Anda di halaman 1dari 128

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KEJADIAN STROKE


PADA PENDUDUK BOGOR TENGAH TAHUN 2016

TESIS

YUSNABETI
1506787203

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JUNI 2018
UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KEJADIAN STROKE


PADA PENDUDUK BOGOR TENGAH TAHUN 2016

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar


Magister Kesehatan Masyarakat

YUSNABETI
1506787203

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPARTEMEN BIOSTATISTIKA
DEPOK
JUNI 2018
HALAMAN PERIYYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakrn dengan benar.

Nama : Ymnabeti

NPM : 1506787203
l^,,
tansan: Ylrt
Tanda

Tanggal : ^Lv
29 Juni 2018

It
HALAMANPENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh

Nama : Yusnabeti

NPM : 1506787203

Prograrn Sftrdi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul Tesis : Hubungan aktiutas frsik dengan kejadian stroke pada

Penduduk Bogor Tengah tahun 20i6

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang tiiperiukan untlk memperoleh geiar Magister Kesehatan lviasyarakat
Program Studi Ilmu kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Uni'rersitas
indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembirnbing : Dr. drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes.

Penguji Dalam: Dr. drs. Tris Eryando, M.A

Penguji Dalarn: Dr. Martya-Rahmaniati, S.Si., M.Si.

Penguji Luar : Dr. Sudikno, SKM., MKM

Penguji Luar : dr. Yoan Hotnida Naomi H., M.Sc.

Ditetapkan di: Depok Tanggal: 29 Juni 2018


SURAT PERI{YATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama Yusnabeti

NPM t506'787203

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat


Tahun akademik 20t6

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya
yang berjudul:

"IIUBI]NGAN AKTIVTTAS FISIKDENGAI{ KE.IADIAN STROKE PADA


PEI{DTIDUK BOGOR TENGAH TAHUN 2016"

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenamya.


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan aktivitas
fsisk dengan kejadian stroke pada penduduk Bogor Tengah tahun 2016.
Tesis ini merupakan salah satu bentuk tugas akhir Paskasarjana Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat. Dalam menyelesaikan tesis ini berbagai pihak telah
menbimbing dan mendukung sehingga dapat diselesaikan sesuai waktunya. Semoga
Allah SWT membalas semua kebaikan tersebut dengan yang lebih baik lagi, amin.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Pimpinan BPSDMK Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan ijin dan
pendanaan parsial kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di FKM UI
2. Pimpinan Dirjen Pelayanan Kesehatan, dan pimpinan Balai Besar Laboratorium
Kesehatan Jakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan di FKM UI
3. Dr. drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes. selaku pembimbing akademik yang telah
berkenan memberikan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan nasehatnya
kepada penulis.
4. Dr. drs. Tris Eryando, M.A selaku penguji yang telah memberikan arahan dan
masukan dalam penyusunan tesis ini
5. Dr. Martya Rahmaniati, S.Si., M.Si., Dr. Sudikno, SKM., MKM., dr. Yoan Hotnida
Naomi, M.Sc. yang telah berkenan menjadi penguji untuk tesis ini.
6. Suami dan anak-anak tercinta yang telah memberikan dukungan moril, materil,
semangat, doa dan waktunya kepada penulis.
7. Ayah dan ibu tercinta juga saudara-saudaraku tersayang yang telah memberikan
semangat dan doa yang tak pernah putus.
8. Semua dosen dan staf FKM UI khususnya Departemen Biostatistika atas ilmu,
pengajaran, dan bantuannya.
9. Teman teman FKM UI khusunya peminatan Biostatistika yang telah memberikan
dukungan, bantuan, dan kebersamaan selama masa perkuliahan.
10. Kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat dituliskan satu persatu.

vi
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tesis ini, oleh karena itu kritik
dan saran sangat diharapkan demi peningkatan kualitas bagi penulis sendiri dan untuk
kualitas keilmuan di masa mendatang. Semoga tesis ini memberi manfaat bagi semua
pembaca.

Depok, Juni 2018

Penulis

vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKTIIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas lndonesia, saya yang bertanda tangan di bawah

ini:

Nama Yusnabeti

NPM ts06'787203

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat

Jenis karya Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekskltsif (Non-exclusive Royalty-Free


Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Stroke Pada Penduduk Bogor Tengah
Tahun 2016
bese(a perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola

dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencanturnlan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 29 Juni 2018

Yang menyatakan

W}
(Yusnabeti)

tx
Untuk :
Suamiku tercinta : Agus Susanto
Anak-anak kami tersayang : Muhammad Zhafran Alfathi
Fayyadh Azmi Muhammad
Fauzi Muhammad Ihsan

viii
ABSTRAK

Nama : Yusnabeti
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke pada penduduk Bogor
Tengah tahun 2016
Pembimbing : Dr. drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes.

Saat ini stroke adalah pembunuh nomor dua setelah penyakit jantung iskemik, dan
tetap menjadi penyebab utama kematian di dunia dalam 15 tahun terakhir. Di Indonesia
kejadian stroke meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013 yaitu dari 8 per 1000 penduduk
menjadi 12 per 1000 penduduk dan provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi 12 per 1000
penduduk dengan estimasi jumlah penderita stroke sebesar 17 per 1000 penduduk.
Aktivitas fisik yang tidak mencukupi adalah faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular termasuk stroke. Peningkatan perilaku tidak aktif, dikhawatirkan akan
meningkatkan jumlah penderita stroke. Di Indonesia proporsi penduduk dengan aktivitas
fisik kurang aktif adalah 26,1%. Provinsi Jawa Barat memiliki proporsi penduduk kurang
aktif sebesar 25,4%. Angka ini dapat meningkat diwaktu yang akan datang dengan
mempertimbangkan bahwa Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 mempunyai angka
sedentari di atas angka nasional.
Rancangan studi adalah cross sectional melalui penggunaan data dari studi Kohor
penyakit tidak menular Badan Litbangkes Kemenkes RI. Sampel dalam penelitian ini
adalah penduduk berusia 25 sampai 65 tahun yang terdapat pada data studi kohor PTM
di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.
Hasil penelitian ini mendapatkan prevalensi stroke di Kecamatan Bogor Tengah
sebesar 15 per 1000 penduduk. Terdapat hubungan aktivitas fisik dengan stroke dengan
risiko yang berbeda pada kelompok umur. Pada kelompok umur kurang dari 45 tahun,
penduduk dengan aktivitas fisik yang kurang akan berisiko terkena stroke sebesar 5.43
kali lebih tinggi dibandingkan yang mempunyai aktivitas fisik cukup. Pada kelompok
umur 45 tahun atau lebih, penduduk dengan aktivitas fisik yang kurang akan berisiko
terkena stroke sebesar 1.18 kali lebih tinggi dibandingkan yang mempunyai aktivitas fisik
cukup.
Peningkatan upaya pencegahan dan pengendalian stroke serta peningkatan
aktivitas fisik perlu dilakukan pemerintah melalui promosi kesehatan dalam skala yang
lebih luas dan melalui berbagai media informasi. Pemerintah perlu memfasilitasi
penyediaan ruang terbuka publik dan sarana penunjang untuk peningkatan aktivitas fisik.
Masyarakat hendaknya menerapkan pola hidup sehat, diantaranya dengan cukup aktivitas
fisik dan berperan aktif dalam promosi peningkatan aktivitas fisik melalui lembaga dan
organisasi kemasyarakatan seperti PKK, Karang Taruna, perkumpulan kerohanian dan
sebagainya.

Kata kunci:
Stroke, aktivitas fisik, prevalensi, risiko

x
ABSTRACT

Name : Yusnabeti
Study Program: Public Health Sciences
Title : The relationship of physical activity with the incidence of stroke in
Central Bogor Residents of 2016
Counsellor : Dr. drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes.

Currently stroke is the number two killer after ischemic heart disease, and remains the
leading cause of death in the world in the last 15 years. In Indonesia the incidence of
stroke increased from 2007 to 2013 ie from 8 per 1000 population to 12 per 1000
population and West Java province has 12 prevalence per 1000 population with estimated
number of stroke patient equal to 17 per 1000 population.
Inadequate physical activity is a major risk factor for cardiovascular disease including
stroke. Increased inactive behavior, feared will increase the number of stroke patients. In
Indonesia the proportion of population with less active physical activity was 26.1%. West
Java Province has a proportion of less active population of 25.4%. This figure may
increase in the future by considering that West Java Province in 2013 has a sedentary
figure above the national rate.
The design of the study was cross sectional through the use of data from the Cohort
of non-communicable diseases of the Indonesian Ministry of Health Research and
Development. The sample in this study is population aged 25 to 65 years found in data
cohort study of PTM in subdistrict Bogor Central, Bogor City.
The results of this study obtained the prevalence of stroke in subdistrict Bogor Central
by 15 per 1000 population. There is a relationship of physical activity with stroke with
different risk in the age group. In the age group less than 45 years, the population with
less physical activity will be at risk of stroke by 5.43 times higher than those who have
enough physical activity. In the age group of 45 years or older, people with less physical
activity would be at risk of stroke 1.18 times higher than those with sufficient physical
activity.
Increased efforts to prevent and control stroke and increase physical activity needs to
be done by the government through health promotion on a wider scale and through various
media information. The government needs to facilitate the provision of public open spaces
and supporting facilities for the improvement of physical activity. The community should
adopt a healthy lifestyle, among others, with sufficient physical activity and an active role
in promoting the increase of physical activity through institutions and community
organizations such as PKK, Karang Taruna, spiritual associations and so forth

Keywords:
Stroke, physical activity, prevalence, risk

xi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ............................................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................. ix
ABSTRAK ....................................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xvii
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ xix

............................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 4
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 6
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................. 6
1.4.2 Tujuan Khusus............................................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 6
1.5.1 Bagi Institusi Kesehatan .............................................................................. 6
1.5.2 Bagi Pengembangan Ilmu ........................................................................... 6
1.6 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................................... 7

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 8


2.1 Stroke ................................................................................................................... 8
2.1.1 Pengertian Stroke ........................................................................................ 8
2.1.2 Prevalensi Stroke ......................................................................................... 8
2.1.3 Penggolongan stroke ................................................................................. 10
2.1.4 Mekanisme Terjadinya stroke ................................................................... 10
2.1.4.1 Mekanisme Terjadinya Stroke Perdarahan ...................................... 11
2.1.4.2 Mekanisme terjadinya stroke sumbatan........................................... 12
2.1.5 Gejala Stroke ............................................................................................. 12
2.1.6 Diagnosis stroke ........................................................................................ 14
2.2 Faktor risiko stroke ............................................................................................ 15

xii
2.2.1 Kurang aktivitas fisik ................................................................................ 16
2.2.1.1 Mekanisme efek aktifvitas fisik terhadap stroke ............................. 17
2.2.1.2 Pengukuran aktivitas fisik................................................................ 19
2.2.1.3 Penelitian hubungan aktivitas fisik dengan stroke........................... 22
2.2.2 Merokok .................................................................................................... 23
2.2.3 Kurang Konsumsi Sayur Buah .................................................................. 25
2.2.4 Ras ............................................................................................................. 28
2.2.5 Riwayat Keluarga ...................................................................................... 28
2.2.6 Usia............................................................................................................ 29
2.2.7 Jenis Kelamin ............................................................................................ 30
2.2.8 Sindrom Metabolik .................................................................................... 30
2.2.9 Hipertensi .................................................................................................. 32
2.2.10 Obesitas ................................................................................................... 33
2.2.11 Diabetes ................................................................................................... 34
2.2.12 Dislipidemia ............................................................................................ 35
2.2.13 Infeksi virus dan bakteri .......................................................................... 36
2.2.14 Stres ......................................................................................................... 36
2.3 Pengendalian Stroke ........................................................................................... 37
2.4 Kerangka Teori .................................................................................................. 38

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS 40


3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................... 40
3.2 Definisi Operasional .......................................................................................... 41
3.3 Hipotesis ............................................................................................................ 46

METODE PENELITIAN ................................................................................ 47


4.1 Desain Penelitian ............................................................................................... 47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................. 47
4.3 Studi Kohor Penyakit Tidak Menular (PTM) .................................................... 47
4.3.1 Jenis Data dan Interval Waktu Pengumpulan data .................................... 48
4.3.2 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 48
4.3.3 Pelaksanaan Pengumpulan Data Studi Kohor PTM .................................. 50
4.3.4 Pemeriksaan di Institusi Kesehatan (Laboratorium terpadu pusat teknologi
terapan dan epidemiologi klinik, Badan Litbangkes) ......................................... 50
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................................... 50
4.4.1 Kriteria Inklusi .......................................................................................... 51

xiii
4.4.2 Besar Sampel Penelitian ............................................................................ 51
4.5 Pengumpulan Data Penelitian ............................................................................ 52
4.6 Pengolahan Data ................................................................................................ 53
4.7 Analisa Data ....................................................................................................... 53
4.7.1 Analisis Univariat ...................................................................................... 53
4.7.2 Analisis Bivariat ........................................................................................ 53
4.7.3 Analisis Multivariabel ............................................................................... 54

............................................................................................................................. 55

HASIL PENELITIAN .................................................................................................. 55


5.1 Karakteristik Responden .................................................................................... 55
5.2 Hubungan aktivitas fisik dan variabel konfonding dengan stroke ..................... 56
5.3 Pemodelan .......................................................................................................... 59
5.3.1 Pemodelan Lengkap Hubungan Aktivitas Fisik dengan Stroke ................ 59
5.3.2 Uji interaksi ............................................................................................... 60
5.3.3 Uji Konfonding ......................................................................................... 61

BAB 6 ............................................................................................................................. 63

PEMBAHASAN ............................................................................................................ 63
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 63
6.1.1 Bias Informasi ....................................................................................... 63
6.1.2 Faktor Perancu (Confounding Factor) .................................................. 63
6.2 Gambaran stroke .......................................................................................... 64
6.3 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Stroke..................................... 64
6.4 Hubungan Variabel Konfonding dengan Stroke.......................................... 66
6.4.1 Usia ....................................................................................................... 66
6.4.2 Jenis Kelamin ........................................................................................... 68
6.4.3 Hipertensi .............................................................................................. 69
6.4.4 Kolesterol .................................................................................................. 70
6.4.5 Merokok .................................................................................................... 71
6.4.6 Konsumsi Sayur Buah ............................................................................... 72
6.4.7 Diabetes ..................................................................................................... 73
6.4.8 Obesitas ..................................................................................................... 73

BAB 7 ............................................................................................................................. 75

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................... 75


xiv
7.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 75
7.2 Saran .................................................................................................................. 75
7.2.1 Bagi Instansi Pemerintah Terkait .............................................................. 75
7.2.2 Bagi Pengembangan Ilmu dan Lembaga Penelitian .................................. 76
7.2.3 Bagi Masyarakat ................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 78

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan gejala stroke hemoragik dan stroke iskemik ................................ 13

Tabel 2.2. Skor stroke Siriraj .......................................................................................... 14

Tabel 2.3. Skor stroke Gadjah Mada .............................................................................. 15

Tabel 2.4. Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII 2003 ............................................... 32

Tabel 2.5. Batas ambang IMT untuk Indonesia.............................................................. 33

Tabel 2.6. Kadar gula darah menurut WHO ................................................................... 34

Tabel 2.7. Batasan kadar lipid/lemak dalam darah ......................................................... 35

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel ....................................................................... 41

Tabel 4.1 Nilai P1 dan P2 dari penelitian terdahulu ....................................................... 51

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Sepuluh penyakit teratas penyebab kematian global tahun 2015 ................ 9

Gambar 2.2. Risiko yang diakibatkan oleh rokok .......................................................... 24

Gambar 2.3. Kerangka teori faktor risiko kejadian stroke (Blum, 1969: Junaidi, 2011:
WHO, 2018)) ............................................................................................. 39

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Aktivitas fisik Dengan Kejadian Stroke Pada
Penduduk Bogor Tengah Tahun 2016 ....................................................... 40

xvii
DAFTAR SINGKATAN

CADASIL : Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy dengan Sub-cortical


Infarcts and Leukoencephalopathy
CI : Confidence Interval
GPAQ : Global Physical Activity Questionnaire
HDL : High Density Lipoprotein
IMT : Indeks Massa Tubuh
JNC-VII : Joint National Commite on Prevention Detection, Evaluation, and
Treatment of High Pressure VII
LDL : Low Density Lipoprotein
MET : Metabolic Energy Turover
MRFIT : Multi Risk Factor Intervention Trial
NO : Nitrat Oksida
OR : Odds Ratio
PIS : Perdarahan intraserebral
PSA : Perdarahan subaraknoid
PTM : Penyakit Tidak Menular
RIND : Reversible ischemic neurologic deficit
ROS : Reactive Oxygen Spesies
TIA : Transient ischemic attack
UKBM : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisioner

Lampiran 2 Tabel nilai MET (Metabolic Energy Turnover) aktivitas fisik

Lampiran 3 Out Put SPSS

Lampiran 4 Surat keterangan lolos kaji etik

Lampiran 5 Surat persetujuan penggunaan data

xix
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tidak menular dikenal sebagai penyakit kronis, tidak menular dari orang ke
orang, memiliki durasi yang panjang dan umumnya mengalami perkembangan yang
lambat. Empat jenis penyakit tidak menular utama adalah penyakit kardiovaskular,
kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes (WHO NCD, 2018).
Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan fungsi
jantung dan pembuluh darah. Penyakit kardiovaskular yang banyak dikenal adalah
penyakit jantung dan stroke (Kemenkes Pusdatin, 2014). Stroke disebabkan oleh
terputusnya suplai darah ke otak, biasanya terjadi karena pembuluh darah yang pecah atau
tersumbat oleh gumpalan. Hal tersebut memutuskan suplai oksigen dan nutrisi ke otak
yang menyebabkan jaringan otak menjadi rusak (WHO, 2018).
Pada tahun 2015, diperkirakan 40 juta kematian terjadi oleh penyakit tidak menular,
yaitu 70% dari total kematian (56 Juta). Mayoritas kematian tersebut disebabkan oleh
empat penyakit tidak menular utama. Dari total kematian karena penyakit tidak menular,
proporsinya adalah kardiovaskular 45%, kanker 22%, penyakit pernapasan kronis 10%,
dan diabetes 4% (World Health Statistic, 2017). Dari 56.4 juta kematian di seluruh dunia
pada tahun 2015, lebih dari setengah (54%) disebabkan oleh 10 penyebab teratas. Stroke
adalah pembunuh terbesar kedua setelah penyakit jantung iskemik. Penyakit ini tetap
menjadi penyebab utama kematian di dunia dalam 15 tahun terakhir (WHO media centre,
2017).
Penduduk Indonesia pada tahun 2017 berjumlah 258 juta orang. Jumlah kematian di
Indonesia akibat penyakit tidak menular adalah 1.340.000 dan merupakan 70%
penyumbang penyebab kematian (NCD Progress Monitor, 2017). Menurut data
Riskesdas 2013, prevalensi stroke berdasarkan wawancara menunjukkan kenaikan dari
8,3 per 1000 penduduk tahun 2007 menjadi 12,1 per 1000 penduduk. Peningkatan terjadi
di seluruh provinsi kecuali Provinsi Aceh dan Kepulauan Riau. Berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan dan diagnosis tenaga kesehatan/gejala, prevalensi stroke di Provinsi
Jawa Barat sebesar 6, 6 dan 12 per 1000 penduduk dan memiliki estimasi jumlah absolut
penderita terbanyak yaitu 238.001 dan 533.895, dan estimasi jumlah penderita 7 dan 17

1
Universitas Indonesia
2

orang per 1000 penduduk. Provinsi Papua Barat memiliki estimasi jumlah penderita
paling sedikit, yaitu 4 dan 5 orang per 1000 penduduk (Pusdatin Kemenkes, 2014)
Stroke adalah penyebab utama kecacatan jangka panjang, namun stroke juga dapat
dicegah. Faktor risiko terjadinya stroke antara lain usia, konsumsi yang tidak sehat,
kurangnya aktivitas fisik, penggunaan tembakau, dan risiko metabolik
(Strokeassociation, 2018). Menurut Kemenkes risiko terhadap kejadian stroke yang dapat
diubah adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, kurang aktivitas fisik, diet tidak
sehat, dan stres (Kemenkes Pusdatin, 2014). Penyebab stroke biasanya kombinasi dari
beberapa faktor risiko seperti penggunaan tembakau, diet tidak sehat, obesitas, kurang
aktivitas fisik, konsumsi alkohol, hipertensi, diabetes, dan hyperlipidemia. Faktor
perilaku yang terpenting terhadap kejadian stroke adalah merokok, kurang aktivitas fisik,
konsumsi yang tidak sehat, dan penyalahgunaan alkohol (WHO, 2017).
Perbaikan sosial ekonomi Indonesia berhasil meningkatkan usia harapan hidup
masyarakat, dengan konsekuensi kenaikan prevalensi penyakit degeneratif atau tidak
menular. Disisi lain urbanisasi, modernisasi dan globalisasi ternyata juga memacu
terjadinya penyakit degeneratif tersebut. Masyarakat cenderung mengadopsi pola hidup
tidak sehat, konsumsi makanan berlemak dan rendah serat, aktivitas fisik jarang
dikerjakan karena adanya kendaraan dan berbagai alat dengan kendali jarak jauh/remote
control (Kemenkes, 2013a).
HL. Blum (1969) telah mengidentifikasi bahwa status kesehatan masyarakat
dipengaruhi empat faktor, yaitu lingkungan, perilaku, keturunan, dan pelayanan
kesehatan. Prevalensi stroke yang meningkat dan diperkirakan akan lebih tinggi pada
dekade berikutnya adalah karena interaksi dari faktor-faktor tersebut. Faktor perilaku dan
lingkungan memegang peran lebih dari 75% dari kondisi derajat kesehatan masyarakat.
Intervensi pada faktor perilaku sebagai upaya pencegahan pengurangan risiko kesakitan
karena kejadian stroke telah menjadi program dan target yang ingin dicapai oleh WHO
dan negara-negara di dunia termasuk Indonesia (WHO, 2017).
Aktivitas yang tidak mencukupi adalah satu dari faktor risiko utama terhadap
kematian dini di seluruh dunia. Orang yang kurang aktif memiliki peluang lebih mungkin
sebesar 20%-30% untuk meninggal lebih cepat dibandingkan mereka yang cukup aktif.
Aktivitas fisik yang tidak mencukupi merupakan faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular, kanker, dan diabetes (WHO, 2018).
Universitas Indonesia
3

Menurut WHO (2018), secara global 23% orang dewasa dan 81% anak sekolah tidak
cukup aktif. Prevalensi aktivitas fisik yang tidak mencukupi lebih tinggi pada negara-
negara maju sebesar dua kali dibandingkan negara-negara berkembang yaitu 41% pada
laki-laki dan 48% pada wanita. Peningkatan prevalensi pada negara maju tersebut karena
otomatisasi kerja dan penggunaan kendaraan untuk transportasi. Menurut Macniven
dalam Bauman (2012), jenis aktivitas fisik yang paling umum di negara-negara
berkembang adalah pekerjaan, rumah tangga, dan transportasi, sedangkan kegiatan di
waktu luang berkontribusi lebih banyak terhadap aktivitas fisik di negara-negara maju.
Di Indonesia proporsi penduduk dengan aktivitas fisik kurang aktif adalah 26,1%.
Provinsi Jawa Barat memiliki proporsi penduduk kurang aktif sebesar 25,4%. Terdapat
22 provinsi dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rata-
rata Indonesia. Lima provinsi tertinggi adalah DKI Jakarta (44,2%), Papua (38,9%),
Papua Barat (37,8%), Sulawesi Tenggara dan Aceh (masing-masing 37,2%) (Riskesdas,
2013).
Perilaku sedentari yaitu perilaku seseorang yang menunjukkan kurang melakukan
aktivitas fisik atau perilaku yang tidak banyak gerakan sehingga mengurangi aktivitas
fisik. Lima provinsi dengan proporsi penduduk sedentari ≥ 6 jam adalah Riau (39,1%),
Maluku Utara (34,5%), Jawa Timur (33,9%), Jawa Barat (33,0%), dan Gorontalo (31,5%)
(Riskesdas, 2013).
Pemilihan Kecamatan Bogor Tengah sebagai wilayah penelitian oleh Balitbangkes
pada studi kohor PTM berdasarkan pertimbangan bahwa persentase mobilitas penduduk
yang rendah dan dianggap stabil, serta proporsi faktor risiko dan penyakit tidak menular
seimbang dengan proporsi yang ada di daerah perkotaan di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Mobilitas penduduk menyangkut jumlah pendatang, penduduk pindah, kelahiran, dan
kematian pertahun (Balitbangkes, 2016). Laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan
Bogor Tengah paling kecil (1,07%) dibandingkan kecamatan lain di Kota Bogor yaitu
sebesar rata-rata 2% (BPS Kota Bogor, 2017)
Membuat orang bergerak lebih banyak adalah strategi utama untuk mengurangi beban
penyakit tidak menular, sebagaimana dituangkan dalam rencana aksi global WHO untuk
pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular 2013-2020 dengan target
pengurangan 20% ketidak aktivan fisik pada tahun 2025 yang memberikan kontribusi
untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) (WHO, 2018).
Universitas Indonesia
4

Tingkat aktivitas fisik yang teratur dan memadai membantu mengurangi risiko
hipertensi, serangan jantung, stroke, diabetes, berbagai jenis kanker (termasuk kanker
payudara dan usus besar), dan depresi. Aktivitas fisik juga berkontribusi pada
pengendalian berat badan, pengendalian diabetes, peningkatan tekanan darah dan
peningkatan kadar kolesterol dan lipid darah lainnya. Aktivitas fisik dan olahraga dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL dan meningkatkan porsi HDL, ini dapat
memperlambat penumpukan plak dalam pembuluh darah. Aktivitas fisik dikategorikan
cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik atau olahraga selama 30 menit setiap
hari, atau minimal 3-5 hari dalam seminggu (WHO, 2003).
Disfungsi endotel digambarkan sebagai ketidakmampuan arteri melebar sebagai
respons terhadap stimulus (Shahab, 2009). Mekanisme gangguan fungsi endotel berupa
penurunan nitrat oksida, peningkatan stress oksidatif, dan peningkatan vaso konstriktor.
Latihan fisik adalah metode yang efektif untuk meningkatkan fungsi endotel. Peningkatan
pelepasan dari substansi vasodilator nitrit oksida dianggap satu mekanisme dimana fungsi
endotel ditingkatkan melalui latihan fisik (Kearns, 2007).
Hasil penelitian Hermawan (2013) menunjukkan hubungan yang bermakna antara
aktivitas fisik dengan kejadian stroke. Pasien laki-laki yang kurang mempunyai aktivitas
fisik berisiko 14 kali lebih tinggi terkena stroke iskemik dibandingkan pasien laki-laki
dengan aktivitas fisik cukup.
Penelitian Gan Yong (2017) menunjukkan hubungan aktivitas fisik dengan stroke.
Penduduk yang kurang aktivitas fisik mempunyai risiko 1,74 kali terkena stroke
dibanding yang cukup aktivitas fisik.
Untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke pada penduduk
Bogor Tengah pada tahun 2016, maka penelitian ini perlu dilakukan dengan
memperhitungkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi, seperti usia, jenis kelamin,
merokok, konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dan kadar
kolesterol.

1.2 Rumusan Masalah

Stroke saat ini telah menjadi penyakit pembunuh ke dua di dunia, di Indonesia
prevalensi stroke meningkat dari 8 orang per 1000 penduduk pada tahun 2007 menjadi
12 orang per seribu penduduk pada tahun 2013. Peningkatan perilaku tidak aktif sebagai
Universitas Indonesia
5

akibat kemajuan teknologi saat ini, dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah penderita
stroke. Prevalensi stroke di Provinsi Jawa Barat sama dengan angka nasional, namun
estimasi jumlah penderita stroke melebihi angka nasional yaitu 17 orang penderita per
1000 penduduk. Prevalensi kurang aktivitas fisik hampir mendekati angka nasional yaitu
25,4% angka ini dapat meningkat diwaktu yang akan datang dengan mempertimbangkan
bahwa Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 mempunyai angka sedentari 33,0% yaitu di
atas angka nasional (26,1%).
Meningkatnya kejadian stroke akan menimbulkan risiko kematian atau kecacatan
dan berdampak pada meningkatnya beban biaya perawatan bagi masyarakat dan negara.
Jika kejadian stroke dengan faktor risikonya dapat diketahui dan diintervensi,
kemungkinan dapat meminimalkan risiko kematian dan kecacatan. Aktivitas fisik yang
tidak mencukupi adalah satu dari faktor risiko utama terhadap kematian dini di seluruh
dunia (WHO, 2018). Tingkat aktivitas fisik yang teratur dan memadai membantu
mengurangi risiko stroke (WHO, 2003).
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
mengkaji hubungan aktivias fisik dengan kejadian stroke pada penduduk Bogor Tengah
melalui studi cross sectional Penyakit Tidak menular (PTM). Penelitian ini menggunakan
data sekunder dari Badan Litbangkes Kemenkes RI dengan unit analisis penduduk Bogor
Tengah pada tahun 2016.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana prevalensi kejadian stroke pada penduduk Bogor Tengah tahun 2016?
2. Bagaimana gambaran aktivitas fisik, usia, jenis kelamin, status merokok, konsumsi
sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kadar kolesterol pada penduduk
Bogor Tengah tahun 2016?
3. Bagaimana hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke pada penduduk Bogor
Tengah tahun 2016 setelah dikontrol oleh variabel usia, jenis kelamin, merokok,
konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kadar kolesterol?

Universitas Indonesia
6

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan
kejadian stroke pada penduduk Bogor Tengah tahun 2016

1.4.2 Tujuan Khusus


Penelitian ini bertujuan untuk;
1. Mengetahui prevalensi kejadian stroke pada penduduk Bogor Tengah tahun 2016
2. Mengetahui gambaran aktivitas fisik, usia, jenis kelamin, status merokok,
konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kadar kolesterol pada
penduduk Bogor Tengah tahun 2016
3. Mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke pada penduduk
Bogor Tengah tahun 2016 setelah dikontrol oleh variabel usia, jenis kelamin,
merokok, konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kadar
kolesterol.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Institusi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembuat
kebijakan dan pengelola program yang terkait dengan permasalahan stroke dan perilaku
kurang aktivitas fisik, sehingga dapat menjadi bahan masukan untuk menentukan
penatalaksanaan bagi penanggulangan dan pencegahan terjadinya stroke khususnya
karena kurang aktivitas fisik.

1.5.2 Bagi Pengembangan Ilmu


Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian mengenai analisis cross
sectional tentang kejadian stroke mengunakan analisis model faktor risiko dengan
variabel utama yaitu aktivitas fisik dengan memperhatikan pengaruh variabel-variabel
yang lain.

Universitas Indonesia
7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian stroke karena
aktivitas fisik pada penduduk Bogor Tengah tahun 2016 melalui data studi kohor penyakit
tidak menular (PTM) Balitbangkes. Studi kohor PTM dilakukan di wilayah Kecamatan
Bogor Tengah yang diawali pada tahun 2011 di Kelurahan Kebon Kelapa, selanjutnya
pada tahun 2012 dilanjutkan di Kelurahan Babakan, Babakan Pasar, Ciwaringin, dan
Panaragan. Studi ini direncanakan selama 10 tahun dengan follow up pemeriksaan
lengkap setiap 2 tahun.
Penelitan ini dilakukan dengan menganalisa data studi kohor penyakit tidak
menular Balitbangkes tahun 2016 dengan menggunakan desain cross sectional.
Penemuan kasus stroke dan penilain terhadap aktivitas fisik dilakukan pada waktu yang
bersamaan, untuk melihat perbedaan aktivitas fisik pada individu yang mengalami stroke
dibandingkan individu yang tidak mengalami stroke.
Populasi pada studi ini adalah seluruh penduduk dewasa yang berumur 25 – 65
tahun, yang mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan tempat tinggal tetap (KK) di
Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Jumlah total sampel sebanyak 5273 responden.
Data pada penelitian ini terbatas pada variabel stroke, aktivitas fisik, usia, jenis kelamin,
status merokok, konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kadar kolesterol.

Universitas Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke
2.1.1 Pengertian Stroke
Menurut WHO (1988), stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal
maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam, akibat
gangguan aliran darah otak (Junaidi, 2011).
Stroke adalah terminologi klinis untuk gangguan sirkulasi darah non traumatik
yang terjadi secara mendadak pada suatu area di otak, yang mengakibatkan iskemia dan
gangguan fungsi saraf fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau
langsung menimbulkan kematian (Wahjoepramono, 2005).
Menurut Dewanto (2009), stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak dengan awitan akut disertai manifestasi klinis berupa difisit
neurologis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma, ataupun infeksi susunan saraf pusat.

2.1.2 Prevalensi Stroke

Menurut WHO (2017), mengetahui jumlah dan penyebab kematian dan juga
mengetahui bagaimana penyakit atau masalah kesehatan mempengaruhi individu, adalah
penting untuk menilai keefektifan sistem kesehatan suatu negara. Statistik penyebab
kematian membantu lembaga kesehatan menentukan fokus tindakan kesehatan
masyarakat mereka.
Dari 56.4 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2015, lebih dari setengah
(54%) disebabkan oleh 10 penyebab teratas. Stroke adalah pembunuh terbesar kedua
setelah penyakit jantung iskemik. Penyakit ini tetap menjadi penyebab utama kematian
di dunia dalam 15 tahun terakhir (WHO media centre, 2017).

8
Universitas Indonesia
9

Gambar 2.1. Sepuluh penyakit teratas penyebab kematian global tahun 2015
Sumber: WHO Media Centre

Stroke adalah peringkat kedua penyebab kematian dan peringkat keenam


penyebab kecacatan seluruh di dunia. Sekitar 15 juta orang menderita stroke pertama
setiap tahun dengan sepertiga dari kasus tersebut (sekitar 6.6 juta) berakibat kematian
yang terjadi pada 3.1 juta laki-laki dan 3.5 juta pada perempuan. Dalam hal kematian dini
dan hilangnya tahun kehidupan, stroke menjadi permasalahan yang lebih besar pada
negara dengan penghasilan rendah dan menengah dari pada negara-negara dengan
penghasilan tinggi. Lebih dari 81% kematian akibat stroke terjadi di negara dengan
penghasilan rendah dan menengah. Kematian akibat stroke pada orang berumur kurang
dari 70 tahun juga naik menjadi 94% pada negara-negara tersebut (WHO, 2016)
Penduduk Indonesia pada tahun 2017 berjumlah 258 juta orang. Jumlah kematian
di Indonesia akibat penyakit tidak menular adalah 1.340.000 dan merupakan 70%
penyumbang penyebab kematian (NCD progress monitor, 2017). Menurut data Riskesdas
2013, prevalensi stroke berdasarkan wawancara menunjukkan kenaikan dari 8,3 per 1000
penduduk tahun 2007 menjadi 12,1 per seribu penduduk. Peningkatan terjadi di seluruh
provinsi kecuali Provinsi Aceh dan Kepulauan Riau, dan meningkat seiring bertambahnya
umur, tertinggi pada umur ≥ 75 tahun. Stroke telah menjadi penyebab kematian utama di
hampir semua rumah sakit di Indonesia, yakni sebesar 14.5% (National Geographic,
2014)

Universitas Indonesia
10

2.1.3 Penggolongan stroke

Berdasarkan penyebabnya stroke dibagi dalam dua kelompok besar (Price, 1995),
yaitu:
1. Stroke perdarahan (hemoragik)
Stroke perdarahan dibagi lagi sebagai berikut:
a. Perdarahan subarachnoid (PSA). Darah yang masuk ke selaput otak
b. Perdarahan intraserebral (PIS). Darah yang masuk ke dalam struktur atau jaringan
otak.
2. Stroke non perdarahan (iskemik)
Stroke non perdarahan, penggolongan berdasarkan perjalanan klinisnya dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Transient ischemic attack (TIA); serangan stroke sementara yang berlangsung kurang
dari 24 jam
b. Reversible ischemic neurologic deficit (RIND); gejala neurologis akan menghilang
antara > 24 jam sampai dengan 21 hari
c. Progressing stroke atau stroke in evolution; kelainan atau defisit neurologik
berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat
d. Stroke komplit atau completed stroke; kelainan neurologis sudah lengkap menetap dan
tidak berkembang lagi

Stroke iskemik berdasarkan penyebabnya


Menurut klasifikasi the national institute of neurological disorder stroke part III trial
–NINDS III, dibagi dalam 4 golongan yaitu karena;
a. Aterotrombotik; penyumbatan pembuluh darah oleh krak/plak dinding arteri
b. Kardioemboli; sumbatan arteri oleh pecahan plak (emboli) dari jantung
c. Lakuner; sumbatan plak pada pembuluh darah yang berbentuk lubang
d. Penyebab lain; semua hal yang mengakibatkan tekanan darah turun (hipotensi).

2.1.4 Mekanisme Terjadinya stroke

Otak dapat berfungsi dengan baik jika aliran darah yang menuju ke otak lancar
dan tidak mengalami hambatan. Darah membawa oksigen dan nutrisi ke seluruh organ

Universitas Indonesia
11

tubuh. Kebutuhan otak akan oksigen adalah 20% dari kebutuhan seluruh tubuh, padahal
berat otak hanya 2.5% dari berat badan manusia. Hal tersebut karena otak terdiri atas
jutaan sel saraf yang mengendalikan seluruh gerakan manusia. Menurut Alfred Sutrisno,
mekanisme terjadinya stroke dapat dijelaskan seperti di bawah ini

2.1.4.1 Mekanisme Terjadinya Stroke Perdarahan

Jenis stroke ini disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak, atau pembuluh
darah di otak bocor. Ini bisa terjadi karena takanan darah ke otak tiba-tiba meninggi,
sehingga menekan pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah dapat juga dikarenakan
lemahnya dinding pembuluh darah, sehingga mudah robek. Darah akan menggenangi
otak. Darah yang membawa oksigen dan nutrisi tidak sampai ke sel otak. Akibatnya sel-
sel otak tidak mendapatkan pasokan makanan.
Terhalangya suplai darah ke otak pada stroke perdarahan disebabkan oleh
pecahnya arteri yang mensuplai darah ke otak. Penyebabnya misalnya tekanan darah yang
mendadak tinggi, atau oleh stres psikis berat. Tekanan darah yang mendadak tinggi dapat
disebabkan oleh trauma kepala, atau peningkatan lainnya seperti mengedan, batuk keras,
mengangkat beban, dan sebagainya. Pembuluh darah pecah umumnya karena arteri
tersebut berdinding tipis berbentuk balon yang disebut aneurisma atu arteri yang lecet
bekas plak aterosklerotik.
Perdarahan otak dapat terjadi di dalam otak yang disebut hemoragik otak,
sehingga otak tercemar oleh kumpulan darah (hematom). Atau darah masuk ke selaput
otak/ruang subaraknoid yang disebut perdarahan subaraknoid. Perdarahan subaraknoid
primer, yaitu bila pembuluh darah yang pecah berasal dari arteri yang berada di
subaraknoid. Perdarahan subaraknoid sekunder, yaitu bila sumber darah berasal dari
tempat lain di luar subaraknoid. Pada pembuluh darah yang pecah dapat terjadi
konstraksi/vasokonstraksi yaitu pengecilan diameter arteri yang dapat menghambat aliran
darah ke otak dan gejala yang timbul tergantung pada daerah otak mana yang
dipengaruhinya.
Darah yang keluar dari pembuluh darah yang bocor bisa bercampur dengan cairan
di selaput otak dan batang otak. Darah tersebut dapat menutup aliran cairan otak, sehingga
dapat meningkatkan tekanan di otak. Jika dibiarkan akan menggangu fungsi otak bahkan
kematian. Selain itu perdarahan juga dapat menekan pembuluh darah di otak. Pembuluh

Universitas Indonesia
12

darah terimpit sehingga mengganggu aliran darah. Penderita bisa menderita stroke
iskemik berdampingan dengan stroke hemoragik.

2.1.4.2 Mekanisme terjadinya stroke sumbatan

Jika persediaan oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh sel-sel darah dan plasma
terhalang oleh suatu bekuan darah atau terjadi thrombosis pada dinding arteri yang
mensuplai otak, maka akan terjadi stroke iskemik yang dapat berakibat kematian jaringan
otak yang disuplai.
Jika gumpalan terjadi pada pembuluh darah ke otak, maka disebut stroke iskemik
trombotik. Gumpalan pada pembuluh darah besar diakibatkan oleh aterosklerosis yang
diikuti oleh pembentukan gumpalan darah yang cepat, juga ditopang oleh tingginya kadar
kolesterol LDL. Gumpalan pada pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah ke
pembuluh darah arteri kecil terhalang.
Gumpalan yang terjadi tidak pada pembuluh darah otak melainkan di tempat lain,
seperti di Jantung. Hal ini disebut stroke iskemik embolik. Penggumpalan darah terjadi
di jantung, sehingga darah tidak dapat mengalirkan oksigen dan nutrisi ke otak. Kelainan
pada jantung mengakibatkan curah jantung berkurang atau tekanan perfusi yang menurun.
Stroke iskemik embolik biasanya muncul pada saat penderita menjalani aktivitas fisik,
seperti berolahraga. Jantung gagal memompa darah ke otak karena tekanan darah jantung
turun drastis. Atau adanya embolus yang terlepas dari jantung dan menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah di otak
Baik trombotik atau embolik, keduanya merupakan jenis bekuan darah dan
pengerasan arteri yang disebut plak aterosklerotik melalui proses aterosklerosis yang
merupakan penumpukan dari lemak darah, kolesterol, kalsium pada dinding pembuluh
darah arteri yang disebut juga ateroma.

2.1.5 Gejala Stroke

Mengenali tanda dan gejala peringatan stroke adalah penting untuk diri sendiri
maupun anggota keluarga, sehingga resiko kecacatan atau kematian akan lebih kecil
dengan perawatan darurat yang segera dilakukan. Pasien yang tiba di ruang gawat darurat
3 jam setelah tanda pertama seringkali menerima risiko kecacatan yang lebih kecil
dibandingkan mereka yang menerima perawatan yang tertunda (cdc, 2018)
Universitas Indonesia
13

Mengetahui gejala stroke secara sederhana dapat dengan melihat kecepatan


terjadinya serangan akut. Gambaran klinis yang dapat digunakan untuk menetukan jenis
stroke adalah sebagai berikut (Junaidi, 2012)

Tabel 2.1. Perbedaan gejala stroke hemoragik dan stroke iskemik


Gejala dan tanda Stroke hemoragik Stroke iskemik
Saat kejadian/onset Sedang aktif Saat istirahat
Peringatan TIA Tidak ada Ada
Gangguan kesadaran Sedang/berat Tidak ada/ringan
Nyeri kepala Hebat Ringan/sangat ringan
Kejang Ada Tidak ada
Muntah Ada Tidak ada
Penurunan kesadaran Sangat nyata Ringan/sangat ringan
Nadi lambat ++ (sejak awal) +/- (pada hari ke 4)
Papil edema + (Sering) -
Kaku kuduk + -
Kernig, brudzinki ++ -
Deficit lokal/kelumpuhan Berat Berat

Menurut Kemenkes ( 2013b), deteksi dini serangan akut stroke dapat dilakukan
dengan menggunakan alat penilaian “SEGERA KE RS” dengan kriteria sebagai berikut:
1. Senyum yang tidak simetris
2. Gerak anggota tubuh yang melemah atau tidak dapat digerakkan
3. Suara yang pelo. Parau atau menghilang
4. Kebas/baal
5. Rabun/gangguan penglihatan
6. Sempoyongan/vertigo/pusing berputar

Pada tahun 2014, Kemenkes melalui Pusat data dan informasi (Pusdatin), memberi
informasi tentang pengenalan tanda-tanda stroke, yaitu:
1. Senyum mencong
2. Gerakan tangan dan kaki lemah/lumpuh
3. Suara pelo
4. Rasa baal sesisi tubuh dan di sekitar mulut
Universitas Indonesia
14

5. Penglihatan ganda/hilang penglihatan tiba-tiba pada sebelah mata


6. Keseimabangan terganggu dan kesadaran menurun/tidak sadar
7. Muntah
8. Sakit kepala
Bila pada masyarakat ditemukan penderita dengan gejala di atas, maka segera dibawa ke
pelayanan kesehatan terdekat agar segera dilakukan penanganan lebih lanjut.

2.1.6 Diagnosis stroke

Semua penderita dengan penyakit serebrovaskular harus menjalani pemeriksaan


fisik dan anamnesis secara teliti. Anamnesis yang kurang baik dapat mengakibatkan
kesalahan diagnosis. Penderita maupun keluarganya dapat saja tidak ingat kapan gejala
mulai timbul. Jenis stroke harus ditentukan dan semua penyakit yang dapat
mempengaruhi keadaan tersebut harus diidentifikasi dan diobati (Price, 1995)
Diagnosis stroke dapat dilakukan dengan cara (Dewanto, 2007):
1. Skor stroke: skor stroke Siriraj dan skor Gadjah Mada
2. Laboratorium darah;
a. Hemoglobin, hematokrit, eritrosit. Lekosit, hitung jenis, trombosit, dan laju
endap darah
b. PT dan aPTT, agregasi trombosit, fibrinogen
c. Gula darah
d. Profil lipid dan kolesterol, asam urat
3. EKG dan ekokardiografi: mencari pencetus stroke akibat penyakit jantung
4. Pungsi lumbal (sesuai indikasi)
5. Foto torax
6. CT scan/MRI kepala
7. MRA, OTAK
Tabel 2.2. Skor Stroke Siriraj
(2,5 x derajat kesadaran) + (2x muntah) + (2x nyeri kepala) + (0.1x tekanan
diastolik) – (3x penanda atheroma) - 12
Dimana:
Derajat kesadaran  0 = kompos mentis; 1= somnolen; 2 = spoor/koma
Muntah  0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala  0 = tidak ada; 1 = ada

Universitas Indonesia
15

Lanjutan Tabel 2.2. Skor Stroke Siriraj


Atheroma  0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih
(diabetes, angina, penyakit pembuluh darah)
Hasil; skor > 1 : perdarahan supratentorial
skor < 1 : infark serebri

Tabel 2.3. Skor stroke Gadjah Mada


Penurunan Kesadaran Nyeri Kepala Babinski Jenis Stroke
+ + + Perdarahan
+ - - Perdarahan
- + - Perdarahan
- - + Iskemik
- - - Iskemik

CT scan merupakan sarana diagnostik yang berharga untuk diagnosis stroke. Alat
terdiri dari tabung sinar x yang dapat berputar dilengkapi dengan suatu alat perekam,
suatu sistem digital dengan alat pembaca otomatis, dan suatu osiloskop dengan kamera
polaroid. CT scan tergantung dari perbedaan kepadatan antara sinar x yang diserap oleh
jaringan normal dan jaringan yang rusak. Alat ini aman dan hasilnya cepat dan cermat
(Price, 1995)

2.2 Faktor risiko stroke

Menurut WHO (2017), penyebab stroke biasanya kombinasi dari beberapa faktor
risiko seperti penggunaan tembakau, diet tidak sehat, obesitas, kurang aktivitas fisik,
konsumsi alkohol, hipertensi, diabetes, dan hyperlipidemia. Faktor perilaku yang
terpenting terhadap kejadian stroke adalah merokok, kurang aktivitas fisik, konsumsi
yang tidak sehat, dan penyalahgunaan alkohol.
Menurut Junaidi (2011) faktor risiko stroke umumnya dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu
a. Faktor risiko yang tidak dapat dikontrol, terdiri dari
1. Umur, makin tua kejadian stroke makin tinggi
2. Ras/bangsa: Afrika/Negro, Jepang, dan Cina lebih sering terkena stroke
3. Jenis kelamin, laki-lakilebih berisiko dibanding wanita
4. Riwayat stroke pada keluarga

Universitas Indonesia
16

b. Yang dapat dikontrol, antara lain


1. Hipertensi
2. Diabetes mellitus
3. TIA (transient ischemic attack): serangan lumpuh sementara
4. Post stroke
5. Perokok
6. Peminum alkohol
7. Infeksi virus dan bakteri
8. Obesitas
9. Kurang aktivitas fisik
10. Hiperkolesterolimia
11. Stres fisik dan mental

2.2.1 Kurang aktivitas fisik

Aktivitas fisik menurut WHO (2018) adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh
otot rangka yang membutuhkan pengeluaran energi termasuk aktivitas yang dilakukan
saat bekerja, bermain, melakukan pekerjaan rumah tangga, bepergian, dan terlibat dalam
kegiatan rekreasi.
Aktivitas fisik yang teratur dan memadai akan mengurangi risiko terjadinya
penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, diabetes, berbagai jenis kanker, dan depresi.
Aktivitas fisik yang tidak mencukupi merupakan salah satu risiko utama kematian global
dan terus meningkat dibanyak negara. Orang yang kurang aktif memiliki 20 – 30 %
peningkatan risiko kematian dibandingkan orang yang cukup aktif (WHO: physical
activity, 2018).
Pada tahun 2010, secara global sekitar 23% orang berusia 18 tahun atau lebih tidak
cukup aktif (pria 20% dan wanita 23%) Di negara berpenghasilan tinggi, 26% pria dan
35% wanita kurang aktif secara fisik dibandingakn 12% pada pria dan 24 % pada wanita
di negara berpenghasilan rendah. Tingkat aktivitas yang menurun atau rendah seringkali
sesuai dengan produk nasional bruto yang tinggi atau meningkat. Penurunan aktivitas
fisik sebagian disebabkan tidak beraktivitas pada waktu senggang, perilaku tidak aktif di
tempat kerja dan di rumah, juga penggunaan moda transportasi pasif (WHO: physical
activity, 2018).
Universitas Indonesia
17

Pada tahun 2013, WHO mengeluarkan suatu kesepakatan tentang target global
yang mencakup penurunan 25% angka kematian dini dari penyakit tidak menular dan
penurunan angka aktivitas fisik yang tidak mencukupi pada tahun 2025. Rencana aksi
global 2013-2030 ini membimbing negara anggota WHO dan badan PBB lainnya
bagaimana mencapai target tersebut secara efektif.

2.2.1.1 Mekanisme efek aktifvitas fisik terhadap stroke


Mekanisme efek aktifvitas fisik terhadap stroke cenderung bersifat multifaktorial.
Latihan fisik yang teratur diketahui dapat meningkatkan aktivitas sintesa nitrat oksida
yang meningkatkan fungsi endotel, mengurangi hipertrofi ventrikel kiri, meningkatkan
aktivator plasma plasminogen dan konsentrasi HDL, dan mengurangi aktivitas fibrinogen
dan platelet. Aerobik dapat meningkatkan metabolisme glukosa, menurunkan kolesterol
total dan LDL, trigliserida, total lemak tubuh, dan peradangan sistemik. Oleh karena itu
diantara mekanisme lainnya, olahraga membantu mencegah obesitas, hipertensi,
dislipidemia, dan perkembangan diabetes tipe 2, yang semuanya terlibat dalam
patogenesis stroke (Galanagh, 2011).
Kebaikan latihan fisik bagi tubuh antara lain; paru-paru dapat mengambil oksigen
lebih baik dan jantung memompa darah lebih efisien. Pada orang yang sehat secara fisik,
jantung berdetak lebih lambat tetapi lebih kuat. kebaikan yang lain adalah sirkulasi tubuh
membaik dan membuat paru-paru, jantung, dan otot-otot lain bekerja sama dengan lebih
baik. Latihan fisik dapat menurunkan kadar kolesterol LDL dan meningkatkan porsi
HDL, ini dapat memperlambat penumpukan plak dalam pembuluh darah. Olahraga
membuat fisik lebih kuat, meningkatkan tonus otot sehingga individu dapat berbuat lebih
banyak dan tidak mudah lelah. Latihan fisik dapat memperbaiki kondisi mental,
memungkinkan bisa mengatasi stres dan ketegangan dengan lebih baik, rileks lebih
mudah, dan tidur lebih nyenyak. Olahraga diiringi diet yang tepat dapat membantu
mengendalikan berat badan (MIPI, 1985).
Sel-sel endotel yang melapisi dinding bagian dalam pembuluh darah, secara
strategis berada diantara plasma serta sel-sel darah dan otot polos pembuluh darah.
Keutuhan endotel sangat penting dalam mempertahankan kelancaran aliran darah, karena
endotel melepaskan faktor-faktor humoral yang dapat mengendalikan relaksasi dan
kontraksi, trombogenesis dan fibrinolisis serta aktivasi dan inhibisi platelet. Jadi, endotel
Universitas Indonesia
18

berperan penting sebagai organ endokrin dalam mengendalikan tekanan darah,


kelancaran aliran darah dan keutuhan pembuluh darah.
Disfungsi endotel adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ketidakseimbangan
fungsi faktor-faktor relaksasi dan faktor-faktor kontraksi yang di produksi oleh endotel.
Disfungsi endotel dapat merupakan penyebab atau sebagai akibat penyakit pembuluh
darah. Disfungsi endotel mengawali terjadinya perubahan-perubahan struktur pembuluh
darah. Perubahan-perubahan morfologi sel endotel ini akan diikuti dengan perubahan-
perubahan fungsi dan penebalan tunika intima, disertai dengan akumulasi sel-sel darah
putih, sel-sel otot polos pembuluh darah dan fibroblast serta endapan matrix. Gangguan
fungsi endotel dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular seperti aterosklerosis,
hipertensi dan payah jantung sehingga dapat menimbulkan hipoperfusi, sumbatan
pembuluh darah dan kerusakan organ.
Disfungsi endotel digambarkan sebagai ketidakmampuan arteri melebar sebagai
respons terhadap stimulus. Ketidakmampuan ini kemungkinan besar disebabkan karena
penurunan jumlah atau aktivitas nitrit oksida di dinding pembuluh darah (Shahab, 2009).
Sel endotel memproduksi nitrat oksida (NO) yang akan berdifusi kedalam sel-sel otot
polos pembulah darah dan mengaktivasi enzim Guanylate cyclase yang memproduksi
cyclic GMP. Cyclic GMP akan merangsang relaksasi otot sehingga akan terjadi
vasodilatasi (Shahab, 2009).
Pada individu yang tidak aktif, terjadi gangguan dalam fungsi vaskular.
Mekanisme gangguan fungsi endotel dianggap dari penurunan nitrat oksida, peningkatan
stress oksidatif, dan peningkatan vaso konstriktor. Latihan fisik adalah metode yang
efektif untuk meningkatkan fungsi endotel. Peningkatan pelepasan dari substansi
vasodilator nitrit oksida dianggap satu mekanisme dimana fungsi endotel ditingkatkan
melalui latihan fisik. Penelitian membuktikan bahwa 8 minggu bersepeda dapat
meningkatkan kadar zat vasodilator plasma dan zat vasokonstriktor menurun (Kearns,
2007). Latihan fisik secara teratur meningkatkan baik pembentukan oksida endotelium
oksida basal (NO) dan vasodilatasi vasotermonal. Koreksi disfungsi endotel dikaitkan
dengan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas latihan (Hambrecht, 1998).

Universitas Indonesia
19

2.2.1.2 Pengukuran aktivitas fisik

Aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik


atau olahraga selama 30 menit setiap hari, atau minimal 3-5 hari dalam seminggu (WHO,
2003).
Aktivitas fisik, olahraga, dan kebugaran fisik terkait, namun definisi berbeda jika
untuk membandingkan studi yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut. Aktivitas fisik
didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka yang
meningkatkan pengeluaran energi di atas tingkat istirahat dan terdiri dari tugas rutin
sehari-hari seperti perjalanan pergi dan pulang kantor, tugas pekerjaan, atau kegiatan
rumah tangga, serta gerakan / aktivitas peningkatan kesehatan yang disengaja. Olahraga
merupakan komponen aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, dan berulang dengan
maksud meningkatkan atau menjaga kesehatan. Kebugaran fisik didefinisikan sebagai
atribut kuantitatif yang dimiliki seseorang atau dapat dicapai yang berhubungan dengan
kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas fisik tanpa kelelahan yang tidak
semestinya dan mencerminkan kombinasi perilaku aktivitas fisik, potensi genetik, dan
kesehatan berbagai sistem organ (Diaz, 2013).
WHO merekomendasikan jumlah aktivitas fisik yang dikelompokkan menurut usia,
sebagai berikut:
a. Anak-anak dan remaja usia 5-17 tahun
1. Sebaiknya dilakukan minimal 60 menit aktivitas fisik intensitas sedang hingga
berat.
2. Aktivitas fisik yang dilakukan lebih dari 60 menit per hari akan memberikan
tambahan manfaat kesehatan.
3. Sebaiknya disertkan kegiatan yang menguatkan otot dan tulang, minimal tiga kali
per minggu.

b. Orang dewasa usia 18-64 tahun


1. Sebaiknya melakukan aktivitas fisik minimal 150 menit dengan intensitas sedang
setiap hari, atau setidaknya 75 menit aktivitas fisik intensitas kuat, atau kombinasi
antara intensitas sedang dan berat.

Universitas Indonesia
20

2. Untuk tambahan manfaat terhadap kesehatan, orang dewasa sebaiknya


meningkatkan aktivitas fisik intensitas sedang hingga 300 menit per minggu atau
setara.
3. Aktivitas penguatan otot harus dilakukan dengan melibatkan kelompok otot utama
pada minimal dua hari dalam seminggu.

c. Orang dewasa usia 65 tahun keatas


1. Melakukan setidaknya 150 menit aktivitas fisik intensitas sedang sepanjang minggu,
atau 75 menit aktivitas fisik intensitas berat sepanjang minggu, atau kombonasi
antara intensitas sedang dan berat.
2. Meningkatkan aktivitas fisik dengan intensitas sedang hingga 300 menit per minggu
atau setara untuk manfaat kesehatan tambahan.
3. Orang dengan mobilitas buruk harus melakukan aktivitas fisik untuk meningkatkan
keseimbangan dan mencegah jatuh sebanyak minimal 3 hari dalam seminggu.
4. Aktivitas penguatan otot harus dilakukan dengan melibatkan kelompok otot utama
sebanyak minimal 2 hari dalam seminggu.
Intensitas berbagai bentuk aktivitas fisik bervariasi antar manusia. Agar bermanfaat bagi
kesehatan kardiorespirasi, semua aktivitas harus dilakukan dalam durasi minimal 10
menit.
Menurut Kemenkes (2017), untuk mendapatkan hasil yang maksimal, aktivitas fisik
harus dilakukan dengan prinsip Baik Benar Terukur dan Teratur (BBTT) yaitu :
1. Aktivitas fisik yang Baik adalah aktivitas fisik yang disesuaikan dengan kondisi fisik
dan kemampuan supaya tidak menimbulkan dampak yang merugikan, dilakukan di
lingkungan yang sehat, aman, nyaman, tidak rawan cedera, menggunakan pakaian dan
sepatu yang nyaman.
2. Aktivitas fisik yang Benar adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara bertahap dan
dimulai dari latihan pemanasan (termasuk peregangan), latihan inti (latihan pada
intensitas yang dituju), latihan pendinginan (termasuk peregangan).
3. Aktivitas fisik yang Terukur adalah aktivitas fisik yang dilakukan dengan mengukur
intensitas dan waktu latihan.
4. Aktivitas fisik yang Teratur adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur 3-5 kali
dalam seminggu dengan selang waktu istirahat.
Universitas Indonesia
21

Selain rutin menjalankan aktivitas fisik, masyarakat juga dihimbau untuk membatasi
kegiatan sedentari. Kegiatan sedentari adalah segala jenis kegiatan yang dilakukan di luar
waktu tidur, dengan karakteristik keluaran kalori sangat sedikit yakni <1.5 METs. Contoh
perilaku sendentari adalah :
1. Berbaring atau duduk dalam waktu lama, seperti menonton TV, bermain video game,
dan duduk lama di depan komputer
2. Menggunakan lift meskipun akses tangga tersedia.
3. Perubahan kebiasaan, contohnya menggunakan kendaraan untuk ke sekolah atau mini
market walaupun jaraknya dekat dari rumah.
4. Pekerjaan rumah tangga diserahkan kepada pembantu.

Untuk mengukur aktivitas fisik pada orang dewasa, WHO telah telah
mengembangkan Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). Kuisioner ini
membantu negara-negara memantau aktivitas fisik yang tidak mencukupi sebagai salah
satu faktor risiko penyakit tidak menular utama. IPAQ telah diintegrasikan ke dalam
pendekatan WHO STEPwise, yang merupakan sistem surveilans untuk faktor risiko
penyakit tidak menular utama (WHO: physical activity, 2018).
Pengukuran dengan kuesioner GPAG untuk mengukur aktivitas fisik seseorang
melalui 16 pertanyaan. Pertanyaan tersebut terdiri atas 4 dimensi yang tujuannya
menggali adakah kebiasaan seseorang dalam satu minggu termasuk dalam katagori
ringan, sedang, atau berat. Empat dimensi tersebut yakni aktivitas fisik waktu melakukan
pekerjaan, aktivitas fisik waktu melakukan perjalanan, aktivitas fisik waktu
luang/rekreasi, dan aktivitas duduk dan berbaring.
Katagori aktivitas fisik menurut GPAG (WHO, 2012) antara lain:
1. Aktivitas ringan jika melakukan aktivitas fisik tingkat sedang-tinggi < 10 menit per
hari atau < 600 MET menit per minggu
2. Aktivitas sedang yang terdiri dari 3 katagori:
a. ≥ 3 hari melakukan aktivitas fisik tinggi > 20 menit per hari
b. ≥ 5 hari melakukan aktivitas fisik sedang/berjalan > 30 menit per hari
c. ≥ 5 hari kombinasi dari aktivitas fisik berjalan dengan aktivitas sedang hingga
tinggi dengan total MET ≥ 600 MET menit per minggu.
3. Aktivitas tinggi yang terdiri dari 2 katagori:

Universitas Indonesia
22

a. Aktivitas intensitas tinggi > 3 hari dengan total MET minimal 1500 menit per
minggu
b. ≥ 7 hari kombinasi dari aktivitas berjalan dengan aktivitas intensitas sedang
hingga tinggi dengan total MET > 3000 menit per minggu.

2.2.1.3 Penelitian hubungan aktivitas fisik dengan stroke


Penelitian Krarup (2007) yang meneliti tingkat aktivitas fisik pada minggu
sebelum kejadian stroke iskemik, menunjukkan bahwa bahwa aktivitas fisik di minggu
sebelum stroke iskemik di kelompok kasus secara signifikan lebih rendah daripada di
kelompok kontrol
Penelitian Liang (2009) menunjukkan penurunan risiko stroke iskemik pada
peningkatan aktivitas fisik pada penduduk Cina Selatan. Total aktivitas fisik ≥ 22 MET
jam per minggu mengurangi sampai 0.25 (95% CI = 0.14-0.45) risiko stroke
dibandingkan individu dengan total aktivitas fisik < 10 MET jam per minggu.
Penelitian Perawaty dan rekan tahun 2010 menunjukkan hubungan yang
bermakna antara kurangnya aktivitas fisik dengan risiko terjadinya stroke. individu yang
kurang aktivitas fisik berisiko 8,36 kali lebih tinggi untuk terkena stroke dibandingkan
individu dengan aktivitas fisik cukup.
Hasil Penelitian Hermawan pada tahun 2013 yang mengkaji hubungan derajat
aktivitas fisik dengan kejadian stroke di RSUP dr. Moewardi Surakarta menunjukkan
hasil yang bermakna. Penelitian terrsebut menyimpulkan bahwa pasien laki-laki yang
kurang melakukan aktivitas fisik lebih berisiko 14 kali untuk mendapat serangan stroke
iskemik akut dibandingkan pasien laki-laki yang mempunyai aktivitas fisik cukup.
Miranda et al (2016) dalam penelitiannya yang berjudul aktivitas fisik dan risiko
terhadap penyakit jantung koroner dan stroke pada orang usia lanjut, menunjukkan bahwa
tingginya aktivitas fisik dihubungkan dengan rendahnya risiko terkena penyakit jantung
koroner dan stroke (khususnya stroke iskemik).
Penelitian Gan Yong (2017) menunjukkan hubungan aktivitas fisik dengan stroke
(p value 0,007). penduduk yang kurang aktivitas fisik mempunyai risiko 1,74 kali terkena
stroke dibanding yang cukup aktivitas fisik.

Universitas Indonesia
23

2.2.2 Merokok
Ada sekitar 600 bahan dalam rokok. Saat dibakar, rokok menghasilkan lebih dari
7000 bahan kimia, banyak yang diantaranya yang beracun dan setidaknya mengandung
69 bahan kimia yang diketahui menyebabkan kanker. berikut beberapa contoh zat pada
asap tembakau yang juga ditemukan pada tempat lain: ammonia digunakan sebagai
pembersih rumah tangga, arsen digunakan dalam racun tikus, tar adalah material untuk
paving jalan, toluene digunakan untuk pembuatan cat, nikotin digunakan dalam
insektisida, karbon monoksida yang dikeluarkan oleh asap mobil, dan masih banyak zat
berbahaya lainnya (lung.org).
Nikotin menempati rangking pertama yang menyebabkan kematian, adiksi, dan
tingkat kesulitan untuk tidak menggunakan lagi dibandingkan 4 zat lain seperti kokain,
morfin, kafein, dan alkohol. Dalam waktu 4 sampai 10 detik setelah rokok diisap, nikotin
pada asap rokok dapat mencapai otak. Nikotin berdifusi cepat ke dalam jaringan otak dan
terikat dengan reseptor Asetilkolin nikotinik (nAChRs) sub tipe α4β2 dan melepaskan
dopamin yang memberikan rasa nyaman. Perokok regular memicu penigkatan jumlah
reseptor α4β2 sebanyak 300%. Kadar nikotin akan turun dalam 2 jam sehingga kadar
dopamin juga turun dan akan terjadi gejala putus nikotin. Perokok akan mengulang rasa
nyaman tersebut dengan kembali merokok. Efek fisiologis ini yang membuat perokok
ingin kembali merokok (Kemenkes, 2016).
Merokok dapat membuat kerusakan pada hampir semua bagian tubuh. Gambar
2.1 memperlihatkan dampak yang ditimbulkan dari perilaku merokok bagi kesehatan

Universitas Indonesia
24

Gambar 2.2. Risiko yang diakibatkan oleh rokok


Sumber https://www.cdc.gov/

Merokok memacu peningkatan kekentalan darah, pengerasan di dinding


pembuluh darah, dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa merokok meningkatkan risiko penyakit pembuluh darah termasuk
stroke. Risiko stroke meningkat dua kali lipat pada perokok. Risiko stroke akan
bertambah 1.5 kali setiap penambahan 10 batang rokok per hari (Olsen, 2003 dalam
pinzon 2010).
Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah. Produksi trombosit meningkat sehingga darah
mudah membeku yang diakibatkan oleh arteri yang menyempit dan pembuluh darah yang
mudah robek. Karbonmonoksida dari rokok dapat mengurangi jumlah oksigen yang
dibawa oleh darah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang
dibuuthkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association 2010 dalam
nastiti, 2012).
Merokok menyebabkan stroke dan jantung koroner. Walaupun merokok kurang
dari 5 batang per hari, sudah dapat membuat seseorang memiliki tanda awal penyakit
kardiovaskular (cdc;stroke, 2018). Penelitian Katarina (2009), menunjukkan hubungan

Universitas Indonesia
25

yang signifikan (p < 0.001) antara merokok dengan kejadian stroke iskemik. Individu
yang merokok mempunyai odds sebesar 3.04 dibandingkan yang tidak merokok.
Perokok pasif juga membahayakan kesehatan, dapat menyebabkan penyakit
jantung koroner termasuk serangan jantung dan stroke. Di Amerika Serikat, hampir
34.000 kematian akibat jantung koroner terjadi di kalangan bukan perokok. Perokok pasif
yang mengisap asap rokok di rumah dan tempat kerja berisiko terkena serangan jantung
hingga 25-30% dan risiko terkena stroke 20-30%. Setiap tahun paparan asap bekas rokok
pada perokok pasif menyebabkan lebih dari 8 ribu kematian akibat stroke (cdc, 2018).
Diantara 30 juta korban stroke, sekitar sepertiganya hidup dengan cacat sedang
sampai berat. Hal itu berdampak signifikan terhadap ekonomi dan biaya sosial untuk
mengasuh orang-orang yang hidup dengan cacat tersebut. Oleh karena itu pencegahan
sangat penting. Berhenti merokok dan menghilangkan paparan untuk perokok pasif
adalah signifikan untuk mengurangi risiko stroke.
Studi follow up 12 tahun menunjukkan hubungan yang signifikan yaitu penurunan
34% risiko stroke pada mantan perokok dibandingkan yang masih perokok. Mantan
perokok yang telah berhenti merokok 2 hingga 4 tahun memiliki risiko stroke yang
hampir sama dengan yang tidak merokok seumur hidupnya. Studi lain dengan masa
follow up 26 tahun menunjukkan bahwa risiko stroke menurun secara signifikan setelah
2 tahun berhenti merokok dan setelah 5 tahun risikonya adalah seperti pada bukan
perokok (WHO, 2016).

2.2.3 Kurang Konsumsi Sayur Buah

Gizi yang kurang baik adalah faktor risiko penyakit tidak menular, salah satunya
adalah stroke. Sebagian besar penyakit tidak menular terkait gizi berhubungan dengan
kelebihan berat badan dan kegemukan yang disebabkan oleh kelebihan gizi. Data
Riskesdas memperlihatkan kecenderungan prevalensi obesitas (IMT > 25) pada semua
kelompok umur. Kelebihan gizi tersebut timbul akibat kelebihan asupan makanan dan
minuman kaya energi, kaya lemak jenuh, gula dan garam tambahan, namun kekurangan
asupan pangan bergizi seperti sayuran, buah-buahan, dan serealia utuh, serta kurang
melakukan aktivitas fisik (Kemenkes PGS, 2014)
Buah dan sayuran merupakan komponen penting dari makanan sehat. Beberapa
mekanisme yang membuat efek perlindungan terhadap tubuh antara lain melibatkan
Universitas Indonesia
26

antioksidan dan mikronutrien yang terdapat di dalam buah dan sayuran seperti flavonoid,
carotenoid, vitamin C, asam folat, dan serat makanan. Zat tersebut menghalangi atau
menekan aksi karsinogen dan sebagai antioksidan, serta mencegah kerusakan DNA
oksidatif (WHO health report chapter 4).
Asupan buah dan sayur yang rendah diperkirakan menyebabkan 19% kanker
gastrointestinal, 31% penyakit jantung iskemik, dan 11% stroke di seluruh dunia. Secara
keseluruhan 2.7 juta (4.9%) kematian disebabkan asupan buah dan sayuran yang rendah.
risiko dari asupan buah dan sayuran yang rendah 85% adalah penyakit kardiovaskular dan
15 % panyakit kanker (WHO health report chapter 4).
Individu dengan asupan tinggi serat mempunyai risiko lebih rendah untuk terkena
penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi, diabetes, obesitas, dan penyakit
gastrointestinal seperti ulkus duodenum, konstipasi, wasir dan sebagainya. Meningkatkan
asupan serat menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol darah. Serat dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Asupan serat makanan memberikan manfaat yang
sama untuk anak-anak seperti pada orang dewasa (Anderson, 2009).
Kalium yang terkandung dalam sayuran dan buah merupakan suatu mineral yang
berfungsi untuk mengendalikan tekanan osmosis dalam sel. Berkaitan dengan tekanan
darah sebagai faktor risiko stroke, pengaruh kalium dalam tubuh merupakan kebalikan
dari pengaruh natrium yaitu dapat menurunkan tekanan darah (Mulyantoro dan rekan,
2016).
Mekanisme asupan tinggi serat menurunkan risiko stroke melalui sejumlah
mekanisme, diantaranya bahwa tipe serat yang secara fisik tidak larut akan mengikat asam
empedu yang mengandung kolesterol dan mencegahnya diserap di usus halus. Serat yang
larut difermentasi oleh bakteri menghasilkan asam lemak rantai pendek, hal ini selain
menurunkan reabsorbsi asam empedu, juga diperkirakan menurunkan kolesterol darah.
Kekentalan serat yang larut menurunkan kadar glukosa setelah makan, juga
mengenyangkan dan pada akhirnya mempengaruhi berat badan tubuh dengan
menurunkan asupan energi. Asupan serat makanan juga dihubungkan dengan penurunan
sirkulasi C. Reaktif protein suatu indikator peradangan. Kerusakan endotel, peradangan,
dan kelebihan lemak adalah pemicu aterosklerosis yang merupakan penyebab utama
penyakit kardiovaskular termasuk stroke (Threpleton, 2015).

Universitas Indonesia
27

Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara umum menganjurkan konsumsi sayuran


dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400 g per orang per hari, yang terdiri dari
250 g sayur (setara dengan 21/2 porsi atau 21/2 gelas sayur setelah dimasak dan ditiriskan)
dan 150 g buah. (setara dengan 3 buah pisang ambon ukuran sedang atau 11/2 potong
pepaya ukuran sedang atau 3 buah jeruk ukuran sedang). Bagi orang Indonesia dianjurkan
konsumsi sayuran dan buah-buahan 300-400 g per orang per hari bagi anak balita dan
anak usia sekolah, dan 400-600 g per orang per hari bagi remaja dan orang dewasa.
Sekitar dua-pertiga dari jumlah anjuran konsumsi sayuran dan buah-buahan tersebut
adalah porsi sayur (Kemenkes PGS, 2014).
Untuk mengetahui pola makan di populasi, umumnya dilakukan survei konsumsi
dengan Food Frequency Questionnaire (FFQ), sedangkan untuk mengetahui asupan zat
gizi, antara lain dapat menggunakan recall makanan (dietary recall). Pada dasarnya FFQ
digunakan untuk mengetahui riwayat pola makan di populasi yang kemudian
dihubungkan dengan penyakit. Konsumsi makan yang dapat menggambarkan pola makan
adalah data konsumsi makan dalam kurun watu 2 minggu, ini dikarenakan konsumsi
makan individu yang berfluktuatif. Penggunaan FFQ dapat dimodifikasi sesuai dengan
keperluan penelitian. Data pola konsumsi dapat dihasilkan melalui FFQ dan dietary
recall, dapat mencerminkan hubungan yang cukup terhadap asupan zat gizi (Balitbangkes
PUKM, 2016).
Penelitian Perawaty dan rekan (2010) membuktikan bahwa responden dengan
konsumsi sayur buah yang kurang mempunyai nilai OR yang lebih tinggi (5.52) untuk
terjadinya stroke dibandingkan individu dengan konsumsi buah yang cukup.
Kokubo et al (2011) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tingginya
asupan serat dihubungkan dengan menurunnya risiko stroke.
Studi meta analisis dari Zhizhong et al (2013) menunjukkan hubungan antara
konsumsi serat dengan risiko stroke. Konsumsi serat yang cukup menurunkan risiko
stroke. Penelitian tersebut juga merekomendasikan konsumsi makanan kaya serat yang
lebih tinggi untuk mencegah stroke.
Penelitian threapleton (2013) dengan pendekatan meta analisis yang meneliti
hubungan antara asupan serat dengan risiko kejadian serangan stroke yang pertama
menunjukkan bahwa subjek dengan asupan tinggi serat memiliki peluang rendah
terjadinya serangan pertama stroke iskemik dan hemoragik. Temuan penelitian ini
Universitas Indonesia
28

mengungkapkan bahwa konsumsi rutin makanan berserat tinggi dapat berkontribusi


positif terhadap pencegahan stroke.

2.2.4 Ras

Orang kulit hitam, Hispanik Amerika, cina, dan Jepang memiliki insiden stroke
yang lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih (Wahjoepramono, 2005). Insiden stroke
pada orang kulit hitam sekitar tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih. Hal
tersebut terjadi antara usia 45 dan 65, tetapi menurun pada usia 85 tahun (Howard, 2016).
Berkaitan dengan hipertensi sebagai faktor risiko utama stroke dan tingginya insiden
stroke pada ras kulit hitam, hal ini dikarenakan hipertensi sering berkembang lebih awal
dan dengan lebih cepat pada ras Afrika-Amerika dibanding dengan ras lain. Tingginya
kejadian hipertensi pada ras Afrika-Amerika dimungkinkan karena alasan genetik. Para
peneliti menduga bahwa orang yang tinggal di Afrika Katulistiwa memiliki faktor genetik
yang senstitif terhadap garam, yang berarti tubuh mereka mempertahankan lebih banyak
garam. Kondisi tersebut meningkatkan volume darah, yang pada gilirannya
meningkatkan tekanan darah. Sensitif garam bisa bermanfaat diiklim yang panas dan
kering karena memungkinkan tubuh menghemat air (Harvard, 2010).

2.2.5 Riwayat Keluarga

Meningkatnya insiden stroke berhubungan dengan riwayat penyakit pada


keluarga yang pernah mengalamai stroke. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor
diantaranya genetik, pengaruh budaya dan gaya hidup dalam keluarga, juga interaksi
antara genetik dan pengaruh lingkungan (Wahjoepramono,2015).
Seseorang mungkin berisio lebih besar terkena stroke jika orang tua, kakek-nenek,
saudara perempuan atau saudara laki-laki mengalami stroke terutama sebelum mencapai
usia 65 tahun. Kadang-kadang stroke disebabkan oleh kelainan genetik seperti
CADASIL, yang dapat memblokir aliran darah di otak. CADASIL (Cerebral Autosomal
Dominant Arteriopathy dengan Sub-cortical Infarcts and Leukoencephalopathy) adalah
bentuk warisan penyakit serebrovaskular yang terjadi ketika penebalan dinding pembuluh
darah menghalangi aliran darah ke otak. Penyakit ini terutama mempengaruhi pembuluh
darah kecil di materi putih otak. Sebuah mutasi pada gen Notch3 mengubah dinding otot
di arteri-arteri kecil ini. CADASIL ditandai dengan sakit kepala migrain dan banyak
Universitas Indonesia
29

stroke yang berkembang menjadi demensia. Gejala lain termasuk kerusakan kognitif,
kejang, masalah penglihatan, dan masalah kejiwaan seperti depresi berat dan perubahan
perilaku dan kepribadian. Gejala dan onset penyakit sangat bervariasi, dengan tanda-
tanda biasanya muncul di pertengahan 30-an (Strokeassociation, 2018).
Faktor penting adalah gaya hidup yang terbentuk dalam keluarga. Pola diet dan
kebiasaan hidup sehari-hari yang menjadi tradisi yang dijalani sejak masih kecil patut
dijadikan peringatan untuk risiko stroke pada diri seseorang. Kebiasaan diet sehat yang
diajarkan orang tua, kebiasaan jajan makanan yang tidak sehat, dan hidup bermalas-
malasan. Faktor yang sesungguhnya dapat dikendalikan tersebut dapat dianggap sebagai
faktor tidak terkendali jika telah melekat erat dalam kehidupan seseorang. Dengan
meningkatnya insiden stroke di abad ini, para ahli sepakat menganggap fakta bahwa
“evolusi” pola hidup tidak sehat merupakan pendorong terbentuknya gen yang rentan
terhadap sejumlah faktor risiko pemicu stroke (Lingga, 2013).

2.2.6 Usia

Secara biologis, penuaan diakibatkan oleh dampak akumulasi berbagai kerusakan


molekuler dan seluler dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan penurunan kapasitas
fisik dan mental secara bertahap, meningkatnya risiko penyakit, dan akhirnya kematian
(WHO media centre, 2015).
Semakin tua usia seseorang akan semakin mudah terkena stroke. Stroke dapat
terjadi pada semua usia, namun lebih dari 70% kasus stroke terjadi di atas usia 65 tahun
(Pinzon, 2010).
Menurut Junaidi (2012) risiko stroke iskemik akan meningkat dua kali lipat
setelah umur 55 tahun, seperti dalam penelitian schutz bahwa penderita yang berumur 70-
79 tahun banyak menderita perdarahan intrakranial
Penelitian Aisyah Muhrini dan rekan tahun 2012 di Sulawesi Tenggara
menunjukkan hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian stroke, dimana
risiko stroke lebih tinggi pada pasien yang berumur lebih dari 55 tahun.
Data Riskesdas 2013 memperlihatkan hubungan yang linier antara kenaikan
kelompok umur dengan peningkatan jumlah penderita stroke.

Universitas Indonesia
30

2.2.7 Jenis Kelamin

Pada banyak studi kasus, lelaki berisiko terkena stroke tiga kali lebih tinggi dari
pada wanita. Laki-laki cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan perempuan
cenderung terkena stroke hemoragik (Agromedia, 2009). Walaupun laki-laki lebih
berisiko terkena stroke dari pada perempuan, namun penelitian menyimpulkan bahwa
lebih banyak perempuan yang meninggal karena stroke.
Setelah usia 55 tahun, wanita lebih berisiko terkena tekanan darah tinggi yang
merupakan faktor risiko terhadap terjadinya stroke. Pola ini sebagian bisa dijelaskan
karena perbedaan hormon antara pria dan wanita. Estrogen cenderung melindungi wanita
dari penyakit kardiovaskular. Namun seiring dengan produksi estrogen yang menurun
disertai menopause, wanita kehilangan efek menguntungkannya sehingga risiko penyakit
kardiovaskularnya meningkat (Harvard, 2010).
Penelitian Lin Mei dan Chen Yue tentang hubungan stroke dengan diabetes
berdasarkan usia dan jenis kelamin didapatkan bahwa hubungan antara diabetes dan
stroke lebih kuat pada laki-laki dibandingkan perempuan pada kelompok umur
pertengahan (45 – 64 tahun) tetapi tidak pada kelompok umur yang lebih tua (≥ 65 tahun)

2.2.8 Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik adalah istilah kedokteran untuk menggambarkan kombinasi


dari sejumlah kondisi, yaitu hipertensi (tekanan darah tinggi), hiperglikemia (kadar gula
darah tinggi), hiperkolesterolimia (kadar kolesterol tinggi), dan obesitas yang dialami
secara bersamaan. Karena itu, seseorang tidak dianggap mengalami sindrom ini apabila
hanya menderita salah satu kondisi tersebut (allodokter.com).
Penelitian Kamso (2000) yang dilakukan pada orang berusia 55-65 tahun di Jakarta
menunjukkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 18% pada wanita dan 6.6% pada
laki-laki
Prevalensi sindrom metabolik diperkirakan akan meningkat dalam beberapa
waktu belakangan ini. Hal tersebut sangat terkait dengan perubahan pola hidup di
masyarakat. Prevalensi sindrom metabolik pada penduduk berusia 20-25 tahun di India
sekitar 8% dan di Amerika Serikat sebanyak 24% (Atul dkk, 2006 dalam Yulianto, 2011).

Universitas Indonesia
31

Mekanisme sindrom metabolik yang jelas belum diketahui secara pasti. Suatu
hipotesis yang paling banyak diterima adalah resistensi insulin. Diperkirakan obesitas
merupakan komponen utama kejadian sindrom metabolik. Obesitas yang diikuti dengan
meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen Spesies
(ROS) yang meningkat, baik di sirkulasi maupun di sel lemak. Meningkatnya ROS
menyebabkan enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut stres
oksidatif yang merupakan awal patofisiologi terjadinya sindrom metabolik, hipertensi,
dan aterosklerosis (Stocker, 2004 dalam Rini, 2015)
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ETP III banyak digunakan karena lebih
memudahkan klinisi untuk mengidentifikasi seseorang yang menderita sindrom
metabolik. Untuk orang Asia digunakan ukuran lingkar perut laki-laki ≥ 90 cm dan
perempuan ≥ 80 cm sesuai dengan usulan WHO tahun 2000 (Soegondo & Gustaviani,
2006).
Diagnosis sindrom metabolik ditegakkan bila terdapat minimal tiga dari lima kriteria
di bawah ini:
1. Dalam pengobatan anti hipertensi atau tekanan darah > 130/85 mmHg
2. Kadar trigliserida > 150 mg/dL
3. Kolesterol HDL laki-laki < 40 mg/dL dan wanita < 50 mg/dL
4. Lingkar perut /pinggang laki-laki > 102 cm dan perempuan > 88 cm
5. Gula darah puasa > 110 mg/dL
Penelitian fila Fatmisua dan Santi Martini di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya
pada tahun 2014 menunjukkan hubungan yang signifikan antara sindrom metabolik
dengan kejadian stroke.
Wei-Wei Zhang, Chun-wu liu, et al dalam penelitian yang berjudul “Metabolik
syndrome increases the risk of stroke: a 5-year follow up study in Chinese population”
menghasilkan temuan yang tinggi tentang prevalensi sindrom metabolik pada penduduk
Cina dan dihubungkan dengan peningkatan risiko stroke baik stroke iskemik maupun
stroke hemoragik.
Meta analisis dari penelitian kohor tentang hubungan antara sindrom metabolik
dan risiko stroke oleh Wei Li, Dongrui Ma, et al (2008) menyimpulkan bahwa sindrom
metabolik (memakai kriteria WHO atau ATP III) berhubungan dengan risiko stroke.

Universitas Indonesia
32

2.2.9 Hipertensi

Tekanan darah memiliki fluktuasi normal sepanjang hari seperti, turun disaat
istirahat dan tidur, naik secara alami di pagi hari, meningkat sementara saat stres, gembira,
dan berolahraga. Pada saat istirahat tetapi tekanan darah meningkat terlalu tinggi, hal ini
dapat membekas, menegangkan, dan/ atau melemahkan pembuluh darah (Hopkins
Medicine).
Hipertensi jika dibiarkan tidak terkontrol dapat menyebabkan stroke, infark
myocard, gagal jantung, demensia, gagal ginjal, dan kebutaan. Hipertensi bertanggung
jawab atas setidaknya 45% kematian akibat penyakit jantung, dan 51% kematian akibat
stroke (WHO, 2013). Pun sebaliknya, studi ilmiah secara konsisten telah menunjukkan
manfaat menurunkan tekanan darah. Contohnya adalah, penurunan tekanan darah sistolik
sebesar 10 mmHg dikaitkan dengan penurunan 22% penyakit jantung koroner, 41 %
stroke, dan 41-46% kematian cardiometabolik (WHO, 2014).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama baik pada stroke iskemik maupun
stroke hemoragik. Hal ini disebabkan hipertensi memacu proses aterosklerosis yang
berakibat mendorong LDL kolesterol lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima lumen
pembuluh darah dan menurunkan elastisitas lumen pembuluh darah tersebut (Lumongga,
2007 dalam Yueniwati, 2015).
Menurut Joint National Commite on Prevention Detection, Evaluation, and
Treatment of High Pressure VII (JNC-VII,2003), hipertensi diklasifikasikan seperti
tertera pada tabel 1.

Tabel 2.4. Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII 2003


Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pra-hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi tingkat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Sumber: NIH, NHLBI, US Dept Health & Human Services

Tabel 1 menunjukkan klasifikasi hipertensi untuk orang dewasa berusia 18 tahun ke atas
yang didasarkan pada rata-rata dua kali pengukuran dengan jarak minimal satu minggu.
Universitas Indonesia
33

2.2.10 Obesitas

Kelebihan berat badan dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak


abnormal atau berlebihan yang menyebabkan risiko terhadap kesehatan. IMT (Indeks
Massa Tubuh) adalah indikator yang paling banyak digunakan untuk menentukan
obesitas yaitu berat badan seseorang (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi
badannya (dalam meter). Seseorang dengan IMT 30 atau lebih dianggap obesitas.
Seseorang dengan IMT 25 atau lebih dianggap kelebihan berat badan. Peningkatan IMT
adalah faktor risiko utama penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung dan stroke
(WHO, 2018).
Tabel 2.5. Batas ambang IMT untuk Indonesia
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
Sumber: Pedoman praktis status gizi dewasa Kemenkes

Di Indonesia, baik di perdesaan maupun di perkotaan, gizi lebih yaitu kegemukan


dan obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Kemudahan sarana
transportasi dan jenis pekerjaan menyebabkan fisik kurang bergerak secara teratur yang
membuat pekerja relatif statis untuk waktu lama, hal tersebut bersama dengan obesitas
merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit degeneratif termasuk stroke
(Kemenkes, 2012).
Pada obesitas, terdapat kenaikan ukuran sel lemak, tetapi sel ini sedikit
mengandung reseptor insulin. Akibatnya sel kurang bereaksi terhadap pengaruh insulin
yang berguna dalam pengaturan metabolisme karbohidrat dan lemak. Peningkatan
penguraian lemak menyebabkan banyaknya asam lemak dalam darah. Asam lemak bebas
ini selanjutnya diangkut ke hati dan bersama kolesterol akan dibuat menjadi bentuk
lipoprotein VLDL. Hal tersebut berakibat kolesterol dan trigliserida dalam darah juga
meningkat (Misnadiarly, 2007).

Universitas Indonesia
34

Sejumlah penelitian telah menemukan hubungan antara peningkatan IMT dan


risiko stroke. Risiko stroke total atau iskemik meningkat secara linier dengan
meningkatnya IMT. Setiap kenaikan IMT 1 unit menyebabkan peningkatan risiko stroke
iskemik atau stroke sebesar 5% pada wanita (Daphne et al, 2011).

2.2.11 Diabetes

Diabetes mellitus atau diabetes saja adalah penyakit gangguan metabolisme


menahun akibat pankreas tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang
mengatur keseimbangan kadar gula darah, akibatnya kadar gula dalam darah meningkat
yang disebut hiperglikemia (Pusdatin-Diabetes, 2014).

Tabel 2.6. Kadar gula darah menurut WHO


Normal Pra diabetes Diabetes
Gula darah puasa < 110 110-125 >126
Gula darah setelah makan < 110 110-199 >200
Gula darah sesaat 4. SM <85 6. SM >85-130 8. SM >130
5. MT <110 7. MT >110-140 9. MT >140
Sumber: WHO, 2018

Diabetes adalah masalah kesehatan dunia, diperkirakan 347 juta orang diseluruh
dunia terkena dampaknya. Pada tahun 2008 diabetes menyumbang 1-3 juta kematian.
Kejadian diabetes diperkirakan meningkat lebih dari 50% pada dekade berikutnya karena
peningkatan obesitas yang cepat dan perilaku kurangnya aktivitas fisik. Akibatnya
diabetes diperkirakan menjadi penyebab kematian ketujuh di dunia pada tahun 2030
(Peter Sanne, 2014).
Peningkatan lemak darah pada penderita diabetes sangat meningkatkan risiko
penyakit jantung dan stroke. Diabetes mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada
pembuluh darah kecil maupun pembuluh darah besar di seluruh pembuluh darah termasuk
pembuluh darah otak dan jantung. Kadar glukosa darah yang tinggi pada stroke akan
memperluas besarnya area sel yang mati karena terbentuknya asam laktat akibat
metabolism glukosa yang dilakukan secara an aerob (oksigen sedikit) yang merusak
jaringan otak (Junaidi, 2011).
Universitas Indonesia
35

Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi glukosa yang berlebihan


mempengaruhi kondisi dinding arteri termasuk sel endotel, sel otot polos, serta magrofag.
kadar glukosa tinggi dalam tubuh berperan pada proses aterogenesis, yang pada proses
selanjutnya akan berlanjut pada pathogenesis aterosklerosis (Chait et al, 2009 dalam
wihastuti dan rekan, 2016).
Orang dengan diabetes memiliki risiko dua kali lebih tinggi terkena penyakit
jantung dan stroke dibanding yang tidak diabetes dan pada usia yang lebih muda. Orang
yang diabetes dan merokok akan cenderung memilik masalah kesehatan yang lebih luas
termasuk penyakit jantung dan ginjal (cdc, 2018).

2.2.12 Dislipidemia

Dislipidemia adalah suatu perubahan kadar normal komponen lemak darah, dapat
meningkat (misalnya kolesterol, trigliserida, LDL, dan lain-lain) atau menurun (misalnya
HDL).
Menurut WHO, menurunkan kadar kolesterol total dalam darah adalah strategi
ideal untuk mengurangi beban panyakit kardiovaskular (buletin WHO, 2011)
Berolahraga, makan makanan yang sehat, dan tidak merokok akan membantu
mencegah kolesterol tinggi atau menurunkan kadar kolesterol. Kolesterol yang tinggi
tidak memiliki gejala. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kadar kolesterolnya
tinggi. Orang dewasa dianjurkan untuk memeriksakan kadar kolesterol setiap 5 tahun
sekali (cdc, 2018).
Tabel 2.7. Batasan kadar lipid/lemak dalam darah
Komponen lipid Batasan (mg/dL) Klasifikasi
Kolesterol Total < 200 Yang diinginkan
200-239 Batas tinggi
≥ 240 Tinggi
Kolesterol LDL < 100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Batas tinggi
160-189 Tinggi
≥ 190 Sangat tinggi
Kolesterol HDL < 40 Rendah
≥ 60 Tinggi

Universitas Indonesia
36

Lanjutan Tabel 2.8. Batasan kadar lipid/lemak dalam darah


Komponen lipid Batasan (mg/dL) Klasifikasi
Trigliserida < 150 Normal
150-199 Batas tinggi
200-499 Tinggi
≥ 500 Sangat tinggi
Sumbe:r NCEP, 2002 dalam Kemenkes, 2013a

Penelitian menunjukkan bahwa stroke meningkat pada pasien dengan kadar


kolesterol di atas 240 mg%. Setiap kenaikan 38.7 mg% menaikkan angka stroke 25%.
Sedangkan kenaikan HDL 38.7 mg% menurunkan terjadinya stroke setinggi 47%
(Yulianto, 2011).

2.2.13 Infeksi virus dan bakteri

Studi terbaru menemukan kaitan antara bakteri dengan kejadian stroke ayng
bersifat hubungan tidak langsung. Bakteri dan virus tersebut antara lain Chlamydia
pneumoniae, Helicobacter pylori, Cytomegalovirus, dan virus Herpes simplex 1 dan 2.
Masing masing mikroorganisme tersebut mungkin bersembunyi setelah infeksi akut dan
terus bertahan di tubuh dalam kadar infeksi kronik skala rendah. Dalam risetnya Elkind
dan timnya mengamati 1.625 penduduk yang tinggal di Manhattan. Rata-rata penduduk
tersebut berusia 68 tahun dan bebas stroke pada awal penelitian. Pada delapan tahun
kemudian, dilaporkan sebanyak 67 responden mengalami serangan stroke (Kompas,
2009).

2.2.14 Stres
Menurut Walter M. Quade dan Ann Aikman dalam bukunya yang berjudul Stres
(1987), Stres dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Sistem dan organ tubuh yang dapat
dipengaruhi oleh stres adalah sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, sistem
kekebalan, dan sistem skeletal-muskular (rangka tubuh dan otot-otot).
Jika kita merasa terancam,walaupun hanya oleh hal sepele, seperti demam
panggung, maka sistem kardiovaskular yang bereaksi paling nyata, yang merubah seluruh
tempo badan. Nadi berdenyut-denyut, tekanan darah naik, tangan menjadi dingin karena
darah dialihkan dari kulit ke organ-organ vital. Jika penyesuaian ini menjadi suatu

Universitas Indonesia
37

kebiasaan, beberapa kondisi dapat berkembang, dari arhythmia biasa yaitu denyut jantung
eksentrik yang kronis, melalui tekanan darah tinggi, sampai ke serangan jantung atau
stroke yang ditakuti.
Pendekatan dari fisher (1988) dan Cox (1988) menjelaskan bagaimana stres dapat
mengarah pada kesakitan. Sesuai dengan pendekatan ini, Sarafino (1990) menyatakan
bahwa rasa stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh yang
dapat mempengaruhi kesehatan. Hubungan antara stres dan rasa sakit, ditandai dengan
proses pelepasan hormon, khususnya hormon catecholamines dan corticosteroids yang
dirangsang oleh sistem kardiovaskular. Bila tingkat hormon ini sangat tinggi, maka dapat
menyebabkan jantung berdebar-debar sangat kencang sehingga dapat menyebabkan
kematian yang tiba-tiba (Smet, 1994).
Menurut Rasmiun (2004), sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan di luar
tubuh. Sumber stres dapat berupa biologi/fisiologik, kimia, psikologik, sosial dan
spiritual. Terjadinya stres karena stresor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh
individu sebagai suatu ancaman sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan
tanda umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis
Penelitian Katarina (2009), suatu studi kasus kontrol dengan analisis regresi
logistik kondisional, menemukan hubungan antara stres psikologis dan stroke iskemik.
Individu yang memiliki status stres psikologis mempunyai odds ratio 3.49 (p < 0.001)
dibandingkan individu tanpa status stres psikologis.

2.3 Pengendalian Stroke


Stroke adalah penyebab kematian nomor dua dan penyebab utama kecacatan di
seluruh dunia. Karena populasi yang menua, bebannya akan meningkat pesat dalam 20
tahun ke depan, terutama di negara berkembang (Daphne, 2011).
Penyakit tidak menular seperti stroke merupakan penyakit yang dapat dicegah bila
faktor risiko dikendalikan. Pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular
merupakan kombinasi upaya inisiatif pemeliharaan kesehatan mandiri oleh petugas
kesehatan dan individu masyarakat (Irwan, 2016).
Penemuan dan pengendalian faktor risiko dilakukan pada orang sehat, orang yang
sudah terdata mempunyai faktor risiko stroke, dan pada keluarga penderita stroke.
Tindakan pencegahan primer bertujuan mencegah stroke pada masyarakat yang belum
Universitas Indonesia
38

pernah terkena stroke. Pencegahan yang terpenting adalah pencegahan dan pengendalian
faktor risiko dengan menjalani gaya hidup sehat seperti mengkonsumsi makanan yang
sehat (sayur dan buah-buahan), diet rendah garam dan gula, melakukan aktivitas fisik
yang cukup termasuk berolahraga, tidak merokok, dan mengelola stress dengan baik.
Pencegahan sekunder ditujukan untuk masyarakat yang pernah mengalami stroke.
Pencegahan dilakukan dengan mengontrol faktor risiko stroke misalnya mengobati
hipertensi, diabetes, dyslipidemia. Juga menjalankan diet sehat dan berolahraga
(Kemenkes, 2013a).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes, 2017) menghimbau
seluruh masyarakat untuk menerapkan gaya hidup sehat guna mencegah stroke. Gaya
hidup sehat tercermin melalui gerakan CERDIK yang diinisiasikan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yaitu:
Cek kesehatan berkala
Enyahkan asap rokok
Rajin/Rutin aktivitas fisik
Diet seimbang
Istirahat cukup
Kelola stres
Periode Emas Penanganan Stroke adalah waktu yang sangat bergharga untuk
penanganan Stroke, yaitu kurang dari 4,5 jam sejak pertama kali muncul gejala dan tanda
sampai dilakukan penanganan stroke di Rumah Sakit. Sehingga penderita harus sudah
tiba di Rumah Sakit kurang dari 2 jam. Proses pemeriksaan sampai pengobatan
membutuhkan waktu maksimal 2,5 jam. Bila terlambat penanganannya atau sudah lebih
dari 4,5 jam maka Stroke akan menjadi parah bahan berisiko kematian atau kecacatan
permanen.

2.4 Kerangka Teori

Terjadinya stroke dikarenakan sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak atau
kedua-duanya. Kejadian karena kedua hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku, genetik,
lingkungan dan pelayanan kesehatan. Ke empat faktor tersebut saling terkait sehingga
terjadinya kejadian stroke. Faktor risiko perilaku, lingkungan, dan pelayanan kesehatan
merupakan faktor yang dapat dipengaruhi atau diubah
Universitas Indonesia
39

Faktor risiko yang tidak dapat


diubah

Ras
Usia
Jenis Kelamin
Riwayat keluarga

Faktor risiko yang dapat diubah

Merokok
Aktivitas fisik Stroke
Konsumsi serat - Hemoragik
Hipertensi - Iskemik
Diabetes
Obesitas
Dislipidemia
Infeksi virus dan bakteri
stres

Pelayanan kesehatan
(deteksi dini dan pengelolaan
stroke)

Gambar 2.3. Kerangka teori faktor risiko kejadian stroke (Blum, 1969: Junaidi, 2011:
WHO, 2018)

Universitas Indonesia
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Pemilihan variabel pada penelitian ini didasarkan pada data yang didapatkan dari
studi kohor PTM 2016. Penulis memilih variabel yang relevan dengan kerangka teori.
Variabel dependen adalah kejadian stroke. Variabel independen adalah aktivitas fisik.
Variabel konfonding terdiri dari usia, jenis kelamin, merokok, konsumsi sayur buah,
hipertensi, diabetes, obesitas, dan kolesterol

Kerangka konsep pada penelitian ini adalah

Stroke
Aktivitas fisik

- Usia
- Jenis kelamin
- Merokok
- Konsumsi sayur buah
- Hipertensi
- Diabetes
- Obesitas
- kolesterol

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Stroke Pada
Penduduk Bogor Tengah Tahun 2016

40
Universitas Indonesia
41

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel


No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur

Variabel Dependen

1. Stroke Konfirmasi pemeriksaan Observasi data Kuesioner 1= stroke (memiliki Nominal


dokter spesialis saraf Kohor PTM KOHOR.PTM.2011. salah satu gejala
terhadap responden dengan (2016) IND Blok E klinis penanda stroke,
hasil wawancara mengalami Penyakit stroke pernah didiagnosis
gejala klinis hemiparase stroke, atau pernah
(kelemahan tubuh sesisi) atau dirawat karena
hemihipestesi (rasa baal atau stroke)
kesemutan tubuh sesisi) atau 0= tidak stroke (tidak
amourosis fugax (buta atau memiliki salah satu
gelap pada satu mata gejala klinis penanda
mendadak), atau afasi stroke, tidak pernah
(gangguan berbahasa didiagnosis stroke,
mendadak seperti kesulitan atau tidak pernah
berbicara mendadak, sulit dirawat karena
mengerti pembicaraan stroke)
mendadak, bingung
mendadak, atau hemianopia

Universitas Indonesia
42

(lapang pandang pada satu


sisi gelap mendadak), atau
ataksia (berkurangnya
gerakan/gerakan trampil
mendadak), atau vertigo
(keluhan pusing berputar,
hilang keseimbangan),
disfagia (gangguan menelan
mendadak), atau pernah
didiagnosis dokter menderita
stroke atau pernah dirawat
akibat stroke.
Variabel independen
1. Aktifitas fisik Intensitas kegiatan jasmani Observasi data Kuesioner 0 = cukup (≥ 600 Nominal
yang dilakukan setiap hari kohor PTM KOHORPTM.2011.I MET)
yang meliputi kegiatan yang (2016) ND Blok Ie Aktifitas 1 = kurang (< 600
berkaitan dengan pekerjaan Fisik (Ie01-Ie16) MET)
(dibayar atau tidak),
perjalanan dan kegiatan
diwaktu senggang (WHO,
2012)
Variabel Konfonding
1. Usia Rentang umur responden dari Observasi data Kuesioner no 0= < 45 tahun Nominal
sejak dilahirkan sampai saat kohor PTM FPPKPTM-01Form 1= ≥ 45 tahun
mulai ikut dalam penelitian (2016) daftar rencana
pemeriksaan

Universitas Indonesia
43

individu-identitas
responden-umur
2. Jenis Kelamin Identitas fisik responden Observasi data Kuesioner no 1 = laki-laki Nominal
berdasarkan seks yang kohor PTM FPPKPTM-01Form 0 = perempuan
diperoleh sejak lahir atau (2016) daftar rencana
melihat dari penampilan pemeriksaan
fisiknya individu-identitas
responden-jenis
kelamin
3. Status Merokok Perilaku merokok dalam satu Observasi data Kuesioner 1= merokok jika Nominal
bulan terakhir yang kohor PTM KOHORPTM.2011.I responden
dikatagorikan menjadi (2016) ND Blok I faktor menjawab
perokok tiap hari, tidak tiap Risiko-Ia -ya (setiap hari)
hari dan tidak merokok. penggunaan -ya (kadang-
tembakau dan kadang)
kebiasaan merokok- 0 = tidak merokok jika
Ia01 responden
menjawab
-sekarang tidak
(dulu pernah
kadand-kadang)
-sekarang tidak
(dulu pernah tiap
hari)

Universitas Indonesia
44

4. Konsumsi sayur Dimaksudkan untuk Observasi data Kuesioner 0 = cukup (≥ 5 porsi Nominal
buah mengukur asupan serat pada kohor PTM KOHORPTM.2011. per hari)
responden. Kategori cukup (2016) FR. Food Recall 1 = kurang (< 5 porsi
serat jika responden biasa per hari)
mengkonsumsi sayur atau
buah setiap hari dengan
jumlah 5 porsi sayur atau
buah per hari
5. Hipertensi individu yang mempunyai Observasi data Kuesioner no 1 = Hipertensi, Nominal
tekanan darah pada saat Kohor PTM FPPKPTM-04 Form (tekanan darah sistol
istirahat menetap dengan (2016) hasil pengukuran ≥ 140 dan atau
tekanan darah sistolik ≥ 140 tekanan darah diastol ≥ 90)
mmHg atau tekanan daarah 0 = Tidak hipertensi.
diastolik ≥ 90 mmHg (tekanan darah sistol
< 140 dan atau
diastol < 90)

6. Diabetes Individu dengan hasil Observasi data Kuesioner no 1 = Diabetes (glukosa Nominal
pemeriksaan kadar glukosa Kohor PTM FPPKPTM-02 Form puasa ≥ 126 mg/dL
darah puasa ≥ 126 mg/dL (2016) hasil pemeriksaan atau glukosa 2 jam
atau hasil pemeriksaan kadar laboratorium PP ≥ 200 mg/dL)
glukosa darah 2 jam sesudah 0 = Tidak diabetes
pembebanan 75 g dalam 250 (glukosa puasa < 126
ml air minum ≥ 200 mg/dL mg/dL atau glukosa
2 jam PP < 200
mg/dL)

Universitas Indonesia
45

7. Obesitas Status kegemukan seseorang, Observasi data Kuesioner Kuesioner 1 = Obesitas, bila Nominal
ditentukan berdasarkan IMT. Kohor PTM no FPPKPTM-03 IMT ≥ 27
IMT ditetapkan berdasarkan (2016) Form hasil 0 = Tidak obesitas,
pengukuran berat badan (kg) pengukuran bila IMT < 27
dibagi dengan kuadrat tinggi antropometri
badan (meter)
8. Kadar kolesterol Kadar kolesterol dalam darah Observasi data Kuesioner Kuesioner 0 = kolesterol normal Ordinal
seseorang yang ditentukan Kohor PTM no FPPKPTM-02 (< 200 mg/dL)
dari pemeriksaan (2016) Form hasil 1 = kolesterol batas
laboratorium. Kadar Normal pemeriksaan tinggi (≥ 200-
jika < 200 mg/dL, kolesterol laboratorium 239 mg/dL)
batas tinggi jika ≥ 200-239 2 = kolesterol tinggi
mg/dL, tinggi jika ≥ 240 (≥ 240 mg/dL)
mg/dL

Universitas Indonesia
46

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan aktivitas fisik dengan kejadian
stroke pada penduduk Bogor Tengah tahun 2016.

Universitas Indonesia
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional.


Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi hubungan antara aktivitas fisik dan
kejadian stroke pada saat yang bersamaan. dievaluasi sampel yang mengalami sakit,
dalam penelitian ini berupa stroke, pada kelompok dengan aktivitas fisik cukup dan
kelompok dengan aktivitas fisik kurang.
Penelitian ini menggunakan data sekunder Studi Kohor Penyakit Tidak Menular
(PTM) Balitbangkes tahun 2016. Studi Kohor PTM merupakan studi observasional
dengan desain studi kohor prospektif.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi Kohor PTM Balitbangkes dilakukan di wilayah Bogor Tengah yang diawali
pada tahun 2011 di kelurahan Kebon Kelapa. Pada tahun 2012 dilanjutkan dengan
kelurahan Babakan, Babakan Pasar, Ciwaringin, dan Panaragan. Pemilihan lokasi dengan
mempertimbangkan persentase mobilitas penduduk yang rendah dan dianggap stabil,
dekat dengan fasilitas kesehatan, dekat dengan lembaga pendidikan seperti universitas,
serta proporsi faktor risiko dan penyakit tidak menular seimbang dengan proporsi yang
ada di daerah perkotaan di wilayah Provinsi Jawa Barat. Studi kohor ini direncanakan
akan difollow up selama 10 tahun. Mobilitas penduduk menyangkut jumlah pendatang,
penduduk pindah, kelahiran, dan kematian pertahun (Balitbangkes, 2016). Laju
pertumbuhan penduduk di Kecamatan Bogor Tengah paling kecil (1,07%) dibandingkan
kecamatan lain di Kota Bogor yaitu sebesar rata-rata 2% (BPS Kota Bogor, 2017).

4.3 Studi Kohor Penyakit Tidak Menular (PTM)

Studi kohor faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) merupakan studi yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Studi ini direncanakan dilaksanakan minimal 10 tahun, dimulai tahun 2011
dengan survei baseline data faktor risiko PTM utama. Penelitian ini membandingkan

47
Universitas Indonesia
48

kecepatan perubahan faktor risiko menjadi PTM dari kelompok yang mempunyai faktor
risiko dengan yang tanpa faktor risiko.
Manfaat studi kohor PTM antara lain:
a. Informasi insiden dan kecepatan terjadinya sindrom metabolik, jantung koroner,
diabetes melitus, kanker, penyakit paru obstruktif kronis, dan stroke.
b. Informasi penyebab utama terhadap PTM utama (jantung koroner, diabetes melitus,
dan stroke) dan risiko relatifnya
c. Informasi penyebab PTM utama dan sindrom metabolik, serta kecepatan faktor risiko
menjadi PTM
d. Menggambarkan riwayat alamiah penyakit
e. Informasi tentang faktor risiko dan PTM yang diderita

4.3.1 Jenis Data dan Interval Waktu Pengumpulan data

Seluruh pelaksanaan pengumpulan data dikoordinir oleh penanggung jawab


operasional dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Sebagai penanggung jawab teknis
pengumpulan data yaitu peneliti dari Badan Litbangkes, Fakultas Kedokteran UI,
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, profesi dan peneliti adhoc. Para peneliti bertanggung
jawab terhadap akurasi serta kelengkapan data dan pelaksanaan
pengukuran/pemeriksaan.
Data yang dkumpulkan pada studi kohor PTM meliputi identias subyek penelitian
termasuk alamat tempat tinggal, sosiodemografi, faktor risiko PTM, riwayat penyakit,
kesakitan dan kematian, dan lain-lain. Interval waktu pengukuran adalah tiga kali dalam
setahun dan setiap dua tahun sekali hal ini berdasarkan referensi tentang lamanya
perubahan faktor risiko.

4.3.2 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner dan


metode Steps Approach WHO (Pendekatan Steps), yaitu suatu cara pengumpulan data
faktor risiko PTM berdasarkan konsep surveilens.
Pengumpulan data dibagi dalam tiga langkah, yaitu:
Step 1: pengumpulan data faktor demografi dan faktor risiko perilaku secara
komprehensif melalui wawancara.
Universitas Indonesia
49

Step 2: pengumpulan data faktor risiko obesitas, hipertensi, dan aktivitas fisik melalui
pengukuran fisik (antropometri, tekanan darah)
Step 3: pengumpulan data fisiologis, biologis, dan biomedis melalui pemeriksaan
laboratorium, elektrokardiografi, neurologi, dan foto toraks.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang terkait dengan variabel dalam
penelitian ini adalah:
Langkah 1:
1. Pengumpulan data sosiodemografi dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang
dikembangkan secara khusus untuk studi kohor faktor risiko PTM di Indonesia
2. Pengumpulan data faktor risiko perilaku (merokok dan aktivitas fisik) dilakukan
dengan menggunakan kuesioner Steps WHO yang dimodifikasi untuk kepentingan
studi kohor faktor risiko PTM. Kuesioner dilengkapi dengan petunjuk/pedoman
wawancara dan cara pengisian kuesioner. Kuantitas konsumsi serat ditelusuri melalui
masukan nutrisi dan pola makan yang didapatkan melalui wawancara diet semi
kuantitatif yaitu jumlah dan frekuensi konsumsi per hari atau per minggu, dan juga
jenis makanan serta minuman yang biasa dikonsumsi dalam 1 minggu terakhir.
Untuk memperkirakan besaran porsi yang telah dikonsumsi dalam wawancara,
digunakan food models makanan Indonesia pada umumnya dan buku kode bahan
makanan
Langkah 2:
1. Pengukuran antropometri, dilakukan untuk mengetahui faktor obesitas (melalui nilai
IMT) pada responden. Pengukuran dilakukan sesuai dengan standar pengukuran
yang dianjurkan pada steps WHO. Kegiatan meliputi pengukuran tinggi badan, dan
berat badan. Tinggi badan diukur dengan alat pengukur tinggi badan yang terbuat
dari bahan fiber glass dengan skala ukuran tinggi 0 cm - 230 cm. berat badan diukur
dengan menggunakan alat timbangan digital (electronic personal scale model AND)
dengan kemampuan berat sampai 140 kg.
2. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan tensimeter digital.
Pengukuran dilakukan pada kedua lengan kanan dan kiri. Pengukuran tekanan darah
minimal dilakukan 2 kali dengan waktu jeda pengukuran 2-3 menit. Apabila selisih
antara pengukuran 1 dan 2 lebih dari 10 mmHg maka dilakukan pengukuran tekanan
darah yang ke 3.
Universitas Indonesia
50

Langkah 3:
Pemeriksaan laboratorium, dilakukan untuk mengetahui beberapa faktor risiko
biologis seperti glukosa darah dan kolesterol. Sebelum permeriksaan responden
diminta untuk berpuasa (boleh air putih) selama 12-14 jam. Pengambilan dilakukan
pada pembuluh darah vena dengan jumlah darah lebih kurang 10 ml.

4.3.3 Pelaksanaan Pengumpulan Data Studi Kohor PTM

Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan empat metode, yaitu:


1. Kunjungan rumah (hanya untuk tahun 2011)
2. Pemeriksaan di institusi kesehatan (Laboratorium terpadu pusat teknologi terapan dan
epidemiologi klinik, Badan Litbangkes).
3. Follow up (surveilens) faktor risiko PTM di Posbindu PTM
4. Pemantuan (follow up) kasus kesakitan dan Kematian akibat PTM

4.3.4 Pemeriksaan di Institusi Kesehatan (Laboratorium terpadu pusat teknologi


terapan dan epidemiologi klinik, Badan Litbangkes)

Jumlah responden yang datang ke Laboratorium terpadu (Labdu) dibatasai


maksimal 100-150 orang per hari. Pengumpulan data dilakukan dengan alur sebagai
berikut:
1. Pendaftaran ulang dan penandatanganan persetujuan responden dilakukan oleh 2
orang administrator/peneliti
2. Pemeriksaan darah yaitu glukosa darah puasa dan kolesterol dilakukan oleh 2 orang
tenaga analis/ petugas laboratorium
3. Pengukuran antropometri dilakukan oleh paramedis yang telah dilatih.
4. Pengukuran tekanan darah dilakukan oleh paramedis yang telah dilatih.
5. Pemeriksaan neurologi oleh dokter spesialis saraf
6. Pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam pembebanan glukosa

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk tetap yang berusia 25 sampai
65 tahun yang berada di wilayah Bogor Tengah. Sampel penelitian adalah penduduk

Universitas Indonesia
51

berusia 25 sampai 65 tahun yang terdapat pada data studi kohor PTM di Kecamatan Bogor
Tengah Kota Bogor.

4.4.1 Kriteria Inklusi

Seluruh penduduk yang berusia 25-65 tahun yang terdapat di dalam data
penelitian kohor PTM tahun 2016.

4.4.2 Besar Sampel Penelitian

Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan uji hipotesis beda proporsi
yang dilakukan dengan cara 2 sisi (two tail). Untuk mengetahui jumlah sampel minimal
yang dibutuhkan, digunakan rumus besar sampel sebagai berikut (Lemeshow 1997):

[𝒁 𝟏−𝜶 √𝟐𝑷(𝟏−𝐏) +𝒁 𝟏−𝜷 √𝑷𝟏 (𝟏−𝑷𝟏 )+𝑷𝟐 (𝟏−𝑷𝟐 )] 𝟐


𝟐
n= (4.1)
(𝑃1 −𝑃2 )𝟐

Keterangan:
N = Besar sampel minimal
α = Tingkat kemaknaan 0.05 dengan persamaan nilai zα = 1.96
β = Kekuatan penelitian 80%
P1 = Proporsi individu dengan stroke yang mempunyai perilaku berisiko
P2 = Proporsi individu tanpa stroke yang mempunyai perilaku berisiko

Dari penelitian terdahulu didapatkan nilai P1 dan P2 sebagai berikut:


Tabel 4.1 Nilai P1 dan P2 dari penelitian terdahulu
No Nama variabel P1 P2 n Peneliti
1. Aktivitas fisik 0.68 0.38 76 Perawaty, Pernodjo D, &
Herni A. (2010)

Jumlah minimal sampel untuk variabel hubungan aktivitas fisik dengan stroke
adalah:
[𝟏.𝟗𝟔 √𝟐∗ 𝟎.𝟓𝟑(𝟏−𝟎.𝟓𝟑) +𝟎.𝟖𝟒√𝟎.𝟔𝟖(𝟏−𝟎.𝟔𝟖)+𝟎.𝟑𝟖 (𝟏−𝟎.𝟑𝟖)] 𝟐
n=
(0.68−𝟎.𝟑𝟖)𝟐

n = 42 untuk tiap kelompok


Universitas Indonesia
52

sehingga jumlah minimal sampel yang dibutuhkan adalah 84

Jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan seluruh kandidat sampel yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian.
Proses restriksi terhadap kandidat sampel studi kohor PTM pada tahun 2016
adalah sebagai berikut:

Data awal responden studi kohor PTM yaitu penduduk berusia 25-65
tahun di kecamatan Bogor Tengah sebanyak 5690

Responden yang mengikuti pemeriksaan secara lengkap sebanyak 5273

Dari jumlah sampel tersebut (5273) dapat diketahui besarnya kekuatan penelitian ini yaitu
sebesar > 99% (nilai 1-β = 30.30).

4.5 Pengumpulan Data Penelitian


Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Studi Kohor PTM
Balitbangkes Kemenkes RI dengan ijin tertulis oleh Balibangkes Kemenkes RI. Data
yang diperoleh berupa data mentah hasil dari pengumpulan data dengan instrumen-
instrumen studi kohor PTM 2016.
Data yang didapat telah dikumpulkan dan diambil dari kuesioner FPPKPTM-01
untuk identitas responden (umur dan Jenis kelamin). Kuesioner KOHORPTM2011 sesuai
masing-masing blok untuk mengetahui status stroke, merokok, konsumsi buah sayur, dan
aktifitas fisik. Kuesioner FPPKPTM-04 digunakan untuk mengetahui status hipertensi
responden Kadar kolesterol dan glukosa responden dikumpulkan melalui hasil kuesioner
FPPKPTM-02. Kuesioner FPPKPTM-02 untuk mengetahui status obesitas.

Universitas Indonesia
53

4.6 Pengolahan Data

Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang didapatkan dalam bentuk
file SPSS. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tahapan sebagai
berikut (Hastono, 2016):
a. Cleaning (Pembersihan Data)
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah ada
kesalahan atau tidak. Membersihkan data dapat dilakukan dengan cara antara lain
mengetahui missing data, mengetahui variasi data, dan mengetahui konsistensi data.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang memiliki data missing, data
missing tersebut dibuang karena hanya sebagian kecil dan tidak mengganggu analisa
data.
b. Processing
Pada tahap ini dilakukan analisis data menggunakan program computer SPSS.

4.7 Analisa Data


4.7.1 Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik masing-masing
variabel yang diteliti. Variabel yang berbentuk numerik digunakan nilai rata-rata, nilai
tengah, simpangan deviasi, minimal, dan maksimal. Variabel yang berbentuk katagorik
digunakan nilai proporsi atau persentase.
Pada penelitian ini data variabel jenis kelamin dan merokok berbentuk katagorik.
Data variabel yang berbentuk numerik adalah stroke, aktivitas fisik, umur, konsumsi
sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kolesterol. Data numerik tersebut
dikatagorikan sehingga menjadi data katagorik.

4.7.2 Analisis Bivariat

Untuk menguji perbedaan persentase antara variabel independen katagorik


dengan variabel dependen katagorik pada sampel/kelompok yang bersifat independen,
digunakan uji chi square. Hasil uji chi square hanya dapat menyimpulkan ada tidaknya
perbedaan proporsi antar kelompok. Uji chi square tidak dapat menjelaskan derajat

Universitas Indonesia
54

hubungan, dengan kata lain tidak dapat mengetahui kelompok mana yang memilki risiko
lebih besar dibandingkan kelompok yang lain (Hastono, 2016).
Pada penelitian ini dilakukan analisis hubungan antar variabel stroke dengan
variabel aktivitas fisik dengan uji Chi Square. Hubungan antara variabel stroke dengan
variabel usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kadar kolesterol juga
menggunakan uji Chi Square.
Penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan 95% (α 5%). Hubungan
dikatakan bermakna jika hasil statistik didapatkan nilai p ≤ 0.05, dan dikatakan tidak
bermakna jika didapatkan nilai p > 0.05. Untuk mengetahui derajat hubungan pada
penelitian ini dengan rancangan cross sectional digunakan ukuran OR (Odds Ratio) untuk
membandingkan odds pada kelompok terekspos dengan odds kelompok tidak terekspos.

4.7.3 Analisis Multivariabel

Analisa ini digunakan untuk mengetahui secara valid hubungan satu variabel
independen utama dengan variabel dependen dengan mengontrol beberapa variabel
konfonding. Pada penelitian ini analisis multivariabel digunakan untuk mengetahui secara
valid hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke dengan mengontrol variabel
konfonding yaitu usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kolesterol.
Penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik model faktor risiko. Langkah-
langkah pemodelannya adalah sebagai berikut (Kleinbaum, 2010):
1. Melakukan pemodelan lengkap yang mencakup seluruh variabel, baik variabel
independen, dependen, konfonding, dan variabel yang diduga berinteraksi
2. Uji interaksi dilakukan jika secara substansi perlu dilakukan. Jika nilai p variabel
interaksi < 0.05, maka interaksi ada.
3. Uji konfonding dilakukan dengan mengeluarkan variabel konfonding dengan nilai
p > 0.05 dimulai dari nilai p yang terbesar. Jika pengeluaran variabel
menyebabkan perubahan OR pada independen utama (atau variabel indepnden
utama yang berinteraksi; jika ada interaksi) > 10% maka konfonding ada, variabel
tersebut dimasukkan kembali ke dalam model.
4. Menganalisis model akhir yang menjelaskan hubungan antara aktivitas fisik
dengan kejadian stroke yang dikontrol oleh variabel usia, jenis kelamin, merokok,
konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kolesterol.
Universitas Indonesia
HASIL PENELITIAN

Data hasil penelitian ini diolah melalui analisis univariat, bivariat, dan
multivariabel. Analisis univariat memberikan gambaran karakteristik masing-masing
variabel, analisis bivariat memperlihatkan hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen, dan analisis multivariable untuk melihat hubungan variabel
independen dengan dependen dengan mengontrol variabel konfonding.

5.1 Karakteristik Responden

Jumlah responden yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 5273. Hasil
analisis univariat menggambarkan distribusi responden menurut variabel yang diteliti
yaitu stroke, aktivitas fisik, usia, jenis kelamin, merokok, konsumsi sayur buah,
hipertensi, diabetes, obesitas, dan kolesterol

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi variabel penelitian


Jumlah Persentase
Stroke
Ya 77 1,5
Tidak 5196 98,5

Aktivitas fisik
Cukup 4190 79,5
Kurang 1083 20,5

Usia
< 45 tahun 2089 39,6
≥ 45 tahun 3184 60,4

Jenis kelamin
Perempuan 3342 63,4
Laki-laki 1931 36,6

Merokok
Ya 1405 26,6
Tidak 3868 73,4

Konsumsi sayur buah


Cukup 3138 59,5
Kurang 2135 40,5

Hipertensi
Tidak 3724 70,6
Ya 1549 29,4

55
Universitas Indonesia
56

Lanjutan tabel 5.1. Distribusi frekuensi variabel penelitian


Jumlah Persentase
Diabetes
Tidak 4865 92,3
Ya 408 7,7

Obesitas
Tidak 3828 72,6
Ya 1445 27,4

Kolesterol
Normal 2784 52,8
Batas tinggi 1675 31,8
Tinggi 814 15,4

Dari tabel 5.1. diketahui bahwa kejadian stroke sebagai variabel dependen dibagi
atas stroke dan tidak stroke. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang
mengalamai stroke sebanyak 77 orang (1.5%) dan yang tidak mengalami stroke adalah
lebih dari separuh responden yaitu sebanyak 5196 (98,5%).
Variabel independen yaitu aktivitas fisik dibagi atas cukup dan kurang. Hasil
penelitian menunjukkan 4190 (79,5%) responden mempunyai aktivitas fisik yang cukup,
dan 1083 (20,5%) responden memiliki aktivitas fisik yang kurang.
Dari tabel 5.1 juga terlihat distribusi variabel konfonding yaitu bahwa sebagian
besar (60,4%) responden berusia 45 tahun atau lebih, lebih dari separuh (63,4%) adalah
perempuan, 73,4% tidak merokok, 59,5% responden cukup mengkonsumsi sayur buah,
70,6% tidak hipertensi, 92,3% tidak diabetes, 72,6% tidak obesitas dan 52,8% kadar
kolesterol normal.

5.2 Hubungan aktivitas fisik dan variabel konfonding dengan stroke

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel


(aktivitas fisik, usia, jenis kelamin, merokok, konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes,
obesitas dan kolesterol) dengan stroke. Analisis dilakukan pada tingkat kemaknaan 95%.
Uji dikatakan berhubungan bermakna jika memiliki nilai p-value < 0,05. Hasil uji Chi
Square tertera pada tabel 5.2.

Universitas Indonesia
57

Tabel 5.2. Hubungan aktivitas fisik dan variabel konfonding dengan stroke
Stroke
variabel Tidak Ya P value OR 95% CI
n (%) n (%)
Aktivitas fisik
Cukup 4134 (98,7) 56 (1,3)
Kurang 1062 (98,1) 21 (1,9) 0,141 1,46 0,88-2,42

Usia
< 45 tahun 2079 (99,5) 10 (0,5)
≥ 45 tahun 3117 (97,9) 67 (2,1) 0,0005 4,47 2,29-8,71

Jenis kelamin
Perempuan 3291 (98,5) 51 (1,5)
Laki-laki 1905 (98,7) 26 (1,3) 0,600 0,88 0,55-1,42

Merokok
Tidak 3803 (98,3) 65 (1,7)
Ya 1393 (99,1) 21 (0,9) 0,027 0,50 0,27-0,94

Kons. Sayur buah


Cukup 3083 (98,2) 55 (1,8)
Kurang 2113 (99,0) 22 (1,0) 0,032 0,58 0,36-0,96

Hipertensi
Tidak 3702 (99,4) 22 (0,6)
Ya 1494 (96,4) 55 (3.6) 0,0005 6,20 3,77-10,19

Diabetes
Tidak 4802 (98,7) 63 (1,3)
Ya 394 (96,6) 14 (3,4) 0,001 2,71 1,50-4,88

Obesitas
Tidak 3785 (98,9) 43 (1,1)
Ya 1411 (97,6) 34 (2,4) 0,001 2,12 1,35-3,34

Kolesterol
Normal 2758 (99,1) 26 (0,9)
Batas tinggi 1647 (98,3) 28 (1,7) 1,80 1,05-3,09
Tinggi 791 (97,2) 23 (2,8) 0,0005 3,08 1,75-5,44

Dari tabel 5.2 terlihat bahwa:


Proporsi responden aktivitas fisik kurang dan mengalami stroke sebanyak 21
orang (1,9%), dan responden aktivitas fisik cukup yang mengalami stroke sebanyak 56
orang (1,3%), namun tidak berhubungan secara statistik (p value 0,141).

Universitas Indonesia
58

Proporsi responden stroke pada usia < 45 tahun adalah 10 orang (0,5%), dan
pada usia ≥ 45 tahun sebanyak 67 orang (2,1%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara usia dengan kejadian stroke (p value 0,0005) Responden yang
berusia ≥ 45 tahun memiliki risiko 4,47 kali lebih tinggi untuk mengalami stroke
dibandingkan responden yang berusia < 45 tahun.
Proporsi perempuan yang stroke sebanyak 51 orang (1,5%) dan laki-laki sebanyak
26 orang (1,3%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dengan stroke (p value 0,600).
Proporsi perokok yang mengalami stroke sebanyak 21 orang (0,9%) dan yang
tidak merokok sebanyak 65 orang (1,7%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara status merokok dengan stroke (p value 0,027). Responden yang merokok
memiliki risiko 0,50 kali dibandingkan responden yang tidak merokok
Proporsi responden dengan konsumsi sayur buah cukup yang mengalami stroke
sebanyak 55 orang (1,8%) dan yang kurang sebanyak 22 orang (1,0%). Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan antara konsumsi sayur buah dengan stroke (p value 0,032).
Responden yang kurang mengkonsumsi sayur buah berisiko terkena stroke 0,58 kali
dibandingkan responden dengan cukup konsumsi sayur buah.
Proporsi responden yang tidak hipertensi mengalami stroke sebanyak 22 orang
(0,6%) dan yang hipertensi mengalami stroke sebanyak 55 orang (3,6%). Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan hipertensi dengan stroke (p value 0,0005). Responden
dengan hipertensi memiliki risiko 6,20 kali lebih tinggi mengalami stroke dibandingkan
responden tanpa hipertensi.
Proporsi responden yang tidak diabetes dengan stroke sebanyak 63 orang (1,3%)
dan yang diabetes mengalami stroke sebanyak 14 orang (3,4%). Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan diabetes dengan stroke (p value 0,001). Responden yang
diabetes memiliki risiko 2,71 kali lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan
responden tidak diabetes.
Proporsi responden yang tidak obesitas dengan stroke sebanyak 43 orang (1,1%)
dan yang obesitas mengalami stroke sebanyak 34 orang (2,4%). Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan obesitas dengan stroke (p value 0,001). Responden yang
obesitas memiliki risiko 2,12 kali lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan
responden yang tidak obesitas.
Universitas Indonesia
59

Proporsi responden yang kadar kolesterol normal dengan stroke sebanyak 26


orang (0,9%), responden dengan kadar kolesterol batas tinggi mengalami stroke
sebanyak 28 orang (1,7%), dan responden dengan kadar kolesterol tinggi mengalami
stroke sebanyak 23 orang (2,8%). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan kadar
kolesterol dengan stroke (p value 0,0005). Responden dengan kadar kolesterol batas
tinggi memiliki risiko 1,8 kali lebih tinggi untuk mengalamai stroke dibandingkan
responden dengan kadar kolesterol normal. Responden dengan kadar kolesterol tinggi
memiliki risiko untuk terkena stroke sebesar 3,08 kali lebih tinggi dibandingkan
responden dengan kadar kolesterol normal.

5.3 Pemodelan

Analisis multivariabel pada penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi secara


valid hubungan aktivitas fisik dengan stroke dengan mengontrol variabel usia, jenis
kelamin, merokok, konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas dan kadar
kolesterol. Analisis dilakukan dengan regresi logistik ganda model faktor risiko dengan
tahapan sebagai berikut:

5.3.1 Pemodelan Lengkap Hubungan Aktivitas Fisik dengan Stroke

Langkah pertama pada analisis multivariabel adalah strategi pemodelan dengan cara
mengikut sertakan semua varibel kandidat konfonding dan semua variabel yang diduga
berinteraksi seperti pada tabel 5.3

Tabel 5.3 Pemodelan Lengkap Hubungan aktivitas fisik dengan Stroke


Variabel B P value OR 95% CI
Aktivitas fisik 1.835 0.021 6.26 1.32 - 29.82
Usia 1.457 0.007 4.29 1.50 - 12.30
Jenis kelamin 0.496 0.133 1.64 0.86 - 3.14
Merokok -0.798 0.077 0.45 0.19 - 1.09
Konsumsi sayur buah -0.439 0.163 0.64 0.35 - 1.19
Hipertensi 1.326 0.000 3.77 1.99 - 7.12
Diabetes 0.471 0.185 1.60 0.80 - 3.21
Obesitas 0.084 0.771 1.09 0.62 - 1.91

Universitas Indonesia
60

Lanjutan Tabel 5.3. Pemodelan Lengkap Hubungan aktivitas fisik dengan Stroke

Variabel B P value OR 95% CI


Kolesterol 0.173
Batas tinggi 0.518 0.138 1.68 0.85 - 3.33
Tinggi 0.691 0.070 2.00 0.95 - 4.21
Aktivitas fisik*usia -1.412 0.064 0.24 0.05 - 1.09
Aktivitas fisik*jenis kelamin -0.131 0.839 0.88 0.25 - 3.10
Aktivitas fisik*merokok 0.872 0.257 2.39 0.53 - 10.81
Aktivitas fisik*kons sayur buah 0.051 0.930 1.05 0.34 - 3.29
Aktivitas fisik*hipertensi 0.319 0.608 1.38 0.41 - 4.65
Aktivitas fisik*diabetes -0.248 0.743 0.78 0.18 - 3.43
Aktivitas fisik*obesitas 0.468 0.401 1.60 0.54 - 4.76
Aktivitas fisik*kolesterol 0.089
Batas tinggi -1.419 0.040 0.24 0.06 - 0.93
Tinggi -1.053 0.130 0.35 0.09 - 1.36

5.3.2 Uji interaksi

Dari pemodelan lengkap kemudian dilakukan uji interaksi. Dari output model
penuh/lengkap ini kita lakukan uji interaksi, variabel dikatakan berinteraksi bila p value-
nya < 0,05. Seleksinya dengan mengeluarkan secara bertahap variabel interaksi yang
tidak signifikan (p>0,05), pengeluaran dilakukan secara bertahap dari variabel interaksi
yang p value -nya terbesar. Dari hasil di atas variabel interaksi ”aktivitas fisik by sayur”
mempunyai nilai p terbesar (p=0,930) dilakukan seterusnya hingga tidak ada lagi variabel
interaksi dengan nilai p value > 0,05

Tabel 5.4 Pemodelan setelah variabel aktivitas fisik by kolesterol dikeluarkan


Variabel B P value OR 95% CI
Aktivitas fisik 1.754 0.007 5.78 1.62 - 20.64
Usia 1.515 0.004 4.55 1.60 - 12.92
Jenis kelamin 0.437 0.122 1.55 0.89 - 2.70
Merokok -0.508 0.157 0.60 0.30 - 1.22
Konsumsi sayur buah -0.433 0.101 0.65 0.39 - 1.09
Hipertensi 1.409 0.0005 4.09 2.38 - 7.02
Diabetes 0.431 0.169 1.54 0.83 - 2.84
Obesitas 0.210 0.393 1.23 0.76 - 2.00
Kolesterol 0.519
Batas tinggi 0.115 0.685 1.12 0.64 - 1.95
Tinggi 0.348 0.260 1.42 0.77 - 2.59
Aktivitas fisik*usia -1.575 0.028 0.21 0.05 - 0.84

Dari hasil di atas, uji interaksi telah selesai dan hasilnya terdapat interaksi antara
variabel aktivitas fisik dengan usia.

Universitas Indonesia
61

5.3.3 Uji Konfonding

Uji konfonding dilakukan dengan mengeluarkan kandidat variabel konfonding


satu per satu dimulai dari kandidat variabel konfonding yang memiliki nilai p-value
terbesar. Bila terdapat perubahan OR > 10% pada variabel interaksi, maka kandidat
tersebut dikatakan variabel konfonding dan harus tetap berada di dalam model

Tabel 5.5. Pemodelan awal


Variabel B P value OR 95% CI
Aktivitas fisik 1.754 0.007 5.78 1.62 - 20.64
Usia 1.515 0.004 4.55 1.60 - 12.92
Jenis kelamin 0.437 0.122 1.55 0.89 - 2.70
Merokok -0.508 0.157 0.60 0.30 - 1.22
Konsumsi sayur buah -0.433 0.101 0.65 0.39 - 1.09
Hipertensi 1.409 0.0005 4.09 2.38 - 7.02
Diabetes 0.431 0.169 1.54 0.83 - 2.84
Obesitas 0.210 0.393 1.23 0.76 - 2.00
Kolesterol 0.519
Batas tinggi 0.115 0.685 1.12 0.64 - 1.95
Tinggi 0.348 0.260 1.42 0.77 - 2.59
Aktivitas fisik*usia -1.575 0.028 0.05 - 0.84
< 45 tahun 5.78
≥ 45 tahun 1.20
Dari pemodelan awal dikeluarkan kandidat variabel konfonding dimulai dari p
value > 0,05 yang terbesar. Perubahan OR dan keputusan apakah variabel tetap dalam
model atau tidak tertera pada tabel 5.6

Tabel 5.6. Perubahan OR variabel interaksi


Variabel interaksi
Variabel P OR lama OR baru Perubahan Keputusan
value OR
Pemodelan awal 0.028 5,78 dan 1,20
Kolesterol 5,78 dan 1,20 Kolesterol
dikeluarkan 0.027 5.82 dan 1.20 0.7 dan 0.3 keluar
Obesitas 5,78 dan 1,20 Obesitas
dikeluarkan 0.028 5.78 dan 1.20 0.1 dan 0.7 keluar
Jenis kelamin 5,78 dan 1,20 Jenis kelamin
dikelurkan 0.03 5.74 dan 1.20 0.6 dan 1.6 keluar
Merokok 5,78 dan 1,20 Merokok
dikeluarkan 0.031 5.71 dan 1.22 1.2 dan 2.2 keluar
Kons. Sayur buah 5,78 dan 1,20 Kons. Sayur
dikeluarkan 0.032 5.58 dan 1.22 3.3 dan 0.8 buah keluar
Diabetes 5,78 dan 1,20 Diabetes
dikeluarkan 0.034 5.55 dan 1.21 4.0 dan 2.0 keluar
Usia 5,78 dan 1,20 Usia tetap
dikeluarkan 0.969 1.52 dan 1.22 73.7 dan 29.3 dalam model
Hipertensi 5,78 dan 1,20 Hipertensi
dikeluarkan 0.032 5.43 dan 1.55 6.0 dan 1.3 keluar

Universitas Indonesia
62

Hasil uji konfonding menunjukkan bahwa umur merupakan konfonding hubungan


aktivitas fisik dengan stroke karena menyebabkan perubahan OR pada variabel interaksi
> 10%.
Model akhir hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke terlihat pada tabel
5.7
Tabel 5.7. Model akhir hubungan aktivitas fisik dengan stroke
Variabel B P value OR 95% CI
Aktivitas fisik 1.692 0.009 5.43 1.526 - 19.325
Umur 2.135 0.0005 8.45 3.052 - 23.418
Aktivitas fisik*usia -1.526 0.032 0.054 - 0.878
< 45 tahun 5.43 1.526 - 19.325
≥ 45 tahun 1.18 0.660 - 2.111

Hasil analisis multivariabel menunjukkan bahwa aktivitas fisik berinteraksi


dengan usia, artinya hubungan aktivitas fisik dengan stroke berbeda menurut status usia
responden.
Pada umur < 45 tahun, nilai OR aktivitas fisik terhadap kejadian stroke adalah
5.43, artinya pada individu dengan umur < 45 tahun, aktivitas fisik yang kurang akan
berisiko terkena stroke sebesar 5.43 kali lebih tinggi dibandingkan yang mempunyai
aktivitas fisik cukup. Pada umur ≥ 45 tahun, nilai OR aktivitas fisik terhadap kejadian
stroke adalah 1.18, artinya pada individu dengan umur ≥ 45 tahun, aktivitas fisik yang
kurang akan berisiko terkena stroke sebesar 1.18 kali lebih tinggi dibandingkan yang
mempunyai aktivitas fisik cukup.

Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

6.1.1 Bias Informasi


Bias informasi adalah bias dalam cara mengamati, melaporkan, mengukur,
mencatat, mengklasifikasi, dan menginterpretasi status papan dan atau penyakit, sehingga
menyebabkan distorsi penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit. Termasuk dalam
bias informasi adalah bias mengingat kembali (recall bias) (Murti, 1997).
Pada penelitian ini bias informasi rentan terjadi pada pengumpulan data variabel
aktivitas fisik, merokok, dan konsumsi sayur buah karena responden tidak dapat
memberikan informasi yang sebenarnya pada saat wawancara. Hal tersebut dapat
memperbesar atau memperkecil pengaruh paparan yang sesungguhnya.
Recall bias pada penelitian ini dapat terjadi pada saat pengukuran variabel stroke.
Pada saat wawancara, responden lupa pernah mengalami gejala klinis stroke sehingga
tidak dilanjutkan untuk diperiksa oleh dokter spesialis saraf. Recall bias juga dapat terjadi
pada pengukuran variabel konsumsi sayur buah dan aktivitas fisik. Responden lupa
mengingat pola dan jumlah sayur buah yang dikonsumsi atau responden lupa mengingat
pola aktivitas fisik pada tiap minggu atau dalam satu tahun untuk kegiatan aktivitas fisik
waktu luang/rekreasi.

6.1.2 Faktor Perancu (Confounding Factor)

Faktor perancu adalah variabel-variabel luar yang menyebabkan kerancuan


Kerancuan adalah distorsi dalam menaksir pengaruh paparan terhadap penyakit, akibat
tercampurnya pengaruh satu atau lebih variabel luar yang berakibat mempengaruhi
validitas studi. Faktor perancu dapat memperbesar atau memperkecil pengaruh paparan
yang sesungguhnya (Murti, 1997).
Dalam penelitian ini, untuk mengendalikan faktor perancu dilakukan dengan
memperhitungkan pengaruhnya dalam analisis data melalui pendekatan analisis
multivariabel. Upaya yang dilakukan adalah dengan memasukkan kandidat faktor
perancu (potential confounder) menjadi variabel yang dikontrol dalam hubungan
aktivitas fisik dengan kejadian stroke. Variabel tersebut adalah usia, jenis kelamin,
63
Universitas Indonesia
64

merokok, konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kolesterol. Dengan
langkah tersebut diharapkan distorsi hubungan aktivitas fisik dengan stroke dapat
dihindari walaupun kemungkinan distorsi masih ada karena tidak semua potential
confounder dalam hubungan aktivitas fisik dengan stroke tercakup dalam penelitian ini,
misalnya riwayat keluarga, konsumsi garam, konsumsi alkohol, dan sebagainya.

6.2 Gambaran stroke

Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stroke di Kecamatan Bogor Tengah


sebesar 15 per seribu penduduk. Berdasarkan diagnosa stroke dengan tenaga
kesehatan/gejala angka tersebut lebih tinggi dari angka nasional dan Provinsi Jawa Barat
yaitu 12 per seribu penduduk, namun lebih kecil dari angka estimasi jumlah penderita
stroke di provinsi jawa barat yaitu 17 per 1000 penduduk (Riskesdas, 2013 dan Pusdatin
kemenkes, 2014). Perbedaan angka ini dapat dikarenakan pertambahan prevalensi stroke
yang sudah meningkat dari tahun 2013 ke tahun 2016. Perbedaan dapat juga karena
perbedaan jenis studi sumber data. Riskesdas dan Kohor PTM mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang akhirnya akan berpengaruh terhadap data yang
dihasilkan.
Perbedaan mortalitas dan prevalensi stroke juga ada perbedaan di negara-negara
barat, walaupun telah diketahui angka rata-rata kematian dan kejadian stroke pada negara-
negara maju tersebut. Perbedaan dapat terjadi karena variasi geografis masing-masing
wilayah yang menyebabkan perbedaan prevalensi faktor risiko, faktor genetik, dan faktor
managemen stroke (Donnan, 2008). Hal tersebut juga mungkin terjadi di Indonesia yang
berakibat adanya perbedaan angka prevalensi stroke antara masing-masing wilayah dan
dengan angka rata-rata nasional prevalensi stroke.

6.3 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Stroke

Pada penelitian ini didapatkan bahwa kejadian stroke lebih tinggi pada responden
dengan aktivitas fisik yang kurang. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya bahwa prevalensi stroke lebih tinggi pada responden dengan aktivitas fisik
yang kurang (Ghani dan rekan, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara aktivitas
fisik dengan kejadian stroke yang berbeda menurut kelompok usia. Pada individu dengan
Universitas Indonesia
65

usia < 45 tahun, aktivitas fisik yang kurang akan berisiko terkena stroke sebesar 5.43 kali
lebih tinggi dibandingkan yang mempunyai aktivitas fisik cukup. Pada usia ≥ 45 tahun,
nilai OR aktivitas fisik terhadap kejadian stroke adalah 1.18, artinya pada individu dengan
usia ≥ 45 tahun, aktivitas fisik yang kurang akan berisko terkena stroke sebesar 1.18 kali
lebih tinggi dibandingkan yang mempunyai aktivitas fisik cukup.
Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian sebelumnya. Penelitian Abbot
et al (2003) menunjukkan risiko aktivitas fisik terhadap stroke menurun pada kelompok
usia yang lebih tua. Pada kelompok usia yang lebih tua terlihat penurunan index aktivitas
fisik yang berhubungan bermakna dengan kejadian stroke.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa risiko stroke karena kurang aktivitas fisik
pada kelompok usia 25-44 tahun lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia 45-65
tahun. Kemungkinan faktor penyebab hasil tersebut, diantaranya karena bias informasi
tentang aktivitas fisik diperkirakan lebih besar pada kelompok usia yang lebih tua.
Penyebab stroke bersifat multifaktorial, risiko stroke yang lebih tinggi pada
kelompok umur yang lebih muda seperti pada penelitian ini dapat karena karakteristik
responden. Pada penduduk yang berusia 25-44 tahun mempunyai perilaku berisiko lain
yang lebih banyak dibandingkan penduduk yang berusia 45 tahun atau lebih, sehingga
dengan aktivitas fisik yang kurang akan lebih meningkatkan risiko stroke. Perilaku
tersebut misalnya pola diet yang tidak sehat dengan lebih memilih makanan tinggi lemak
dan kurang serat, perilaku merokok dan konsumsi alkohol, tingkat stres yang lebih tinggi,
dan lain sebagainya. Menurut Kemenkes (2017), Kurangnya aktivitas fisik
mengakibatkan tren PTM berubah, yang awalnya hanya diderita oleh kelompok usia
lansia, namun kini sudah ditemukan di kelompok usia muda (0-15 tahun) dan kelompok
usia produktif (15-65 tahun).
Perilaku sedentari pada kelompok usia kurang dari 45 tahun dapat menjadi faktor
yang meningkatkan risiko terjadinya stroke dibandingkan pada kelompok usia 45 tahun
atau lebih. Termasuk dalam kelompok ini adalah usia yang masih aktif bekerja. Pada
penelitian ini informasi tentang perilaku sedentari tidak didapatkan, misalnya apakah
jenis dan berapa lama berada dalam transportasi menuju tempat kerja, berapa jam
menggunakan komputer, berapa jam menonton televisi, dan lain sebagainya.
Menurut Alchuriyah dan rekan (2016), pada kaum muda, serangan stroke sangat
berkaitan dengan dengan gaya hidup serta temperamen yang cenderung ambisius. Gaya
Universitas Indonesia
66

hidup yang memicu stroke pada kaum muda adalah makan makanan siap saji, minuman
beralkohol, kerja berlebihan, kurang berolahraga, penggunaan obat perangsang, narkoba,
dan stres.
Jumlah penderita stroke dibawah 45 tahun di seluruh dunia terus meningkat. Pada
konferensi ahli saraf internasional di Inggris, dilaporkan bahwa terdapat lebih dari 1000
penderita stroke berusia kurang dari 30 tahun (American Hearth Association, 2010 dalam
Alchuriyah, 2016).
Aktivitas fisik merupakan faktor perilaku yang secara teori berhubungan tidak
langsung dengan stroke. Faktor ini secara bersama-sama dengan faktor risiko lain
meningkatkan risiko terjadinya stroke seperti faktor usia, jenis kelamin, merokok,
konsumsi sayur buah, hipertensi, diabetes, obesitas, dan kadar kolesterol (Galanagh,
2011). Hal tersebut dibuktikan pada penelitian ini dimana, pada saat uji bivariat tidak
terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian stroke, namun pada hasil akhir
uji multivariabel didapatkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan kejadian stroke.
Mekanisme efek aktifvitas fisik terhadap stroke cenderung bersifat multifaktorial.
Aktivitas fisik teratur diketahui dapat meningkatkan aktivitas sintesa nitrat oksida yang
meningkatkan fungsi endotel, mengurangi hipertrofi ventrikel kiri, meningkatkan
aktivator plasma plasminogen dan konsentrasi HDL, dan mengurangi aktivitas fibrinogen
dan platelet. Aerobik dapat meningkatkan metabolisme glukosa, menurunkan kolesterol
total dan LDL, trigliserida, total lemak tubuh, dan peradangan sistemik. Oleh karena itu
diantara mekanisme lainnya, olahraga membantu mencegah obesitas, hipertensi,
dislipidemia, dan perkembangan diabetes tipe 2, yang semuanya terlibat dalam
patogenesis stroke (Galanagh, 2011).

6.4 Hubungan Variabel Konfonding dengan Stroke


6.4.1 Usia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian stroke lebih tinggi pada individu
yang berusia ≥ 45 tahun dibandingkan pada usia < 45 tahun. Hasil tersebut sesuai dengan
teori bahwa Secara biologis, penuaan diakibatkan oleh dampak akumulasi berbagai
kerusakan molekuler dan seluler dari waktu ke waktu. Hal ini meningkatnya risiko
penyakit, dan akhirnya kematian (WHO media centre, 2015). Hasil penelitian Zhang
(2017) di China memperlihatkan bahwa prevalensi stroke lebih tinggi pada penduduk

Universitas Indonesia
67

yang berusia ≥ 40 tahun dibandingkan penduudk yang berusia < 40 tahun. Hasil
Riskesdas 2013 juga memperlihatkan hubungan yang linier antara kenaikan kelompok
umur dengan peningkatan jumlah penderita stroke.
Penelitan ini sejalan dengan Alchuriyah dan rekan (2016) yaitu sebagian besar
responden berusia ≥ 50 tahun, meskipun sudah terjadi transisi berdasarkan usia: yaitu
adanya kejadian stroke usia < 50 tahun (penderita stroke pada kasus rata-rata usia 43
tahun). Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sudah terjadi pergeseran dari sisi usia
pada penderita stroke. tidak ada lagi anggapan stroke menyerang usia di atas 50 tahun.
Tidak ada patokan mengenai berapa usia seseorang rawan terkena stroke, pada anak
sangat jarang dan biasanya dihubungkan dengan kelainan kongenital. Hasil penelitian
Mei Lin (2007) tentang stroke yang dihubungkan dengan diabetes pada laki-laki
didapatkan risiko yang lebih rendah pada kelompok usia yang lebih tua dibandingkan
kelompok usia yang lebih muda.
Pada penelitian ini usia didapatkan berhubungan bermakna dan merupakan
confounder hubungan aktivitas fisik dengan stroke. Penduduk yang berusia 45 tahun atau
lebih, memiliki OR 8.45 kali lebih tinggi untuk terkena stroke dibandingkan penduduk
yang berusia kurang dari 45 tahun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muchsin (2015), kelompok usia 55-
65 tahun berisiko 4,6 kali lebih tinggi untuk terkena stroke dibandingkan kelompok usia
yang lebih muda.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Wang pada tahun
2013 tentang perbedaan usia dalam hubungan faktor perilaku dan faktor psikososial
terhadap kejadian stroke. Didapatkan ada hubungan perilaku dan psikososial terhadap
stroke pada kelompok usia yang lebih tua dibandingkan pada kelompok usia yang lebih
muda. Penelitian tersebut juga menyarankan agar intervensi untuk mengurangi risiko
stroke dikembangkan secara terpisah pada masing-masing kelompok usia.
Satu faktor yang diperkirakan penyebab peningkatan prevalensi stroke dari waktu
ke waktu di dunia salah adalah penuaan populasi di dunia dan peningkatan umur harapan
hidup yang berkontribusi terhadap peningkatan beban di dunia karena stroke (Mathers,
2006). Pada proses penuaan, semua organ tubuh mengalami kemunduran fungsi termasuk
pembuluh daarah otak. Studi penelitian yang dilakukan oleh Rahimic et, al 2013
menunjukkan bahwa aterosklerosis yang dideteksi di arteri karotis menunjukkan
Universitas Indonesia
68

peningkatan ketebalan intima seiring dengan bertambahnya usia (Wihastuti, 2016)).


Semakin tua usia seseorang akan semakin mudah terkena stroke (Pinzon, 2010).

6.4.2 Jenis Kelamin


Pada penelitian ini angka kejadian stroke lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pada laki-laki. Hasil ini berbeda dengan penelitian Wayunah dan M. Saefulloh (2016)
yang menunjukkan bahwa kejadian stroke lebih banyak pada laki-laki dibanding pada
perempuan (55,3%). Penelitian Ghani dan rekan (2016) mengindikasikan proporsi yg
seimbang antara laki-laki dan perempuan yang mengalami stroke. Perbedaan ini mungkin
dikarenakan pada penelitian ini proporsi sampel lebih tinggi pada perempuan dari pada
laki-laki.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan
stroke dan bukan merupakan confounder hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Aisyah Muhrini Sofyan dan
rekan pada tahun 2012 di Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara, didapatkan
bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian stroke.
Tidak adanya hubungan jenis kelamin dengan kejadian stroke, dapat disebabkan
oleh karena kejadian stroke tersebut disebabkan multifaktorial, bukan hanya karena jenis
kelamin, diantaranya karena diabetes melitus, hiperkolesterolemia, merokok, alkohol dan
penyakit jantung. Seseorang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko, memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk mendapatkan serangan stroke daripada orang
normal pada suatu saat selama perjalanan hidupnya bila faktor risiko tersebut tidak
dikendalikan (Bethesda Stroke Center, 2012) dalam Sofyan dan rekan (2012).
Menurut teori, laki-laki lebih berisiko stroke terhadap stroke dibanding wanita.
Hal tersebut dipengaruhi faktor antara lain; kebiasaan merokok yang lebih banyal
dilakukan oleh kaum pria. Risiko hipertensi, hiperurisemia, hipertrigliseridemia juga
meningkatkan risiko stroke pada laki-laki. Pola hidup yang tidak teratur yang umumnya
dilakukan oleh laki-laki juga merupakan alasan mengapa laki-laki lebih berisiko
dibanding wanita. Risiko stroke pada laki-laki 1,25 kali lebih tinggi dibanding wanita,
tetapi faktanya angka kematian akibat stroke pada wanita jauh lebih tinggi dibanding laki-
laki. Dapat dikatakan bahwa harapan hidup yang dimiliki pasien stroke laki-laki jauh
lebih besar dibanding kaum wanita. Hal tersebut karena kerentanan tubuh wanita tua tidak
Universitas Indonesia
69

sanggup mengatasi komplikasi akibat stroke. Faktor lain yang diduga karena wanita
cenderung mengalami stres dan depresi yang memperburuk kondisi kesehatannya
(Lingga, 2013).

6.4.3 Hipertensi
Penelitian menunjukkan bahwa pada responden dengan status hipertensi
berjumlah lebih banyak yang mengalami stroke dibandingkan dengan responden tanpa
status hipertensi. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Kabi dan rekan (2015)
menunjukkan bahwa prevalensi stroke pada penderita hipertensi lebih tinggi
dibandingkan penderita pre hipertensi dan tidak hipertensi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipertensi tidak berhubungan dengan
stroke dan bukan merupakan confounder hubungan aktifitas fisik dengan kejadian stroke.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian cross sectional sebelumnya oleh
kristyawati (2009) tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke di
rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang, menunjukkan bahwa hipertensi merupakan
faktor risiko yang paling dominan dengan OR sebesar 22,767.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Syukrona (2014) dimana
didapatkan hipertensi sebagai faktor risiko utama yang berhubungan dengan kejadian
stroke. Responden dengan hipertensi stage 1 memiliki risiko 2.64 kali lebih besar untuk
mengalami stroke dibandingkan responden yang tidak hipertensi
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Zhang (2017) yang
menunjukkan bahwa hipertensi berhubungan bermakna (p value 0,012) dengan kejadian
stroke pada penduduk China. Penduduk yang hipertensi mempunyai OR 4,06 kali lebih
tinggi untuk terkena stroke dibandingkan penduduk yang tidak hipertensi.
Tidak terdapatnya hubungan hipertensi dengan kejadian stroke pada penelitian ini
dapat karena penderita hipertensi melakukan aktivitas fisik yang cukup atau menjalani
pola hidup sehat yang lain sehingga risiko stroke menjadi menurun. Seperti diketahui
bahwa penyebab penyakit tidak menular adalah multifaktorial, satu faktor risiko dapat
bersinergi ataupun berasosiasi dengan atau tanpa faktor risiko lain untuk meningkatkan
atau menurunkan risiko terjadinya stroke.
Hipertensi merupakan faktor risiko utama baik pada stroke iskemik maupun
stroke hemoragik. Hal ini disebabkan hipertensi memacu proses aterosklerosis dan
Universitas Indonesia
70

menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah yang berakibat mendorong LDL


kolesterol lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima lumen pembuluh darah, arteri
mengalami proses pengerasan, menjadi tebal dan kaku dan menurunkan elastisitas lumen
pembuluh darah tersebut. Arteri yang rusak mendorong proses terbentuknya pengendapan
plak pada arteri (Lumongga, 2007 dalam Yueniwati, 2015).

6.4.4 Kolesterol

Penelitian menunjukkan bahwa pada responden dengan status kolesterol tinggi


berjumlah lebih banyak yang mengalami stroke dibandingkan dengan responden dengan
kadar kolesterol normal dan batas tinggi. Hasil ini sama dengan Hasil penelitian M.
Jusman Rau dan Firdaus Koto (2011) menunjukkan bahwa pasien yang
hiperkolesterolimia lebih banyak yang menderita stroke (72,5%) dibandingkan yang tidak
hiperkolesterolimia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kolesterol tidak mempunyai hubungan
dengan stroke dan bukan merupakan confounder hubungan aktivitas fisik dengan
kejadian stroke.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian M. Jusman Rau dan Firdaus Koto
(2011) yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu, didapatkan nilai odds
ratio (OR) dengan Confidence Interval (CI) 95% sebesar 8,140 (3,796-17,453). Hal ini
menunjukkan bahwa seseorang yang menderita hiperkolesterolemia berisiko 8,140 kali
lebih tinggi untuk menderita stroke dibandingkan yang tidak menderita
hiperkolesterolemia.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa kadar kolesterol total di atas 220 mg/dL meningkatkan risiko stroke sebesar 1.3-
2.9 kali. Studi the Multi Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) menghasilkan
kesimpulan bahwa risiko stroke iskemik meningkat pada individu dengan kadar
kolesterol lebih dari 160 mg/dL atau lebih dari 4.424 mmol/L. Semakin tinggi kadar
kolesterol dalam darah, maka akan semakin besar pula risiko untuk terkena serangan
stroke. Kadar kolesterol akan cenderung meningkat pada orang yang memiliki berat
badan lebih, kurang aktivitas fisik, dan dalam keadaan stres. Kadar kolesterol yang tinggi
dapat pula menyebabkan aterosklerosis, yaitu menyempitnya dinding pembuluh darah
sehingga akan menganggu suplai darah ke otak (Junaidi, 2004).
Universitas Indonesia
71

Peningkatan kolesterol total merupakan penyebab utama beban penyakit baik di


negara maju dan berkembang sebagai faktor risiko untuk penyakit jantung iskemik dan
stroke. Peningkatan kadar kolesterol total juga menjadi fokus utama dari program
pencegahan karena, peningkatan kolesterol diperkirakan menyebabkan 2,6 juta kematian
(4,5% dari total) dan 29,7 juta cacat hidup atau 2,0% dari total cacat hidup. Menurunkan
kadar kolesterol total dalam darah adalah strategi ideal untuk mengurangi beban panyakit
kardiovaskular (buletin WHO, 2011).
Kolesterol total terdiri dari low density lipoprotein (LDL) berkontribusi terhadap
terbentuknya aterosklerosis karotis yang diikuti dengan berkurangnya elastisitas
pembuluh darah dan high density lipoprotein (HDL) berdampak sebaliknya karena
bersifat protektif terhadap penyakit jantung aterosklerosis dan berperan dalam
memfasilitasi pembuangan kolesterol. Pada penelitian ini variabel hanya terbatas pada
kolesterol total, sehingga tidak diketahui proporsi HDL dan LDL yang berpengaruh pada
peningkatan atau penurunan risiko stroke.

6.4.5 Merokok

Pada penelitian ini stroke lebih banyak terjadi pada responden yang tidak
merokok. Hasil ini sama dengan penelitian wahyunah dan M. Saefulloh (2016), bahwa
kejadian stroke lebih banyak pada pasien yang tidak merokok (52,4%). Hasil penelitain
Syukrona (2014) juga menunjukkan bahwa kejadian stroke lebih tinggi pada penderita
yang tidak merokok (69,2%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa merokok tidak berhubungan dengan
stroke dan bukan merupakan confounder hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Rahajeng dan Riyadina (2013)
yang menyatakan bahwa merokok berhubungan dengan peningkatan 2-4 kali risiko stroke
hemoragik.
Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Katarina (2009),
menunjukkan hubungan yang signifikan (p < 0.001) antara merokok dengan kejadian
stroke iskemik. Individu yang merokok mempunyai rasio odds sebesar 3.04 dibandingkan
yang tidak merokok.
Hasil berbeda ini dapat disebabkan adanya bias informasi ataupun recall bias dari
responden, dan juga mungkin karena data variabel merokok dalam penelitian ini
Universitas Indonesia
72

dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin, dimana proporsi perempuan lebih banyak dari
laki-laki, dan perempuan sebagian besar tidak merokok.
Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah. Produksi trombosit meningkat sehingga darah
mudah membeku yang diakibatkan oleh arteri yang menyempit dan pembuluh darah yang
mudah robek. Karbonmonoksida dari rokok dapat mengurangi jumlah oksigen yang
dibawa oleh darah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang
dibutuhkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association 2010 dalam
nastiti, 2012).

6.4.6 Konsumsi Sayur Buah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stroke lebih banyak pada
responden yang cukup mengkonsumsi sayur buah. Hasil ini berbeda dengan penelitian
Perawaty dan rekan (2010) yang menyatakan bahwa kejadian stroke lebih banyak pada
responden yang kurang mengkonsumsi sayur buah (65,8%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi sayur buah tidak berhubungan
dengan stroke dan bukan merupakan confounder hubungan aktivitas fisik dengan
kejadian stroke.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Perawaty dan rekan (2010)
yang menunjukkan bahwa konsumsi buah berhubungan dengan kejadian stroke. Pasien
yang kurang konsumsi buah berisiko terkena stroke 6.98 kali lebih tinggi dibandingkan
pasien yang cukup konsumsi buah.
Tidak terdapatnya hubungan konsumsi sayur buah dengan kejadian stroke pada
penelitian ini dapat karena adanya recall bias, responden lupa mengingat pola atau jumlah
sayur buah yang dikonsumsi.
Kalium yang terkandung dalam buah-buahan mempunyai fungsi meningkatkan
keteraturan denyut jantung, mengaktifkan kotraksi otot, dan membantu menurunkan
tekanan darah. Konsumsi kalium yang memadai dapat mengurangi efek natrium dalam
meningkatkan tekanan darah, dan secara bebas memberikan kontribusi terhadap
penurunan risiko karena stroke. Konsumsi ekstra kalium sebanyak 400 mg setiap hari
dapat mengurangi kemungkinan mendapat penyakit jantung dan pembuluh darah. Buah
berwarna kuning kaya kandungan kalium, yang bermanfaat mencegah stroke dan jantung
Universitas Indonesia
73

koroner, serta mencegah katarak. Sumber kalium banyak terdapat pada belimbing, nanas,
pisang, belimbing buah, dan belimbing sayur (Setiawan, 2008)

6.4.7 Diabetes

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stroke lebih banyak pada
responden dengan status diabetes. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mei Lin (2007)
di Canada yang menyatakan bahwa prevalensi stroke lebih tinggi pada penderita diabetes
baik pada laki-laki maupun pada perempuan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diabetes tidak berhubungan dengan
stroke dan bukan merupakan confounder hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Mei Lin (2007) yang menyatakan
bahwa ada hubungan diabetes dengan kejadian stroke, diamana hubungan yang lebih
kuat didapatkan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan pada umur pertengahan
dibandingkan pada umur yang lebih tua (65 tahun atau lebih).
Tidak terdapatnya hubungan diabetes dengan kejadian stroke pada penelitian ini
dapat karena individu dengan diabetes telah mengkonsumsi obat sehingga ketika
dilakukan pemeriksaan darah, kadar gula darahnya normal dan terdata sebagai penduduk
non diabetes.
Diabetes mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil
maupun pembuluh darah besar di seluruh pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak
dan jantung. Kadar glukosa darah yang tinggi pada stroke akan memperluas besarnya area
sel yang mati karena terbentuknya asam laktat akibat metabolism glukosa yang dilakukan
secara an aerob (oksigen sedikit) yang merusak jaringan otak (Junaidi, 2011)

6.4.8 Obesitas

Penelitian menunjukkan bahwa pada responden dengan status obesitas berjumlah


lebih banyak yang mengalami stroke dibandingkan dengan responden tanpa status
obesitas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa obesitas tidak berhubungan dengan
stroke dan bukan merupakan confounder hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Herpan Syafii dan rekan (2016)
yang menyatakan bahwa tidak hubungan antara IMT dan Selain itu juga tidak didapatkan
Universitas Indonesia
74

korelasi antara peningkatan lingkar perut dan rasio lingkar perut-panggul dengan
peningkatan risiko stroke.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa Risiko
stroke total atau iskemik meningkat secara linier dengan meningkatnya IMT. Setiap
kenaikan IMT 1 unit menyebabkan peningkatan risiko stroke iskemik atau stroke sebesar
5% pada wanita (Daphne et al, 2011).
Obesitas merupakan risiko penyakit kardiovaskuler, khusunya stroke karena
peningkatan asam lemak darah berakibat kolesterol dan trigliserida dalam darah juga
meningkat (Misnadiarly, 2007).
Tidak terdapatnya hubungan obesitas dengan kejadian stroke pada penelitian ini
dapat karena penduduk yang obesitas melakukan aktivitas fisik yang cukup atau
menjalani pola hidup sehat yang lain sehingga risiko stroke menjadi menurun. Seperti
diketahui bahwa peningkatan aktivitas fisik dianggap sangat penting untuk pencegahan
obesitas. Aerobik dapat meningkatkan metabolisme glukosa, menurunkan kolesterol total
dan LDL, trigliserida, total lemak tubuh, dan peradangan sistemik. Oleh karena itu
diantara mekanisme lainnya, olahraga membantu mencegah obesitas (Galanagh, 2011).

Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Prevalensi stroke pada penduduk Bogor Tengah pada tahun 2016 sebanyak 77 orang
atau sebesar 1.5% dari seluruh penduduk yang masuk dalam sampel penelitian.
2. Proporsi kejadian stroke lebih tinggi pada penduduk yang kurang aktivitas fisik, pada
wanita, pada kelompok usia ≥ 45 tahun, pada penduduk dengan status tidak merokok,
cukup konsumsi sayur buah, dan lebih tinggi pada penduduk dengan status hipertensi,
diabetes, obesitas dan kadar kolesterol tinggi.
3. Hubungan aktivitas fisik dengan kejadian stroke berbeda menurut kelompok umur (p
value 0,032). Pada umur < 45 tahun, penduduk dengan aktivitas fisik yang kurang
akan berisiko terkena stroke sebesar 5.43 kali lebih tinggi dibandingkan penduduk
yang mempunyai aktivitas fisik cukup. Pada umur ≥ 45 tahun, penduduk dengan
aktivitas fisik yang kurang akan berisko terkena stroke sebesar 1.18 kali lebih tinggi
dibandingkan yang mempunyai aktivitas fisik cukup

7.2 Saran
7.2.1 Bagi Instansi Pemerintah Terkait
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit stroke khususnya karena kurang aktivitas fisik. Dalam upaya
pencegahan penyakit stroke, diharapkan pemerikntah pusat dan daerah lebih
meningkatkan promosi kesehatan kepada masyarakat tentang faktor risiko terjadinya
stroke dan komplikasi yang diakibatkan penyakit stroke dengan mengemas informasi
ilmiah dalam bahasa populer yang dapat dimengerti masyarakat dalam skala yang lebih
luas dan melalui berbagai media informasi, sehingga diharapkan faktor risiko terhadap
kejadian stroke pada masyarakat akan berkurang.
Pemerintah diharapkan memfasilitasi gerakan peningkatan aktivitas fisik dengan
penyediaan ruang terbuka publik dan sarana untuk mencegah faktor risiko stroke
misalnya penyediaan jalur sepeda atau pejalan kaki di jalan-jalan di kota-kota besar yang

75
Universitas Indonesia
76

ditunjang dengan fasilitas yang memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan


bagi pejalan kaki atau pengguna sepeda tersebut. Pemerintah hendaknya membangun
sarana dan prasarana untuk kegiatan perkantoran, pendidikan, perekonomian, dan lain-
lain dengan konsep untuk peningkatan aktivitas fisik, misalnya lapangan parkir yang
cukup jaraknya dengan kantor, ruang terbuka publik yang dilengkapi dengan sarana
olahraga ringan, membuat lift atau escalator mulai dari lantai dua, dan lain sebagainya.

7.2.2 Bagi Pengembangan Ilmu dan Lembaga Penelitian

Perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas fisik dan kejadian stroke pada lokasi-
lokasi penelitian yang lain dan dengan desain studi yang lebih dapat menggambarkan
hubungan causal antara aktivitas fisik dengan kejadian stroke.
Lembaga-lembaga penelitian hendaknya lebih membuka peluang bagi mahasiswa
atau peneliti di luar institusinya untuk mengakses dan mengolah data yang ada sehingga
dapat lebih memperkaya informasi yang dibutuhkan bagi pengembangan ilmu dan
pencegahan ataupun pengendalian terhadap suatu masalah kesehatan khususnya tentang
penyakit stroke dengan faktor risiko kurang aktivitas fisik

7.2.3 Bagi Masyarakat

Masyarakat hendaknya menerapkan pola hidup sehat yang dapat mengurangi


faktor risiko terjadinya stroke seperti aktivitas fisik yang cukup, tidak merokok, dan
konsumsi sayur buah yang cukup.
Masyarakat sebaiknya mengetahui tanda dan gejala terjadinya stroke sehingga
cepat dibawa ke rumah sakit dan penanganan dapat segera dilakukan untuk mengurangi
risiko kecacatan bahkan kematian akibat stroke.
Masyarakat diharapkan ikut berperan serta aktif dalam promosi peningkatan
aktivitas fisik melalui lembaga dan organisasi kemasyarakatan seperti PKK, Karang
Taruna, Majelis Taklim, Posbindu (PTM, lansia, dan remaja), dan lain sebagainya.
Masyarakat kelompok usia 25-44 tahun hendaknya lebih meningkatkan kesadaran
terhadap risiko penyakit stroke dengan meningkatkan aktivitas fisik secara rutin 3-5 kali
per minggu, memeriksa kondisi kesehatan di fasilitas kesehatan maupun di UKBM
(Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) yang ada di lingkungan kerja atau tempat tinggal
seperti Posbindu tempat kerja atau Posbindu PTM di masyarakat. Pemeriksaan
Universitas Indonesia
77

laboratorium penanda faktor risiko stroke seperti pemeriksaan kolesterol lengkap, kadar
glukosa darah, dan lain sebagainya hendaknya dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Abbott, Robert D.; Curb, J.David; Rodriguez, Beatriz L.; Masaki, Kamal H.; Popper,
Jordan S.; et al. Age-related changes in risk factor effects on the incidence of
thromboembolic and hemorrhagic stroke, Journal of Clinical Epidemiology;
Elmsford Vol. 56, Iss. 5, (May 2003): 479
86. DOI:10.1016/S08954356(02)00611-X, 3 Juni
2018.https://search.proquest.com/docview/1033170632/fulltextPDF/DB9C871CE
B144C4PQ/1?accountid=169732
Alodokter, Sindrom Metabolik. 20 Oktober 2017. http://www.alodokter.com/sindrom-
metabolik

Alchuriyah, Siti, C.U. Wahjuni, (2016), Faktor risiko kejadian stroke usia muda pada
pasien Rumah Sakit Brawijaya Surabaya, Jurnal Berkala Epidemiologi, Vo. 4 No.
1 Januari 2016:62-73

American Lung Association, what’s in cigarette?, 23 Februari 2018.


http://www.lung.org/stop-smoking/smoking-facts/whats-in-a-cigarette.html

A MIPI Publication (1985), Learning to live with hypertension, Massachusetts: Medicine


in the public interest, Inc.

Balitbangkes (2016), Laporan akhir penelitian studi kohor faktor risiko penyakit tidak
menular tahun 2016, Jakarta: Pusat Upaya Kesehatan Masyarakat

Bauman, Adrian E; Reis, Rodrigo S; Sallis, James F; Wells, Jonathan C; Loos, Ruth J F;
et al. Physical activity 2: Correlates of physical activity: why are some people
physically active and others not?, The Lancet; London Vol. 380, Iss. 9838, (Jul 21-
Jul 27, 2012): 258-71. 23 Juni
2018 https://search.proquest.com/health/docview/1029876244/FC039C39D41F4E
6BPQ/8?accountid=169732

BPS Kota Bogor (2017), Kota Bogor dalam angka 2017,


https://bogorkota.bps.go.id/publication/2017/08/11/f02aa6ec54d4eacd9b22dfda/ko
ta-bogor-dalam-angka-2017.html

Bulletin of the World Health Organization (2011), High total serum cholesterol,
medication coverage and therapeutic control: an analysis of national health
examination survey data from eight countries, Bulletin of the World Health
Organization; 89:92-101. doi: 10.2471/BLT.10.079947. 10 Maret 2018.
http://www.who.int/entity/bulletin/about/en/

Centers for Disease Control and Prevention. Stroke facts. 12 Maret 2018.
https://www.cdc.gov/stroke/facts.htm

78
Universitas Indonesia
79

Centers for Disease Control and Prevention. Smoking and Heart Disease and Stroke. 21
Maret 2018. https://www.cdc.gov/tobacco/campaign/tips/diseases/heart-disease-
stroke.html

Chrisna, Fila Fatmisua & Santi Martini (1 Januari 2016), Hubungan sindrom metabolik
dengan kejadian stroke, Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 4, No.: 25–36. 8 Maret
2018. https://e-journal.unair.ac.id/JBE/article/viewFile/2117/2087

Daphne, Antillon & Towfighi, Amytis, (Jul 2011), No time to 'weight': the link between
obesity and stroke in women, Women's Health; London Vol. 7, Iss. 4, : 453-63.10
Maret 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/880396417/A991FB5BEE064CE4PQ/
1?accountid=169732

Departemen Kesehatan RI (2003), Perilaku berisiko di Indonesia 2003, Jakarta: Pusat


Promosi Kesehatan & Badan Litbangkes bekerjasama dengan BPS.

Department health and human services US, (2003), The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure, NIH, NHLBI, 30 Januari 2018.
https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/express.pdf

Depkes, (2011), Pedoman Praktis Status gizi dewasa, 13 Maret 2018.


gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/ped-praktis-stat-gizi-dewasa.doc

Dewanto, George, W. J. Suwono, B. Riyanto, Y. Turana, (2009), Panduan praktis dan


tata laksana penyakit saraf, Jakarta:EGC.

Diaz, Keith M. & Daichi Shim bo, Physical activity and the prevention of hypertension,
24 Februari 2018.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3901083/

Donnan, Geoffrey A, F. Mark, M. Malcom, D. Stephen M., Stroke, The Lancet;


London, Vol. 371, Iss. 9624, (May 10-May 16, 2008) 1612:23. 5 Juni 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/199021814/F47D583D0E8E4AEBPQ
/1?accountid=169732

E. Peter Sanne, Huxley, Rachel, R.A., (Jun 7, 2014), Diabetes as a risk factor for stroke
in women compared with men: a systematic review and meta-analysis of 64
cohorts, including 775 385 individuals and 12 539 strokes, The Lancet;
London Vol. 383, Iss. 9933: 1973-80. 11 Maret 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/1533428156/12F59FF9CB8A4F71PQ/
3?accountid=169732

Gallanagh, Siobhan, T.J. Quinn, J. Alexander, M.R. Walters (2011), Physical activity in
the prevention and treatment of stroke. 16 Maret 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3263535/

Ghani, Lannywati, L.K.Miharja, Delima, Faktor risiko dominan penderita stroke di


Indonesia, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 44, No. 1, Maret 2016;49-58

Universitas Indonesia
80

Hambrecht R, Fiehn E, Weigl C, Gielen S,Hamann C, Kaiser R, Yu J, Adams V, Niebauer


J, Schuler G: Regular physical exercise corrects endothelial dysfunction and
improvesexercise capacity in patients with chronic heart failure. Circulation 1998;
98: 2709–2715. 4 Juli 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9851957

Harvard Health Publications, (Nov 2010), Hypertension: Controlling the ‘silent, Boston
special health reports, 21 Februari 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/1370716063/CC668EBFCA37440DP
Q/1?accountid=169732

Hastono, Sutanto Priyo, (2016), Analisis data pada bidang kesehatan, Jakarta: Rajawali
press.

Hermawan, Yusuf Budi, Hubungan derajat aktivitas fisik pada laki-laki dengan kejadian
stroke iskemik di RSUD dr Moewardi Surakarta. Digital library UPT Universitas
Sebelas Maret. 13 Maret 2018.
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/39197/Hubungan-derajat-aktivitas-fisik
pada-laki-laki-dengan-kejadian-stroke-iskemik-di-rsud-dr-moewardi-Surakarta.

Howard, George, B. M. Kisella, D.O. Kleindofer, L. A. McClure, E. Z. Soliman, S. E.


Judd, J. D. Rhodes, M. Cushman, C. S. Moy, K. A. Sand, V. J. Howard, (2016),
Differences in the role of black race and stroke risk factors for first vs recurrent
stroke, Neurology 2016 Feb 16; 86(7):637-642, 8 April
2018https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4762422/

Irwan, (2016), Epidemiologi penyakit tidak menular, Yogyakarta: Deepublish.

J. W. Anderson, Baird P. Jr., RH. Davis, Ferreri S., Knutson M., Koraym A., Waters V.,
Williams CL. Health benefits of dietary fiber. 25 Februari 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19335713

John Hopkins Medicine, Healthy Aging, Hypertension: What You Need to Know as You
Age, 20 Februari 2018.
https://www.hopkinsmedicine.org/health/healthy_aging/diseases_and_conditions/h
ypertension-what-you-need-to-know-as-you-age.

Junaidi, Iskandar, (2011). Stroke waspadai ancamannya. Yogyakarta: Andi Offset.

Junaidi, Iskandar, (2012). Panduan praktis pencegahan dan pengobatan stroke. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer.

Kabi, Glen,Y. C. R., R. Tumewah, M. A. H. N. Kembuan, (2015), Gambaran faktor risiko


pada penderita stroke iskemik yang dirawat inap neurologi RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado Periode juli 2012 - juni 2013, Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3,
Nomor 1, Januari-April 2015.

Universitas Indonesia
81

Kamso, Sudijanto, Body mass index, total cholesterol and ratio total to hDL cholesterol
were determinant of metabolic syndrome in the Indonesian elderly, Medical journal
of Indonesia, vol 16, no 3, July-September.

Katarina, Jood, R. Petra, R. Annika, B. Christian, J. Christina, (2009), Self-perceived


psychological stress and ischemic stroke: a case-control study. BMC Medicine;
London Vol. 7: 53. 21 Maret 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/902280951/AA2F4639BC244CDB
PQ/1?accountid=169732

Kearns, Amy K., The acute effects of exercise and inactivity on vascular function,
Disertation, February 2007, Department of Kinesiology, 4 Juli 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/304839347/CEE12DDD33A42A2PQ/
6?accountid=169732

Kementerian Kesehatan RI (2012), Strategi nasional penerapan pola konsumsi


makanan dan aktivitas fisik untuk mencegah penyakit tidak menular, Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

Kementerian Kesehatan RI (2014), Pedoman gizi seimbang, 13 Maret 2018.


http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/PGS%20Ok.pdf

Kementerian Kesehatan RI (2016), Petunjuk teknis upaya berhenti merokok pada fasilitas
pelayanan primer (edisi II), Jakarta: Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Kementerian Kesehatan (2017), Rutin aktivitas fisik, keluarga terhindar PTM, Direktorat
PTM; Dirjen P2P, 24 Juni 2018 http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/subbagian-tata-usaha/rutin-aktivitas-fisik-keluarga-terhindar-ptm

Kementerian Kesehatan RI (2013a). Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana


hipertensi. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Subdit
Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

Kementerian kesehatan RI (2013b), Pedoman pengendalian stroke. Jakarta: Direktorat


Pengendalian Penyakit Tidak Menular.

Kementerian Kesehatan RI, Infodatin, Pusat Data dan Informasi, (2014): Situasi
kesehatan jantung.
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodati
n-jantung.pdf

Kleinbaum, David G, & Mitchel Klein, (2010), Logistic regression: A self learning text,
Atlanta USA: Springer.

Kompas, (2009), Bakteri pun bisa sebabkan stroke, 12 Maret 2018.


https://nasional.kompas.com/read/2009/11/17/17353090/Bakteri.Pun.Bisa.Sebabka
n.Stroke

Universitas Indonesia
82

Krarup, Lars Henrik, et al., Level of physical activity in the week preceeding in ischemic
stroke, Cerebrovascular disease Basel Vol. 24, iss. 2-3, (Aug 2007): 296-300. 1 Juli
2018.
https://search.proquest.com/health/docview/221214752/3CF9F0422B7C457FPQ/
2?accountid=169732

Kristiyawati, S. Puguh, D. Irawati, T. Sri Haryati, (2009), Faktor risiko yang


berhubungan dengan kejadian stroke di RS. Panti Wilasa Citarum Semarang, Jurnal
Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, Vol. 1 No. 1 2009.

Lemeshow, S., (1997), Besar sampel pada penelitian kesehatan, Yogyakarta:


Gadjahmada University Press

Liang, Wenbin, et al., Habitual physical activity reduces the risk of ischemic stroke: A
case-control study in Southern China, Cerebrovascular disease Basel Vol. 28, iss.
5, (Oct 2009): 454-9. DOI:10.1159/000235990. 1 Juli 2018
https://search.proquest.com/health/docview/221225472/CCCFAC814C9543C6PQ
/2?accountid=169732

Lingga, Lanny, (2013), All about stroke; hidup sebelum dan paska stroke, Jakarta: PT
Elek Media Komputindo

Li, Wei, M. Dongrui, L. Ming, L. Hua, F. Shejun, et al, (Jun 2008), Association between
metabolic syndrome and risk of stroke: A meta analysis of cohort studies.
Cerebrovascular disease Base I Vo. 25, Iss, 6- 539-47. 6 Maret 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/221218864/98C75D8E58504F7APQ/3
?accountid=169732

Mei, Lin, Y. Chen, Ronald, J. Sigal, (2007), Stroke Associated with Diabetes among
Canadians: Sex and Age Differences, Neuroepidemiology;28:46–49, DOI:
10.1159/000097856. 11 Maret 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/232966083/12F59FF9CB8A4F71PQ/9
?accountid=169732

Miranda, L. Soares, Siscovick DS., Psaty BM., Longstreth WT., Mozaffarian D. (2016
Jan 12), Physical Activity and Risk of Coronary Heart Disease and Stroke in Older
Adults: The Cardiovascular Health Study. Circulation;133(2):147-55. doi:
10.1161/CIRCULATIONAHA.115.018323. Epub 2015 Nov 4. 21 Maret 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26538582

Misnadiarly, (2007), Obesitas: sebagai faktor risiko beberapa penyakit, Jakarta: Pustaka
Obor Indonesia.

Muchsin, (2015), Faktor risiko kejadian stroke pada personel Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dengan riwayat diagnosis stroke tahun 2013-
2015 di poli penyakit saraf RSAL dr. Mintoharjo Jakarta, Tesis, FKM UI

Universitas Indonesia
83

Mulyantoro, D. K., H. D. Sitanggan, E. Permatasari, (2016). Hipertensi:Pembunuh


senyap etnik Melayu di Kampung Bilis. Yogyakarta: Kanisius.

Murti, Bhisma, (1997), Prinsip dan metode riset epidemiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press

Nastiti, Dian (2012), Gambaran faktor risiko kejadian stroke pada pasien stroke rawat
inap di rumah sakit Krakatau Medika tahun 2011. Skripsi: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

National Geographic Indonesia (16 Juli 2014). Penyakit Stroke Salah Satu Penyebab
Utama Kematian di Indonesia. 24 Februari 2018.
https://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/penyakit-stroke-salah-satu-
penyebab-utama-kematian-di-indonesia

Perawaty, P. Dahlan, H. Astuti. Pola makan dan hubungannya dengan kejadian stroke di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Jurnal gizi dan dietetik Indonesia Vol. 2,
No. 2, Mei 2014: 51-61. 13 Maret 2018.
ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/article/download/282/256

Pinzon, Rizaldi & Laksmi Asanti. (2010). Awas Stroke:Pengertian, Gejala, Perawatan,
dan Tindakan. Yogyakarta: Andi.

Price, Sylvia A., & Lorraine M. Wilson (1995). Patofisiologi:Konsep klinis proses-proses
penyakit (edisi 4), Jakarta: EGC

Pusdatin Kementerian Kesehatan, (2014), Situasi dan analisis diabetes: Waspada


diabetes, 13 Maret 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin
diabetes.pdf

Quade, Walter M. & Ann, Aikman, (1987), Stres, Jakarta: Airlangga

Rasmiun, (2004), stress: koping dan adaptasi-teori dan pohon masalah keperawatan
(edisi pertama), Jakarta: Sagung Seto.

Rau, M. Jusman dan Firdaus Koto, (2011), Faktor risiko kejadian stroke di rsud undata
Palu tahun 2011, Bagian Epidemiologi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako

Redaksi Agromedia, (2009), Solusi sehat mengatasi stroke, Jakarta: PT AgroMedia


Pustaka.

Rini, Sandra, Ardi Al-Maqassary (ed), (2015), Sindrom Metabolik, Jp Kedokteran dd . 11


Maret 2018. http://www.e-jurnal.com/2015/05/sindrom-metabolik.html

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Kementerian Kesehatan RI: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. 18 Februari 2017.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20201
3.pdf

Universitas Indonesia
84

Riyadina, Woro, D. Rahajeng, (2013), Determinan penyakit stroke, Jurnal Kesehatan


Masyarakat Nasional, Vol. 7 No. 7, Februari 2013.

Shahab, Alwi, Rahasia dibalik selapis sel endotel; Perannya dalam patogenesis
aterosklerosis, Informasi Kedokteran, 4 Juli 2018. http://dokter-
alwi.blogspot.com/2009/07/rahasia-sel-endotel.html
Smet, Bart, (1994), Psikologi kesehatan, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Soegondo & Gusraviani (2006), Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam: sindrom metabolic, jilid
3 (edisi ke 4), Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Sofyan, Aisyah Muhrini, I. Y. Sihombing, Y. Hamra, (2013), Hubungan Umur, Jenis


Kelamin, dan Hipertensi dengan Kejadian Stroke, FK universitas Haluoleo Kendari.
9 Maret 2018. https://edoc.site/download/jurnal-hasil-penelitian-pdf-free.htm

Strokeassociation, (2018), Stroke risk; the changes you make now make change what
happens later, 10 Maret
2018.http://www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/Understandin
gRisk/Understanding-Stroke-Risk_UCM_308539_SubHomePage.jsp

Sutrisno, Alfred, Stroke: you must know before you get it. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
https://books.google.co.id/books?id=1paYDBXVEYsC&pg=PA13&dq=stroke

Syukrona, Aan, (2014), Analisis faktor risiko stroke pada pasien stroke rawat inap di
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2013, Tesis FKM UI 2014.

Threapleton, D.E, VJ. Burley, DC. Greenwood, JE.Cade, Dietary fibre intake and risk of
ischaemic and haemorrhagic stroke in the UK Women’s Cohort Study. Nutrition
Epidemiology Highlights Original Article. 17 Maret 2018.
https://search.proquest.com/health/docview/1667954579/E5159B4E4F764C08P
Q/2?accountid=169732

Wahjoepramono, Eka J. (2005), Stroke tata laksana fase akut. Tangerang: Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan.

Wayunah, M. Saefulloh, (2016), Analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian


Stroke di RSUD Indramayu, Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia.
2016;2(2):65–76

Wei-wei, Zhang, C.Y. Liu, Y. J. Wang, Z. Q. Xu, Y. Chen, H. D. Zhou. (16 June 2009),
Metabolic syndrome increases the risk of stroke: a 5-year follow-up study in a
Chinese population, J Neurol (2009) 256:1493–1499. 30 September 2017.
https://link.springer.com/article/10.../s00415-009-5150-2

Wihastuti, Titin Andri, S. Andarini, T, Heriansyah, (2016), Patofisiologi dasar


keperawatan penyakit jantung coroner: inflamasi vascular, Malang: UB Press.

Universitas Indonesia
85

World Health Organization (2003). Global strategy on diet, physical activity and health.
Geneva: European regional consultation meeting report.

World Health Organization (2012). Global physical activity questionnaire (GPAQ)


analysis guade. Surveillance and population based prevention. Department of
chronic disease and health promotion, Geneva. 1 Juli 2018.
www.who.int/chp/steps

World Health Organization (2017), World Health Statistic. Hearth, Technical package
for cardiovascular disease management in primary health care. 6 Maret 2018.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/260422/1/WHO-NMH-NVI-18.1-
eng.pdf?ua=1

World Health Organization (2017). Noncommunicable disease progress monitor. 16


Januari 2018. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/258940/1/9789241513029-
eng.pdf?ua=1

World Health Organization, (2013), world health day, Global brief of hypertension, 13
Januari 2018,
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/publications/global_brief_hypertensio
n/en/

World Health Organization, (2014), Global status report on communicable disease, 14


Januari 2018. http://www.who.int/nmh/publications/ncd-status-report-2014/en/

World Health Organization, (2016), Tobacco and stroke: WHO Tobacco Knowledge
Summaries, 9 Maret 2018. www.who.int/entity/tobacco/publications/knowledge-
summaries/stroke/en/ - 31k

World Health Organization, Ageing and health, Fact sheet No. 404 September 2015:
Media Centre. 9 Maret 2018. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs404/en/

World Health Organization, the world health report, chapter 4, Low fruit and vegetable
intake. 20 Maret 2018. http://www.who.int/

World Health Organization, Media Centre. Fact sheet Updated January 2017. The top 10
causes of death, 9 Maret 2018.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index.html.

World Health Organization, Media Centre, Fact sheet Updated February 2018. Physical
activity, 20 Maret 2018. http://www.who.int/

World Health Organization, Noncommunicable diseases. 5 Maret 2018.


http://www.who.int/topics/noncommunicable_diseases/en/index.html

World Health Organization, Stroke: Cerebrovascular accident. 5 Maret 2018.


http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/

Y. Kokubo, H. Iso, I. Saito, K. Yamagishi, J. Ishihara, M. Inou, S. Tsugane, (2011),


Dietary fiber intake and risk of cardiovascular disease in the Japanese population:

Universitas Indonesia
86

the Japan Public Health Center-based study cohort. European Journal of Clinical
Nutrition 65, 1233–1241. 17 Maret 2018. https://www.nature.com › european
journal of clinical nutrition › original article

Yulianto, A. (2011), Mengapa stroke menyerang usia muda, Yogyakarta: Javalitera.

Zhang, Zhizhong, G. Xu, D. Liu, W. Zhu, X. Fan, X. Liu, (February 2013), Dietary
fiber consumption and risk of stroke, European Journal of Epidemiology, Volume
28, Issue 2, pp 119–130. 16 Maret 2018.
https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10654-013-9783-1

Universitas Indonesia
Lampiran 1 Kuisioner

Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 2

Tabel nilai MET (Metabolic Energy Turnover) aktivitas fisik

No. Aktivitas Nilai MET


1. Tukang kayu, umum 3,5
2. Membawa barang berat 8,0
3. Kehutanan, umum 8,0
Duduk, pekerjaan kantor yang ringan, pertemuan,
4. 1,5
perakitan/perbaikan yang ringan
5. Berdiri, ringan (penjaga took, penata rambut, dll) 2,5
6. Berdiri, sedang (pedagang, mengangkat barang yang ringan) 3,5
7. Membersihkan, umum (sambil berdiri) 3,5
8. Mencuci piring (sambil berdiri) 2,3
9. Memasak (sambil berdiri) 2,5
10. Menyetrika 2,3
11. Menggosok lantai 5,5
12. Lebih dari satu pekerjaan rumah tangga 3,5
13. Bermain musik, umum 2,5
14. Merawat anak 2,5
Berbaring atau duduk diam (sambal menonton TV,
15. 1,0
mendengarkan musik)
16. Memperbaiki rumah, mereparasi kendaraan 3,0
17. Mereparasi rumah, mengecaat 4,5
18. Mereparasi rumah, mencuci dan memoles mobil 4,5
19. Memotong rumput dengan mesin 4,5
20. Memotong rumput dengan alat potong manual 6,0
21. Memetik buah dari pohon 3,0
22. Berkebun, umum 6,5
23. Menanam tanaman 4,0
24. Mengemudikan kendaraan 2,0
25. Mengendarai bus, kereta api 1,5
26. Mengemudikan sepeda motor 2,5
27. Menaarik becak 6,5

Universitas Indonesia
28. Bersepeda umum, pergi-pulang tempat kerja (< 16 km/jam) 4,0
29. Bersepeda (16-22 km/jam) 6,5
30. Bersepeda (> 22 km/jam) 10,0
31. Berjalan, perlahan (< 3,2 km/jam) 2,0
32. Berjalan, sedang (4,8 km/jam) 3,5
33. Berjalan, cepat (6,4 km/jam) 4,0
34. Bola basket, umum 6,0
35. Bola basket, pertandingan 8,0
36. Bowling 3,0
37. Golf, umum 4,5
38. Hoki es, umum 8,0
39. Berkuda, umum 4,5
40. Bermain skateboard 5,0
41. In-line skating 7,0
42. Sepak bola, pertandingan 10,0
43. Sepak bola, umum 7,0
44. Squash 10,0
45. Tenis meja 4,0
46. Bola voli, pertandingan 8,0
47. Bola voli pantai 8,0
48. Berlari (8-10 km/jam) 8,0-10,5
49. Berlari (11-13 km/jam) 11,5-14,0
50. Berlari (14-16 km/jam) 14,5-17,0
51. Bermain ski, umum 7,0
52. Bermain ski, cross-country, mendaki bukit 6,0
53. Bermain ski, menuruni bukit, umum 6,0
54. Berenang, umum 4,0
Sumber: WHO, 2018

Universitas Indonesia
Lampiran 3

ANALISIS UNIVARIAT

Universitas Indonesia
ANALISIS BIVARIAT

Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
UJI INTERAKSI

UJI KONFONDING

Universitas Indonesia
MODEL AKHIR

Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 4

Universitas Indonesia
Lampiran 5

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai