Anda di halaman 1dari 14

“ MAKALAH PENANGANAN BENCANA DIRUMAH SAKIT”

DI SUSUN OLEH :
WIDIA PUTRI
( 20200001)

DOSEN PENGAMPU:

NS.SISCA OKTARIANI,S.Kep,S.Kep

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT


2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatnya lah kami bisa menyelesaikan sebuah makalah ini. Berikut ini
penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Penanganan bencana dirumah
sakit”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita semua.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat
kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca. Dengan ini kami mempersembahkan
makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini
sehingga dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Semoga makalah ini bermanfaat.

 Aamiin

Bukittinggi,12 juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B.

Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh kepaniteraan


Ilmu Kesehatan

, 9 September 2017

BAB I

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang paling tinggi
di dunia. Kepulauan Indonesia memiliki 6.000 pulau berpenghuni dari sekitar 17.000 pulau
yang ada. Masyarakat Indonesia menghadapi berbagai bahaya dengan kerentanan yang
berbeda dan kemampuan respon terhadap bencana yang berbeda-beda pula. Kerentanan iklim
dan keadaan geologis Indonesia diperparah oleh tantangan pembangunan termasuk
kemiskinan, pertumbuhan penduduk, ketidaksetaraan pembangunan, urbanisasi, penerapan
kebijakan penggunaan lahan dan peraturan bangunan yang tidak merata, korupsi yang relatif
tinggi dan penegakan hukum yang tidak mencukupi. Perusakan lingkungan, eksploitasi
sumber daya alam dan perubahan iklim yang kurang terkontrol meningkatkan frekuensi
kejadian bencana dan mengakibatkan meningkatnya jumlah korban jiwa dan kerusakan di
Indonesia dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (BNPB, 2016).

Terletak di Lingkaran Api Pasifik dan merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik
yaitu: Indo-Australia, Euroasia dan Pasifik menjadikan Indonesia sebagai salah satu daerah
rawan gunung berapi, gempa dan tsunami paling parah di dunia. Selain bahaya geologi
tersebut, Indonesia sebagai kepulauan tropis khatulistiwa menghadapi bahaya hidro-
meteorologi dan klimatologi setiap tahun misalnya banjir dan tanah longsor yang terjadi pada
musim penghujan.

Indonesia berada di urutan ke 12 di antara negara-negara paling rentan dengan risiko


kematian yang tinggi akibat berbagai bencana. Meurut DIBI, banjir yang diikuti oleh angin
kencang, tanah longsor dan kekeringan adalah penyebab korban meninggal dunia terbesar di
Indonesia antara tahun 1815 hingga 2015. Sekitar 189.711 orang meninggal dunia antara
tahun 2005 hingga 2015 karena bencana alam di Indonesia dan paling banyak disebabkan
oleh tsunami Aceh tahun 2004 (BNPB, 2016).

Banyaknya bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan pembelajaran bagi


masyarakat bahwa banyaknya korban jiwa dan kerugian terjadi akibat kurangnya
pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kejadian-kejadian
bencana tersebut semakin menyadarkan masyarakat tentang perlunya menata pelayanan
kesehatan gawat darurat secara efektif, efisien dan terstruktur. Indonesia melakukan berbagai
tahapan kegiatan dan intervensi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan
berpodeman pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
Peraturan Pemerintah terkait lainnya .
Kepmenkes No.28/ Menkes SK/I/1995 menyebutkan bahwa setiap RS harus
memiliki disaster plan agar dapat memberikan pertolongan secara cepat dan tepat apabila
terjadi bencana. Hal terebut menunjukkan peran penting rumah sakit dalam kesiapsiagaan
bencana. Kesiagaan rumah sakit baru dapat diwujudkan apabila perencanaan tersebut
ditindak lanjuti dengan terbentuknya Tim penanganan bencana di rumah sakit. Dalam
realisasi, harus pula ditetapkan adanya kerja sama dengan instansi di luar rumah sakit serta
ada pelatihan berkala terhadap staf rumah sakit sehingga staf rumah sakit mengetahui dan
terbiasa dengan perencanaan yang telah disusun agar dapat ditetapkan. Berdasarkan
Kepmenkes No.106/ Menkes SK/I/2004 harus ada pelatihan, advokasi, pembinaan teknis dan
manajemen serta menyusun standar/pedoman untuk menunjang Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu dari pra rumah sakit hingga rumah sakit, di IRD, HCU, ICU dan
Kamar Jenazah serta antar rumah sakit.

Sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan terutama untuk kasus-kasus gawat,


rumah sakit diharapkan lebih siap dalam menghadapi dampak bencana di dalam dan di luar
rumah sakit. Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan merupakan hak setiap orang dan
merupakan kewajiban yang dimiliki setiap orang. Pemerintah dan masyarakat
bertanggungjawab dalam memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Dalam keadaan bencana, rumah sakit harus mampu mengelola pelayanan sehari-hari
dan melayani korban bencana serta aktif dalam penyelamatan korban. Sumber daya manusia
dan fasilitas rumah sakit diharapkan siap dan mampu dalam penanggulangan serta
penanganan bencana. Laporan penanggulangan bencana RSUD Kota Surakarta ini
diharapkan dapat menjadi referensi bagi masyarakat dan tenaga kesehatan sehingga terbentuk
keiapsiagaan bencana khususnya di RSUD Kota Surakarta.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Jenis Bencana


Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Menurut World Health Organization (WHO) bencana adalah
kejadian yang mengganggu kondisi kehidupan normal dan menyebabkan tingkat
penderitaan yang melebihi kapasitas penyesuaian masyarakat yang terkena dampak
bencana tersebut.
Bencana alam, bencana nonalam dan bencana sosial juga didefinisikan dalam
UU Nomor 27 Tentang Penanggulangan Bencana. Bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia
yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

B. Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan penanggulanggan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetepan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurtat dan rehabilitasi. Pemerintah dan pemerintah
daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaran penanggulangan bencana,
untuk itu dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merupakan
lembaga pemerintah nondepartemen setingkat menteri berdasarkan UU Nomor 24
Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.. Pemerinah juga membentuk
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
Ada 4 fase penanggulangan bencana yaitu tanggap darurat, pasca darurat,
pencegahan dan mitigasi, serta kesiapsiagaan.
1. Tanggap Darurat
Selain proses triage dan pertolongan yang diberikan, pada fase ini akan dilakukan
rapid health assessment atau kajian darurat untuk mengumpulkan data pada 24 jam
pertama dan didirikan pos kesehatan darurat di collecting area.
2. Pasca Darurat
Pemulihan pada fase ini terdiri dari rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi
meliputi perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama
untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Rekonstruksi meliputi
pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
3. Pencegahan dan Mitigasi
Meberikan pembelajaran kepada masyarakat dan mengubah pola hidup serta
meningkatkan kesadaran masyarakat. Pencegahan terulangnya bencana, seperti
pemasangan seismograf pada titik rawan gempa kemudian mengevakuasi penduduk
setempat saat tanda-tanda awal gempa bumi terjadi. Mitigasi adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
4. Kesiapsiagaan
Adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

Gambar 2.1 Fase Penanggulangan Bencana

Ujung tombak dalam penanganan bencana di lapangan adalah barisan yang


tergabung dalam Brigade Siaga Bencana (BSB). BSB diharapkan dapat memberikan
unsur pelayanan kesehatan pra rumah sakit maupun unsur pelayanan rumah sakit secara
cepat yang bertujuan mengurangi angka kematian dan angka kecacatan korban bencana.
BSB terdiri dari BSB tingkat pusat yang berkedudukan di Jakarta, BSB Daerah (BSB
tingkat regional, BSB tingkat propinsi dan BSB tingkat kabupaten/ kota).

C. Triase Korban Bencana


Petugas triase akan memilah pasien berdasarkan beratnya cedera atau penyakit
untuk menentukan prioritas perawatan dan transportasi. Status triase pasien harus
dinilai ulang karena dapat berubah sewaktu-waktu. Pasien dikelompokkan menjadi:
1. Prioritas pertama (merah) yaitu pasien dengan cedera atau penyakit yang berat
sehingga memerlukan tindakan dan transportasi segera misalnya passion gagal
napas, luka bakar berat.
2. Prioritas kedua (kuning) yaitu pasien dengan cedera yang tidak cukup berat dan
tidak mengancam jiwa namun membutyuhkan bantuan, misalnya fraktur tanpa syok
, luka bakar ringan.
3. Prioritas ketiga (hijau) yaitu pasien cedera ringan yang tidak membutuhkan
perawatan segera.
4. Prioritas nol (hitam) untuk pasien meninggal dunia atau cedera berat yang tidak
memungkinkan dilakukan resusitasi. Untuk pasien atau korban meninggal dunia,
bendera di atas kepala menandakan korban sudah diidentifikasi sedangkan bendera
dibawah kaki menandakan korban belum diidentifikasi.

Gambar 2.2. Algoritma Sistem START

Pada sistem START (Simple Triage And Rapid Transportation) tidak ada resusitasi
dan C-spine control, satu pasien maksimal 60 detik kemudian pindah ke pasien
berikutnya. Pasien dengan peluang hidup terbesar akan diprioritaskan.
BAB III

PEMBAHASAN

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) merupakan koordinasi


berbagai unit kerja (multi sektor) dan didukung berbagai kegiatan profesi (multi disiplin dan
multi profesi) untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi penderita gawat darurat baik
dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan bencana. Rumah sakit adalah bagian dari
BSB Daerah dan berperan penting dalam SPGDT. RSUD Kota Surakarta merupakan salah
satu pelayanan kesehatan penggerak penanggulangan bencana yang terjadi di wilayah Kota
Surakarta dan sekitarnya. RSUD Kota Surakarta memiliki Tim Penanganan bencana Rumah
Sakit yang dipimpin oleh pimpinan rumah sakit serta dibantu oleh penasihat medik dari
bagian pelayanan medik serta pelaksana meliputi bagian operasional, sarana prasarana,
logistik, perencanaan, dan keuangan. Setiap petugas sudah mendapat pelatihan dasar
penanganan bencana, namun belum pernah dilaksanakan pelatihan yang terintegrasi di rumah
sakit.

Penanganan bencana bagi rumah sakit dibagi menjadi dalam dua kelompok yaitu
Internal Disaster (bencana yang terjadi pada rumah sakit) dan External Disaster (rumah sakit
ikut menangani bencana di luar rumah sakit). Bencana yang terjadi di luar rumah sakit
memiliki dua kemungkinan yaitu rumah sakit diminta mengirimkan tim penanganan bencana
ke lokasi bencana atau rumah sakit harus menerima sejumlah korban bencana. Apabila
terdapat external disaster, akan dikirim tim medis menuju tempat kejadian menggunakan
ambulans. RSUD Kota Surakarta akan menjadi back up apabila terjadi bencana di suatu
wilayah, sedangkan lini pertama penanggulangan bencana adalah Puskesmas di wilayah
terebut. Apabila masih diperlukan, RSUD Kota Surakarta akan di-BKO-kan.

Koordinasi antar instansi di Surakarta saat terjadi bencana masih kurang baik
sehingga bantuan yang datang menjadi kurang sistematis. Antar instansi kurang bekerjasama
memberikan pertolongan dan cenderung bergerak sendiri-sendiri. Sistem komunikasi terpadu
sangat diperlukan apabila terjadi suatu bencana. Sistem komunikasi terpadu tersebut terdiri
dari komunikasi penyampaian informasi dari awal kejadian bencana oleh petugas kepada
Ketua Tim Penanganan Bencana Rumah Sakit, koordinasi secara internal rumah sakit dan
secara eksternal dengan instansi lain, dan pengendalian di lapangan. Koordinasi antar instansi
harus dilakukan secara solid, sebaiknya tim penanganan bencana dari setiap instansi sampai
di tempat kejadian bencana dalam waktu yang bersamaan sehingga dapat dilakukan
penanganan bencana terpadu.

Seluruh karyawan RSUD Kota Surakarta berperan dalam penanganan bencana


apabila terjadi internal-disaster seperti kebakaran atau gempa bumi. Papan petugas code red
yang terpasang di beberapa bagian rumah sakit belum diisi nama petugas yang bertanggung
jawab, hal ini dapat menyebabkan kurang terkoordinasinya penanganan bencana di rumah
sakit. Sistem alarm kebakaran RSUD Kota Surakarta sudah cukup memadai dan rutin
dilakukan pengecekan. Alat pemadam api seperti APAR dan Hydrant mudah dijumpai di
berbagai titik rumah sakit. APAR diletakkan 125cm dari lantai sesui dengan Permenakertrans
sehingga mudah diakses ketika terjadi bencana.

Gambar 3.1 Papan Petugas Code Red

Gambar 3.2 Fasilitas Pemadam Api


Tangga darurat dan jalur evakuasi sudah dilengkapi tanda arah yang mudah dibaca
dan jelas, namun jalur evakuasi di RSUD Kota Surakarta belum standar karena seluruh
tulisan jalur evakuasi tidak ada yang berada di bagian bawah dinding gedung rumah sakit,
seharusnya tulisan jalur evakuasi dipasang di bagian bawah dari dinding agar lebih mudah
terlihat jika terjadi bencana yang kemudian mengakibatkan pencahayaan di dalam rumah
sakit berkurang dan menjadi gelap, karena apabila menggunakan senter pasti akan menyorot
kebawah ke arah lantai bukan ke atas. Titik kumpul sudah disediakan di beberapa titik di luar
gedung rumah sakit, namun titik kumpul yang ada masih digunakan sebagai tempat parkir
kendaraan. Titik kumpul seharusnya berada di tempat yang terbuka, jauh dari bangunan
tinggi dan barang-barang yang dapat mencederai serta dapat digunakan sewaktu-waktu.
Penggunaan titik kumpul di tempat parkir dikhawatirkan kurang optimal saat terjadi bencana.

Gambar 3.3 Tanda Arah Jalur Evakuasi dan Tangga Darurat


Gambar 3.4 Titik Kumpul di Tempat Parkir

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
1. RSUD Kota Surakarta sudah menerapkan manajemen siaga bencana yang
dijalankan oleh Tim Siaga Bencana dalam menangani internal disaster maupun
external disaster.
2. Tim Siaga Bencana RSUD Kota Surakarta berkoordinasi dengan instansi lain untuk
penanganan bencana yang cepat, efektif dan efisien.
3. Fasilitas pemadam, penanda arah dan jalur evakuasi di RSUD Kota Surakarta sudah
tersedia namun masih perlu dibenahi karena ada beberapa yang belum sesuai
standar.
4. Petugas sudah menjalani pelatihan dasar, namun belum pernah dilaksanakan
pelatihan yang terintegrasi.
B. Saran
1. Sebaiknya disediakan jalur evakuasi di luar bangunan RSUD Kota Surakarta
sehingga memudahkan akses menuju tempat yang lebih aman.
2. Sebaiknya titik kumpul tidak menggunakan tempat parker yang kemungkinan akan
penuh dengan kendaraan. Sebaiknya menggunakan tempat terbuka yang cukup
lapang sehingga siap digunaan sewaktu-waktu.
3. Manajemen petugas code red sebaiknya lebih ditertibkan lagi dan mengisi papan
code red sesuai seharusnya.
4. Sebaiknya diadakan pelatihan penanganan bencana yang terintegrasi seperti
simulasi bencana yang melibatkan berbagai sektor secara rutin.
5. Manajemen siaga bencana RSUD sebaiknya terus dioptimalkan sesuai dengan
hospital disaster plan dan meningkatkan koordinasi dalam tim maupun dengn
instansi lain.
6.

Daftar Pustaka

BNPB (2016). Indonesia’s Disaster Risk Management Baseline Status Report 2015. BNPB:
Jakarta.
Departemen Kesehatan (2006).Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana.
Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI (2009). Pedoman Perencanaan Penyiagaan Bencana Bagi Rumah
Sakit. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI (2006). Seri PPGD.
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life Support (GELS).
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Departemen Kesehatan RI:
Jakarta.
Untung Alifianto (2003). Brigade Siaga Bencana dalam Buku Pelatihan Penanggulangan
Penderita Gawat Darurat Bagi Dokter. Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi.
Surakarta.
WHO (2002). Disasters and Emergencies Definitions. www.who.int/disasters/repo/7656.pdf
Diakses Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai