Disusun Oleh:
Kelas A Kelompok 2
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas sega
la rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini terwujud berkat partisispasi berbagai pihak. Oleh Karena itu, kami m
enyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Kami menyadari Makalah ini masih jauh dari harapan, yang mana di
dalamnya masih terdapat berbagai kesalahan baik dari segi penyusunan
bahasanya, sistem penulisan maupun isinya. Oleh karena itu Kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun sehingga dalam makalah berikutnya
dapat diperbaiki serta ditingkatkan kualitasnya. Adapun harapan kami semoga
makalah ini dapat diterima dengan semestinya dan bermanfaat bagi kita semua
dan semoga Allah SWT meridhai kami. Aamiin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................1
PEMBAHASAN......................................................................................................1
1.3. Tujuan........................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.2.1 Definisi.............................................................................................11
2.3.1 Definisi.............................................................................................15
2.3.2 Sejarah..............................................................................................16
iii
2.3.7 Pembaruan CTAS 2016...................................................................19
BAB III..................................................................................................................21
PENUTUP..............................................................................................................21
3.1 Kesimpulan..............................................................................................21
3.2 Saran........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
iv
BAB I
PEMBAHASAN
Instalasi gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu pintu masuk utama
pasien yang membutuhkan perawatan diRumah Sakit (RS). IGD adalah salah
satuunit RS yang menyediakan pelayanan kesehatan darurat. Kegawatdaruratan
merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa, membahayakan diri yang
ditandai dengan adanya gangguan pada pernafasan, sirkulasi, penurunan
kesadaran, gangguan hemodinamik sehingga memerlukan penanganan dengan
tindakan cepat, tepat, akurat guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan
(Permenkes RI Nomor 47, 2018).
Terdapat beberapa alasan mengapa seseorang diantar atau datang ke IGD.
Selain disebabkan oleh penyakit, seseorang bisa diantar atau datang ke IGD bisa
karena mengalami trauma atau mungkin kekerasan. Kepadatan yang terjadi di
IGD ini dapat menimbulkan masalah. Menurut Senat Amerika Serikat,
Departemen Emergensi Rumah Sakit (2009) bahwa masalah yang ditimbulkan
akibat IGD yang padat adalah meningkatnya waktu tunggu pasien untuk diperiksa
oleh dokter Mengingat banyaknya dampak dari masalah yang diakibatkan oleh
kepadatan tersebut, maka diperlukan solusi untuk mengatasinya. Menurut
penelitian salah satu cara untuk mengatasi kepadatan adalah dengan menerapkan
triase. Menurut sistem triase yang banyak diteliti adalah Australia Triage System
(ATS) yang berasal dari Australia, Canadian Triage Acquity System (CTAS) yang
berasal dari Kanada, ESI yang berasal dari Amerika Serikat dan Manchester
Triage Scale (MTS) yang berasal dari Inggris dan banyak digunakan oleh
sebagian besar negara di Eropa.
1
1.3. Tujuan
1. Untuk Mengidentifikasi Emergency Severity Scale (ESI).
2. Untuk Mengidentifikai Australian Triage Scale (ATS).
3. Untuk Mengidentifikasi Canadian Emergency Department Triage and
Acuity Scale (CATS).
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
gangguan psikiatri dengan risiko membahayakan diri pasien atau orang
lain. (Mardalena 1, 2018).
Pasien yang tidak memenuhi kriteria level 1 dan 2 akan memasuki
tahap penilaian kedua yaitu perkiraan kebutuhan pemakaian sumber daya
UGD (pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, tindakan atau
terapi intravena) dan pemeriksaan tanda vital lengkap. Apabila saat triase
diperkirakan pasien yang datang tidak membutuhkan pemeriksaan
penunjang dan terapi intravena, maka pasien termasuk kategori 5, apabila
pasien diperkirakan perlu menggunakan satu sumber daya UGD
(laboratorium atau x ray atau EKG, atau terapi intravena) maka termasuk
kategori 4, apabila pasien diperkirakan membutuhkan lebih dari satu
sumber daya UGD untuk mengatasi masalah medisnya, maka akan masuk
kategori 3 (apabila hemodinamik stabil) atau kategori 2 (apabila
hemodinamik tidak stabil). Analisis sistematik yang dilakukan Christ
menunjukkan bahwa ESI dan CTAS adalah sistim triase yang memiliki
reliabilitas paling baik (Christ M et al., 2017)
Emergency Severity Index (ESI) merupakan sistem triage yang
paling umum digunakan di semua bagian darurat, diakui sebagai sistem
yang valid dan akurat, yang memprioritaskan pasien serta mengikuti
proses pengobatan mereka untuk akses yang lebih baik ke perawatan
medis dan pelayanan (Maleki et al., 2015). Salah satu manfaat dari
triage ESI adalah identifikasi cepat pasien yang membutuhkan
perhatian segera.
Emergency Severity Index (ESI) akan lebih mudah diterapkan di
Indonesia karena tidak ada batas waktu spesifik yang ditentukan secara
ketat untuk masing-masing level. Selain itu, EmergencySeverity Index
(ESI) tidak secara spesifik mempertimbangkan diagnosis untuk
penentuan tingkat triage. Emergency Severity Index (ESI) lebih
cocok diterapkan, karena lebih mudah melihat kondisi dan keparahan
(Datusanantyo, 2020). Sistem triage ini dapat memberikan perencanaan
yang lebih baik bagi pasien yang memerlukan pelayanan gawat darurat
melalui pemeriksaan cepat terhadap kondisi dan kebutuhan akan sumber
4
daya. Bukti ini meyakinkan kita bahwa sistem triage Emergency
Severity Index (ESI) berpotensi diaplikasi di IGD rumah sakit di
Indonesia untuk meningkatkan keselamatan pasien dan efisiensi
pelayanan IGD (Datusanantyo, 2020).
ESI merupakan skala triase yang terdiri dari lima tingkatan yang
dikembangkan oleh dokter departemen emergensi yakni Richard Wuerz
dan David Eitel yang berasal dari Amerika Serikat. Ke dua dokter ini
meyakini pentingnya instrumen triase di IGD untuk memfasilitasi prioritas
pasien berdasarkan urgensi. ESI ini mulai diimplementasikan pada tahun
1999 (versi 1), kemudian tahun 2000 (versi 2) dan tahun 2001 (versi 3).
Kemudian pada tahun 2004 dilakukan revisi kembali sehingga muncul lah
ESI versi 4 (Nicki G et al., 2020)
ESI merupakan salah satu sistem triase yang memiliki 5 skala
tingkatan dengan validitas, reliabilitas dan sensitifitas yang tinggi. Dalam
pelaksanaannya sistem triase ini dapat dilakukan oleh dokter triase
maupun perawat triase. Untuk mencegah terjadinya kekeliruan penentuan
kategori triase (overtriage dan atau undertriage) maka pemeriksa harus
mempertimbangkan usia pasien, riwayat gangguan tanda vital, dan
keluhan utama spesifik pasien serta dapat ditambah dengan pemeriksaan
lain seperti Peak Expiratory Flowmeter (PEF) untuk kasus tertentu yakni
PPOK. (Nicki G et al., 2020)
5
tinggi, tidak terjadi perubahan kesadaran akut atau
nyeri hebat
6
umumnya per oral atau rawat luka sederhana. Contoh prioritas eksoriasi
dan lain-lain. 5 antara lain common cold, acne. (Ward DE, 2020)
Keterangan:
A. Memerlukan Intervensi Penyelamatan Jiwa Segera: Jalan nafas, obat-
obatan emergensi, atau intevensi hemodinamik lainnya (Terapi
intravena, O2 tambahan, monitor, Elektro Kardio Gram, atau
pemeriksaan laboratorium Tidak Dihitung); dan atau beberapa kondisi
klinis berikut: diintubasi, apnea, tidak ada nadi, distres pernafasan
berat, SPO2
B. Situasi Resiko Tinggi: dapat ditentukan berdasarkan pengalaman dan
dengan melihat usia dan riwayat kesehatan pasien sebelumnya. Nyeri
Hebat: ditentukan oleh observasi klinis dan atau skala nyeri lebih dari
atau sama dengan 7 (skala nyeri 0-10)
C. Sumber Daya: perhitungan jumlah jenis sumber daya yang berbeda
(contoh: Hitung Darah Lengkap, elektrolit, dan koagulasi darah
dihitung 1 sumber daya; jika Hitung Darah Lengkap ditambah rontgen
dada dihitung 2 sumber daya)
7
D. Tanda Vital Berbahaya: Pertimbangkan kenaikan ke ESI 2 jika
kriteria tanda vital apa pun di luar rentang normal. Pertimbangan
demam pada anak:
E. Usia 1-28 hari: termasuk ESI 2 jika suhu >38,0 C (100,4F) Usia 1-3
tahun: termasuk ESI 2 jika suhu >38,0 C (100,4F) Usia 3 bulan – 3
tahun: termasuk ESI 3 jika suhu?39,0C (102,2F), atau imunisasi tidka
lengkap, atau tidak ada sumber demam yang jelas.
8
lainnya tidak ada keterkaitan nya dengan pasien puas atau tidak puas
dengan pelayanan tersebut.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Erik verawati
(2018) dengan menggunakan metode triage ESI (Emergency Severity
Index) menunjukkan bahwa bahwa Response Time tenaga kesehatan di
Instalasi gawat darurat Rumah Sakit Paru Jember selama 30 hari diperoleh
rata-rata 64.56 waktu 1 menit 4 detik, yang mana Response Time
diperoleh rata-rata 88.59 waktu 1 menit 28 detik yang mana lama Triage
response time tenaga kesehatan di Instalasi gawat darurat Rumah Sakit
Paru Jember sudah sesuai Standart.
1. Hasil penelitian tentang penerapannya pada pasien
Penerapan triase ESI di IGD pernah diteliti oleh (Roudi MH, Dkk
2019) dan hasilnya menunjukkan adanya pengaruh ketepatan penerapan
triase ESI terhadap response time pasien. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa sistem triase dengan klasifikasi 5 kategori
menggunakan ESI memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dapat
memperkirakan outcome pasien secara efektif. Hal ini sesuai dengan
penelitian bahwa triase ESI dapat meningkatkan akurasi triase di IGD
karena pasien dengan resiko tinggi masuk ke dalam kategori ESI 1 dan 2
meningkat setelah implementasi triase ESI. Triase ESI ini ternyata dapat
lebih bermanfaat jika dikombinasikan dengan pemeriksaan lainnya. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang menunujukkan hasil bahwa triase ESI
ditambah dengan pemeriksaan Peak Expiratory Flowmeter (PEF) tampak
lebih akurat untuk melakukan triase pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) dibandingkan hanya menggunakan triase ESI
saja. Namun beberapa penelitian di atas berbeda pendapatnya dengan
hasil.
Penelitian berikut karena Esi dianggap memiliki kelemahan.
Setelah dicek validitasnya, triase ESI ini memiliki keterbatasan karena
dianggap tidak mempertimbangkan usia lanjut, gangguan tanda vital, dan
keluhan utama spesifik pada pasien sehingga dapat menyebabkan
terjadinya kekeliruan dalam menentukan kategori triase pasien, dan triase
9
ESI juga tidak ada hubungannya dengan tingkat kepuasan pasien.
Perbandingannya dengan beberapa sistem triase yang lain Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sistem triase CTAS, ESI dan MTS memiliki validitas
yang sama-sama baik meskipun dalam pelaksanaannya memiliki
variabilitas. Hal ini sejalan dengan hasil triase dengan 5 tingkatan skala
memiliki validitas dan sesitifitas yang tinggi sehingga lebih akurat dalam
menilai tingkat keparahan kondisi pasien.Namun berdasarkan jika
dibandingkan dengan ATS, metode triase ESI memberikan keputusan
triase yang lebih diharapkan, meminimalisir kekeliruan dalam menentukan
klasifikasi triase dan durasi penilaian 16 detik lebih cepat. (Minggawati
ZA, Dkk, 2020)
Instalasi gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu pintu masuk utama
pasien yang membutuhkan perawatan diRumah Sakit (RS). IGD adalah salah
satuunit RS yang menyediakan pelayanan kesehatan darurat.
Kegawatdaruratan merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa,
membahayakan diri yang ditandai dengan adanya gangguan pada pernafasan,
sirkulasi, penurunan kesadaran, gangguan hemodinamik sehingga memerlukan
10
penanganan dengan tindakan cepat, tepat, akurat guna penyelamatan nyawa dan
pencegahan kecacatan (Permenkes RI Nomor 47, 2018).
Terdapat beberapa alasan mengapa seseorang diantar atau datang ke IGD.
Selain disebabkan oleh penyakit, seseorang bisa diantar atau datang ke IGD bisa
karena mengalami trauma atau mungkin kekerasan. Kepadatan yang terjadi di
IGD ini dapat menimbulkan masalah. Menurut Senat Amerika Serikat,
Departemen Emergensi Rumah Sakit (2009) bahwa masalah yang ditimbulkan
akibat IGD yang padat adalah meningkatnya waktu tunggu pasien untuk diperiksa
oleh dokter Mengingat banyaknya dampak dari masalah yang diakibatkan oleh
kepadatan tersebut, maka diperlukan solusi untuk mengatasinya. Menurut
penelitian salah satu cara untuk mengatasi kepadatan adalah dengan menerapkan
triase. Menurut sistem triase yang banyak diteliti adalah Australia Triage System
(ATS) yang berasal dari Australia, Canadian Triage Acquity System (CTAS) yang
berasal dari Kanada, ESI yang berasal dari Amerika Serikat dan Manchester
Triage Scale (MTS) yang berasal dari Inggris dan banyak digunakan oleh
sebagian besar negara di Eropa.
2.2.1 Definisi
11
perawat IGD dalam memberikan intervensi secara tepat dan
meminimalkan waiting time pasien.(Andrayoni et al., 2019).
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. W. Z. Johannes telah
menerapkan sistem triase dengan menggunakan sistem ATS (Australasian
Triage Scale) sejak tahun 2017. Sistem triase ini dimodifikasi menjadi 3
bagian besar, yaitu :
12
dalam mengimplementasikan tindakan kepemimpinan yang nyata untuk
mengembangkan ide dan kerangka pemikiran sehingga dapat membuat
keputusan organisasi dilakukan dengan baik.
b. Faktor klien
Terdapat tujuh standar keselamatan klien yaitu hak klien, mendidik
klien dan keluarga, keselamatan klien dan kesinambungan pelayanan,
penggunaan metode-metode dalam peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan klien, peran kepemimpinan
dalam meningkatkan keselamatan klien, mendidik staf tentang
keselamatan klien dan komunikasi. Aplikasi keselamatan klien di IGD bisa
dilakukan dalam bentuk fasilitas yang tersedia seperti peralatan medis
yang steril, alat injeksi yang sekali pakai, perawat triage melakukan
komunikasi sehingga tidak ada kesalahan dalam tindakan terhadap klien,
harus cepat dan tepat dalam menangani klien, wajib melaksanakan SOP
dalam pencegahan infeksi nosokomial.
c. Faktor perlengkapan
Faktor perlengkapan atau peralatan triage (triaging tools),
pengumpulan data (dokumentasi) subyektif dan obyektif, dukungan antar
staf baik perawat dengan perawat dan perawat dengan dokter terkait
dengan lingkungan kerja fisik dan non fisk yang mempengaruhi kinerja
baik secara langsung maupun tidak langsung. College Of Registered Nurse
Of British Colombia (CRNBC) menyatakan lingkungan kerja yang
berkualitas adalah manajemen beban kerja, kepemimpinan keperawatan,
perkembangan professional, control praktik dan dukungan organisasi.
Indikator lingkungan kerja dapat diukur dengan Practice Environment
Scale Of The Nursing Work Index (PES-NWI) yaitu partisipasi perawat
yang berkualitas, kemampuan manajerial keperawatan, dukungan perawat,
staffing, sumberdaya kecukupan serta hubungan perawat dokter.
d. Faktor persyaratan staff (staff requirements)
Faktor ketenagaan meliputi
1) Dokter umum atau peserta residen Ilmu Kesehatan Anak yang
sedang jaga Di IGD, dokter spesialis minimal dokter spesialis
13
obstetric ginekologi, spesialis anak, spesialis anestesidan bedah,
spesialis emergency tersedia 24 jam.
2) Kepala IGD seorang dokter/spesialis bedah yang mempunyai
keahlian dalam menangani klien kasus emergensi, harus berada
ditempat bila diperlukan.
3) Spesialis Gawat Darurat yang bertugas dalam shift dan dalam
keadaan emergensi.
4) Perawat yang terdiri dari kepala perawat IGD berpengalaman
minimal 2 tahun dan berpendidikan Sarjana Keperawatan dan
mempunyai sertifikat pelatihan pertolongan dasar emergensi.
Staf perawat dalam jumlah yang cukup, terlatih dalam CPR dan
NRP dan harus ada dalam setiap shift.
5) Staf teknik medik IGD yaitu staf ambulans terlatih menangani
klien sampai ke RS
6) Staf IGD yang lain seperti porter, perawat keamanan dan
perawat kebersihan.
14
memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk
mencegah kematian dan kecacatan. Salah satu indikator mutu
pelayanan adalah waktu tanggap (respons time). Prosedur pelayanan
di suatu rumah sakit, pasien yang akan berobat akan diterima oleh petugas
kesehatan setempat baik yang berobat di rawat inap, rawat jalan
(poliklinik) maupun di IGD untuk yang penyakit darurat/emergency
dalam suatu prosedur pelayanan rumah sakit. Prosedur ini merupakan
kunci awal pelayanan petugas kesehatan rumah sakit dalam melayani
pasien secara baik atau tidaknya, dilihat dari sikap yang ramah, sopan,
tertib, dan penuh tanggung jawab. Pentingnya diatur standar IGD
karena pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh
pertolongan yang cepat dan tepat untuk itu perlu adanya standar
dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu
penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan
penanganan yang tepat.
15
2.3. Canadian Emergency Department Triage and Acuity Scale (CATS)
2.3.1 Definisi
2.3.2 Sejarah
16
Canadian Triage and Acuity Scale Nasional (Ernasi, dkk., 2016). Pedoman
CTAS Merekomendasikan waktu untuk penilaian yang dilakukan oleh
perawat dan dokter berdasarkan indikator pada setiap level triase
(Wibowo, 2020).
17
Kondisi yang berpotensi berkembang menjadi masalah serius yang
membutuhkan intervensi darurat . Dapat dikaitkan dengan
ketidaknyamanan yang signifikan atau mempengaruhi kemampuan
untuk bekerja dan kegiatan hidup sehari-hari. Waktu ke dokter ≤ 30
menit.
4. Level 4: kurang mendesak/ Less Urgent (Semi urgen)
Kondisi yang berkaitan dengan usia pasien, kesulitan, potensi
kerusakan atau komplikasi akan mendapat manfaat dari intervensi atau
jaminan dalam 1-2 jam). Waktunya ke dokter ≤ 1 jam.
5. Level 5: tidak mendesak/ No Urgent
Kondisi yang mungkin akut tetapi tidak mendesak serta kondisi yang
mungkin menjadi bagian dari masalah kronis dengan atau tanpa bukti
kerusakan. Investigasi atau intervensi untuk beberapa penyakit atau
cedera ini dapat ditunda atau bahkan dirujuk ke rumah sakit atau
sistem perawatan kesehatan lain. Waktunya ke dokter ≤ 2 jam.
18
2.3.6 Kategori triase berdasarkan beberapa system
19
2.3.8 Kelebihan CTAS
20
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut sistem triase yang banyak diteliti adalah Australia Triage System
(ATS) yang berasal dari Australia, Canadian Triage Acquity System (CTAS) yang
berasal dari Kanada, ESI yang berasal dari Amerika Serikat dan Manchester
Triage Scale (MTS) yang berasal dari Inggris dan banyak digunakan oleh
sebagian besar negara di Eropa. Firdaus (2017) dalam penelitiannya membuktikan
bahwa penerapan metode Australian Triage Scale atau (ATS) berpengaruh
terhadap waiting time yang diberikan. Penerapan ATS memudahkan perawat IGD
dalam memberikan intervensi secara tepat dan meminimalkan waiting time
pasien.(Andrayoni et al., 2019). CTAS adalah triase dengan 5 level yang
dikembangkan untuk membantu tenaga medis pada unit gawat darurat
memprioritaskan pasien berdasarkan ketajaman dan risiko berbasis kolaborasi
nasional dan internasional.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini semoga dapat menambah wawasan dan menjadi
bahan bacaan kita terkait Konsep penanganan kegawatdaruratan di beberapa
negara. Penanganan kasus kegawatdaruratan memang sangat penting untuk selalu
ditingkatkan. Oleh karena itu, semoga pelayanan kegawatdaruratan di Indonesia
terkhusus di Gorontalo bisa semakin baik lagi agar banyak nyawa yang dapat
terselamatkan dan pengguna jasa dalam hal ini pasien akan merasa puas.
22
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, J. T., dkk. 2019. Reliabilitas Sistem Triase Dalam Pelayanan Gawat
Darurat : A Review. Jurnal Ilmiah Keperawatan, Vol. 7 No. 2.
Datusanantyo AR. Emergency Severity Index ( ESI ). (2020). : Salah Satu Sistem
Triase Berbasis Bukti Decision Point A : Does the. Published online.
Ernasi, D., dkk. 2016. CTAS(Canadian Triage And Acuity Scale). Akademi
Perawat Kesehatan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Habib, H., dkk. 2016. Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia.
Instalasi Gawat Darurat RSCM.
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. (2020). : Jurnal Ilmu Ilmu Keperawatan,
Analis Kesehatan dan Farmasi Volume 20 Nomor 2 Agustus.
23
Kuriyama A, Urushidani S, Nakayama T. (2017). Five-level emergency triage
systems: Variation in assessment of validity. Emerg Med J.
Maleki, M., Fallah, R., Riahi, L., Delavari, S., & Rezaei, S. (2015).
Effectiveness of Five- Level Emergency Severity Index Triage System
Compared With Three- Level Spot Check: An Iranian Experience.
Archives of Trauma Research, 4 (4). https://doi.org/10.5812/atr.29214
Puspitasari, I., & Nur A. M. 2015. Evaluasi Medical Response Preparedness Pada
Unit Gawat Darurat (Studi Kasus Di IGD Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Sardjito Yogyakarta). Forum Teknik, Volume 36, Nomor 1.
Verawati, Erik., (2019). Gambaran Response Time dan Lama Triage di IGD
Rumah Sakit Paru Jember.
24
Cahaya Bangsa di IGD RSUD Ulin Banjarmasin. Jurnal Kesehatan
Indonesia (The Indonesian Journal of Health), Volume X, Nomor 2.
Widiyanto, A., dkk. 2019. The Canadian Emergency Department Triage & Acuity
Scale (CTAS) dan Perubahannya: A REVIEW. Avicenna Journal of
Health Research, Volume 2, Nomor 2.
25