Anda di halaman 1dari 66

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

IDENTIFIKASI PENYAKIT KHUSUS BESERTA PENANGANANNYA


DAN IDENTIFIKASI SECOND DISASTER

Fasilitator :
Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.,Ns.M.Kep

Disusun Oleh:
SGD 3 Kelas A-2 Angkatan 2016
1. Grace Marcellina Butarbutar (131611133061)
2. Lukmania Andriani Putri (131611133068)
3. Sabila Nisak (131611133071)
4. Silvia Farhanidiah (131611133072)
5. Konita Shafira (131611133073)
6. Tantya Edipeni Putri (131611133074)
7. Asih Parama A (131611133075)
8. Elyn Zoegestyn (131611133088)
9. Muhammad Rezza Romadlon (131611133126)
10. Esti Ristanti (131611133129)
11. Hayu Ulfaningrum (131611133143)
12. Sulpince Weya (131611122152)
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Keperawatan
Bencana yang berjudul “Identifikasi Penyakit Khusus Beserta Penanganannya Dan
Identifikasi Second Disaster”
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan baik
moral dan material baik secara langsung maupun tidak langsung. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung penyusunan ini,
antara lain kepada:
1. Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.,Ns.M.Kep sebagai fasilitator.
2. Semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Penulis berharap makalah ini dapat dimengerti oleh pembaca dan bermanfaat
bagi semua pihak khususnya bagi mahasiswa keperawatan. Namun kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Kami mohon saran dan kritik dari pembaca.
Semoga makalah ini bermanfaat dan berguna.

Surabaya, 9 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. ii
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Bencana ......................................................................................... 4
2.1.1 Definisi Bencana .............................................................................. 4
2.1.2 Jenis Bencana ................................................................................... 5
2.1.3 Fase-Fase Bencana ........................................................................... 5
2.1.4 Paradigma Penanggulangan Bencana .............................................. 6
2.1.5 Koordinator Lembaga Penanganan Bencana ................................... 6
2.1.6 Pengurangan Resiko Bencana .......................................................... 7
2.1.7 Contoh-Contoh Bencana Alam ........................................................ 8
2.2 Identifikasi Penyakit Khusus Beserta Penanganannya .............................. 16
2.2.1 Penyakit Akibat Gempa Bumi dan Penanganannya ........................ 16
2.2.2 Penyakit Akibat Gunung Meletus dan Penangannya ....................... 21
2.2.3 Penyakit Akibat Tsunami dan Penanganannya ................................ 24
2.2.4 Penyakit Akibat Banjir Bandang dan Penanganannya ..................... 28
2.3 Masalah yang Muncul Pasca Bencana ....................................................... 32
2.4 Penanganan Masalah Pasca Bencana ......................................................... 35
2.5 Kejadian Luar Biasa (KLB) Pasca Bencana .............................................. 37
2.6 Pencegahan dan Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) Pasca Bencana .43
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 46
3.2 Saran ........................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 47
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu
yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Bencana juga dapat didefinisikan sebagai situasi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana bisa mengubah pola
kehidupan yang awalnya normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda
dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan
lonjakan kebutuhan dasar (Bakornas PBP).
Menurut data Indeks Risiko Bencana Indonesia tahun 2013, terdapat 205
juta jiwa penduduk tinggal di daerah rawan bencana. Data menunjukkan bahwa
kejadian bencana telah meningkat secara signifikan dalam satu dekade
terakhir.Pada kurun waktu tersebut Indonesia dilanda 11.274 kejadian bencana
yang telah menelan korban jiwa sebanyak 193.240 orang dan mengakibatkan
total kerugian sekurang-kurangnya Rp420 triliun. Besarnya kerugian ini akan
berpengaruh pada beban APBN per tahun sehingga perlu adanya satu rencana
terpadu penanggulangan bencana dalam 5 tahunke depan. Rencanaini yang
disebut sebagai RENAS PB 2015-2019.
Secara geografis, Indonesia terletak di wilayah yang rawan bencana,
Bencana alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat, di mana saja dan
kapan saja, yang dapat menimbulkan kerugian materiel dan imateriel bagi
kehidupan masyarakat. Posisi wilayah Indonesia yang berada di garis
Katulistiwa dan berbentuk Kepulauan menimbulkan potensi tinggi terjadinya
berbagai jenis bencana hidrometeorologi, yaitu banjir, banjir bandang,
kekeringan, cuaca ekstrim (angin puting beliung), abrasi, gelombang ekstrim
dan kebakaran lahan dan hutan. Fenomena perubahan iklim memberikan
kontribusi terhadap peningkatan bencana hidrometeorologi. Meningkatnya
jumlah penduduk yang diikuti meningkatnya permukiman yang kurang
terkendali serta tingginya perkembangan teknologi menimbulkan potensi tinggi
terjadinya bencana antropogenik yaitu epidemik dan wabah penyakit, serta
kegagalan teknologi (kecelakaan industri).
Selain faktor alam, kurangnya informasi masyarakat terhadap tanda-tanda
penanganan bencana sering kali menjadi hambatan tersendiri dalam upaya
penanggulangan bencana. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah
strategis bidang kesehatan khususnya oleh perawat komunitas untuk
penanggulangan bencana. Peran perawat yang berkaitan dengan kejadian
bencana sangat diperlukan baik untuk kesiapsiagaan saat tanggap darurat
maupun pasca bencana di pengungsian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep bencana?
2. Bagaimana konsep gempa bumi dan apa saja penyakit yang muncul?
3. Bagaimana konsep gunung meletus dan apa saja penyakit yang muncul?
4. Bagaimana konsep tsunami dan apa saja penyakit yang muncul?
5. Bagaimana konsep banjir bandang dan apa saja penyakit yang muncul?
6. Masalah atau kondisi yang muncul pasca bencana?
7. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah pasca bencana?
8. Apa saja Kejadian Luar Biasa (KLB) yang terjadi pasca bencana?
9. Pencegahan dan penanganan kejadian luar biasa yang terjadi pasca
bencana?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan konsep bencana
2. Menjelaskan konsep gempa bumi dan penyakit yang muncul akibat gempa
bumi
3. Menjelaskan konsep gunung meletus dan penyakit yang muncul akibat
gunung meletus
4. Menjelaskan konsep tsunami dan penyakit yang muncul akibat tsunami
5. Menjelaskan konsep banjir bandang dan penyakit yang mucul akibat banjir
bandang
6. Menjelaskan masalah yang muncul pasca bencana
7. Menjelaskan upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah pasca bencana
8. Menjelaskan beberapa Kejadian Luar Biasa (KLB) yang dapat terjadi pasca
benca
9. Menjelaskan pencegahan dan penanganan kejadian luar biasa pasca bencana
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Bencana
2.1.1 Definisi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu yang mengakibatkan
ekologi,kerugian kehidupan manusia,serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa
dari pihak luar ( Depkes RI ,2001).
Bencana merupakan setiap kejadian yang menyebabkan
kerusakan,gangguan ekologis,hilangnya nyawa manusia,atau memburuknya
derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respons dari luar masyarakat atau pelayanan kesehatan pada skala
tertentu yang memerlukan respons dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena (WHO,2001).
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola
kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS
PBP).
Bencana juga didefinisikan sebagai situasi dan kondisi yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat.Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa\
mengubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal
menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur
sosial masyarakat,serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (Bakornas
PBP).
Bencana adalah Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu
masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan
manusia maupun dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan melampaui
batas kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumberdaya mereka sendiri. ( United Nations International
Strategy for Disaster Reduction – UN ISDR, 2004 )
2.1.2 Jenis Bencana
Bencana dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu :
1) Bencana Alam (Natural Disaster)
Kejadian- kejadian alami seperti banjir,genangan ,gempa bumi,gunung
meletus,badai,kekeringan,wabah,serangan serangga dan lainnya
2) Bencana Ulah Manusia (Man-made Disaster)
Kejadian – kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat
udara atau kendaraan kebakaran,huru-hara,sabotase,ledakan,gangguan
listrik,gangguan komunikasi,gangguan transportasi dan lainnya.
Sedangkan cakupan bencana berdasarkan wilayah dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan.Bencana ini terjadi pada sebuah gedung atau
bangunan-bangunan disekitarnya.biasanya akibat faktor manusia
seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia, dan
lainnya.
2) Bencana Regional
3) Bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis
yang cukup luas,dan biasanya disebabkan oleh faktor alam seperti
badai, banjir, letusan gunung, tornado, dan lainnya.

2.1.3 Fase-Fase Bencana


Fase bencana digolongkan 3 bagian yaitu :
1) Fase Pre-impact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca,fase ini seharusnya dilakukan
persiapan baik oleh pemerintah,lembaga dan warga masyarakat.
2) Fase Impact
Merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana.Inilah dimana saat
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase
impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan –
bantuan darurat dilakukan.
3) Fase Post-impact
Merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyyembuhan dari fase
darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada
fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase post-impact ini para
korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai dari penolakan
(denial),marah(angry),tawar menawar(bergaining) depresi (depression)
hingga penerimaan (acceptance).

2.1.4 Paradigma Penanggulangan Bencana


Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigma (
paradigma shift) dari konvensional, yakni anggapan bahwa bencana
Merupakan kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera
mendapatkan pertolongan (berfokus pada emergency dan relief), ke paradigma
pendekatan holistic, yakni menempatkan bencana dalam tata kerangka
manajerial yang dikenali dari bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability),
serta kemampuan(capacity) masyarakat.

Pada konsep ini dipersepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang


tidak dapat dihindari,namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat
diminimalisai dengan mengurangi kerentanan masyarakat yang ada di lokasi
rawan bencana serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pencegahan
dan penanganan bencana.

2.1.5 Koordinator Lembaga Penanganan Bencana


Tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana ditangani oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat Pusat dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah.

1. Tingkat pusat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan
Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri yang memiliki
fungsi perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan
efisien; dan pengoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempunyai
tugas :
a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil
dan setara.
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan.
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat.
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap
saat dalam kondisi darurat bencana
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan
h. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.
Tugas dan kewenangan Departemen Kesehatan adalah merumuskan
kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan
penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik dalam tahap sebelum,
saat maupun setelah terjadinya. Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan
instansi terkait baik Pemerintah maupun non Pemerintah, LSM, Lembaga
Internasional, organisasi profesi maupun organisasi kemasyarakatan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selain itu Departemen
Kesehatan secara aktif membantu mengoordinasikan bantuan kesehatan
yang diperlukan oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah
kesehatan lain.
Gambar 1. Struktur Organisasi BNPB
Gambar 2 Struktur organisasi dalam Departemen Kesehatan pada
penanggulangan bencana

Dalam operasional pemberian bantuan bagi daerah yang


memerlukan, Departemen Kesehatan membentuk 9 (sembilan) Pusat
Bantuan Regional Penanganan Krisis Kesehatan yang berperan untuk
mempercepat dan mendekatkan fungsi bantuan kesehatan dan masing-
masing dilengkapi dengan SDM Kesehatan terlatih dan sarana, bahan, obat
serta perlengkapan kesehatan lainnya, yaitu di:
a. Regional Sumatera Utara berkedudukan di Medan, dengan wilayah
pelayanan Provinsi NAD, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau,
Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sumatera Barat.
b. Regional Sumatera Selatan berkedudukan di Palembang, dengan
wilayah pelayanan Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jambi,
Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Bengkulu.
c. Regional DKI Jakarta kedudukan di Jakarta, dengan wilayah
pelayanan Provinsi Lampung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten,
Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Kalimantan Barat.
d. Regional Jawa Tengah di Semarang, dengan wilayah pelayanan
Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah.
e. Regional Jawa Timur di Surabaya, sebagai Posko wilayah tengah
dengan wilayah pelayanan Jawa Timur.
f. Regional Kalimantan Selatan di Banjarmasin, dengan wilayah
pelayanan Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah
dan Provinsi Kalimantan Selatan
g. Regional Bali di Denpasar dengan wilayah pelayanan Provinsi Bali,
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
h. Regional Sulawesi Utara di Manado, dengan wilayah pelayanan
Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Maluku
Utara.
i. Regional Sulawesi Selatan di Makasar, sebagai Posko Wilayah Timur,
dengan wilayah pelayanan Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi
Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi
Barat dan Provinsi Maluku. 10. Sub Regional Papua di Jayapura,
dengan wilayah pelayanan Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya
Barat.
Pusat Regional Penanganan Krisis Kesehatan berfungsi:
1. Sebagai pusat komando dan pusat informasi (media centre)
kesiapsiagaan dan penanggulangan kesehatan akibat bencana dan
krisis kesehatan lainnya.
2. Fasilitasi buffer stock logistik kesehatan (bahan, alat dan obat-obatan)
3. Menyiapkan dan menggerakkan Tim Reaksi Cepat dan bantuan SDM
kesehatan yang siap digerakkan di daerah yang memerlukan bantuan
akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya.
2. Daerah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat
daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Pada tingkat
provinsi BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur
atau setingkat eselon Ib dan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh
seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon
IIa.
Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex-officio) oleh Sekretaris
Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada kepala daerah.
BPBD terdiri dari Kepala, Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dan
Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana.
a. BPBD mempunyai fungsi :
 perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat,
efektif dan efisien
 pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
b. BPBD mempunyai tugas :
 menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan
darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara
 menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan
 menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana
 menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana
 melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnyA
 melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan
setiap saat dalam kondisi darurat bencana
 mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang
 mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
 melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai salah
satu anggota Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana merupakan
penanggungjawab dalam penanganan kesehatan akibat bencana
dibantu oleh unit teknis kesehatan yang ada di lingkup Provinsi dan
Kabupaten Kota. Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat
bencana di lingkungan Dinas Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang
ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan dengan surat keputusan.
Tugas dan kewenangan Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota adalah melaksanakan dan menjabarkan kebijakan,
memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan kegiatan
penanganan kesehatan akibat bencana di wilayah kerjanya.
Dalam hal memerlukan bantuan kesehatan karena ketidak
seimbangan antara jumlah korban yang ditangani dengan sumber daya
yang tersedia di tempat, dapat meminta bantuan ke Depkes cq Pusat
Penanggulangan Krisis maupun ke Pusat Bantuan Regional.
3. Unit pelaksana DEPKES
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan Balai Teknis Kesehatan
Lingkungan Pemberantasan Penyakit Menular merupakan unit-unit
pelaksana teknis Depkes di daerah. KKP berperan dalam memfasilitasi
penanganan keluar masuknya bantuan sumber daya kesehatan melalui
pelabuhan laut/udara dan daerah perbatasan, karantina kesehatan. BTKL
berperan dalam perkuatan sistem kewaspadaan dini dan rujukan
laboratorium.
2.1.6 Pengurangan Resiko Bencana
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pra bencana,
tanggapdarurat,dan pasca bencana.
1) Tahap Pra bencana
Terbagi menjadi saat tidak terjadi bencana dan potensi terjadi
becana dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemanduan dalam
perencanaan pembangunan, persyaratam analisis resiko bencana,
penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta
penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
(kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana)
2) Tahap Tanggap Darurat
Kegiatannya mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumber daya penentuan status keadaan darurat, penyelamatan dan
evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar (air bersih, sanitasi,
pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, dan
penampungan tempat hunian), perlindungan kelompok rentan (prioritas
bagi kelompok rentan) serta pemulihan prasarana dan sarana vital.
3) Tahap Pasca Bencana
Mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana, prasarana,
sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial, psikologis, pelayanan
kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, sosial ekonomi, budaya,
keamanan, ketertiban, fungsi pemerintahan dan peningkatan berbagai
sarana prasarana termasuk pelayanan publik)

2.1.7 Contoh-Contoh Bencana Alam


A. Gempa Bumi
a) Definisi Gempa Bumi
Gempabumi (earthquake) adalah peristiwa bergetar atau
bergoncangnya bumi karena pergerakan/pergeseran lapisan batuan
pada kulit bumi secara tiba‐tiba akibat pergerakan lempeng‐lempeng
tektonik.
Gempabumi yang disebabkan oleh aktivitas pergerakan lempeng
tektonik disebut gempabumi tektonik. Namun selain itu, gempabumi
bisa saja terjadi akibat aktifitas gunung berapi yang disebut sebagai
gempabumi vulkanik. Pergerakan tiba‐tiba dari lapisan batuan di
dalam bumi menghasilkan energi yang dipancarkan ke segala arah
berupa gelombang gempabumi atau gelombang seismik. Ketika
gelombang ini mencapai permukaan bumi, getarannya dapat merusak
segala sesuatu di permukaan bumi seperti bangunan dan infrastruktur
lainnya sehingga dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Berbeda dengan letusan gunung api dan bencana alam lain yang
didahului dengan tanda‐tanda atau gejala‐gejala yang muncul sebelum
kejadian, gempabumi selalu datang secara mendadak dan
mengejutkan sehingga menimbulkan kepanikan umum yang luar biasa
karena sama sekali tidak terduga sehingga tidak ada seorang pun yang
sempat mempersiapkan diri.
Akibat yang ditimbulkan gempabumi luar biasa dahsyat karena
mencakup wilayah yang sangat luas, menembus batas teritorial
negara, bahkan antar‐benua. Sifat getaran gempabumi yang sangat
kuat dan merambat ke segala arah, mampu menghancurkan bangunan‐
bangunan sipil yang terkuat sekalipun, sehingga sangat banyak
memakan korban. Bahkan gempabumi sering kali diikuti oleh bencana
alam lanjutan yang jauh lebih dahsyat berupa tanah longsor dan
gelombang tsunami.

b) Peyebab Gempa Bumi


Berdasarkan atas penyebabnya gempa bumi dapat
dikelompokkan menjadi beberapa macam diantaranya: tektonik,
vulkanik, runtuhan, jatuhan meteor, dan gempabumi buatan manusia.
Gempabumi tektonik adalah gempabumi yang disebabkan oleh
pelepasan energi elastis yang tersimpan dalam lempeng tektonik.
Karena adanya dinamika yang terjadi pada lapisan mantel bumi,
lempeng tektonik bumi kita ini terus menerima energi dari lapisan
tersebut.
Lempeng tektonik adalah batuan yang bersifat elastis, sehingga
energy yang diterima dari lapisan mantel tersimpan dalam bentuk
energi elastis. Bila energi yang diterima sudah melebihi batas
elastisitas lempeng tektonik, maka energi akan terlepas dalam bentuk
deformasi plastis dan gelombang elastis. Daerah yang melepaskan
energi elastis umumnya daerah yang lemah sehingga di daerah
tersebut akan mengalami deformasi plastis, sedangkan daerah yang
jauh dari sumber tersebut akan mengalami deformasi elastis dalam
bentuk gelombang seismik. Dengan adanya deformasi plastis di
sekitar sumber gempabumi, fenomena yang dapat diamati dalam
jangka waktu panjang adalah terjadi pergerakan dari lempeng tektonik
dengan jenis pergerakan antara lain: penunjaman antara lempeng
samudra dan lempeng benua, tumbukan antara kedua lempeng benua,
dan pergerakan lempeng samudera yang saling menjauh, serta
pergerakan lempeng yang saling bergeser. Dikarenakan tepian
lempeng yang tidak rata maka jika bergesekan maka, timbullah friksi.
Friksi inilah yang kemudian melepaskan energi goncangan
gempabumi.
Gempabumi vulkanik adalah gempabumi yang disebabkan oleh
kegiatan gunung api. Magma yang berada pada kantong di bawah
gunung tersebut mendapat tekanan dan melepaskan energinya secara
tiba‐tiba sehingga menimbulkan getaran tanah. Selain itu, pelepasan
energi stress tersebut juga menyebabkan gerakan magma secara
perlahan. Aktivitas gempabumi tektonik dapat memicu aktivitas
gempabumi vulkanik. Naiknya magma ke permukaan dapat dipicu
oleh pergeseran lempeng tektonik pada sesar bumi. Biasanya ini
terjadi pada batas lempeng tektonik yang bersifat konvergen (saling
mendesak). Hanya saja pada gempabumi vulkanik, efek goncangan
lebih ditimbulkan karena desakan magma, sedangkan pada
gempabumi tektonik efek goncangan langsung ditimbulkan oleh
benturan kedua lempeng tektonik. Bila lempeng tektonik yang terlibat
adalah lempeng benua dengan lempeng samudera, maka akan terjadi
deformasi di dasar laut yang kemudian menimbulkan tsunami karena
batas lempengnya umumnya berada di dasar laut.
Gempabumi runtuhan adalah gempabumi lokal yang terjadi
apabila suatu gua di daerah batuan karst atau lokasi pertambangan
runtuh. Sedangkan gempabumi jatuhan meteor akibat kejatuhan
meteorit atau benda langit ke permukaan bumi. Hal ini pernah terjadi
di kawasan Arizona, Amerika hingga meninggalkan bekas berupa
lekukan tanah yang cukup lebar seperti membentuk sebuah kawah.
Gempabumi yang disebabkan oleh aktivitas dari manusia, yakni
seperti peledakan dinamit, nuklir, ledakan bom, atau palu yang
dipukulkan ke permukaan bumi.
c) Jenis Gempabumi Berdasarkan Urutan Kejadiannya
Berdasarkan proses kemunculan dan kesudahannya, Mogi
membedakan gempabumi atas beberapa jenis, di antaranya:

1) Gempabumi utama (main shock) langsung diikuti gempabumi


susulan tanpa gempabumi pendahuluan (fore shock).
2) Gempabumi sebelum terjadi gempabumi utama diawali dengan
adanya gempabumi pendahuluan dan selanjutnya diikuti oleh
gempabumi susulan.
3) Gempabumi terus‐menerus dan dengan tidak terdapat
gempabumi utama yang signifikan disebut gempabumi swarm.
Biasanya dapat berlangsung cukup lama dan bisa mencapai 3
bulan atau lebih. Terjadi pada daerah vulkanik seperti di Gunung
Lawu 1979, dan Kemiling, Bandar Lampung 2006.
B. Gunung Meletus
a) Definisi Gunung Meletus
Gunung berapi atau gunung api didefinisikan sebagai suatu
sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair atau lava).
Saluran fluida panas memanjang dari kedalaman sekitar 10 km di
bawah permukaan bumi sampai ke permukaan bumi. Termasuk
endapan hasil akumulasi material yang dikeluarkan pada saat gunung
api meletus.
Gunung meletus merupakan peristiwa yang terjadi akibat
endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas
yang bertekanan tinggi. Magma adalah cairan pijar yang terdapat di
dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni
diperkirakan lebih dari 1.000 °C. Cairan magma yang keluar dari
dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai
700-1.200 °C. Letusan gunung berapi yang membawa batu dan abu
dapat menyembur sampai sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan
lavanya bisa membanjiri sampai sejauh radius 90 km. Tidak semua
gunung berapi sering meletus. Gunung berapi yang sering meletus
disebut gunung berapi aktif.
Gunung api pada umunya ditemukan pada daerah-daerah
pertemuan lempeng yang berjenis divergen atau konvergen.
Pemekaran dasar samudra, misalnya Mid-Atlantic Ridge, merupakan
contoh pegunungan yang disebabkan pertemuan lempeng divergen
yang saling menjauh. Pegunungan sirkum pasifik merupakan salah
satu contoh pegunungan yang disebabkan oleh pertemuan lempeng
konvergen. Gunung api juga bisa disebabkan oleh adanya pemejaran
atau penipisan kerak bumi, yang biasa disebut gunung api intraplate
non hotspot, seperti African Rift Valley dan Rhine Graben.

b) Peyebab Gunung Meletus


1) Peningkatan kegempaan vulkanik
Aktivitas yang tidak biasa pada gunung berapi, seperti
frekuensi gempa bumi meningkat yang mana dalam sehari bisa
terjadi puluhan kali gempa tremor yang tercatat di alat
Seismograf. Selain itu terjadi peningkatan aktivitas Seismik dan
kejadian vulkanis lainnya hal ini disebabkan oleh pergerakan
magma, hidrotermal yang berlangsung di dalam perut bumi. Jika
tanda-tanda seperti diatas muncul dan terus berlangsung dalam
beberapa waktu yang telah ditentukan maka status gunung berapi
dapat ditingkatkan menjadi level waspada. Pada level ini harus
dilakukan penyuluhan kepada masyarakat sekitar, melakukan
penilaian bahaya dan potensi untuk naik ke level selanjutnya dan
kembali mengecek sarana serta pelaksanaan shift pemantauan
yang harus terus dilakukan.
2) Suhu kawah meningkat secara signifikan
Sebagai tanda bahwa magma telah naik dan mencapai
lapisan kawah paling bawah sehingga secara langsung akan
mempengaruhi suhu kawah secara keseluruhan. Pada gunung
dengan status normal, volume magma tidak terlalu banyak
terkumpul di daerah kawah sehingga menyebabkan suhu di
sekitar normal. Naiknya magma tersebut bisa disebabkan oleh
pergerakan tektonik pada lapisan bumi dibawah gunung seperti
gerakan lempeng sehingga meningkatkan tekanan pada dapur
magma dan pada akhirnya membuat magma terdorong ke atas
hingga berada tepat dibawah kawah. Pada kondisi seperti ini,
banyak hewan hewan di sekitar gunung bermigrasi dan terlihat
gelisah. Selain itu meningkatnya suhu kawah juga membuat air
tanah di sekitar gunung menjadi kering.
3) Terjadinya deformasi badan gunung
Peningkatan gelombang magnet dan listrik sehingga
menyebabkan perubahan struktur lapisan batuan gunung yang
dapat mempengaruhi bagian dalam sepeti dapur magma yang
volume-nya mengecil atau bisa juga saluran yang
menghubungkan kawah dengan dapur magma menjadi tersumbat
akibat deformasi batuan penyusun gunung.
4) Lempeng lempeng bumi yang saling berdesakan
Tekanan besar menekan dan mendorong permukaan bumi
sehingga menimbulkan berbagai gejala tektonik, vulkanik dan
meningkatkan aktivitas geologi gunung. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa lempeng merupakan bagian dari
kerak bumi yang terus bergerak setiap saat, dan daerah
pengunungan merupakan zona dimana kedua lempeng saling
bertemu, desakan lempeng bisa juga menjadi penyebab
perubahan struktur dalam gunung berapi.
5) Akibat tekanan yang sangat tinggi
Beberapa penyebab seperti yang dijelaskan pada bagian
sebelumnya mendorong cairan magma untuk bergerak ke atas
masuk ke saluran kawah dan keluar. Jika sepanjang perjalanan
magma menyusuri saluran kawah terdapat sumbatan, bisa
menimbulkan ledakan yang dikenal dengan letusan gunung
berapi. Semakin besar tekanan dan volume magma-nya maka
semakin kuat ledakan yang akan terjadi.
c) Tanda-Tanda Gunung Meletus
1) suhu di sekitar kawah naik;
2) banyak sumber air di sekitar gunung itu mengering;
3) sering terjadi gempa (vulkanik);
4) sering terdengar suara gemuruh dari dalam gunung;
5) banyak binatang yang menuruni lereng. Beberapa jenis hewan
mampu menangkap tanda-tanda alami bahwa gunung yang
ditempatinya akan meletus. Jenis hewan itu antara lain angsa,
kelelawar dan harimau

C. Tsunami
a) Defisini Tsunami
Kata tsunami berasal dari Jepang, yang dimana tsu berarti
pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Tsunami biasa terjadi jika
gempa bumi berada di dasar laut dengan pergerakan vertikal yang
cukup besar. Tsunami juga bisa terjadi jika terjadi letusan gunungapi
di laut atau terjadi longsoran di laut. Karena terdiri dari pulau-pulau,
maka Indonesia sangat rawan mengalami bencana tsunami. Bencana
tsunami merupakan suatu gelombang laut sangat besar yang
dihasilkan oleh perubahan vertikal massa air dan diakibatkan oleh
gangguan massa air di laut dalam secara tiba-tiba
(NERC,2000;Abbott, 2004 dalam Sunarto dkk, 2014:58). Tsunami
merupakan bencana yang biasanya terjadi setelah terjadinya gempa
bumi, namun tidak semua gempa mengakibatkan tsunami. Hanya
gempa besar dengan skala tertentu yang merupakan penyebab atau
pemancing tsunami.
b) Peyebab Tsunami
1) Pusat gempa dibawah dasar laut.
2) Kedalaman <60 Km (dangkal).
3) Kekuatan e”6 - e”6.5 SR.
4) Dasar laut mengalami penyesaran vertical (sesar naik atau sesar
turun).
5) Kolom air laut di atas episentrum tebal.
6) Terjadi ledakan dahsyat gunungapi dibawah
7) permukaan air laut (contoh; Gunungapi Krakatau, 1883).
8) Terjadi longsoran besar didasar laut
D. Banjir Bandang
a) Definisi Banjir Bandang
Banjir merupakan kejadian meningkatnya volume air dalam
saluran dan melampaui kapasitas daya tampung saluran. Sedangkan
banjir bandang merupakan banjir yang berlangsung dalam waktu yang
singkat sekitar 6 jam disebabkan oleh hujan lebat, bendungan jebol,
tanggul jebol. Karakteristik banjir bandang dengan cepatnya kenaikan
muka air sungai/saluran. Pada proses banjir bandang merupakan
proses lanjutan, dengan didahului oleh tanah longsor akibat hujan
lebat. Banjir bandang membawa material berupa lumpur, batang kayu,
dan batu-batuan yang merupakan hasil longsoran. Banjir bandang
memiliki sifar sangat merusak dan menimbulkan banyak korban jiwa
pada daerah yang dilalui akibat tidak sempatnya dilakukan evakuasi
pada saat kejadian, dan kerusakan pada bangunan akibat gempuran
material yang dibawa banjir.
b) Peyebab Banjir Bandang
Banjir Bandang dipicu oleh beberapa faktor antara lain,
geomorfologi yang bergunung dan lereng curam; formasi geologi
terdiri dari batuan vulkanik muda; vegetasi penutup tidak mendukung
penyerapan air hujan seperti hutan gundul, lahan kritis, dan tumbuhan
yang ada tidak mampu menopang tanah; kejadian longsor yang
menyebabkan terbendungnya sungai dibagian hulu; perilaku
eksploatif manusia terhadap lingkungan tanpa dilakukan konservasi
tanah dan air. Pada umumnya untuk kejadian banjir bandang didahului
oleh:
1) Hujan lebat
2) Banyak pohon tumbang
3) Kayu terbawa pemukiman
4) Debit air lebih tinggi
5) Air keruh
6) Penyusutan muka air sungai
7) Adanya suara gemuruh
Daerah yang merupakan kawasan rawanbencana banjir
bandang antara lain, kawasan dengan bentang alam kontras antara
perbukiran dengan kemiringan lereng yang curam menjadi dataran
rendah; daerah zona endapan yang membentuk bentang lahan berupa
aluvial fan yaitu zona akumulasi sedimen banjiryang membentuk
morfologi seperti kipas; daerah hulu terdiri dari batuan lapuk pada
zona gempa, sehinga adanya gempa akan memicu terjadinya longsor
pada tebing sungai dengan kelerengan tinggi.
2.2 Identifikasi Penyakit Khusus Beserta Penanganannya
2.2.1 Penyakit Akibat Gempa Bumi dan Penanganannya
A. Penyakit Akibat Gempa Bumi
Salah satu permasalahan kesebatan akibat bencana adalah
meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak
menular. Bahkan, tidak jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa
penyakit menular tertentu, seperti KLB diare dan disentri yang
dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang memburuk akibat bencana
seperti banjir. Diagram 1, misalnya, memperlihatkan infeksi saluran
pemafasan akut (ISPA) merupakan keluhan yang paling banyak diderita
pengungsi sepuluh jenis penyakit bencana letusan Gunung Merapi tahun
2010 di Kabupaten Sleman. Data EHA - WHO Indonesia (2010) per 27
Oktober 2010 juga mencatat 91 korban bencana Merapi harus dirujuk ke
RS Sardjito di Y ogyakarta, sebagian besar diantaranya karena
mengalami gangguan pemafasan dan!atau Iuka bakar.

Permasalahan kesehatan Iingkungan dan sanitasi juga sering


dijumpai pada kondisi bencana alam. Berbagai literatur menunjukkan
bahwa sanitasi merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap awal
setelah terjadinya bencana (The Sphere Project, 201 L; Tekeli-Yesil,
2006). Kondisi lingkungan yang tidak higienis, persediaan air yang
terbatas dan jamban yang tidak memadai, misalnya, seringkali menjadi
penyebab korban bencana lebih rentan untuk mengalarni kesakitan
bahkan kematian akibat penyakit tertentu. Permasalahan tersebut
termasuk terkait penilaian kebutuhan (assessment) yang tidak mudah
dan cepat, ketersediaan dan kecukupan sarana, distribusi dan akses
yang tidak merata, privasi dan kenyamanan korban bencana (khusunya
kelompok perempuan) serta kurangnya kesadaran dan perilaku
masyarakat terkait sanitasi pada kondisi darurat bencana.
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan
kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana
yang berdampak kepada masyarakat dalam waktu relatif lama. Studi
Hapsari dkk (2009) mengidentifkasi temuan menarik berkaitan dengan
kebutuhan pelayanan keluarga berencana (KB) paskabencana gempa
bumi di Bantul (Yogyakarta) pada tahun 2006. Satu tahun paskagempa,
mereka yang menggunakan alat KB suntik dan implant cenderung
menurun, sebaliknya mereka yang menggunakan pil KB dan metode
pantang berkala cenderung meningkat. Studi ini juga menunjukkan
bahwa prevalensi kehamilan tidak direncanakan lebih tinggi dijumpai
pada mereka yang sulit mengakses pelayanan K.B dibandingkan
mereka yang tidak mengalami kendala. Oleh karena itu, peran penting
petugas kesehatan diperlukan, tidak hanya untuk memberikan
pelayanan K.B pada situasi bencana, tetapi juga untuk mengedukasi
pasangan untuk mencegah kejadian kehamilan yang tidak
direncanakan.
B. Mitigasi Gempa Bumi
1) Sebelum Gempa Bumi
Pertama yang harus dilakukan adalah mengenali daerah yang
kita tinggali termasuk kepada tingkat kerawanan gempabumi bumi
seperti apa (ringan, sedang, rawan, sangat rawan). Kemudian
memastikan bahwa struktur dan letak rumah kita dapat terhindar dari
bahaya yang disebabkan gempabumi (longsor, liquefaction, dan
lain‐lain). Jika memungkinkan lakukanlah evaluasi dan renovasi
ulang struktur bangunan agar terhindar bahaya gempabumi.
Perhatikan juga letak pintu, lift, serta tangga darurat, apabila terjadi
gempabumi, sudah mengetahui tempat paling aman untuk
berlindung. Tak ada salahnya mulai belajar melakukan pertolongan
darurat medis dan kecelakaan serta penggunaan alat pemadam
kebakaran. Siapkan daftar nomor telpon penting yang dapat
dihubungi pada saat terjadi gempabumi.
Untuk rumah tinggal perlu dilakukan persiapan rutin, di
antaranya : perabotan (lemari, kabinet) diatur menempel pada
dinding dengan cara dipaku atau diikat untuk menghindari jatuh,
roboh, bergeser pada saat terjadi gempabumi, menyimpan bahan
yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah pecah, agar
terhindar dari kebakaran, selalu mematikan air, gas, dan listrik
apabila sedang tidak digunakan .
Biasanya penyebab kecelakaan yang paling banyak pada saat
gempabumi bumi adalah akibat kejatuhan material. Oleh karenanya
perlu diatur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian
bawah. Cek kestabilan benda yang tergantung yang dapat jatuh pada
saat gempabumi terjadi, misal: lampu. Peralatan yang harus ada di
setiap tempat, antara lain: obat‐obatan medis, lampu senter, radio
komunikasi, makanan suplemen, dan air. Ada baiknya menyediakan
helm pengaman di rumah, sekolah, atau kantor sebagai langkah
antisipasi.
2) Ketika Gempa Bumi
Walaupun terjadi gempabumi bumi dan situasi buruk
hendaklah masing‐masing kita tetap tenang, hati‐hati, dan jangan
panik. Getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu,
kita harus mengupayakan keselamatan diri kita dan keluarga kita.
Berlindunglah di tempat yang paling aman. Tetap waspada, hindari
reruntuhan dan retakan bangunan. Jika sempat, berlari ke luar rumah
atau gedung apabila masih dapat dilakukan melalui tangga darurat.
Jika berada dalam bangunan lindungi kepala dan badan kita
dari reruntuhan bangunan. Kemudian mencari tempat yang paling
aman dari reruntuhan goncangan seperti di bawah meja, di sudut
ruangan yang kuat, bersandar pada dinding sebelah dalam atau di
bawah kusen. Jika kita tidak memiliki meja, lindungi kepala kita
dengan bantal, tas, buku, atau benda‐benda aman terdekat kita.
Apabila berada di pusat keramaian seperti mall, bioskop,
apartemen, hotel, dan lainnya, jangan menyebabkan kepanikan atau
korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari pegawai atau
satpam. Jangan menggunakan lift saat terjadi gempabumi atau
kebakaran. Jika kita merasakan getaran gempabumi saat berada di
dalam lift, maka tekanlah semua tombol. Ketika lift berhenti,
keluarlah, lihat keamanannya dan mengungsilah. Jika kita terjebak
dalam lift, hubungi manajer gedung dengan menggunakan
interphone jika tersedia. Akan tetapi apabila berada di luar bangunan
atau area terbuka, hindari bangunan yang ada di sekitar kita seperti
gedung, tiang listrik, pohon. Perhatikan tempat kita berpijak, hindari
apabila terjadi rekahan tanah. Lindungi kepala kita dan hindari
benda‐benda berbahaya. Di daerah perkantoran atau kawasan
industri, bahaya bisa muncul dari jatuhnya kaca‐kaca dan papan‐
papan reklame. Lindungi kepala kita dengan menggunakan tangan,
tas, atau apapun yang kita bawa.
Jika kita sedang mengendarai mobil segera keluar, turun, dan
menjauh dari mobil. Hindari jika terjadi rekahan tanah atau
kebakaran. Untuk penduduk atau wisatawan yang sedang berada di
pantai, jauhi pantai menuju ke tempat yang lebih tinggi untuk
menghindari terjadinya tsunami. Sedangkan di daerah pegunungan,
apabila terjadi gempabumi hindari daerah yang mungkin terjadi
longsoran.
3) Sesudah Gempa Bumi
Apabila berada di dalam bangunan, segera keluar dengan
tertib. Jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakan
tangga biasa. Periksa apakah ada yang terluka, lakukan pertolongan
medis sementara. Telepon atau mintakan pertolongan apabila terjadi
luka parah pada kita atau sekitar kita. Lakukan evakuasi korban
secepat mungkin. Periksa lingkungan sekitar kita bila terjadi
kebakaran, kebocoran gas, arus pendek, aliran dan pipa air serta hal‐
hal yang dapat membahayakan lainnya. Jangan masuk ke dalam atau
mendekati bangunan yang sudah rusak terkena gempa karena
kemungkinan sewaktu‐waktu dapat runtuh akibat gempabumi
susulan kecuali sudah mendapat rekomendasi dari tim ahli
gempabumi dan bangunan sipil. Menyimak informasi mengenai
gempabumi susulan dari media cetak maupun media elektronik.
Evakuasi, tempat‐tempat pengungsian biasanya telah diatur
oleh pemerintah daerah. Pengungsian perlu dilakukan jika
kebakaran meluas akibat gempabumi. Pada prinsipnya, evakuasi
dilakukan dengan berjalan kaki di bawah kawalan petugas polisi atau
instansi pemerintah. Bawalah barang‐barang secukupnya.
Dengarkan informasi, saat gempabumi besar terjadi,
masyarakat terpukul kejiwaannya. Untuk mencegah kepanikan,
penting sekali setiap orang bersikap tenang dan bertindaklah sesuai
dengan informasi yang benar. Kita dapat memperoleh informasi
yang benar dari pihak berwenang, polisi, atau petugas pemerintah
daerah setempat. Jangan bertindak karena informasi orang yang
tidak jelas.
4) Pendidikan Kesiapsiagaan
Hal yang tidak kalah penting artinya adalah pendidikan dan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya tsunami
sebagai salah satu komponen dari tiga komponen integral Ina TEWS.
Informasi warning tsunami yang diterima oleh institusi perantara
seperti Pemda serta institusi terkait lainnya harus sampai ke
masyarakat dan masyarakat dapat menindak lanjuti warning tersebut
dengan upaya evakuasi. Untuk itu, diperlukan upaya pendidikan dan
kesiapsiagaan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami.
Institusi yang terlibat dalam rangka pendidikan kebencanaan
tsunami Indonesia baik dari dalam negeri maupun internasional
antara lain: Ristek, LIPI, BMKG, Universitas, PMI, Pemda, LSM,
Unesco, GTZ, dan lain‐lain.
Contoh konkrit adalah ikut mengamankan peralatan deteksi
bencana yang ada di wilayahnya, menyiapkan peta resiko tsunami
beserta skenario penyelamatan, menyiapkan tempat evakuasi beserta
peta pencapaiannya, memasang rambu‐rambu petunjuk/arah
evakuasi, membangun pusat krisis/pusat komando, melakukan
latihan‐latihan evakuasi tsunami (tsunami‐drill) secara berkala,
membangun sirine, membangun atau menentukan gedung
penyelamat (escape building/tsunami shelter), memasukkan
pertimbangan kebencanaan dalam penyusunan tata‐ruang dan
memasukkan pendidikan kebencanaan dalam muatan lokal
kurikulum sekolah.
Salah satu implementasi untuk menguji kesiapan Ina TEWS
adalah dengan melakukan tsunami drill setiap tanggal 26 Desember.
Tsunami drill pertama dilakukan di Padang tanggal 26 Desember
2005, di Bali 26 Desember 2006, di Banten 26 Desember 2007, dan
tahun 2009 akan dilakukan bersamaan di beberapa tempat antara lain
Aceh dan Gorontalo. Tsunami drill berjalan dengan baik dan
mendapat sambutan positif dari Pemda serta masyarakat.
2.2.2 Penyakit Akibat Gunung Meletus dan Penganannya
A. Penyakit Akibat Gunung Meletus
1) Gangguan pernapasan
Pada beberapa letusan gunungapi, partikel abu sangat halus
sehingga dapat masuk ke paru-paru ketika kita bernapas. Apabila
paparan terhadap abu cukup tinggi, maka orang yang sehatpun akan
mengalami kesulitan bernapas disertai batuk dan iritasi. Beberapa
tanda-tanda penyakit pernapasan akut (jangka waktu pendek) akibat
abu gunung api:
 Iritasi hidung dan pilek
 Iritasi dan sakit tenggorokan, kadang disertai dengan batuk
kering
 Untuk penderita penyakit pernapasan, abu gunungapi dapat
menyebabkan penyakit menjadi serius seperti tanda-tanda
bronkitis akut selama beberapa hari (seperti: batuk kering,
produksi dahak berlebih, mengi dan sesak napas)
 Iritasi saluran pernapasan bagi penderita asma atau bronkitis;
keluhan umum dari penderita asma antara lain sesak nafas,
mengi dan batuk
 Ketidaknyamanan saat bernapas
Dalam beberapa kasus, paparan jangka panjang terhadap abu
gunungapi halus dapat menyebabkan penyakit paru-paru serius.
Dalam hal ini, abu gunungapi harus berukuran sangat halus serta
mengandung silika kristal (untuk penyakit silikosis) dan orang-
orang tersebut terkena abu dalam konsentrasi tinggi selama
bertahun-tahun. Paparan terhadap silika kristal dalam abu gunungapi
biasanya dalam jangka waktu yang pendek (beberapa hari hingga
minggu). Studi juga menunjukkan bahwa batas paparan yang
direkomendasikan (sama di beberapa negara) dapat terlampaui untuk
jangka waktu yang singkat bagi penduduk secara umum. Para
penderita asma atau masalah paru-paru lainnya seperti bronkitis dan
emfisema, dan gangguan jantung.
2) Penyakit mata
Iritasi mata merupakan dampak kesehatan umum yang
sering dijumpai. Hal ini terjadi karena butiran-butiran abu yang
tajam dapat merusak kornea mata dan membuat mata menjadi
merah. Pengguna lensa kontak diharapkan menyadari hal ini dan
melepas lensa kontak mereka untuk mencegah terjadinya abrasi
kornea.
Tanda-tanda umum antara lain:
 Merasakan seolah-olah ada partikel yang masuk ke mata.
 Mata menjadi sakit, perih, gatal atau kemerahan
 Mengeluarkan air mata dan lengket.
 Kornea lecet atau tergores.
 Mata merah akut atau pembengkakan kantong mata sekitar
bola mata karena adanya abu, yang mengarah pada
memerahnya mata, mata terbakar dan menjadi sangat sensitif
terhadap cahaya
3) Iritasi kulit
Meskipun jarang ditemukan, abu gunung api dapat menyebabkan
iritasi kulit untuk sebagian orang, terutama ketika abu gunungapi
tersebut bersifat asam.
Tanda-tandanya antara lain:
 Iritasi dan memerahnya kulit.
 Infeksi sekunder akibat garuk
B. Mitigasi Gunung Meletus
Gunung berapi atau gunung api adalah bentuk timbunan (kerucut
dan lainnya) dipermukaan bumi yang dibangun oleh tibunan rempah
letusan, atau tempat munculnya batuan lelehan atau magma/rempah
lepas/gas yang berasal dari dalam bumi. Upaya mitigasi bencana gunung
berapi, yaitu:
1) Pemantauan
aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan alat
pencatat gempa (seismograf).
2) Tanggap Darurat
mengevaluasi laporan dan data, membentuk tim Tanggap Darurat,
mengirimkan tim ke lokasi, melakukan pemeriksaan secara terpadu.
3) Pemetaan
Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi dapat menjelaskan
jenis dan sifat bahaya gunung berapi, daerah rawan bencana, arah
penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan
bencana.
4) Penyelidikan
gunung berapi menggunakan metoda Geologi, Geofisika, dan
Geokimia.
5) Sosialisasi
petugas melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta
masyarakat terutama yang tinggal di sekitar gunung berapi.
2.2.3 Penyakit Akibat Tsunami dan Penanganannya
A. Penyakit Akibat Tsunami
1) Penyakit menular yang terkait kematian korban
Adanya korban yang meninggal di daerah yang terkena
tsunami merupakan risiko terjadinya wabah (de ville de Goyet C,
2004). Meskipun demikian beberapa fakta lain juga menyebutkan
bahwa mayat tidak menimbulkan risiko wabah setelah bencana alam
(Morgan O, 2004). Sebaliknya risiko wabah lainnya adalah terkait
dengan parahnya daerah cakupan bencana, status kesehatan dan
kondisi kehidupan penduduk mengungsi akibat bencana. Banyaknya
pengungsi yang menempati daerah penampungan, air yang tidak
memadai dan sanitasi, dan akses yang buruk terhadap kesehatan
layanan akan meningkatkan risiko penularan penyakit menular
(WHO, 2006 ). Meskipun risiko keseluruhan wabah penyakit
menular lebih rendah namun risiko yang lebih tinggi adalah bila
terjadi penularan penyakit endemik dan epidemik yang terdapat di
daerah bencana. Di Thailand penelitian Somboonna et al., (2014)
dilaporkan adanya perubahan ekologi dari mikroba di daerah yang
terkena tsunami dibandingkan dengan mikroba sebelum tsunami.
2) Penyakit Melalui Air (Water-borne Disease)
Wabah penyakit diare dapat terjadi setelah terjadinya
tsunami. Ketersediaan air dan sanitasi lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan berpotensi terjadinya diare.
Kontaminasi air minum dengan agen penyakit, telah dilaporkan
pasca terjadinya tsunami. Wabah diare pasca bencana di Bangladesh
pada tahun 2004 lebih dari 17.000 kasus. Hasil isolasi penyebab
diare ditemukan bakteri Vibrio cholerae (O1 Ogawa dan O1 Inaba)
dan enterotoksigenik Escherichia coli (Qadri et al., 2004). Lebih dari
16.000 kasus wabah kolera (O1 Ogawa) di West Bengal pada tahun
1998 ini terjadi setelah bencana (Sur, 2000). Risiko wabah penyakit
diare akibat bencana alam lebih tinggi di Negara berkembang
dibandingkan dengan di negara maju (Ahern et al., 2005). Di Kota
Calang Propinsi Aceh ketika terjadi tsunami dua minggu setelah
tsunami Desember 2004 seluruh penduduk (100%) dari korban
tsunami minum dari sumur yang tidak dimasak, sekitar 85% dari
penduduk tersebut dilaporkan menderita diare (Brennan et al., 2005).
3) Penyakit yang Berhubungan dengan Tempat Pengungsian
Kondisi di tempat pengungsian pasca tsunami juga faktor
yang mempengaruhi transmisi penyakit. Penyakit yang dapat terjadi,
yang berhubungan dengan tempat penampungan, salah satunya
adalah campak. Di Aceh setelah tsunami ditemukan 35 kasus
campak yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Kasus tersebut terjadi
sporadis yang meskipun kampanye vaksinasi massal telah dilakukan
dan kasus kematian akibat meningitis di tempat pengungsi tsunami
di Aceh pernah juga dilaporkan ((Ministry of Health, Indonesia et
al., 2005) Selanjutnya, untuk penyakit yang berhubungan dengan
tempat pengungsian adalah ISPA. ISPA merupakan penyebab utama
penyebab morbiditas dan mortalitas di tempat pengungsi, terutama
pada anak usia kurang 5 tahun. Daito et al., (2013) menyebutkan
bahwa kurangnya akses ke layanan kesehatan dan antibiotik yang
tidak adekuat untuk perawatan lebih lanjut meningkatkan risiko
kematian akibat ISPA. Jumlah pengungsi yang terlalu banyak pada
tempat penampungan merupakan penyumbang tertinggi kasus
kematian di tempatt tsunami di Aceh pada tahun 2004 (Ministry of
Health, Indonesia et al., 2005).
4) Penyakit dengan Perantaraan Vektor (Vector-borne Disease)
Bencana tsunami akan merubah bentang alam sehingga
mempengaruhi lingkungan. Perubahan tersebut akan berpengaruh
perkembangbiakan vektor penularan penyakit. Adanya genangan air
pasca tsunami a berpotensi sebagai tempat sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk. Hal ini dapat mengakibatkan
peningkatan populasi vektor yang berpotensi untuk transmisi
penyakit. Menurut WHO (2015) air yang tidak mengalir atau
tergenang sisa pada waktu tsunami merupakan tempat vector utama
penyebab malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Faktor
kerentanan penduduk juga merupakan faktor risiko terjadinya
infeksi. Kerusakan infrastuktur pelayanan kesehatan juga
merupakan factor risiko di daerah terjadinya tsunami. (Lifson,
1996). Risiko wabah penyakit bawaan vektor dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti perubahan perilaku manusia seperti
peningkatan paparan nyamuk waktu tidur di luar, perpindahan
vektor dari daerah non endemik ke daerah endemik (WHO 2006).
5) Penyakit Lain yang Terkait Dengan Bencana Tsunami
Beberapa penyakit lainnya juga pernah dilaporkan timbul
pasca tsunami. Akibat korban luka, terutama pada populasi di mana
tingkat cakupan vaksinasi rutin yang rendah, akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas terhadap tetanus. Ketika terjadi tsunami di
Aceh ditemukan 106 kasus tetanus, sebanyak 20 kasus
mengakibatkan (Aceh Epidemiology Group, 2006). Kasus yang
sama juga dilaporkan di Pakistan setelah gempa bumi 2005. Wabah
yang tidak biasa dari coccidiomycosis pernah terjadi tahun 1994
waktu gempa di Selatan California. Infeksi ini tidak ditularkan dari
orang ke orang, tetapi disebabkan jamur, yang ditemukan dari dalam
tanah.. Wabah ini dikaitkan dengan peningkatan kadar debu di udara
setelah tanah longsor sebagai akibat dari bencana (WHO, 2006).
B. Mitigasi Tsunami
1) Sebelum Kejadian
a. Selalu mempersiapkan diri dengan peralatan meliputi senter,
radio transistor dan PPPK serta perbekalan secukupnya. Peralatan
semacam ini sangat berguna pada saat terjadi bencana, karena
biasanya listrik padam, perlunya obat-obatan serta informasi
resmi mengenai situasi dan kondisi daerah bencana.
b. Memahami dan menguasai tempat yang aman dan jalur evakuasi
jika tsunami terjadi. Pemahaman yang baik akan membantu
kelancaran proses evakuasi dan mempersingkat waktu evakuasi
sehingga akan meminimalkan korban dan kerugian akibat
bencana.
c. Mendengarkan informasi yang resmi yang berhubungan dengan
bencana yang terjadi. Adanya bencana kadang dimanfaatkan oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencari keuntungan
dengan menyebarkan berita seputar bencana yang meresahkan
masyarakat.
d. Mendiskusikan dengan teman dan tokoh masyarakat yang
memiliki pengetahuan dan pengalaman. Hal ini penting karena
dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kebencanaan
serta merupakan upaya menjalin koordinasi dan kerjasama
sesama anggota masyarakat.
e. Menjalin hubungan dengan pemerintah atau pihak lain yang dapat
memberi bantuan. Hal ini merupakan salah satu yang penting
dalam keadaan darurat akibat bencana. Korban bencana akan
segera memperoleh pertolongan karena sebelumnya telah terjalin
koordinasi dengan pihak pemberi bantuan baik pemerintah
maupun pihak lain.
f. Menjaga kelestarian alam pantai terutama hutan mangrove
(bakau) di daerah pantai yang dapat berfungsi sebagai penahan
gelombang alamiah. Bakau yang mempunyai perakaran
bercabang dan menancap ke dasar batuan merupakan salah satu
barier (penahan) gelombang alamiah sehingga dapat mencegah
terjadinya abrasi pantai atau jika bencana tsunami datang
setidaknya telah terhambat oleh keberadaan hutan bakau.
2) Saat Kejadian
Saat gempa bumo terjadi di daerah pantai, setelah terasa
gempa diikuti dengan air laut secara tiba-tiba surut dan bergerak
secara cepat, maka segera tinggalkan pantai menuju ke tempat yang
lebih tinggi. Karena hal tersebut merupakan indikasi akan datangnya
gelombang tsunami. Jangan terkecoh dengan banyaknya ikan yang
ada di pantai akibat air laut yang surut. Bila ada kejadian yang
demikian segeralah untuk memberitahu masyarakat sekitar dengan
cara membunyikan alarm tanda bahaya yang sudah disepakati.
3) Setelah Kejadian
Setelah bencana terjadi, para pengungsi telah diungsikan ke
tempat aman, langkah-langkah yang dilakukan antara lain :

a. Mengecek anggota keluarga dan sanak saudara kita. Hal ini


dilakukan untuk mengetahui jumlah yang selamat dan korban
jiwa akibat bencana khusunya keluarga dan sanak saudara kita
b. Menyiapkan dapur umum (khususnya para wanita). Hal ini
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makanan secara
terkoordinasi bagi semua pengungsi.
c. Menyiapkan tenda-tenda darurat atau yang lain untuk berteduh
(khususnya kaum pria). Hal ini dilakukan untuk tempat berteduh
dan istirahat sementara yang terkoordinasi bagi semua
pengungsi.
d. Segera menghubungi dan mendatangi poskoposko batuan untuk
mendapatkan makanan bergizi, selimut dan obat-obatan.
e. Segera menghubungi dan mendatangi posko kesehatan untuk
memeriksakan diri agar terhindar dari penyakit yang umum
pasca bencana seperti diare, infeksi saluran pernafasan atas,
penyakit kulit, dan penyakit menular lainnya.
f. Melakukan rehabilitasi dan rekontruksi daerah pasca bencana
(oleh pemerintah baik pusat maupun daerah)
2.2.4 Penyakit Akibat Banjir Bandang dan Penanganannya
A. Penyakit Akibat Banjir Bandang
Masalah kesehatan yang disebabkan oleh banjir bandang antara lain
diarem leptospirosis, muntaber, penyakit kulit, infeksi saluran
pernapasan akut, serta trauma dan depresi.
1) Leptospirosis
Leptospirosis atau yang juga disebut Weil disease, Canicola
fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever atau Swineherd Disease
adalah infeksi epidemi yang ditularkan langsung memalui air.
Penyakit zoonis ini ditularkan dari darah atau urin hewan yang
terinfeksi utamnya anjing, hewan pengerat seperti tikus dan
kelompok hewan ternak seperti sapi atau babi. Penularan penyakit
ini dapat melalui kontak lendir dan selaput lendir dengan air, tanah
basah, vegetasi atau lumpur yang terkontaminasi. Kejadian banjir
mempercepat terbawanya urin hewan melului genangan banjir.
Leptospirosis pada umumnya menunjukkan gejala secara
mendadak dalam waktu dua minggu setelah terinfeksi. Bahakn untuk
sebagian kasus gejala baru muncul setelah satu bulan. Pada sebagian
besar kasus penyakit akan pulih dalam waktu satu minggu, namun
untuk beberapa kasus akan berkembang pada tahap kedua yang
dikenal dengan penyakit Weil yang ditandai dengan nyeri dada, serta
kaki dan tangan bengkak. Selama terserang tahap kedua penyakit
leptospirosis ini, bakteri dapat menyerang organ lain sehingga
kondisi menjadi lebih parah. Keadaan tersebut ditunjukkan dengan:
 Gangguan pada paru-paru dengan gejala batuk, napas
pendek, dan batuk yang mengeluarkan darah.
 Gangguan pada ginjal yang dapat berujung dengan kondisi
gagal ginjal.
 Gangguan pada otak yang ditunjukkan dengan gejala
meningitis.
 Gangguan pada jantung yang memicu peradangan jantung
(miokarditis) atau gagal jantung.
2) Diare
Keadaan banjir bandang mengakibatkan gangguan pada
sistem sanitasi sehingga menyebabkan terjadinya diare. Diare
disebabkan oleh infeksi banteri Salmonella enterica serotip
Paratyphi A. Kekurangan air bersih membuat orang-orang dapat
daerah bencana membuat korban meminum air yang
terkontaminasi bakteri untuk bertahan hidup.
Gejala diare bervariasi. Penderita bisa merasakan satu atau
lebih gejala. Namun, gejala yang paling sering dirasakan penderita
diare antara lain:
 Perut terasa mulas.
 Tinja encer atau bahkan berdarah.
 Mengalami dehidrasi.
 Pusing, lemas, dan kulit kering.
3) Anxietas
Anxietas atau kecemasan merupakan suatu keadaan tegang
yang berlebih atau tidak pada tempatnya yang ditandai dengan
perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut. Pada suatu kondisi
tertentu, rasa takut seseorang akan menjadi tidak terhubung dari
bahaya yang sesungguhnya, atau sebaliknya rasa takut tersebut akan
tetap ada meskipun situasi bahaya atau situasi ketidakpastian
tersebut sudah menjadi masa lalu. Hal tersebut dapat menyebabkan
kecemasan kronik, yang ditandai dengan menetapnya perasaan
ketegangan untuk mengantisipasi sesuatu yang buruk, atau musibah
menyebabkan serangan panik, perasaan cemas yang berlebihan,
yang berlangsung sesaat menyebabkan fobia, ketakutan yang
berlebihan terhadap suatu situasi atau hal tertentu menyebabkan
gangguan obsesif-kompulsif, di mana seseorang akan mengulang-
ulang suatu tindakan atau suatu ritual tertentu untuk menghilangkan
perasaan cemas yang dimilikinya.
B. Mitigasi Banjir Bandang
1) Sistem Peringatan Dini
Pada umumnya Bantir Bandang disebabkan oleh curah hujan
yang tinggi. Upaya untuk mempredikdi intensitass hujan sangat
dibutuhhkan. Satsiun cuaca pada beberpa tempat yang mewakili,
sarana data satelit dan radar cuaca sangat diperlukan untuk
mengetahui intensitas hujan secara spasial dan temporal,serta dapat
membantu menignkatkan akurasi prediksi hujan. Selain prediksi
hujan, upaya peringatan dini kejadian banjir bandang juga harus
diketaui respon ujan terhadap terjadinya limpasan air permukaan
yang berpotensi menjadi banjir dengan mengetahui tipologi
kesehatan Daera Aliran Sungai (DAS).
Secara tradisional peringatan dini bencana banjir dilakukan
dengan menggunakan kentongan atau dengan teriakan adanya
bencana. Sistemperingatan dini banjir secara modern menggunakan
alat penakar curah hujan dan alat pengukur ketinggian muka air
sungai. BPPT mengembangkan sistem peralatan yang lebih maju
menggunakan sensor tambahan yaitu akselerometer, geophone,
pengukur kelembapan tanah dan bentang kawat/kabel.
2) Identifikasi zona berbahaya
Untuk mengidentifikasi zona bahaya banjir bandang, maka
diperlukan pemetaandaerah bahaya dengan pendekatan karakteristik
geomorfologi dan hidrologi.identifikasi dapat dialkukan dengan cara
foto udara dengan skala lebih besar, sehingga mampu menganalisis
keterkaitan dengan informasi ketinggi banjir uang pernah tejadi.
Data dapat dilengkapi dengan kombinasi karakteristik data
geomorfologi serta data aliran sungai.
3) Kesiapsiagaan Masyarakat
Kesiapsiagaan masyarakat merupakan aspek yang penting
dalam menanggulangi banjir bandang, hal tersebut berkaitan dengan
response terhadap peringatan banjir bandang. Pada dasarnya dalam
menghadapi bahaya banjir bandang, terdapat tiga cara yaitu:
a. memperperkuat diri, langka ini dapat dilakukan dengan
membust tanggul penahan, memperkuat
bangunanpengendali banjir, dan lain-lain.
b. menghindari daerah bahaya, yaitu dengan mencari daerah
yang relatif aman, dengan tidak tinggal di daerah dataran
rendah atau rawan banjir.
c. hidup harmoni dengan bahaya, dengan mengetahui perilaku
bencana sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan.
Kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana juga
sangat diperlukan, karena masyarakat merupakan bagian pertama
yang akan menrasakan dampak bencana. Selain upaua diatas,
masyarakat memerlukan empat hal untuk menghadapi bencana
banjir bandang, yaitu:
a. kemampuan untuk mengantisipasi ancaman bahaya banjir
b. kemampuan menghindar atau melawan bahaya banjir
c. kemampuan untuk mengadaptasi bencana dan dampak yang
ditimbulkan
d. kemampuan untuk pulih kembali secara cepat paska kejadian
bencana.

2.3 Masalah yang Muncul Pasca Bencana


Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk
dapat dilihat dari berhagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi.
Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan yang sehenamya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Bencana
gempa bumi, hanjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat
berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang memerlukan
perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas
kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health Organization, 2006).
Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang
berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang
merupakan awal dari perkembang biakan beberapa jenis penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses
terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan
mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana.
Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi syarat
kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan
daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah
di hidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi
bencana sering menemui banyak kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak
memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga
kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak
lehih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001). Dampak bencana terhadap
kesehatan masyarakat relatif berheda-beda, antara lain tergantung dari jenis dan
besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan perawatan medis,
misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana gempa bumi dibandingkan
dengan kasus cedera akibat banjir dan gelomhang pasang. Sebaliknya, bencana
banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyehahkan kerusakan sistem
sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB)
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-bornediseases) seperti
diare dan leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa humi, selain dipengaruhi
kekuatan gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi hanyak sedikitnya
korban meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada
hari terjadinya gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health
Organization, 2006).
Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia memberikan dampak dan
pengaruh terhadap kualitas hidup penduduk yang dapat dirasakan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Salah satu dampak langsung dari terjadinya
bencana alam terhadap penduduk adalah jatuhnya korban jiwa, hilang dan luka-
luka. Sedangkan dampak tidak langsung terhadap penduduk antara lain adalah
terjadinya banyak kerusakan-kerusakan bangunan perumahan penduduk, sarana
sosial seperti bangunan sekolah, rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya,
perkantoran dan infrastruktur jalan, jembatan, jaringan listrik dan telekomunikasi.
Selain itu, terjadinya bencana alam juga mengakibatkan adanya kerugian ekonomi
bagi penduduk, seperti kerusakan lahan pertanian dan kehilangan mata pencaharian,
terutama bagi penduduk yang bekerja disektor in formal.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses
terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan
mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana.
Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi syarat
kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan
daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah
di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi
bencana sering menemui banyak kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak
memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga
kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak
lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda,
antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera
yang memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada
bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan
gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif
lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta
menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan leptospirosis. Terkait
dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan gempa, ada tiga faktor
yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban meninggal dan cedera akibat
bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan kepadatan
penduduk (Pan American Health Organization, 2006).
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1). Bayi, balita
dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang
cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam
Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara
Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan ‘orang sakit’ sebagai bagian dari
kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu
diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi,
pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan dan psikososial.

2.4 Penanganan Masalah Pasca Bencana


1) Menyediakan air bersih dan sanitasi.
Pencegahan penyakit menular sangat penting dilakukan pasca
bencana alam. Penyediaan air minum yang aman paling penting untuk
pencegahan setelah bencana alam. Desinfektan seperti klorin harus tersedia
dalam jumlah yang cukup karena desinfektan ini mudah digunakan dan
efektif terhadap hampir semua patogen yang ditularkan melalui air
(Moszynski, 2005). Perencanaan permukiman harus menyediakan akses
yang memadai untuk kebutuhan air dan sanitasi serta memenuhi kebutuhan
ruang minimum per orang, sesuai dengan standar internasional (WHO,
2006).
2) Layanan kesehatan primer
Menurut Depkes (2011) layanan kesehatan primer pasca bencana
harus dikoordinasi mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat
kecamatan/puskesmas. Pusat layanan kesehatan primer (Puskesmas) utama
yang harus dilakukan adalah menyelenggaran kesehatan dasar di
penampungan, memeriksa kualitas air dan sanitasi serta surveilans penyakit
menular. Menurut WHO (2006) dampak langsung dari penyakit menular
dapat dikurangi dengan intervensi oleh layanan kesehatan.
3) Surveillance dan sistem peringatan dini
Deteksi cepat kasus wabah penyakit rawan sangat penting untuk
memastikan kontrol yang cepat. Pengawasan dan peringatan dini harus
cepat dilakukan untuk mendeteksi wabah dan memantau penyakit endemik
prioritas.(WHO, 2006) Penyakit endemis di daerah bencana harus
dimasukkan menjadi prioritas dalam sistem surveilans dalam penilaian
risiko penyakit menular. Mukherjee (2010) menyebutkan bahwa pada
beberapa situasi, ancaman mungkin juga ditemukan penyakit langka seperti
virus demam berdarah, wabah atau tularaemia. Penilaian risiko penyakit
menular yang komprehensif untuk dapat mengidentifikasi dan
memprioritaskan ancaman penyakit ini secara dini, dengan cara :
a. Petugas kesehatan harus dilatih untuk mendeteksi penyakit prioritas
dengan cepat untuk dilaporkan ke jenjang yang lebih tinggi;
b. Sampel dan transportasi bahan pemeriksaan harus dilakukan
secepatnya untuk merespon bila terjadinya wabah, seperti kolera.
Diperlukan kit yang dapat mendeteksi dengan cepat penyakit endemik
di daerah kolera dianggap berisiko.
4) Imunisasi
Beberapa imunisasi diperlukan untuk beberapa penyakit yang
berisiko di daerah terjadinya bencana. Menurut WHO (2006) beberpa
imunisasi yang dianjurkan adalah, imunisasi massal campak, vaksin tifoid
(tergantung lokasi bencana), dan lain sebagainya.
5) Pencegahan malaria dan demam berdarah.
Pencegahan penyakit malaria harus didasarkan pada informasi lokal,
termasuk pada spesies parasit dan vektor utama yang terdapat di daerah
bencana. Menurut Muriuki et al., ( 2012) data penyakit malaria di tempat
terjadinya bencana sangat penting sebagai data awal untuk menyusun
program pencegahan terjadinya malaria pasca bencana terutama tsunami.
Peningkatan jumlah nyamuk biasanya tidak terjadi saat setelah tsunami.
Pada saat setelah tsunami ada waktu untuk untuk pelaksanaan langkah-
langkah pencegahan penyakit malaria, seperti penyemprotan daerah
tersebut dengan insektisida, pengobatan bagi yang sudah terinfeksi sebelum
tsunami. Penggunaan kelambu berinsektisida juga salah satu cara
pencegahan terhadap infeksi malaria. Menurut WHO (2006) deteksi dini
wabah malaria dapat ditingkatkan dengan monitoring terhadap kasus
mingguan dan harus menjadi bagian dari pengawasan serta menjadi sistem
peringatan dini terhadap malaria.
Untuk penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) upaya
pencegahan utama yang dilakukan adalah dengan cara pengendalian vektor.
Perubahan bentang alam akibat tsunami juga diperkirakan akan
meningkatkan potensi hidupnya vektor. Oleh karena itu peningkatan
pengetahuan masyarakat melalui pendidikan kesehatan kepada masyarakat
harus terus ditingkatkan. Peningkatan pengetahuan akan menekankan
tempat vektor penyakit DBD (WHO, 2006)
6) Rencana kesiapsiagaan dalam pengendalian penyakit menular
Meskipun kematian terkait bencana disebabkan oleh trauma, namun
kesiap-siagaan dampak dari bencana harus dipersiapkan secara dini.
Dampak kesehatan yang berhubungan dengan bencana sering menjadi
masalah dalam penanganan bencana. Oleh karena itu perencanaan mulai
dari fasilitas air bersih dan sanitasi harus dipersiapkan pada saat mitigasi
bencana. Tim tanggap bencana bidang kesehatan harus menyadari dan
memiliki akses ke update terbaru untuk pengendalian dan pencegahan
penyakit menular (Menkes RI, 2014). Risiko penularan endemik penyakit
menular, seperti ISPA dan penyakit diare pada pengungsi yang meningkat
harus mendapat perhatian yang serius. Oleh karena itu bila penyakit menular
masih menjadi masalah kesehatan di daerah bencana maka dapat
menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi. Dengan
demikian perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan efisien serta
terpadu.

2.5 Kejadian Luar Biasa (KLB) Pasca Bencana


A. Definisi
Menurut Permenkes RI Nomor 949/ Menkes/ SK/ VIII/ 2004, Kejadian Luar
Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan
atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suau daerah dalam
kurun waktu tertentu.
Jenis-jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah
adalah sebagai berikut:
1. Kolera
2. Pes
3. Demam Berdarah Dengue
4. Campak
5. Polio
6. Difteri
7. Pertusis
8. Rabies
9. Malaria
10. Avian Influenza H5N1
11. Antraks
12. Leptospirosis
13. Hepatitis
14. Influenza A baru (H1N1)/Pandemi 2009
15. Meningitis
16. Yellow Fever
17. Chikungunya
B. Kriteria KLB
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010, suatu derah dapat ditetapkan dalam keadaan
KLB apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut
jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata
jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-
rata jumlah kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1
(satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh
persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu
penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
C. Klasifikasi KLB
Menurut Bustan (2002), Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan
penyebab dan sumbernya, yakni sebagai berikut:
1. Berdasarkan Penyebab
a) Toxin : staphylococus, clostridium
b) Infeksi : virus, bakteri, protozoa, cacing
c) Toxin Biologis : racun jamur, racun ikan, plankton
d) Toxin Kimia : logam berat, nitrit, pestisida
2. Berdasarkan sumber
a) Sumber dari manusia
Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti:
Salmonella, Shigella, hepatitis.
b) Bersumber dari kegiatan manusia
Misalnya: toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan
pencemaran lingkungan.
c) Bersumber dari binatang
Misalnya: binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat.
d) Bersumber pada serangga (lalat, kecoak)
Misalnya: Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus
e) Bersumber dari udara
Misalnya: Staphylococcus, Streptococcus virus
f) Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat
Misalnya: Salmonella
g) Bersumber dari makanan dan minuman
Misalnya: keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
D. Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya KLB
Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya
Kejadian Luar Biasa adalah:
1. Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/ wabah
adalah herd immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd
immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh sebagian penduduk yang
dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat
kekebalan individu. Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin
sulit terkena penyakit tersebut.
Patogenesitas
2. Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk
menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
3. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi mempengaruhi
kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut.
E. KLB pada Bencana Alam
1. Gempa Bumi
Salah satu permasalahan kesebatan akibat bencana adalah
meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit
tidak menular. Bahkan, tidak jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk
beberapa penyakit menular tertentu, seperti KLB disentri yang
dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang memburuk akibat bencana.
Permasalahan kesehatan Iingkungan dan sanitasi juga sering dijumpai
pada kondisi bencana alam. Berbagai literatur menunjukkan bahwa
sanitasi merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap awal setelah
terjadinya bencana (The Sphere Project, 201 L; Tekeli-Yesil, 2006).
Kondisi lingkungan yang tidak higienis, persediaan air yang terbatas dan
jamban yang tidak memadai, misalnya, seringkali menjadi penyebab
korban bencana lebih rentan untuk mengalarni kesakitan bahkan
kematian akibat penyakit tertentu. Permasalahan tersebut termasuk
terkait penilaian kebutuhan (assessment) yang tidak mudah dan cepat,
ketersediaan dan kecukupan sarana, distribusi dan akses yang tidak
merata, privasi dan kenyamanan korban bencana (khusunya kelompok
perempuan) serta kurangnya kesadaran dan perilaku masyarakat terkait
sanitasi pada kondisi darurat bencana.
2. Gunung Meletus
Asap dan debu yang banyak keluar saat sebelum ataupun sesudah
letusan dapat menyebabkan ISPA bagi masyarakat yang tinggal didekat
lokasi bencana. Pada beberapa letusan gunung api, partikel abu sangat
halus sehingga dapat masuk ke paru-paru ketika kita bernapas. Apabila
paparan terhadap abu cukup tinggi, maka orang yang sehat pun akan
mengalami kesulitan bernapas disertai batuk dan iritasi. Beberapa tanda-
tanda penyakit pernapasan akut (jangka waktu pendek) akibat abu
gunungapi:
- Iritasi hidung dan pilek
- Iritasi dan sakit tenggorokan, kadang disertai dengan batuk kering
- Untuk penderita penyakit pernapasan, abu gunung api dapat
menyebabkan penyakit menjadi serius seperti tanda-tanda bronkitis
akut selama beberapa hari (seperti: batuk kering, produksi dahak
berlebih, mengi dan sesak napas)
- Iritasi saluran pernapasan bagi penderita asma atau bronkitis;
keluhan umum dari penderita asma antara lain sesak nafas, mengi
dan batuk
- Ketidaknyamanan saat bernapas
Dalam beberapa kasus, paparan jangka panjang terhadap abu gunungapi
halus dapat menyebabkan penyakit paru-paru serius. Dalam hal ini, abu
gunungapi harus berukuran sangat halus serta mengandung silika kristal
(untuk penyakit silikosis) dan orang- orang tersebut terkena abu dalam
konsentrasi tinggi selama bertahun-tahun. Paparan terhadap silika
kristal dalam abu gunung api biasanya dalam jangka waktu yang pendek
(beberapa hari hingga minggu). Studi juga menunjukkan bahwa batas
paparan yang direkomendasikan (sama di beberapa negara) dapat
terlampaui untuk jangka waktu yang singkat bagi penduduk secara
umum. Para penderita asma atau masalah paru-paru lainnya seperti
bronkitis dan emfisema, dan gangguan jantung.
3. Tsunami
Wabah penyakit diare dapat terjadi setelah terjadinya tsunami.
Ketersediaan air dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan berpotensi terjadinya diare. Kontaminasi air minum dengan
agen penyakit, telah dilaporkan pasca terjadinya tsunami. Wabah diare
pasca bencana di Bangladesh pada tahun 2004 lebih dari 17.000 kasus.
Hasil isolasi penyebab diare ditemukan bakteri Vibrio cholerae (O1
Ogawa dan O1 Inaba) dan enterotoksigenik Escherichia coli (Qadri et
al., 2004). Lebih dari 16.000 kasus wabah kolera (O1 Ogawa) di West
Bengal pada tahun 1998 ini terjadi setelah bencana (Sur, 2000). Risiko
wabah penyakit diare akibat bencana alam lebih tinggi di Negara
berkembang dibandingkan dengan di negara maju (Ahern et al., 2005).
Di Kota Calang Propinsi Aceh ketika terjadi tsunami dua minggu setelah
tsunami Desember 2004 seluruh penduduk (100%) dari korban tsunami
minum dari sumur yang tidak dimasak, sekitar 85% dari penduduk
tersebut dilaporkan menderita diare (Brennan et al., 2005).
4. Banjir Bandang
Leptospirosis atau yang juga disebut Weil disease, Canicola fever,
Hemorrhagic jaundice, Mud fever atau Swineherd Disease adalah infeksi
epidemi yang ditularkan langsung memalui air. Penyakit zoonis ini
ditularkan dari darah atau urin hewan yang terinfeksi utamnya anjing,
hewan pengerat seperti tikus dan kelompok hewan ternak seperti sapi
atau babi. Penularan penyakit ini dapat melalui kontak lendir dan selaput
lendir dengan air, tanah basah, vegetasi atau lumpur yang
terkontaminasi. Kejadian banjir mempercepat terbawanya urin hewan
melului genangan banjir.
Leptospirosis pada umumnya menunjukkan gejala secara mendadak
dalam waktu dua minggu setelah terinfeksi. Bahakan untuk sebagian
kasus gejala baru muncul setelah satu bulan. Pada sebagian besar kasus
penyakit akan pulih dalam waktu satu minggu, namun untuk beberapa
kasus akan berkembang pada tahap kedua yang dikenal dengan penyakit
Weil yang ditandai dengan nyeri dada, serta kaki dan tangan bengkak.
Selama terserang tahap kedua penyakit leptospirosis ini, bakteri dapat
menyerang organ lain sehingga kondisi menjadi lebih parah. Keadaan
tersebut ditunjukkan dengan:
1) Gangguan pada paru-paru dengan gejala batuk, napas pendek, dan
batuk yang mengeluarkan darah.
2) Gangguan pada ginjal yang dapat berujung dengan kondisi gagal
ginjal.
3) Gangguan pada otak yang ditunjukkan dengan gejala meningitis.
4) Gangguan pada jantung yang memicu peradangan jantung
(miokarditis) atau gagal jantung.
Penderita leptospirosis dengan kerusakan hati memiliki resiko kematian
lebih tinggi. Proses penegakan diagnosis leptospirosis dapat dilakukan
melalui gejala, riwayat penyakit pasien, serta pemeriksaan fisik. Selain
itu, beberapa tes penunjang juga dapat dilakukan untuk membantu
memastikan diagnosis leptospirosis dan mengetahui tingkat keparahan
yang dialami pasien. Tes penunjang tersebut, antara lain: tes urine, tes
darah, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan fungsi hati, foto rontgen
paru.

2.6 Pencegahan dan Penanganan KLB


A. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas)
1) Pencegahan
Beberapa hal yang harus dilakukan untuk melindungi diri terhadap
pengaruh debu vuklkanik setelah terjadi letusan gunung berapi, ada
beberapa dasar tindakan pencegahan :
1. Tutup jendela, pintu, dan perapian / tungku kayu dan
meminimalkan penggunaan pemanas udara dan AC untuk
mencegah abu dan gas di dalam rumah.
2. Gunakan masker N-95 di luar ruangan atau saat membersihkan
debu dalam ruangan, jika masker N-95 tidak tersedia, gunakan
masker biasa sebagai alternatif.
3. Pakailah kacamata di luar ruangan, atau saat membersihkan debu
didapat dalam ruangan.
4. Menjaga kulit kita tertutup untuk menghindari iritasi dari kontak
dengan debu
5. Hindari mengemudi.
6. Hindari minum air yang telah terdapat debu di dalamnya.
7. Basahi / percikan air sebelum bersih-bersih untuk menghindari
berterbangannya partikulat.
8. Perhatikan peringatan, dan mematuhi instruksi dari otoritas lokal
(misalnya dinas kesehatan setempat, pejabat akan
menginformasikan kepada masyarakat kapan waktu yang aman
untuk pergi luar, mengemudi, pengguna air minum, dll).
9. Mencari bantuan medis jika ganguan kesehatan. Masalah
Kesehatan anak, anak lebih rentan terhadap efek dari debu
vulkanik. Orangtua harus waspada dan melakukan beberapa
tindakan pencegahan meliputi:
a. Jauhkan anak-anak dari udara luar (masuk ke dalam ruangan)
b. Jika terpaksa pergi ke luar, anak-anak harus memakai masker.
c. Jangan biarkan bermain di tumpukan debu dan debu.
d. Jauhkan anak-anak dari bahaya efek tidak langsung seperti bahaya
kecelakaan
2) Identifikasi
Program Pemberantasan Penyakit ISPA membagi penyakit ISPA
dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia.
Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat
dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis,
faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya
digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar
penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan
terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan
pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin,
semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik. ISPA dapat
ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran
pernapasannya. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang
disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat
pada bulan-bulan musim dingin.
3) Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Penderita
Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai <5
tahun dapat dilihat pada Tabel 3. Selain tiga klasifikasi tersebut,
terdapat ‘tanda bahaya’ pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun
yang perlu diperhatikan, antara lain, tidak bisa minum, kejang, sukar
dibangunkan, stridor waktu tenang dan gizi buruk. Tanda-tanda ini
disebabkan oleh banyak kemungkinan.
Anak yang mempunyai salah satu ‘tanda bahaya’, harus
segera dirujuk ke Puskesmas/Rumah Sakit secepat mungkin:
1. Sebelum anak meninggalkan Puskesmas, petugas kesehatan
dianjurkan memberi pengobatan seperlunya (misal atasi
demam, kejang, dsb), tulislah surat rujukan ke Rumah Sakit dan
anjurkan pada ibu agar anaknya dibawa ke rumah sakit sesegera
mungkin
2. Berikan satu kali dosis antibiotik sebelum anak dirujuk (bila
memungkinkan)
B. Pengobatan kasus ISPA
ISPA dapat diobati dengan antibiotika. Antibiotika yang
dipakai untuk pengobatan pnemonia adalah tablet kotrimoksasol
dengan pemberian selama 5 hari. Anti-biotika yang dapat dipakai
sebagai pengganti kotrimok-sasol adalah ampisilin, amoksilin,
prokain penisilin.
Catatan: Bila anak tidak mungkin diberi antibiotika oral
(misalnya anak tidak bisa minum atau tidak sadar), harus dipakai
antibiotika perenteral (suntikan). Kalau tidak ada petugas yang bisa
memberikan suntikan, rujuklah secepat mungkin tanpa pemberian
antibiotika dosis pertama.
Perhatian dalam pemberian antibiotika :
1. Jangan memberikan kotrimoksasol pada bayi yang ikterik atau
bayi prematur usia kurang dari 1 tahun.
2. Jangan memberikan amoksisilin, ampisilin, prokain penisilin
atau benzatin penisilin bila anak ada riwayat mengalami
anafilaksis/alergi setelah pemberian penisilin
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai
<5 tahun

Langkah-langkah pemberian antibiotika, antara lain:


1. Tentukan dosis yang tepat sesuai dengan usia anak, sesuai
Tabel 2. Dosis Antibiotik Kotrimoksasol
2. Campurkan tablet antibiotika yang telah digerus dengan makanan
untuk mempermudah anak menelannya. Bila anak minum ASI,
mintalah ibu untuk mencampurkan puyer dengan ASI secukupnya
pada mangkuk yang bersih.
3. Persilahkan ibunya untuk mencoba memberi antibiotika tersebut
pada anaknya biasanya lebih mudah disuapi oleh ibunya. Hal ini
juga merupakan cara untuk memastikan bahwa ibunya sudah bisa
memberikan antibiotika sebelum meninggalkan Puskesmas. Bila
anak memuntahkan obat yang diminum sebelum setengah jam,
ulangi pemberian antibiotikanya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan ulang 2 hari
kemudian pada anak dengan pneumonia yang diberi antibiotika, antara
lain:
1. Setiap anak dengan penyakit pnemonia yang mendapat antibiotika,
harus dibawa kembali 2 hari kemudian. Pemeriksaan kedua sama
dengan pemeriksaan pertama, untuk menentukan apakah
penyakitnya: tidak membaik, tetap sama atau membaik.
2. Penyakit anak memburuk bila anak menjadi sulit bernafas, tak
mampu minum, timbul tarikan dinding dada kedalam, atau tanda
bahaya yang lain. Anak yang demikian dirujuk untuk rawat tinggal.
3. Anak yang membaik pernafasannya akan melambat. Tanda-tanda
lain juga akan berkurang, misalnya demam menurun atau
menghilang, nafsu makan bertambah. Mungkin masih batuk.
Beritahu ibunya untuk meneruskan pemberian antibitika sampai 5
hari.
4. Bila keadaan anak masih tetap sama seperti pada pemeriksaan
sebelumnya, tanyakan tentang pemberian antibitikanya. Mungkin
ada masalah yang mengakibatkan anak belum minum antibiotika
tersebut, atau minum dengan takaran dan jadwal pemberian yang
kurang semestinya. Apabila demikian teruskan lagi pemberian
antibiotika yang sama. Bila anak telah minum antibiotik dengan
benar, obat tersebut harus diganti dengan antibiotika yang lain
(kalau tersedia). Kalau tidak ada antibiotika yang lain, rujuk ke
Rumah Sakit.
C. Saran bagi ibu tentang pengobatan ISPA di rumah
Perawatan di rumah sangat penting dalam penatalaksanaan
anak dengan penyakit ISPA, dengan cara:
1. Pemberian makanan
a. Berilah makanan secukupnya selama sakit
b. Tambahlah jumlahnya setelah sembuh
c. Bersihkan hidung agar tidak mengganggu pemberian
makanan
2. Pemberian cairan
a. Berilah anak minuman lebih banyak
b. Tingkatkan pemberian ASI
3. Pemberian obat pelega tenggorokan dan pereda batuk dengan
ramuan yang aman dan sederhana
4. Paling penting: Amatilah tanda-tanda pneumonia Bawalah
kembali ke petugas kesehatan, bila:
a. Nafas menjadi sesak
b. Nafas menjadi cepat
c. Anak tidak mau minum
d. Sakit anak lebih parah
B. Diare
1) Pencegahan
Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sendiri oleh para
pengungsi, antara lain :
1. Gunakan air bersih yang memenuhi syarat.
2. Semua anggota keluarga buang air besar di jamban.
3. Buang tinja bayidan anak kecil di jamban.
4. Cucilah tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum
menjamah/memasak makanan dan sesudah buang air besar.
5. Berilah Air Susu Ibu (ASI) saja sampai bayi berusia 6 bulan.
6. Berilah makanan pendamping ASI dengan benar setelah bayi
berusia 6 bulan dan pemberian ASI diteruskan sampai bayi berusia
24 bulan
7. Penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi lingkungan yang
memadai merupakan tindakan pencegahan penyakit diare,
sedangkan pencegahan kematian akibat diare dapat dilakukan
melalui penatalaksanaan kasus secara tepat dan kesiapsiagaan akan
kemungkinan timbulnya KLB diare
2) Identifikasi
Penyakit diare masih menjadi masalah utama di Indonesia yang
perlu penanganan dan kajian dari berbagai aspek. Penyebab kesakitan
dan kematian akibat diare tidak dapat diketahui secara spesifik, hal ini
dikarenakan sebagian besar diagnosis yang dilakukan oleh tenaga
medis tidak berbasiskan hasil pemeriksaan laboratorium tetapi hanya
berdasarkan diagnosis klinis. Untuk itu pemeriksaan laboratorium
sangatlah penting sebagai penunjang dalam pemeriksaan diare.
Beberapa metode konvensional yang digunakan untuk menentukan
adanya bakteri Escherichia coli O157:H7 pada sampel baik itu
makanan, minuman ataupun pada feses penderita antara lain metode
biakan (kultur), uji biokimiawi, dan uji serologis. Metode tersebut
mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama, jumlah
sampel yang banyak, dan metode pembacaan hasil yang tidak tepat.
Teknik PCR adalah salah satu teknik molekuler yang digunakan
untuk mengidentifikasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Escherchia coli O157:H7. Metode ini memiliki banyak kelebihan yaitu
dapat menghasilkan amplifikasi produk yang akurat, cepat, spesifik,
membutuhkan jumlah sampel yang sedikit. dan metode ini dapat
digunakan untuk mengatasi kelemahan diagnostik konvensional
(kultur).
3) Penatalaksanaan
A. Tatalaksana penderita
Bila mana ditemukan adanya penderita Diare di lokasi
bencana atau penampungan pengungsi, pertama-tama yang harus
dikerjakan pada waktu memeriksa penderita diare adalah :
1. menentukan derajat dehidrasi
2. menentukan pengobatan dehidrasi yang tepat
Setiap penderita diare yang mengalami dehidrasi harus diobati
dengan oralit. Seluruh petugas kesehatan harus memiliki
keterampilan dalam menyiapkan oralit dan memberikan dalam
jumlah besar. Sesuai dengan derajat dehidrasinya, penderita
diberikan terapi sebagai berikut:
a. Rencana Terapi A: untuk mengobati penderita diare tanpa
dehidrasi.
b. Rencana Terapi B: untuk mengobati penderita diare dengan
dehidrasi ringan/sedang.
c. Rencana Terapi C: untuk mengobati penderita dengan dehidrasi
berat.
Bila penderita dalam keadaan dehidrasi berat rehidrasi harus
segera dimulai. Setelah itu pemeriksaan lainnya dapat
dilanjutkan.
3. Mencari masalah lain, seperti, kurang gizi, adanya darah dalam
tinja diare lebih dari 14 hari. Selain diperiksa status dehidrasinya
harus pula diperiksa gejala lainnya untuk menentukan adanya
penyakit lain seperti adanya darah dalam tinja, panas, kurang
gizi dan lain sebagainya.
a. Bila tinja penderita mengandung darah berarti penderita
mengalami disentri yang memerlukan pengobatan antibiotik.
b. Bila penderita diare 14 hari atau lebih berarti menderita diare
persisten dan perlu diobati.
c. Bila penderita panas (>38°C) dan berumur >2 bulan dapat
diberikan obat penurun panas.
d. Bila didaerah tersebut endemik malaria dan anak ada riwayat
panas sebelumnya dapat diberikan pengobatan sesuai program
malaria. Keterangan lengkap tentang masalah lain lihat pada
gambar tatalaksana penderita diare.
B. Tatalaksana pertolongan penderita Diare di rumah tangga dan tempat
pengungsian
Langkah-langkah pertolongan penderita diare di rumah tangga,
antara lain:
1. Berikan segera oralit atau cairan yang tersedia di rumah dan tempat
pengungsian, seperti air teh, tajin, kuah sayur dan air sup.
2. Teruskan pemberian makanan seperti biasa, tidak pedas dan tidak
mengandung serat.
3. Bawalah segera ke pos kesehatan terdekat atau ke Puskesmas
terdekat, bila ada suatu tanda sebagai berikut :
a. Diare bertambah banyak/sering
b. Muntah berulang-ulang
c. Ada demam
d. Tidak bisa minum dan makan
e. Kelihatan haus sekali
f. Ada darah dalam tinja
g. Tidak membaik sampai 2 hari
C. Tatalaksana pertolongan penderita Diare di sarana kesehatan atau pos
kesehatan
Langkah-langkah pertolongan penderita diare di sarana kesehatan
atau pos kesehatan, antara lain :
1. Rehidrasi oral dengan oralit
2. Pemberian cairan intravena dengan Ringer Lactate untuk penderita
diare dehidrasi berat dan penderita tidak bisa minum.
3. Penggunaan antibiotik secara rasional
4. Memberikan nasehat pada keluarga tentang pentingnya
meneruskan pemberian makanan, rujukan dan upaya pencegahan.
D. Kesiapsiagaan terhadap kemungkinan KLB
Pada fase ini Tim Reaksi Cepat melakukan kesipasiagaan yang berupa
kegiatan yang dilakukan terus menerus dengan kegiatan utamanya:
1. Mempersiapkan masyarakat pengungsi untuk pertolongan
pertama bila terjadi diare seperti Rencana Terapi A
2. Membuat dan menganalisa kasus harian diare.
3. Menyiapkan kebutuhan logistik khususnya oralit cairan IV-RL,
antibiotika, tetrasiklin, kotrimoxazole dan peralatan lainnya.
4. Mengembangkan prosedur sederhana kewaspadaan dini di
masyarakat pengungsi.
C. Malaria
1) Pencegahan
1. Pencegahan gigitan nyamuk
Beberapa cara pencegahan penularan malaria antara lain,
mencegah gigitan nyamuk dengan cara :
a. Tidur Dalam Kelambu (kelambu biasa atau yang
berinsektisida)
b. Memasang Kawat Kasa
c. Menggunakan Repelen
d. Membakar Obat Nyamuk
e. Pencegahan dengan obat anti malaria (Profilaksis)
Pengobatan pencegahan malaria diberikan kepada kelompok
berisiko tertular malaria seperti:
a. pendatang dan perorangan atau sekelompok orang yang non-
imun yang akan dan sedang di daerah endemis malaria
b. Ibu Hamil
c. Sasarannya adalah ibu hamil di daerah endemis malaria.
2. Pengelolaan lingkungan
Pengelolaan lingkungan dapat mencegah, mengurangi atau
menghilangkan tempat perindukan vektor, antara lain:
a. Pengeringan
b. Pengaliran
c. Pembersihan lumut
d. Kegiatan ini dilakukan untuk mencegah perkembangan larva
nyamuk Anopheles sundaicus, yang merupakan vektor utama
malaria di daerah pantai. Larva nyamuk ini suka hidup pada
lumut di lagun-lagun daerah pantai. Dengan pembersihan
lumut ini, maka dapat mencegah perkembangan nyamuk An.
sundaicus.
e. Pemberantasan malaria melalui pengobatan penderita yang
tersangka malaria atau terbukti positif secara laboratorium,
serta pengendalian nyamuk melalui perbaikan lingkungan
2) Identifikasi
Banyak orang tidak mengetahui bahwa penyebab malaria adalah
adanya parasit malaria yang masuk ke dalam darah. Ukuran parasit
tersebut sangat kecil dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan
bantuan mikroskop.
Untuk dapat melihat adanya parasit di dalam darah penderita, perlu
dibuat sediaan darah malaria (SD). Selanjutnya diwarnai dengan
pewarnaan giemsa. SD ditetesi minyak imersi dan diperiksa di bawah
mikroskop menggunakan lensa objektif 100x. Jika ditemukan parasit
pada pemeriksaan, penderita dinyatakan positif malaria.
Bagaimanapun juga perlu diketahui bahwa untuk mendapatkan
diagnosa pasti malaria adalah dengan melakukan pemeriksaan SD
dengan menggunakan mikroskop.
Diperlukan keterampilan yang baik dari petugas dalam memeriksa
SD malaria. Dengan adanya buku pedoman ini diharapkan dapat
membantu memperoleh keterampilan tersebut.
3) Penatalaksanaan
1. Tindakan Umum Persiapan penderita malaria berat sebelum
dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit
Persiapan penderita malaria berat sebelum dirujuk ke
Puskesmas atau Rumah Sakit.
a. Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan, nutrisi dan
perawatan umum)
b. Ukur suhu, nadi, nafas dan tekanan darah/tensi setiap 30
menit..
2. Pemberian obat anti-malaria
Sebelum penderita dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit
bila memungkinkan dilakukan pengobatan sebagai berikut:
Kina HCl 25% (1 ampul berisi 500ml/2cc) Sebelum dirujuk, 1
ampul Kina HCl, dosis 10 mg/kg BB dilarutkan dalam 500 ml
dektrose 5% diberikan selama 8 jam diulang dengan cairan yang
sama setiap 8 jam sampai penderita sadar atau dapat minum
obat. Apabila tidak dapat dilakukan infus, Kina HCL dapat juga
diberikan secara intramuskuler tiap 8 jam pada dosis yang sama
dengan pemberian intravena (infus).
3. Tindakan komplikasi organ umum
Apabila ada kejang-kejang, tindakan Phenobarbital
(luminal) 100 mg intramuskuler 1 kali atau Diazepam 10 – 20
mg (intramuskuler/intravenus).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pencegahan penyakit menular sangat penting dilakukan pasca benca alam.
Dampak kesehatan yang berhubungan dengan bencana sering menjadi masalah
dalam penanganan bencana. Oleh karena itu perencanaan mulai dari fasilitas air
bersih dan sanitasi harus dipersiapkan pada saat mitigasi bencana. Tim tanggap
bencana bidang kesehatan harus menyadari dan memiliki akses update terbaru
untuk pengendalian dan pencegahan penyakit menular (Menkes RI, 2014).
3.2 Saran
Dalam menghadapi meningkatnya risiko bencana maka Pemerintah
memerlukan rencana makro yang sifatnya terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh
yang menggambarkan kondisi ideal dalam penanggulangan bencana. Proses
penyusunan perencanaan ini dilakukan dengan pendekatan teknokratik,
topdownbottom up, partisipatif, dan politis. Diawali dari identifikasi risiko bencana
dari berbagai ancaman bencana sebagai dasar menetapkan lokus prioritas nasional,
disusun arah kebijakan dan strategi sesuai dengan Nawa Cita, identifikasi fokus
prioritas dan sasaran serta pelaku dari berbagai pemangku kepentingan. Sebagai
rencana yang harus diimplementasikan dan agar tepat sasaran, juga disusun sistem
monitoring dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Mudatsir. 2015. Upaya Pencegahan Penyakit Menular pada Bencana Tsunami.


Prosiding: SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI
2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER
Cycle 3). Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
http://tdmrc.unsyiah.ac.id/id/wp-content/uploads/2016/02/13.-Upaya-
Pencegahan-Penyakit-Menular-pada-Bencana-Tsunami.pdf (05/09/2019)

Nur, Arief Mustofa. 2010. Gempa Bumi, Tsunami dan Mitigasinya. Balai Informasi
dan Konservasi Kebumian Karangsambung – LIPI. Jurnal Geografi :
Volume 7 No. 1 Januari 2010
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/view/92/93 (05/09/2019)

Utomo, Kukuh Setio et. al. 2018. Kajian Kesiapsiagaan terhadap Bencana Tsunami
di Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen Tahun 2016. Jurnal GeoEco :
Vol. 4, No. 1 (Januari 2018) Hal. 68-76

Suryani, Anih Sri. (2014). Dampak Negatif Abu Vulkanik Terhadap Lingkungan
dan Kesehatan. Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014
Widodo, Dwi Rustiono, Sutopo, Purwo Nugroho dan Donna Asteria. (2017).
Analisis Penyebab Masyarakat Tetap Tinggal di Kawasan Rawan
Bencana Gunung Merapi (Studi di Lereng Gunung Merapi Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Ilmu Lingkungan. Vol.15. Issue. 2:135-142, ISSN 1829-8907
Adi, Seno. April 2103. Characterization of Flash Flood Disaster in Indonesia.
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesi. Vol 15, No. 1, Pp 42-51.
Junaidi Rigo, Adnil E, Rosfita R. 2015. Gambaran Angka Kejadian Gangguan
Anxietas pada Warga Batu Busuk Kelurahan Padang Besi Kecamatan
Lubuk Kilangan Kota Padang Akibat Banjir Bandang 24 Juli 2012. Jurnal
Kesehatan Andalas. Vol 4, No 2, Pp 519-522
Permenkes RI Nomor 949/ Menkes/ SK/ VIII/ 2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)
Permenkes RI Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular
Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan.
Agus, Tri. 2019. Pengaruh Debu Vulkanik Pada Erupsi Gunung Berapi DIY
Terhadap Kesehatan Paru. Uniersitas Banten Jaya. Vol. 2 No. 1 Februari
2019
Marniati. 2017. Identifikasi Sosial Budaya Ibu Terhadap Pencegahan Diare Pada
Balita. Aceh. Universitas Teuku Umar : Semdi Unaya-2017, 146-154

Anda mungkin juga menyukai