Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PADA Tn.

DENGAN PENYAKIT FRAKTUR FEMUR DEXTRA

DI RUANG CENDRAWASIH , RSUD WANGAYA

OLEH :

NI KADEK SUMALINI
NIM : P07120018175

TINGKAT 3.5
D-III KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2020/2021
LAPORAN PENDADAHULUAN
PADA PASIEN FRAKTUR

A. DEFINISI
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik
berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).Fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price dan Wilson,
2006).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibulayang
biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian
pergelangan kaki (Muttaqin, 2008)
Fraktur Femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang femur, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, dan
kerusakan pembuluh darah (Smeltzer et al., 2010).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan
tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan dengan
dunia luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I
(1) Luka < 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Derajat II
(1) Laserasi > 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi
atas :
(1) IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
(2) IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
(3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian distal
dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
B. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan.
Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment. (brunner & suddarth, 2002)
C. ETIOLOGI
Adapun penyebab dari fraktur adalah :
a. Trauma
1) Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2) Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan dan yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
b. Kondisi patologi : kekurangan mineral sampai batas tertentu pada tulang dapat
menyebabkan patah tulang: contohnya osteoporosis, tumor tulang (tumor yang
menyerap kalsium tulang)
c. Mekanisme Cedera
Pada cedera tulang belakang mekanisme cedera yang mungkin adalah:
(Apley, 2000)
1) Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi). Hiperekstensi jarang terjadi
di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher,pukulan pada muka atau dahi
akan memaksa kepala ke belakang dan tanpamenyangga oksiput sehingga
kepala membentur bagian atas punggung.Ligamen anterior dan diskus dapat
rusak atau arkus saraf mungkinmengalami fraktur. cedera ini stabil karena
tidak merusak ligamen posterior.
2) Fleksi Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada
vertebra.Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat
merusakligamen posterior. Jika ligamen posterior rusak maka sifat fraktur ini
tidak stabil sebaliknya jika ligamentum posterior tidak rusak maka fraktur
bersifat stabil. Pada daerah cervical, tipe subluksasi ini sering terlewatkan
karena pada saat dilakukan pemeriksaan sinar-X vertebra telah kembali
ketempatnya.
3) Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior Kombinasi fleksi
dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapatmengganggu kompleks
vertebra pertengahan di samping kompleks posterior. Fragmen tulang dan
bahan diskus dapat bergeser ke dalam kanalis spinalis. Berbeda dengan fraktur
kompresi murni, keadaan ini merupakan cedera tak stabil dengan risiko
progresi yang tinggi. Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan
kompresi padasetengah corpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan
posterior pada sisi sebaliknya. Kalau permukaan dan pedikulus remuk, lesi
bersifat tidak stabil.
4) Pergeseran aksial (kompresi). Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus
pada spina servikal atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus
pulposus akan mematahkanlempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal
pada vertebra; dengankekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk
ke dalam badanvertebral, menyebabkan fraktur remuk ( burst fracture). Karena
unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil. Fragmen
tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis dan inilah yang
menjadikan fraktur ini berbahaya; kerusakan neurologik sering terjadi.
5) Rotasi-fleksi. Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi
fleksi danrotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas kekuatannya,
kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau bagian
atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari mekanisme iniadalah
pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di atas, denganatau tanpa
dibarengi kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi bersifat tak stabil dan
terdapat banyak risiko munculnya kerusakan neurologik.
6) Translasi Horizontal Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau
bawah dapat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak
stabil dan sering terjadi kerusakan syaraf.
d. Cedera Torakolumbal
Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari ketinggian serta
kecelakaan lalulintas. Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan patah tulang
vertebra tipe kompresi. Pada kecelakaan lalulintas dengan kecepatan tinggi dan
tenaga besar sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya, yaitu fleksi,
rotasi,maupun ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur dislokasi (Jong,
2005).
Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu: (Apley, 2000)
1) Cedera stabil : jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis
anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan normal,
ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu,
fraktur kompresi adalah contoh cedera stabil.
2) Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakannormal
karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur medulla spinalis disebut
tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligament posterior
Berdasarkan mekanisme cederanya dapat dibagi menjadi: (Apley, 2000)
1) Fraktur kompresi ( Wedge fractures)
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan
membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang
mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat
pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain
ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan
akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur
kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya dari pada ukuran vertebra
sebenarnya.
2) Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secaralangsung,
dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk kekanalis
spinais. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpusvertebralis
kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih beratdibanding
fraktur kompresi. tepi tulang yang menyebar atau melebar itu
akanmemudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang
yangmengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis
danmenyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial.
Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan
terjadi paralysis pada kakidan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis
burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak
fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi,
burst fracture ataufraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan
lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya
perdarahan.
3) Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi,
rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat
tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau
tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga
bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang
terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan,rotasi dan proses pengelupasan.
Pengelupasan komponen akan terjadi dariposterior ke anterior dengan
kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi
facet dan akhirnya kompresi korpus vertebraanterior. Namun dapat juga terjadi
dari bagian anterior ke posterior. Kolumn avertebralis. Pada mekanisme rotasi
akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur
akan melewati lamina danseringnya akan menyebabkan dural tears dan
keluarnya serabut syaraf.
4) Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)
Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba
mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasifraktur
sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi
dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan
poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera
sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan melawantahanan tali
pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna
posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur
tidak stabil.
D. PATHWAY

Kondisi patologis
Trauma langsung Trauma tdk langsung

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang


lbh tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tek kapiler


Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dg trombosit

Laserasi kulit Edema Emboli

Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh


darah

Mengenai jaringan kutis dan sub kutis Ketidakefektifan perfusi


Kerusakan integritas
kulit jaringan perifer

Perdarahan
Resiko Infeksi
Kehilangan volume cairan

Resiko syok
(hipovolemik)
E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,


pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang
dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung


bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur
lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena


kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).

4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi:
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain: radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk
memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan
sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi
dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.

3. Retensi (Imobilisasi fraktur)


Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah
tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang
tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu
minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih
lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi (Corwin,
2001).
5. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani
kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk
menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki
deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk
menahan anggota gerak pada tempatnya. Tapi sekarang sudah jarang digunakan.
Traksi longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi
spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior
untuk mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus
kurang dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar.
6. Fiksasi interna
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan atau
batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna merupakan
pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai
komplikasi.

7. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/trauma sistem
muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita yang
mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang
ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
8. Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif
Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus secara
keras daerah yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan untuk
menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat
menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang
patah tersebut.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi awal fraktur :
1. Syok Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bias menyebabkan menurunnya oksigenasi. Hal ini biasanya terjadi
pada fraktur, pada kondisi tertentu terjadi syok neurogenic pada fraktur femur
karena rasa sakit yang hebat pada pasien
2. Kerusakan arteri Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai oleh; tidak adanya
nadi; CRT (Capillary Refill Time) menurun; sianosis distal; hematoma yang lebar;
serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
pembidaian; perubahan posisi pada yang sakit; tindakan reduksi dan pembedahan
3. Sindrom kompartemen Adalah suatu kondisi dimana terjebaknya otot, tulang, saraf
dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema
atau hematoma yang menekan otot, syaraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom
kompartemen akibat komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat
dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang. Tanda khas untuk
sindrom kompartemen adalah 5 P (pain/ nyeri local, pallor/ pucat, parestesi/tidak
ada sensasi, pulslessness/ tidak ada denyut nadi , perubahan nadi , perfusi yang
kurang baik pada bagian distal, CRT > 3 detik pada bagian distal kaki,
paralysis/kelumpuhan tungkai)
4. Infeksi System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Hal ini
biasanya terjadi karena kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat.
5. Avaskular Nekrosis

H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
1) Pengumpulan Data
2) Anamnesa
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
b. Riwayat Penyakit Dahulu
c. Riwayat Penyakit Keluarga
d. Riwayat Psikososial
4. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b. Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.

d. Pola Tidur dan Istirahat


Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.
b. Data Objektif
1. PemeriksaanFisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti :
a. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
Pemeriksaan head-to-toe :
1. Kepala: Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala
2. Mata: Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
3. Hidung: Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
4. Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
5. Mulut dan Gigi: Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
6. Leher: Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
7. Thoraks: Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
8. Paru
a. Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b. Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c. Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
d. Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
9. Jantung
a. Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
b. Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c. Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
10. Abdomen
a. Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
c. Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d. Auskultasi: Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
11. Inguinal-Genetalia-Anus: Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe,
tak ada kesulitan BAB.
12. Kulit: Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
13. Ekstermitas: Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan
ROM.
2. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi : terdapat foto patahan tulang.
2. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
4. Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
6. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedra fisik ditandai dengan mengeluh
nyeri.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
ditandai dengan mengeluh sulit menggerakan ekstremitas.
c. Defisit Perawatan diri berhubungan dengan gangguan musculoskeletal ditandai
dengan Pasien menolak melakukan perawatan diri.
d. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor mekanis ditandai
dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit
J. PERENCANAAN
No. Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan selama … x … Observasi
dengan agen jam, diharapkan nyeri pasien  Identfikasi, karaktristik,
pencedera fisik berkurang atau hilang, durasi, frekuensi, kualitas,
ditandai dengan dengan kriteria hasil : intensitas nyeri.
mengeluh nyeri Tingkat Nyeri  Identifikasi kala nyeri
 Keluhan nyeri  Identifkasi non nyeri
 Sikap protektif nonverbal
 Gelisah  Identifikasi faktor yang
 Kesulitan tidur memperberat dan
 Menarik diri memperingan nyeri

 Berfokus pada diri  Identikasi pengetahuan


sendiri tentan nyeri

 Diaporesis  Identifikasi pengaruh

 Perasaan depresi budaya terhadap respon

(tertekan) nyeri

 Perasaan takut  Identifikasi pengaruh nyeri

mengalami cederera pada kualitas hidup

berulang  Monitor keberhasilan terapi

 Perineum terasa tertekan komplementer yang sudah

 Uterus teraba membulat diberikan

 Ketegangan otot  Monitor efek samping


penggunaan analgetik
 Pupil dilatasi
Terapeutik
 Muntah
 Berikan teknik non
 Mual
farmakologis untuk
 Frekuensi nadi
mengurangi rasa nyeri
 Pola nafas
 Kontrol lingkungan yang
 Tekanan darah
memperberat rasa nyeri
 Proses berfikir
 Fokus  Fasilitasi istirahat dan tidur
 Fungsi berkemih  Pertimbangkan jenis
 Perilaku  Dan sumber nyeri dalam
 Nafsu makan pemilihan strategi
 Pola tidur meredekan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Anjurkan
menggunakan
analgetik secara cepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologus
untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Gangguan Setelah dilakukan asuhan Dukungan ambulasi
mobilitas fisik keperawatan selama ….. x observasi
berhubungan …. jam, diharapkan  Identifikasi adanya
dengan kerusakan gangguan mobilitas fisik nyeri atau keluhan fisik
integritas struktur pada pasein dapat berkurang lainnya
tulang ditandai dengan kriteria hasil :  Identifikasi toleransi
dengan mengeluh Mobilitas fisik fisik melakukan
sulit menggerakan  Pergerakan ambulasi
ekstremitas ekstremitas  Monitor frekuensi
 Kekuatan otot jantung dan tekanan
 Rentang gerak darah sebelum memulai
(ROM) ambulasi
 Nyeri  Monitor kondisi umum
 Kecemasan selama melakukan

 Kaku sendi ambulasi

 Gerakan tidak Terapeutik

terkoordinasi  Fasilitasi aktivitas

 Gerakan terbatas ambulasi dengan alat


bantu
 Kelemahan fisik
 Fasilitasi melakukan
ambulasi fisik
 Libatkan keluarga
untuk membantu pasien
dalam meningkatkan
ambulasi
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan
ambulasi diri
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan

3. Defisit Perawatan Setelah dilakukan asuhan Dukungan Perawatan Diri


keperawatan selama ...x24 (I.11348)
Diri berhubungan
jam, maka Perawatan Diri
dengan gangguan meningkat dengan kriteria Observasi
musculoskeletal
hasil:  Identifikasi kebiasaan
Perawatan Diri (L.11103) aktivitas perawatan diri
ditandai dengan  Mempertahankan sesuai usia.
kebersihan diri
Pasien menolak
sendiri meningkat  Monitor tingkat
melakukan  Minat melakukan kemandirian
perawatan diri perawatan diri  Identifikasi kebutuhan alat
meningkat bantu kebersihan diri,
 Kemampuan mandi berpakaian, berhias, dan
meningkat makan.
 Kamampuan
mengenakan pakian Terapeutik
meningkat
 Verbalisasi  Sediakan lingkungan yang
keinginan melakukan terapeutik (mis, suasana
perawatan diri hangat, rileks, privasi).
meningkat
 Siapkan keperluan pribadi
(mis. Parfum, sikat gigi,
dan sabun mandi)

 Dampingi dalam
melakukan perawatan diri
sampai mandiri.

 Fasilitasiuntuk menerima
keadaan ketergantungan

 Fasilitasi kemandirian,
bantu jika tidak mampu
melakukan perawatan diri.

 Jadwalkan rutinitas
perawatan diri

Edukasi

 Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan.

4. Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan infeksi


keperawatan….x….jam, Observasi
diharapkan risiko infeksi  Monitor tanda dan gejala
pasien berkurang ,dengan infeksi local dan
criteria hasil: sistematik
Tingkat infeksi Terapiutik
 Kebersihan tangan  Atasi jumlah pengunjung
 Kebersihan badan berikan perawatan kulit
 Demam pada area edema
 Nyeri  Cuci tangan sebelum dan
 Kemerahan sesudah koontak dengan
 Bengkak paien dan lingkungan

 Vesikel pasien

 Cairan berbau busuk  Pertahankan teknik asektif

 Sputum berwarna pada pasien beresiko tinggi

hijau Edukasi

 Drainase purulen  Jelaskan tanda dan gejala


infeksi
 Piuria
 Ajarkan cara mencuci
 Periode malaise
tangan dengan benar
 Periode menggigil
 Ajarkan etika batuk
 Letargi
 Ajarkan cara memeriksa
 Gangguan kognitif
kondisi luka atau luka
 Kadar sel darah putih
operasi
 Kultur darah
 Anjurkan meningkatkan
 Kultur urine
asupan nutrisi
 Kultur sputum
 Anjurkan asupan cairan
 Kultur area luka
Kolaborasi
 Kultur feses
 Kolaborasi pemberian
 Nafsu makan imunisasi, Jika perlu

5. Resiko Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipopolemia


Hipovolemia keperawtan…x… jam Observasi
,diharapkan resiko  Periksa dan tanda gejala
hipovolemia menurun, hipopolemia
dengan criteria hasil :  Monitor intake dan output
Status Cairan cairan
 Kekuatan nadi Terapeutik
 Output urine  Hitung kebutuhan cairan
 Membran mukosa  Berikan posisi modified
lembab trendelendburg
 Pengisian vena  Berikan asupan cairan oral
 Ortopnea Edukasi
 Dispnea  Anjurkan memperbnyak
 Paroxysmal asupan cairan oral
nocturnal dyspnea  Anjurkan menghindari
(PND) posisi mendadak
 Edema anarsaka Kolaborasi
 Edema perifer
 Berat badan  Kolaborasi pemberian

 Distensi vena cairan IV isotonis

jugularis  Kolaborasi pemberian

 Suara napas cairan IV hipotonis

tambahan  Kolaboarsi pemberian

 Kongesti paru cairan koloid

 Perasaan lemah  Kolaborasi pemberian


produk darah
 Rasa haus
 Konsentrasi urine
 Frekuensi nadi
 Tekanan darah
 Tekanan nadi
 Turgor kulit
 Jugular venous
pressure (JVP)
 Hemoglobin
 Hematokrit
 Cental venous
pressure
 Refluks
hepatojugular
 Berat badan
 Hepatomegali
 Oliguria
 Intake cairan
 Status mental
 Suhu tubuh

6. Risiko perfusi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan syok


perifer tidak keperawtan …x… jam, Observasi
efektif diharapkan risiko perfusi  Monitor status
perifer tidak efektif kardiopulmonal
menurun, dengan criteria  Monitor status oksigenasi
hasil:  Monitor status cairan
Perfusi perifer  Monitor tingkat kesadaran
 Kekuatan nadi dan respon pupil
perifer  Periksa riwayat alergi
 Penyembuhan luka Terapeutik
 Sensasi  Berikan oksigen untuk
 Warna kulit pucat mempertahankan saturasi
 Edema perifer oksigen >94%
 Nyeri ekstremitas  Persiapkan intubasi dan
 Parastesia ventilasi mekanis,jika perlu
 Kelemahan otot  Pasang jalur IV, jika perlu
 Kram otot  Pasang kateter urine untuk
 Bruit femoralis menilai produksi urine, jika

 Nekrosis perlu

 Pengisian kapiler  Lakukan skin test untuk

 Akral mencegah reaksi alergi


Edukasi
 Turgor kulit
 Jelaskan penyebab/faktor
 Tekanan darah
syok
sistolik
 Jelaskan tanda dan gejala
 Tekanan darah
awal syok
diastolic
 Anjurkan melapor jika
 Tekanan arteri rata-
menemukan/merasakan
rata
tanda dan gejala awal syok
 Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari
allergen
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian IV,
jika perlu
 Kolaborasi pemeberian
transfuse darah, jika perlu
 Kolaborasi pemebrian
antiinflamasi, jika perlu
7. Gangguan Setelah dilakukan asuhan Perawatan integritas kulit
integritas keperawtan …x… jam, Observasi
kulit/jaringan diharapkan gangguan  Identifikasi penyebab
berhubungan integritas kulit menurun, gangguan integritas kulit
dengan faktor dengan criteria hasil: Terapeutik
mekanis ditandai Integritas kulit/jaringan  Ubah posisi tiap 2 jam jika
dengan kerusakan  Elastisitas tirah baring
jaringan dan/atau  Hidrasi  Lakukan pemijatan pada
lapisan kulit  Perfusi jaringan area penonjolan tulang
 Kerusakan jaringan  Bersihkan perineal dengan
 Kerusakan lapisan air hangat, terutama selama
kulit periode diare

 Nyeri  Hindari produk berbahan

 Perdarahan dasar alcohol pada kulit

 Kemerahan kering
Edukasi
 Hematoma
 Anjurkan menggunakan
 Pigmentasi abnormal
pelembab
 Jaringan parut
 Anjurkan meminum air
 Nekrosis
yang cukup
 Abrasi kornea
 Anjurkan meningkatkan
 Suhu kulit
asupan nutrisi
 Sensasi
 Tekstur
 Pertumbuhan rambut
DAFTAR PUSTAKA

Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multiple. (Online).


Available :https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen-Perioperatif-pada-
Pasien-Fraktur-Multipel (diakses pada tanggal 31 Agustus 09.00 WITA)
Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem ApleyEdisi 7. Jakarta:
Widya Medika.
Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth.Jakarta : EGC.
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai