Anda di halaman 1dari 18

Makalah

KONSEP TRIAGE

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 2

1. Fatma Widiyanti Darussalam (C01418045)

2. Nurain Rasid (C01418122)

3. Rahmelia Rauf (C01418133)

4. Sulistiani A. Ilohuna (C01418170)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNUVERSITAS MUHAMMADIYAH GOROTALO

2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Gorontalo, 18 Maret 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

1.1 Latar Belakang........................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................

1.3 Tujuan......................................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................

1. Pengertian Triage..................................................................................................
2. Prinsip Triage……………………………………………………………………
3. Tujuan Triage……………………………………………………………………
4. Jenis-Jenis Triage………………………………………………………………..
5. Model Triage…………………………………………………………………….

BAB III PENUTUP...........................................................................................................

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................

3.2 Saran.............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera
guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecatatan lebih lanjut (PMK no 44, 2009). Pada
kondisi gawat darurat ini perlu dilakukan adanya system pemisahan untuk memisahkan
pasien berdasarkan kriteria gawat daruratnya dengan menggunkan triase. Triage adalah
suatu system koleksi dan pemilihan pasien untuk menentukan tingkat kegawatan dan
proiritas penanganan pasien (Depkes RI, 2005). System triage merupakan penerapan
manajemen risiko di unita gawat darurat sehingga pasien yang datang mendapatkan
penangananan dengan cepat dan tepat sesuai kebutuhannya dengan menggunakan sumber
daya yang tersedia . triage juga membantu mengatur pelayanan sesuai dengan alur pasien di
unit gawat darurat. Penilaian triage merupakan pengkajian awal pasien unit gawat darurat
yang dilakukan oleh perawat. Pelaksanaan triage saat ini dilakukan dengan berbagai metode
tetapi semuanya tetap berprinsip pada penilaian jalan nafas (Airway), pernafasan
(Breathing), dan sirkulasi (Circulation) atau Primery Survey. Agar penilaian triage lebih
akurat primary survey akan dilanjutkan dengan focus survey sekunder. Untuk melakukan
penilaian tersebut tentunya diperlukan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang diperlukan
adalah tempat dan peralatan untuk menilai kondisi pasien. Karena fungsinya sebagai
penilaian awal pasien yang datang ke unit gawat darurat maka lokasi yang ideal untuk triage
adalah ruangan terdekat dengan pintu masuk pasien. Ruangan triase memelukan peralatan
untuk melakukan pemeriksaan awal pada pasien seperti tensimeter, thermometer, pulse
oximeter, stetoskop dan glucometer. Peralatan ini membantu perawat untuk melakukan
penilaian triage dengan tepat, terutama pada pasien dengan kondisi airway, breathing,
circulation yang terlihat stabil tetapi setelah dilakukan pemeriksaan gula darahnya lebih dari
500 mg/dl atau tekanan darah sistoliknya 200 mmHg atau lebih.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan definisi triage?


2. Bagaimana prinsip triage?
3. Apa saja tujuan dari Triage?
4. Apa saja jenis-jenis Triage?
5. Bagaimana model triage?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi triase


2. Untuk mengetahui prinsip dari triage
3. Untuk mengetahui tujuan dari Triage
4. Untuk mengetahui jenis-jenis triage
5. Untuk mengatahui model dari triage
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TRIASE (TRIAGE)

1. Definisi Triase

Triase (triage) berasal dari kata bahasa Prancis yaitu “trier” yang secara literature berarti
mengurutkan, memisahkan, memilah atau memilih. Istilah ini sering digunakan pada saat
menyeleksi buah anggur untuk dijadikan minuman anggur yang memiliki kualitas yang bagus.
Penggunaan istilah triase berlanjut digunakan pada kondisi peperangan yang terluka untuk
dilakukan penanganan atau rujukan ke rumah sakit dalam mendapatkan perawatan. Bahkan
pada bidang kesehatan hingga akhirnya pada tahun 1960 istilah triase mulai digunakan di
rumah sakit. Istilah triase jika digunakan dalam area kegawatdaruratan maka dapat
didefinisikan sebagai tindakan memproritaskan korban dengan cara memilih atau
mengelompokkan korban berdasarkan beratnya cedera, kemungkinan untuk hidup, dan
keberhasilan tindakan berdasarkan sumber daya dan sarana yang tersedia. Pertimbangan yang
harus diperhatikan dalam melakukan triase diantaranya model triase yang digunakan jumlah
korban, jenis trauma, usia korban, kondisi bencana, metode transportasi dan jarak lokasi
bencana ke pelayanan kesehatan terdekat (UGD).

Dalam pelaksanaan triase umumnya menggunakan warna atau label dalam


mengelompokkan atau kategorisasi korban berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya. Yaitu
warna merah untuk menggambarkan kondisi berat, kuning kondisi sedang, hijau kondisi
ringan dan hitam untuk kondisi korban sudah meninggal. Selain menggunakan warna
tindakan triase juga dapat mengkategorikan korban dengan menggunakan level atau tingkatan
biasanya dimulai dar level I-V sesuai dengan kondisi kegawatdaruratannya.

Tindakan triase dilakukan oleh petugas kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang
gawat darurat, petugas triase harus memiliki pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman
bekrja di UGD atau setidaknya pernah mengikuti pelatihan terkait penanganan
kegawatdaruratan seperti BTCLS (Basic Trauma Cardiac Life Support) dan SPGDT (System
Penanggulangan Gawar Darurat Terpadu). Petugas triase di rumah sakit umumnya dilakukan
oleh perawat atau dokter sedangkan pada kondisi di lapangan dapat dilakukan oleh penolong
yang sudah terlatih seperti anggota tim SAR (Search and Rescue) anggota PMI (Palang Merah
Indonesia), anggota Tagana (Taruna Siaga Bencana) atau anggota organisasi lainnya yang
berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan dan bencana.

2. Prinsip Triase

a. Cepat
Triase yang dilakukan harus secepat mungkin dengan memperhatikan
keselamatan nyawa korban. Petugas triase harus memperhatikan golden time dalam
menolong korban untuk meminimalkan kemungkinan atau dampak buruk yang bisa
berlanjut jika korban tidak sgera mendapatkan pertolongan
b. Tepat
Dalam melakukan triase petugas harus melakukan triase dengan tepat sebagai
dasar menentukan tindakan penyelamatan selanjutnya. Petugas dituntut memiliki
kemampuan dan pengetahuan dalam melakukan kategori dan penentuan prioritas
berdasarkan kegawatdaruratan korban.
Tindakan triase harus memperhatikan ketersediaan tenaga dan fasilitas yang
tersedia dalam menolong korban. Tindakan triase harus dilakukan seefektif mungkin
dengan mempertimbangkan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki instalasi gawat
darurat atau fasilitas kesehatan dalam menolong korban. Jika korban akan dilakukan
rujukan ke rumah sakit maka harus mempertimbangakn jarak dan waktu tempuh yang
dibutuhkan.

3. Tujuan Triase

Triase yang dilakukan diharapkan dapat membantu atau memudahkan petugas triase
dalam melakukan proses seleksi atau pengkategorian pasien sebelum mendapatkan
penanganan, berikut adalah tujuan dari proses triase:

a) Untuk memastikan bahwa korban ditolong sesuai dengan urutan skala prioritas
berdasarkat urutan kegawat daruratannya.
b) Untuk memastikan pengobatan terhadap korban tepat guna dan tepat waktu.
c) Untuk mengetahui kebutuhan tenaga dan peralatan dalam menangani korban.
d) Untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menolong korban.
e) Untuk mengetahui kemungkinan dan peluang pasien yang diselamatkan.
f) Untuk memindahkan pasien ke lokasi yang lebih aman dan ke lokasi fasilitas kesehatan
terdekat.
g) Untuk mengumpulkan informasi dalam penanggulangan korban .

4. Jenis-Jenis Triase

a) Triase Rumah Sakit


Jenis triase ini dilakukan didalam area rumah skit dengan jumlah pasien bisa
tunggal atau multiple kasus. Triase rumah sakit dilakukan didepan atau dalam ruangan
Unit Gawat Darurat. Petugas triase rumah sakit melakukan penilaian kondisi korban pada
saat korban tiba di UGD, apakah itu korban dating sendiri atau menggunakan mobil
ambulance. Korban yang telah dilakukan penilaian dan penentuan kategori
kegawatdaruratan maka selanjutnya korban akan dilakukan tindakan dengan mengikuti
arah jalur triase.
b) Triase Lapangan
Triase lapangan atau biasa juga disebut triase pre hospital merupakan jenis triase
yang dilakukan pada lokasi terjadinya bencana atau musibah secara langsung. Petugas
triase atau penolong harus mampu mengidentifikasi dan mengelompokkan korban dengan
cepat terutama jika itu merupakan korban missal. Pada triase lapangan petugas triase dan
penolong harus selalu memperhatikan kondisi lingkungan sekitar yang dapat mengancam
keselamatan korban dan penolong.
Korban yang telah dilakukan penilaian maka akan diberikan llabel atau penanda
pada korban berupa tag triage untuk memudahkan penolong pada saat proses evakuasi
korban ke tempat yang lebih aman. Korban dengan kondisi ringan hingga sedang akan
sedang akan dilakukan evakuasi ke posko darurat untuk mendapatkan penanganan
seangkan korban yang kategori berat dapat dilakukan penanganan langsung di lokasi jika
memungkinkan atau dirujuk ke fasilitas keshatan terdekat dengan menggunakan jenis
transfortasi yang tersedia.
B. MODEL TRIASE

Dalam pelaksanaan triase terdapat beberapa model yang telah dikembangkan dari
berbagai negara dan institusi yang berhubungan dengan sistem kegawadaruratan namun pada
kesempatan kali ini penulis hanya menjelaskan mlodel triase rumah sakit maupun model
triase lapangan, diantaranya:

1. The ctas (canadian triage and acuity scale) (Beveridge et al, 1998)
Canadian triage and acuity scale (CTAS) merupakan model triase yang dikembangkan
oleh negara canada. Model ini dikembangkan untuk meningkatkan pelayanan triase di
bagian gawat darurat. Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 1995 model ini telah
mengalami perubahan diantaranya pada tahun 1999, 2001, 2003 dan terakhir pada tahun
2008. Model CATS dikembangkan untuk pasien dewasa dan anal-anak.
CATS merupakan model triase yang menggunakan 5 tingkatan atau level yang
didasarkan pada daftar keluhan pasien. Tujuan operasional utamanya adalah menentukan
waktu untuk pemeriksaan awal pasien oleh petugas triase.
a. Level 1= Resuscitation= segera mungkin ( The Canadian Triage and Acuity Scale:
Education Manual module 1, No. date)
Level 1 merupakan level tertinggi pada model triase CTAS, pada kondisi ini pasien
akan mendapatkan tindakan penyelamatan segera mungkin dan diberi label triase
warna biru. Nyawa atau anggota tubuh dari pasien sangat terancam, kondisi ini
biasanya sudah mendapatkan penanganan pre hospital dan akan membutuhkan
tindakan intensif dan segera mungkin setelah tiba di rumah sakit untuk
menyelamatkan nyawa korban. Korban kategori level 1 memiliki masalah pada
airway (A), Breathing (B) dan Circulation (C) yang kompleks, umumnya pasien
datang dengan kesadaran menurun atau tidak berespon, tanda-tanda vital tidak stabil
bahkan tidak ada, dehidrasi berat dan gangguan pernapasan yang berat. Berikut
beberapa kondisi atau kasus yang masuk kategori level 1 yaitu: serangan jantung,
gagal napas, pnemothoraks, cedera kepala berat, luka bakar parah, trauma dada dan
abdomen, syok kardiogenetik / hipovolemi, intoksikasi/overdosis dan sepsis
syndrome.
b. Level II= Emergency= Penilaian maksimal 15 menit.
Pada kondisi ini pasien berpotensi untuk ancaman nyawa dan bagian anggota tubuh
jika tidak segera mendapatkan pertolongan dan pengobatan yang terkontrol. Pasien
biasanya pernah mengalami kondisi yang serius sebelumnya sehingga membutuhkan
pengobatan yang tepat untuk menstabilkan kondisinya agar tidak menjadi kategori
level 1. Batas toleransi waktu yang bisa diberikan sampai dilakukan penanganan
maksimal 15 menit dengan label trise warna merah. Umumnya pasien datang dengan
kondisi status mental yang bervariasi seperti bahkan sampai koma. Pasien juga
biasanya datang dengan keluhan nyeri yang tidak terkontrol. Berikut beberapa kondisi
atau kasus yang masuk kategori level 11 yaitu: infark miokard, agina unstabil, asma
berat, penyakit paru kronik, cedera kepala sedang, multiple fraktur, perdarahan,
infeksi berat, nyeri abdomen terus menerus, kolik ginjal, sakit kepala berat, overdosis,
keracunan, syok anafilaksis, demam tinggi terutama pada bayi dan aka-anak, diabetes
mellitus tidak terkontrol, gangguan imun (HIV dengan infeksi opportunistk) kanker
dengan terapi kemoterapi, gangguan kejiwaan berat, dan korban kekerasan seksual.
c. Level III= urgency= penilaian maksimal 30 menit.
Pada level ini kondisi pasien berpotensi untuk mengalami masalah ke arah yang lebih
serius dan membutuhkan tindakan yang darurat. Kondisi pasien tidak nyaman serta
mempengaruhi aktifitas kesehariaanya. Pasien umumnya memiliki tanda vital yang
normal namun menunjukkan keluhan yang brsifat akut yang bisa diberikan sampai
dilakukan tindakan maksimal 30 menit dengan label triase warna kuning. Berikut
beberapa kondisi atau kasus yang masuk kategori level 111 yaitu: Gangguan
pernapasan sedang (sesak napas atau sumbatan jalan napas), trauma tembus (kepala,
dada dan perut), gangguan neurovascular, stroke, fraktur terbuka, luka bakar sedang
(5-25% dari luas permukaan tubuh), kondisi nyeri sedang (skala 4-7), muntah darah
dan berak darah, diare dan muntah (anak usia dibawa 2 tahun).
d. Level IV= Less urgent/ semi urgent= Penilaian maksimal 60 menit.
Pada level ini kondisi pasien lebih dikaitkan dengan faktor usia, kondisi stress dan
komplikasi penyakit lainnya. Pasien tidak membutuhkan tindakan yang darurat dan
segera serta umumnya memiliki tanda tanda vital yang stabil dan skla nyeri yang
lebih rendah. Batas toleransi waktu yang bisa diberikan sampai dilakukan intervensi
maksimal 60 menit dengan label triase warna hijau. Berikut beberapa kondisi atau
kasus yang masuk kategori level IV yaitu: cedera kepala ringan, fraktur ringan,
dislokasi, otitis media akut, batuk, radang tenggorokan, muntah disertai diare.
e. Level V= Non urgent= Penilaian maksimal 120 menit.
Pasien level ini kondisi pasien lebih bersifat akut namun tidak bersifat darurat, lebih
dikaitkan dengan bagian dari penyakit kronik yang menimbulkan keluhan tambahan,
penanganan pada keluhan masih bisa ditunda karena tidka memberikan resiko yang
besar bagi pasien dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Toleransi waktu yang
diberikan bisa sampai 120 menit sebelum mendapatkan perawatan dengan label triase
warna putih. Berikut beberapa kondisi atau kasus yang masuk kategori level V yaitu:
luka ringan (lecet, memar) perdarahan ringan, sakit perut ringan (skala 1-3), demam,
diare, muntah.
2. The ESI (Emergency Severity Index)
Emergency Severity Indeks (ESI) merupakan algoritma triase pada unti gawat darurat
yang menggunakan lima tingkat atau level, model triase ini dikembangkan pada tahun
1999 oleh Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) Amerika. Kelebihan
model ini karena mempertimbangkan ketersediaan dan perkiraan kebutuhan tenaga dalam
menangani pasien. Level esi diberi nomor 1-5, dimana level 1 menunjukkan kondisi
kewatadaruratan tertinggi. Secara prinsip model triase ESI memiliki kesamaan dengan
model triase lainnya yang menggunakan 5 level dalam hal penentuan kategori pasien
berdasrkan kondisi kewat daruratannya. Berikut penjelasan terkait kategori 5 level pada
model triase ESI:
a. Level 1= Immediate intervention
Level 1 merupaka tingkatan kategori tertinggi pada model triase ESI, dimana pada
kondisi ini pasien membutuhkan tindakan penyelamatan nyawa segera mungkin.
Kondisi atau kasus yang masuk kategori level 1 seperti: Henti jantung dan paru, gagal
napas, kondisi SPO2 di bawah 90%, kondisi trauma atau cedera berat dengan tidak
sadar, intoksikasi /overdosis, syok anafilaksis, hipoperpusi dan hipoglikemik.
Sedangkan tindakan penyelamatan nywa yang biasa dilakukan pada pasien kategori
level 1 diantarannya: Reusitas jantung paru, tindakan intubasi, pemasangan ventilasi
mekanik, pemasangan CPAP, tindakan defibrilasi, kardioversi, resusitasi cairan,
control perdarahan.
b. Level 2= High Risk Situation and vital sign
Kondisi pasien pada level 2 berada dalam risiko tinggi dengan tanda-tanda vital yang
tidak stbil, sehingga petugas triase harus memiliki kepekaan dalam melihat kondisi
pasien dan tidak membiarkan terlalu lama menunggu untuk mendapatkan tindakan,
batas toleransi waktu yang diberikan maksimal 10 menit sebelum pasien
mendapatkan penanganan. Pasien pada level ini tetap mendapatkan prioritas
penanganan untuk menghindari menjadi kategori level 1. Contoh kasus situasi yang
masuk kategori high risk seperti: sindrom koroner akut (infark miokard, agina
unstabil), asma berat, trauma tembus (kepala, perut), gangguan kesadaran (gelisah
bingung, disorientasi) nyeri sedang hingga berat, demam (39 derajat keatas), epusi
pleura, pneumothoraks, radang tenggorokan (sulit menelan) infeksi saluran
pernapasan, kehamilan ektopik, stroke, pasien kemoterapi dengan gangguan imun,
korban kekerasan seksual, muntah disertai diare (khusus anak).
c. Level 3,4 dan 5= Resurce needs
Kelebihan dari model triase ESI adalah mempertimbangkan kebutuhan tenaga
terutama untuk menentukan kategori level 3, 4 dan 5. Pertama-tama petugas harus
melihat kondisi kegawatan pasien, kemudian tanda-tanda vital pasien lalu selanjutnya
menghitung kebutuhan tenaga untuk sebuah tindakan atau jenis pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan. Rumah sakit yang menggunakan model triase tersebut
harus memiliki standar pelayanan khusunya kebutuhan tenaga yang tersedia pada
UGD setiap harinya untuk menjamin pelayanan dapat berjalan dengan lacar. Contoh
penghitungan kebutuhan tenaga berdasarkan kondisi pasien dan jenis tindakan atau
pemeriksaan yang dilakukan.
3. The MTS (Manchester Triage System)
Manchester Triage System merupakan model triase yang dikembangkan di inggris pada
tahun 1995 oleh Manchester Triage Group yang beranggotakan dokter dan perawat pada
daerah setempat. Model triase tersebut didukung dan terus dikembangkan oleh asosiasi
perawat gawat darurat lokal dan secara luas digunakan oleh negara-negara Eropa. MTS
merupakan model triase yang menggunakan 5 level atau skala.
a. Level 1 = Immediate = Respon segera mungkin pasien level 1 membutuhkan respon
secepat mungkin setelah tiba di UGD dengan label warna merah. Kondisi atau kasus
yang masuk level 1 seperti: henti jantung dan henti nafas, sumbatan jalan nafas total.
Syok dan tidak sadar.
b. Level 2 = Very Urgent = Respon time maksimal 10 menit.
Pada level 2 kondisi pasien cukup serius sehingga membutuhkan penanganan segera
agar tidak menjadi semakin buruk kondisinya. Penilaian dan perawatan berlagusng
dalam waktu 10 menit dengan label warna orage. Kondisi yang masuk level 2 seperti:
penurunan saturasi oksigen, masalah pernapasan, penurunan kesadaran, cedera akut
dan kelelahan.
c. Level 3= Urgent = Respon time 60 menit.
Pada level ini sangat berpotensi mengancam kehidupan pasien namun situasinya masi
bisa terkendali, penilaian dan perawatan berlangsung dalam waktu 60 menit dengan
label warna kuning. Kondisi atau kasus yang masuk kategori 3 yaitu: perdarahan
sedang, saturasi oksigen 90-95%, nyeri sedang, trauma minor.
d. Level 4 = Standar = Respon time 120 menit.
Pada level ini kondisi pasien memiliki risiko yang lebih kecil tanda-tanda vital dalam
batas normal, meskipun tidak segera mendapatkan penanganan, toleransi waktu yang
diberikan untuk pemeriksaan dan penanganan hingga 120 menit. Kondisi atau kasus
yang masuk level 4 yaitu: Cedera ringan, trauma dada, nyeri ringan-sedang.
e. Level 5= Non-Urgent = Respon time240 menit.
Pada level ini kondisi pasien tidak memiliki risiko yang benar dan mengancam
kehidupan pasien meskipun tidak segera dilakukan tindakan, toleransi waktu yang
diberikan untuk pemeriksaan dan penanganan hingga 240 menit dengan label triase
warna putih. Kondisi atau kasus yang masuk level 5 yaitu: Nyeri ringan, luka ringan,
trauma monor.
4. The ATS (Australian Triage Scale)
Australian Triage Scole (ATS) mulai diterapkan sejak tahun 1994, dan terus mengalami
perbaikan. ATS ini menjadi dasar berkembangnya sistim triase di inggris dan Kanada.
Skala triase Australia dirancang untuk digunakan pada unit gawat darurat rumah sakit di
seluruh Australia dan Salandia baru. ATS juga merupakan model triase yang
menggunakan 5 level atau kategori dengan mempertimbangkan waktu penanganan pada
pasien.
a. Category 1 = Immediately = Respon segera mungkin
Pasien kategori 1 membutuhkan respon secepat mungkin dan pengkajian secara
berkelanjutan, pada kategori ini kondisi pasien memberikan ancaman bagi hidupnya
dan juga bagian anggota tubuhnya sehingga membutuhkan tindakan yang
intensif.kondisi atau kasus yang masuk kategori 1 seperti: henti jantung, henti jalan
nafas mendadak yang beresiko menimbulkan henti jantung, pernafasan < 10x/menit
distres pernapasan berat
Tekanan darah sistole < 80 (dewasa) atau anak dengan klinis shock berat kesadaran
tidak ada respon atau hanya berespon dengan nyeri kejang berkelanjutan, gangguan
perilaku yang mengancam diri pasien dan orang lain.
b. Category 2 = Critical condition = Respon time maksimal 10 menit.
Pada kategori 2 kondisi pasien cukup serius atau memburuk dengan sangat cepat
sehingga ada potensi ancaman terhadap kehidupan, atau kegagalan sistem organ.
Penilaian dan perawatan berlangsung dalam waktu 10 menit (penilaian dan perawatan
secara simultan) kondisi yang masuk kategori 2 seperti: jalan nafas: ada stridor
disertai distres pernapasan berat akral dingin, denyut nadi < 50 kali permenit atau
lebih dari 150x/menit pada dewasa.
c. Categori 3 = situational urgency= respon time 30 menit
Pada level ini berpotensi mengancam kehidupan pasien serta dapat mengancam
anggota tubuh, atau dapat menyebabkan kematian yang signifikan, jika penilaian dan
pengobatan tidak dimulai dalam waktu 30 menit maka kondisi pasien lebih menjadi
berbahaya. Kondisi atau kasus yang masuk kategori 3 yaitu: Hipertensi berat,
kehilangan darah sedang, kehilangan darah moderat sesak nafas, saturasi oksigen 90-
95% paska kejang demam pada pasien immunokompromais (pasien AIDS, pasien
ankologi, pasien dalam terapi steroid), muntah menetap dengan tanda dehidrasi, nyeri
kapala dengan riwayat pingsan,.
Nyeri perut tanpa tanda akut, pasien dengan usia > 65 tahun trauma ekstremitas
moderat (deformitas, laserasi, sensasi perabaan menurun, pulsasi ekstremitas
menurun mendadak, mekanisme trauma memiliki risiko tinggi).
d. Category 4 = Potentially serious= respon time 60 menit.
Pada level ini kondisi berpotensi serius, kondisi pasien dapat memburuk, atau hasil
yang merugikan dapat terjadi jika penilaian dan pengobatan tidak dimulai dalam satu
jam setelah di UGD. Pasien membutuhkan pemeriksaan dan konsultasi yang tepat
kondisi atau kasus yang masuk kategori 4 yaitu : Cedera ringan, perdarahan ringan,
aspirasi benda asing, cidera dada tanpa fraktur tulang iga, kesulitan menelan, nyeri
ringan hingga sedang, muntah atau diare tanpa dehidrasi, peradangan mata, trauma
tungkai, fraktur minor.
e. Kategori 5 = less urgent= Respon time 120 menit
Pada level ini kondisi kurang mendesak, kondisi pasien cuckup kronis atau minor
sehingga gejala atau hasil klinis tidak akan terpengaruh secara signifikan. Kondisi
atau kasus yang masuk kategori 5 yaitu: nyeri ringan.
5. The START (Simple Triage and rapid Treatment)
Model triase START (Simple Triage And Rapid Treatment) merupakan model triase
yang bisa digunakan di lapangan atau kondisi banyak korban, model ini dikembangkan
untuk korban, model ini dikembangkan untuk korban dewasa dan anak-anak. Prinsip
triase ini sama dengan model triase lainnya dimana petugas atau penolong tetap
mengutamakan atau memprioritaskan korban berdasarkan prinsip ABC. Petugas triase
pada model ini tidak memberikan penanganan melainkan hanya memberikan label atau
tag pada korban untuk memudahkan proses evakuasi korban. Model triase START
menggunakan empat label warna yaitu merah, kuning hijau dan hitam.
a. Prioritas 1 = immediate
Merupakan prioritas utama diberikan kepada para penderita yang kritis keadaannya
seperti gangguan pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol,
penurunan status mental, luka terbuka diperut, hipo/hiptermia, luka bakar berat.
b. Proritas 2= Delayed
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kapada para penderita mengalami keadaan
seperti luka bakar tanpa gangguan saluran tanpa gangguan saluran napas atau alat
gerak, patah tulang tertutup yang dapat berjalan, cedera punggung.
c. Prioritas 3= Minor
Merupakan kelompok yang paling akhir proritasnya, dikenal juga sebagai “Walking
Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan sendiri.
d. Prioritas o= Deceased
Diberikan kapada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan.
6. The Salt (Sort-Asses-Lifesaving/Intervention-Treatment/Transport)
Model triase SALT juga merupakan model triase pre hospital yang biasa digunakan unttuk
masa casuality atau kondisi dengan banyak korban, missal korban ledakan bom atau
kebakaran gedung yang besar. Model triase ini juga dikembangakan untuk korban dewasa
dan anak-anak. Model ini didukung dan dikembangkan oleh persatuan kampus dan dokter
gawat darurat Amerika.
a) Red=Immediate
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang mengalami
cedera berat, namun masi memiliki potensi untuk hidup sehingga harus segera
dievakuasi, seperti mengalami luka parah, perdarahan dan tension pneumotoraks.
b) Yellow=Delayed
Merupakan prioritas berikutnya kepada korban yang mengalami cedera serius dan
tidak bisa melakukan pergerakan secara bebas, seperti korban yang mengalami
fraktur tulang panjang.
c) Green=Minimal
Merupakan kelompok korban yang tidak memiliki masalah serius dan masih
mampu melakukan pergerakan dan bisa membantu korban lain untuk bergerak
manuju lokasi yang lebih aman
d) Black=Expectant
Kategori korban yang masi memiliki harapan untuk hidup jika mendapatkan
pertolongan yang cepat dengan ketersediaan sumber daya, korban kategori lainnya
selesai dipindhakan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Triase (triage) berasal dari kata bahasa Prancis yaitu “trier” yang secara literature berarti
mengurutkan, memisahkan, memilah atau memilih. Istilah ini sering digunakan pada saat
menyeleksi buah anggur untuk dijadikan minuman anggur yang memiliki kualitas yang
bagus. Penggunaan istilah triase berlanjut digunakan pada kondisi peperangan yang terluka
untuk dilakukan penanganan atau rujukan ke rumah sakit dalam mendapatkan perawatan.
Bahkan pada bidang kesehatan hingga akhirnya pada tahun 1960 istilah triase mulai
digunakan di rumah sakit. Istilah triase jika digunakan dalam area kegawatdaruratan maka
dapat didefinisikan sebagai tindakan memproritaskan korban dengan cara memilih atau
mengelompokkan korban berdasarkan beratnya cedera, kemungkinan untuk hidup, dan
keberhasilan tindakan berdasarkan sumber daya dan sarana yang tersedia.

3.2 Saran

Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan bagi yang membaca dan
penulis berharap pembaca dapat memberikan saran atau masukan untuk kesempurnaan
pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Akiko Saka, (200. Long-term nursing needs during the disaster that is different from Acute
Phase. Mariko Ohara, Akiko Sakai. (Editorial Supervision): Disaster Nursing, Nanzandou, hlm.
79.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (www.bnpb.go.id)

Baters, M. (2007). Caregiving and the Elderly. Ohio: Case Western Reserve Universty.

Harmono, R.(2016). Keperawatan kegawatdaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta: PPSDM


kemenkes RI

Howard, PK., and Steinman. RA. (2013). Sheehy’s Manual of Emergency Nursing: Principles
and Practice, 7th ed. St Louis: Elsevier Inc

Massecar, D. C. (2012). Family Caregiving nursing standard of practice protocol: Family


caregiving. Mei, 14.

MC. Querrey, L. (2012). Good Qualities Caregiver of a Caregiver.

Siegert, R.J., Jackson, D.M., Tennant, A., Turnerstokes, L. (2010). Factor Analysis and Rasch
Analysis of the Zarit Burden Interview for Acqiured Brain Injury Carer Research. Journal of
Rehabilitation Medicine. 42(4):320-309

Anda mungkin juga menyukai