang dialami oang dengan gangguan
schizophrenia secara khas dapat dilihat dari cara berbicara individu
tersebut. Individu dengan gangguan schizophrenia mungkin dapat
merubah topik satu dengan lainnya. Tetapi, jawaban yang diberikan
pada pertanyaan biasanya melenceng atau tidak berhubungan
(Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(5th ed.), 2013).

1.1.4 Perilaku Katatonik atau Abnormalitas


Kekacauan atau abnormalitas perilaku (termasuk catatonia)
yang dialami orang-orang dengan gangguan schizophrenia dapat
ditunjukkan melalui berbagai hal, mulai dari perilaku yang seperti
anak-anak ‘kedunguan/ kepandiran’ hingga agitasi/ pergolakan yang
tidak terprediksi. Masalah dapat diketahui dalam berbagai bentuk
dari perilaku yang mengarah pada tujuan (goal oriented behavior),
yang mengarah pada kesulitan untuk menjalankan aktivitas sehari-
hari. Perilaku catatonia ditandai dari menurunnya reaktivitas pada
lingkungan, mulai dari resisten pada instruksi (negatif); memiliki
postur yang aneh dan kaku; minimnya respon motorik dan verbal
(Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(5th ed.), 2013).

1.1.5 Gejala Negatif Lainnya


Gejala negatif tercakup dalam porsi substansial dari keadaan
yang tidak sehat yang diasosiasikan dengan schizophrenia tetapi
kurang menonjol pada gangguan psikotik lainnya. Adapun dua
gejala negatif yang umum terjadi pada orang-orang dengan
gangguan schizophrenia, yakni yang pertama berkurangnya ekspresi
emosi (termasuk reduksi pada ekspresi emosi pada muka, kontak
mata, intonasi perbicangan (prosody) dan gerakan tangan, kepala
dan wajah normal yang menunjukan intonasi bicara) dan yang kedua
adalah avolisi (avolition) yakni penurunan motivasi dan kegiatan,
sebagaimana individu duduk dalam waktu yang lama dan
menunjukan sedikit ketertarikan pada kegiatan sosial. Selain itu ada
juga gejala negatif lain yakni (1) Alogia adalah manifestasi
mengurangi berbicara ke orang lain (2) Anhedonia adalah
manifestasi berkurangnya kemampuan untuk mendapatkan
pengalaman menyenangkan (3) Asociality adalah ketiadaan
ketertarikan interaksi social dan diasosiasikan dengan avolition
(Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(5th ed.), 2013).

Schizophrenia terdiri dari 4 tipe, yaitu:


1. Disorganized: Di tipe ini, individu tidak mampu berbicara dengan teratur
dan menunjukan perilaku yang kacau. Selain itu, individu juga memiliki
suasana hati yang datar. Disorganisasi tingkah laku misalnya : kurangnya
orientasi pada tujuan dapat membawa pada gangguan yang serius pada
berbagai aktivitas hidup sehari-hari (Arif, 2006).
2. Paranoid: Di tipe ini, individu akan mengalami delusi paranoid, gejala
katatonik, gangguang mood dan gangguan bicara. Halusinasi pendengaran
dapat mendukung keyakinan delusional ini (Bennet, 2006).
3. Katatonik: Di tipe ini, individu akan mengalami gangguan psikomotorik.
Menurut Arif (2006) gejala tersebut meliputi ketidak-bergerakan motorik,
aktivitas motor yang berlebihan, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi, gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan
orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain.
4. Residual: Di tipe ini, individu tidak mengalami delusi yang menonjol,
halusinasi, ucapan yang tidak terorganisir, atau perilaku yang katatonik.
Meskipun begitu, menurut Bennet (2006) masih terdapat bukti pernah
adanya gangguan schizophrenia yang terus berlanjut, yang di indikasikan
dengan adanya gejala-gejala negatif atau gejala kunci schizophrenia yang
melemah.
1.2 Gejala
Pada masa anak-anak gejala awal schizophrenia sudah seringkali terlihat.
Gejala yang sering terjadi pada penderita schizophrenia biasanya pikirannya
tidak teratur, disorganisasi kepribadian yang relatif parah, ketidakmampuan
berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dan mungkin mengalami delusi
maupun halusinasi pendengaran. Jika dikelompokkan, ada tiga gangguan yang
terjadi pada penderita schizophrenia, antara lain:
 Ketidakmampuan mengekspresikan emosi
Ditandai dengan ekspresi wajah yang dingin, jarang tersenyum, dan
bersikap acuh tak acuh.
 Penyimpangan komunikasi
Penderita kesulitan dalam melakukan pembicaraan terarah.
 Gangguan atensi
Anak atau penderita tidak dapat memfokuskan, mempertahankan, dan
memindahkan atensi.

Pada anak perempuan akan tampak pemalu, tertutup dan menarik diri dari
lingkungan sosialnya, tidak mampu menikmati rasa senang, dan memberikan
ekspresi yang sangat sedikit. Lain halnya dengan yang terjadi pada anak laki-
laki yang suka menantang dengan alasan yang tidak jelas, sering mengganggu,
dan tidak disiplin.

Secara umum gejala yang sering tampak pada penderita schizophrenia


adalah sebagai berikut:

1. Realitas yang berdeda


Seperti orang normal pada umumnya, penderita schizophrenia juga
memiliki perspektif tersendiri dalam menjalani hidup. Namun perspektif
yang dimiliki oleh penderita gangguan ini terlihat sangat mencolok
perbedaannya dengan orang normal. Bahkan dapat dikatakan sangat
mencolok dan cenderung menyimpang atau terbalik dengan tidak adanya
alasan yang logis terhadap perspektif-perspektif yang ada.
2. Halusinasi
Penderita seringkali mengalami gangguan-gangguan yang sebenarnya tidak
benar-benar terjadi. Salah satunya adalah halusinasi auditori atau halusinasi
suara. Penderita sering mendengar suara-suara asing yang tidak tahu dari
mana asalnya dan biasanya sering dianggap sebagai suara-suara yang
berlanjut, peringatan bahaya yang akan datang, atau suara yang
memberitahukan sesuatu yang harus dilakukan oleh penderita. Selain itu ada
pula halusinasi visual yang membuat penderita sering melihat sebuah objek
yang tidak dilihat oleh orang lain. Halusinasi peraba, penderita akan
merasakan sensasi-sensasi tanpa bentuk yang pasti.
3. Delusi
Delusi merupakan persepsi yang salah dan dipercayai oleh penderita
terhadap suatu hal tanpa ada alasan dan bukti yang logis. Penderita
seringkali merasa tidak aman dan berpikir bahwa orang lain akan
menangkap dan menyakitinya. Namun bisa juga jika yang terjadi adalah
sebaliknya, penderita merasa bahwa dirinya merupakan seorang tokoh
besar.
4. Asosiasi yang tidak logis
Penderita kerap mengucapkan kata-kata yang tidak berkorelasi. Hal tersebut
dikarenakan pikiran penderita kacau, sehingga kata-kata yang diucapkan
terkesan ngawur dan tidak dapat dimengerti oleh orang normal.
5. Hilangnya perasaan
Hilang perasaan yang dimaksud disini adalah seperti mati rasa. Penderita
merespon suasana yang ada disekitarnya dengan sangat buruk. Jika suasana
lingkungannya sedang gembira, ia tidak merasakan hal yang sama. Begitu
pula sebaliknya suasana lingkungannya sedih, ia tidak merasakan sedih.
6. Mental yang buruk
Hal pertama yang seringkali terjadi pada penderita schizophrenia antara lain
adalah kondisi mentalnya yang cenderung menurun baik kognitif maupun
responnya dalam menanggapi rangsang dari luar. Dari segi fisik biasanya
gerak-gerik motornya lamban, kaku, tidak teratur, dan sering bertingkah
aneh.

1.3 Etiologi
1.3.1 Faktor Genetik
Dari beberapa penelitian disebutkan bahwa faktor genetik memiliki
peran dalam masalah kesehatan mental dengan pengaruh dari beberapa
faktor lain sehingga muncul gejala schizophrenia. Dalam (Bennet, 2006)
disebutkan bahwa orang-orang yang terdekat dengan penderita dapat
berbagi lingkungan yang sama dengan mereka, atau terpengaruh oleh
perilaku mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kety dkk di
tahun 1975 pada sanak keluarga biologis dari 34 anak adopsi, hanya
ditemukan satu orang yang didiagnosa menderita schizophrenia kronis
diantara keluarga tersebut. Mereka menemukan sembilan keluarga yang
terkena dampak dan seorang kritikus berpendapat tidak memberikan
bukti bahwa schizophrenia diwariskan.
Penelitian yang sama juga dilakukan pada keturunan adopsi kedua
ibu terdiagnosis schizophrenia dan yang tidak. Wahlberg dkk. pada tahun
2000 melaporkan adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
Anak perempuan terdiagnosis schizophrenia yang tinggal bersama
keluarga yang memiliki komunikasi cukup baik tidak berisiko terhadap
gangguan kognitif. Sebaliknya, yang tinggal bersama keluarga dengan
penyimpangan komunikasi berisiko lebih besar terkena schizophrenia.
Artinya, perkembangan schizophrenia bergantung pada risiko genetik
dan penyimpangan komunikasi di keluarga angkat yang terjadi sebelum
adopsi dan bukan merupakan akibat dari perilaku anak terdiagnosis
schizophrenia. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dimana faktor genetik
memengaruhi risiko schizophrenia tetapi tidak menjadi agen penyebab
tunggal dan faktor lainnya jelas terlibat dalam perkembangan gangguan
tersebut.
1.3.2 Mekanisme Biologis
 Hipotesis Dopamine
Dalam gangguan ini, neuron yang dimediasi oleh dopamine
ditemukan dalam sistem limbik yang memiliki kaitan dengan
thalamus, hippocampus, frontal korteks, dan nigra substantia. Fitur
utama hipotesis dopamine adalah pengalaman orang-orang
terdiagnosis schizophrenia diakibatkan oleh kelebihan dopamine
atau reseptor pada sinapsis neuronal yang sangat super sensitif pada
jumlah dopamine normal.
 Substrat Neurologis
Hal yang paling umum ditemukan dari scan otak penderita
schizophrenia termasuk pembesaran ventrikel serebral dan
penurunan kortikal terutama pada lobus temporal dan frontal
dibandingkan pemindaian normal. Hasil penelitian post-mortem
mengungkapkan adanya pengurangan kepadatan dan ukuran neuron
di daerah limbik, temporal, dan frontal, dan hubungan antara neuron
relatif tidak terorganisir.
Berikut merupakan sejumlah penyebeb potensial kerusakan
syaraf:
1) Kelebihan Dopamine
Pemicu awal episode pertama schizophrenia mungkin
melibatkan aktivitas dopaminergic yang menghasillkan gejala
positif. Namun aktivitas dopamine yang berlebihan
menyebabkan degenerasi neuron dalam sitem dopamine yang
menyebabkan tingkat aktivitas dopamine yang sangat rendah
sehingga gejalanya negatif. Meski demikian tidak semua bukti
bersifat suportif, hippocampus tampak sangat sensitif terhadap
kerusakan melalui berbagai jalur kimia. Kadar dopamine tingkat
tinggi merusak sistem saraf dalam otak, semakin lama episode
schizophrenia terjadi tanpa pengobatan, semakin banyak
kerusakan pada hippocampus yang harus terjadi dan kerusakan
yang terjadi dapat dengan dopaminergic atau proses neurotoksik
lainnya yang terkait dengan schizophrenia dan bukan aturan
pengobatan apapun.
2) Infeksi Virus
Beberapa bukti penelitian mengatakan bahwa anak-anak
yang lahir pada musim dingin lebih beriisko mengalami
schizophrenia daripada yang lahir pada musim panas. Hal ini
dikarenakan penyakit virus lebih banyak terjadi pada musim
dingin yang dapat menjadi faktor penyebab. Bukti pendukung
mengatakan anak yang terinfeksi virus lima kali lebih mungkin
mengembangkan schizophrenia daripada anak yang tidak
terinfeksi. Demikian pula pada salah satu penelitian lain, janin
perempuan yang terpapar virus influenza 5 bulan sebelum
kelahiran berisiko tinggi mengalami schizophrenia saat dewasa
daripada yang tidak.
3) Komplikasi Kehamilan dan Persalinan
Komplikasi kehamilan dan persalinan juga dapat
menyebabkan kerusakan otak halus yang meningkatkan risiko
schizophrenia. Dalam data meta-analisis yang relevan dari 11
studi mengungkapkan bahwa sejumlah komplikasi persalinan
tersebut termasuk berat lahir yang rendah, prematuritas,
memerlukan resuitasi atau ditempatkan di incubator,
kekurangan oksigen, dan ketuban pecah dini.
4) Stress kehamilan
Sejumlah penelitian menemukan bahwa perempuan Belanda
yang mengalami pemboman pada PD II selama kehamilan
mereka berisiko mengalami schizophrenia daripada yang tidak.
Namun tafsiran data ini agak rumit karena tidak semua wanita
mengalami stress sebagai konsekuensi dari faktor-faktor ini. Itu
bisa diatasi melalui perubahan hormonal pada saat stres,
perubahan perilaku kesehatan seperti merokok, konsumsi
alkohol, komplikasi persalinan, atau mekanisme lainnya.

1.3.3 Penyalahgunaan Zat

Selain faktor-faktor schizophrenia diatas, pemicu biokimia juga


dapat terlibat. Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Andreasson
dkk. tahun 1987 pada hampir 45.000 orang di Swedia melaporkan bahwa
mereka yang menggunakan ganja pada usia 18 tahun lebih mungkin
dirawat di rumah sakit dengan schizophrenia selama 15 tahun daripada
mereka yang tidak. Ada pula hubungan dosis-respon antara rokok dan
ganja, semakin banyak pengonsumsi ganja yang merokok akan memiliki
risiko schizophrenia yang semakin besar. Pengguna berat yang masih
muda berisiko dua kali lipat mengalami schizophrenia daripada yang
bukan. Metabolit aktif ganja meningkatkan kadar dopamine serebral dan
bisa memicu psikosis. Namun membalikkan hubungan sebab akibat,
menurut Peralta dan Cuesta (1992) dalam (Bennet, 2006) disebutkan
bahwa orang yang awalnya schizophrenia juga dapat menggunakan
ganja sebagai bentuk pengobatan sendiri untuk mengurangi pengalaman
negatif atau depresi.

1.3.4 Faktor Psikososial

Tingkat populasi tertinggi schizophrenia tergolong dalam kelompok


sosioekonomi yang lebih rendah. Individu dalam kelompok
sosioekonomi terendah tiga kali lebih mungkin terdiagnosis
schizophrenia daripada diatasnya. Status sosioekonomi rendah umumnya
merupakan penyebab dari schizophrenia pada individu yang rentan
dikarenakan tingkat stres kehidupan yang relatif tinggi. Mayoritas
penelitian menganggap emosi negatif yang tinggi dapat menjadi pemicu
untuk kambuh (bukan pemicu episode pertama).
1.3.5 Model Psikobiologis

Hipotesis dopamine dapat diperluas untuk menjelaskan hubungan


stress-schizophrenia karena terdapat bukti dari penelitian hewan bahwa
kadar dopamine meningkat pada saat stres. Berikut ini tiga tahap model
kerentanan schizophrenia:

1) Salah satu perkembangan neuron yang tidak teratur akibat faktor


genetik, natal, atau prenatal. Masalah ini mendasari gangguan
kognitif, motorik, dan sosial awal yang halus sehingga memberi
kerentanan schizophrenia.
2) Masalah tersebut terjadi pada masa remaja awal dan masa dewasa
dimana pengalaman manusia yang stres namun normal
menghasilkan peningkatan aktivitas dopamine. Konsekuensinya,
sistem neuron dopaminergic menjadi peka terhadap kadar dopamine
yang ada dan menjadi lebih reaktif sehingga menghasilkan gejala
positif schizophrenia. Semakin besar stres yang dialami, semakin
besar risiko disregulasi dan schizophrenia.
3) Jika berkelanjutan, kadar dopamine yang tinggi menyebabkan
degenerasi neuron yang menyebabkan kerusakan struktural dan
timbulnya gejala negatif.

1.3.6 Model psikologis

 Theory of Mind
Dalam situasi sosial, kita menafsirkan sinyal verbal dan
nonverbal orang lain untuk mnecoba dan memahami apa yang
mereka pikirkan, rasakan, yakini, dugaan, apa yang nyata, dan
sebagainya. Teori ini menyarankan pertama-tama kita perlu
memahami proses kognitif kita sendiri dan kemudian perlu
menerjemahkan pengetahuan ini ke tindakan orang lain. Elemen
kunci pada schizophrenia adalah penderita tidak memiliki teori
pikiran yang utuh. Mereka tidak dapat memahami sepenuhnya
proses kognitif mereka sendiri. Mereka dapat mengalami kesulitan
memantau maksud mereka sendiri yang menyebabkan perasaan
pasif dan tidak dapat mengendalikan tindakan mereka sendiri.
Penderita juga tidak dapat memahami pikiran orang lain sehingga
merasa sulit untuk menafsirkan apa yang dipikirkan dan dirasakan
orang lain.
 Halusinasi sebagai kegagalan atensi
Penderita schizophrenia mengalami kegagalan untuk menyaring
rangsangan yang tidak relevan dan tidak diinginkan. Mereka tidak
dapat menyaring, atau memutuskan, elemen yang sesuai atau tidak
pantas untuk diperhatikan olehnya sehingga mereka merasa
terbebani oleh pengalaman indrawi danmerasa sulit untuk
berkonsentrasi dan merespons lingkungan mereka. Keteraturan
yaitu informasi tersimpan yang menentukan harapan atau
interpretasi kita terhadap suatu situasi yang mengatur reaksi kita
dalam situasi yang sama namun baru. Proses ini terjadi dengan cepat
dan otomatis dan memungkinkan kita memusatkan perhatian kita
pada apa yang penting di lingkungan kita, dan mana yang tidak.
Namun proses otomatis ini tidak terjadi pada penderita, dan
penderita tidak dapat memusatkan perhatian mereka secara tepat.
Mereka memasukkan segala sesuatu di dalam lingkungan mereka,
dan merasa terbebani oleh informasi sensorik.
Orang-orang dengan halusinasi mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi lokasi suara spasial, dan kurang akurat daripada
kontrol dalam menentukan arti kata-kata ketika dikatakan
bertentangan dengan latar belakang halusinasi meskipun sangat
yakin dengan makna yang mereka berikan pada suara tersebut.
Orang yang berhalusinasi kurang mampu membedakan kata-kata
dengan makna afektif yang membuat mereka rentan salah
menafsirkan kata-kata yang sarat akan emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
 Model kognitif delusi
Menurut Bentall (2001) dalam (Bennet, 2006), delusi berada
pada ujung ekstrem sebuah rangkaian jenis pemikiran yang berjalan
dari 'pikiran biasa' hingga yang aneh dan tidak mungkin, tapi
semuanya adalah produk akhir dari proses kognitif yang serupa.
Dalam penelitiannya yang berfokus pada khayalan tentang
kepercayaan penganiayaan menunjukkan partisipannya memiliki
distorsi kognitif yang berbeda dalam kandungan spesifik mereka,
namun jenisnya sama dengan gangguan lainnya. Orang-orang yang
mengalami kepercayaan penganiayaan lebih mungkin untuk
mengingat tema yang mengancam dalam cerita yang mereka berikan
untuk dibaca sebagai bagian dari tes memori daripada orang-orang
depresi atau partisipan yang tidak memiliki masalah kesehatan
mental. Banyak orang dengan schizophrenia memiliki citra diri yang
buruk dan mengalami perbedaan yang signifikan antara diri aktual
dan ideal mereka, yaitu bagaimana mereka melihat diri mereka dan
bagaimana keadaan mereka.
 Model trauma halusinasi
Romme dan Escher (1989) menganggap halusinasi sebagai
respon normal terhadap kejadian traumatis, terutama kematian dan
penyerangan seksual atau fisik. Fungsinya adalah untuk menarik
perhatian pada trauma emosional yang perlu diselesaikan dan untuk
memberikan pertahanan terhadap gangguan emosional yang terkait
dengan kenangan dengan menempatkan mereka ke orang ketiga.
Tujuan terapi adalah membantu orang mengembangkan strategi
untuk memahami makna suara yang mereka dengar, bukan untuk
menyingkirkan orang dari suara mereka (Bennet, 2006).
 Coping model
Pendekatan terakhir untuk mempertimbangkan pengalaman
orang-orang yang didiagnosis dengan schizophrenia adalah bahwa
mereka adalah titik akhir dari serangkaian strategi penanggulangan
yang buruk dalam menghadapi tekanan hidup. Schizophrenia sering
menghadirkan pola perilaku yang melibatkan penarikan diri dari
teman dan keluarga, menghabiskan waktu yang terisolasi secara
sosial mungkin dalam satu ruangan, tidur yang buruk sampai
mengarah ke kelelahan, kehilangan struktur hari dan mungkin mulai
mengkonsumsi obat-obatan untuk mengurangi tekanan dan mood
yang rendah. Coping model ini menunjukkan bahwa pengalaman
orang-orang yang didiagnosis dengan schizophrenia mungkin tidak
begitu jauh dari orang lain.

1.4 Pengukuran dan Diagnosis


Dalam buku PPDGJ III, terdapat gejala-gejala untuk mendiagnosa penyakit
schizophrenia. Dari seluruh jenis gejala tersebut, seseorang dikatakan
mengidap schizophrenia jika memunculkan sedikitnya satu gejala secara jelas
atau lebih dari satu gejala yang kurang jelas. Gejala gejala tersebut ialah:
1. Thought echo: Apa yang dipikirkan individu terus bergema dan berulang
di kepala. Kualitas dari suara akan berbeda meski isi pikirannya sama.
2. Thought insertion or withdrawal : insertion adalah masuknya isi pikiran
asing dari luar ke dalam pikiran. Sedangkan withdrawal adalah
keluarnya isi pikiran yang diambil oleh sesuatu dari luar dirinya.
3. Thought broadcasting: apa yang dipikirknnya akan dikeluarkannya
semua hingga orang lain mengetahuinya.
4. Delution of control: individu merasa dirinya dikendalikan dari luar
dirinya
5. Delution of influence: individu merasa ada kekuatan eksternal yang
mempengaruhi dirinya dari luar.
6. Delution of passivity: individu merasa tidak berdaya atas kekuatan dari
luar dirinya dan cenderung pasrah.
7. Delution of perception: individu merasa telah mengalami pengalaman
indrawi yang tak wajar dan biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
8. Halusinasi auditorik: individu mendengar suara halusinasi yang
berkomentar secara terus-menerus tentangnya. Suara halusinasi tersebut
juga bisa berupa pembicaraan mengenai dirinya sendiri atau ada salah
satu bagian tubuh dapat bersuara secara halusinasi.
9. Merasa memilliki kekuatan atau kemampuan diatas manusia biasa,
namun oleh budaya setempat dianggap tak wajar dan mustahil
Selain itu, terdapat 4 gejala tambahan dimana individu dapat didiagnosa
menderita Schizophrenia jika memiliki sedikitnya 2 gejala yang terlihat
jelas, yaitu:
1. Individu mengalami halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja.
Halusinasi itu disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap dan terjadi setiap hari selama berminggu-minggu secara terus
menerus.
2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme (ICD-10, 1993).
3. Perilaku katatonik
4. Individu menunjukan gejala negatif. Contohnya ialah bersikap apatis,
negativism, stupor, flexibilitas cerea hinga menunjukan posisi tubuh
tertentu.
BAB II

ANALISA KASUS

2.1 Deskripsi kasus


2.1.1 Penampakan Fisik Kasus
Dalam film “A Beautiful Mind”, diceritakan John Forbes Nash
seorang ilmuwan matematika yang menderita gangguan mental
schizophrenia yang menunjukkan penampakan fisik meliputi postur
berjalan yang tidak tegap, raut wajah yang lesu, lemas dan bingung.
Gejala motorik pada John Nash dapat terlihat dari ekpresi wajahnya yang
aneh dan diikuti dengan gerakan tangan, jari, dan lengan yang aneh dan
juga dapat dilihat dari cara berjalannya yang tidak tegap tersebut. Saat
Nash berjalan, ia seperti sedang menyeret sebelah kakinya, padahal
seharusnya Nash tidak mempunyai kelainan secara fisik. Hal ini
membuat Nash sempat menjadi bahan bullyan oleh teman-temannya.
Selain itu, Nash juga tampak sering melamun dan memikirkan sesuatu.

2.1.2 Gejala yang Tampak Dalam Kasus Observasi


Dalam film ini mulai terlihat gejala delusi dimana Nash sering
berinteraksi dengan hayalannya yang berupa anak kecil dan dua orang
pria dewasa yang menemani dia selama dia berada di Princeton
University. Muncul thought echo yang lumayan intensif seperti dia sering
merasa cemas dan takut akan suatu hal contohnya saat dirinya belum bisa
menemukan topik untuk mendapat gelar doktornya, sedangkan teman-
temannya yang lain sudah memiliki penemuan-penemuan baru sehingga
ia merasa gagal. Nash juga mengalami Delution of Perception dengan
salah satu teman hayalannya yang seolah memberi ia tugas rahasia
sebagai seorang agen rahasia yang memiliki misi penting yang tidak
boleh diketahui oleh orang lain. Teman hayalannya yang selalu memberi
Nash kepercayaan bahwa hanya Nash yang mampu memecahkan kode-
kode rahasia sehingga ia merasa memiliki kemampuan yang tidak
dimiliki orang lain. Di kantornya ia sering merobek majalah dan
menempel di dinding sekitar ruangannya seolah dirinya adalah seorang
agen rahasia yang sedang memecahkan kode khusus. Setiap kali ia
merasa cemas akan suatu hal, teman hayalannya akan muncul dan
menjadi pendengar atas kecemasannya. Teman hayalannya
mempengaruhi Nash dalam perjalanan hidupnya, salah satunya saat ia
berusaha untuk membunuh istri dan anaknya.
Dia juga mengalami gangguan motorik berupa ekspresi wajah yang
aneh diikuti dengan gerakan tangan dan jari yang aneh. Nash lebih suka
untuk menyendiri karena ia merasa jika kehadirannya tidak terlalu
penting bagi orang lain dan dia juga merasa bahwa dirinya tidak disukai
oleh orang lain, seperti saat ia meninggalkan tugasnya mengajar menjadi
dosen.

2.1.3 Perawatan yang Diterima Kasus Selama Ini

Perawatan yang diterima John Nash adalah dibawa ke rumah sakit


jiwa dan dilakukan ECT (Electroshock Therapy) atau terapi
elektrokonvulsif selama 5 kali seminggu selama 10 minggu. ECT
merupakan terapi yang sering digunakan pada tahun 1940 – 1960
sebelum obat antipsikotik dan anti depresan mudah didapat. Cara kerja
terapi ini mengalirkan arus listrik berdaya sangat rendah ke otak yang
cukup untuk menghasilkan yang mirip dengan kejang epileptik. Kejang
inilah yang akan menjadi terapetik bukan arus listriknya. Sebelum
dilakukan ECT pasien disuntikkan insulin sebagai pelemas otot yang
akan mencegah spasme konvulsif otot-otot tubuh dan kemungkinan
cedera. Efek samping dari penggunaan ECT adalah kelupaan atau
gangguan memori. Efek samping ini dapat dihindari dengan menjaga
rendahnya arus listrik yang dialirkan.

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, John Nash


menjalani perawatan di rumah dengan Obat Psikoterapetik. Obat ini
harus terus-menerus diminum secara teratur oleh penderita skizofrenia.
Meskipun obat ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia, namun obat-
obat antipsikotik akan membantu penderita untuk menghilangkan
halusinas, delusi dan konfusi, serta memulihkan proses berpikir rasional.
Cara kerja obat – obat antipsikotik yaitu menghambat reseptor dopamin
dalam otak. Efek samping dari pemakaian obat tersebut adalah sulit
berkosentrasi, menghambat proses berpikir, dan tidak memiliki gairah
seksual.

2.2 Analisa Kasus


2.2.1 Analisa Etiologi Gejala Kasus
Gangguan schizophrenia dapat disebabkan dari berbagai faktor.
Dalam kasus John Nash kami mencoba untuk mengkaji faktor yang dapat
menyebabkannya mengidap gangguan schizophrenia. John Nash
merupakan seorang ilmuwan matematika. Untuk menyelesaikan gelar
doktornya ia harus menciptakan sebuah penemuan baru. Tetapi Nash
adalah orang yang introvert dan lebih suka belajar sendiri dan dia tidak
suka belajar di kelas. Teman-temannya yang sudah mulai menemukan
penemuan-penemuan membuatnya semakin merasa cemas dan takut
gagal mencapai gelar doktornya. Sampai akhirnya ia mengalami delusi
bertemu dengan teman hayalannya yaitu teman sekamarnya, seorang
agen rahasia, dan keponakan teman sekamar Nash.
Dari penjelasan tersebut, dapat diperkirakan bahwa John Nash
mengalami gangguan schizophrenia karena faktor psikososialnya. Nash
merasa bahwa ia gagal dan menarik diri dari lingkungannya karena
pikiran-pikiran negatifnya terhadap dirinya sendiri dan teman-temannya.
Sehingga ia menjadi cemas berlebihan dan menunjukan gejala-gejala
schizophrenia lainnya.

2.2.2 Rancangan Intervensi yang Perlu Dilakukan Dalam Kasus


Dalam menangani orang dengan gangguan schizophrenia, ada
beberapa macam intervensi yang dapat. Intervensi yang dilakukan dapat
berupa pencegahan dari kambuh kembali (relapse) dan penanganan
secara langsung kepada orang yang mengalami schizophrenia. Metode
Intervensi tersebut antara lain adalah:
A. Antipsychotic Medication
Intervensi ini berupa pemberian obat-obatan (psikofarmakologi)
untuk mengurangi gejala-gejala schizophrenia. Obat-obatan yang
umum digunakan untuk orang dengan gangguan schizophrenia
adalah Chlorpromazine, Haloperidol, dan Clozapine. Dalam
penggunaannya obat-obat tersebut dibedakan berdasarkan
fungsinya, seperti Chlorpromazine dan Haloperidol berfungsi untuk
menangani gejala-gejala positif schizophrenia, sedangkan
Clozapine berfungsi untuk menangani gejala-gejala negatif
schizophrenia, dan bahkan efektif digunakan ketika treatment
lainnya yang sudah dilakukan gagal. Tetapi obat-obatan tersebut
tetap memiliki efek samping bagi penderita gangguan
schizophrenia.
B. Assertive community treatment
Dalam metode ini, terdiri dari suatu komunitas yang terdiri dari
berbagai disiplin seperti psikiater, perawat, dan pekerja sosial.
Komunitas ini dibuat agar mendukung dalam merawat pasien yang
menderita schizophrenia. Komunitas ini nantinya akan mengontrol
pasien dengan datang setiap hari untuk melihat keadaan pasien
kemudian tetap keep in contact dan keep in touch dengan pasien
selama 24 jam untuk memberikan pelayanan kepada pasien.
(Adams, Psychosocial interventions for schizophrenia, 2015)
C. Electroconvulsive Therapy (ECT)
Metode Electroconvulsive Therapy (ECT) ini sebenarnya
sudah dilakukan sejak dulu, bahkan ada beberapa orang diantaranya
yang dapat sembuh dari schizophrenia. Tetapi, meta-analysis yang
dilakukan oleh Tharyan (2002 dalam Bennet, 2006) menyebutkan
bahwa ECT hanya memberikan kesembuhan jangka pendek.
Treatment dengan cara ECT kurang efektif daripada treatment obat-
obatan antipsychotic. Oleh karena itu, saat ini penggunaan ECT
dikurangi dan hanya digunakan ketika treatment lain tidak mampu
untuk menyembuhkan pasien dengan schizophrenia (Tharyan &
Adams, 2005 dalam Bennet, 2006).
D. Psychoanalytic Approach
Harry Stack Sullivan mengembangkan pendekatan ini pada
awal abad ke-20. Dalam treatment-nya, Sullivan melibatkan peran
dari masa lalu dan akar sejarah serta percabangannya pada saat ini
yang menyebabkan pola interpersonal yang maladaptive terhadap
penderita schizophrenia, bukti nyata hubungan antara penderita
dengan dokter, dan dalam kehidupan sehari-hari.
E. Family Interventions
Dalam Family Intervention, keluarga dari seseorang yang
menderita Skizophrenia dilibatkan untuk memberikan support dan
juga care kepada pasien. Bantuan dari keluarga terbilang efektif
dalam membantu pasien schizophrenia dalam mengatasi penyakit
yang dideritanya. Hubungan erat yang pasien jalin dengan
keluarganya mampu memberikan support yang berguna bagi pasien
agar ia tidak relapse. Dalam Family Intervention ini adalah
mengurangi ekspresi emosi dari keluarga yang dapat menyebabkan
penderita menjadi relapse. (Butzlaff & Hooley 2012 (Andrew A. , 2012)).
F. Cognitive Behavioural Therapy
Seiring berkembangnya zaman, metode Cognitive Behavioral
Therapy kerap kali digunakan. Dalam CBT biasanya dilakukan
pertemuan per sesi oleh terapis dan pasien. Jumlah sesi yang
digunakan biasanya sekitar 5-20 sesi. CBT menekankan pada pola
berpikir pasien dan cara pasien dalam berperilaku. Tujuan CBT
adalah mengubah pola berpikir pasien sehingga berdampak juga
dalam perilakunya sehari-hari agar pasien dapat diterima secara
sosial. (Andrew A. , 2012)

2.3 Diagnosa Multiaksial


2.3.1 Axis I
F20-F29 skizofrenia, gangguan skizotipal & gangguan waham
F20.0 Skizofrenia Paranoid
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis schizophrenia, yaitu mengalami
thought echo, delusional perception, gelisah, postur tubuh yang tidak
tegap, dan perilaku apatis.
b. Memenuhi kriteria schizophrenia paranoid, berupa suara-suara
halusinasi auditorik berupa suara mobil dan keyakinan di kejar-kejar.

F22.0 Gangguan Waham

a. Mengalami waham-waham yang menetap selama waktu yang lama.

2.3.2 Axis II
F60.0 Gangguan Kepribadian Paranoid
a. Memenuhi kriteria gangguan kepribadian dengan ciri-ciri kepekaan
berlebih terhadap kegagalan dan penolakan.
b. Kecenderungan yang mendalam dengan menyalahartikan tindakan
orang lain yang netral atau bersahabat sebagai suatu sikap
permusuhan atau penghinaan.

2.3.3 Axis III


Tidak Ada

2.3.4 Axis IV
(1) . Masalah pendidikan dimana Nash merasa gagal menyelesaikan gelar
doktornya karena tidak kunjung menemukan teori baru.
(2). Masalah psikososial & lingkungan lain dimana hubungan pertemuan
Nash kurang berlangsung baik karena Nash yang cenderung menarik diri
merasa tidak ada yang suka dengannya dan menganggapnya kurang baik.

2.3.5 Axis V Global Assessment of Functioning (GAF)


GAF = 15 (pada saat dirumah)

Dalam kasus tersebut, Nash memiliki beberapa gejala schizophrenia


seperti delusi, halusinasi dan abnormalitas perilaku. Gejala-gejala
tersebut cenderung sangat berat sampai menimbulkan bahaya
mencederai diri sendiri atau orang lain, contohnya saat ia mencoba
membunuh anaknya di kamar mandi
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Schizophrenia adalah suatu penyakit otak persisten serius yang


mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah.
Schizophrenia awalnya disebut dementia praecox oleh Kreaplin dan di
indikasikan dengan penyakit yang akan selalu memburuk tanpa adanya harapan
untuk kembali ke tingkat pre-morbid.. Terdapat gejala yang bisa
mengindikasikan schizophrenia dalam periode 1 bulan pertama yaitu delusi,
halusinasi, kemampuan berbicara yang tak teratur, perilaku katatonik atau
abnormalitas, dan gejala negatif lainnya seperti suasana hati yang datar.
Dalam hal ini, kami mengambil kasus pada film “A Beautiful Mind”,
diceritakan John Forbes Nash seorang ilmuwan matematika yang menderita
gangguan mental schizophrenia. Pendapat ini diperkuat karena memenuhi
Diagnosa Multiaksial pada axis I, axis II, axis IV, dan Axis V. Awal yang
membuat Nash mengalami hal ini adalah pencapaian akhir tugas untuk
menempuh gelar doktornya. Untuk menjadi sebuah doktor, Nash harus
memiliki penemuan baru, Nash merupakan orang introvert dan lebih suka
belajar sendiri, lalu ia mengetahui rekan-rekannya yang sudah mulai
menemukan penemuan-penemuan membuatnya semakin merasa cemas dan
takut gagal mencapai gelar yang diimpikan.

Faktor penyebab Schizophrenia menurut DSM V terjadi karena


faktor lingkungan, genetik dan fisiologis. Lingkungan kompetisi yang ketat dan
kurangnya membuka diri dapat menimbulkan delusi dan berpotensi bagi
seseorang untuk mengalami gangguan Schizophrenia. Pada kasus John Forbes
Nash ini faktor psikososial menjadi penyebab dari gangguan tersebut muncul
karena adanya gangguan atau masalah yang membuat stress jangka panjang.
Lebih spesifiknya karena perasaan cemas akan tidak dapat menyelesaikan gelar
doktornya.

3.2 Saran

Pada makalah ini, kami mengambil kasus dari salah satu film yang
berjudul “A Beautiful Mind”, pada film ini diceritakan mengenai seorang
bernama John Forbes Nash seorang ilmuwan matematika yang menderita
gangguan mental schizophrenia Dalam film ini, sebenarnya sudah dilakukan
beberapa metode penyembuhan untuk Nash, salah satunya adalah ECT
(Electroshock Therapy) atau terapi elektrokonvulsif selama 5 kali seminggu
selama 10 minggu di rumah sakit. Setelah pulang dari rumah sakit Nash
menjalani perawatan di rumah dengan Obat Psikoterapetik terus menerus.
Akan tetapi ada beberapa bagian proses penyembuhan yang belum dilakukan.
Penulis menyarankan untuk menerapkan pendekatan Family Intervention,
karena metode ini dinilai efektif memberikan support yang berguna bagi pasien
agar ia tidak relapse. Yang kedua adalah dilakukannya metode Cognitive
Behavioral Therapy. CBT berguna untuk mengubah pola berpikir pasien
sehingga berdampak juga dalam perilakunya sehari-hari agar pasien dapat
diterima secara sosial.
REFERENSI

Adams, C. (2000). Psychosocial Intervention for Schizophrenia. Quality in Health


Care, 251-256.

Andrew, A. (2012). EFFECTIVE INTERVENTIONS FOR SCHIZOPHRENIA.


London: LSE PSSRU.

Arif, I. S. (2006). Schizophrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien.


Bandung: Rafika Aditama.

Association, A. P. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


(5th ed.). Washington DC: Author.

Bennet, P. (2006). Abnormal and Clinical Psychology: An Introductory Textbook.


England: Open University Press.

ICD-10, T. (1993). Classification of mental and behavioural disorders clinical


descriptions and diagnostic guidelines. Geneva: Wrld Health Organizer.

Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan


DSM-5. Jakarta: FK-Unika Atmajaya.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai