Anda di halaman 1dari 22

PERAWATAN SPRITUAL PADA KORBAN BENCANA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

1. ABD. RAHMAT MUTHALIB (C01418001) 12. FIRNALIS LAKORO (C01418059)


2. FRISKA WIDYASARI OLII (C01418141) 13. ALZATIRA CANTIKA RUMAGIT
3. PARAMITA HUSAIN (C01418129) (C01418009)
4. DESRIYANTI DJUMULI (C01418029) 14. FATMA WIDIYANTI DARUSSALAM
5. SULISTIANI A. ILOHUNA (C01418170) (C01418045)
6. IIN NOVRIYANTI ALI (C01418074) 15. FINGKY MAJILI (C01418054)
7. GUSWINDA DIU (C01418070) 16. SITI NUR RAHMAWATI I. JAKARIA
8. MARYAM ILATO (C01418094) (C01418157
9. NURAIN RASID (C01418122) 17. SRI AYUN SUPU (C01418161)
10. LILIS HULUMUDI (C01418090) 18. RIFANDY MOKODONGAN
11. RAHMELIA RAUF (C01418133) (C01418141)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................

1. Latar Belakang................................................................................................................
2. Rumusan Masalah...........................................................................................................
3. Tujuan Penelitian............................................................................................................
4. Manfaat Penelitian..........................................................................................................

BAB II TINJAUAN TEORI.......................................................................................................

1. Definisi secara Umum Bencana.....................................................................................


2. Fase-fase hingga Permasalahan Penanggulangan Bencana........................................
3. Cara mengurangi resiko bencana..................................................................................
4. Pemulihan Korban Pasca Bencana...............................................................................
5. Dampak Bencana pada aspek Spriritual......................................................................
6. Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana...............................................................
7. Konteks kajian spritualitas bencana.............................................................................
8. Bagaimana Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana
9. Perawatan atau Tindakan yang dapat diberikan pada penderita spiritual korban
bencana............................................................................................................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................

1. Kesimpulan......................................................................................................................
2. Saran................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk bekerja bersama untuk
menyelesaikan makalah ini.
Atas limpahan rahmat dan hidayah Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Mata Kuliah Keperawatan Bencana.Kami mengakui bahwa sebagai manusia biasa memiliki
banyak keterbatasan dalam segala hal. Oleh karena itu, tidak ada hal yang dapat diselesaikan
dengan sangat baik dan sempurna.Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca untuk menambah wawasan tentang Perawatan Psikososial dan Spiritual pada
Korban Bencana.
Kami menyadari bahwa penulisan laporan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun kita
menuju jalan yang benar.

Gorontalo, November 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko
tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal ini
menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-
duga. Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi
penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri.
Kondisi ini harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan
dasar komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah atau bahkan
bisa membaik.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu direspons.
Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana sebagai sebuah akibat pasti
punya sebab dan dampaknya, agar penanganan bencana tidak terbatas pada simpton
simpton persoalan, tetapi menyentuh substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian
kondisi darurat perlu dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu
sendiri. Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif
penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat, biasanya diikuti
dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut perbaikan-
perbaikan infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan hidup komunitas), sampai pada
proses kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses preventif.
Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan masyarakat
dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya maupun material. Jika
kita mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak maka
komunitas manapun yang mengalami bencana berhak atas bantuan kemanusiaan dalam
batas-batas minimum.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana Definisi secara Umum Bencana?
2) Bagaimana Fase-fase hingga Permasalahan Penanggulangan Bencana?
3) Bagaimana cara mengurangi resiko bencana?
4) Bagaimana Pemulihan Korban Pasca Bencana?
5) Bagaiman Dampak Bencana pada aspek Spriritual?
6) Bagaimana Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana?
7) Bagaiamana Konteks kajian spritualitas bencana?
8) Bagaimana Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana?
9) Bagaimana Perawatan atau Tindakan yang dapat diberikan pada penderita spiritual
korban bencana?

1.3 Tujuan

1) Mahasiswa memahami Definisi secara Umum Bencana,


2) Mahasiswa mampu memahami Fase-fase hingga Permasalahan Penanggulangan
Bencana
3) Mahasiswa mampu mengurangi resiko bencana
4) Mahasiswa dapat mengetahui dan menerapkan Tahapan Pemulihan Korban Pasca
Bencana
5) Mahasiswa mengetahui dampak Spiritual dalam Korban Bencana
6) Mahasiswa mampu mengetahui Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana
7) Mahasiswa mengetahui Konteks kajian spritualitas bencana
8) Mahasiswa dapat mengetahui Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana
9) Mahasiswa mampu mengetahui Perawatan atau Tindakan yang dapat diberikan pada
penderita spiritual korban bencana
1.4 Manfaat

Penulis berharap pembaca dapat mengetahui definisi bencana, factor-faktor yang


mempengaruhi bencana, fase-fase hingga permasalahan penanggulangan bencana.
Penulis berharap maklah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menambah
wawasan bagi kita semua.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Bencana


Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non
alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut
juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2) Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bencana
1. Faktor alami
Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau kerentanan
tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi, cuaca, iklim (Urata, 2008).
2. Faktor sosial
Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya: pembangunan
bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka urbanisasi, kemiskinan,
pengendalian bencana yang tidak tepat (Urata, 2008).
2.2 Fase-fese Bencana

Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu
diantaranya :

1) Fase preimpact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan
satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan
baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2) Fase impact
merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia
sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut
hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3) Fase postimpact
adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap
dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara
umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis
mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
2.3 Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana

Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki


keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1) Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2) Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3) Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4) Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya
2.4 Pengurangan Resiko Bencana
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1) Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2) Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan dan
sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban,
pemenuhan kebutuhan dasar;  pelayanan psikososial dan kesehatan.
3) Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah
bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social, psikologis,
pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan,
pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan
kesehatan.
2.5 Dampak bencana pada aspek spiritual
Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki kebutuhan yang
kompleks yaitu kebutuhan biologis, psikologis, sosial kultural dan spiritual. Spiritual
digambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang, dan merupakan
bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam memaknai kehidupannya.
Spiritual juga digambarkan sebagai pencarian individu untuk mencari makna (Bown &
Williams, 1993). Dyson, Cobb, dan Forman (1997) menyatakan bahwa spiritual
menggabungkan perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan
dengan kekuatan yang lebih tinggi.
Bencana adalah fenomena kehidupan yang maknanya sangat tergantung dari mana
seseorang memaknainya. Disinilah aspek spiritual ini berperan. Dalam kondisi bencana,
spiritualitas seseorang merupakan kekuatan yang luar biasa, karena spiritualitas
seseorang ini mempengaruhi persepsi dalam memaknai bencana selain faktor
pengetahuan, pengalaman, dan sosial ekonomi.
Kejadian bencana dapat merubah pola spiritualitas seseorang. Ada yang bertambah
meningkat aspek spiritualitasnya ada pula yang sebaliknya. Bagi yang meningkatkan
aspek spiritualitasnya berarti mereka meyakini bahwa apa yang terjadi merupakan
kehendak dan kuasa sang Pencipta yang tidak mampu di tandingi oleh siapapun. Mereka
mendekat dengan cara meningkatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan dan
pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang dialaminya. Sedangkan bagi
yang menjauh umumnya karena dasar keimanan atau keyakinan terhadap sang pencipta
rendah, atau karena putus asa.
Manusia sebagai mahkluk yang utuh atau holistic memiliki kebutuhan yang
kompleks yaitu kebutuhan biologis, psikologis, social kultural dan spiritual. Spiritual di
gambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang, dan merupakan
bagian dari kekuatan yang ada pada dari seseorang dalam memaknai kehidupannya.
Spiritual juga di gambarkan sebagai pencarian individu untuk mencari makna (Bownt&
Williams 1993). Dyson, cobb, dan forman (1997) menyatakan bahwa spiritual
mengambarkan perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan
dengan kekuatan yang lebih tinggi.
Perawat memandang klien sebagai makhluk bio-psiko-sosiokultural dan spritual
yang berespon secara unik terhadap perubahan kesehatan atau pada keadaan krisis.
Spritual di gambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang dan
merupakan bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalm menaknai
kehidupannya.
2.6 Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana
Bencana adalah masalah global dengan dampak yang sulit diprediksi. Siapa saja dapat
menjadi korban saat kejadian bencana, namun terdapat individu atau kelompok-
kelompok tertebtu yang memiliki resiko yang lebih besar atau rentan saat kejadian
bencana atau pasca bencana yang dapat disebabkan karena usia, jenis kelamin, kondisi
fisik dan kesehatan atau karena kemiskinan. Oleh karena itu petugas kesehatan yang
terlibat dalam penanganan bencana perlu mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan
ini sebelum kejadian bencana, termasuk mekibatkan mereka sejak tahap kesiap-sigaan
bencana dan mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak
jangka pendek maupun jangka panjang bencana pada kelompok tersebut. Kelompok-
kelompok rentan rentan saat bencana diantaranya: lanjut usia, wanita hamil, atau
menyusui, anak-anak dan bayi,orang-orang dengan penyakit kronis,kecacatan dan
ganguan metal. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP Nomor 21 th 2008,
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana) terdapat pasal tentang pelindungan
kepada kelompok rentan, dimana pemerintah dan lembaga terkait harus memberikan
prioritas pelayanan penyelamatan, evakuasi, pengamanan pelayanan kesehatan dan
psikososial. Bab ini akan membahas lebih jauh kelompok rentan dalam menghadapi
bencana.
1) Lanjut Usia
Lanjut usia(lansia) merupakan salah satu kelompok rentan baik pada saat kejadian
bencana maupun pasca bencana bencana yang disebabkan karena salah satu atau
kombinasi dari factor-faktor keterbatasan fisikm ketebatasan funsional, karakteristik
sosiodemografi dan psikososial dan atau menderita penyakit kronis sehingga
membutuhkan lebih banyak bantuan. Selain itu, dalan situasi kegawatdaruratan, lansia
mengabaikan peringatan bencana dan enggan meninggalkan rumah mereka. Di
Amerika Serikat, sebagian besar korban kematian akibat Badai Katrina tahun 2005
dialami oleh lansia. Di kota Lousiana and New Orleans, lebih dari 70% korban yang
meninggal berusia lebih dari 60 tahun.
Setelah kejadian bencana, alnsia mudah mengalami penurunan kesadaran akibat
kurang nutrisi, suhu yang ekstrim, terpapar terhadapnsumber infeksi di pengungsian,
keterbatasan bantuan kebutuhan medis dan stress emosional. Hull (2007) melaporkan
sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri sebelumnya harus tinggal di panti jompo
karena mengalami komplikasi penyakit kronis setelah Bencana Badai Katrina Tahun
2005. Oleh karena itu, lansia memerlukan perhatian dan dukungan khusus dari
petugas kesehatan untuk mencegah kondisi yang lebih parah pasca bencana. Kegiatab
yang dapat dilakukan.
a) Buat disaster plans di rumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga sehingga keluarga dapar memberikan dukungan yang sesuai saat
bencana terjadi.
b) Pemberian nutrusu adekuat sesuai dengan kebutuhab lansia dab penyakit yang
dideritanya.
c) Pemeriksaan kesehatan untuk mencegah penyakit penyerta yang dapat timbul
karena penurunan daya tahan tubuh lansia.
d) Libatkan petugas konseling untuk mencegah, mengdentifikasi, mengurangi
resiko kejadian depresi pasca bencana.
2) Wanita Hamil dan Menyusui
Wanita khususnya wanita hamil sangat rentan saat bencana karena
keterbatasan fisik yang dialami sehingga kesulitan untuk menyelamatkan diri dalam
situasi darurat. Survey yang dilakukan oleh Nishikikori et al. (2006) yang bertujuan
untuk menggambarkan kematian dan factor resikonya akibat bencan Tsubami 2004 di
Wilayah Pantai Timur Srilanka menemukan jumlah kematian pada wanita dua kali
lebih besar dibandungka laki-laki. Kondisi hamil juga menyebabkan wanita rentan
pada saat proses evakuasi karena ancaman keguguran atau kelahiran premature,
pendarahan serta pelepasan dini plasenta sehingga perlu dilakukan secara cepat dan
tepat serta perlu disediakan alat untuk pertolongan persalinan darurat.
Pada saat bencana pemeriksaan rutin pada wantia hamil harus tetap dilakukan oleh
petugas kesehatan untuk mengidentifikasi awal resiki yang dapat terjadi akibat dari
stress fisk dan psikologis yang dialami. Kegitan yang dapat dilakukan.
a) Buat disaster plans di rumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga sehingga keluarga dapat memberikan dukungan yang sesuai saat
bencana terjadi
b) Pemberian nutrisi adekuat sesuai dengan kebutuhan ibu hamil dan menyusui.
c) Libatkan petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi
resiko kelanjutab depresi pasca bencana.
3) Anak-Anak
Anak-anak sering menjadi korban pada semua jenis bencana. Lebih lanjut lagi
ketersedian sumber daya, alat, dan bahan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang
menjadi korban bencana sering diabaikan pada tahap kesiap-siagaan bencana.
Diperkirakan sekitar 70% dari total kematian akibat bencana dialami oleh anak-anak
baik bencana alam maupun vencana akibat perbuatan manusia. Lebih tepatnyadari
30% korban bencana Tsunami tahun 2004 di Wilayah Pantai Timur Srilanka adalah
anak-anak.
Anak-anak juga retan terpisah dari orang tua atau keluarga mereka pada saat
bencana. Pada saat kejadian Badai Katrina di Amerika Serikat, banyak anak-anak
yang tiba ditempat pengungsian setelah dievakuasi dari New Orleans mengalami
trauma psikilogis karena terpisah dengan keluarga mereka. Akubat bencan Tsunami
di Aceh tahun 2004, sekitar 35.000 anak Indonesia kehilangan satu ata kedua orang
tuanya. Selain itu, terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (Chil trafficking)
yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang tua/wali.
Anak-anak rentan mengalami masalah kesehatan jangka pendek dan jangka
panjang karena keterbatasan fisik, imunitas, kondisi psikososial dan kurangnya
kemampuan untuk mengidentifikasi dan melindungi diri dari bahaya yang
dipengaruhi oleh tahap perkembangan serta kemampuan komunikasinya. Oleh karena
itu, petugas kesehatan bencana perlu lebih tanggap dala mengidentifikasi dini
masalah-masalah kesehatan fisik dan psikososial yang dialami oleh anak, serta
mampu merancang intervensi-intervensi yang dapat menurunkan resiko-resiko yang
dapat terjadi pada anak intra dan pasca bencana misalnya dengan melakukan
pemeriksaan kesehatan serta berkala, melakukan terapi kelompok bermain, dan lain-
lain.
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam mempersiapkan anak-anak siap bencana.
a) Libatkan anak-anak dalam latihan kesiapan bencana di institusi pendidikan usia
dini dan sekolah dasar.
b) Siapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat bencana.
c) Pertolongan sesuai dengan permasalahan fisik dan aspek tumbuh kembangnya.
d) Upayakan saat evakuasi trasportasi dalam memberi pelayanan fasilitas
kesehatan, hindari memisahkan abak dari orang tua, keluarga, atau wali.
e) Lakukan healing proses dan healing terapi untuk menurunkan memori yang
negative akibat bencana
Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban,
sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus utama
adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan
masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan adalah keadaan atau sifat
manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana yang berfokus
pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan dalam menghadapi dampak
tertentu.
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26 (1)
menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang membutuhkan
bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lansia.
Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya
tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada daerah rawan
banjir dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam mengalokasikan
dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman
dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang rendah.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
2.7 Konteks kajian spritualitas bencana

Bencana adalah suatu peristiwa yang secara umum di anggap negatif karena dapat
merugikan manusia secara langsung, berupa kerugian material atau bahkan kehilangan
nyawa. Namun demikian, dalam persestif yang lebih kontemtorel,bencana juga bisa
memiliki posisi positif tertentu. Seperti misalnya kreps(dalam quaran velly, 1998) yang
menyebutkan bahwa bencana menyangkut dua askep yakni: kejadian
sistemik(SYSTEMIC EVENTS) dan katalis sosial (social catalyst), dimana askep kedua
inilah yang menonjolkan sisi positif dari peristiwa bencana

Askep kejadian sistemik dapat di pahami sebagai suatu venomena sosial yang
melibatkan suatu peristiwa dramatik yang akan menjadi momen bersejara bagi genarasi-
genarasi berikut. Kejadian sistemik menjadi hanya terkait dengan fenomena sosial karena
bencana bukan saja berdampak langsung pada orang-orang yang menjadi korban ketika
peristiwa bencana berlangsung, tetapi juga akan menjadi catatan sejarah yang
menciptakan suatu persepsi bersama bahwa sebuah bencana telah melukai dan
membunuh banyak orang dengan jumlah yang signifikan. Hal ini membuat orang yang
mengetahui catatan sejarah itu menjadi lebih waspada terhadap peristiwa bencana yang
sama maupun lainnya. Perspektif kesejarahan ini penting dalam studi kebencanaan
secara sosial karena sejarah merupakan suatu konstruksi sosial, yang merupakan agregasi
dari pengalaman dan memori individu yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.

Aspek kedua dari definisi bencana menurut perspektif ilmu sosial adalah”katalis
sosisal”. Katalis sosial dapat dipahami sebagai suatu reaksi kolegtif terhadap peristiwa
yang menganggu dan merugikan kehidupan manusia. Kreps (dalam qwarantelli, 1998)
bahkan menyatakan secara eksplisit bahwa aspek kedua inilah yang menegaskan
perbedaan definisi bencana secara teknis dengan bencana dalam prespektif karena dalam
kerangka ini bencana memiliki hubungan kausa litas dengan percepatan dan dinamika
sosial serta reaksi sosial memperkuat atau mumgkin sebaliknya menghancurkan struktur
sosial yang ada.

Ilustrasi untuk mengambar adalah perbandingan antara proses pemulihan pasca


bencana gempa dan tsunami diaceh dengan bencana gempa di yogyakarta. Dengan
mengabaikan skala dan dampak langsung yang terjadi, kedua bencana tersebut telah
mendorong terjadinya reaksi perubahan sosial dengan derajat yang berbeda. Artinya,
pemahaman bencana dalam konteks ini mulai mengarah pada adanya dampak sosial
bencana yang berpeluang positif pada dinamika budaya dan struktur sosial pasca
terjadinya suatu peristiwa bencana.

Terkait dengan penanganan dampak dan korban bencana ini, telah berkembang
gagasan untuk mengurangi korban bencana dengan mengelola resiko bencana, daripada
sekedar menolong korban bencana. Ketangguhan atau resiliensi telah menjadi gagasan
umum dalam upaya memperkuat upaya kolektikf untuk membuat sekelompok penyintas
korban bencana dapat menghadapi potensi ancaman bencana yang mungkin berulang

Collinis (2009: 160) menyebutkan bahwa sudah mulai ada kesadaran yang meluas
untuk meningkatkan upaya respon bencana kepada pendekatan penguatan ketangguhan
masyaratkat kepada sekadar pendekatan konseling tradisional terhadap para penyintas.
Hal ini mengindikiasikan bahwa ada suatu cara pandang baru untuk melakukan
penanggulangan bencana yang tidak hanya bersifat individual dan jangka pendek, namun
mulai melihat aspek komunal yang bisa dilembangakan secara jangka panjang.

Namun demikian, harus tetap di pahami bahwa para penyintas bencana umumnya
memiliki pola trauma bervariasai yang berkaitan dengan determinasi budaya tertentu
(Ren, 2012). Cara orang barat memaknai kehidupan yang berbeda dengan cara orang
timur memaknai kehidupan, membuat responds terhadap situasi bencana pun berbeda. Ini
artinya ada perbedaan dimensi cara pandang terhadap kehidupan. Dalam kerangka
konseptual, cara pandang atau pemaknaan terhadap aspek kehidupan adalah wujud dari
spiritualitas yang nyata yang perlu di perhatikan dalam hal penanganan penyitas bencana.

Spritualitasme yang selalu hadir dalam kehidupan manusia yang terutama dipicu
oleh sebuah situasi ekstrim, seperti misalnya kesenangan dalam suka cita dan
kebahagiaan (Hidayat, 2015-a) atau juga rasa takut yang mendalam atas sesuatu
peristiwa yang berakhir pada kematian (Hidayat, 2015-b). Namun peristiwa yang
menakutkan memang sering kali berpengaruh lebih kuat dan bersifat jangka Panjang
dalam membentuks pritualitas seseorang dibandingkan suasana sukacita
(Indiyanto&Kuswanjono (eds,)-a 2012).

Salah satu sumber rasa takut yang besar atas berakhirnya kehidupan yang dapat
menjadi pemicu utama menguat atau melemahnya spiritualita sseseorang adalah situasi
bencana (Peres et.all., 2007 ; Ren, 2012 ; Stratta et. All., 2013). Bencana seolah-olah
menjadi “neraka” kecil yang membuat mereka yang melihat secara langsung menjadi
takut dan gentar. Mereka menjadi merasa sangat terancam dan sangat bersyukur bisa
selamat dari peristiwa bencana yang merenggut harta benda dan mungkin juga anggota
keluarga serta kerabat dan teman-teman mereka.

Dalam konteks di Indonesia, spritualitas memiliki bentangan dimensi yang lebih


luas. Ia tidak hanya mencakup matra transedensi dalam berkehidupan, tetapi juga
kekuatan pengetahuan yang terlembaga dalam mentalitas budaya yang unik. Seperti
misalnya Vickres (2005) menjelaskan apa yang terjadi di Indonesia dalam rentang
sejarahnya adalah interaksi alam pikiran yang membentuk pola tertentu dari hasil
interaksi sosial, politik, dan budaya yang dimulai sejak kehadiran Belanda di tanah air.

Spritualitas sendiri memang cenderung lebih kental dalam dimensi individualistis


daripada dimensi kolektifnya. Disinilah letak kegagalan spritualitas yang dirasuki cara
pandang dunia modern yang berorientasi pada individualisme dalam menjelaskan
perilaku kolektif sebagai suatu entitas yang utuh. Bisa dikatakan semua pemikir
modernitas menekankan individualisme sebagai pusatnya.

Secara fisiologis, individualisme memiliki arti sebagai suatu penolakan bahwa diri
pribadi manusia secara internal berhubungan dengan hal-hal lain; bahwa setiap individu
manusia sangat ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain, dengan Lembaga,
dengan alam, dengan masa lalunya, atau mungkin dengan suatu pencipta ilahi. Descartes
mengkapkan individualusme dengan jelas sekali dengan difinisinya tentang substansi,
dimana jiwa manusia menjadi contohnya yang paling utama yang untuk menjadi dirinya
tidak memerlukan apapun selain dirinya sendiri. (Griffin, 2005)

Dari sudut pandang sosiologis, indivualisme terutama berarti penghancuran


komunitas dan institusi organic yang kecil dan intim dalam satu proses sentralisasi.
Pergerakan ini merupakan transisi dari komunitas (gemeinschaft) kemasyarakatan
gregatif (gesselschaft). Pergerakan ini juga disebut sebagai transisi dari masyarakat yang
berdasar pada adat istiadat kepada masyarakat yang di dasarkan pada kontrak atau dari
masyarakat yang di dasarkan tradisi kemasyarakat yang di dasarkan pada perhitungan
rasional.

Intinya adalah, bahwa sebagaian besar struktur yang di dalamnya manusia telah
memiliki hubungan intim, facetoface, dan yang telah menjawab sebagian besa rmasalah
manusia, telah bermodifikasi sehingga hubungan-hubungan sosial antara individu
menjadi semakin terbatas pada kelompok-kelompok infersonal yang besar, yang
sebenarnya hanya melibatkan sekelompok kecil dari kehidupan seseorang saja individual
lah yang menjadi sentral dari pergerakan koletif yang bermakna.

2.8 Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana

Buku ini akan mengkaji bagaimanakah sebuah entitas spritualitas yang unik dapat
membentuk cara berpikir para penyintas terhadap ancaman bencana yang dilembagakan
dalam rutinitas pola kehidupan masyarakat di lokasi rawan bencana.

Pada dasarnya sudah banyak penelitian yang mencoba mengangkat tema tentang
spritualitas dalam perspektif ilmu sosial. Beberapa ilmuan sosial menegaskan kaitan
spritualitas dengan karakter individual dalam perannya sebagai makhluk sosial yang
selalu mencari kebaikan dalam hidupnya dalam wujud kesejahteraan dan kemakmuran
(Cavanagh, 2002: Zohar, 2004: Karakas, 2010). Sementara sekelompok ilmuan lain
tampaknya lebih banyak membahas dan mengkaji spritualitas dalam tataran nilai yang
mendasari transpormasi sosial untuk mencapai keadilan yang lebih meluas (Marstlof,
1998: Jurkiewicz, 2004: Pawer, 2009). Kedua cara pandang ilmu-ilmu sosial dalam
mengelaborasi konsep spritualitas ini (distribusi keadilan dan kesejahteraan), tentunya
sangat relevan jika dihubungkan kembali pada tataran pola kehidupan masyarakat
dilokasi rawan bencana serta kebijakan dan pelaksaan tata kelola resiko bencana,
terutama dalam senjumlah isu spesifik yang sering kali dikaitkan dengan tema
spritualitas, seperti isu tata kelola lingkungan ( Booth,1999:Coates Ed.,2007) dan juga
isu kebencanaan ( marsella ed.,2008).

Di Indonesia sendiri khususnya di lingkungan Universitas Indonesia penelitian


tentang spritualitas dan juga kebencanaan sudah banyak dilakukan sebelumnya. Dalam
penelusuran koleksi perpustakaan UI dalam 30 tahun berakhir, paling tidak ada 430 judul
penelitian skripsi, tesis, atau penelitian dosen dari berbagai fakultas yang berhubungan
dengan bencana dengan sebaran kategori kata kunci pencaharian.

Sementara studi ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertai tentang spritualitas
juga sudah ada dari berbagai jenjang studi dan berbagai fakultas. Namun memang
jumlahnya tidak sebanyak penelitian tentang kebencanaan. Beberapa penelitian tentang
spritualitas ini umumnya memang berkaitan dengan metode atau proses bantuan tertentu,
seperti misalnya spiritualitas sebagai upaya intervensi sosial dalam ranah pekerjaan
sosial ( Musthofa,2016: Witono,2015: Endang,2013:Erlangga,2010) atau spiritualitas
sebagai metode asuhan keperawatan (Collein,2010:Syam,2010)

Tema kajian ilmiah spiritualitas lainnya yang ada dilingkungan Universitas


Indonesia adalah studi tentang spiritualitas pada tataran individu sebagai perkembangan
psiko-sosial manusia (Natasuarna,2006) dan juga spiritualitas sebagai gaya hidup
individual (dading,2006) sementara kajian lainnya lebih memfokuskan implikasi
spiritualitas terhadap entitas kelompok sosial (Munandar,2011:Mulyono,2010:
Karim,2008).

Dari penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat bahwa tema spiritualitas tersebut


semuanya merupakan kajian yang memisahkan spiritualitas pada tataran individu dengan
spiritualitas pada entitas kelompok sosial yang lebih luas. Belum ada tema kajian
kerangka yang berupaya menghubungkan ekstrapolasi dari tingkat individual hingga
ketataran struktur sosial yang lebih makro. Hal inilah yang menjadi dasar dan gagasan
awal dari penelitian di buku ini.

Sementara jika dihubungkan dengan tema penelitian kebencanaan di atas, memang


belum banyak penelitian yang mengkombinasikan tema spiritualitas dengan tema
penanggulangan bencana. Hal ini menjadi suatu kekuatan menjadi sebuah researchgap
sebagai titik pangkal untuk mengetahui lebih lanjut tentang berbagai fenomena dan
praktek baik yang ada dilapangan beberapa praktek baik (lesson learned) dari kearifan
lokal yang kental dengan unsur spiritualitas dalam upaya penanggulangan bencana
memang sudah pernah terdokumentasi (indiyanto;et.all,.2012)namun impikasi pada daur
kehidupan jangka panjang dan pelaksanaan tata kelola resiki bencana belum pernah
dikaji lebih jauh.

Sebagai titik masuk yang paling efektif dalam mengaji hal tersebut, maka tempat
yang paling rawan atau paling beresiko bencanalah yang harus menjadi tempat penelitian
ini dilakukan.

Kearifan lokal pada dasarnya bersumber pada pengetahuan lokal yang telah
diturunkan dan di praktikan lintas generasi. Dalam kenyataannya, pengetahuan lokanya
pada prinsipnya sangat dinamis mengikuti perkembangan interaksi sosial budaya dan
juga kondisi lingkungan. Nigren(1999) mengemukakan pengetahuan lokal merupakan
istilah yang problematik. Pengetahuan lokal di anggap tidak ilmiah, sehingga
pengetahuan lokal tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh
dunia barak titik temuh antara pengetahuan lokal yangt tidak ilmiah dan ilmiah tersebut
keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunianya sendiri. Pengetahuan lokal
dapat ditelusuri dalam bentuk pramatis maupun ketika pengetahuan itu menjadi seolah-
olah dalam ilmiah (unreason).

Dalam konteks penanggulangan, pengetahuan lokal ini sangat penting dalam


determinasi analisis dalam batasan parameter yang spesifik. Johan(2009) menyebabkan
bahwa pengetahuan dalam bentuk pramatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan
pemanfaatan sumber daya alam, dan dalam bentuk supranatural adalah basis bagi sistem
pengetahuan masyarakat, sehingga dapat diintegrasikan dalam analisis resiko lingkungan
dan mitigasi bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan modern atau
pandangan etik. Oleh karena itu dari data hasil kajian ilmu pengetahuan modern perlu
dijadikan landasan awal untuk memahami konteks pengetahuan lokal.

2.9 Perawatan atau Tindakan yang dapat diberikan pada penderita spiritual korban
bencana

Nayat khan dalam bukunya dimensi spiritual psikologi menyebutkan bahwa


kekuatan psikis yang dimiliki seseorang dapat dikembangkan melalui oleh spiritual
yang dilakukan yang melalui beberapa tahapan :

 Berlatih melakukan konsentrasi


 Berlatih melakukan hasil konsentrasi melalui pikiran
 Agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis
 Berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berfikir
 Berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan untuk
bertindak
1) Proactive coping
Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut
merupakan kepercayaan yang relative terus menerus ada pada setiap individu.
Dimana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu
keseimbangan emosional individu. Dimana apabila terjadi perubahan-perubahan
yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap
tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.
2) Terapi psiko-spirutual, terdiri dari 3 tahapan :
 Tahapan penyadaran diri (self awarenss)
Pada fase penyadaran diri, para korban akan melalui proses pensucian diri
dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara
penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan
menguak hakikat persoalan, peristiwa dan kejadian yang dialami para
korban. Pun menjelaskan hikmah atau rahmat dari peristiwa tersebut.
 Pengenalan jati diri dan citra diri (self identification)
Pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada
pengenalan hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan
nilai-nilai ketuhanan dan moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk
menyadari potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah
diidentifikasi, berbagai potensi itu perlu segera dimunculkan. Kemudian
mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan
dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan,
“barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya.”
 Tahapan pengembangan (self development)
Pada fase pengembangan diri,para korban akan di dampingi dan fasilitas
untuk tidak hanya sehat fisikal,namun jugsa sehat mental dan spritual.
Kesehatan mental terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk
menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan secara positif
kebahagian dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spritual
mengcakup penemuan maka dan tujuan dalam hidup
seseorang,mengandalkan tuhan (The Higher Power), merasakan
kedamaian, dan merasakan hubungan dengan semesta.
Peran Perawat dalam Bencana
Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran perawat menurut
fase bencana:
1) Fase pre impact
 Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
 Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi
lingkungan,Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi memberikan
tanggap bencana.
 Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga dan menolong anggota keluarga
yang lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan minuman
untuk persediaan, perawat memberikan nomer telepon penting seperti
nomer telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan
informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter).
2) Fase impact
 Bertindak cepat.
 Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu
pada korban bencana.
 Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
 Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
 Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan
revitalizing untuk jangka panjang.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bencana alam  merupakan sebuah musibah  yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya.  Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan
kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana
yang dapat dilakukan oleh perawat. Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasae-
dasar kejiwaaan kebencanaan dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana.
Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agara secara aktif turut
melakukan tindakan tanggap bencana.

3.2 Saran

Berdasarkan pembahasan makalah ini, maka kami dapat mengemukakan beberapa


saran yang mungkin dapat menjadi masukan yang bersifat antara lain:

1. Diharapkan agar mahasiswa (i) dapat menguasai dan menerapkan asuhan


keperawatan spiritual pada pacsa bencana ini. Terus mengembangkan dalam
tindakan nyata pada kehidupan masyarakat.
2. Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai acuan tambahan pembelajaran
bagi ilmu keperawatan.
3. Diharapkan makalah ini dapat dijadikan referensi tambahan diperpustakan.
DAFTAR PUSTAKA

http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-bencana-alam/

psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf

http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-bencana-

alam/36556

http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf

http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/

http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf

http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-pasca-

bencana/

http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-bencana/

Atlee, Tom.(2003). The tao of democracy; Using Co-Intelligence to Create A world that
works for All.Rhode Island: The Writers collective

Bailey, C Everett. (2002). The Effect of spiritual beliefs and practices family functioning: A
Qualitative study. Jounal of family psychotherapy.

Dillon, Michele, Paul Wink & Kristen Fay. (2003). Is spirituality Detrimental to
Generativity?. Jounal for the scientific study of religion, Vol. 42, No. 3 (sep., 2003), pp.427-
442

Http://www.jstor.org/stable/1387744

Dorr, Donal. (1983), A Balanced Sprituality. The Furrow. Vol. 34, No. 12 (12Dec,1983), pp.
758-766. http://www.jstor.org/stable/27677750.

Drennan, Lynn T. (2004), Ethics, Governance and Risk Management: Lessons from Mirror
Group Newspapers and Baring Bank. Jounal of Business Ethics, Vol. 52, No, 3 (Jul.,
2004),pp, 257-266. http://www.jstor.org stable/25123254

Anda mungkin juga menyukai