Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

MASALAH KESEHATAN JIWA PADA SITUASI


BENCANA ALAM (BANJIR)

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :


1. HERIWATI
2. KUSTIANA
3. LIA JUNITA
4. MARSIANA KRISTINA
5. SUNARDI
6. WELLEN
7. ZULHIJAH

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH Subhanahuwata’ala yang telah memberikan rahmat


serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan serta segenap pihak yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang mengenai pembahasan mata kuliah
“MASALAH KESEHATAN JIWA PADA SITUASI BENCANA (BANJIR) ini”
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kelompok
Metode Penelitian. Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
dalam makalah ini, sehingga kami senantiasa terbuka untuk menerima
saran dan kritik dari pembaca demi penyempurnaan makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

PONTIANAK

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................1
B. TUJUAN............................................................................................................................2
1. Tujuan Umum.................................................................................................................2
2. Tujuan Khusus................................................................................................................2
C. METODE DAN SITEMATIKA PENULISAN.................................................................2
BAB II............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................3
A. KONSEP DASAR BENCANA.......................................................................................3
1. Definisi bencana.............................................................................................................3
2. Jenis bencana.................................................................................................................4
3. Fase-fase bencana.........................................................................................................4
B. KONSEP DASAR MASALAH KESEHATAN AKIBAT BENCANA...........................5
1. Dampak bencana pada aspek fisik...............................................................................5
2. Dampak bencana pada aspek psikologis/kejiwaan.....................................................6
C. MASALAH PSIKOSOSIAL AKIBAT BENCANA...................................................10
D. ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASALAH
KESEHATAN AKIBAT BENCANA......................................................................................14
BAB III.........................................................................................................................................20
APLIKASI KASUS......................................................................................................................20
A. KASUS DAN STRATEGI PELAKSANAAN................................................................20
1. PROSES KEPERAWATAN........................................................................................20
2. STRATEGI KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN
TINDAKAN KEPERAWATAN.........................................................................................21
BAB IV.........................................................................................................................................24
PENUTUP....................................................................................................................................24
A. KESIMPULAN................................................................................................................24
B. SARAN............................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di wilayah yang rawan
bencana. Hal tersebut disebabkan negara ini memiliki kondisi geografis, geologis,
hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik itu
bencana alam, non alam, dan bencana sosial. Beberapa kejadian bencana besar
seperti gempabumi dan tsunami Aceh (2004), gempabumi Padang (2005) dan
gempabumi Yogyakarta (2006) dan sebagainya telah memberikan dampak yang luar
biasa terhadap masyarakat Indonesia (BNPB, 2013)
. Beberapa bencana alam yang paling memilukan terjadi antara lain:
gempa dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 desember 2004 yang memakan
korban jiwa sebanyak 165.708 jiwa, 37.063 jiwa hilang dan kerugian materiil
mencapai lebih 48 triliun. Begitu juga dengan gempa Padang yang terjadi pada
tahun 2009 memakan korban jiwa 1.117 jiwa yang tewas, korban luka erat 1.214
jiwa dan kerugian materiil sampai triliunan rupiah. (Elita et al., 2017)
Bencana sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, bahkan hidup bersama
masyarakat dalam keaadaan alam yang ditinggalinya maupun pada pemenuhan
hasratnya dalam pengelolaan alam sekitar Akan tetapi, seringnya masyarakat
Indonesia kurang perhatian terhadap bencana justru sebelum bencana itu
menimpanya. Saat melanda, bencana selalu saja membawa kepiluan atas tragedi
kemanusiaan. Bencana menyebabkan kerugian baik moril maupun materil di tengah-
tengah masyarakat, menyebabkan degradasi mental masyarakat, gangguan psikis
dan jatuhnya korban jiwa. Bencana selalu menyandera kita atas perjumpaan kita
dengan mereka yang terkena dampak. Dalam bencana yang datang tiba-tiba dan
tanpa prediksi, masyarakat larut dalam suasana yang mencekam, panik dengan
membawa segudang persoalan masing-masing yang berubah menjadi gangguan
psikis ditala oleh bencana yang menimpa. (Sabir, 2016)
Bencana memiliki dampak yang sangat merugikan manusia, rusaknya sarana
dan prasarana fisik hanyalah sebagian kecil dari dampak terjadinya bencana
disamping masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit menular tertentu,
menurunnya status gizi, stress, trauma dan masalah psikososial, bahkan korban jiwa.
2

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa memahami
konse[ dasar masalah kesehatan jiwa pada kasus psca bencana.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui ;
a. Konsep dasar bencana,
b. Konsep dasar masalah kesehatan akibat bencana,
c. Masalah psikososial akibat bencana,
d. Asuhan keperawatan pada masalah kesehatan akibat bencana.
C. METODE DAN SITEMATIKA PENULISAN
Sitematika penulisan dalam makalah ini yakni:
BAB I : Pendahuluan : Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan dan Sistematika
Penulisan
BAB II : Tinjauan Pustaka : Konsep dasar bencana, konsep dasar masalah kesehatan
akibat bencana, masalah psikososial akibat bencana,Asuhan keperawatan pada
masalah kesehatan akibat bencana
BAB III : Aplikasi kasus : Kasus dan strategi pelaksanaan
BAB IV : Penutup : Kesimpulan dan saran
D.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR BENCANA
Berbagai musibah dan bencana alam yang terjadi dalam dua dasawarsa
terakhir ini tidak bisa lepas dari pengaruh kodisi geografis Indonesia dan ulah
manusia. Dilihat dari kondisi geografis, Indonesia adalah negara maritim yang
memiliki ribuan pulau besar dan kecil yang terletak di antara lempengan tektonis
Euro- Asia dan lempengan Indo-Australia. Disamping itu bencana juga dapat
terjadi karena ulah manusia seperti mengeksploitasi hutan yang berlebihan
sehingga menyebabkan terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, Tsunami,
banjir dan tanah longsor di berbagai daerah wilayah Indonesia.
1. Definisi bencana
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana pada bab 1: Ketentuan umum, Pasal 1 bahwa yang
dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Masah menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Beberapa
kondisi yang dapat menjadi penyebab terjadi bencana adalah kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis baik yang disebabkan oleh
faktor alam maupun faktor manusia. Akibat bencana dapat menyebabkan
timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis yang dapat menghambat pembangunan nasional
Berdasarkan beberapa pengertian bencana tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa bencana adalah suatu peristiwa atau kejadian yang
disebabkan oleh faktor alam maupun ulah manusia, yang dapat
mengakibatkan adanya kerusakan, kerugian, dan kehilangan baik materi
maupun non materi yang dapat mengganggu proses kehidupan yang tidak
dapat ditanggulangi tanpa bantuan dari orang atau pihak lain.
4

2. Jenis bencana
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana dalam Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 1
terdapat tiga macam bencana, yaitu: bencana alam, bencana non alam dan
bencana sosial;
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, Tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
3. Fase-fase bencana
Siklus bencana dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu fase pra bencana, fase
bencana dan fase pasca bencana. Fase pra bencana adalah masa sebelum terjadi
bencana. Fase bencana adalah waktu/saat bencana terjadi. Fase pasca bencana
adalah tahapan setelah terjadi bencana. Semua fase ini saling mempengaruhi dan
berjalan terus sepanjang masa.
Penanganan bencana bukan hanya dimulai setelah terjadi bencana.
Kegiatan sebelum terjadi bencana (pra-bencana) berupa kegiatan pencegahan,
mitigasi (pengurangan dampak), dan kesiapsiagaan merupakan hal yang sangat
penting untuk mengurangi dampak bencana. Saat terjadinya bencana diadakan
tanggap darurat dan setelah terjadi bencana (pasca-bencana) dilakukan usaha
rehabilitasi dan rekonstruksi.. (Erita & Mahendra, 2019)
5

B. KONSEP DASAR MASALAH KESEHATAN AKIBAT BENCANA


Bencana menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup
penduduk, termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah
terj adi bencana adalah pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk
penanganan kesehatan korban bencana, berbagai piranti legal (peraturan,
standar) telah dikeluarkan. (Fatoni, 2013). Bencana yang terjadi secara
mendadak dan cepat umumnya mengakibatkan perasaan syok dan
ketidakberdayaan pada korban. Secara garis besar dampak bencana yang
ditimbulkan dapat terjadi pada aspek fisik dan psikologis.
1. Dampak bencana pada aspek fisik
Setiap bencana pasti akan menimbulkan berbagaimacam masalah
kesehatan. Secara umum masalah kondisi fisik yang sering terjadi adalah
cidera bahkan bisa saja berupa kematian dan kehilangan.
Salah satu dampak langsung dari tetjadinya bencana alam terhadap
penduduk adalah jatuhnya korban jiwa, hilang dan luka-luka. Sedangkan
dampak tidak langsung terhadap penduduk antara lain adalah tetjadinya
banyak kerusakan-kerusakan bangunan perumahan penduduk, sarana sosial
seperti bangunan sekolah, rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya,
perkantoran dan infrastruktur jalan, jembatan, jaringan listrik dan
telekomunikasi. Selain itu, terjadinya bencana alam juga mengakibatkan
adanya kerugian ekonomi bagi penduduk, seperti kerusakan lahan pertanian
dan kehilangan mata pencaharian, terutama bagi penduduk yang bekerja
disektor in formal. (Fatoni, 2013)
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda beda,
antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus
cedera yang memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak
dijumpai pada bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera
akibat banjir dan gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi
dalam waktu relatif lama dapat menyehahkan kerusakan sistem sanitasi dan
air bersih, serta menimhulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti
diare dan leptospirosis. (Fatoni, 2013)
6

2. Dampak bencana pada aspek psikologis/kejiwaan


Selain masalah pada aspek fisik, sudah barang tentu bencana juga
akan mengakibatkan terjadinya masalah pada psikologi korban. Diantara
masalah pskologis yang ditimbulkan akibat bencana antara lain seperti
depresi, Post-traumatic stress disorder/PTSD (gangguan stress psaca trauma),
ketakutan, bunuh diri, dan masalah kesehatan mental lainya. Jika masalah
psikologis ini tidak mendapatkan pengobatan yang memadai, mereka dapat
menjadi korban dari kondisi gangguan jiwa yang lebih serius.(Novia et al., 2020). Stress
merupakan ganguan kesehatan jiwa yang tidak dapat dihindari, karena merupakan
bagian dari kehidupan (Zaini, 2019)
Ada beberapa hal yang diyakini sebagai pemicu masalah psikologis
pada masyarakat yang terdampak bencana adalah ketersediaan fasilitas
umum yang terbatas, lingkungan sosial dan sanitasi yang buruk sehingga
menyebabkan masyarakat menjadi tidak nyaman serta timbulnya penyakit
dan kehilangan anggota keluarga terutama yang mencari nafkah sehingga
keluarga yang terdampak menjadi khawatir, takut bahkan trauma secara
terus menerus serta berkepanjangan yang mengarah ke PTSD dengan
demikian dapat diartikan bahwa inidvidu yang terdampak bencana
mengalami kerugian emosional yang sangat tinggi (Price et al., 2013).
Kelompok yang paling terdampak mengalami gangguan psikologis akibat
trauma adalah kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, ibu
menyusui, serta yang memiliki komorbiditas karena kelompok tersebut
memiliki kesehatan psikologis yang tidak stabil berdasarkan kondisi
kesehatannya dan pertumbuhan psikologis yang belum matang bagi balita
yang mana mereka secara langsung menyaksikan, mengalami dan merasakan
dampak yang ditimbulkan (Pfefferbaum et al., 2014)
a. Dampak psikologis pada individu
Munculnya gejala gangguan psikologis dapat bervariasi, tergantung
banyak factor, namun bisa mencapai 90% atau bahkan lebih. Penyintas akan
menunjukkan setidaknya beberapa gejala psikologis yang negati f setelah
beberapa jam paska bencana . Pada bencana social, misalnya konflik, dua
belas minggu paska bencana, 20- 50 persen atau bahkan lebih masih dapat
menunjukkan tanda -tanda signifikan dari gangguan tersebut. Jika tidak
diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat
7

menjadi gangguan psikologis yang serius.(Dwidiyanti et al., 2018)


1) Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini adalah masa b eberapa jam atau hari setelah bencana.
Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada
menyelamatkan penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi.
Penyintas harus ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung,
pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta makanan dan
air yang cukup. Gejala -gejala berikut ini dapat muncul pada tahap
tanggap darurat:
a) Kecemasan berlebihan: Penyintas menunjukkan tanda -tanda
kecemasan , mudah terkejut bahkan oleh hal -hal yang sederhana,
tidakmampu untuk bersantai, atau tidak mampu untuk membuat kep
utusan.
b) Rasa bersalah: Penyintas yang selamat, namun anggota keluarganya
meninggal, seringkali kemudian menyalahkan diri sendiri . Mereka
merasa malu karena telah selamat, ketika orang yang dikasihinya
meninggal.
c) Ketidaksatbilan emosi dan pikiran: Beberapa penyintas mungkin
menunjukkan kemarahan tiba -tiba dan bertindak agresiv atau
sebaliknya, mereka menjadi apatis dan tidak peduli, seakan
kekurangan energi . Mereka menjadi mudah lupa ataupun mudah
menangis .
d) Kadang -kadang, penyintas muncul dalam keadaan kebingungan,
histeris ataupun gejala psikotik seperti delusi, halusinasi, bicara
tidak teratur, dan terlalu perilaku tidak teratur juga dapat muncul.
2) Tahap Pemulihan
Setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka
panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai menurun, sebagian
sukarelawan sudah tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara
bertahap berkurang. Para penyintas mulai menghadapi realitas . Ji ka p
ada minggu- minggu pertama setelah bencana, penyintas mungkin akan
melalui fase "bulan madu", ditandai dengan perasaan yg aman dan
optimisme tentang masa depan. Tetapi dalam tahap pemulihan, mereka
harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hi dup mereka.
8

Pada fase ini kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala


dominan yang sangat terasa. Pada tahap ini berbagai gejala pasca-
trauma muncul , misalnya "Pasca Trauma Stress Disorder," "Disorder
Kecemasan Generalized," "Abnormal Dukacita, " dan " Post Traumatic
Depresi "
3) Tahap Rekonstruksi
Satu tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola
kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun
banyak penyintas mungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian
yang serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini r isiko bunuh
diri dapat meningkatkan, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk
bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari -hari, dan kesulitan
berpikir dengan logis. Pada penyintas penyiksaan atau pelecehan seksual,
yang telah disiksa di kamp konsentrasi, atau yang telah tinggal selama
bulanan atau tahunan dalam suatu keadaan kronis perang saudara akan
m enjadi seseorang dengan kepribadian yang berbeda dari sebelumnya,
merek menjadi pribadi yangg penuh kebencian, pemarah dan anti sosial.
Mereka menjadi pendendam dan mudah menyerang orang lain termasuk
orang- orang yang ia sayangi. Gangguan ini pada akhirny a merusak
hubungan penyintas dengan keluarga dan komunitasnya (Dwidiyanti et
al., 2018)
b. Faktor yang mempengaruhi kerentanan Psikologis
1. Tingkat keparahan. Semakin parah bencana yang terjadi , maka semakin
buruk kemungkinan dampaknya . Pada kasus kamp -kamp konsentrasi
Nazi, genosida Rwanda, Killing Fields di Kamboja, hampir semua
orang yang mengalami peristiwa traumatis menderita akibatnya untuk
waktu yang sangat panjang.
2. Jenis bencana. Bencana yang terjadi karena manusia akan berdampak
lebih parah daripada bencana karena alam. Perang, Terorisme dan
kerusuhan sosial berdampak lebih merusak secara psikologis daripada
Gempa, Tsunami ataupun Banjir. Bencana karena manusia yang
disengaja (pembakaran toko, pemerkosaan), akan lebih merusak daripada
yang tidak disengaja (kecelakaan kerja, robohnya bangunan). Dua orang
9

pemiliki toko yang tokonya sama sama terbakar saat kerusuhan di Solo
14 Mei 2008, menunjukkan reaksi yang berbeda. Pemilik toko yang
tokonya dibakar langsung dalam amuk massa, menunjukkan gejala ptsd
yang lebih kuat daripada pemilik toko yang tokonya terbakar dalam
kerusuhan tersebut namun secara tidak langsung (karena angin yang
bertiup kencang, membawa api dari rumah ke rumah)
3. Jenis kelamin dan usia. Wanita (terutama ibu -ibu yang memilik i anak
balita), anak usia lima sampai sepuluh, dan orang- orang tua lebih
rentan daripada yang lain. Orang dengan daya tahan fisik yang lebih
lemah, akan mengintepretasikan suatu ancaman lebih besar/mengerikan
daripada seseorang dengan daya tahan tubuh yang lebih kuat.
Sebaliknya pada bayi dan anak - anak dibawah 2 tahun, meski secara
fisik mereka masih lemah, namun kondisi psikologis mereka sangat
ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa yang ada di dekat mereka
karena kemampuan kognitif mereka dalam mengenali bahaya masih
terbatas. Jika orang dewasa disekitar mereka bersikap tenang, maka
merek juga akan relatif tenang.
4. Kepribadian. Orang -orang dengan kepribadian yang matang, konsep
diri yang positip dan reseliensi yang bagus akan lebih mampu daripada
yang tidak memiliki. Orang -orang yang tumbuh dengan tidak percaya
diri, ketika menghadapi bencana juga akan mempersepsi tentang
kekuatan dirinya maupun masa depannya secara negatif dan pesimis.
5. Ketersediaan jaringan dan dukungan sosial – Keberadaan keluarga
yang mendukung, teman- teman, dan masyarakat akan mampu
mengurangi kemungkinan efek samping jangka panjang. Masyarakat
yang masih erat, dan saling peduli akan lebih mampu mengatasi masa -
masa sulit daripada masyarakat perkotaan yang individualis. K unjungan
dan sapaan terhadap penyintas, akan mempercepat pemulihan mereka.
Pada faktor ini, tradisi kenduri 7 hari, 30 hari atau 100 hari paska
kematian pada masyarakat Muslim di Jawa ataupun kebaktian
penghiburan pada orang Nasrani, memiliki peranan yang besar dalam
pemulihan. Penyintas yang kehilangan anggota keluarganya
mendapatkan dukungan sosial dengan kehadiran saudara dan sahabat
mereka .
10

6. Pengalaman sebelumnya . M ereka yang telah berhasil meng atasi


dengan trauma di masa lalu, lebih dapat me ngatas i bencana berikutnya
dengan lebih baik (Dwidiyanti et al., 2018)
11

C. MASALAH PSIKOSOSIAL AKIBAT BENCANA


Psikososial merupakan salah satu istilah yang merujuk pada
perkembangan psikologi manusia dan interaksinya dengan lingkungan sosial.
Hal ini terjadi karena tidak semua individu mampu berinteraksi atau sepenuhnya
menerima lingkungan sosial dengan baik. Psikososial adalah Suatu kondisi yang
terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya
secara terintegrasi. Aspek kejiwaan berasal dari dalam diri kita, sedangkan
aspek sosial berasal dari luar, dan kedua aspek ini sangat saling berpengaruh
kala mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan.
Untuk mencapai kesehatan yang optimal setidaknya ada empat aspek
yang harus dimiliki oleh setiap individu yakni fisik, psikologis, sosikultural dan
spiritual. Gangguan kesehatan fisik pada sebagian klien merupakan sebuah
stressor yang meniumbulkan masalah kesehatan jiwa. (Zaini, 2019), tentunya
kondisi ini juga terjadi pada korban bencana alam. Reaksi-reaksi psikososial
yang mungkin akan timbul pasca bencana diantaranya adalah (Dwidiyanti et al.,
2018):
1. Pada tahap awal timbul ketakutan akan laut dan mimpi – mimpi buruk,
2. Tidak percaya pada laut, mereka menjadi takut untuk kembali tinggal di
pesisir pantai,
3. Timbulnya perasaan bersalah,
4. Banyak orang yang mengalami reaksi stres akut, perasaan berduka, bingung
dan sangat emosional. Reaksi tersebut secara umum bersifat temporal,
5. tingkat kehilangan nyawa yang tinggi, sehingga seluruh masyarakat
menderita bersama – sama, dan masalah psikososial utama yang
teridentifikasi adalah reaksi kesedihan, umumnya diperberat oleh rasa
bersalah, kemarahan dan permusuhan serta gagasan untuk bunuh diri,
6. Keadaan ekonomi berubah secara besar–besaran akibat bencana. Bahkan ada
kasus bunuh diri karena kehilangan harta benda,
7. Sistem pendukung umum telah hancur, semua anggota masyarakat
mengalami bencana, individu tidak menerima bantuan dari masyarakat.
Struktur desa dan masyarakat telah hancur, orang – orang berpindah pada
keadaan dan situasi yang berbeda, baik dari segi lingkungan maupun sosial,
8. Belum adanya persiapan diri dan skala kerusakan akibat bencana telah
12

menambah kesusahan masyarakat. Sepertinya mereka tidak mampu untuk


menghadapi tekanan/stres untuk waktu yang lama,
9. Orang – orang yang terkena bencana harus berurusan dengan stres praktis.
Stres praktis tersebut misalnya sistem registrasi yang rumit, berusaha untuk
menyatukan kembali anggota keluarga yang masih ada, tidak meratanya
pembagian distribusi dan pertolongan, harus tinggal di pusat – pusat
penampungan dan di tempat penampungan sementara, Keluarga yang
terpisah setelah bencana terdapat di tempat penampungan yang berbeda.
10. Emosi dan pertanyaan yang tak terjawab mengenai keadaan kerabatnya,
kasus tubuh yang tidak diketemukan atau hanya teridentifikasi secara
umum/tidak spesifik dan berbagai hal yang berhubungan dengan keadaan
dukacita,
11. Kurangnya kesempatan untuk melaksanakan ritual pemakaman. Hal ini
berhubungan dengan pemakaman dilakukan secara masal karena banyak
mayat yang tidak teridentifikasi dengan baik,
12. Ekpresi marah adalah reaksi yang paling umum. Mereka juga saling
menyalahkan karena kematian anggota keluarganya, marah pada diri sendiri
dan merasa bersalah. Kemarahan juga ditujukan kepada pihak lain seperti
pada kelompok distribusi bantuan dan pemerintah,
13. Terdapat masyarakat yang memandang secara magis tentang penyebab
terjadinya bencana dan berusaha dengan cara – cara tertentu untuk selamat
dari bencana,
14. Kurangnya koordinasi antara organisasi dan agensi yang menyebabkan
banyaknya bantuan yang tidak tersalurkan kepada yang membutuhkan.
Khususnya pada proses pemulihan bagi yang mengalami reaksi psikolgis
yang berat sehingga penderitaan para korban semakin parah,
15. Kurangnya sikap peka dan simpatik pemerintah terhadap para korban.
Demikian juga dengan campur tangan politik yang mengejar keuntungan
sendiri menyebabkan sulit terpenuhinya kebutuhan para korban,
16. Banyak korban yang mempunyai riwayat kerugian di masa lalu yang dapat
membangkitkan kenangan dan reaksi emosi mereka karena bencana
sekarang. Dengan begitu semakin sulit bagi individu untuk menghadapinya,
17. Salah satu kelompok yang mempunyai kebutuhan paling spesifik yakni para
remaja, khususnya yang kehilangan orang tua. Mereka terlihat di pusat–
13

pusat pemondokkan, menarik diri dan marah. Jika program spesifik tidak
dilakukan dengan pada kelompok ini, akan timbul risiko perkembangan
personalitas yang menyimpang seperti tindakkan anti sosial,
pengeksploitasian oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab,
18. Terdapat semangat dan antusiasme yang tinggi dari beberapa kelompok
untuk melakukan aktivitas psikososial, meskipun tidak semua kelompok ini
dibekali dengan kompetensi yang cukup untuk melakukan intervensi
psikososial.

Menurut (Dwidiyanti et al., 2018) terdapat bebrapa aktivitas psikososial


yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah psikososial pasca bencana
diantaranya ;
1. Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung
a. Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja bantuan, misalnya
defusing dan debriefing untuk mencegah secondary trauma
b. Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first aid), misalnya
berbagai macam teknik relaksasi dan terapi praktis
c. Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat.
d. Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi an ak
e. Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.
2. Tahap Pemulihan: Bulan pertama
a. Lanjutkan tahap tanggap darurat
b. Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan dengan
efek trauma
c. Melatih konselor bencana tambahan
d. Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada
penyintas
e. Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyaraka
3. Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua
a. Lanjutkan tugas tanggap bencana.
b. Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang reseliensi atau
ketangguhan.
c. Mengembangkan jangkauan layanan untuk mengidentifikasi mereka yang
masih membutuhkan pertolongan psikologis.
14

d. Menyediakan "debriefing" dan layanan lainnya untuk penyintas bencana


yang membutuhkan.
e. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas lainnya
berbasis lembaga.
4. Fase Rekonstruksi
a. Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja
kemanusiaan dan penyintas bencana.
b. Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi datangnya bencana lagi.
c. Pertahankan "hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa menghubungi
konselor jika mereka membutuhkannya.
d. Memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang
pendampingan psikososial agar mereka mampu mandiri

Hasil assessment akan menjadi panduan dalam pelaksanaan program


dukungan psikososial. Beberapa hal yang perlu diassest meliputi (Dwidiyanti et al.,
2018) ;
1. Rasa aman. Terbangunnya rasa aman secara psikologis menjadi pondasi bagi
berbagai intervensi lainnya. Rasa aman psikologis dapat terbangun jika
beberapa syarat terpenuhi, misalnya penyintas mendapatkan makanan,
minuman, kesehatan dan lokasi berlindung yang memadai, penyintas
mengetahui atau minimal memiliki akses informasi mengenai keberadaan
anggota keluarganya, dan penyintas memiliki media untuk mengekspresikan
emosinya
2. Kondisi kesehatan mental . Kondisi kesehatan mental dapat diasessest melalui
berbagai metode, mi salnya dengan berbagai macam angket tentang stres paska
trauma (terlampir) atau menggunakan metode lain, misalnya melalui media
debriefing. Pada anak -anak proses assesment bisa dilakukan dengan permainan,
misalnya dengan menggunakan kartu yang berisikan gejala -gejala stress
(terlampir) atau dengan permainan, disela -sela permainan pekerja kemanusiaan
melontarkan gejala stress dan meminta anak -anak yang memiliki gejala
tersebut untuk angkat tangan (misalnya, siapa yang masih sering mimpi
tsunami? ). Anak -ana k yang cukup sering angkat tangan ataupun ditunjuk oleh
temannya, perlu mendapatkan perhatian. Kita perlu mencari informasi lebih
lengkap tentang anak tersebut melalui orang tuanya ataupun orang dewasa lain
15

yang mendampinginya.
3. Kearifan lokal. Setiap budaya pasti sudah mengembangkan aturan dan tradisi
untuk melindungi komunitasnya, termasuk memandu anggotanya untuk pulih
dari suatu bencana. Pekerja kemanusiaan perlu menggali informasi tentang
ritual -ritual atau tradisi yang dimiliki, dan menggunakannya seba gai bagian
dari intervensi psikososial.
16

D. ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASALAH KESEHATAN AKIBAT


BENCANA
1. Pengkajian saat terjadi bencana
a. Pengkajian umum
1) Nama
2) Usia
3) Jenis kelamin
4) Alamat
5) Status
6) Pekerjaan
7) agama
b. Pengkajian khusus
1) Data Subjektif
a) Menceritakan kejadian atau peristiwa yang traumatis
b) Mengatakan takut atas kejadian bencana yang terjadi
c) Mengatakan resah saat terjadi kembali peristiwa bencana yang
dialami
d) Mengatakan tidak berguna
e) Mengatakan was-was
f) Merasakan fikiran terganggu
g) Tidak ingin mengingat peristiwa itu kembali dengan menceritakannya
lagi
h) Mengingat peristiwa trauma
i) Merasa malu
j) Mengatakan setiap mengingat kejadian bencana merasa jantung
berdebar-debar
2) Data Objektif
a) Mengasingkan diri
b) Menangis
c) Marah
d) Gelisah
e) Menghindar
f) Depresi
17

g) Sulit berkomunikasi
h) Keadaan modd terganggu
i) Sesak didada
j) Lemah
3) Factor predisposisi
a) Genetic
Individu yang dilahirkan dibesarkan dalam keluaraga yang
mempunyai riwayat depresi biasanya sulit mengembangkan sikap
optimis dalam menghadapi suatu permasalahan, termasuk
menghadapi kehilangan.
b) Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, secara hidup terataur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang sedang mengalami gangguan
fisik.
c) Kesehatan mental/jiwa
Individu yang mempunyai gangguan jiwa seperti depresi yang
ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimis dan dibayangi
dengan masa depan yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi
kehilangan.
d) Pengalaman kesehatan dimasa lalu
Kehialngan atau perpisahan denagn orang yang bermakna dimasa
kanak-kanak mempengaruhi individu dalam menghadapi kehilangan
di masa dewasa
4) Factor presipitasi
Stress yang nyata seperti kehilangan yang bersifat biopsikososial antara
lain kehialngan kesehatan(sakit), kehilangan fungsi seksualitas,
kehilangan keluarga dan harta benda, indibidu yang kehilangan sering
menunjukan perilaku seperti menangis atau tidak mampu menangis,
marah, putus asa, kadang ada tanda upaya bunuh diri atau melukai orang
lain yang akhirnya membawa keadaan depresi.
5) Spiritual
a) Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b) Kehadiran tempat ibadah
18

c) Pentingnya agama dalam kehidupan pasien


d) Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian
6) Orang-orang terdekat
7) Sosioekonomi
8) Kultural
2. Diagnosa (SDKI PPNI, 2017)
a. Berduka b.d kematian keluarga atau orang yang berarti
b. Ansietas b.d Krisis situasional
c. Keputusasaan b.d stress jangka Panjang
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
(SDKI PPNI, 2017) hasil (Tim Pokja, 2016)
(PPNI, 2022)
Berduka b.d kematian Setelah dilakukan Dukungan Proses Berduka
keluarga atau orang askep selama 3x24 1. Observasi
yang berarti d.d; jam diharapkan a. Identifikasi kehilangan yang
1. Subjektif tingkat berduka dihadapi
a. Merasa sedih, membaik dengan b. Identifikasi proses berduka yang
b. Merasa bersalah kriteria hasil dialami
atau 1. Verbalisasi c. Identifikasi sifat keterikatan pada
menyalahkan menerima benda yang hilang atau orang yang
orang lain kehilangan meninggal
c. Tidak menerima meningkat d. Identifikasi reaksi awal pada
kehilangan 2. Verbalisasi kehilangan
d. Merasa tidak harapan 2. Terapeutik
ada harapan meningkat a. Tunjukan sikap menerima dan
2. Objektif 3. Verbalisasi empati
a. Menangis perasaan sedih b. Motivikasi agar mau
b. Pola tidur menurun mengungkapkan perasaan
berubah 4. Verbalisasi kehialangan
c. Tidak mampu perasaan bersalah c. Motivasi untuk menguatkan
berkonsentrasi atau menyalahkan dukungan keluarga atau orang
orang lain terdekat
menurun d. Fasilitasi kelakuan kebiasaan sesuai
5. Menangis dengan budaya, agama dan norma
menurun
19

6. Pola tidur social


membaik e. Fasilitasi mengekspresikan
7. Konsentrasi perasaan dengan cara yang nyaman
membaik (mis. Membaca buku, menulis
menggambar atau bermain)
f. Diskusikan strategi koping yang
dapat digunakan
3. Edukasi
a. Jelaskan kepada pasien dan
keluarga bahwa sikap mengingkari,
marah, tawar menawar, sepresi dan
menerima adalah wajardalam
menghadapi kehilangab
b. Anjurkan mengidentifikasi
ketakutan terbesar pada kehilangan
c. Anjurkan mengekspresikan
perasaan tentang kehilangan
d. Ajarkan melewati proses berduka
secara bertahap
Ansietas b.d Krisis Setelah dilakukan Reduksi ansietas
situasional d.d ; askep selama 3x24 1. Observasi
1. Subjektif jam diharapkan a. Identifikasi saat tingkat ansietas
a. Mersa bingung tingkat ansietas berubah (mis.kondisi, waktu,
b. Merasa khawatir menurun ditandai stressor)
dengan akibat dengan kriteria hasil : b. Identifikasi kemampuan
dari kondisi 1. Verbalisasi mengambil keputusan
yang dihadapi kebingungan c. Monitor tanda-tanda
c. Sulit menurun ansietas(verbal dan nonverbal)
berkonsetrasi 2. Verbalisasi akibat 2. Terapeutik
2. Objektif kondisi yang a. Ciptakan suasana terapeutik untuk
a. Tampak gelisah, dihadapai menumbuhkan kepercayaan
b. Tampak tegang menurun b. Temani pasien untuk mengurangi
c. Sulit tidur 3. Perilaku gelisah kecemasan, jika memungkinkan
menurun c. Pahami situasi yang membuat
4. Perilaku tegang ansietas
menurun d. Dengarkan dengan penuh perhatian
5. Konsentrasi e. Gunakan pendekatan yang tenang
20

membaik dan meyakinkan


6. Pola tidur f. Tempatkan barang pribadi yang
membaik memberikan kenyamanan
g. Motivasi mengidentifikasi situasi
yang memicu kecemasan
h. Diskusikan perencanaan realistis
tentang peristiwa yang akan datang
3. Edukasi
a. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi
yang akan dialami
b. Informasikan secara factual
menegani diagnosis, pengobatan
dan prognosis
c. Anjurkan keluarga untuk tetap
Bersama pasien, jika perlu
d. Abjurkan melakukan kegiatan yang
tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
e. Anjurkan mengungkapkan perasaan
dan persepsi
f. Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
g. Latih penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
h. Latih Teknik relaksasi
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
Keputusasaan b.d Setelah dilakukan Dukungan emosional
stress jangka Panjang askep selama 3x24 1. Obesrvasi
d.d jam diharapkan a. Identifikasi fungsi marah, frustasi,
1. Subjektif harapan meningkat dan amuk bagi pasien
a. Mengungkapkan ditandai dengan b. Identifikasi hal yang telah memicu
keputusasaan kriteria hasil emosi
2. Objektif 1. Keterlibatan 2. Terapeutik
a. Kurang terlibat dalam aktivitas a. Fasilitasi mengungkapkan perasaan
dalam aktifitas perawatan cemas, marah dan sedih
perawatan b. Buat pernyataan suportif atau
21

b. Afek datar meningkat empati selama fase berduka


2. Selera makan c. Lakukan sentuhan untuk
meningkat memberikan dukungan(mis.
3. Minat komunikasi Merangkul, menepuk nepuk)
verbal meningkat d. Tetap Bersama pasien dan pastikan
4. Verbalisasi keamanan selama ansietas, jika
keputusasan perlu
menurun e. Kurangi tuntutan berfikir saat sakit
5. Perilaku pasif atau lelah
menurun 3. Edukasi
6. Pola tidur a. Jelaskan konsekuensi tidak
membaik menghadapi rasa bersalah dan malu
b. Anjurkan mengungkapkan perasaan
yang dialami(mis. Ansietas, marah
dan sedih)
c. Anjurkan mengungkapkan
pengalaman emosional
sebelumnya, dan pola respon yang
biasa digunakan
d. Ajarkan penggunaan mekanisme
pertahanan yang tepat
4. Kolaborasi
a. Rujuk untuk konseling, jika perlu
1.
BAB III
APLIKASI KASUS
A. KASUS DAN STRATEGI PELAKSANAAN
Nama Klien : Ny. A (42 tahun)
Pertemuan Ke : 1
1. PROSES KEPERAWATAN
a. Kondisi klien :
Ny. A adalah salah satu remaja putri yang berasal dari salah satu desa di
Kabupaten Landak. Ia tinggal di daerah yang cukup rentan terkena bencan
banjir. Hari ini terjadi bencana banjir di daerah tersebut dikarenakan hujan
dengan intensitas tinggi yang tidak berhenti. Saat perawat ke lokasi kejadian,
klien sudah dibawa ke tenda pengungsian. Klien terlihat menangis karena
ketakutan, berkeringat dan tangannya bergetar/tremor, sulit untuk
berkomunikasi karena masih trauma atas kejadian yang baru saja terjadi, dan
terlihat mengasingkan dirinya.
b. Diagnosa Keperawatan :
Ansietas Berhubungan Dengan Krisis situasional
c. Tujuan Khusus :
1) Pasien mampu membangun hubungan saling percaya dengan perawat
2) Pasien mampu mengenal ansietas yang dialaminya.
3) Pasien mampu mengurangi ansietasnya.
4) Pasien mampu memperagakan teknik relaksasi napas dalam.
d. Tindakan Keperawatan :
1) Membina hubungan baik atau saling percaya antara klien-perawat.
2) Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala yang dialami klien.
3) Mengidentifikasi upaya yang dilakukan klien dalam mengatasi ansietas
dan pengaruhnya.
4) Mengajarkan klien teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi
ansietas.
23

2. STRATEGI KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN


KEPERAWATAN
ORIENTASI
a. Salam Terapeutik :
Perawat : “Assalamualaikum, Selamat siang ibu. Saya Perawat dari
Puskesmas Mandor, saya perawat yang bertugas untuk penduduk di tenda
pengungsian ini bu.. Boleh, saya tau, dengan ibu siapa namanya?”
Evaluasi / validasi :
Perawat : “Bagaimana bu keadaannya sekarang?” “Ibu sudah minum
sebelumnya?” “Apakah sekarang ibu sudah bisa saya ajak untuk mengobrol
sedikit?”
b. kontrak : (Topik/Tujuan, Waktu dan Tempat)
Topik/Tujuan : “Baiklah Ibu. Hari ini kita akan melakukan kegiatan
mengobrol-ngobrol santai saja. Nanti ibu boleh ceritakan dan sampaikan apa
saja yang ibu rasakan dan ibu fikirkan kepada saya, dan saya akan
mendengarkan dengan baik, setelah itu saya akan ajarkan ibu aktivitas yang
dapat ibu lakukan untuk mengurangi rasa cemas ibu.”
Waktu : “Kita akan ngobrol sekitar 20 menit.”
Tempat : “Ibu mau kita mengobrol dimana?” “Disini saja?” “Baiklah ibu.”
KERJA
Perawat : “Baik bu, sebelum kita mengobrol, saya izin memeriksa tekanan darah
ibu terlebih dulu ya”
Perawat : “Sudah ibu, tekanan darah ibu naik, 140/100 mmHg, sepertinya karena
masih shock atas kejadian tadi ya bu. Tapi tidak masalah, nanti akan turun jika
keadaan ibu sudah tenang dan stabil.”
Perawat : “Kalau saya boleh tau, ibu ditemani oleh siapa disini?”
Perawat : “Apakah ibu sudah menghubungi keluarga ibu tentang musibah ini?”
Perawat : “Baik ibu. Sekarang ibu boleh ceritakan kepada saya apa yang ibu
rasakan sekarang.”
Perawat : “Jadi ibu masih sangat shock dan cemas ya bu karena ibu disini hanya
sendiri tidak ada keluarga yang lain, dan barang-barang ibu tertimbun semua.”
Perawat : “Sejak ibu tiba di tenda pengungsian ini, apakah ibu sudah ada makan
siang? Beristirahat?”
Perawat : “Saya sangat paham dengan yang ibu alami sekarang. Tapi ibu harus
24

tetap menjaga pola makan ibu ya disini, supaya ibu tetap bertenaga dan juga
tidak boleh sampai sakit. Apalagi ibu juga sedang berkuliah, nanti kuliahnya jadi
keteteran karena ibu sakit, dan pasti juga banyak tugas kan ya bu.”
Perawat :“Ibu tidak perlu cemas lagi jika sudah berada disini, karena semua tim
yang bertugas disini akan selalu membantu ibu dan memenuhi kebutuhan ibu
selama disini. Nanti juga akan ada tim yang mengevakuasi dan menyelamatkan
barang-barang ibu yang masih bisa untuk diselamatkan. Jadi ibu tidak perlu
khawatir. Apabila ada sesuatu hal yang ibu butuhkan, ibu juga tidak boleh
sungkan-sungkan untuk memberitahukannya kepada kami disini ya.”
Perawat : “Ketika ibu merasakan cemas, gelisah dan takut karena musibah tadi,
apa upaya yang sudah ibu lakukan disini untuk mengurangi kecemasan ibu?”
Perawat : “Baik ibu, tidak apa apa.. Sekarang saya akan ajarkan ibu teknik
relaksasi napas dalam untuk mengurangi rasa kecemasan ibu ya.. Sebelumnya
apakah ibu sudah tau apa itu teknik relaksasi napas dalam?”
Perawat : “Baik ibu, teknik relaksasi napas dalam kita lakukan dengan menarik
napas secara dalam melalui hidung, lalu ditahan sekitar 3 detik, lalu kita
hembuskan melalui mulut. Boleh kita cobakan bu?” (Boleh sus)
Perawat : “Ibu perhatikan saya dulu ya..” (mempraktikkan)
Perawat : “Sekarang giliran ibu untuk mencobanya...”
Perawat : “Baik, bagus sekali ibu. Ibu dapat mengulangi aktivitas ini hingga rasa
cemas ibu berkurang ya bu.”
TERMINASI
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan (Subyektif dan byektif)
Subjektif : “Bagaimana perasaan ibu setelah kita berbincang-bincang tadi
bu? Apakah ibu cukup lega setelah menceritakan apa yang ibu
rasakan?”(Saya sudah lumayan lega sus, dan kecemasan saya sudah sedikit
berkurang)
Objektif : “Boleh ibu ulangi bagaimana teknik relaksasi napas dalam yang
sudah kita lakukan tadi bu?”
b. Tindak lanjut klien (apa yang perlu dilatih klien sesuai dengan hasil tindakan
yang telah dilakukan):
Perawat : “Setelah ini, jika ibu merasa cemas dan tegang ibu bisa
mempraktikkan teknik relaksasi napas dalam seperti yang sudah kita lakukan
tadi ya bu, ibu bisa ulangi aktivitas tadi sampai ibu merasa cemas ibu
25

berkurang.”
c. Kontrak yang akan datang (Topik, Waktu dan Tempat)
Topik : “Baik bu, nanti sore sekitar pukul 5 saya akan datang lagi kesini
untuk
mengecek tekanan darah ibu kembali apakah sudah stabil atau belum.”
Waktu : “Kegiatan kita kira-kira memakan waktu sekitar 10 menit.”
Tempat : “Dan kita tetap lakukan disini ya bu.”
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Banjir merupakan peristiwa
dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang
oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi
wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Selain itu terjadinya banjir jua
dapat disebabkan oleh limpasan air permukaan (runoff) yang meluap dan
volumenya melebihi kapasitas pengaliran sistem drainase atau sistem aliran
sungai.
Masalah kesehatan yang sering timbul akibat bencana banjir dalam
waktu relatif lama adalah dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air
bersih, serta menimhulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit
yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan
leptospirosis.
Dampak psikososial adalah suatu perubahan psikis dan sosial yang
terjadi setelah adanya bencana atau peristiwa traumatik. Perubahan psikis dan
tatanan social budaya akan sangat menjadi factor berpengaruh terhadap masalah
ini. Ciri-ciri Masalah psikososial yang akan sering muncul pasca bencana
diantanya cemas, khawatir berlebihan, takut, mudah tersinggung, sulit
konsentrasi, bersifat ragu-ragu/merasa rendah diri, merasa kecewa, pemarah dan
agresif.
Adapun diagnosa keperawatan utama yang sering muncul pasca bencana
adalah berduka, ansietas dan keputusasaan, sehigga intervensi yang akan
dilakukan adalah dukungan proses berduka, reduksi ansietas dan dukungan
emosional.

B. SARAN
Bencana akan senantiasa datang dan menghantui kita sebagai mausia, tugas kita
adalah berusahan untuk lebih aware terhadap masalah ini, dengan meningkatkan
27

kewaspadaan dini terhadap bencana. Banyak hal yang harus kita persiapkan sebelum
bencana itu dating. Bisa berupa pengetahuan pencegahan maupaun penangan apabila telah
terjadi bencana.
Bagi pemerintah diharapkan agar senantiasa memberikan dukungan baik berupa
material maupun non material terhadaop korban bencana dimanapun terjad. Tampa
memandang kelompok tertentu atau bahkan pandangan politik tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
BNPB. (2013). Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Tentang.
Dwidiyanti, M., Hadi, I., Wiguna, R. I., & Ningsih, H. E. W. (2018). Gambaran Risiko
Gangguan Jiwa pada Korban Bencana Alam Gempa di Lombok Nusa Tenggara
Barat. Holistic Nursing and Health Science, 1(2), 82.
https://doi.org/10.14710/hnhs.1.2.2018.82-91
Elita, Y., Sholihah, A., & Sahiel, S. (2017). Acceptance and Commitment Therapy
(ACT) Bagi Penderita Gangguan Stress Pasca Bencana. Jurnal Konseling Dan
Pendidikan, 5(2), 97–101. https://doi.org/10.29210/117800
Erita, & Mahendra, D. (2019). Manajemen gawat darurat dan bencana.
Journal.Thamrin.Ac.Id, 1, 148.
Fatoni, Z. (2013). PERAN PETUGAS KESEHATAN DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT HEALTH PROBLEMS IN A DISASTER SITUATION : THE ROLE
OF HEALTH PERSONNELS AND COMMUNITY PARTICIPATION. 8(1).
Novia, K., Hariyanti, T., & Yuliatun, L. (2020). The Impact of Natural Disaster on
Mental Health of Victims Lives: Systematic Review. International Journal of
Science and Society, 2(3), 65–85. https://doi.org/10.54783/ijsoc.v2i3.128
Pfefferbaum, B., Sweeton, J. L., Nitiéma, P., Noffsinger, M. A., Varma, V., Nelson, S.
D., & Newman, E. (2014). Child disaster mental health interventions: Therapy
components. Prehospital and Disaster Medicine, 29(5), 494–502.
https://doi.org/10.1017/S1049023X14000910
PPNI. (2022). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tujuan
Keperawatan.
Price, M., Higa-McMillan, C., Kim, S., & Frueh, B. C. (2013). Trauma experience in
children and adolescents: An assessment of the effects of trauma type and role of
interpersonal proximity. Journal of Anxiety Disorders, 27(7), 652–660.
https://doi.org/10.1016/j.janxdis.2013.07.009
Sabir, A. (2016). Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana di
Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi Dan Sosial, 5(3), 304–326.
SDKI PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia dan Tindakan
Keperawatan.
Tim Pokja, S. D. P. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
Zaini, M. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Masalah Psikososial di Pelayanan Klinis
dan Komunitas.

Anda mungkin juga menyukai