Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perhatian pada fenomena bencana alam tidak dapat lagi ditempatkan pada
isu-isu pinggiran. Selain dampak yang dihasilkan oleh sebuah bencana alam kini
menjadi semakin meluas akibat semakin terintegrasinya bangsa-bangsa di dunia,
bencana alam juga dapat mendisrupsi upaya pembangunan sebuah bangsa dengan
menghancurkan hasil jerih payah pembangunan yang telah dilakukan sekian tahun.
Statistik-statistik yang ada mungkin mampu berperan dalam mengangkat
pentingnya isu manajemen bencana bagi pengambil kebijakan, baik pemerintah,
sektor bisnis, atau penggiat masyarakat sipil.

Prinsip utama yang harus dipahami dalam isu manajemen bencana adalah
upaya untuk mengurangi dampak yang dihasilkan pada kehidupan masyarakat pada
property - properti masyarakat dan pada lingkungan. Prinsip manajemen bencana
ini pada dasarnya selalu sema untuk dijadikan dasar pengambilen kebijakan.
Walaupun demikian, kapasitas negara sebagai entitas yang secara umuin
dipergunakan dalam Hubungan Internasional nyata - nyata tidaklah sama. Karena
faktor-faktor politik, ekonomi atau budaya, sebuah negara memiliki kapasitas yang
berbeda dengan negara lainnya dalam mengelola bencana. Kapasitas negara-nogara
yang tidak sama tersebut dihadapkan pada kemungkinan terjadinya bencana di
negara manapun terlepas dari kapasitasnya menangani bencana. Hal inilah yang
menjadi titik tolak diperlukannya sebualh manajemen bencana internasional.

Pembahasan dalam artikel ini akan mencakup beberapa isu. Pertama,


penulis akan memaparkan tinjauan historis upaya-upaya manajemen bencana di
dunia. Pemahaman historis ini diperlukan untuk memberikan kesadaran bahwa
manajemen bencana merupakan sebuah isu penting karena menyangkut
survivability sebuah bangsa atau bahkan peradaban. Kedua, akan dibahas mengenai
kemunculan manajemen bencana internasional dan regional yang difokuskan pada
upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan ASEAN. Setelah memaparkan
implikasi manajemen bencana internasional pada ilmu Hubungan Internasional,

1
Penulis akan menutup artikel dengan melihat lebih jauh bagaimana aktor
negara berupaya tetap relevan di tengah-tengah pengaturan manajemen bencana
internasional dan regional dengan melihat kebijakan pemerintah Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana historis manajemen bencana ?


2. Bagaimana manajemen bencana internasional dan regional ?
3. Bagaimana hubungan implikasi hubungan internasional ?
4. Bagaimana Indonesia dalam memanajemen bencana internasional ?

1.3 Tujuan Umum

Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa atau pembaca mengetahui dan
memahami tentang manajemen bencana internasional.

1.4 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui historis manajemen bencana


2. Untuk mengetahui bencana internasional dan regional
3. Untuk mengetahui hubungan implikasi hubungan internasional
4. Untuk mengetahui bagaimana Indonesia dalam memanajemen becana
internasional

2
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Tinjauan Historis Manajemen Bencana

Studi mengenai hencana alam (natural disasters) memberikan perspektif


yang berbeda bagi penggiat Hubungan Internasional dalam memandang muncul
dan hancurmya sebuah great power. la melihat bahwa muncul dan hancurnya
scbuah peradaban (civilization) ditentukan olch kemampuannya dalam mengelola
manajemen bencana. Peradaban Maya, Norse, Minoa dan Kerajaan Mesir kuno
menjadi hancur bukan karena scrangan musuh - musuh besarnya, mclainkan karena
diterpa bencana alam seperti banjir, kelaparan, gempa bumi, tsunami, El Nino, dan
lain-lain. Tabel berikut menunjukkan beberapa bencana alam terbesar dalam umat
manusia.

Korban Jiwa
Bencana Alam Tahun
(dalam ribuan)
Gempa bumi Medeterania di Mesir dan Syria 1201 1.100
Gempa bumi Shanzii (China) 1556 830
Angin topan Kalkuta (India) 1737 300
Gunung Meletus Tamboro (Indonesia) 1815 80
Wabah influenza 1917 20.000
Banjir sungai Yangtse 1931 3.000
Kelaparan (Rusia) 1932 5.000
Cyclone Bangladesh 1970 300
Gempa bumi Tangshan (China) 1976 665

Sejarah menunjukkan bahwa jenis bencana alam yang mengancam


peradaban manusia tidak jauh berbeda dengan jenis bencana alam yang ada pada
zaman sekarang. Demikian pula dengan reaksi masyarakat yang selalu berupaya
untuk melakukan pengelolaan manajemen bencana. Salah satu manajemen bencana
yang terdokumentasikan dalam beberapa kitab suci agama adalah upaya Nabi Nuh
untuk menghindari bencana alam banjir dengan membangun sebuah bahtera yang

3
sangat besar. Manajemen bencana yang dilakukan ketika itu juga mengandung
unsur penyelamnatan biodiversitas dengan memasukkan serangkaian flora dan
fauna ke dalam bahtera yang dibangun tersebut. Cerita tersebut juga menunjukkan
bahwa mereka yang tidak ikut serta dalam manajemen bencana Nabi Nuh terscbut
tidak terselamatkan. Metode analisa resiko dalam manajemen bencana alam juga
telah dilakukan pada tahun 3200 BC di mana masyarakat Asipu (kini Irak) scialu
menganalisis bencana-bencana yang mungkin terjadi berdasarkan tanda-tanda alam
untuk kemudian menghasilkan beberapa altcrnatif kebijakan. Manajemen bencana
juga dilakukan saat Gunung Vesuvius di Eropa meletus scmentara banyak
penduduk kota Pompei yang terletak tepat di kaki gunung tersebut terselamatkan
karena evakuasi besar-besaran yang dilakukan.

Metode-metode manajemen bencana pada zaman sekarang juga sebenarnya


memiliki akar sejarah di masa lalu. Upaya mitigasi bencana banjir telah dilakukan
ketika Mesir dipimpin aleh Amenemhep III (1817-1722 BC) di mana ia mendirikan
sebuah "roda air” (water wheels) untuk mengalihkan air pasang di Sungai Nil ke
Danau Moeris. Dengan tercegahnya banjir akibat pasangnya Sungai Nil tersebut,
Mesir berhasil menyelamatkan area subur seluas 153.000 hektar yang dapat saja
menjadi tidak bermanfaat apabila terendam banjir. Petugas pemadam kebakaran
juga dimulai ketika era Kerajaan Romawi saat Raja Augustus membentuk sebuah
sarian pemadam kehakaran yang anggotanya berasal dari tentara kerajaan. Sutuan
tersebut bekerja sangat efektif dan sangat dihormati setelah profesi tersebut
sebelumnya diberikan pada para budak sehingga kualitas pekerjaannya rendah dan
tidak dihormati. Suku Inka di Amerika Latin pada abad 13-15 tclah ncmulai
pembarngunan terasering untuk menghindarkan mereka dari bahaya longsor karena
posisi pemukiman mereka di pegununungan tinggi untuk menghindari dari musuh
- musuhnya. Masih banyak lagi upaya-upaya manajemen bencana yang telah
dilakukan pada zaman - zaman kuno. Hal ini menunjukkan bahwa umat manusia di
manapun di dunia selalu membutuhkan sebuah mekanisme manajemen bencana
yang dapat menjamin keberlangsungan hidup mereka. Manajemen bencana
merupaken sebuah upaya manusia dalem memitigasi existential threat yang
sewaktu-waktu dapat terjadi.

4
Sementara itu, di era moden (sejak abad ke-20), manajemen bencana
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah mitigasi bencana, telah muncul upaya yang lebih terorganisasi dalam
mengelola kesiapan, mitigasi dan respon terhadp bencana. Pada tahap awal cra
manajemen bencana modern ini, berkembang pula pemikiran bahwa pemerintah
perlu memainkan peranan yang semakin besar dalam mencegah dan menangani
bencana alam untuk melindungi rakyatnya. Era ini discebut dengan "civil-defense
era”. Manajemen bencana menjadi semakin terinstitusionalisasi dalam negara yang
herarti komitmen yang berkelanjutan mengenai personil dan alokasi bujet negara.
Birokratisasi manajemen bencana ini, yang scbenarnya telah dimulai ketika era
Romawi, diberlakukan dalam rangka melindungi rakyat sipil dan mulai dilakukan
di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan negara-negara lainnya sejak berakhirnya
Perang Dunia II.

Terdapat setidaknya empat komponen penting yang secara umum berlaku


sejak manajemen bencana dijadikan sebuah fungsi dasar dari scbuah negara dalam
rangka melindungi rakyatnya yaitu mitigasi, kesiapan (preparedness), respon, dan
pemulihan (recovery). Proses mitigasi merupakan upaya mengurangi atau bahkan
menghilangkan adanya kemungkinan atau konsekuensi dari sebuah potensi
bencana. Mitigasi berupaya agar ancaman (hazard) tersebut tidak terlalu
membahayakan masyarakat. Kesiapan (preparedness) mengacu pada upaya yang
ditujukan pada orang-orung yang paling mungkin terkena dampak bencana dengan
cara memberikan pengetahuan atau kelcngkapan (baik finansial maupun
infrastruktur) sehingga lebih mampu menyelamatkan diri dan meminimalisasi
kerugian finansial atau kerugian lainnya. Respon mengacu pada aktivitas untuk
mengurangi atau menghilangkan dampak bencana alam yang telah terjadi untuk
mencegah kerugian lebih lanjut dari bencana terscbut. Pemulihan (recovery)
mengacu pada upaya mengembalikan para korban bencana alam pada keadaannya
sediakala setelah mengalami dampak bencana alam. Proses pemulihan berlangsung
becberapa bulan atau bahkan tahun setelah berakhimya proses respon terhadap
bencana alam (lihat gambar 1).

Di era modem ini, penelitian yang dilakukan oleh Damon Cappola


menjelaskan adanya lima fenomena dalam fenomena bencana alam socara global.

5
Kelima fenomena atau tren tersebut antara lain adalah meningkatnya jumlah
manusia yang terkena dampak bencana, bencana alam secara umum yang
cenderung tidak terlalu mematikan (bila dibandingkan dengan dekade-dekade atau
abad-abad sebelumnya, bencana alam cenderung memberikan kerugian material
yang scmakin besar (costly), negara berkembang dan negara miskin terkena dampak
yang jauh lehih besar ketimbang negara-negara besar apabila mengalami bencana
alam, dan jumlah terjadinya bencana alam semakin besar dari tahun ke tahun.

Jumlah manusia yang terkena dampak bencana nlam meningkat drastis


sejak pertengahan abad ke-20. Hal ini sejalan dengan fenomena urbanisasi, yaitu
perpindahan konsentrasi penduduk dan pedesaan ke perkotaan Pada 1950, kurang
dari 30 % dari jumlah penduduk dunia yang saat itu masih berjumlah 2,5 milyar
iwa timggal di perkotaan Pada 1998, jumlah penduduk dunia ielah tumboh menjsdi
5,7 milyar jiwa dan 45% di antaranya berdiam di perkotaan. PBB memperkirakan
bahwa pada 2025, penduduk dunia akan mencapai 8,3 milyar jiwa dan 60% di
antaranya hidup di perkotaan". Keberadaan individu yang mendiami perkotaan ini
juga sejalan dengan semakin meningkatnya resiko yang mereka hadapi apabila
terjadi bencana alam karena lebih terkonsentrasinya penduduk di perkotaan. Tren
bencana alam di era kontemporer yang kedua adalah bahwa dampak dari bencana
alam terscbut lebih tidak mematikan (less
deadly). Ini ditunjukkan dengan data PBB bahwa
walaupun jumlah bencana alam meningkat tiga
kali lipat sejak 1970-an, jumlah korban jiwa
akibat bencana tersebut di dunia berkurang
hingga 50%. Beberapa alasan terjadinya tren ini
antara lain adalah semakin baikinya kampanye
bagi masyarakat supaya lebih siap menghadapi
bencana, terimplementasinya sistem peringatan dini yang lebih baik, dan adanya
kerjasama internasional yang semakin berkembang yang memungkinkan negara-
negara saling membantu dalam pengembangan manajemen bencana alam.
Kemunculan tren bahwa bencana alam di dunia kontemporer lebih menelan
kerugian material lebih besar ditunjukkan dengan kenyataan bahwa sebelum 1970-
an sebuah bencana alam rata - rata menghasılkan kerugian dibawah satu milyar

6
Dollar AS sementara sejak 2000-an, bencana alam menelan kerugian sekitar 60
milyar Dollar AS. IHal ini dikarenakan urbanisasi yang mengakibatkan perkotaan
semakin berkembang dan ekonomi yang semakin bergantung pada teknologi yang
sangat rentan rusak akibat bencana. Sementara itu, dampak yang diakibatkan oleh
bencana alam bagi negara berkembang dan negara maju tidaklah proporsional
karena negara berkembang lebih terpukui bila terkena bencana.

Data United Nations Development Program (UNDP) menunjukkan bahwa


sekalipun negara-negara berkembang hanya mencakup 11% dari kategori wilayah
yang beresiko terkena bencana alam, 53% dari korban bencana alam yang
mcninggal antara 1980 dan 2000 berasal dari negara-negara berkembang. Hal ini
dikarenakan penduduk di negara berkembang banyak yang mendiami pemukiman
yang sangat rentan terhadap peristiwa bencana selain juga karena pengetahuan
mengenai manajemen bencana yang cukup rendah di antara warga negara
berkembang serta banyaknya penduduk negara berkembang yang mendiami
wilayah pesisir pantai, pegunungan atau wilayah lain yang rentan Terkena bencana
alam. Tren terakhir adalah bahwa bencana alam semakin sering terjadi sekarang.
Terdapat beberapa penjelasan atas tren int Pertama, bencana alam semakin banyak
terjadi karena berkaitan dengan global warming yang menyebabkan terjadinya
bencana-bencana alam lainnya, seperti kekeringan, el Nino, dan lain-lain.
Penjclasan lainnya adalah karena semakin terkonsentrasinya manusia di perkotaan
yang mengakibatkan semakin banyak manusia yang mendiami wilayah-wilayah
yang tidak aman schingga lebih rentan apabila terjadi bencana alam.

2.2 Manajemen Bencana Internasional dan Regional

Manajemen bencana internasional muncul dan berkembang dengan diawali


oleh adanya ketimpangan antara respon yang dibutuhkan oleh sebuah atau beberapa
negara dalam menangani sebuah bencana alam dengan kapasitas negara tersehut
dalam memberikan respon bencana. Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, negara
yang terkena bencana memobilisasi sumber daya dari negara-negara lain untuk
turut memberikan bantuannya. Respon masyarakat internasional yang berada di
luar negara yang terkena dampak langsung bencana inilah, yang didefinisikan
dengan manajemen bencana internasional.

7
Manajemen bencana internasional yang terstandardisasi dan terorganisasi
berkembang untuk menangani bencana yang muncul. Standar dalam respon
bencana telah disusun dari berbagai sumber dan aktor-aktor yang terlibat di dalam
manajemen bencana internasional telah diidentifikasi. Upaya-upaya manajemen
bencana internasional ini dilakukan untuk mengakhiri model manajemen bencana
internasional yang bersifat ad hoc dan tidak terinstitusionalisasi sehingga
diharapkan bencana alam tidak lagi memberikan dampak yang terlalu besar bagi
umat manusia.

Upaya manajemen bencana intermasional mengalami perkcmbangan yang


cukup signifikan pada 1987 saat Mayclis Umum Persenkatan Bangsa-Bangsa
mendeklarasikan bahwa dekade 1990-an sebagai Dekade Intenasional untuk
Pengurangan Bencana Alam (International Decade for Natieral Disaster Reduction
atau DNDR) Penctapan ini adalah untuk mempromosikan upaya terkoordinasi
intemasional untuk mengurangi kerugian materi, sosial dan ekonomi yang
dihasilkan oleh bencana alam, terutama bagi negara berkembang. Misi yang secara
eksplisit dikatakan dalam DNDR adalah untuk meningkatkan kapasitas setiap
negara anggota PBB dalam mencegah dan mengurangi dampak negatif bencana
alam dan menyusun gridelines dalam mmengimplementasikan pengetahuan dan
teknologi yang ada guna mengurangi dampak bencana alam Pada 1989, melalui
Resolusi PBB no. 44/236, Majelis Umum PBB menetapkan beberapa goal yang
hendak dicapai dengan adanya IDNDR ini. Dengan mendirikan kantor PBB di
Jenewa, Swis sebagai pusat koordinasi dari IDNDR, Majelis Umum PBB
menugaskan beragam agensi PBB di antaranya untuk :

1. Meningkatkan kapasitas setiap negara untuk memitigasi dampak bencana


alam dan secara khusus membantu negara-negara berkembang dalam
melakukan hal ini.
2. Menyusun petunjuk (guidelines) dan strategi untuk mengimplementasikan
pengetahuan dan teknologi yang ada untuk menangani bencana alam.
3. Mengembangkan mu pengetahu an untuk menyempumakan upaya
penanganan.
4. Mendiseminasıkan informasi mengenai langkah-langkah dalam menilat,
memprediksi

8
5. Melaksanakan program bantuan teknis dan tcknologi uansfer scrta pelatihan
untuk mengimplementasikan langkah-langkah menlai memprediksi dan
memitigasi bencana alam.

Kesepakatan Majelis Umum PBB dalam IDNDR tersebut dilengkapi dengan


strategi Yokohama mengenai Pengakuan Global akan Kebutuhan Manajemen
Bencana. Strategi ini disepakati pada Mei 1994 saat negara-negara anggota PBB
bertemu dalam Koaferensi Dunia mengenai Pengurangan Bencana Alam di
Yokohama, Jepang. Tujuan utamanya tentunya untuk mengevaluasi progress
IDNDR yang berujung pada serangkaian rencana aksi yang lebih detail untuk
mencapai dunia yang lebih aman. Pada saat ini, United Nations International
Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) merupakan lembaga internasional yang
berada di bawah naungan PBB yang mengarahkan upaya manajemen bencana
secara internasional. la memiliki tujuan untuk membangun komunitas tahan
bencana dengan mempromosikan awareness akan pentingnya manajemen bencana.

Selain pada tataran internasional melalui agensi PBB tersebut di atas,


manajemen bencana pun telah terberntuk dalam tataran yang berada di antara level
nasional dan internasional, yaitu regional. Dalam tulisan ini, penulis akan
membahas mengenai adanya manajemen bencana regional yang dilaksanakan oleh
organisasi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Manajemen hencana
sebenarnya telah menjadi concern bagi ASEAN sejak 1976 saat disepakatinya
ASEAN Declaration on Mutual Assistance on Natural Disasters di Manila,
Philipina. Pada saat itu negara-negara ASEAN bersepakat untuk saling membantu
saat terjadinya bencana alam, bertukar informasi dan tenaga ahli. Namun kerjasama
masih berlandaskan pada implementasi negara masing masing Selanjutnya, dalam
rangka membangun mekanisme manajemen bencana regional ncgara-negara
anggotanya, ASEAN mendirikan The ASEAN Conmittee on Disaster Management
(ACDM) pada 2003. Titik tolak penting lainnya adalah disepakatinya ASEAN
Agreement on Disaster Management and Disaster Response di Vientiane, Laos
pada 2005. Di ntara hal-hal penting yang disepakati dalam perjanjian ini adalah
dibentuka ASEAN Standby Arrangements for Disaster Relief and Emergency
Response di mana negara-negara ASEAN saling meng-update kapasitas
penanganan bencana masing - masing sehngga saat terjadi bencana terdapat

9
database yang lengkap mengenai ketersediaan sumber daya penanganan bencana.
Selain itu, perjanjian tersebut juga mengotorisasi terbentuknya ASEAN Co-
ordinating Centre for Humanitarian Assistance (AHA Center) untuk
mengkoordinasi bantuan saat terjadinya bencana. Hal ini berbeda dengan
kesepakatan ASEAN 1976 yang lebih mengandalkan koordinasi ad hoc negara
yang terkena bencana. Perkembangan ini adalah perkembangan positif karena
dengan dibentuknya lembaga-lembaga dengan mekanisme yang ada terscbut
penanganan bencana menjadi lebih terinstitusionalisasi dan tidak lagi bersifat ad
hoc.

ACDM sendiri merupakan sebuah kelompok ahli (expert group) yang terdiri
dari kepala agensi yang bertanggung jawab atas manajemen bencana di masing-
masing negara anggota ASEAN ACDM bertanggung jawab atas seluruh aktivitas
koordinasi dan implementasi manajemen bencana secara regional di ASEAN.
ACDM telah menyusun Program Regional ASEAN mengenai Manajemen Bencana
sebagai kerangka kerjasama manajemen bencana ASEAN periode 2004-2010.
Dalam menjalankan fungsinya, ACDM juga bekerjasama dengan serangkaian
Partner Dialog ASEAN dan organisasi internasional lain yang relevan, seperti The
United States Department of Agricultural Forest Service, the Pasific Disaster
Center. UN High Commisioner for Refugees (UNHCR), dan lembaga lainnya.
Terdapat lima prioritas area yang ditctapkan oleh ACDM yaitu disusunnya ASEAN
Response Action Plan, program pelatihan atau pengembangan tenaga ahli, ASEAN
Disaster Information Sharing and Communication Network (ASEAN DISCNet)
melalui situs internet dan publikasi newsletter, menjalin kerjasama dengan
organisasi internasional yang relevan dan memobilisasi dukungan finansial dan
sumber daya lainnya, dan menetapkan hari ASEAN untuk manajemen bencana
serta memasukkan manajemen bencana ke dalam Pendidikan umum negara
anggotanya.

Satu hal yang perhu digariskan kembali dalam perkembangan manajemen


bencana internasional ini adalah bahwa ia tidak secara otomatis menjadi sebuah
manajemen bencana "internasional" hanya karena respon yang dibutuhkan untuk
menangani bencana tersebut jauh melebihi kapasitas negara dimana bencana
terjadi. la menjadi manajemen bencana intermasional saat negara tersebut

10
mengakui bahwa ia membutuhkan keterlibatan komunitas internasional.
Mekanisme manajemen bencana internasional yang seperti ini terkadang
memberikan kemungkinan bahwa tidak seluruh bencana alam yang membutuhkan
manajemen bencana internasional mendapatkan respon dan perhatian yang sama
dari kalangan intemasional. Respon dan perhatian yang tidak merata ini antara lain
disebabkan oleh donor fatigue di mana lembaga-lembaga donor tidak memiliki
sumber daya yang cukup karena terlalu banyaknya bencana yang ditanganı atau
terbatasnya komitmen sumber daya yang diberikan oleh negara negara donor,
kepentingan media, prioritas komunitas internasional yang teralihkan, atau
kejadian-kejadian lainnya yang mempengaruhi kepentingan nasional negara-negara
lain.

2.3 Implikasi pada Hubungan Internasional

Kompleksitas dalam penanganan bencana alam dalam dunia yang semakin


terintegrasi akibat globalisasi membawa penggiat ilmu Hubungan Internasional
untuk memiliki paradigma yang berbeda. Implisit daiam konsep manajemen
bencana internasional yang secara langsung berpengaruh dalam studi Hubungan
Intenasional adalah keharusan ia beralih dari konsepsi "politik internasional"
menuju konsepsi "global governance". Konsepsi politik internasional tidak lagi
dapat dipergunakan karena dalam manajemen bencana internasional tidak dapat
lagi bertumpu pada aktor negara/pemerintah. Konsepsi global vernance
memberikan perhatian yang lebih baik pada keterlibatan aktor-aktor lain yang
bersifat non-negara dalam upaya manajemen bencana internasional. Hal ini menjadi
relevan dengan beberapa akior yang terhibat dalam manajemcn bencana
intemasional selama ini antara lain korban langsung dari bencana alam tersebut,
lingkungan masyarakat terdekat daerah bencana, pemerintah negara di mana
bencana terjadi, pemerintah negara-negara lain organisasi internasional seperti
PBB, institusi finansial intenasional seperti World Bank International Monetary
Fund, dan institusi finansial regional atau internasional lainnya, organisasi regional
seperti ASEAN, Uni Eropa, dan lan lain, Non-Governmental Organization (NGO),
kalangan bisnis, dan donor-donor lokal (kalangan filantrofi).

11
Selain fakta bahwa sebuah bencana nlam merupakan sebuah fenomena yang
turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sehuah peradaban, perlu
dipahami bahwa bencana alam merupakan sebuah peristiwa politik yang sama
pentingnya dengan pemilihan umum untuk masyarakat demokratis, bahkan isu-1su
konflik antarmegara atau perang sekalipun Scntral dalam implikasi manajermen
bencana internasional bila dilihat dalam kacamata Hubungan Internasional adalah
konsepsi state sovereignty atnu kedaulatan negara. Sebagaimana telah dijclaskan
secara singkat sebelumnya, mekanisme dalam manajemen bencana internasional
hanya dapat bekcrja apabila terdapat persetujuan dari negara yang aetkena bencaa
secara Janesung, Hukum intenasional menghendaki kedaulatan atau sovereignty
tetap berlaku dan tidak serta merta luluh ketika sebuah negara dianggap tidak
memiliki kapasitas yang mumpuni dalam merespon bencana yang terjadi di
wilayahnya. Selain permasalahan menyangkut tidak meratanya respon komunitas
internasional pada negara terkena bencana, adapula permasalahan saat negara yang
terkena bencana memutuskan untuk menutup diri terhadap bantuan atau bentuk
manajemen bencana asing lainnya sekalipun negaranya sangat membutuhkan
bantuan tersebut. Praktik menutup diri dengan dalih sovereignty ini dilakukan baik
oleh negara berkembang maupun negara maju.

Terdapat beberapa alasan pemerintah negara di mana terjadinya bencana


menolak untuk mcncrima keterlibatan pihak-pihak asing scbagai bagian dari
manajemen bencana internasional. Alasan pertama adalah untuk "face saving" di
mana pemerintah negara tersebut berupaya untuk mengurangi persepsi masyarakat
secara umum akan buruknya dampak dari bencana yang terjadi dan menunjukkan
bahwa pemerintah mereka sepenuhnya memegang kontrol penah (yang sebenamya
tidak nyata) Sebagai contoh, Rusia menutup diri dari keterlibatan komunitas
internasional saat bencana alam gempa bumi terjadi pada 1995 di Kepulauan
Shakalin dengan alasan khawatir bila pulau terscbut akan dikuasai oleh bangsa
Jepang yang mencakup sebagian besar petugas kemlusiaan yang paling siap untuk
membanu pada saat itu. Alasan kedua yang masib juga faktor politik adalah adanya
konflik antarnegara inasa lalu yang misalnya, terlihat dalam penanganan bencana
hurricane di Kuba dan Amerika Serikat yang tidak pernah saling mau menerima
bantuan dari pihak lainnya saal terjadi. Akan tetapi bencana alam juga seringkali

12
mendorong terjadinya perilaku politik yang baru antara negara-negara yang
berkenflik, seperti India dan Pakistan yang saling memperbolehkan bantuan
kemanusiaan dari scsamanya saat bencana gempa bumi terjadi di wilayah konflik
Kashnir pada 2005 Alasan ketiga adalah kekhawatiran bahwa keterlibatan pihak
asing dalam manajemen bencana yang terjadı akan berujung pada turut campurnya
atau intervensi pihak asing terscbut dalam politik domestik negara yang terkena
bencana Seperti saat bencana topan Nargis menerpa Myanmar dan berdampak pada
nibuan korban jiwa, pemerintah Myanmar yang nyata-nyata tidak memihki
kapastas memadau untuk merespon bencana tersebul tetap menutup diri dari
keterlibatan pihak asing manapun, Komunitas internasional pun tetap menghormati
konsepsi national consent tersebut dengan konsekuensi lebih banyaknya lagi
korban bencana yang meninggal,

2.4 Indonesia dalam Manajemen Bencana Internasional

Dengan semakin kompleksnya manajemen bencana internasional, negara


diharapkanmenjadi lebih siap dalam menghadapi bencana. Mekanismo manajemen
bencana internasional molalui lembaga - lembaga PBB maupun manajemen
bencana regional seperti yang dilakukan oleh ASEAN merupakan mekanisme yang
bersifat komplementer terhadap manajemen bencana dalam skala nasional. Semua
hal ini dimaksudkan tidak lain untuk semakin melindungi rakyat.

Di Indonesia sendiri, institusionalisasi sccara lebih komprehensif mengenai


manajemen bencana baru terjadi pada tahun 2000-an. Lembaga pemerintah yang
secara khusus untuk menangani manajemen bencana adalah Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) setelah scbelumnya bemama Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana. BNPB scndiri baru didirikan berdasarkan
Peraturan Presiden no.8 tahun 2008 sementara Badan Koordinasi Penanggulangan
Bencana didirikan tiga tahun scbelumnya (2005). Dengan demikian, dapat kita
simpulkan bahwa manajemen bencana belum terinstitusionalisasi lama di
Indonesia. Dalamn pendiriannya, BNPB memiliki fungsi pokok antara lain untuk
merumuskan dan menetapkan kehijakan penanggulangan bencana dan dencan,
bertindak.cepaldan tenat serta efektif dan efisien dan mengkoordinasian
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana sccara terencana, terpadu dan

13
menyeluruh. Di antara tugas BNPB adalah melaporkan langsung kinerjanya kepada
presiden sebulan sckali dan setiap saat bilamana terjadi bencana alam dan
menggunakan serta mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan
internasional. BNPB ini kemudian juga bertugas menyusun pembentukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah di tingkat Provinsi atau Kota – Kabupaten.

Indonesia juga baru saja memiliki perangkat regulasi yang mengatur


relasinya dengan manajemen bencana internasional/regional. Adalah Peraturan
Pemerintah no.23 tahun 2008 mengenai Peran Serta Lembaga Internasional dan
Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana yang mengatur
relasi tersebut. Dalam regulasi terscbut, terdapat beberapa hal yang perlu kita
cermati. Pertama, peranan aktor ckstemal tersebut adalah sebagai pendukung dalam
manajemen bencana nasional, bukan sebagai komponen utama. Hal ini dijelaskan
dalam pasal 2 regulasi tersebut yang menyatakan bahwa "peran serta lembaga
internasional dan lembaga asing nonpemerintah dalam penanggulangan bencana
bertujuan untuk mendukung penguatan upaya penanggulangan bencana,
pengurangan ancaman dan risiko bencana, pengurangan penderitaan korban
bencana, serta mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat”. Pasal 4 regulasi
tersebut juga menyatakan bahwa Kepala BNPB berwenang menentukan peran serta
lembaga intenasional dan lembaga asing nonpemerintah dalam penanggulangan
bencana, schingga keterlibatan masif pihak eksternal sekalipun dalam
penanggulangan bencana di Indonesia tidak serta merta "menghilangkan"

Pencegahan kegiatan – kegiatan pihak eksternal yang dikhawatirkan


mencampuri politik domestik juga dicegah dengan adanya aturan bahwa pihak
eksternal tersebut tidak dapat beraktivitas dalam bidang politik dan keamanan.

14
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penulis berpendapat bahwa dengan adanya perangkat-perangkat regulasi


seperti yang telah dibangun oleh Indonesia di atas, manajemen bencana eksternal
(baik internasional maupun negara) dapat lehih maksimal memberikan komplemen
atau dukungan bagi manajemen bencana nasional. Dengan perangkat aturan yang
jelas dan dengan disertai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam sistem
negara yang demokratis, keterlibatan pihak "asing" dalam manajemen bencana
nasional tidak lagi relevan untuk dibenturkan dengan isu state sovereignty yang
senantiasa menjadi basis dalam Huhungan Internasional. State sovereignty justru
harus dijadikan pemacu agar aktor negara dapat tetap meng – update relevansinya
dalam manajemen bencana yang kian komplcks. Justu ketika negara tidak dapat
beradaptasi pada proses difusi kapabilitas aktor-aktor interasional yang terlibat
dalam manajemen bencana intemasional, chaos merupakan konsekuensi yang
sangat mungkin terjadi.

Implikasi utama manajemen bencana internasional pada ilmu Hubungan


Internasional, menurut penulis, adalah keharusan kita untuk tidak lagi terpaku pada
system internasional yang terpusat pada negara. Global governance
mengindikasikan kita bahwa sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani
bencana telah demikian tersebarnya (diffused) pada beragam aktor. Diperlukan
mekanisme yang komprehensif untuk mengkolaborasikan sumber daya yang
tersebar tersebut sehingga kerugian dan korban jiwa yang diakibatkan oleh sebuah
bencana dapat diminimalisasi.

Khusus mengenai Indonesia, aktor negara perlu untuk mengembangkan


lebih jauh strateginya dalam memposisikan diri dengan berbagai arrangement
manajemen bencana internasional dan regional. Indonesia perlu memiliki strategi
yang mengelola posisi masing masing aktor internasional daiam manajemen
bencana nasionalnya. Indonesia harus memiliki database yang memadai mengenai
apa yang dimiliki oleh aktor-aktor terscbut yang memiliki potensi besar untuk

15
mendukung manajemen bencana nasional Indonesia. Dengan kata lain, proses
"menjemput bola" supaya bencana alam yang kerap terjadi tidak menghasilkan
kerugian materi besar dan memunculkan korban jiwa yang besar, harus diperbesar
untuk mendukung fase mitigasi dan persiapan bencana. Sementara ketika bencana
sudah terjadi. Indonesia semakin mampu meresponnya secara mandiri tanpa
memobilisasi sumber daya internasional secara besar-besaran. Pemetaan apa yang
dibidik dari setiap arrangement manajemen bencana interiasional maupun regional
ini mutlak dibutuhkan.

3.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

Artikel Internet

ASEAN Cooperation on Disaster Management, diakses dari


http://www.ascansoc.org/18444.html pada 11/05/10 pukul 8.00.

http://www.brainyquote.com/quotes/keywords/disasters.html

International Strategy for Desaster Reduction (ISDR), Mission and Objectives,


diakses dari http://www.unisdr.org/eng/about isdr/isdr-mission-objoctives-
eng.htm pada 8/05/10 pukul 14,00.

Tugas Pokok dan Fungsi, diakses dari http://bnpb go.id/website/index.php?option


com_content&task view&id=2060&Itemmid-127 pada 11/05/10 pukul 9 00.

St. Louis University, Department of Earth and Aemospherie Sciences, 10 Worst


National Disasters, diakses dari http://mnw.eas.slu.edu/hazards html pada
10/05/10 pukul 8.00.

United Nations lntermational Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), Living


With Risk : A Global Review Disaster Reduction Initiatives diakses
http://www.unisdr.org/eng/about isdr bd-lwr-2004-eng.htm pada 7/05/10
pukul 17.00

United Nations Development Programme (UNDP), Reducing Disaster Risk : A


Challenge for Development (New York Bureau for Crisis Prevention and
Recovery, 2004), diakses dari http:/hdr.undp.org/reports/global/

Patrya. MANAJEMEN BENCANA INTERNASIONAL : TINJAUAN HISTORIS


DAN TANTANGAN BAGI INDONESIA (online).
http://global.ir.fisip.ui.ac.id/index.php/global/article/view/270, diakses pada
hari ini.

17

Anda mungkin juga menyukai