Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN INDIVIDU

SIAGA BENCANA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


(RSUD) KOTA SURAKARTA

Oleh:
Pramitha Yustia G99161073

Pembimbing:
dr. Niken Yuliani Untari

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN INDIVIDU KEGIATAN PEMBELAJARAN DI RUMAH SAKIT


UMUM DERAH (RSUD) KOTA SURAKARTA:

SIAGA BENCANA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) KOTA SURAKARTA

Oleh:
Pramitha Yustia G99161073

Telah disetujui dan disahkan pada:


Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Pemimpin BLUD RSUD Kota Surakarta Pembimbing

dr. Willy Handoko Wijaya, MARS dr. Niken Yuliani Untari


NIK. 19520925 201401 1 051 NIP. 19780813 200701 2008
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan individu kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) di RSUD
Kota Surakarta.

Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh


kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran UNS. Pada
kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Hartono, dr., M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. dr. Eti Poncorini Pamungkasari, M.Pd selaku Kepala Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. dr. Willy Handoko Wijaya, MARS selaku Pemimpin BLUD Pada RSUD Kota
Surakarta.
4. dr. Niken Yuliani Untari selaku staff pembimbing dokter muda di RSUD Kota
Surakarta.
5. Seluruh staff di RSUD Kota Surakarta.

Surakarta, 9 September 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang


paling tinggi di dunia. Kepulauan Indonesia memiliki 6.000 pulau berpenghuni
dari sekitar 17.000 pulau yang ada. Masyarakat Indonesia menghadapi berbagai
bahaya dengan kerentanan yang berbeda dan kemampuan respon terhadap
bencana yang berbeda-beda pula. Kerentanan iklim dan keadaan geologis
Indonesia diperparah oleh tantangan pembangunan termasuk kemiskinan,
pertumbuhan penduduk, ketidaksetaraan pembangunan, urbanisasi, penerapan
kebijakan penggunaan lahan dan peraturan bangunan yang tidak merata, korupsi
yang relatif tinggi dan penegakan hukum yang tidak mencukupi. Perusakan
lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan perubahan iklim yang kurang
terkontrol meningkatkan frekuensi kejadian bencana dan mengakibatkan
meningkatnya jumlah korban jiwa dan kerusakan di Indonesia dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya (BNPB, 2016).

Terletak di Lingkaran Api Pasifik dan merupakan pertemuan tiga


lempeng tektonik yaitu: Indo-Australia, Euroasia dan Pasifik menjadikan
Indonesia sebagai salah satu daerah rawan gunung berapi, gempa dan tsunami
paling parah di dunia. Selain bahaya geologi tersebut, Indonesia sebagai
kepulauan tropis khatulistiwa menghadapi bahaya hidro-meteorologi dan
klimatologi setiap tahun misalnya banjir dan tanah longsor yang terjadi pada
musim penghujan.

Indonesia berada di urutan ke 12 di antara negara-negara paling rentan


dengan risiko kematian yang tinggi akibat berbagai bencana. Meurut DIBI, banjir
yang diikuti oleh angin kencang, tanah longsor dan kekeringan adalah penyebab
korban meninggal dunia terbesar di Indonesia antara tahun 1815 hingga 2015.
Sekitar 189.711 orang meninggal dunia antara tahun 2005 hingga 2015 karena
bencana alam di Indonesia dan paling banyak disebabkan oleh tsunami Aceh
tahun 2004 (BNPB, 2016).

Banyaknya bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan


pembelajaran bagi masyarakat bahwa banyaknya korban jiwa dan kerugian terjadi
akibat kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana. Kejadian-kejadian bencana tersebut semakin menyadarkan masyarakat
tentang perlunya menata pelayanan kesehatan gawat darurat secara efektif, efisien
dan terstruktur. Indonesia melakukan berbagai tahapan kegiatan dan intervensi
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan berpodeman pada
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
Peraturan Pemerintah terkait lainnya .

Kepmenkes No.28/ Menkes SK/I/1995 menyebutkan bahwa setiap RS


harus memiliki disaster plan agar dapat memberikan pertolongan secara cepat dan
tepat apabila terjadi bencana. Hal terebut menunjukkan peran penting rumah sakit
dalam kesiapsiagaan bencana. Kesiagaan rumah sakit baru dapat diwujudkan
apabila perencanaan tersebut ditindak lanjuti dengan terbentuknya Tim
penanganan bencana di rumah sakit. Dalam realisasi, harus pula ditetapkan
adanya kerja sama dengan instansi di luar rumah sakit serta ada pelatihan berkala
terhadap staf rumah sakit sehingga staf rumah sakit mengetahui dan terbiasa
dengan perencanaan yang telah disusun agar dapat ditetapkan. Berdasarkan
Kepmenkes No.106/ Menkes SK/I/2004 harus ada pelatihan, advokasi, pembinaan
teknis dan manajemen serta menyusun standar/pedoman untuk menunjang Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu dari pra rumah sakit hingga rumah sakit,
di IRD, HCU, ICU dan Kamar Jenazah serta antar rumah sakit.

Sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan terutama untuk kasus-kasus


gawat, rumah sakit diharapkan lebih siap dalam menghadapi dampak bencana di
dalam dan di luar rumah sakit. Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan merupakan
hak setiap orang dan merupakan kewajiban yang dimiliki setiap orang. Pemerintah
dan masyarakat bertanggungjawab dalam memelihara dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.

Dalam keadaan bencana, rumah sakit harus mampu mengelola pelayanan


sehari-hari dan melayani korban bencana serta aktif dalam penyelamatan korban.
Sumber daya manusia dan fasilitas rumah sakit diharapkan siap dan mampu dalam
penanggulangan serta penanganan bencana. Laporan penanggulangan bencana
RSUD Kota Surakarta ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi masyarakat dan
tenaga kesehatan sehingga terbentuk keiapsiagaan bencana khususnya di RSUD
Kota Surakarta.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Jenis Bencana


Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut World Health Organization (WHO) bencana adalah kejadian yang
mengganggu kondisi kehidupan normal dan menyebabkan tingkat
penderitaan yang melebihi kapasitas penyesuaian masyarakat yang terkena
dampak bencana tersebut.
Bencana alam, bencana nonalam dan bencana sosial juga
didefinisikan dalam UU Nomor 27 Tentang Penanggulangan Bencana.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.

B. Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan penanggulanggan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetepan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurtat dan
rehabilitasi. Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab
dalam penyelenggaran penanggulangan bencana, untuk itu dibentuk Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merupakan lembaga
pemerintah nondepartemen setingkat menteri berdasarkan UU Nomor 24
Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.. Pemerinah juga
membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.
Ada 4 fase penanggulangan bencana yaitu tanggap darurat, pasca
darurat, pencegahan dan mitigasi, serta kesiapsiagaan.
1. Tanggap Darurat
Selain proses triage dan pertolongan yang diberikan, pada fase ini akan
dilakukan rapid health assessment atau kajian darurat untuk
mengumpulkan data pada 24 jam pertama dan didirikan pos kesehatan
darurat di collecting area.
2. Pasca Darurat
Pemulihan pada fase ini terdiri dari rehabilitasi dan rekonstruksi.
Rehabilitasi meliputi perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana. Rekonstruksi meliputi
pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada
wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
3. Pencegahan dan Mitigasi
Meberikan pembelajaran kepada masyarakat dan mengubah pola hidup
serta meningkatkan kesadaran masyarakat. Pencegahan terulangnya
bencana, seperti pemasangan seismograf pada titik rawan gempa
kemudian mengevakuasi penduduk setempat saat tanda-tanda awal
gempa bumi terjadi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.
4. Kesiapsiagaan
Adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna
dan berdaya guna.

Gambar 2.1 Fase Penanggulangan Bencana

Ujung tombak dalam penanganan bencana di lapangan adalah


barisan yang tergabung dalam Brigade Siaga Bencana (BSB). BSB
diharapkan dapat memberikan unsur pelayanan kesehatan pra rumah sakit
maupun unsur pelayanan rumah sakit secara cepat yang bertujuan
mengurangi angka kematian dan angka kecacatan korban bencana. BSB
terdiri dari BSB tingkat pusat yang berkedudukan di Jakarta, BSB Daerah
(BSB tingkat regional, BSB tingkat propinsi dan BSB tingkat kabupaten/
kota).

C. Triase Korban Bencana


Petugas triase akan memilah pasien berdasarkan beratnya cedera
atau penyakit untuk menentukan prioritas perawatan dan transportasi. Status
triase pasien harus dinilai ulang karena dapat berubah sewaktu-waktu.
Pasien dikelompokkan menjadi:
1. Prioritas pertama (merah) yaitu pasien dengan cedera atau penyakit yang
berat sehingga memerlukan tindakan dan transportasi segera misalnya
passion gagal napas, luka bakar berat.
2. Prioritas kedua (kuning) yaitu pasien dengan cedera yang tidak cukup
berat dan tidak mengancam jiwa namun membutyuhkan bantuan,
misalnya fraktur tanpa syok , luka bakar ringan.
3. Prioritas ketiga (hijau) yaitu pasien cedera ringan yang tidak
membutuhkan perawatan segera.
4. Prioritas nol (hitam) untuk pasien meninggal dunia atau cedera berat
yang tidak memungkinkan dilakukan resusitasi. Untuk pasien atau
korban meninggal dunia, bendera di atas kepala menandakan korban
sudah diidentifikasi sedangkan bendera dibawah kaki menandakan
korban belum diidentifikasi.
Gambar 2.2. Algoritma Sistem START

Pada sistem START (Simple Triage And Rapid Transportation) tidak ada
resusitasi dan C-spine control, satu pasien maksimal 60 detik kemudian
pindah ke pasien berikutnya. Pasien dengan peluang hidup terbesar akan
diprioritaskan.
BAB III

PEMBAHASAN

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) merupakan


koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan didukung berbagai kegiatan
profesi (multi disiplin dan multi profesi) untuk menyelenggarakan pelayanan
terpadu bagi penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun
dalam keadaan bencana. Rumah sakit adalah bagian dari BSB Daerah dan
berperan penting dalam SPGDT. RSUD Kota Surakarta merupakan salah satu
pelayanan kesehatan penggerak penanggulangan bencana yang terjadi di wilayah
Kota Surakarta dan sekitarnya. RSUD Kota Surakarta memiliki Tim Penanganan
bencana Rumah Sakit yang dipimpin oleh pimpinan rumah sakit serta dibantu
oleh penasihat medik dari bagian pelayanan medik serta pelaksana meliputi
bagian operasional, sarana prasarana, logistik, perencanaan, dan keuangan. Setiap
petugas sudah mendapat pelatihan dasar penanganan bencana, namun belum
pernah dilaksanakan pelatihan yang terintegrasi di rumah sakit.

Penanganan bencana bagi rumah sakit dibagi menjadi dalam dua


kelompok yaitu Internal Disaster (bencana yang terjadi pada rumah sakit) dan
External Disaster (rumah sakit ikut menangani bencana di luar rumah sakit).
Bencana yang terjadi di luar rumah sakit memiliki dua kemungkinan yaitu rumah
sakit diminta mengirimkan tim penanganan bencana ke lokasi bencana atau rumah
sakit harus menerima sejumlah korban bencana. Apabila terdapat external
disaster, akan dikirim tim medis menuju tempat kejadian menggunakan ambulans.
RSUD Kota Surakarta akan menjadi back up apabila terjadi bencana di suatu
wilayah, sedangkan lini pertama penanggulangan bencana adalah Puskesmas di
wilayah terebut. Apabila masih diperlukan, RSUD Kota Surakarta akan di-BKO-
kan.

Koordinasi antar instansi di Surakarta saat terjadi bencana masih kurang


baik sehingga bantuan yang datang menjadi kurang sistematis. Antar instansi
kurang bekerjasama memberikan pertolongan dan cenderung bergerak sendiri-
sendiri. Sistem komunikasi terpadu sangat diperlukan apabila terjadi suatu
bencana. Sistem komunikasi terpadu tersebut terdiri dari komunikasi penyampaian
informasi dari awal kejadian bencana oleh petugas kepada Ketua Tim Penanganan
Bencana Rumah Sakit, koordinasi secara internal rumah sakit dan secara eksternal
dengan instansi lain, dan pengendalian di lapangan. Koordinasi antar instansi
harus dilakukan secara solid, sebaiknya tim penanganan bencana dari setiap
instansi sampai di tempat kejadian bencana dalam waktu yang bersamaan
sehingga dapat dilakukan penanganan bencana terpadu.

Seluruh karyawan RSUD Kota Surakarta berperan dalam penanganan


bencana apabila terjadi internal-disaster seperti kebakaran atau gempa bumi.
Papan petugas code red yang terpasang di beberapa bagian rumah sakit belum
diisi nama petugas yang bertanggung jawab, hal ini dapat menyebabkan kurang
terkoordinasinya penanganan bencana di rumah sakit. Sistem alarm kebakaran
RSUD Kota Surakarta sudah cukup memadai dan rutin dilakukan pengecekan.
Alat pemadam api seperti APAR dan Hydrant mudah dijumpai di berbagai titik
rumah sakit. APAR diletakkan 125cm dari lantai sesui dengan Permenakertrans
sehingga mudah diakses ketika terjadi bencana.

Gambar 3.1 Papan Petugas Code Red


Gambar 3.2 Fasilitas Pemadam Api

Tangga darurat dan jalur evakuasi sudah dilengkapi tanda arah yang
mudah dibaca dan jelas, namun jalur evakuasi di RSUD Kota Surakarta belum
standar karena seluruh tulisan jalur evakuasi tidak ada yang berada di bagian
bawah dinding gedung rumah sakit, seharusnya tulisan jalur evakuasi dipasang di
bagian bawah dari dinding agar lebih mudah terlihat jika terjadi bencana yang
kemudian mengakibatkan pencahayaan di dalam rumah sakit berkurang dan
menjadi gelap, karena apabila menggunakan senter pasti akan menyorot kebawah
ke arah lantai bukan ke atas. Titik kumpul sudah disediakan di beberapa titik di
luar gedung rumah sakit, namun titik kumpul yang ada masih digunakan sebagai
tempat parkir kendaraan. Titik kumpul seharusnya berada di tempat yang terbuka,
jauh dari bangunan tinggi dan barang-barang yang dapat mencederai serta dapat
digunakan sewaktu-waktu. Penggunaan titik kumpul di tempat parkir
dikhawatirkan kurang optimal saat terjadi bencana.
Gambar 3.3 Tanda Arah Jalur Evakuasi dan Tangga Darurat

Gambar 3.4 Titik Kumpul di Tempat Parkir


BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
1. RSUD Kota Surakarta sudah menerapkan manajemen siaga bencana
yang dijalankan oleh Tim Siaga Bencana dalam menangani internal
disaster maupun external disaster.
2. Tim Siaga Bencana RSUD Kota Surakarta berkoordinasi dengan
instansi lain untuk penanganan bencana yang cepat, efektif dan efisien.
3. Fasilitas pemadam, penanda arah dan jalur evakuasi di RSUD Kota
Surakarta sudah tersedia namun masih perlu dibenahi karena ada
beberapa yang belum sesuai standar.
4. Petugas sudah menjalani pelatihan dasar, namun belum pernah
dilaksanakan pelatihan yang terintegrasi.
B. Saran
1. Sebaiknya disediakan jalur evakuasi di luar bangunan RSUD Kota
Surakarta sehingga memudahkan akses menuju tempat yang lebih aman.
2. Sebaiknya titik kumpul tidak menggunakan tempat parker yang
kemungkinan akan penuh dengan kendaraan. Sebaiknya menggunakan
tempat terbuka yang cukup lapang sehingga siap digunaan sewaktu-
waktu.
3. Manajemen petugas code red sebaiknya lebih ditertibkan lagi dan
mengisi papan code red sesuai seharusnya.
4. Sebaiknya diadakan pelatihan penanganan bencana yang terintegrasi
seperti simulasi bencana yang melibatkan berbagai sektor secara rutin.
5. Manajemen siaga bencana RSUD sebaiknya terus dioptimalkan sesuai
dengan hospital disaster plan dan meningkatkan koordinasi dalam tim
maupun dengn instansi lain.
6.
Daftar Pustaka

BNPB (2016). Indonesias Disaster Risk Management Baseline Status Report


2015. BNPB: Jakarta.
Departemen Kesehatan (2006).Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari &
bencana. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI (2009). Pedoman Perencanaan Penyiagaan Bencana
Bagi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI (2006). Seri
PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency
Life Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Untung Alifianto (2003). Brigade Siaga Bencana dalam Buku Pelatihan
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Bagi Dokter. Instalasi Gawat
Darurat RSUD Dr. Moewardi. Surakarta.
WHO (2002). Disasters and Emergencies Definitions.
www.who.int/disasters/repo/7656.pdf Diakses Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai