Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di
Negara- negara maju, meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun gangguan
tersebut dapat menimbulkan ketidakmampuan individu dalam berperilaku yang
dapat menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif (Hawari,
2009).

Kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan jiwa menyeluruh, bukan


sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan
bahagia, sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis,
kesehatan jiwa diterjemahkan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang.
Perkembangan tersebut berjalan selaras dengan keadaan orang lain (Febriani,
2008).

Himpitan hidup yang semakin berat di alami hampir oleh semua kalangan
masyarakat sehingga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan jiwa
(Intan,2010).

Pelayanan kesehatan jiwa yang komperehensif yaitu pelayanan yang difokuskan


pada pelayanan kesehatan jiwa primer,sekunder dan tersier. Dan pelayanan
kesehatan jiwa yang holistic yaitu pelayanan yang difokuskan pada aspek
bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual dengan perawatan mandiri individu dan
keluarga.
Pelayanan kesehatan berperan penting untuk menjalankan konsep kesehatan
jiwa masyarakat. Yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan klien dalam memelihara kesehatan jiwanya.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


220/MENKES/SK/III/1992 tentang pedoman umum tim Pembina, Pengarah,
Pelaksana kesehatan jiwa Masyarakat. Kesehatan Jiwa Masyarakat (Community
Mental Health) merupakan suatu orientasi kesehatan jiwa yang dilaksanakan di
masyarakat. Kesehatan jiwa masyarakat ini dititik beratkan pada upaya promotif
dan preventif tanpa melakukan upaya kuratif dan rehabilitatif.

Selama ini ada kesalahan dalam menerapkan pelayanan kesehatan jiwa, dimana
pelayanan kesehatan jiwa hanya berbasis di Rumah Sakit, sehingga orang yang
datan hanya yang mengalami gangguan jiwa berat, seetelah sembuh mereka
pulang dan akan datang lagi jika terserang lagi. WHO menyarankan agar
penanganan kesehatan jiwa lebih dtekankan atau berbasis pada Masyarakat
(Community Based), sehingga masyarakat diharapkan mampu menangani kasus
gangguan jiwa yang ringan, dan hanya yang berat ang dilayani oleh Rumah
Sakit Jiwa (Moersalin, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian dari perawat jiwa?
1.2.2 Bagaimana Peran dari Perawat jiwa?
1.2.3 Apa dan Bagaimana dengan Kolaborasi Interdisiplin pada
kesehatan dan Keperawatan Jiwa?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mendeskripsikan pengertian dari perawat Jiwa
1.3.2 Menjelaskan tentang peran dari perawat jiwa
1.3.3 Menjelaskan tentang pengertian dan bagaimana peran
perawat dengan kolaborasi interdisiplin pada kesehatan dan
keperawatan Jiwa.
1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi Mahasiswa

1.4.1.1 Dapat memahami tentang pelayanan dan kolaborasi


interdisiplin dalam keperawatan jiwa.

1.4.2 Bagi Masyarakat

1.4.2.1 Masyarakat dapat menggunakan makalah ini sebagai


bahan bacaan maupun refrensi khususnya tentang pelayanan dan
kolaborasi interdisiplin dalam keperawatan jiwa.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Perawat Jiwa
Konsep perawat jiwa meliputi definisi perawat kesehatan jiwa, peran
perawat jiwa, Fungsi perawat Jiwa.
2.1.1 Definisi kesehatan Jiwa
Keperawatan jiwa merupakan merupakan sebagian dari penerapan ilmu
tentang perilaku manusia, psikososial, bio-psik dan teori-teori kepribadian,
dimana penggunaan diri perawat itu sendiri secara terapeutik sebagai alat atau
instrumen yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan (Erlinafsiah,
2010)
2.1.2 Peran Perawat Jiwa
Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan
spesifik (Dalami, 2010). Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan
kolaborasi diantaranya adalah yang pertama yaitu sebagai pelaksana asuhan
keperawatan, yaitu perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan
jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya,
perawat menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian
dan konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan
keperawatan kepada individu, keluarga dan komunitas. Perawat melaksanakan
asuhan keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan
jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan
keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan serta evaluasi terhadap
tindakan tersebut.

Peran perawat yang kedua yaitu sebagai pelaksana pendidikan keperawatan


yaitu perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga
dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota
keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap anggota
masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa. Peran yang ketiga yaitu
sebagai pengelola keperawatan adalah perawat harus menunjukkan sikap
kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan
jiwa. Dalam melaksanakan perannya ini perawat diminta menerapkan teori
manajemen dan kepemimpinan, menggunakan berbagai strategi perubahan yang
diperlukan, berperan serta dalam aktifitas pengelolaan kasus dan mengorganisasi
pelaksanaan berbagai terapi modalitas keperawatan.

Peran perawat yang kekempat yaitu sebagai pelaksana penelitian yaitu


perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan
menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.

2.1.3 Fungsi Perawat

Fungsi perawat jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara


langsung dan asuhan keperawatan secara tidak langsung (Erlinafsiah, 2010).
Fungsi tersebut dapat dicapai melalui aktifitas perawat jiwa, yaitu: pertama,
memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik,
mental,dan sosial sehingga dapat membantu penyembuhan pasien. Kedua,
bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam membantu
mengatasi segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi penumpukkan
masalah. Ketiga, sebagai model peran yaitu perawat dalam memberikan
bantuan kepada pasien menggunakan diri sendiri sebagai alat melalui contoh
perilaku yang ditampilkan oleh perawat.

Fungsi perawat yang keempat yaitu memperhatikan aspek fisik dari


masalah kesehatan klien merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini
perawat perlu memasukkan pengkajian biologis secra menyeluruh dalam evaluasi
pasien jiwa untuk mengidentifikasi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga
dapat diatasi dengan cara yang tepat. Kelima, memberikan pendidikan kesehatan
yang ditujukan kepada pasien, kleuarga dan komunitas yang mencakup
pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, ciri-ciri sehat jiwa, penyebab
gangguan jiwa, ciri- ciri gangguan jiwa, fungsi dan tugas keluarga, dan upaya
perawatan pasien ganggua jiwa. Keenam, sebagai perantara sosial yaitu perawat
dapat menjadi perantara dari pihak pasien, keluarga dan masyarakat dalam
memfasilitasi pemecahan masalah pasien.

Fungsi yang ketujuh adalah kolaborasi dengan tim lain adalah perawat
membantu pasien mengadakan kolaborasi dengan petugas kesehatan lain yaitu
dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat (perawat komunitas), pekerja sosial,
psikolog, dll. Kedelapan, memimpin dan membantu tenaga perawatan adalah
pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada manajemen
keperawatan kesehatan jiwa. Kesembilan, menggunakan sumber di masyarakat
sehubungan dengan kesehatan mental. Hal ini penting diketahui oleh perawat
bahwa sumber-sumber yang ada dimasyarakat perlu diidentifikasi untuk digunakan
sebagai faktor pendukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada
dimasyarakat.

2.2 Peran Perawat Jiwa

PERAN PERAWAT JIWA

Perawat jiwa memiliki peran dalam tingkat pelayanan kesehatan jiwa yaitu:

1. Peran dalam prevensi primer

2. Peran dalam prevensi sekunder

3. Peran dalam prevensi tersier

2.2.1 PERAN DALAM PREVENSI PRIMER

 Memberikan penyuluhan tentang prinsip-prinsip sehat jiwa


 Mengefektifkan perubahan dalam kondisi kehidupan, tingkat kemiskinan,
& pendidikan
 Memberikanpendidikankesehatan
 Melakukan rujukan yang sesuai dengan sebelum gangguan jiwa terjadi
 Membantu klien di RSU untuk menghindari masalah psikiatri dimasa
mendatang
 Bersama-sama keluarga memberi dukungan pada anggota keluarga &
meningkatkan fungsi kelompok
 Aktif dalam kegiatan masyarakat & politik yang berkaitan dengan
kesehatan jiwa

2.2.2 PERAN DALAM PREVENSI SEKUNDER

 Melakukan skrining & pelayanan evaluasi kesehatan jiwa


 Melaksanakan kunjungan rumah atau pelayanan
 Memberikan konsultasi
 Melaksanakan intervensi krisis
 Memberikan psikoterapi individu, keluarga, dan kelompok pada
berbagai tingkat usia
 Memberikan intervensi pada komunitas & organisasi yang telah
teridentifikasi masalah yang dialaminyananganan dirumah
 4. Memberikan pelayanan kedaruratan psikiatri di RSU
 5. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
 Melakukan supervisi klien yang mendapatkan pengobatan
 Memberikan pelayanan pencegahan bunuh diri

2.2.3 PERAN DALAM PREVENSI TERSIER

 Melaksanakan latihan vokasional & rehabilitasi


 Mengorganisasi “after care” untuk klien yang telah pulang dari fasilitas
kesehatan jiwa untuk memudahkan transisi dari rumah sakit ke
komunitas
 Memberikan pilihan “partial hospitalization” (perawatan rawat siang)
pada klien
2.3 Pengertian Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin Keperawatan Jiwa
Pelayanan dan kolaborasi interdisiplin keperawatan jiwa merupakan
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh sekolompok tim kesehatan profesional
(perawat, dokter, tim kesehatan lainnya maupun pasien dan keluarga pasien
sakit jiwa) yang mempunyai hubungan yang jelas, dengan tujuan menentukan
diagnosa, tindakan-tindakan medis, dorongan moral dan kepedulian khususnya
kepada pasien sakit jiwa. Pelayanan akan berfungsi baik jika terjadi adanya
konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik
kepada pasien sakit jiwa. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat,
dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena
itu tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.

Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien
sebagai pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir
dengan nalar dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan
pusat dari anggota tim. Disana anggota tim dapat berkolaborasi dalam menentukan
tindakan-tindakan yang telah ditentukan. Apabila pasien sakit jiwa tidak memiliki
keluarga terdekat, maka disinilah peran perawat dibutuhkan sebagai pusat anggota tim.
Karena perawatlah yang paling sering berkomunikasi dan kontak langsung dengan
pasien sakit jiwa. Perawat berada disamping pasien selam 24 jam sehingga perawatlah
yang mengetahui semua masalah pasien dan banyak kesempatan untuk memberikan
pelayanan yang baik dengan tim yang baik.

Perawat adalah anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin


tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan
sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah
penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti
pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim
lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.

2.4 Elemen Penting Dalam Mencapai Kolaborasi Interdisiplin Efektif

Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan


kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi
interdisiplin yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,
komunikasi, kewenangan dan kordinasi seperti skema di bawah ini.

Kewenanga
n

Komunika
si

Tanggungjawa
b

Tujuan Umu
m

Kerjasam
a

Kolaborasi
Interdisiplin Efektif

Pemberian pertolongan

Kordinasi
Ketegasan

2.4.1 Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan


bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan
perubahan kepercayaan.

2.4.2 Ketegasan penting ketika individu dalam tim mendukung


pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin
bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk
dicapai.

2.4.3 Tanggung jawab artinya mendukung suatu keputusan


yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam
pelaksanaannya.

2.4.4 Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung


jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan
pasien sakit jiwa dan issu yang relevan untuk membuat keputusan
klinis.

2.4.5 Pemberian pertolongan artinya masing-masing anggota


dapat memberikan tindakan pertolongan namun tetap mengacu
pada aturan-aturan yang telah disepakati.
2.4.6 Kewenangan mencakup kemandirian anggota tim dalam
batas kompetensinya.

2.4.7 Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan


dalam perawatan pasien sakit jiwa, mengurangi duplikasi dan
menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan
permasalahan.

2.4.8 Tujuan umum artinya setiap argumen atau tindakan yang


dilakukan memiliki tujuan untuk kesehatan pasien sakit jiwa.

Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :


Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang
tergabung dalam tim.

2.5 Manfaat Kolaborasi Interdisiplin Dalam Pelayanan Keperawatan Jiwa


Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional,
kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas
menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk
masalah-masalah dalam tim dari pada menyalahkan seseorang atau atau
menghindari tangung jawab.
Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan
jiwa antara lain :
2.5.1 Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik profesional untuk pasien sakit jiwa
2.5.2 Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi
sumber daya
2.5.3 Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan
loyalitas
2.5.4 Meningkatnya kohesifitas antar profesional
2.5.5 Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
2.5.6 Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan
memahami orang lain.

2.6 Hambatan Dalam Melakukan Kolaborasi Interdisiplin dalam Keperawatan


Jiwa
Kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah. Ada
banyak hambatan antara anggota interdisiplin, meliputi :
2.6.1 Ketidaksesuaian pendidikan dan latihan anggota tim
2.6.2 Struktur organisasi yang konvensional
2.6.3 Konflik peran dan tujuan
2.6.4 Kompetisi interpersonal
2.6.5 Status dan kekuasaan, dan individu itu sendir
2.7 Piramida Pelayanan Kesehatan Jiwa

Pelayanan kesehatan jiwa adalah pelayanan yang berkesinambungan yaitu


pelayanan yang :
2.7.1 Sepanjang hidup
2.7.2 Sepanjang rentang sehat – sakit
2.7.3 Pada setiap konteks keberadaan (dirumah, disekolah, di tempat kerja,
di rumah sakit atau dimana saja).
2.8 Jenjang Pelayanan Kesehatan Jiwa

Menurut Ommeren tahun 2005 jenjang kesehatan antara lain :


2.8.1 Perawatan mandiri individu dan keluarga
2.8.2 Dukungan dari sektor formal dan informal diluar sektor kesehatan
2.8.3 Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan dasar
2.8.4 Pelayanan kesehatan jiwa di RSU atau RSUD
2.8.5 Pelayanan kesehatan jiwa di RSJ
2.9 Komponen Jenjang Pelayanan Kesehatan Jiwa

2.9.1 Perawatan mandiri individu dan keluarga


Kebutuhan pelayanan jiwa terbesar adalah kebutuhan kesehatan jiwa
yang dipenuhi oleh masing-masing individu dan keluarga. Mayarakat baik
individu maupun keluarga diharapkan dapat secara mandiri memelihara
kesehatan jiwanya. Pada tingkat ini sangat mungkin untuk
memperdayakan keluarga dengan melibatkan mereka dalam memelihara
kesehatan anggota keluarganya.
2.9.2 Dukungan masyarakat formal dan informal diluar sektor kesehatan
Apabila masalah kesehatan jiwa yang dialami individu tidak mampu
diatasi secara mandiri ditingkat individu dan keluarga maka upaya solusi
tingkat berikutnya adalah leader formal dan informal yang ada di
masyarakat mereka menjadi tempat rujukan. Tokoh masyarakat, kelompok
formal dan informal diluar tatanan pelayanan kesehatan merupakan target
pelyanan kesehatan jiwa, kelompok yang dimaksud adalah TOMA (
tokoh agama, tokoh wanita, kepala desa/lurah, RT/RW )
2.9.3 Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan dasar
Puskesmas memiliki kesehatan jiwa untuk rawat jalan dan kunjungan ke
masyarakat sesuai wilayah kerja masyarakat. Tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan jiwa adalah perawat yang telah dilatih
CMHN atau perawat plus CMHN dan dokter yang telah dilatih
kesehatan jiwa ( dokter plus kesehatan jiwa ) yang bekerja secara team
yang disebut team kesehatan jiwa puskesmas.
2.9.4 Pelayanan kesehatan jiwa masyarakat kabupaten/kota
Tim kesehatan yang terdiri dari psikiater, psikolog klinik, perawat jiwa
CMHN dan psikolog (yang telah mendapat pelatihan jiwa)
2.9.5 Pelayanan kesehatan jiwa di RSU
Diharapkan tingkat kabupaten atau kota menyediakan pelayanan rawat
jalan dan rawat inap bagi pasien gangguan jiwa dengan jumlah tempat
tidur terbatas sesuai kemampuan
2.9.6 Pelayanan RSJ
RSJ merupakan pelayanan spesialis jiwa yang difokuskn pada pasien
gangguan jiwa yang tidak berhasil dirawat dikeluarga/puskesmas/RSU.
Sistem rujukan dari RSU dan rujukan kembali dari masyarakat yaitu
puskesmasharus jelas agar kesinambungan pelayanan dikeluarga dapat
berjalan. Pasien yang telah selesai dirawat di RSJ dirujuk kembali
kepuskesmas. Penanggungjawaban pelayanan kesehatan jiwa masyarakat
(puskesmas) bertanggungjawab terhadap lanjutan asuhan dikeluarga.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Untuk mencapai pelayanan perawatan pasien sakit jiwa yang efektif maka
keluarga, perawat, dokter dan tim kesehatan lainnya harus berkolaborasi satu
dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih
berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi
profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan
untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kolaborasi yang efektif antara anggota
tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan keperawatan jiwa yang
berkualitas.

Kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah dalam


keperawatan jiwa. Ada banyak hambatan antara anggota interdisiplin, meliputi
ketidaksesuaian pendidikan dan latihan anggota tim, struktur organisasi yg
konvensional, konflik peran dan tujuan, kompetisi interpersonal, status dan
kekuasaan, dan individu itu sendiri

3.2 Saran
Demikian isi makalah ini, kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun materi
yang kami uraikan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating for


Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA
Dalami E, 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info Media
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat dalam Praktik Kepeawatan Jiwa.Jakarta: Trans
Info Media
Febriani, 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Universitas Sumatera Utara. Sumatera
Utara.
Hawari, 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Universitas Sumatera Utara. Sumatera
Utara.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 220/MENKES/SK/III/1992

Anda mungkin juga menyukai