Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ MASALAH GIZI DALAM KONDISI BENCANA “


Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi Bencana

Disusun Oleh :
Kelompok 2 – Kelas D
1. Nurul Saskira (P101 21 104)
2. Febbi (P101 21 143)
3. Muhammad Gimnastiar (P101 21 004)
4. Shabita Balqis (P101 21 062)
5. Mutmaina (P101 21 190)
6. Handhy Nugraha (P101 21 278)
7. Auriel Azahra (P101 21 209)
8. Ririnsyamti akmal (P101 21 092)

Dosen Pengampu : Hijra, S.KM, M.Gizi

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
KATA PENGENTAR

Puji syukur atas kehadiran Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, makalah mengenai “Masalah Gizi Dalam Kondisi
Bencana” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Meskipun kami menyadari masih banyak
terdapat kesalahan didalamnya.

Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan pemahaman
mengenai Masalah Gizi Dalam Kondisi Bencana Selain itu makalah ini juga nantinya
diharapkan dapat memberikan Penjelasan Mengenai Faktor yang mempengaruhi pada
kedaruratan pangan dan gizi dalam kondisi bencana, Masalah gizi dalam kondisi bencana,
Penyakit menular yang terjadi saat bencana. Serta Makalah ini diharapkan memenuhi
tugas kelompok pada mata kuliah Gizi Bencana yang di ampuh oleh Ibu Hijra, S.KM,
M.Gizi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.

Oleh karena itu, Kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kemudian makalah kami ini dapat kami perbaiki dan menjadi lebih baik lagi. Demikian
yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian.

Palu, 18 Februari

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGENTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3


A. Faktor yang Mempengaruhi Pada Kedaruratan Pangan dan Gizi Dalam
Kondisi Bencana ......................................................................................... 3
B. Masalah Gizi Dalam Bencana ...................................................................... 6
C. Penyakit Menular Yang Terjadi Saat Bencana ............................................ 8

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 16


A. Kesimpulan ................................................................................................ 16
B. Saran .......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara rawan bencana sebagai akibat dari pertemuan tiga
lempeng utama bumi dan jalur gunung api dunia (ring of five). Sepanjang tahun 2021,
berbagai bencana alam telah terjadi di Indonesia seperti gunung meletus, gempa bumi,
tanah longsor, banjir, dan lainnya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, masyarakat,
maupun lembaga kemasyarakatan untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
cukup dalam mitigasi bencana dan upaya penanggulangan bencana.

Salah satu tahap penting dalam rangkaian upaya penanggulangan bencana adalah
manajemen makanan dan pemenuhan gizi bagi korban bencana dan relawan di lokasi
terdampak bencana. Tujuan utama manajemen gizi dalam situasi bencana adalah
mencegah memburuknya status gizi pengungsi dan relawan. Persediaan makanan dan gizi
yang tidak cukup dapat menyebabkan malnutrisi yang berdampak pada penurunan status
gizi dan kesehatan pada kelompok beresiko seperti ibu hamil, anak-anak, lansia, dan
kelompok populasi lainnya.

Beberapa permasalahan pangan dan gizi yang sering terjadi saat kondisi bencana
antara lain pasokan makanan yang kurang, distribusi tidak merata, penumpukan bantuan
makanan, hingga keamanan pangan dan kecukupan zat gizi yang belum terjamin. Hal ini
dapat muncul karena berbagai faktor, antara lain faktor kerusakan alam yang
menyebabkan sulitnya distribusi bantuan, infrastruktur kurang memadai, kurangnya SDM
yang kompeten dalam manajemen gizi pasca bencana, serta kurang optimalnya koordinasi
petugas lintas sektor. Oleh karena itu, penting untuk melakukan peningkatan kompetensi
praktisi kesehatan, kesehatan masyarakat, ahli giiz, dan relawan bencana terutama dalam
bidang manajemen gizi. Pelatihan koordinasi dan pengelolaan intervensi gizi dalam
situasi bencana ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan
kemampuan SDM terutama manajemen gizi dalam situasi bencana.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi pada kedaruratan bencana?
2. Apa saja masalah gizi dalam kondisi bencana?
3. Apa saja Penyakit menular yang terjadi saat bencana?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pada kedaruratan bencana
2. Untuk mengetahui masalah gizi dalam kondisi bencana
3. Untuk mengetahui penyakit menular yang terjadi saat bencana

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor yang Mempengaruhi Pada Kedaruratan Pangan dan Gizi Dalam Kondisi
Bencana

Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk dapat
dilihat dari berhagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi. Bencana yang
diikuti dengan pengungsian berpotensi menimhulkan masalah kesehatan yang sebenamya
diawali oleh masalah hidang/sektor lain. Bencana gempa bumi, hanjir, longsor dan
letusan gunung herapi, dalam jangka pendek dapat berdampak pada korhan meninggal,
korban cedera herat yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit
menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health
Organization, 2006). Timbullnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya
air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan
yang merupakan awal dari perkembangbiakan berapa jenis penyakit menular. Disisi lain
kebutuhan kesehatan masyarakat di wilayah bencana meningkat drastis, karena
mengalami trauma fisik maupun psikis sebagai dampak langsung bencana. Disamping itu
hancurnya sarana dan prasarana kehidupan seperti rumah, sarana air bersih, sarana
sanitasi, dan terganggunya suplai pangan akan memperburuk status kesehatan mereka.
Masalah kesehatan utama yang muncul akibat bencana adalah masalah gizi dan penyakit
menular. Meskipun masalah gizi dan penyakit menular tidak serta merta muncul sesaat
sesudah bencana akan tetapi, apabila tidak ada pengamatan penyakit secara seksama
dengan sistem surveilans yang baik, maka masalah gizi dan penyakit menular akan
mempunyai potensi yang sangat besar untuk terjadi, sebagai akibati dari : -
Berkumpulnya manusia dalam jumlah yang banyak - Sanitasi, air bersih, nutrisi yang
tidak memadai - Perpindahan penyakit karena perubahan lingkungan paska bencana,
maupun karena perpindahan penduduk karena pengungsian Akibat rusaknya infrastruktur
kesehatan dan situasi lingkungan sosial yang cenderung kacau dan tidak teratur, maka
pengendalian penyakit menular pada situasi bencana mempunyai prinsip dasar untuk
mendeteksi kasus penyakit menular prioritas sedini mungkin dan melakukan respons
cepat agar penularan penyakit bisa dicegah.

3
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda- beda, antara lain
tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan
perawatan medis misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana gempa bumi
dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang. Sebaliknya,
bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan kerusakan
sistem sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB)
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare
dan leptospirosis. Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok penduduk
rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1). Bayi, balita dan anak-anak; 2).
Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut
usia. Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar
ditambahkan ‘orang sakit’ sebagai bagian dari kelompok rentan dalam kondisi bencana.
Upaya perlindungan tentunya perlu diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai
dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan dan
psikososial.

Permasalahan gizi muncul diakibatkan adanya bencana, faktor terjadinya masalah


gizi yang timbul akibat adanya bencana yaitu krisis kesehatan antara lain lumpuhnya
pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka di tempat pengungsi. Faktor yang bisa
menyebabkan masalah gizi antara lain ketersediaan air bersih, sanitasi lingkunngan,
penyakit menular dan gangguan kejiwaan pasca bencana. Bencana juga menimbulkan
situasi kedaruratan yang berpotensi berdampak pada krisis pangan dan gizi. Hal ini terjadi
karena pada saat kedaruratan ada beberapa hal yang harus segera di intervensi seperti :
masih ada kasus gizi buruk, gizi kurang dan ada kelompok rentan, serta dapur umum
(Salmayati, Hermansyah, & Agussabti, 2016). Penanganan gizi dalam kedaruratan
bencana sangat penting. Beberapa hal yang menjadi penyebab pentingnya penanganan
gizi yaitu keterbatasana dipengungsian, bantuan makanan untuk mempertahankan status
gizi, perlu adanya survailens gizi untuk optimalisasi bantuan dan penanganan gizi yang
sesuai (Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016). Kegiatan dalam penanganan gizi
pada kedaruratan meliputi beberapa kegiatan yaitu pelayanan gizi, penyuluhan gizi,

4
tenaga khusus atau sumber daya manusia dibidang gizi, dan penyediaan makanan
(Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016). Tujuan umum dari kegiatan ini yaitu
meningkatkan, menjaga dan mencegah memburuknya status gizi para penyintas bencana.
Sementara tujuan khususnya yaitu memantau perkembangan status gizi para penyintas
bencana (Kementerian Kesehatan RI, 2015) Pelayanan gizi dilakukan oleh tenaga gizi
yang ditempatkan khusus dilokasi pengungsian penyintas bencana untuk menyiapkan
makanan darurat. Karena pada saat ditetapkan untuk menggungsi, para penyintas tidak
mungkin menyiapkan makanannya sendiri (Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016)
Selanjutnya kegiatan penyuluhan gizi bertujuan untuk merubah perilaku dan membangun
mental penyintas untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan status gizinya.
Kegiatan ini diharakan mampu memberikan pemahaman terhadap penyintas akan
pentingnya makanan bergizi meski dalam masa darurat bencana. Dalam kedaruratan
pasca bencana juga perlu adanya tenaga khusus dibidang gizi yang diperbantukan untuk
dapur-dapur 4 umum yang menyediakan makanan bagi para penyintas. Para tenaga gizi
diharapkan dapat memberikan perhatian terhadap kebersihan dan menu makanan yang
akan diberikan bagi para penyintas. Yang perlu diperhatikan juga pasca bencana,
penyediaan bahan makanan harus dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk memenuhi
kebutuhan gizi para penyintas (Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016).

Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses
terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi
secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Pengungsian tempat
tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga secara
langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak
segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu,
pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala
akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat
kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat
menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan
Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).

Gizi dan pangan, termasuk penanggulangan masalah gizi di pengungsian,


surveilans gizi, kualitas dan keamanan pangan. Identifikasi perlu dilakukan secepat

5
mungkin untuk mengetahui sasaran pelayanan, seperti jumlah pengungsi, jenis kelamin,
umur dan kelompok rentan (balita, ibu hamil, ibu menyusui, lanjut usia). Data tersebut
penting diperoleh, misalnya untuk mengetahui kebutuhan bahan makanan pada tahap
penyelamatan dan merencanakan tahapan surveilans berikutnya. Selain itu, pengelolaan
bantuan pangan perlu melibatkan wakil masyarakat korban bencana, termasuk kaum
perempuan, untuk memastikan kebutuhan-kebutuhan dasar korban bencana tetpenuhi.

B. Masalah Gizi Dalam Bencana

Kebutuhan layanan kesehatan dan pangan jelas akan meninggkat pada daerah pasca
bencana. Untuk itu manajemen penanggulangan terkhusus untuk pemenuhan status gizi
penyintas bencana, perlu menjadi perhatian semua pihak. Khususnya kebutuhan nutrisi
bayi, balita, anak-anak, ibu hamil serta lansia yang rentan terserang penyakit pasca
bencana terjadi (Tumenggung, 2018).

Permasalahan gizi muncul diakibatkan adanya bencana, pada pasca bencana yang
terjadi, faktor terjadinya masalah gizi yang timbul akibat adanya bencana yaitu krisis
kesehatan antara lain lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka di
tempat pengungsi. Faktor yang bisa menyebabkan masalah gizi antara lain ketersediaan
air bersih, sanitasi lingkunngan, penyakit menular dan gangguan kejiwaan pasca bencana.
Bencana juga menimbulkan situasi kedaruratan yang berpotensi berdampak pada krisis
pangan dan gizi. Hal ini terjadi karena pada saat kedaruratan ada beberapa hal yang harus
segera di intervensi seperti : masih ada kasus gizi buruk, gizi kurang dan ada kelompok
rentan, serta dapur umum (Salmayati, Hermansyah, & Agussabti, 2016)

Penurunan status gizi masyarakat penyintas bencana dapat menyebabkan


munculnya masalah-masalah kesehatan lainnya seprti diare, yang bisa mengamcam
nyawa para penyintas bencana. Keterbatasan fasilitas kesehatan, kondisi pengungsian
yang tidak layak, sanitasi yang buruk juga dapat menjadi pemicu memburuknya derajat
kesehatan penyintas bencana (Suryani, 2017).

Masalah gizi yang bisa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan balita, bayi tidak
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena terpisah dari ibunya dan semakin memburuknya
status gizi kelompok masyarakat. Bantuan makanan yang sering terlambat, tidak
berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal dapat memperburuk

6
kondisi yang ada. Masalah lain yang seringkali muncul adalah adanya bantuan pangan
dari dalam dan luar negeri yang mendekati atau melewati masa kadaluarsa, tidak disertai
label yang jelas, tidak ada keterangan halal serta melimpahnya bantuan susu formula bayi
dan botol susu. Masalah tersebut diperburuk lagi dengan kurangnya pengetahuan dalam
penyiapan makanan buatan lokal khususnya untuk bayi dan balita. Bayi dan anak
berumur di bawah dua tahun (baduta) merupakan kelompok yang paling rentan dan
memerlukan penanganan gizi khusus. Pemberian makanan yang tidak tepat pada
kelompok tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, terlebih pada
situasi bencana. Risiko kematian lebih tinggi pada bayi dan anak yang menderita
kekurangan gizi terutama apabila bayi dan anak juga menderita kekurangan gizi mikro.
Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita 2-3 kali lebih besar
dibandingkan kematian pada semua kelompok umur. Kematian terbesar terjadi pada
kelompok umur 0-6 bulan (WHO UNICEF, 2001). Oleh karena itu penanganan gizi
dalam situasi bencana menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi secara cepat
dan tepat. Bantuan makanan untuk pengungsi dewasa kurang bermasalah ketimbang bayi
dan anak, karena korban dewasa dapat mengkonsumsi pelbagai jenis makanan. Untuk
bayi dan anak Batita, masalahnya lebih rumit. Bayi dan anak Batita belum dapat
mengkonsumsi semua jenis makanan yang diperolah dari penarnpungan. Apabila masalah
ini tidak mendapat perhatian yang memadai bukan mustahil bayi dan anak Batita akan
mengalami gizi kurang yang dapat berlanjut menjadi gizi buruk bahkan marasmus dan
kwashiorkor. Apabila mereka ini masih tetap hidup dapat menjadi generasi yang
intelegensinya sangat rendah dan menjadi generasi yang hilang (loss generation).

Tujuan umum dari kegiatan ini yaitu meningkatkan, menjaga dan mencegah
memburuknya status gizi para penyintas bencana. Sementara tujuan khususnya yaitu
memantau perkembangan status gizi para penyintas bencana (Kementerian Kesehatan RI,
2015)Penanganan gizi dalam kedaruratan bencana sangat penting. Beberapa hal yang
menjadi penyebab pentingnya penanganan gizi yaitu keterbatasana dipengungsian,
bantuan makanan untuk mempertahankan status gizi, perlu adanya survailens gizi untuk
optimalisasi bantuan dan penanganan gizi yang sesuai (Salmayati, Hermansyah and
Agussabti, 2016).

7
Kegiatan dalam penanganan gizi pada kedaruratan meliputi beberapa kegiatan
yaitu pelayanan gizi, penyuluhan gizi, tenaga khusus atau sumber daya manusia dibidang
gizi, dan penyediaan makanan (Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016).

Menurut penelitian Zulaekah(4), pendidikan atau penyuluhan gizi adalah


pendekatan edukatif untuk menghasilkan perilaku individu atau masyarakat yang
diperlukan dalam meningkatkan perbaikan pangan dan status gizi. Harapan dari upaya ini
adalah orang bisa memahami pentingnya makanan dan gizi, sehingga mau bersikap dan
bertindak mengikuti norma-norma gizi.

C. Penyakit Menular Yang Terjadi Saat Bencana

Penyakit Menular adalah penyakit yang disebut juga infeksi; yang dapat menular
ke manusia dimana disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan
parasite. Penularan bisa langsung atau melalui media atau vektor dan binatang pembawa
penyakit. Pada saat terjadinya bencana Potensi munculnya penyakit menular sangat erat
kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat sekitar
penampungan pengungsi.

A. Penyebab Penyakit Menular Saat Bencana

1) Kerusakan lingkungan dan pencemaran.

2) Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit, sehingga
harus berdesakan.

3) Umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat kesehatan.

4) Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun


kualitasnya.

5) Diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi,
seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut.

6) Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat sumber


pencemaran, dan lain-lain.

8
B. Macam-macam Penyakit Menular Saat Bencana

1) Penyakit Diare

a. Diare merupakan penyakit menular yang sangat potensial terjadi di daerah


pengungsian maupun wilayah yang terkena bencana yang biasanya sangat
terkait erat dengan kerusakan, keterbatasan penyediaan air bersih dan sanitasi
dan diperburuk oleh perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah.

b. Kasus

 Wabah diare pasca bencana di Bangladesh pada tahun 2004 lebih dari
17 000 kasus. Hasil isolasi penyebab diare ditemukan bakteri Vibrio
cholerae dan enterotoksigenik Escherichia coli
 Di Kota Calang Propinsi Aceh ketika terjadi tsunami dua minggu
setelah tsunami Desember 2004 seluruh penduduk (100%) dari korban
tsunami minum dari sumur yang tidak dimasak, sekitar 85% dari
penduduk tersebut dilaporkan menderita diare

c. Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sendiri oleh para pengungsi, antara
lain:

 Gunakan air bersih yang memenuhi syarat.


 Semua anggota keluarga buang air besar di jamban.
 Buang tinja bayidan anak kecil di jamban.
 Cucilah tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum
menjamah/memasak makanan dan sesudah buang air besar.
 Berilah Air Susu Ibu (ASI) saja sampai bayi berusia 6 bulan.
 Berilah makanan pendamping ASI dengan benar setelah bayi berusia 6
bulan dan pemberian ASI diteruskan sampai bayi berusia 24 bulan.

d. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Diare

 Penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi lingkungan yang


memadai merupakan tindakan pencegahan penyakit diare,

9
 Sedangkan pencegahan kematian akibat diare dapat dilakukan melalui
penatalaksanaan kasus secara tepat dan kesiapsiagaan akan
kemungkinan timbulnya KLB diare

2) Penyakit Malaria

a. Dilokasi penampungan pengungsi penyakit malaria sangat mungkin terjadi, hal


ini terutama penampungan pengungsi terletak pada daerah yang endemis
malaria atau pengungsi dari daerah endemis dating ke lokasi penampungan
pengungsi pada daerah yang tidak ada kasusnya tetapi terdapat vector (daerah
reseptif malaria).

b. Upaya Pengendalian Penyakit Malaria

1. Pencegahan gigitan nyamuk

Beberapa cara pencegahan penularan malaria antara lain, mencegah gigitan


nyamuk dengan cara:

 Tidur Dalam Kelambu (kelambu biasa atau yang berinsektisida)


 Memasang Kawat Kasa
 Menggunakan Repelen
 Membakar Obat Nyamuk
 Pencegahan dengan obat anti malaria (Profilaksis)

Pengobatan Pencegahan

Pengobatan pencegahan malaria diberikan kepada kelompok berisiko tertular


malaria seperti:

 Pendatang dan perorangan atau sekelompok orang yang non-imun


yang akan dan sedang di daerah endemis malaria
 Ibu Hamil
Sasarannya adalah ibu hamil di daerah endemis malaria

2. Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan dapat mencegah, mengurangi atau menghilangkan


tempat perindukan vektor, antara lain:

10
 Pengeringan
 Pengaliran
 Pembersihan lumut

Kegiatan ini dilakukan untuk mencegah perkembangan larva nyamuk


Anopheles sundaicus, yang merupakan vektor utama malaria di daerah
pantai. Larva nyamuk ini suka hidup pada lumut di lagun-lagun daerah
pantai. Dengan pembersihan lumut ini, maka dapat mencegah perkembangan
nyamuk An. Sundaicus

3) Penyakit Malaria

a. Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit campak adalah pemberian imunisasi


pada usia yang tepat. Pada saat bencana, kerawanan terhadap penyakit ini
meningkat karena:

1. Memburuknya status kesehatan, terutama status gizi anak-anak.

2. Konsentrasi penduduk pada suatu tempat/ruang (pengungsi).

3. Mobilitas penduduk antar wilayah meningkat (kunjungan keluarga).

b. Kasus

Di Aceh setelah tsunami ditemukan 35 kasus campak yang terjadi di Kabupaten


Aceh Utara. Kasus tersebut terjadi sporadis yang meskipun kampanye vaksinasi
massal telah dilakukan dan kasus kematian akibat meningitis di tempat
pengungsi tsunami di Aceh pernah juga dilaporkan.

c. Oleh karena itu pada saat bencana tindakan pencegahan terhadap penyakit
campak ini dilakukan dengan melaksanakan imunisasi, dengan kriteria:

 Jika cakupan imunisasi campak didesa yang mengalami bencana ≥80%,


tidak dilaksanakan imunisasi massal (sweeping).
 Jika cakupan imunisasi campak di desa bencana meragukan maka
dilaksanakan imunisasi tambahan massal (crash program) pada setiap
anak usia kurang dari 5 tahun (6–59 bulan), tanpa memandang status
imunisasi sebelumnya dengan target cakupan ±95%.
11
 Bila pada daerah tersebut belum melaksanakan imunisasi campak
secara rutin pada anak sekolah, imunisasi dasar juga diberikan pada
kelompok usia sekolah dasar kelas 1 sampai 6.

d. Seringkali karena suasana pada saat dan pasca-bencana tidak memungkinkan


dilakukan imunisasi massal, maka diambil langkah sebagai berikut:

 Pengamatan ketat terhadap munculnya penderita campak.


 Jika ditemukan satu penderita campak di daerah bencana, imunisasi
massal harus dilaksanakan pada kelompok pengungsi tersebut, dengan
sasaran anak usia 5–59 bulan dan anak usia sekolah kelas 1 sampai 6
SD (bila belum melaksanakan BIAS campak) sampai hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan penderita positif terkena campak.
 Imunisasi tambahan massal yang lebih luas dilakukan sesuai dengan
kriteria imunisasi tersebut.
 Jika diterima laporan adanya penderita campak di luar daerah bencana,
tetapi terdapat kemudahan hubungan (kemudahan penularan) dengan
daerah bencana, penduduk di desa tersebut dan daerah bencana harus
diimunisasi massal (sweeping) sesuai kriteria imunisasi.

4) Penyakit spesifik lokal

Penyakit spesifik lokal di Indonesia cukup bervariasi berdasarkan daerah


Kabupaten/Kota, seperti penyakit hepatitis, leptospirosis, penyakit akibat gangguan
asap, serta penyakit lainnya. Penyakit ini dideteksi keberadaannya apabila tersedia
data awal kesakitan dan kematian di suatu daerah.

C. Pencegahan Penyakit Menular

1. Tersedianya air Besih dan Sanitasi

 Penyediaan air minum yang aman paling penting untuk pencegahan setelah
bencana alam.
 Desinfektan seperti klorin harus tersedia dalam jumlah yang cukup mudah
digunakan dan efektif terhadap hampir semua patogen yang ditularkan
melalui air.
12
 Perencanaan permukiman harus menyediakan akses yang memadai untuk
kebutuhan air dan sanitasi serta memenuhi kebutuhan ruang minimum per
orang.

2. Layanan Kesehatan Primer

 Akses kesehatan bagi semua warga pasca bencana sangat diperlukan


sangat penting pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan korban.
 Layanan kesehatan primer pasca bencana harus dikoordinasi mulai dari
tingkat pusat sampai ke tingkat kecamatan/puskesmas.
 Pusat layanan kesehatan primer (Puskesmas) utama yang harus dilakukan
adalah menyelenggaran kesehatan dasar di penampungan, memeriksa
kualitas air dan sanitasi serta surveilans penyakit menular.
 Dampak langsung dari penyakit menular dapat dikurangi dengan intervensi
oleh layanan kesehatan.

3. Surveillance dan sistem peringatan dini

 Deteksi cepat kasus wabah penyakit rawan sangat penting untuk


memastikan kontrol yang cepat.
 Pengawasan dan peringatan dini harus cepat dilakukan untuk mendeteksi
wabah dan memantau penyakit endemik prioritas.
 Penyakit endemis di daerah bencana harus dimasukkan menjadi prioritas
dalam sistem surveilans dalam penilaian risiko penyakit menular.
 Penilaian risiko penyakit menular yang komprehensif untuk dapat
mengidentifikasi dan memprioritaskan ancaman penyakit ini secara dini,
dengan cara:
 Petugas kesehatan harus dilatih untuk mendeteksi penyakit
prioritas dengan cepat untuk dilaporkan ke jenjang yang lebih
tinggi;.
 Sampel dan transportasi bahan pemeriksaan harus dilakukan
secepatnya untuk merespon bila terjadinya wabah, seperti kolera.
Diperlukan kit yang dapat mendeteksi dengan cepat penyakit
endemik di daerah kolera dianggap berisiko.

13
4. Imunisasi

Beberapa imunisasi diperlukan untuk beberapa penyakit yang berisiko di daerah


terjadinya bencana. Menurut WHO beberpa imunisasi yang dianjurkan adalah:

 Imunisasi massal campak deperlukan bersama pemberian vitamin A


menjadi prioritas kesehatan segera setelah bencana alam di daerah dengan
tidak memadai tingkat cakupan imunisasi sebelumnya rendah. Kelompok
umur prioritas adalah anak-anak yang berumur 6 bulan sampai 5 tahun
serta anak sampai usia 15 tahun jika sumber dana memungkinkan.
 Vaksin Hepatitis A umumnya tidak dianjurkan untuk mencegah wabah di
bencana.

5. Pencegahan malaria

 Pencegahan penyakit malaria harus didasarkan pada informasi lokal,


termasuk pada spesies parasit dan vektor utama yang terdapat di daerah
bencana.
 Data penyakit malaria di tempat terjadinya bencana sangat penting sebagai
data awal untuk menyusun program pencegahan terjadinya
 Pelaksanaan langkah-langkah pencegahan penyakit malaria:
 Penyemprotan daerah tersebut dengan insektisida,
 Pengobatan bagi yang sudah terinfeksi sebelum bencana.
 Penggunaan kelambu berinsektisida
 Deteksi dini wabah malaria dengan monitoring terhadap kasus
mingguan dan harus menjadi bagian dari pengawasan serta
menjadi sistem peringatan dini terhadap malaria.
 Konfirmasi hasil laboratorium secara berkala secara cepat dan
tepat sangat direkomendasikan untuk melacak hasil slide positif.
 Pencarian secara aktif untuk kasus demam (suspek) untuk
mengurangi angka kejangkitan dan untuk mengurangi kematian.

6. Pencegahan Demam Berdarah

 Upaya pencegahan utama yang dilakukan adalah dengan cara pengendalian


vektor.
14
 Perubahan bentang alam akibat bencana alam jjuga diperkirakan akan
meningkatkan potensi hidupnya vektor. Oleh karena itu peningkatan
pengetahuan masyarakat melalui pendidikan kesehatan kepada masyarakat
harus terus ditingkatkan.
 Peningkatan pengetahuan akan menekankan tempat vektor penyakit DBD

7. Rencana kesiapsiagaan dalam pengendalian penyakit menular pada bencana

Dampak kesehatan yang berhubungan dengan bencana sering menjadi masalah


dalam penanganan bencana Perencanaan mulai dari fasilitas air bersih dan sanitasi
harus dipersiapkan pada saat mitigasi bencana. Tim tanggap bencana bidang
kesehatan harus menyadari dan memiliki akses ke update terbaru untuk
pengendalian dan pencegahan penyakit menular. Risiko penularan endemik
penyakit menular, seperti ISPA dan penyakit diare pada pengungsi yang meningkat
harus mendapat perhatian yang serius.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Faktor yang bisa menyebabkan masalah gizi antara lain ketersediaan air bersih,
sanitasi lingkunngan, penyakit menular dan gangguan kejiwaan pasca bencana.
Bencana juga menimbulkan situasi kedaruratan yang berpotensi berdampak pada
krisis pangan dan gizi. Hal ini terjadi karena pada saat kedaruratan ada beberapa
hal yang harus segera di intervensi seperti : masih ada kasus gizi buruk, gizi kurang
dan ada kelompok rentan, serta dapur umum (Salmayati, Hermansyah, &
Agussabti, 2016).

2. Masalah gizi yang bisa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan balita, bayi tidak
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena terpisah dari ibunya dan semakin
memburuknya status gizi kelompok masyarakat. Bantuan makanan yang sering
terlambat, tidak berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal
dapat memperburuk kondisi yang ada. Masalah lain yang seringkali muncul adalah
adanya bantuan pangan dari dalam dan luar negeri yang mendekati atau melewati
masa kadaluarsa, tidak disertai label yang jelas, tidak ada keterangan halal serta
melimpahnya bantuan susu formula bayi dan botol susu.

3. Penyakit Menular adalah penyakit yang disebut juga infeksi; yang dapat menular ke
manusia dimana disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan
parasite. Penularan bisa langsung atau melalui media atau vektor dan binatang
pembawa penyakit. Pada saat terjadinya bencana Potensi munculnya penyakit
menular sangat erat kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi
pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan pengungsi.

B. Saran

Saran kami terhadap semua pembaca hendaklah kita semua memahami terkait
Masalah Gizi dalam Kondis Bencana . Karena dengan memahami dengan baik maka akan
dapat meningkatkan pengetahuan kita.

16
DAFTAR PUSTAKA

Batalipu, N. R., & Yani, A. (2019). Manajemen Penanggulangan Gizi Pasca Bencana.

Departemen Kesehatan (Depkes ). 2001 Standar minimal penanggulangan masalah


kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi. Jakarta: Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan - Sekretariat Jenderal Depkes.

Dapertemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan


Akibat Bencana (mengacu pada standar Internasional), Jakarta.

Pan American Health Organization. 2000. Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan


Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Salmayati, S., Hermansyah, H. and Agussabti, A. (2016) ‘Kajian penanganan gizi balita
pada kondisi kedaruratan bencana banjir di kecamatan sampoiniet kabupaten aceh
jaya’, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 16(3), pp. 176–180.

Suryani, A. S. (2017) ‘Pemenuhan Kebutuhan Dasara Bidang Kesehatan Lingkungan


Bagi Penyintas Bencana Studi di Provinsi Riau dan Jawa Tengah’.

Tumenggung, I. (2017). MASALAH GIZI DAN PENYAKIT MENULAR PASCA


BENCANA. Health and Nutritions Journal, 2549-7618.

Tumenggung, I. (2018) ‘Masalah Gizi dan Penyakit Menular Pasca Bencana’, Journal
Health And Nutritions, 3(1), pp. 1–9.

Zulaekah S,2012 Pendidikan Gizi Dengan Media Booklet Terhadap Pengetahuan Gizi.
Jurnal Kesehatan Masyarakat 7 (2) 127-133

17

Anda mungkin juga menyukai