Anda di halaman 1dari 75

BAB II

TUJUAN PUSTAKA

2 Konsep Fraktur Acetabulum


2.1.1 Pengertian

Fraktur adalah suatu kondisi yang terjadi ketika keutuhan dan


kekuatan dari tulang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penyakit
invasif atau suatu proses biologis yang merusak (Kenneth et al., 2017).
Menurut Solomon et al., (2018) Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari
struktur tulang, tulang rawan dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan
oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya keretakan atau terpisahnya
korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan yang
komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun memiliki
kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan
oleh cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal atau
disebut juga fraktur patologis.
Fraktur acetabulum adalah fraktur mangkuk sendi tempat masuknya
caput femur yang membentuk hip joint. Fraktur acetabulum umumnya
terjadi pada dewasa muda sebagai akibat dari trauma kecepatan tinggi.
Fraktur ini sering dihubungkan dengan trauma yang mengakibatkan
kematian. Pergeseran komponen fraktur dapat menyebabkan
ketidakcocokan sendi pinggul yang mengakibatkan distribusi tekanan
abnormal dari kartilago sendi. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan yang
cepat pada kartilago sehingga terjadinya artritis pada sendi pinggul. Reduksi
anatomi dan fiksasi stabil pada fraktur asetabulum seperti kaput femoralis di
reduksi secara sentral dibawah bantalan acetabulum yang adekuat
merupakan tujuan tatalaksana pada fraktur ini. (Ramadhani et al., 2019).
Gambar 1. Anatomi Acetabulum

Tipe fraktur berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan di


sekitarnya dibagi menjadi fraktur terbuka (open fracture) dan fraktur
tertutup (closed fracture). Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak
jaringan kulit sehingga terdapat hubungan fragmen tulang dengan dunia
luar, sedangkan fraktur tertutup merupakan fraktur tanpa hubungan antara
fragmen tulang dan dunia luar. Fraktur yang disebabkan oleh peristiwa
trauma (traumatic fracture) dapat terjadi pada kecelakaan lalu lintas
maupun non-lalu lintas (Ramadhani et al., 2019).

2.1.2 Etiologi

Fraktur dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah cidera,


stress, dan melemahnya tulang akibat abnormalitas seperti fraktur patologis
(Apleys & Solomon, 2018). Penyebab terjadinya fraktur adalah:
1) Trauma langsung adalah terjadi benturan pada tulang yang
menyebabkan fraktur.
2) Trauma tidak langsung adalah tidak terjadi pada tempat benturan tetapi
ditempat lain, oleh karena itu kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu
tulang ke tempat lain.
3) Kondisi patologis adalah terjadi karena penyakit pada tulang
(degeneratif dan kanker tulang).
2.1.3 Manifestasi Klinis

1) Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang.
b. Penekanan tulang.
2) Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi
darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3) Echumosis dari Perdarahan Subculaneous.
4) Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
5) Tenderness / keempukan.
6) Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7) Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8) Pergerakan abnormal.
9) Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah.

2.1.4 Anatomi Fisiologis Tulang

1. Anatomi Tulang
Tulang merupakan sebuah jaringan tubuh kita yang sangat kuat,
terletak di dalam tubuh dan tersusun atas zat organic serta zat anorganik.
Tulang hidup mengandung kurang lebih 50% air dan 50% zat padat dan
tubuh manusia terdiri atas kurang lebih 206 buah tulang. Tanpa adanya
tulang, tubuh kita pasti tidak akan mampu berdiri tegak dan juga tidak
akan bisa bergerak bebas. Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage
yang dengan memulai proses Osteogenesis menjadi tulang. Proses ini
dilakuakan oleh sel-sel yang disebut Oesteoblast proses mengerasnya
tulang akibat penimbunan garam kalsium. Sistem rangka ini dipelihara
oleh sistem haversian yaitu sistem yang berupa rongga yang ditengahnya
terdapat pembuluh darah (Bagus Kuntoadi, 2019).
2. Pembagian Tulang
Tulang mempunyai dua bagian besar (Bagus Kuntoadi, 2019):
a. Tulang axial (tulang pada kepala dan badan) seperti: Tulang kepala
(tengkorak), tulang belakang (vertebrae), tulang rusuk dan sternum.
b. Tulang appendicular (tulang tangan dan kaki) seperti: extremitas atas
(scapula, klavikula, humerus, ulna, radius, telapak tangan), extremitas
bawah (pelvis, femur, patella, tibia, radius, telapak kaki).

Gambar 2 rangka axial dan rangka appendicular

Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, tulang dapat diklasifikasikan


dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya (Pearce Evelyn, 2016):
a) Long bone
Long bone terdiri dari batang tebal panjang yang disebut
diafisis dan dua ujung yang disebut epifisi. Disebelah proksimal dari
epifisis terdapat metafisis. Diantara epifisis dan metafisis terdapat
daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis
atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena
akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan
digantikan oleh sel-
sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblast, dan tulang memanjang.
Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat.
Estrogen dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang
panjang. Estrogen bersama dengan testoteron, merangsang fusi
lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang
disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
Contoh tulang panjang yaitu femur, humerus.
b) Short Bone (Tulang pendek)
Bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous dengan sutu lapisan
luar dari tulang yang padat. Contoh tulang pendek yaitu carpals.
c) Flat bone (Tulang Pipih)
Flat bone berbentuk gepeng memipih. Tulang pipih terdiri dari dua
lapisan jaringan tulang keras dengan di tengahnya lapisan tulang
seperti spons. Tulang ini dijumpai di tempat yang memerlukan
perlindungan, seperti pada tulang tengkorak, tulang panggul, tulang
rusuk dan tulang belikat.
d) Irregular bone (Tulang yang tidak beraturan)
Sama seperti dengan tulang pendek. Contoh tulang yang tidak
beraturan yaitu vertebra.
e) Tulang sesamoid
Merupakan tulang kecil, yang terletak disekitar tulang yang
berdekatan dengan persendian dan didukung oleh tendon dan
jaringan fasial, misalnya patella.
3. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut (Pearce Evelyn, 2016):
a) Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b) Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru- paru).
c) Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
d) Membentuk sel-sel darah merah dalam sum-sum tulang belakang.
e) Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium dan fosfor.
2.1.5 Patofisiologi

Fraktur diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu trauma langsung,


trauma tidak langsung dan kondisi patologis, berikut adalah pathaway
fraktur: (NANDA, 2018)

Trauma Trauma Tidak Langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas Pergeseran fragmen Nyeri


Akut

Perubahan jaringan Kerusakan

Pergeseran fragmen
Spasme otot Sumsum tulang lebih

Deformitas
Peningkatan tekanan Melepaskan katekolamin
Gangguan fungsi
ekstremitas Pelapasan histamin Metabolisme asam lemak

Gangguan Mobilitas Protein plasma hilang Bergabung dengan


Fisik trombosit
Edema Emboli

Laserasi Kulit Menyumbat pembuluh


darah

Perfusi Perifer Tidak Efektif


Mengenai jaringan kutis
dan sub kutis Gangguan integritas
kulit/jaringan
Perdarahan

Kehilangan volume Risiko Insfeksi

Risiko Syok
Fraktur asetabulum terjadi karena trauma yang
mengakibatkan kekuatan yang mendesak melalui kaput femur ke
asetabulum. Kaput femur berlaku seperti hammer dan merupakan
bagian terakhir dari rentetan kekuatan trauma yang di sebarkan dari
trochanter, knee dan kaki kepada asetabulum. Posisi femur pada saaat
tumbukan terjadi dan arah kekuatan trauma merupakan faktor
penentu tipe fraktur.
Beberapa klasifikasi dari fraktur asetabulum telah diketahui,
Judet and Letournel dimana menklasifikasi fraktur asetabulum
berdasarkan morfologi fraktur berdasarkan polanya dan hanya
terdapat 1 garis fraktur :
1) Fraktur dinding posterior umumnya mempengaruhi pinggir
asetabulum, permukaan retroasetabular dan beberapa segmen
dari kartilago artikular. Kartilago artikular dapat terkena sebagai
akibat trauma. Hal ini harus di diagnosa secara preoperatif
melalui CT scan karena fragmen tersebut memerlukan elevasi
pada saat pembedahan dilakukan. Garis ilioischial umunya tetap
intak pada anteroposterior (AP).
2) Fraktur kolum posterior : Fraktur jenis ini hanya termasuk bagian
ischial dari tulang. Seluruh permukaan retroasetabular telah
tergeser dengan kolum posterior. Garis vertikal yang
memisahkan antara kolum anterior dengan kolum posterior telah
bergeser kearah inferior dan memasuki foramen obrurator.
Fraktur ramus inferior biasanya berhubungan dengan fraktur
kolum posterior. Terkadang, garis fraktur melewati posterior ke
foramen obrurator dan membelah tuberositas ischial. Garis
ilioischial tergeser dan terpisah dari ujungnya.
3) Fraktur dinding anterior : merupakan cedera yang jarang terjadi.
Fraktur dinding anterior biasanya terjadi bersamaan dengan
dislokasi anterior.

4) Fraktur kolum anterior: Fraktur rendah (low fracture) yang


termasuk hanya bagian superior ramus dan bagian pubik dari
asetabulum. Fraktur tinggi (high fracture) dapat termasuk
didalamnya seluruh tepi anterior dari tulang.
5) Fraktur tranversus membagi tulang kedalam 2 bagian. Garis
fraktur horizontal menggeser asetabulum kepada beberapa level.
Tulang pelbis dibagi menjadi bagian superior dan bagian bawah.
Bagian superior termasuk didalamnya illiac wing dan dasar dari
asetabulum. Bagian bawah termasuk segmen ischiopubik yang
didalamnya terdapat foramen obrurator yang intak dengan
dinding anterior dan posterior asetabulum.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

1) X-ray: untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur, mengetahui tempat


dan tipe fraktur, biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi
dan selama proses penyembuhan secara periodik. Hal yang harus dibaca
pada X-ray:
a) Bayangan jaringan lunak
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
2) Scan tulang: mempelihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
3) Arteriogram: dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler
4) Hitung darah lengkap: hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun
pada perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan
5) Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
atau cedera hati (Nurarif & Kusuma, 2015).
2.1.7 Komplikasi

Komplikasi pada fracture di antaranya yaitu (Ardian, 2015):


1) Komplikasi awal
a. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT (capillary refill time) menurun, sianosis pada bagian
distal, hematom melebar dan dingin pada ekstremitas yang
disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan posisi pada
bagian yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
b. Sindrome kompartemen
Komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang,
saraf, pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini di sebabkan oleh
edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, pembuluh darah
atau tekanan luar seperti gips, pembebatan dan penyangga.
c. Fat Embolism Syndrome (FES)
Fat embolism syndrome merupaxkan suatu sindrom yang
mengakibatkan komplikasi serius pada fracture tulang panjang, terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah menurun.
Ditandai dengan adanya gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi,
takipnea dan demam.
d. Infeksi
Biasanya terjadi pada kasus fracture terbuka tapi dapat terjadi juga
pada penggunaan bahan lain dalam pembedahan, seperti pin dan plat
yang tepasang didalam tulang. Sehingga pada kasus fracture resiko
infeksi yang terjadi lebih besar baik karena penggunaan alat bantu
maupun prosedur invasif.

e. Nekrosis avaskuler
Aliran darah ketulang rusak atau terganggu sehingga menyebabkan
nekrosis tulang. Biasanya diawali dengan adanya iskemia volkma.
f. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kepiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun.
2) Komplikasi lama
a. Deleyed Union
Kegagalan fracture terkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan ruang untuk menyambung. Ini terjadi karena suplai darah
ketulang menurun.
b. Non-Union
Komplikasi ini terjadi karena adanya fracture yang tidak sembuh
antara 6 sampai 8 bulan dan tidak di dapatkan konsolidasi sehingga
terdapat infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama-sama infeksi yang
disebut infected pseudoarthosis. Sehingga fracture dapat
menyebabkan infeksi.
c. Mal-Union
Keadaan ketika fracture menyembuh pada saatnya tapi terdapat
deformitas (perubahan bentuk tulang) yang berbentuk angulasi.

2.1.8 Penatalaksanaan

Ada empat konsep dasar yang harus diperhatikan pada waktu


menangani fraktur:
1) Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian
kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
a. Riwayat kecelakaan Parah tidaknya luka
b. Diskripsi kejadian oleh pasien
c. Menentukan kemungkinan tulang yang patah
d. Krepitus
2) Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak
normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual
dengan traksi atau gips.
b. Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan
melalui pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan alat
misalnya pin atau plat yang langsung kedalam medula tulang.
3) Immobilisasi: setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus
dimobilisasi untuk membantu tulang pada posisi yang benar hingga
menyambung kembali.
4) Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan
(gips/traksi)
5) Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan
dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh cidera dan
program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan
kruck)

3 Konsep Nyeri
2.2.1 Definisi

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan
potensial yang tidak menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian
tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan
rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi,
perasaan takut dan mual (Nurbah, 2020).

2.2.2 Fisiologi Nyeri

Menurut Tamsuri (2007, dalam Sudjito, 2018) reseptor nyeri adalah


organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielien dari
syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan
dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor
kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini
biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit
(kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:
a. Reseptor Adelta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan
tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang
akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik
dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh
darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul
dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral,
reseptor ini meliputi organ- organ viseral seperti jantung, hati, usus,
ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya
tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.

2.2.3 Teori Pengontrolan Nyeri

Teori pengontrolan nyeri menurut Andarmoyo (2013) yaitu :


a. Teori Spesivitas (SpecivicityTheory)
Teori Spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini menjelaskan
bahwa nyeri berjalan dari resepror-reseptor nyeri yang spesifik melalui
jalur neuroanatomik tertentu kepusat nyeri diotak. Teori spesivitas ini
tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari nyeri. teori ini hanya
melihat nyeri secara sederhana yakni paparan biologis tanpa melihat
variasi dari efek psikologis individu.
b. Teori Pola (Patterntheory)
Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989, teori ini
menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori
yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri inimerupakan akibat
dari stimulasi reseptor yang menghasilkan pola dari implus saraf. Pada
sejumlah causalgia, nyeri pantom dan neuralgia, teori polaini bertujuan
untuk menimbulkan rangsangan yang kuat yang mengakibatkan
berkembangnya gaung secara terus menerus pada spinal cord sehingga
saraf trasamisi nyeri bersifat hypersensitif yangmana rangsangan dengan
intensitas rendah dapat mengahasilkan trasmisi nyeri.
c. Teori Pengontrol Nyeri (Theory Gate Control) Implus nyeri dapat diatur
dan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf
pusat, dimana implus nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka
dan implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup.
d. Endogenous Opiat Theory Teori ini di kembangkan oleh Avron
Goldstein, ia mengemukakan bahwa terdapat substansi seperti opiet
yang terjadi selama alami didalam tubuh, substansi ini disebut
endorphine. Endorphine mempengaruhi trasmisi implus yang
diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine kemugkinan bertindak
sebagai neurotrasmitter maupun neoromodulator yang menghambat
trasmisi dari pesan nyeri.

2.2.4 Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap


nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.Arti nyeri bagi setiap individu
berbeda-beda menurut Tamsuri (2007, dalam Sudjito, 2018) antara lain: a.
Bahaya atau merusak b. Komplikasi seperti infeksi c. Penyakit yang
berulang
a. Penyakit baru, e. Penyakit yang fatal f. Peningkatan ketidakmampuan g.
Kehilangan mobilitas h. Menjadi tua i. Sembuh j. Perlu untuk penyembuhan
k. ukuman untuk berdosa l. Tantangan m. Penghargaan terhadap penderitaan
orang lain n. Sesuatu yang harus ditoleransi o. Bebas dari tanggung jawab
yang tidak dikehendaki p. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat
dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga
faktor sosial budaya.
3.1.5 Respon Fisiologis

Menurut Tamsuri (2007, dalam Sudjito, 2018) respon fisiologis klien


terhadap nyeriadalah:
a. Stimulasi Simpatik (nyeri ringan, moderat, dan superficial): 1) Dilatasi
saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate 2) Peningkatan
heartrate 3) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP 4) Peningkatan
nilai gula darah 5) Diaphoresis 6) Peningkatan kekuatan otot 7)
Dilatasi pupil 8) Penurunan motilitas GI
b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam): 1) Muka pucat 2) Otot
mengeras 3) Penurunan HR dan BP 4) Nafas cepat dan ireguler 5)
Nausea dan vomitus 6) Kelelahan dan keletihan
c. Respon tingkah laku terhadap nyeri: 1) Respon perilaku terhadap
nyeri dapat mencakup: 2) Pernyataan verbal (mengaduh, menangis,
sesak nafas, mendengkur) 3) Ekspresi wajah (meringis,
menggeletukkan gigi, menggigit bibir) 4) Gerakan tubuh (melisah,
imobilisasi, etegangan otot,peningkatan gerakan jari dan tangan. 5)
Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan,
enghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, Fokus pada
aktivitas menghilangkan nyeri) 6) Individu yang mengalami nyeri
dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap
nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis.
Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu
letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan
nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas
karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

d. Pengalaman Nyeri
Meinhart & McCaffery dalam Sudjito (2018) mendiskripsikan 3 fase
pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeriditerima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena
fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut.Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri.karena nyeri
itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara
satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan
stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil.
Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu
menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri,
sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari
stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu,
individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan
individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai
dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang
ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali
pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan
pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan
nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan
nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya
membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang.Pada fase
ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri
bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa
pasca nyeri.Apabila klien mengalami episode nyeri berulang,
maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan
yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh
kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan
nyeri berulang.

3.1.6 Pengukuran Skala Nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri


dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri (Nurbah, 2020). Penilaian intensitas nyeri
dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut:
1) Verbal Descriptor Scale (VDS)
Verbal Descriptor Scale (VDS) merupakan garis yang terdiri dari
tiga sampai lima kata pendeskripsi yang telah disusun dengan jarak
yang sama sepanjang garis. Ukuran skala ini diurutkan dari “tidak
terasa nyeri” sampai “nyeri tidak tertahan”. Perawat menunjukkan ke
klien tentang skala tersebut dan meminta klien untuk memilih skala
nyeri yang dirasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa tidak
menyakitkan (Potter & Perry, 2010). Alat VDS memungkinkan klien
untuk memilih dan mendeskripsikan skala nyeri yang dirasakan (Potter
& Perry, 2010)
Gambar 3. Verbal Descriptor Scale (VDS)

2) Visual Analogue Scale (VAS)


VAS adalah suatu garis lurus yang menggambarkan skala nyeri
terus menerus. Skala ini menjadikan klien bebas untuk memilih tingkat
nyeri yang dirasakan. VAS sebagai pengukur keparahan tingkat nyeri
yang lebih sensitif karena klien dapat menentukan setiap titik dari
rangkaian yang tersedia tanpa dipaksa untuk memilih satu kata (Potter
& Perry, 2010)

Gambar 4. Visual Analogue Scale (VAS)

Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut : a)


Skala 0 : berarti tidak terjadi nyeri. b) Skala 1-3 : digambarkan seperti
gatal, tersetrum, nyut-nyutan, melilit, terpukul, perih, mules. c) Skala
4-6 : digambarkan seperti kram, kaku, tertekan, sulit bergerak,
terbakar,
ditusuk-tusuk. d) Skala 7-9 : merupakan skala sangat nyeri tetapi masih
dapat dikontrol oleh klien e) Skala 10 : merupakan skala nyeri yang
sangat berat dan tidak dapat dikontrol. Ujung kiri pada VAS
menunjukkan “tidak ada rasa nyeri”, sedangkan ujung kanan
menandakan “nyeri yang paling berat”.
3) Numeric ratting Scale (NRS)

Gambar 5. Numeric Ratting scale (NRS)

Skala 0 : tidak ada nyeri b) Skala 1-3 : nyeri yang ringan, dan dapat
ditahan c) Skala 4-6 : nyeri sedang dan menggangu, memerlukan usaha
untuk menahan d) Skala 7-10 : nyeri berat dan sangat mengganggu,
tidak dapat ditahan, dapat disertai meringis, menjerit, menangis,
bahkan sampai teriak. Dalam hal ini skala NRS akan digunakan
peneliti sebagai instrumen penelitian (Potter & Perry, 2010).
4) Wong-Baker FACES Pain Rating Scale
Skala ini terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan wajah yang sedang tersenyum untuk menandai tidak
adanya rasa nyeri yang dirasakan, kemudian secara bertahap
meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah sangat sedih, sampai
wajah yang sangat ketakutan yang berati skala nyeri yang dirasakan
sangat nyeri (Potter & Perry, 2010).
Gambar 6.Wong-Baker FACES Pain Rating Scale

Skala nyeri tersebut banyak digunakan pada pasien pediatrik


dengan kesulitan atau keterbatasan verbal. Sebelum dilakukan
pengukuran, dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik
wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang
dirasakannya.

3.1.7 Manajemen Nyeri

1. Pengertian
Andarmoyo (2013) menyatakan bahwa manajemen nyeri adalah
suatu tindakan untuk mengurangi nyeri. Pendekatan yang digunakan
dalam manajemen nyeri meliputi pendekatan farmakologi dan non-
farmakologi, sebaiknya pendekatan ini dilakukan secara bersama-
sama, karena pendekatan farmakologi dan non-farmakologi tidak akan
efektif bila dilakukan atau digunakan sendiri-sendiri. Pendekatan ini
diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara
individu. Semua intervensi akan berhasil bila dilakukan sebelum nyeri
menjadi lebih parah dan keberhasilan terbesar sering dicapai jika
beberapa intervensi diterapkan secara simultan (Brunner 2010).
2. Tujuan
Menurut Andarmoyo (2013) dalam dunia keperawatan manajemen
nyeri dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : a. Mengurangi
intensitas dan durasi keluhan nyeri. b. Menurunkan kemungkinan
berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten. c.
Mengurangi penderitaan dan/ ketidakmampuan/ ketidakberdayaan
akibat nyeri. d. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi
terhadap terapinyeri. e. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan
mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas
sehari-hari.
3. Jenis-jenis Manajemen Nyeri
1) Manajemen Nyeri farmakologi
Menurut Potter dan Perry (2010) analgesik merupakan metode
yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgetik
yaitu:
a. Non-Narkotik dan Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (NSAID),
NSAID Non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan
atau sedang, seperti nyeri yang terkait dengan arthritis
rematoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor,
episiotomi, dan masalah punggung bagian bawah.
b. Analgesik narkotik atau Opiat, Analgesik opiat umumnya
diresepkan untuk nyeri sedang sampai berat, seperti nyeri
pasca operasi dan maligna. Opiat menyebabkan depresi
pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di dalam batang
otak. Pasien juga mengalami efek samping, seperti mual,
muntah, konstipasi, dan perubahan prosesmental.
c. Obat Tambahan (Adjuvan) atau Koanalgetik, Adjuvan, seperti
sedatif, anti cemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol
nyeri atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan
nyeri, seperti depresi dan mual. Sedatif seringkali diberikan
untuk penderita nyeri kronik. Obat- obatan ini dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi,
keputusasaan, dan kewaspadaan mental.
2) Manajemen Nyeri Non-farmakologi
Menurut Potter dan Perry (2010), ada sejumlah terapi non-
farmakologi yang mengurangi resepsi dan persepsi nyeri dan dapat
digunakan pada keadaan perawatan akut. Dengan cara yang sama,
terapi-terapi ini digunakan dalam kombinasi dengan tindakan
farmakologi. Tindakan non-farmakologi mencakup intervensi
perilaku-kognitif dan penggunaan agen-agen fisik.Tujuan
intervensi perilaku-kognitif adalah mengubah persepsi pasien
tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien rasa
pengendalian yang lebih besar.
Menurut Tamsuri (2007, dalam Nurbah, 2020) tindakan
nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa
tindakan penagnanan. Pertama berdasarkan penanganan
fisik/stimulasi fisik meliputi stimulasi kulit, stimulasi elektrik
(TENS), akupuntur, plasebo. Kedua berdasarkan intervensi
perilaku kognitif meliputi relaksasi, umpan balik biologis,
hipnotis, distraksi, Guided Imagery (Imajinasi terbimbing).
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa contoh dari tindakan
nonfarmakologi menurut Mangoenprasodjo dan Hidayati (2015),
yaitu:
a) PENS Umumnya, saat seseorang mengalami patah kaki yang
cukup serius, dokter memasukkan pen di dalam tulang untuk
membantu merekatkan kembali tulang yang patah dan
menahan tulang pada posisi yang tepat. Fungsinya agar
tulang lebih cepat tumbuh dan menyambung kembali. b)
Stimulasi Saraf Elektrik
b) Transkutan (TENS) Menurut Hargreaves dan Lander (Potter
dan Perry, 2009) Stimulasi Saraf Elektrik Transkutaneus
(Transcutaneus Elektrik Nerve Stimulations, TENS),
dilakukan dengan stimulasi pada kulit dengan menggunakan
arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
Terapi ini dilakukan berdasarkan instruksi dokter.Unit TENS
terdiri dari transmiter bertenaga baterai, kabel timah dan
elektroda. Elektroda dipasang langsung pada atau dekat
lokasi nyeri. Rambut atau bahan-bahan yang digunakan untuk
persiapan kulit dibuang sebelum elektroda dipasang.Apabila
pasien merasa nyeri, transmitter dinyalakan dan
menimbulkan
sensasi kesemutan atausensasi dengung. Pasien dapat
menyesuaikan intensitas dan kualitas stimulasi kulit.Sensasi
kesemutan dapat dibiarkan sampai nyeri hilang.TENS efektif
untuk mengontrol nyeri pasca operasi (misalnya mengangkat
drain dan membersihkan serta kembali membungkus luka
bedah).
c) Akupuntur, Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah
sejak lama digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum-jarum
kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-
titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat
memblok transmisi nyeri ke otak.
d) Akupresur, World Health Organization (WHO) mengakui
akupresur sebagai suatu ilmu yang mengakibatkan neuron
pada sistem saraf, dimana hal ini merangsang kelenjar-
kelenjar endokrin dan hasilnya mengaktifkan organ yang
bermasalah. Akupresur menggunakan teknik penekanan dan
pemijatan dengan tujuan menyingkirkan hambatan dan
sumbatan sehingga energi hidup dapat mengalir secara
teratur, dan organ yang terganggu bisa kembali berfungsi
normal.Salah satu pendekatan yang menarik dari akupresur
adalah penanganannya tidak terbatas pada organ yang
bermasalah saja, tapi juga pada sumber masalah yang sering
berada di luar organ yang bermasalah.
e) Hipnotis, Hipnotis dapat membantu mengubah persepsi nyeri
melalui pengaruh sugesti positif.Suatu pendekatan kesehatan
holistik, hipnosis-diri menggunakan sugesti-diri dan kesan
tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki
keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan
kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respon tertentu
bagi mereka. Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan
dan stres karena individu berkonsentrasi hanya pada satu
pikiran.
f) Masase, Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara
umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase
dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat
relaksasi otot.Masase kulit memberikan efek penurunan
kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini
dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar,
sehingga mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri.
g) Terapi Es dan Panas Terapi es (dingin) dan panas dapat
menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa
keadaan. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri.
h) Mengurangi Persepsi Nyeri Menurut Potter dan Perry (2009)
salah satu cara sederhana untuk meningkatkan rasa nyaman
ialah membuang atau mencegah stimulus nyeri. Hal ini
terutama penting bagi pasien yang imobilisasi atau tidak
mampu merasakan sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga
dapat dicegah dengan mengantisipasi kejadian yang
menyakitkan.
i) Relaksasi, Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik
dari ketegangan dan stres.Teknik relaksasi memberikan
individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau
nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri.Supaya relaksasi dapat
dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi
individu pasien dan kerjasama. Perawat menjelaskan teknik
relaksasi dengan rinci dan menjelaskan sensasi umum yang
pasien alami.Pasien harus menggunakan sensasi ini sebagai
umpan balik.Perawat bertindak sebagai pelatih, mengarahkan
pasien dengan perlahan melalui tahap-tahap latihan.
Lingkungan harus bebas dari keributan atau stimulus lain
yang mengganggu (Potter dan Perry, 2010)
4 Konsep Aromatherapy
2.3.1 Definisi

Kata aromaterapi berarti terapi dengan memakai minyak esensial yang


ekstrak dan unsur kimianya diambil dengan utuh. Aromaterapi adalah
bagian dari ilmu herbal (herbalism) (Sulistyowati, 2018). Sedangkan
menurut Sharma (2009) dalam Nurbah (2020) aromaterapi berarti
‘pengobatan menggunakan wangi-wangian’. Istilah ini merujuk pada
penggunaan minyak esensial dalam penyembuhan holistik untuk
memperbaiki kesehatan dan kenyamanan emosional dan dalam
mengembalikan keseimbangan badan. Terapi komplementer (pelengkap),
seperti homoeopati, aromaterapi dan akupuntur harus dilakukan seiring
dengan pengobatan konvensional (Nurbah, 2020)
Tumbuhan aromatik menghasilkan minyak aromatik. Apabila
disuling, senyawa yang manjur ini perlu ditangani secara hati-hati. Sebagian
besar senyawa ini akan menimbulkan reaksi kulit, tetapi jika digunakan
secara tepat, senyawa ini memilki nilai teraupetik. Senyawa ini dapat
dihirup, digunakan dalam kompres, dalam air mandi, atau dalam minyak
pijat (Nurbah, 2020). Aromaterapi adalah terapi atau pengobatan dengan
menggunakan bau bauan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, bunga, pohon
yang berbau harum dan enak. Minyak astiri digunakan untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, sering
digabungkan untuk menenangkan sentuhan penyembuhan dengan sifat
terapeutik dari minyak astiri (Craig Hospital, 2013). Aromaterapi dapat juga
didefinisikan sebagai penggunaan terkendali esensial tanaman untuk tujuan
terapeutik (Sulistyowati, 2018). Jenis minyak aromaterapi yang umum
digunakan yaitu:
a. Minyak Eukaliptus, Radiata (Eucalyptus Radiata Oil)
b. Minyak Rosemary (Rosemary Oil)
c. Minyak Ylang-Ylang (Ylang-Ylang Oil)
d. Minyak Tea Tree (Tea Tree Oil)
e. Minyak Lavender (Lavender Oil)
f. Minyak Geranium (Geranium Oil)
g. Minyak Peppermint
h. Minyak Jeruk Lemon (Lemon Oil)
i. Minyak Chamomile Roman
j. Minyak Clary Sage (Clary Sage Oil)

2.3.2 Mekanisme Aromaterapi

Efek fisiologis dari aroma dapat dibagi menjadi dua jenis : mereka
yang bertindak melalui stimulasi sistem saraf dan organ-organ yang
bertindak langsung pada organ atau jaringan melalui effector-receptor
mekanisme (Sulistyowati, 2018). Aromaterapi didasarkan pada teori bahwa
inhalasi atau penyerapan minyak esensial memicu perubahan dalam sistem
limbik, bagian dari otak yang berhubungan dengan memori dan emosi. Hal
ini dapat merangsang respon fisiologis saraf, endokrin atau sistem kekebalan
tubuh, yang mempengaruhi denyut jantung, tekanan darah, pernafasan,
aktifitas gelombang otak dan pelepasan berbagai hormon di seluruh tubuh.
Efeknya pada otak dapat menjadikan tenang atau merangsang sistem saraf,
serta mungkin membantu dalam menormalkan sekresi hormon. Menghirup
minyak esensial dapat meredakan gejala pernafasan, sedangkan aplikasi
lokal minyak yang diencerkan dapat membantu untuk kondisi tertentu. Pijat
dikombinasikan dengan minyak esensial memberikan relaksasi, serta
bantuan dari rasa nyeri, kekuatan otot dan kejang. Beberapa minyak esensial
yang diterapkan pada kulit dapat menjadi anti mikroba, antiseptik, anti
jamur, atau anti inflamasi (Sulistyowati, 2018).

2.3.3 Manfaat Aromaterapi

Beberapa manfaat minyak aromaterapi (esensial oil):


1) Lavender, dianggap paling bermanfaat dari semua minyak astiri.
Lavender dikenal untuk membantu meringankan nyeri, sakit kepala,
insomnia, ketegangan dan stress (depresi) melawan kelelahan dan
mendapatkan untuk relaksasi, merawat agar tidakinfeksi paru-paru,
sinus, termasuk jamur vaginal, radang tenggorokan, asma, kista dan
peradangan lain. Meningkatkan daya tahan tubuh, regenerasi sel, luka
terbuka, infeksi kulit dan sangat nyaman untuk kulit bayi, dll.
2) Jasmine : Pembangkit gairah cinta, baik untuk kesuburan wanita
mengobati impotensi, anti depresi, pegal linu, sakit menstruasi dan
radang selaput lendir.
3) Orange : Baik untuk kulit berminyak, kelenjar getah bening tak
lancar,debar jantung tak teratur dan tekanan darah tinggi.
4) Peppermint : Membasmi bakteri, virus dan parasit yang bersarang di
pencernaan. Melancarkan penyumbatan sinus dan paru, mengaktifkan
produksi minyak dikulit, menyembuhkan gatal-gatal karena
kadas/kurap, herpes, kudis karena tumbuhan beracun.
5) Rosemary : Salah satu aroma yang manjur memperlancar peredaran
darah, menurunkan kolesterol, mengendorkan otot, reumatik,
menghilangkan ketombe, kerontokan rambut, membantu mengatasi
kulit kusam sampai di lapisan terbawah. Mencegah kulit kering,
berkerut yang menampakkan urat-urat kemerahan.
6) Sandalwood : Menyembuhkan infeksi saluran kencing dan alat kelamin,
mengobati radang dan luka bakar, masalah tenggorokan, membantu
mengatasi sulit tidur dan menciptakan ketenangan hati.
7) Green tea : Berperan sebagai tonik kekebalan yang baik mengobati
penyakit paru-paru, alat kelamin, vagina, sinus, inveksi mulut, inveksi
jamur, cacar air, ruam saraf serta melindungi kulit karena radiasi bakar
selama terapi kanker.
8) Ylang-Ylang/ Kenanga : Bersifat menenangkan, melegakan sesak nafas,
berfungsi sebagai tonik rambut sekaligus sebagai pembangkit rasa cinta.
9) Lemon : Selain baik untuk kulit berminyak, berguna pula sebagai zat
antioksidan, antiseptik, melawan virus dan infeksi bakteri, mencegah
hipertensi, kelenjar hati dan limpa yang tersumbat, memperbaiki
metabolisme, menunjang system kekebalan tubuh serta memperlambat
kenaikan berat badan.
10) Frangipani/ Kamboja : Bermanfaat untuk TBC pengobatan, antara lain,
bias untuk mencegah pingsan, radang usus, disentri, basiler, gangguan
pencernaan, gangguan penyerapan makanan pada anak, radang hati,
radang saluran napas, jantung berdebar, cacingan, sembelit, kencing
nanah, beri-beri, kapalan, kaki pecah-pecah, sakit gigi, tertusuk duri
atau beling, bisul dan patekan. Aromaterapi dari wewangian ini
melambangkan kesempurnaan. Ini dapat digunakan untuk meditasi dan
memberikan suasana hening yang mendalam.
11) Strawberry : Dapat meningkatkan selera makan, mengurangi penyakit
jantung, tekanan darah tinggi dan kanker.
12) Appel : Dapat menyembuhkan mabuk, diare, menguatkan sistem
pencernaan, menjernihkan pikiran, mengurangi gejala panas dalam.
13) Vanilla : Dengan aroma yang lembut dan hangat mampu menenangkan
pikiran.
14) Opium : Menggembirakan, memberi energi dan semangat tertentu.
15) Coconut : Memberikan efek ketenangan, menghilangkan stress, mampu
mempertahankan keremajaan kulit wajah sehingga wajah selalu nampak
bersinar sepanjang masa.
16) Sakura: Di antaranya, disentri, demam, muntah, batuk darah, keputihan,
tumor, insomnia, mimisan, sakit kepala, hipertensi.
Dari uraian aromaterapi dan manfaatnya, aromaterapi yang mempunyai
manfaat meringankan nyeri adalah jenis aromaterapi lavender. Minyak
lavender di ekstrak dari tanaman yang disebut lavandula angustifolia. Dari
semua aromaterapi, lavender dianggap paling bermanfaat dari semua
minyak atsiri.

2.3.4 Bunga Lavender

Nama lavender berasal dari bahasa latin “lavera” yang berarti


menyegarkan dan orang-orang Roma telah memakainya sebagai parfum dan
minyak mandi sejak zaman dahulu. Bunga lavender memiliki 25-30 spesies,
beberapa diantaranya adalah lavandula angustifolia, lavandula lattifolia,
lavandula stoechas. Penampakan bunga ini adalah berbentuk kecil,
berwarna ungu kebiruan, dan tinggi tanaman mencapai 72 cm. Asal
tumbuhan ini adalah dari wilayah selatan Laut Tengah sampai Afrika tropis
dan ke arah timur sampai India. Tanaman ini tumbuh baik pada daerah
dataran tinggi, dengan ketinggian berkisar antara 600-1.350 m di atas
permukaan laut (Pubmed, 2022).
Minyak lavender memiliki banyak potensi karena terdiri atas
beberapa kandungan. Menurut penelitian dalam 100 gram minyak lavender
tersusun atas beberapa kandungan, seperti : minyak esensial (13%), alpha-
pinene (0,22%), camphene (0,06%), beta-myrcene (5,33%),p-cymene
(0,3%),
limonene (1,06%), cineol (0,51%), linalool (26,12%), borneol (1,21%),
terpinen-4-o1 (4,64%), linail acetate (26,32%), geranyl acetate (2,14%),
dan caryophyllene (7,55%). Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan
bahwa kandungan utama dari bunga lavender adalah linail asetat dan
linalool (C10H18O) (Pubmed, 2022).

4.1.5 Teknik Pemberian Aromaterapi

Teknik pemberian aroma terapi bisa digunakan dengan cara :


1) Inhalasi : biasanya dianjurkan untuk masalah dengan pernafasan dan
dapat dilakukan dengan menjatuhkan beberapa tetes minyak esensial
ke dalam mangkuk air mengepul. Uap tersebut kemudian dihirup
selama beberapa saat, dengan efek yang ditingkatkan dengan
menempatkan handuk diatas kepala dan mangkuk sehingga
membentuk tenda untuk menangkap udara yang dilembabkan dan bau.
2) Massage/pijat: Menggunakan minyak esensial aromatic
dikombinasikan dengan minyak dasar yang dapat menenangkan atau
merangsang, tergantung pada minyak yang digunakan. Pijat minyak
esensial dapat diterapkan ke area masalah tertentu atau ke seluruh
tubuh.
3) Difusi : Biasanya digunakan untuk menenangkan saraf atau mengobati
beberapa masalah pernafasan dan dapat dilakukan dengan
penyemprotan senyawa yang mengandung minyak ke udara dengan
cara
yang sama dengan udara freshener. Hal ini juga dapat dilakukan
dengan menempatkan beberapa tetes minyak esensial dalam diffuser
dan menyalakan sumber panas. Duduk dalam jarak tiga kaki dari
diffuser, pengobatan biasanya berlangsung sekitar 30 menit.
4) Kompres : Panas atau dingin yang mengandung minyak esensial dapat
digunakan untuk nyeri otot dan segala nyeri, memar dan sakit kepala.
5) Perendaman: Mandi yang mengandung minyak esensial dan
berlangsung selama 10-20 menit yang direkomendasikan untuk
masalah kulit dan menenangkan saraf (Craig hospital, 2013)

5 Justifikasi Intervensi Inovasi yang Dipilih


Fraktur merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika keutuhan dan
kekuatan dari tulang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penyakit
invasif atau suatu proses biologis yang merusak (Kenneth et al., 2017)
sehingga seseorang dengan fraktur akan mengalami gangguan fisiologis
maupun psikologis yang dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri
tersebut merupakan keadaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan
ketidaknyamanan secara verbal maupun nonverbal.
Nyeri seringkali ditangani dengan penanganan farmakologis dan non
farmakologis, secara farmakologis yaitu dengan pemberian obat anti nyeri
(analgesic), yang diberikan ketika pasien mengeluhkan nyeri berat.
Sedangkan non farmakologis yaitu teknik distraksi relaksasi, terapi kompres
hangat/dingin, serta terapi aromaterapi. Salah satu tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengurangi nyeri selain menggunakan teknik farmakologi
juga dapat menggunakan teknik non farmakologi seperti relaksasi
aromaterapi (Aisyah, 2017).
Dalam sebuah studi meta-analisis yang dilakuakan Lakhan et.al
(2016), dapat dikonfirmasi bahwa aromaterapi dianggap aman untuk
ditambahkan pada prosedur penanganan nyeri dan bahwa tidak ada efek
samping yang dilaporkan pada setiap studi. Juga aromaterapi itu jauh lebih
murah biayanya dibandingkan dengan penanganan nyeri standar. Dalam
studi eksperimen
yang dilakukan di India, efek positif ditemukan ada penurunan nyeri pada
pasien bedah ortopedi yang dihasilkan oleh pemberian aromaterapi (Swathi
& Kanagaraj, 2021).
Hasil penelitian Baiq Nurul (2019) dengan judul penelitian pengaruh
Aromaterapi Lavender terhadap intensitas nyeri pasien fraktur di RS
Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso Surakarta dengan hasil penelitian yang
menyatakan terdapat pengaruh intervensi Aromaterapi Lavender dalam
menurunkan skala nyeri yang dirasakan pasien fraktur.
Sehingga aromaterapi lavender sangat dianjurkan untuk diterapkan
dan diberikan pada klien dengan masalah keperawatan nyeri untuk
membantu mengurangi intensitas nyeri pada pasien fraktur.
6 Analisis Artikel
Tabel 2. 1. Daftar Sintesis Grid/ Tabel Analisis Jurnal

Author/Tahu Judul Sampel/Settin Keterbatasa


No Tujuan Metode Hasil Kekuatan
n Artikel g n/Limitasi
1 Swati G and Effectiveness Tujuan Simple random Metode Hasil penelitian pada Penelitian ini Penelitian ini
Dr. of penelitian sampling penelitian kelompok eksperimen dilakukan menggunkan
Puvaneswari aromatherap ini adalah technique kuantitatif nyeri Hari-1 Pre = dalam satu kelompok
Kanagaraj y on post- untuk Jumlah dengan true 7,97+1,38 dan posttest pengaturan/ kontrol dan
(2021) operative menilai sampel: 60 experimenta = 6,13+1,74. Hari-3 single eksperimental
International pain and efektifitas responden l study with pre =2,70+1,51, setting,oleh sehingga dapat
Journal of discomfort aromaterapi (control-30, pre-test posttest =1,53+1,14. karena itu menunjukkan
Applied among lavender experimental- post-test Dan mean dan SD hasilnya efektifitas
Research orthopedic pada nyeri 30) control ketidaknyamanan mungkin yang
8(2):19-26 patients: dan menggunakan group pada hari-1= tidak terlalu signifikan,
Experimental ketidaknya aromaterapi design. 19,7+4,7, post-test representatif hasil dan
study manan pada minyak =14,7+3,93. Dan Hari pembahasan
pasien lavender ke-3 pre= 2,70+1,51, ditampilkan
ortopedi selama 3 hari posttest =1,53+1,14 dengan tablel
pasca pada kelompok Pengukuran berulang dan grafik.
operasi. eksperimen. dari ANOVA
menunjukkan bahwa
ada perbedaan
kelompok dalam rasa
sakit (F=314.7,
p=0,001) dan skor
ketidaknyamanan
(F=23.21, p=0,001)
menurun dari waktu
kewaktu (sebelum hari
1- setelah hari 3) di
kelompok eksperimen
“Penelitian ini
menunjukkan efek
positif yang signifikan
dari aromaterapi
minyak lavender
dalam pengurangan
Nyeri dan
ketidaknyamanan
pada pasien ortopedi”
2 Nova Penggunaan Mengetahui Artikel yang di Systematic Hasil penelitian dari 6 Penelitian ini  Penelitian ini
L.Langingi, Aromaterapi penggunaan publikasi tahun Review atau artikel ditemukan hanya menggunaka
Priscillia Untuk Nyeri aromaterapi 2012-2021 (10 Tinjauan bahwa, indikasi menggunaka n diagram
M.Saluy, pada Pasien untuk nyeri tahun terakhir), Integratif penggunaan n satu search PRISMA
Grace F. Medikal- pada pasien Full paper, menurut aromaterapi dalam engine yaitu (Preferred
Kaparang Bedah di medical- dalam Bahasa Whitemore bidang medical adalah Google Reporting
(2022) Indonesia: bedah di Indonesia dari dan Knoff nyeri kepala dan Cendekia, Items for
Volume 4, Sebuah Indonesia google kanker, dimana dan semua Systematic
No., April tinjauan dalam cendekia aromaterapi lavender artikel yang Reviews and
2022 Integratif bentuk didapatkan 6 serta aromaterapi digunakan Meta-
e-ISSN:2685- tinjauan artikel lemon (kombinasi yaitu artikel Analyses)
7154 integritas memenuhi dengan progressive Nasional yang dapat
menjadi kriteria tinggi muscle relaxation). membantu
dasar oleh QualSyat Dalam bidang bedah, pembaca
pelaksanaan tool. indikasi penggunaan untuk
praktek aromaterapi adalah melakuakn
yang nyeri paska bedah critical
evidence- mayor,post appraisal.
based serta laparotomy dan  Artikel yang
menemukan fraktur ekstremitas, digunakan
penggunaan dimana aromaterapi telah
aromaterapi lavender, aromaterapi dilakukan uji
yang tepat lemon dan juga kelayakan
untuk nyeri. dikombinasi dengan memenuhi
guided imagery adalah kriteria yang
pilihan-pilihan ‘tinggi’ oleh
aromaterapi. QualSyat
Umumnya diberikan tool.
secara inhalasi. Secara
umum, ditemukan
aromaterapi yang
efektif menurunkaan
nyeri pada pasien
medical bedah, aroma
terapi lavender dan
lemon dapat
dipertimbangkan
untuk manajemen
nyeri yang terbukti
efektif dengan
efeksamping minimal
dan rendah biaya.
3 Lenny Astuti, Pengaruh Tujuan Metode Metode Hasil penelitian Tidak ada Bahasa yang
Lela Aini Pemberian penelitian sampling: penelitian menunjukkan bahwa kelompok digunakan
(2020) Aromaterapi ini adalah Purposive kuantitatif ada pengaruh skala kontrol mudah
Volume 12, Lavender untuk sampling Rancangan nyeri sebelum dan sehingga dipahami,
Nomor 1, Juni Terhahdap mengetahui Jumlah penelitian: sesudah diberikan tidak ada memiliki saran
2020 Hal.171- Skala Nyeri pengaruh sampel: 17 Pre aromaterapi lavender hasil yang aplikatif.
178 Pada Pasien pemberian responden experiment dengan p- pembanding
Post Operasi aromaterapi Alat dengan value=0,002. terhadap
Fraktur lavender pengumpulan rancangan kelompok
terhadap data berupa One Group eksperimen.
skala nyeri lembar Pretest dan
pada pasien observasi dan Posttest
post operasi wawancara.
fraktur. Analisa data
menggunakan
uji Wilcoxon
Matched Pair
Test.
4 Baiq Nurul Pengaruh Tujuan Teknik Jenis Hasil uji statistik Penulis Penelitian ini
Farida (2019) Aromaterapi penelitian Sampling: non penelitian: didapatkan nilai p banyak menggunakan
Lavender dan ini untuk probability Quasi value 0,001 berarti menggunaka kelompok
Terapi Musik mengetahui sampling eksperiment ada perbedaan yang n referensi kontrol dan
Klasik pengaruh Metode design bermakna setelah lebih dari 10 eksperimental
Terhadap aromaterapi sampling: Rancangan diberikan intervensi tahun. sehingga dapat
Intesitas lavender Purposive penelitian aromaterapi lavender menunjukkan
Nyeri Post dalam sampling Non sebelum dan sesudah efektifitas
Operasi menurunkan Jumlah equivalent pemberian pada yang
Fraktur di skala nyeri sampel: 30 control pasien post operasi signifikan,
RS. Ortopedi yang responden group fraktur
Prof. Dr.R. dirasakan (kelompok pretest-
Soeharso pasien kontrol 15, posttest
Surakarta fraktur kelompok design
perlakuan 15)

5 Andi Nurbah, Analisis Tujuan Jumlah Jenis Hasil intervensi Tidak ada Bahasa yang
Nana Triana Praktik penelitian sampel: 5 penelitian: menunjukkan kelompok digunakan
Rahmawati, Klinik ini untuk responden Study kasus perbedaan tingkat kontrol mudah
Saiful Anwar, Keperawatan mengetahui Pre nyeri yang dirasakan sehingga dipahami,
Siti Naisa Pada Pasien pengaruh experiment sebelum dan sesudah tidak ada memiliki saran
Umar (2020) Fraktur aromaterapi dilakukan pemberian hasil yang aplikatif.
dengan lavender intervensi aromaterapi pembanding
Intervensi dalam lavender kombinasi terhadap
Inovasi menurunkan relaksasi benson, kelompok
Pemberian skala nyeri memiliki pengaruh eksperimen.
Aromaterapi yang dalam menurunkan
Lavender dirasakan skala nyeri pada
Kombinasi pasien pasien fraktur.
Relaksasi fraktur
Benson
Terhadap
Penurunan
Skala Nyeri
Pasien
Fraktur di
Ruang
Instalasi
Gawat
Darurat
RSUD AWS
Samarinda
6 Novia Ayu Pengaruh Tujuan Teknik Jenis Hasil uji paired Penulis  Adanya
Puspita (2018) Aromaterapi penelitian Sampling: non penelitian: sample t-test nyeri banyak kesesuaian
Lavender dan ini untuk probability Pre pre-test dan posttest menggunaka antara tujuan
Genggam Jari mengetahui sampling eksperiment kelompok eksperimen n referensi penulisan
Terhadap pengaruh Metode design diperoleh t hitung lebih dari 10 jurnal dengan
Intensitas aromaterapi sampling: Rancangan sebesar -3,879 (p- tahun. kesimpulan,
Nyeri Post lavender Purposive penelitian value=0,001) dan  Penelitian ini
Operasi dangengga sampling pretest- hasil uji paired menggunaka
Fraktur di m jari Jumlah posttest sample t-test nyeri n kelompok
RS. Ortopedi dalam sampel: 30 design with pre-test dan posttest kontrol dan
Prof. DR. R. menurunkan responden control kelompok kontrol eksperimenta
Soeharso intensitas group diperoleh t hitung l sehingga
Surakarta nyeri yang sebesar -3,575 (p- dapat
dirasakan value= 0,001) berarti menunjukkan
pasien ada perbedaan yang efektifitas
fraktur bermakna setelah yang
diberikan intervensi signifikan,
aromaterapi lavender
sebelum dan sesudah
pemberian pada
pasien post operasi
fraktur.
7 Penerapan Inovasi Evidence Based Nursing
2.6.1 Intervensi Inovasi
Intervensi inovasi yang dilakukan dalam Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah
pemberian Aromaterapi Lavender yang bertujuan untuk menurunkan skala nyeri yang
dirasakan Tn. EK dengan Fraktur Acetabulum Sinistra di Ruang Ortopedi RSUD Jayapura.
Instrumen yang dipergunakan dalam terapi ini ialah minyak esensial Lavender, Diffuser,
Lembar observasi dan alat ukur skala nyeri.
Pemilihan penerapan aromaterapi menggunakan minyak esensial lavender sebagai
intervensi inovasi menjadi salah satu teknik nonfarmakologi yang digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri adalah teknik relaksasi dengan menggunakan aromaterapi minyak
esensial atau minyak atsiri yang merupakan hasil ekstrasi berbagai bagian tanaman baik
bagian bunga, kulit batang, kayu, akar, daun, buah (Ali, et.al, 2015). Aromaterapi lavender
mengandung zat linalool dan linalyl acetate berfungsi untuk menghilangkan rasa nyeri dan
menimbulkan rasa rileks pada pasien.
Ada empat metode dasar pemberian minyak esensial yaitu aplikasi topical yaitu
penyerapan pada kulit yaitu melalui masase atau pijat, metode kedua yaitu penyerapan oral
misal kapsul gelatin dan dosis aman minyak esensial yang diencerkan, metode yang ketiga
dengan penyerapan internal minyak esensial, contohnya obat kumur beraroma, supositoria
beraroma atau pembersih vagina, metode yang terakhir yaitu inhalasi atau menghirup
langsung melalui diffuser dengan uap, batu aroma, dan stip kain beraroma (Farrar & Farrar,
2020)
Metode inhalasi melalui diffuser dengan uap terbukti efektif dalam penurunan skala
nyeri dengan minim efek samping dan biaya yang murah, hal ini dibuktikan dengan
penelitian Amir (2021) menggunakan diffuser-inhalasi 3 tetes aromaterapi lavender dengan
uap dicampur dalam 50 ml air selama 30 menit didapatkan adanya perbedaan penurunan
skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan aromaterapi. Mekanisme penerapan dalam
pemberian aromaterapi diberikan dengan cara teknik difusi yang dapat membantu untuk
menenangkan saraf dengan penyemprotan senyawa yang mengandung minyak ke udara
dengan cara menggunakan alat diffuser-Inhalasi (Swathi & Kanagaraj, 2021).
Minyak esensial bersifat volatile, sehingga molekulnya dapat masuk kedalam tubuh
melalui inhalasi dan memiliki efek langsung pada jaringan melalui saluran pernapasan.
Uap
minyak esensial dibawa bersama udara inspirasi melalui hidung ke saluran pernapasan.
Molekul dapat diserap keseluruh saluran pernapasan, berakhir di alveoli, dimana molekul-
molekul tersebut dengan mudah dapat diangkut ke dalam aliran darah. Penyerapan melalui
epitel hidung juga bisa cukup besar sangat tipis dan memiliki suplai kapiler yang
memungkinkan akses kesirkulasi cepat. Karena epitel hidung terletak dekat dengan otak,
molekul minyak esensial memiliki potensi untuk mengakses system saraf pusat dan
sirkulasi arteri dalam penyerapan secara inhalasi (Langingi, Saluy & Kaparang, 2022).
Saat aromaterapi dihisap bau yang dihasilkan secara langsung berpengaruh terhadap
otak seperti obat analgesik, zat aktif yang terdapat didalamnya akan merangsang
hipotalamus (kelenjar hipofise) untuk mengeluarkan hormone endorphin. Endorphin
diketahui sebagai zat yang menimbulkan rasa tenang, rileks dan bahagia (Astuti, 2020).
Menurut Ali, et.al (2015) Mekanisme aksi integrasi minyak esensial kedalam sinyal
biologis dari sel reseptor di hidung saat dihirup: sinyal ditransmisikan ke bagian limbik dan
hipotalamus otak melalui bulbus olfaktorius. Sinyal-sinyal ini menyebabkan otak
melepaskan neurotransmitter seperti serotonin, endorphin, dll., untuk menghubungkan
saraf kita dan system tubuh lainnya untuk memberikan perasaan lega yang merupakan hasil
akhir dari penurunan rasa nyeri.
2.6.2 Prosedur Pelaksanaan Intervensi
Standar Prosedur Operasional (SPO) keperawatan merupakan suatu perangkat
instruksi atau langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses kerja rutin
yang dikerjakan oleh perawat yang dibuat oleh fasilitas pelayanan keperawatan atau
kesehatan berdasarkan standar profesi, SPO memuat rincian proses penyelesaian suatu
aktivitas perawat dalam rangka pemberian asuhan keperawatan (PPNI, 2021).
a. Tahap Persiapan
1) Mempersiapkan peralatan untuk pelaksanaan intervensi berupa Esensial Oil
Lavender, Diffuser dan Lembar Observasi serta alat ukur skala nyeri.
2) Mempersiapkan alat tulis
3) Mengkondisikan ruangan yang nyaman dengan memperhatikan kebisingan,
pendingin ruangan, cahaya lampu
4) Mempersiapkan pasien
b. Tahap Pelaksanaan
1) Beri salam terapeutik kepada klien dan keluarga
2) Perkenalkan diri sebaik mungkin
3) Tanyakan keluhan dan perasaan klien saat ini
4) Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya Tindakan
5) Jaga privasi klien
6) Lakukan pengukuran skala nyeri pre test dengan menggunakan alat ukur skala nyeri
Numeric Ratting Scale (NRS)
7) Siapkan alat pembakar minyak dan tungku /diffuser
8) Tangkan Essensial oil Lavender ke Diffuser 3-5 tetes dicampur dengan 50 ml air
lalu panaskan
9) Letakkan diffuser disamping tempat tidur kien,atau berjarak ± 1 meter dari kepala
klien
10) Anjurkan klien untuk menghirup uap essensial oil Lavender selama 10-30 menit
11) Setelah terapi diberikan dan selesai bersihkan alat
12) Lakukan pengukuran skala nyeri post test dengan menggunakan alat ukur skala nyeri
Numeric Ratting Scale (NRS)
13) Isi lembar observasi
c. Lama Pemberian
Lama pemberian intervensi ini ± 10-30 menit yang dilakukan 1 kali sehari.
8 Nursing Care Plan
2.7.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalahmasalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang yang menyebabkan fraktur patologis
yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur tibia
tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi berkurang.
Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah diri
terhadap perubahan dalam penampilan, klien mengalami emosi yang tidak
stabil.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien.
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna, Apatis :
terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan pemeriksaan
penglihatan, pendengaran dan perabaan normal, Sopor: dapat
dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus menerus, Koma:
tidak ada respon terhadap rangsangan, Somnolen: dapat dibangunkan
bila dirangsang dapat disuruh dan menjawab pertanyaan, bila
rangsangan berhenti penderita tidur lagi.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
d) Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.
e) Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas),
hipotensi (respon terhadap kehilangan darah), penurunan nadi pada bagian
distal yang cidera, capilary refill melambat, pucat pada bagian yang terkena,
dan masa hematoma pada sisi cedera.
f) Keadaan Lokal Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut
:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut:
(a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal)
(d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal (3 – 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya. Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan gravitasi
tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang (4), kekuatan otot
utuh (5).
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif. (Arif Muttaqin, 2017)
3. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (Sinar – X). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi
yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan Sinar - X harus
atas dasar indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca
sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar – X mungkin
dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal – hal sebagai berikut. (Arif
Muttaqin, 2017 )
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti
Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat (Arif Muttaqin, 2017)
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
2.7.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis melalui respons klien


terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang
berkaiatan dengan kesehatan (PPNI, 2018). Berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI) Tahun 2018, diagnosis keperawatan yang lazim dijumpai pada klien
fraktur adalah sebagai berikut:
1. Nyeri Akut (D.0077 Hal. 172)
2. Perfusi Perifer Tidak Efektif (D.0009 Hal. 37)
3. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054 Hal. 124)
4. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan (D.0129 Hal. 282)
5. Risiko Syok (D.0039 Hal. 92)
6. Risiko Infeksi (D.0142 Hal.304)

2.7.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan segala bentuk terapi yang dikerjakan perawat


yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai peningkatan,
pencegahan dan pemulihan kesehatan klien individu, keluarga, dan komunitas (PPNI,
2018). Berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SLKI) dan Standar Luaran
Keperawatan Indonesia (SLKI) Tahun 2018 intervensi pada diagnosis yang muncul seperti
di tabel berikut ini.
Tabel 2. 2. Intervensi Keperawatan

No Diagnosis Luaran dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


Keperawatan (SDKI) (SLKI)
(SIKI)
1 Nyeri Akut Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.
(D.0077) Definisi: 08238) Definisi :
Kategori: Psikologi Pengalman sensori atau Mengidentifikasi dan
Subkategori Nyeri emosional yang berkaitan mengelola pengalaman
dan Kenyamanan dengan kerusakan jaringan sensori atau emosional
Definisi aktual atau fungsional dengan yang berkaitan dengan
Pengalaman onset mendadak atau lambat kerusakan jaringan atau
sensorik atau dan fungsional dengan onset
emosional yang berintesitas ringan hingga berat mendadak atau lambat
dan konstan. dan
berkaitan dengan berintensitas ringan
kerusasakan Setelah dilakukan tindakan hingga berat dan konstan
jaringan actual atau keperawatan selama…jam Tindakan
fungsional, dengan maka diharapkan tingkat nyeri Observasi
onset mendadak menurun 1. Identifikasi lokasi,
atau lambat dan karakteristik durasi,
berintensitas ringan Ekspektasi: menurun frekuensi, kualitas,
hingga berat yang Kriteria hasil : intensitas nyeri.
berlangsung kurang *
dari 3 bulan. Kemampuan 1 2 3 4 5 Terapeutik
Penyebab: menuntaskan 1. Berikan tehnik non
aktivitas farmakologis untuk
1. Agen penceder ** mengurangi rasa
fisiologis (mis, Keluhan 1 2 3 4 5 nyeri (mis, TENS,
inflamasi, nyeri akupresure, terapi
iskemia, Meringis 1 2 3 4 5
musik, biofeedback,
neoplasma) Sikap 1 2 3 4 5
protektif terapi pijat, aroma
2. Agen pencedera
Gelisah 1 2 3 4 5 terapi, tehnik
kimiawi (mis,
Kesulitan 1 2 3 4 5 imajinasi terbimbing,
terbakar, bahan
tidur kompres
kimia iritan)
Menarik diri 1 2 3 4 5 hangat/dingin, terapi
3. Agen pencedera
fisik (mis. Abses, Berfokus 1 2 3 4 5 bermain)
amputasi, pada diri 2. Kontrol lingkungan
terbakar, sendiri yang memperberat
terpotong, Diaphoresis 1 2 3 4 5 rasa nyeri (mis. Suhu
mengangkat Perasaan 1 2 3 4 5 ruangan, pencahayaan
berat, prosedur depresi , kebisingan)
operasi, trauma, (tertekan)
3. Fasilitasi istirahat dan
latihan fisik Perasaan 1 2 3 4 5
takut tidur
berlebihan) 4. Pertimbangkan jenis
mengalami
cidera dan sumber nyeri
Gejala dan Tanda berulang dalam pemilihan
Mayor Anoreksia 1 2 3 4 5 strategi meredakan
Subjektif : Perineum 1 2 3 4 5 nyeri
1. Mengeluh nyeri terasa Edukasi
tertekan 1. Jelaskan penyebab,
Objektif :
Uterus teraba 1 2 3 4 5 periode, dan pemicu
1. Tampak membulat
meringis nyeri
Ketegangan 1 2 3 4 5
2. Bersikap 2. Jelaskan strategi
otot
protektif Pupil dilatasi 1 2 3 4 5 meredakan nyeri
(mis. Muntah 1 2 3 4 5 3. Anjurkan memonitor
Waspada, Mual 1 2 3 4 5 nyeri secara mandiri
posisi *** 4. Anjurkan
menghindari Frekuensi 1 2 3 4 5 menggunakan
nyeri). nadi analgetik secara tepat
3. Gelisah Pola napas 1 2 3 4 5 5. Ajarkan tehnik non
4. Frekuensi Tekanan 1 2 3 4 5 farmakologis untuk
nadi darah mengurangi rasa nyeri
meningkat Proses 1 2 3 4 5 Kolaborasi
5. Sulit tidur berpikir 1. Kolaborasi pemberian
Focus 1 2 3 4 5
analgesik, jika perlu
Gejala dan Tanda Fungsi 1 2 3 4 5
Minor Subjektif berkemih
Perilaku 1 2 3 4 5 Pemantauan nyeri (I.
(tidak tersedia) Nafsu makan 1 2 3 4 5 08242)
Pola tidur 1 2 3 4 5 Definisi: mengumpulkan
Objektif :
dan menganalisis data
1. Tekanan
Keterangan: nyeri.
darah Tindakan
meningkat *
1. Menurun Observasi
2. Pola
2. Cukup menurun 1. Identifikasi factor
nafas pencetus dan pereda
berubah 3. Sedang
4. Cukup Meningkat nyeri
3. Nafsu
5. Meningkat 2. Monitor kualitas
makan nyeri (mis. Terasa
berubah tajam, tumpul,
**
4. Proses
1. Meningkat diremas- remas,
berfikir ditimpa beban berat)
terganggu 2. Cukup Meningkat
3. Sedang 3. Monitor lokasi dan
5. Menarik
4. Cukup menurun penyebaran nyeri
diri 4. Monitor intensitas
6. Berfokus
5. Menurun
*** nyeri dengan
pada diri menggunakan skala
1. Memburuk
sendiri 5. Monitor durasi dan
7. Diaphoresis
2. Cukup memburuk
3. Sedang frekuensi nyeri
. Terapeutik
4. Cukup membaik
Kondisi Klinis 1. Atur interval waktu
5. Membaik
Terkait pemantauan sesuai
1. Kondisi
dengan kondisi pasien
pembedahan 2. Dokumentasikan hasil
2. Cedera pemantauan
traumatis Edukasi
3. Infeksi
1. Jelaskan tujuan dan
4. Sindrom
prosedur pemantauan
koroner akut 2. Informasikan hasil
5. Glaucoma pemantauan, jika perlu
Keterengan :
Pengkajian nyeri
dapat
menggunakan
instrument skala
nyeri, seperti:
- FLACC
Behavioral Pain
Scale untuk usia
kurang dari 3
tahun
- Baker-Wong-
Faces scale
untuk usia 3-7
tahun
- Visual analogue
atau numeric
rating scale
untuk usia
diatas 7 tahun.

2 Perfusi Perifer Perfusi perifer (L.02011) Perawatan Sirkulasi (I.


Tidak Efektif Definisi: Ketidakadekuatan 02079)
(D.0009) aliran darah pembuluh darah Definisi
Kategori : Fisiologi distal untuk mempertahankan Mengidentifikasi dan
Sub kategori : jaringan.. merawat area local dengan
Sirkulasi keterbatasan sirkulasi
Setelah dilakukan tindakan perifer.
Definisi
keperawatan selama…jam Tindakan
Penurunan sirkulasi
maka diharapkan perfusi perifer Observasi :
darah pada level
meningkat 1. Periksa sirkulasi
kapiler yang dapat
Ekspektasi: meningkat perifer (mis. Nadi
men gganggu
perifer, edema,
metabolisme tubuh.
pengisian kapiler,
Penyebab
Kriteria hasil : warna, suhu, ankl-
1. Hiperglikemia
* brachial indeks
2. Penurunan
Denyut nadi 1 2 3 4 5 2. Identifikasi factor
konsentrasi
perifer resiko gangguan
hemoglobin
Penyembuhan 1 2 3 4 5 sirkulasi(mis.diabetes,
3. Peningkatan
luka perokok,orang tua
tekanan darah
Sensasi 1 2 3 4 5 hipertensi dan kadar
4. Kekurangan ** kolestrol tinggi)
volume cairan 1 2 3 4 5
Warna kulit 3. Monitor panas,
5. Penurunan pucat kemerahan, nyeri atau
aliran arteri dan/ Edema perifer 1 2 3 4 5 bengkak pada
atau vena Nyeri 1 2 3 4 5 ekstermitas.
6. Kurang terpapar ekstremitas Terapeutik :
informasi Parastesia 1 2 3 4 5
1. Hindari pemasangan
tentang factor Kelemahan 1 2 3 4 5
otot infus atau pengambilan
pemberat (mis.
Kram otot 1 2 3 4 5 darah di area
Merokok, gaya
Bruit 1 2 3 4 5 keterbatasan perfusi
hidup monoton,
femoralis 2. Hindari pengukuran
trauma,
Nekrosis 1 2 3 4 5 tekanan darah pada
aktivitas,
*** ekstermitas dengan
asupan garam,
imobilitas) Pengisian 1 2 3 4 5 keterbatasan perfusi
7. Kurang terpapar kapiler 3. Hindari penekanan dan
informasi Akral 1 2 3 4 5 pemasangan tourniquet
tentang proses Turgor kulit 1 2 3 4 5 pada area yang cidera
penyakit (mis. Tekanan 1 2 3 4 5 4. Lakukan pencegahan
darah sistolik
Diabetes infeksi
Tekanan 1 2 3 4 5
miletus, darah 5. Lakukan perawatan
hyperlipidemia) diastolic kaki dan kuku
8. Kurang Tekanan 1 2 3 4 5 6. Lakukan hidrasi
aktivitas fisik arteri rata-rata
Gejala dan Tanda Indeks ankle- 1 2 3 4 5 Edukasi :
Mayor brachial 1. Anjurkan berhenti
Subjektif : merokok
1. (tidak tersedia) Keterangan: 2. Anjurkan berolahraga
* rutin
Objektif :
1. Menurun 3. Anjurkan mengecek air
1. Pengisian
2. Cukup menurun mandi untuk
kapiler >3 detik
3. Sedang menghindari kulit
2. Nadi perifer
4. Cukup Meningkat terbakar
menurun atau
5. Meningkat 4. Anjurkan
tidak teraba
** menggunakan obat
3. Akral
1. Meningkat penurun tekanan darah,
teraba
2. Cukup Meningkat anti koagulan, dan
dingin
3. Sedang penurun kolestrol jika
4. Warna kulit
4. Cukup menurun perlu
pucat
5. Menurun 5. Anjurkan minum obat
5. Turgor kulit
*** pengontrol tekanan
menurun
1. Memburuk darah secara teratur
Gejala dan Tanda
2. Cukup memburuk 6. Anjurkan menghindari
Minor
3. Sedang penggunaan obat
Subjektif :
4. Cukup membaik penyekat beta
1. Parastesia
5. Membaik 7. Anjurkan melakukan
2. Nyeri
perawatan kulit yang
ekstremitas
tepat
(klaudikasi
(mis.melembabkan
intermiten)
kulit kering pada kaki)
Objektif : 8. Anjurkan program
1. Edema rehabilitasi vaskular
2. Penyembhan 9. Ajarkan program diet
luka lambat untuk memperbaiki
3. Indeks ankle- sirkulasi (mis.rendah
brachial lemak jenuh,minyak
<0,90 ikan omega 3)
4. Bruit femoral 10. Informasikan tanda dan
gejala darurat yang
Kondisi Klinis harus di laporkan
Terkait
1. Tromboflebitis (mis.rasa sakit yang
2. Diabetes tidak hilang saat
mellitus istirahat,luka tidak
3. Anemia sembuh,hilangnya rasa)
4. Gagal jantung
kongestif Manajemen Sensasi
5. Kelainan Perifer
jantung (I. 06195)
kongenital Definisi: mengidentifikasi
6. Thrombosis dan mengelola
arteri ketidaknyamanan pada
7. Farises perubahan sensasi perifer
8. Trombosis Tindakan
vena dalam Observasi
9. Syndrome 1. Identifikasi penyebab
kompartemen perubahan sensasi
2. Identifikasi penggunaan
alat pengikat, prostesis,
sepatu, dan pakaian
3. Periksa perbedaan
sensasi tajam atau
tumpul
4. Periksa perbedaan
sensasi panas atau
dingin
5. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi
dan tekstur benda
6. Monitor terjadinya
parestesia, jika perlu
7. Monitor perubahan kulit
8. Monitor adanya
troboflebitis dan
tromboembolli vena
Terapeutik
1. Hindari pemakaian
benda benda yang
berlebihan suhunya
(terlalu panas atau
dingin)
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan
termometer untuk
menguji suhu air
2. Anjurkan penggunaan
sarung tanan termal
saat memasak
3. Anjurkan memakai
sepatu lembut dan
bertumit rendah
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgesik jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika
perlu
3 Gangguan Mobilitas Mobilitas Fisik (L. 05042) Dukungan Ambulasi
Fisik (D. 0054) Definisi: (I.06171)
Kategori : Fisiologis Kemampuan untuk gerakan Definisi: Memfasilitasi
Subkategori : fisik dari satu atau lebih pasien untuk
Aktiviats atau ekstremitas secara mandiri. meningkatkan aktivitas
Istirahat berpindah
Definisi : Setelah dilakukan tindakan Tindakan
Keterbatasan dalam keperawatan selama…......jam Observasi:
gerak fisik dari satu maka diharapkan mobilitas 1. Identifikasi adanya
atau lebih ekstremitas fisik meningkat nyeri atau keluhan
secara mandiri fisik lainnya
Penyebab Ekspektasi : Meningkat 2. Identifikasi toleransi
1. Kerusakan Kriteria hasil : fisik melakukan
integritas struktur * ambulasi
tulang Pergerakan 1 2 3 4 5 3. Monitor frekuensi
2. Perubahan ekstremitas jantung dan tekanan
metabolisme Kekuatan 1 2 3 4 5 darah sebelum
3. Ketidakbugaran otot memualai ambulasi
Rentang 1 2 3 4 5
fisik 4. Monitor kondisi
gerak
4. Pneurunan kendali (ROM) umum selama
otot ** melakukan ambulasi
5. Penurunan massa Nyeri 1 2 3 4 5 Terapeutik:
otot Kecemasan 1 2 3 4 5 1. Fasilitasi aktivitas
6. Penurunan Kaku Sendi 1 2 3 4 5 ambulasi dengan alat
kekuatan otoot Gerakan 1 2 3 4 5 bantu (mis.tongkat,
7. Keterlambatan tidak kruk)
perkembangan terkoordinasi 2. Fasilitasi melakukan
8. Kekkakuan sendi Gerakan 1 2 3 4 5 mobilisasi fisik, jika
Terbatas
9. Kontraktur perlu
Kelemahan 1 2 3 4 5
10. Malnutrisi Fisik
3. Libatkan keluarga
11. Gangguan untuk membantu
musculoskeletal pasien dalam
Keterangan:
12. Gangguan peningkatan ambulasi
*
neuromuscular Edukasi:
1. Menurun
13. Indeks massa 1. Jelaskan tujuan dan
2. Cukup menurun
tubuh diatas 3. Sedang prosedur ambulasi
persentil ke 75 4. Cukup Meningkat 2. Anjurkan melakukan
sesuai usia 5. Meningkat ambulasi dini
14. Efek agen 3. Ajarkan ambulasi
farmakologis ** sederhana yang harus
15. Program 1. Meningkat dilakukan (mis.
pembatasan 2. Cukup meningkat Berjalan dari tempat
16. Nyeri 3. Sedang tidur ke tempat kursi
17. Kurang terapapar 4. Cukup menurun roda, berjalan dari
informasi tentng 5. Menurun temmpat tidur ke
aktivitas fisik kamar mandi, dan
18. Kecemasan berjalan sesuai
19. Gangguan kognitif toleransi).
20. Keengganana
melakuakan Dukungan Mobilisasi
pergerakan (I.05173)
21. Gangguan sensori Definisi : Memfasilitasi
persepsi pasien untuk
Gejala dan Tanda meningkatkan aktivitas
Mayor : pergerakan fisik
Subjektif Tindakan
1. Mengeluh sulit Observasi :
menggerakan 1. Identifikasi adanya
ekstremitas nyeri atau keluhan
Objektif fisik lainnya
1. Kekuatan otot 2. Identifikasi toleransi
Menurun fisik melakukan
2. Rentang gerak pergerakan
(ROM) menurun 3. Monitor frekuensi
jantung dan tekanan
Gejalan dan tanda darah sebelum
Minor : memulai mobilisasi
Subjektif 4. Monitor kondisi
1. Nyeri saat umum Selma
bergerak amelkukan
2. Enggan mobilsiasi
melakukan Terapeutik
pergerakan
1. Fasilitasi aktivitas
3. Merasa cemas
mobilisasi dengan alat
saat bergerak
bantu mis. pagar
Objektif
tempat tidur
1. Sendi kaku
2. Fasilitas melakukan
2. Gerakan tidak
pergerakan
terkooordinasi
3. Libatkan keluarga
3. Gerakan terbatas
untik membantu
4. Fisik lemah
pasien dalam
Kondisi Klinis
meningkatkan
pergerakan
terkait :
Edukasi :
1. Stroke
2. Cedera Medula 1. Jelaskan tujuan dan
spinalis prosedur mobilisasi
3. Trauma 2. Anjurkan melakuakan
4. Fraktur mobilisais dini
5. Osteoartritis 3. Ajarkan mobilisasi
6. Ostemalasia sederhana yang harus
7. Keganasan di lakukan. Duduk di
tempat tidur, di sisi
tempat tidur, pindah
dari tempat tidur.

4 Gangguan Integritas Kulit / Jaringan Perawatan Integritas


Integritas (L.14125) Kulit (I.11353)
Kulit/Jaringan Definisi: keutuhan kulit (dermis Definisi
(D.0129) dan atau epidermis) atau Mengidentifikasi dan
Kategori : jaringan (membran mukosa, merawat kulit untuk
Lingkungan kornea, fasia, otot, tendon, menjaga keutuhan,
Subkategori: tulang, kartilago, kapsul sendi kelembaban dan mencegah
Keamanan dan dan/atau ligament). perkembangan
proteksi mikroorganisme
Definisi Setelah dilakukan tindakan Tindakan
Kerusakan kulit keperawatan selama….. jam Observasi
(dermis dan/atau maka diharapkan integritas 1. Identifikasi penyebab
epidermis) atau kulit/jaringan meningkat gangguan integritas
jaringan (membran Ekspektasi: Meningkat kulit (mis. perubahan
mukosa, kornea, Kriteria hasil : sirkulasi, perubahan
* status nutrisi,
fasia, otot, tendon, Elastisitas 1 2 3 4 5 penurunan
tulang, kartilago, Hidrasi 1 2 3 4 5 kelembaban, suhu
kapsul sendi Perfusi 1 2 3 4 5 lingkungan ekstrem,
dan/atau ligamen). jaringan penurunan mobilitas)
Penyebab **
Terapeutik
1. Perubahan Kerusakan 1 2 3 4 5
Jaringan 1. Ubah posisi tiap 2
sirkulasi
Kerusakan 1 2 3 4 5 jam jika tirah
2. Perubahan status baring
lapisan kulit
nutrisi Nyeri 1 2 3 4 5 2. Lakukan pemijatan
(kelebihan Perdarahan 1 2 3 4 5 pada area penonjolan
Kemerahan 1 2 3 4 5 tulang, jika perlu
atau kekurangan Hematoma 1 2 3 4 5 3. Bersihkan perineal
Pigmentasi 1 2 3 4 5 dengan air hangat,
3. Kekurangan/kelebi
abnormal terutama selama
han volume cairan Jaringan 1 2 3 4 5 periode diare
4. Penurunan parut
4. Gunakan produk
berbahan petroleum
mobilitas Nekrosis 1 2 3 4 5 dan minyak pada
5. Bahan kimia Abrasi 1 2 3 4 5 kulit kering
Kornea 5. Gunakan produk
iritatif
*** berbahan
6. Suhu lingkungan Suhu kulit 1 2 3 4 5 ringan/alami dan
yang ekstrem Sensasi 1 2 3 4 5
hipoalergik pada
7. Faktor mekanis Tekstur 1 2 3 4 5
Pertumbuhan 1 2 3 4 5
kulit sensitive
(mis. penekanan 6. Hindari produk
rambut
pada tonjolan berbahan dasar
tulang, gesekan) Keterangan: alkohol pada kulit
* kering
atau factor elektris
1. Menurun Edukasi
(elektrodiatermi, 2. Cukup menurun 1. Anjurkan
energi listrik 3. Sedang menggunakan
bertegangan 4. Cukup Meningkat pelembab (mis.
tinggi) 5. Meningkat lotion, serum)
8. Efek samping ** 2. Anjurkan minum air
1. Meningkat yang cukup
terapi radiasi
2. Cukup Meningkat 3. Anjurkan
9. Kelembaban
3. Sedang meningkatkan asupan
10. Proses penuaan 4. Cukup menurun nutrisi
11. Neuropati perifer 5. Menurun 4. Anjurkan
12. Perubahan *** meningkatkan asupan
pigmentasi 1. Memburuk buah dan sayur
13. Perubahan 2. Cukup memburuk 5. Anjurkan
hormonal 3. Sedang menghindari terpapar
14. Kurang terpapar 4. Cukup membaik suhu ekstrem
5. Membaik 6. Anjurkan
informasi tentang
upaya menggunakan tabir
mempertahankan surya SPF minimal
30 saat berada di
/melindungi
luar rumah
integritas 7. Anjurkan mandi
jaringan dan menggunakan
sabun secukupnya
Gejala dan Tanda
Mayor: Perawatan Luka (I.
Subjektif 14564)
(tidak tersedia) Definisi: Mengidentifikasi
dan meningkatkan
Objektif penyembuhan luka serta
1. Kerusakan mencegah terjadinya
jaringan dan/atau komplikasi luka.
lapisan kulit Tindakan
Observasi
Gejala dan Tanda 1. Monitor karakteristik
Minor luka (mis. Drainase,
Subjektif warna, ukuran, bau)
2. Monitor tanda-tanda
(tidak tersedia)
infeksi
Objektif Terapeutik:
1. Nyeri 1. Lepaskan balutan dan
2. Perdarahan plester secara
3. Kemerahan perlahan
4. Hematoma 2. Cukur rambut
disekitar daerah luka,
jika perlu
Kondisi Klinis 3. Bersihkan dengan
Terkait cairan NaCl atau
1. Imobilisasi pembersih non toxic,
2. Gagal jantung sesuai kebutuhan
kongestif 4. Bersihkan jaringan
3. Gagal Ginjal nekrotik
4. Diabetes Melitus 5. Berikan salep yang
5. Imunodefisiensi sesuai ke kulit atau
(mis. AIDS) lesi, jika perlu
6. Pasang balutan sesuai
jenis luka
7. Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
8. Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam
atau sesuai kondisi
klien
9. Berikan diet dengan
kalori 30-
35kkal/kgBB/hari
dan protein 1,25-
1,5g/kgBB/hari
10. Berikan suplemen
vitamin dan mineral
(mis. Vitamin A,
vitamin C zinc, asam
amino), sesuiai
indikasi
11. Berikan terapi
TENS(stimulasi saraf
transcutaneous), jika
perlu
Edukasi
12. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
13. Anjurkan
mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
14. Ajarkan prosedur
perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
15. Kolaborasi prosedur
debridement (mis.
Enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik),
jika perlu
16. Kolaborasi
pemberian antibiotic,
jika perlu
5 Risiko Syok (D.0039) Tingkat Perdarahan (L.02017) Manajemen Perdarahan
Definisi: kehilangan darah baik (I.02040)
Definisi: internal (terjadi didalam tubuh) Observasi
Berisiko mengalami maupunn eksternal (terjadi 1. Identifikasi penyebab
ketidakcukupan aliran hingga keluar tubuh) perdarahan
darah ke jaringan Setelah dilakukan intervensi 2. Periksa adanya darah
tubuh, yang dapat keperawatan maka tingkat pada muntah, sputum,
mengakibatkan perdarahan menurun feses, urine,
disfungsi seluler yang Kriteria hasil:
pengeluaran NGT, dan
mengancam jiwa *
drainase luka, jika perlu
Faktor Risiko: Kelembapan 1 2 3 4 5
membrane 3. Periksa ukuran dan
1. Hipoksemia
mukosa karakteristik hematoma,
2. Hipoksia
Kelembapan 1 2 3 4 5 jika ada
3. Hipotensi
kulit 4. Monitor terjadinya
4. Kekurangan Kognitif 1 2 3 4 5 perdarahan (sifat dan
volume cairan **
jumlah)
5. Sepsis Hemaptisis 1 2 3 4 5
Hematemesi 1 2 3 4 5 5. Monitor nilai
6. Sindrom respon
s hemoglobin dan
inflamasi sistemik
Hematuria 1 2 3 4 5 hematokrit sebelum dan
(Systemic
Pendarahan 1 2 3 4 5 setelah kehilangan darah
inflammatory anus 6. Monitor tekanan darah
response Distensi 1 2 3 4 5
dan parameter
syndrome (SIRS)) abdomen
Perdarahanan 1 2 3 4 5 hemodinamik (tekanan
Kondisi Klinis vagina vena sentral dan tekanan
Terkait: Perdarahan baji kapiler atau arteri
1. Perdarahan pasca operasi pulmona), jika ada
2. Trauma multiple ***
3. Pneumothoraks
4. Infark miokard Hemoglobin 1 2 3 4 5 7. Monitor intake dan
5. Kardiomiopati Hematokrit 1 2 3 4 5 output cairan
Tekanan 1 2 3 4 5 8. Monitor koagulasi darah
6. Cedera medulla
darah
spinalis Denyut nadi (prothrombin time (PT),
7. Anafilaksis apikal partial thromboplastin
8. Sepsis Suhu tubuh 1 2 3 4 5 time (PTT), fibrinogen,
9. Koagulasi degradasi fibrin, dan
intravaskuler Keterangan: jumlah trombosit), jika
diseminata * ada
10. Sindrom respon 1. Menurun 9. Monitor deliveri
inflamasi sistemik 2. Cukup menurun oksigen jaringan (mis.
3. Sedang
(Systemic PaO2, SaO2, hemoglobin
4. Cukup Meningkat
inflammatory dan curah jantung)
5. Meningkat
response ** 10. Monitor tanda dan
syndrome (SIRS)) 1. Meningkat gejala perdarahan masif
2. Cukup Meningkat Terapeutik
Kondisi Klinis 3. Sedang 11. Istirahatkan area yang
Terkait: 4. Cukup menurun
mengalami perdarahan
1. Perdarahan 5. Menurun
*** 12. Berikan kompres
2. Trauma multiple dingin, jika perlu
1. Memburuk
3. Pneumothoraks 13. Lakukan penekanan
2. Cukup memburuk
4. Infark miokard 3. Sedang atau balut tekan, jika
5. Kardiomiopati 4. Cukup membaik perlu
6. Cedera medulla 5. Membaik 14. Tinggikan ekstermitas
spinalis yang mengalami
7. Anafilaksis perdarahan
8. Sepsis 15. Pertahankan akses IV
9. Koagulasi
intravaskuler Edukasi
diseminata 16. Jelaskan tanda-tanda
10. Sindrom respon perdarahan
inflamasi sistemik 17. Anjurkan laporkan jika
(Systemic menemukan tanda-tanda
inflammatory perdarahan
response 18. Anjurkan membatasi
syndrome (SIRS)) aktivitas
Kolaborasi
19. Kolaborasi pemberian
cairan, jika perlu
20. Kolaborasi pemberian
transfusi darah, jika
perlu
6 Risiko Infeksi Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi
(D.0142) Definisi: Derajat infeksi (I.14539)
Definisi: berisiko berdasarkan observasi atau Definisi: Mengidentifikasi
mengalami sumber informasi dan menurunkan risiko
peningkatan terserang terserang mikroorganisme
mikrooorganisme Setelah dilakukan tindakan patogenik
patogenik. keperawatan selama….. jam Tindakan
Faktor Risiko: maka diharapkan tingkat infeksi Observasi
1. Penyakit kronis menurun. 1. Monitor tanda dan
(mis.diabetes Ekspektasi; Menurun gejala infeksi lokal
melitus) dansistemik
2. Efek prosedur Kriteria Hasil: Terapeutik
obat * 2. Batasi jumlah
3. Malnutrisi Kebersihan 1 2 3 4 5 pengunjung
4. Peningkatan tangan 3. Berikan perawatan
paparan Kebersihan 1 2 3 4 5 kuit pada area edema
badan
organisme 4. Cuci tangan sebelum
Nafsu makan 1 2 3 4 5
pathogen ** dan sesudah kontak
lingkungan Demam 1 2 3 4 5 dengan pasien dan
5. Ketidakadekuata Kemerahan 1 2 3 4 5 lingkungan pasien
n pertahanan Nyeri 1 2 3 4 5 5. Pertahankan
tubuh primer: Bengkek 1 2 3 4 5 asepticaseptik pada
1) Gangguan Vesikel 1 2 3 4 5 pasien berisiko tinggi
peristaltic Cairan 1 2 3 4 5 Edukasi
2) Kerusakan berbau busuk 6. Jelaskan tanda dan
integritas Sputum 1 2 3 4 5 gejala infeksi
kulit berwarna 7. Ajarkan cara mencuci
hijau
3) Perubahan tangan dengan benar
Drainase 1 2 3 4 5
sekresi pH purulent 8. Ajarkan etika batuk
4) Penurunan Piuna 1 2 3 4 5 9. Ajarkan cara
kerja siliaris Periode 1 2 3 4 5 memeriksa kondisi luka
5) Ketuban malaise atau luka operasi
pecah lama Periode 1 2 3 4 5 10. Anjurkan
6) Ketuban menggigil meningkatkan asupan
pecah Letargi 1 2 3 4 5 nutrisi
sebelum Gangguan 1 2 3 4 5 11. Anjurkan
waktunya kognitif meningkatkan asupan
***
7) Merokok cairan
Kadar sel 1 2 3 4 5
8) Statis cairan Kolaborasi
darah putih
tubuh Kultur darah 1 2 3 4 5 12. Kolaborasi pemberian
6. Ketidak Kultur urine 1 2 3 4 5 imunisasi, jika perlu
adekuatan Kultur 1 2 3 4 5
pertahanan tubuh sputum
sekunder: Kultur area 1 2 3 4 5
1) Penurunan luka
hemoglobin Kultur feses 1 2 3 4 5
2) Imunosupresi
3) Leukopenia Keterangan:
4) Supresi *
respon 1. Menurun
inflamasi 2. Cukup menurun
5) Vaksinasi 3. Sedang
tidak adekuat 4. Cukup Meningkat
Kondisi Klinis 5. Meningkat
Terkait: **
1. AIDS 1. Meningkat
2. Luka bakar 2. Cukup Meningkat
3. Penyakit paru 3. Sedang
obstruktif kronis 4. Cukup menurun
4. Diabetes mellitus 5. Menurun
5. Tindakan invasive ***
6. Kondisi 1. Memburuk
penggunaan terapi 2. Cukup memburuk
steroid 3. Sedang
7. Penyalahgunaan 4. Cukup membaik
obat 5. Membaik
8. Ketuban pecah
sebelum waktunya
(KPSW)
9. Kanker
10. Gagal Ginjal
11. Imunosupresi
12. Lymphedema
13. Leukositopenia
14. Gangguan fungsi
hati

9 Prinsip Etik Keperawatan


1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu merpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang
harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara
rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek professional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai
hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Benefience)
Benefience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan
kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam
praktek professional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum,
standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
4. Tidak merugiakan (Non maleficence)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk
meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi
akurat, komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan
materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan keadaan dirinya sselama menjalani perawatan. Walaupun
demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran
seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya
hubungan paternalistic bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki otonomi,
mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya.
Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia
klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan
komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap
kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang
klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat
dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
BAB IV
PEMBAHASAN

1.1 Kesenjangan Teori dan Praktik


Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Tn. EK dengan fraktur
acetabulum sinistra di RSUD Jayapura dengan menerapkan intervensi inovasi aromaterapi
lavender untuk mengatasi masalah nyeri akut dalam menurunkan skala nyeri, penulis
menemukan kesamaan dan kesenjangan praktik dan teori yang ditemui serta mencari
langkah-langkah untuk mencari jalan keluarnya, maka pembahasan sebagai berikut:

1.1.1 Analisis Asuhan Keperawatan Kelolaan

Proses asuhan keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi


keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan. Pengkajian ini
menggunakan format pengkajian yang ditetapkan oleh departemen keperawatan medikal
bedah profesi ners Universitas Cenderawasih. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
wawancara, observasi, serta catatan dari rekam medis klien. Pengkajian yang dilakukan
secara komprehensif diantaranya identitas, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang, dan terapi medikasi yang diberikan,
Asuhan keperawatan dilakukan sejak tanggal 25-29 April 2022. Pengkajian
dilakukan pada tanggal 25 April 2022 hari perawatan ke-13 pada klien Tn.EK (53 tahun)
dengan diagnosa medis fraktur acetabulum sinistra, klien masuk rumah sakit pada tanggal
13 April 2022 datang dengan rujukan dari RSUD Yahukimo dengan keluhan nyeri pada
panggul kiri membentur tanah akibat jatuh dari pohon saat bekerja sejak 4 hari sebelum
masuk RS, serta klien tidak dapat berdiri atau berjalan sendiri dengan kedua kakinya
kemudian dibawa ke UGD RSUD Jayapura.
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan lempeng
pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma yang diakibatkan oleh cedera
seperti terjatuh dari tempat ketinggian, kecelakaan lalu lintas dll., dan stress, serta juga
diakibatkan melemahnya tulang akibat abnormalitas seperti fraktur patologis (Apleys &
Solomon, 2018). Menurut Platini, Chaidir dan Rahayu (2020) karakteristik pasien fraktur
ekstremitas di RSUD dr. Slamet Garut menunjukkan fraktur tebanyak yaitu pada laki-laki
dengan rentang usia produktif, hal ini dikarenakan lebih banyak melakukan aktifitas dan
mobilisasi. Patah tulang terjadi diberbagai lingkungan sistemik yang berbeda, termasuk
pada orang muda, orang sehat dan lebih tua, orang yang kurang sehat, dan segala
sesuatu diantaranya tanpa mengenal kelompok usia (Norris, et al., 2018).
Hasil pengkajian kemudian dilakukan analisa data menggunakan metode PES yaitu
problem atau masalah yang ditimbulakan, etiologi atau penyebab, symptoms atau tanda
gejala berdasarkan data objektif dan subjektif, sehingga menegakkan diagnosis
keperawatan, menentukan intervensi keperawatan, melakukan implementasi keperawatan
serta evaluasi keperawatan menurut pedoman standar asuhan keperawatan SDKI, SLKI,
SIKI (PPNI, 2018). Sesuai dengan hasil pengkajian penulis menegakkan diagnosis
keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik, perfusi perifer
tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsetrasi hemoglobin, gangguan mobilitas
fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal, dan risiko jatuh dibuktikan dengan
kekuatan otot menurun.
Diagnosis keperawatan pertama pada kasus kelolaan yaitu nyeri akut berhubungan
dengan agen pencedera fisik, ditandai dengan keluhan utama yaitu nyeri pada panggul kiri
sampai kaki kiri, nyeri seperti ditusuk, hilang timbul, dengan skala nyeri 6, nyeri terasa
saat bergerak, dan wajah tampak gelisah. Nyeri merupakan reaksi sensori nyeri dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan
potensial yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh dengan
onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan (SDKI, 2018). Intensitas nyeri dengan pengukuran Numeric Ratting
Scale (NRS) dengan skala 4-6 merupakan nyeri sedang dan menggangu, memerlukan usaha
untuk menahan (Sulistiyawati, 2018).
Rencana tindakan atau intervensi yang diberikan pada klien dengan masalah nyeri
akut bertujuan untuk menurunkan tingkat nyeri dengan kriteria hasil keluhan nyeri
menurun, meringis menurun, gelisah menurun, sikap protektif menurun dengan
menggunakan intervensi manajemen nyeri (I.08238) dengan inovasi aromaterapi lavender,
relaksasi nafas dalam dan kolaborasi terapi medis enalgesik inj. Ketorolac. Evaluasi
dilakukan selama lima hari perawataan, hari-1 pada tanggal 25 April 2021 skala nyeri 6
sedang dan di hari-5 pada tanggal 29 April 2021 skala nyeri 3 atau ringan.
Selanjutnya, diagnosis keperawatan kedua yaitu perfusi perifer tidak efektif
berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dibuktikan dengan Hb = 9.7 g/dL,
trombosit 207 103/uL (rendah), eritrosit 2.85 106/uL (rendah), pengisian kapiler >3 detik,
konjungtiva anemis, klien tampak pucat, lemah, lemas. Rencana tindakan atau intervensi
yang diberikan bertujuan untuk mengatasi perfusi perifer dengan kriteria hasil Hb
meningkat, edema perifer menurun, nyeri ekstremitaas menurun senhingga intervensi yang
dilakukan yaitu perawatan sirkulasi dengan transfusi darah (I.02089) untuk mempersiapkan
operasi open reduction internal fixation (ORIF) dan telah diberikan empat kolf Packed Red
Cell (PRC) dari tanggal 24 April 2022 kadar Hb 9,7 g/dL dengan evaluasi pada tanggal 26
April 2022 kadar Hb 12,2 g/dL.
Menurut Rahmadhani, et al (2019) Pergeseran komponen fraktur acetabulum dapat
menyebabkan ketidakcocokan sendi pinggul yang mengakibatkan distribusi tekanan
abnormal dari kartilago sendi sehingga penatalaksanaan pada fraktur ini yaitu Reduksi
anatomi dan fiksasi stabil pada fraktur asetabulum seperti kaput femoralis di reduksi secara
sentral dibawah bantalan acetabulum yang adekuat dengan operasi open reduction internal
fixation (ORIF). Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap infeksi luka operasi pada
pasien fraktur tertutup tulang panjang ekstremitas bawah pasca operasi open reduction
internal fixation (ORIF) adalah kadar Hb post op dimana kadar Hb ≤11 g/dL lebih berisiko
daripada Hb >11g/dL (Juniantara, et al, 2021).
Diagnosis keperawatan ketiga pada klien yaitu gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan musculoskeletal ditandai klien mengeluh nyeri saat bergerak, sulit
menggerakan kaki kiri, enggan melakukan pergerakan hanya beraktifitas ditempat tidur,
klien tampak lemah, tampak berkeringat, gerakan terbatas, rentang gerak kaki kiri
menurun, klien terpasang infus ditangan kiri, tampak lemas, skor bartel index klien yaitu
11 dengan ketergantungan sedang. Intervensi yang diberikan yaitu Dukungan Mobilisasi (I.
05173) yaitu memfasilitasi klien untuk meningkatkan aktiviatas pergerakan fisik dan
Edukasi Latihan Fisik (I.12389) yaitu mengajarkan aktivitas fisik reguler untuk
mempertahankan atau meningkatkan kebugaran dan kesehatan dengan edukasi Range Of
Motion (ROM) dan memfasilitasi aktifitas mobilisasi dengan alat bantu serta melibatkan
keluarga dalam membantu aktifitas dan evaluasi pada hari ke-5 pergerakan ekstremitas
cukup meningkat, kekuatan otot meningkat, ROM cukup meningkat.
Diagnosis keperawatan keempat pada klien yaitu Risiko Jatuh dibuktikan dengan
kekuatan otot menurun, riwayat jatuh, anemia, penilaian risiko jatuh skor 65 yaitu risiko
tinggi jatuh, intervensi yang diberikan Pencegahan Jatuh (I.14540) yaitu mengidentifikasi
dan menurunkan risiko terjatuh akibat perubahan kondisi fisik atau psikologis. Evaluasi
terpasang pagar tempat tidur dan terkunci, klien dan keluarga mengetahui letak kamar
mandi, keluarga mendampingi saat aktifitas dengan masalah risiko jatuh teratasi pada
tanggal 25 April 2021. Hasil evaluasi asuhan keperawatan yang dilakukan selama lima hari
didapatkan masalah yang teratasi yaitu risiko jatuh dan perfusi perifer tidak efektif, dan
yang belum teratasi yaitu nyeri akut dan gangguan mobilitas fisik.
Setelah dilakukan penerapan aromaterapi lavender 1 kali dalam sehari selama 5 hari,
aromaterapi lavender terbukti dapat menurunkan tingkat nyeri yang dirasakan oleh Tn.EK,
yang mana sebelum dilakukan aromaterapi lavender skala nyeri 6 yaitu nyeri sedang dan
setelah dilakukan penerapan aromaterapi lavender sampai hari kelima skala nyeri 3 yaitu
nyeri ringan. Hal ini sejalan dengan penelitian Widyastuti (2017) pemberian aromaterapi
lavender efektif dalam menurunkan skala nyeri dan kecemasan pada pasien pre operasi
fraktur femur di RS Ortopedi Prof.Dr. R. Soeharso Surakarta. Pada penelitian lain,
pemberian aromaterapi lavender selama 3 hari berturut-turut dapat menurunkan skala nyeri
yang signifikan dari skala nyeri 6 menjadi 3 (Sulistiyawati & Widodo, 2020).

1.1.2 Analisis Evidence Based Nursing

Pasien fraktur mengalami nyeri yang merupakan pengalaman multidimensi yang


tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Mekanisme munculnya nyeri dimulai
dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut berupa biologis, zat kimia,panas,
listrik serta mekanik. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf
perifer, lalu memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari berbagai rute saraf
dan akhirnya sampai dalam masa abu-abu di medula spinalis. Pesan nyeri dapat
berinteraksi dengan sel-sel inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga mencapai otak atau
ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak mengintepretasi kualitas nyeri
dan mempresepsikan nyeri (Baharudin, 2017).
Berdasarkan kasus kelolaan pada Tn.EK yang mengalami fraktur dan merasakan
nyeri, sehingga masalah keperawatan prioritas yaitu nyeri akut, peran perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan dengan memberikan intervensi keperawatan untuk membantu
menurunkan intensitas nyeri yang dialami oleh klien, yaitu manajemen nyeri dengan terapi
non farmakologi.
Penulis memilih penerapan aromaterapi menggunakan minyak esensial lavender
sebagai intervensi inovasi yaitu selain klien memilih aroma yang disuka yaitu
lavender,aromaterapi lavender adalah aroma yang paling cocok sebagai terapi
komplementer untuk menurunkan nyeri karena kandungan zat linalool dan linalyl acetate
yang berfungsi menimbulkan rasa rileks dan menghilangkan nyeri (Langingi, Saluy &
Kaparang, 2022).
J. Liang, Y.Zhang, P.Chi et al (2023) selain karena biaya yang terjangkau, mudah
dalam penggunaan, efek samping yang ringan, toksisitas yang rendah, dan kemanjuran
yang signifikan, minyak esensial lavender juga memiliki efek analgesik yang mirip
dengan indometasin atau tramadol dengan menargetkan reseptor dalam otak untuk
mengurangi nyeri. Sehingga penulis menerapkan aromaterapi lavender ini pada kasus
kelolaan yang mengalami nyeri.
Penulis memberikan aromaterapi lavender menggunakan minyak esensial lavender,
diffuser-inhalasi, dimana 4 tetes Essensial oil Lavender dimasukkan ke Diffuser dicampur
dengan 50 ml air selama 30 menit, kemudian diffuser diletakkan ± 1meter dekat kepala
klien dan dinyalakan dengan sumber listrik, selanjutnya klien diminta berbaring
terlentang atau dapat miring kanan/kiri dengan posisi nyaman sambil menghirup uap
aroma lavender melalui hidung, menutup mata dan merasakan aroma lavender tersebut.
Essential oils atau minyak atsiri adalah cairan yang mudah menguap yang berasal
dari tanaman alami dan dapat diekstrasikan dari seluruh bagian tananaman salah satunya
bunga. Minyak esensial dihirup dan diangkut melalui alveoli masuk ke kapiler dan
kemudian diangkut kesistem saraf dengan aliran darah. Rute saraf dimana minyak
esensial dihirup melalui hidung melawati epitel penciuman yang berkaitan dengan
reseptor dendritik dari neuron sensorik penciuman (Olfactory Sensory Neuron), aksi
sinyal potensial yang dihasilkan ditransmisikan korteks olfaktorius, dimana sinyal
distimulasi lebih lanjut ke daerah otak yang sesuai yaitu di lobus anterior otak dan
akhirnya ke sistem limbik sebagai pusat kendali emosi untuk memberikan perasaan lega
yang merupakan hasil akhir dari penurunan rasa nyeri. (J. Liang, Y.Zhang, P.Chi et al,
2023).
Setelah penulis menerapkan aromaterapi lavender didapatkan hasil skala nyeri yang
mengalami penurunan secara signifikan. Hal ini dibuktikan setelah diberikan 1 kali dalam
sehari selama 5 hari perawatan, aromaterapi lavender dapat menurunkan tingkat nyeri
yang dirasakan oleh Tn.EK, yang mana sebelum dilakukan aromaterapi lavender skala
nyeri 6 yaitu nyeri sedang dan setelah dilakukan penerapan aromaterapi lavender sampai
hari kelima skala nyeri 3 yaitu nyeri ringan.
Hasil penelitian Sulistiyawati & Widodo (2020) terapi pemberian aromaterapi
lavender selama 3 hari berturut-turut dapat menurunkan skala nyeri yang signifikan dari
skala nyeri 6 menjadi 3. Sejalan dengan penelitian Puspita (2018) dengan ada pengaruh
aromaterapi lavender dan genggam jari terhadap penurunan intensitas nyeri post operasi
fraktur di RS. Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta dengan p-value=0,001 (0<05)
(Puspita, 2018).
Hasil penelitian Astuti & Aini (2020) menunjukkan bahwa ada pengaruh skala nyeri
sebelum dan sesudah diberikan aromaterapi lavender pada pasien post fraktur dengan p-
value=0,002 (<0,05) dengan rata-rata skala nyeri sebelum diberikan aromaterapi lavender
5,00 dan rata-rata setelah diberikan aromaterapi lavender adalah 4,00, yaitu ada
penurunan skala nyeri dari sebelum dan sesudah pemberian aromaterapi lavender (Astuti
& Aini, 2020).
Hasil penelitian Farida (2019) menunjukkan ada pengaruh pemberian aromaterapi
lavender dan terapi musik klasik terhadap penurunan intensitas nyeri pada post operasi
fraktur dengan tingkat skala nyeri pretest pada kelompok perlakuan sebagian besar nyeri
sedang 4-6 dan tingkat skala nyeri posttest kelompok perlakuan yaitu skala 1-3 nyeri
ringan, sehingga ada penurunan skala nyeri dari sebelum dan sesudah perlakuan (Farida,
2019).
Hasil-hasil penelitian diatas sejalan dengan hasil yang didapatkan penulis yang
menerapkan aromaterapi lavender dan terbukti menurunkan skala nyeri pada pasien
fraktur. Namun, penurunan nyeri setiap orang dapat berbeda tergantung kondisi
seseorang, dimana ada faktor yang mempengaruhi penurunan nyeri seseorang, seperti
kehadiran dan dukungan sosial dari keluarga (Sulistyawati, 2018)
Penurunan skala nyeri pada Tn. EK kemungkinan terjadi karena kehadiran keluarga
disamping klien, juga pemberian aromaterapi ini dilakukan setiap pagi hari sekitar pada
jam 10.00-12.00 WIT yang merupakan jam kunjungan pasien, sehingga mungkin saja
teralihkan oleh keluarga.
Berdasarkan penelitian Yuniar, Marlis & Waladani (2019) didapatkan adanya
hubungan dukungan keluarga terhadap penurunan tingkat nyeri post operasi fraktur di RS
PKU Muhammadiyah Gombong dengan nilai p=0.000, dukungan dan perhatian yang
diberikan keluarga terhadap pasien yang mengalami nyeri akan berdampak pada presepsi
nyeri (Yuniar, Marlis & Waladani, 2019).
Faktor lain yang juga mempengaruhi skala nyeri seseorang adalah analgesik. Pada
kasus kelolaan yaitu Tn.EK skala nyeri dikontrol dengan analgesik seperti ketorolac yang
telah diberikan pada pukul 07.00 WIT, sehingga pengukuran skala nyeri dilakukan pada
waktu yang bersamaan (09.00 WIT-13.00WIT). Ketorolac tromethamine merupakan
salah satu obat Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) sebagai analgesik yang
digunakan sejak tahun 1990 pada pasien dengan nyeri sedang hingga berat melalui
intramuscular (IM), intravena (IV) atau oral. Pada usia <65 tahun diberikan dosis 15mg
hingga 30 mg melalui IV setiap 6 jam, dengan dosis maksimum 120mg/hari (ISFI-ISO
Farmakoterapi, 2008; Haris, Margawati & Mughni, 2016).
Dimana secara umum, NSAID ini bekerja pada sistem saraf pusat dan mekanisme
kerja dengan mempengaruhi sintesa prostaglandin, atau menghambat prostaglandin dan
krtisol yang berperan dalam sensasi nyeri. Berbeda dengan opoid, NSAID tidak
menimbulkan ketergantungan atau toleransi fisik, masalah yang sering terjadi berkaitan
dengan pemberian NSAID adalah gangguan pencernaan, perdarahan, penurunan fungsi
ginjal (Handayani, Arifin & Manjas, 2019).
Berbagai tindakan diperlukan dalam permasalahan yang berkaitan dengan intensitas
nyeri, agar pasien dapat mengontrol rasa nyeri, dan penanganan masalah ini diperlukan
adanya kolaborasi pemberian terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Perawat
sebagai tenaga yang profesional dan banyak menghabiskan waktu dengan pasien
dibandingkan dengan tenaga profesional medis lainnya, sehingga dapat memberikan
terapi non farmakologis sebagai keilmuan terapeutik keperawatan (Mayasari, 2016).
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis dapat memberi kesimpulan bahwa terapi
non farmakologi yang dapat diterapkan yaitu Aromaterapi lavender dalam menurunkan
skala nyeri pada pasien fraktur. Hasil penerapan dalam karya ilmiah ini yaitu pemberian
aromaterapi lavender diharapkan dapat menjadi terapi komplementer bagi pasien dengan
fraktur yang mengeluh nyeri dan dapat diterapkan kembali oleh perawat di ruang rawat
inap ortopedi disamping terapi farmakologi.

1.2 Penerapan Prinsip Etik Keperawatan Pada Kasus


Prinsip etik keperawatan yang merupakan aspek penting yang harus dilakukan
perawat dalam pelayanan. Pada Karya Akhir Ners ini, penulis menerapkan 6 dari 8
prinsip etik keperawatan pada kasus kelolaan, yaitu:

1.2.1 Autonomy
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang
sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Penulis menerapkan
prinsip otonomi dengan meminta persetujuan dan menyampaikan informasi dengan
menjelaskan prosedur, tujuan dan manfaat kepada klien dan keluarga dan klien
mengatakan bersedia menjadi kasus kelolaan.

1.2.2 Beneficience
Beneficience yaitu melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarga, penulis
menerapkan prinsip beneficience dengan cara mengedukasi seperti cara-cara apa saja
mengurangi nyeri, membantu mobilisasi klien.

1.2.3 Non-maleficence
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien, penulis menerapkan prinsip patient safety menjauhkan dari bahaya fisik,
psikologis klien, dengan memakai masker dan mencuci tangan sebelum dan setelah
melakukan tindakan kepada klien.

1.2.4 Veracity
Prinsip etik veracity diartikan sebagai kejujuran seorang perawat, penulis
menerapkan prinsip kejujuran untuk membangun hubungan saling percaya seperti
dengan memperkenalkan nama dan menyampaikan informasi secara objektif, akurat dan
komprehensif.

1.2.5 Confidentiality
Prinsip confidentiality diartikan sebagai kerahasiaan, penulis menerapkan prinsip
ini dengan menjaga informasi mengenai privasi klien yaitu dokumentasi rekam medis
klien dan hanya digunakan dalam kepentingan akademis.
1.2.6 Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Penulis menerapkan prinsip ini dengan menepati janji untuk datang
sesuai kontak waktu dan tempat, serta berkomitmen dalam meminimalisir penderitaan
yang dirasakan klien.

Anda mungkin juga menyukai