Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TRIASE KESEHATAN MENTAL

DISUSUN OLEH:

1. WAHYU ARIE PRATIWI (21116007)


2. RAHMA DYANI (21116027)
3. RENA SYAPUTRI (21116
4. WIRATAMA IBNU
5. ETIKA NURASIAH
6. KURNIA ULFA
7. JIMMY ANGGARA
8. PANJI PRATAMA

DOSEN MATA KULIAH: SITI ROMADONI, S.kep,Ns,M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKes MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2019


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada kita semua, sehingga hasil makalah laporan keperawatan Gawat
Darurat ini dapat diselesaikan. Sholawat beserta salam kita hanturkan kepada Nabi
junjungan kita Muhammad SAW yang telah menyebarkan ajarannya sehingga ilmu
pengetahuan yang isalami dapat berkembang seperti saat ini.
Makalah laporan keperawatan Gawat Darurat ini merupakan laporan yang
harus dimiliki mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Muhammadiyah
palembang pada saat mengitu mata kuliah keperawatan Gawat Darurat. Laporan ini
dibuat dengan harapan dapat menjadi pedoman dan referensi atau bahan kajian bagi
mahasiswa .
Semoga makalah ini bermanfaat untuk mengembangkan konsep triase
kesehatan mental pada keperawatan Gawat Darurat .
Akhir kata penulis mengucapkan Wassalamua’alaikum Wr.Wb.

Palembang

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata pengantar ......................................................................................................................

Daftar isi ................................................................................................................................

BAB I (PENDAHULUAN)

1.1 Latar belakang .................................................................................................................


1.2 Tujuan .............................................................................................................................

BAB II (TINJUAN TEORI)

2.1 Pengertian ........................................................................................................................


2.2 Jenis-Jenis Triase ............................................................................................................
2.3 Klasifikasi Dan Penentuan Prioritas................................................................................
2.4 Tahapan Triase ................................................................................................................
2.5 Pengkajian Kegawatdaruratan Psikiatri ..........................................................................
2.6 Contoh Kegawatdaruratan Pada Pasien Tindakan Kekerasan ........................................

BAB III (PENUTUP)

3.1 Kesimpulan .....................................................................................................................


3.2 Saran ................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu
cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan
semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas
penanganannya (Kathleen dkk, 2010).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas
penanganan dan sumber daya yang ada. Triage adalah suatu system
pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi
klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage,
perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji
keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit. Triase berasal
dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan dalam bahasa
Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kini
istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian
yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan
sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien terhadap 100
juta orang yang memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya (Pusponegoro,
2015).

Triase kesehatan mental adalah fungsi klinis yang dilakukan dititik masuk
kelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menilai dan mengelompokan urgensi
masalah terkait kesehatan mental. Layanan triase kesehatan mental dapat
ditempatkan di dapertemen darurat, layanan kesehatan mental masyarakat, pusat
panggilan atau bersama dengan layanan kesehatan mental spesialis lainnya seperti
krisis assesment dan tim perawatan. Fungsi inti dari triase kesehatan mental
adalah untuk melakukan penilaian resiko yang bertujuan untuk menentukan
apakah pasien beresiko membahayakan diri sendiri atau orang lain sebagai akibat
dari kondisi mental mereka dan untuk menilai resiko lain yang terkait penyakit
mental.

1.2 Tujuan triage


Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan
triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.

Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :


1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 PENGERTIAN
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu
cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas
yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien
yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen
dkk, 2010).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas
penanganan dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu system pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan
berat ringannya kondisi klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan
segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time)
untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan
dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah
pasien berdasar beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat
darurat. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep
pengkajian yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan
pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien
terhadap 100 juta orang yang memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya
(Pusponegoro, 2015).
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain
di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan
psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan
intervensi terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto,
2010)
a. Kondisi gaduh gelisah
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium

2.2 Jenis-Jenis Triase


1 Jenis keadaan triase
a. Jumlah penderita dan beratnya perlakuan tidak melampaui kemampuan petugas.
Dalam keadaan ini penderita dengan masalah gawat darurat dan multi trauma
akan dilayani terlebih dahulu.
b. Jumlah penderita dan beratnya perlakuan melampaui kemampuan petugas.
Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan
dan tenaga paling sedikit.

Sistem Triage dipengaruhi oleh :


1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis

2.3 KLASIFIKASI DAN PENENTUAN PRIORITAS


Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada
keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum
pasien serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality
Standart, ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh
kembang dan psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses
pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat system pelayanan kedaruratan. Hal-hal
yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung berulang
atau meningkat keparahannya.
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah
kondisi klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan
penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation /
Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat (Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa /
adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac
arrest, penurunan kesadaran, trauma
mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi
tidak memerlukan tindakan darurat.
Setelah dilakukan resusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya : pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam nyawa
tetapi memerlukan tindakan darurat.
Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC
dan dapat langsung diberikan terapi
definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke
poliklinik, misalnya laserasi, fraktur
minor / tertutup, otitis media dan
lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat.
Gejala dan tanda klinis ringan /
asimptomatis. Misalnya penyakit kulit,
batuk, flu, dan sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital,
perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup
yang besar. Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu
gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi. Contohnya sumbatan
jalan nafas, tension pneumothorak,
syok hemoragik, luka terpotong pada
tangan dan kaki, combutio (luka bakar
tingkat II dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau
fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat
jangan terlambat. Contoh : patah tulang
besar, combutio (luka bakar) tingkat II
dan III < 25 %, trauma thorak /
abdomen, laserasi luas, trauma bola
mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka
ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat
kecil, luka sangat parah. Hanya perlu
terapi suportif. Contoh henti jantung
kritis, trauma kepala kritis.

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan (Iyer, 2004).


TINGKAT KEAKUTAN KETERANGAN
Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya
memar minor) dapat menunggu lama
tanpa bahaya
Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya
ruam, gejala flu) dapat menunggu lama
tanpa bahaya
Kelas III Semi-urgen / semi mendesak (misalnya
otitis media) dapat menunggu sampai 2
jam sebelum pengobatan
Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur
panggul, laserasi berat, asma); dapat
menunggu selama 1 jam
Kelas V Gawat darurat (misalnya henti jantung,
syok); tidak boleh ada keterlambatan
pengobatan ; situasi yang mengancam
hidup

2.4 TAHAPAN TRIASE


Tahapan triase dilakukan rapid assessment/screening assessment yang dilakukan
berdasarkan protap. Pengkajian ini harus meliputi nama pasien, tanggal lahir, nomor tanda
pengenal (KTP/SIM/paspor), alamat, nomor telepon, serta nama dan nomor telepon orang
terdekat pasien yang dapat dihubungi. Selain itu, juga disertakan tanda vital dan keluhan
utama dengan skor RUFA untuk menentukan perlu tidaknya dirawat di unit UPIP dan bila
dirawat untuk menentukan level/fase intensif pasien. Sementara pihak medis melakukan
pengkajian dengan menggunakan skala GAF.

a. Fase Intensif I (24 Jam Pertama)


1) Prinsip tindakan
a) Penyelamatan hidup (life saving).
b) Mencegah cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2) Indikasi
Pasien dengan skor 1–10 skala RUFA.
3) Pengkajian
a) Hal-hal yang harus dikaji adalah sebagai berikut.
b) Riwayat perawatan yang lalu.
c) Psikiater/perawat jiwa yang baru-baru ini menangani pasien (bila memungkinkan).
d) Diagnosis gangguan jiwa di waktu yang lalu yang mirip dengan tanda dan gejala
yang dialami pasien saat ini.
e) Stresor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah pasien saat ini.
f) Kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerja sama dalam proses perawatan.
g) Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, yang mencakup jenis obat yang
didapat, dosis, respons terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat,
serta daftar obat terakhir yang diresepkan dan nama dokter yang meresepkan.
h) Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuropsikiatrik.
i) Tes kehamilan untuk semua pasien perempuan usia subur.
Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu, pasien harus
sudah diperiksa dalam 8 jam pertama. Pasien yang berada dalam kondisi yang
sangat membutuhkan penanganan harus segera dikaji dan bertemu dengan
psikiater/petugas kesehatan jiwa dalam 15 menit pertama.
4) Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah observasi ketat, yakni sebagai berikut.
a) Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan diri).
b) Manajemen pengamanan pasien yang efektif (jika dibutuhkan).
c) Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik.
5) Evaluasi
a) Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif II.
b) Bila kondisi pasien di atas 10 skala RUFA maka pasien dapat dipindahkan ke
intensif II.
b. Fase Intensif II (24–72 Jam Pertama)
1) Prinsip tindakan
a) Observasi lanjutan dari fase krisis (intensif I).
b) Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2) Indikasi
Pasien dengan skor 11–20 skala RUFA
3) Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah observasi frekuensi dan intensitas yang lebih
rendah dari fase intensif I. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini
adalah terapi musik dan terapi olahraga.

4) Evaluasi
Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif III. Bila kondisi pasien di atas
skor 20 skala RUFA, maka pasien dapat dipindahkan ke intensif III. Bila di bawah
skor 11 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif I.
c. Fase Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1) Prinsip tindakan
a) Observasi lanjutan dari fase akut (intensif II).
b) Memfasilitasi perawatan mandiri pasien.
2) Indikasi
Pasien dengan skor 21–30 skala RUFA.
3) Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah sebagai berikut :
a) Observasi dilakukan secara minimal.
b) Pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri.
c) Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi
olahraga, dan terapi keterampilan hidup (life skill therapy)
4) Evaluasi
Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipulangkan. Bila kondisi pasien diatas skor 30 skala
RUFA, maka pasien dapat dipulangkan dengan mengontak perawat CMHN
terlebih dahulu. Bila di bawah skor 20 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke
fase intensif II, serta jika di bawah skor 11 skala RUFA, maka pasien
dikembalikan ke fase intensif I.
2.5 PENGKAJIAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah
tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang
harus dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara
ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.
Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat
melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,
negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh
terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan
mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa
yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan
dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan
oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital
pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan
dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah
dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan
darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan
dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum
menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien.
Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan
pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik
atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda.
Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan
demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat
seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai
gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus
menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental
yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal
ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita
berikan serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi
secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak
kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada
pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang
dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk
merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi


1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data ,
misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin),
pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti
catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan
sebelum memulai tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol,
trifluoperazine, perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik
kadang sangat efektif.
2.6 Berikut ini adalah contoh kegawatdaruratan pada pasien tindakan
kekerasan:
A. Pengertian
Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya
sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal
behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan
psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat
mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
B. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
 Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid
dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding
hallucination),
 Intoksikasi alkohol atau zat lain,
 Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
 Katatonik furor
 Depresi agitatif
 Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial),
 Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
 Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
kekerasan,
 Adanya rencana spesifik,
 Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
 Laki-laki,
 Usia muda (15-24 tahun),
 Tatus sosioekonomi rendah,
 Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
 Tindakan antisosial lainnya
 Riwayat percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak
kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat
diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
C. Panduan wawancara dan Psikoterapi
 Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang
jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan
batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan
bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini
sekarang”
 Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat
diterima,
 Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap
tenang dan penuh kontrol.
 Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
D. Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)
seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa
dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu
pada anggota staf yang terlatih.
- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin
merasa bahwa anda mengancamnya
- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu
persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag
anda. Jangan pernah membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama
ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
- Ancaman verbal,
- Agitasi psikomotor,
- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
- Waham kejar, dan
- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata
(seperti garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien
secara aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk
menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik
dan wawancara pskiatrik.
E. Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien
diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis
rata-rata per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2
menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang.
Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine
lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik
seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti
propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Triage merupakan kegiatan untuk menyortir/ memilah serta
mengklasifikasikan pasien yang datang di rumah sakit. Selama ini, pasien di
rumah sakit jiwa, belum dilakukan triage dengan optimal, sehingga pelayanan di
UGD cenderung sama satu pasien dengan pasien lainnya. Melalui penerapan
triage yang khusus untuk pasien gangguan jiwa, pasien akan dikelompokkan
menjadi 5 kelompok dan diberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhannya.
Dengan demikian, pelayanan di ruang gawat darurat akan menjadi lebih efisen
dan optimal. Pelaksanaan triage khusus jiwa memang belum familiar dan tidak
tampak digunakan. Oleh karena itu sangat diperlukan sosialisasi dan pelatihan
mengenai pelaksaan triage khusus jiwa, sebab berbagai penelitian telah
menyebutkan bahwa penggunaan triage khusus jiwa pada pasien dengan
gangguan jiwa di ruang gawat darurat, berdampak positif pada pelayanan.

B. SARAN
1. Sebagai rumah sakit khusus pasien gangguan jiwa, sebaiknya menerapkan
triage khusus jiwa di UGD.
2. Mahasiswa perawat dapat menjadi salah satu change of agent, yang
mempelajari serta menerapkan triage khusus pasien gangguan jiwa.
3. Perlu dilakukan pelatihan dan sosialisasi mengenai bagaimana pelaksaan
triage khusus gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.Jakarta : EGC
Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat.Denpasar : PSIK FK
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa
Aksara. Katona, C., Cooper C., dan Robertson M, 2012.

Anda mungkin juga menyukai