Anda di halaman 1dari 38

Mata Kuliah : Epidemiologi Kesehatan Darurat Lanjut

Dosen Pengajar : Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes

POTENSI EPIDEMI PENYAKIT MALARIA PASCABENCANA BERDASARKAN


TEORI PAN AMERICAN ORGANIZATION HEALTH (PAHO)

OLEH:

SITI RAHMAH

K012181107

EPIDEMIOLOGI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah tentang ‘Potensi
Epidemi Penyakit Malaria Pascabencana Berdasarkan Teori Pan American
Organization Health (Paho)”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah
Epidemiologi Kesehatan Darurat Lanjut.
Adapun makalah ini telah kami buat semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu, kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.
.

Makassar, November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah…. .................................................................... 3

C. Tujuan ........................................................................................... 3

BAB II. TINAJUAN PUSTAKA .................................................................... 4

A. Tinjaun Tentang Bencana .............................................................. 4

B. Tinjauan Tentang Penyakit Malaria ............................................... 12

BAB III. PEMBAHASAN ............................................................................... 20

A. Paparan Kerentanan Terhadap Penyakit Malaria Endemik .......... 20

B. Peningkatan Penyakit Menular Endemik Pada Penduduk Lokal . 24

C. Masalah Khusus dengan Penyakit Menular dalam Perkemahan .. 25

D. Penyakit Menular setelah Bencana ............................................... 27

BAB IV. PENUTUP ........................................................................................ 32

Kesimpulan .......................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 34

ii
BAB I
PEDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 Tahun 2007).
Bencana alam adalah peristiwa bencana dengan atmosfer, geologis dan
hidrologi. Bencana alam termasuk gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah
longsor, tsunami, banjir dan kekeringan. Bencana alam dapat memiliki onset
yang cepat atau lambat, dan kesehatan yang serius, sosial dan konsekuensi
ekonomi. Negara-negara berkembang adalah negara yang terpengaruh secara
tidak proporsional karena kurangnya sumber daya, infrastruktur, dan sistem
kesiapsiagaan bencana.
Indonesia merupakan negara berkembang yang terletak pada pertemuan
lempeng tektonik aktif, jalur pegunungan aktif, dan kawasan beriklim tropik,
sehingga menjadikan sebagian wilayahnya rawan terhadap bencana. Posisi
wilayah Indonesia yang berada di garis Katulistiwa dan berbentuk Kepulauan
menimbulkan potensi tinggi terjadinya berbagai jenis bencana hidrometeorologi,
yaitu banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca ekstrim (angin puting beliung),
abrasi, gelombang ekstrim dan kebakaran lahan dan hutan.
Data BNPB mencatat bahwa tren kejadian bencana Indonesia tahun 2003 –
2018 tertinggi pada tahun 2017 yaitu sebanyak 2.862 kejadian bencana dan
terendah pada tahun 2003 yaitu sebanyak 403 kejadian bencana. Data BNPB,
2019 juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan kejadian bencana di Indonesia
dari tahun 2017 sebanyak 2.862 kejadian menurun menjadi 2.572 kejadian
bencana pada tahun 2018. Jenis-jenis kejadian yang terjadi di Indonesia 10
tahun terakhir berupa banjir, tanah longsor, gelombang pasang, putting beliung,

1
kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi, tsunami, gempa bumi dan
tsunami dan letusan gunung api.
Data BNPB menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2018, kejadian
tertinggi terjadi di Jawa Tengah sebanyak 586 dan terendah terjadi di Kalimantan
utara sebanyak 1 kejadian. Sedangkan Sulawesi Selatan menempati urutan ke 5
setelah Jawa Tengah (586 kejadian), Jawa Timur (458 kejadian), Jawa Barat
(355 kejadian), Aceh (219 kejadian) dan Sulawesi Selatan (187 kejadian). BNPB
juga telah melaporkan bahwa jumlah korban jiwa diantaranya 5.395 jiwa
meninggal dan hilang, 19.610 jiwa yang luka-luka dan 603.873 jiwa mengungsi.
Bencana menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup
penduduk, termasuk kesehatan. Masalah kesehatan merupakan dampak utama
yang muncul pada kondisi pasca bencana. Timbulnya masalah kesehatan antara
lain berawal dari minimnya air bersih dan buruknya sanitasi lingkungan, yang
merupakan pintu awal penyebab terjadinya berbagai jenis penyakit menular.
Pada umumnya, penyakit menular yang muncul pasca bencana merupakan
penyakit endemis di wilayah itu. Bencana alam, terutama peristiwa meteorologi
seperti topan, badai dan banjir, dapat mempengaruhi tempat pemuliaan vektor
dan penularan penyakit melalui vektor. Penyakit menular melalui vector yang
muncul pasca terjadinya bencana, salah satunya adalah malaria.
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh
Plasmodium (parasit) yang ditularkan oleh vektor nyamuk Anopheles.
Plasmodium tersebut bermigrasi ke hati orang yang terinfeksi, kemudian masuk
ke aliran darah dan menginfeksi sel darah merah.
Secara umum, dampak dari penyakit malaria dapat mengakibatkan
menurunnya kualitas sumber daya manusia. Dampak klinisnya, malaria dapat
berimbas pada beberapa organ penting, di antaranya: Penyumbatan pembuluh
kapiler darah di otak, karena disebabkan oleh kerusakan sel darah merah;
pembesaran hati; pembesaran limpa; dan gagal ginjal akut. Dampak lebih lanjut,
apabila tidak segera ditangani maka malaria berat dapat menyebabkan kematian
(Kemenkes, 2017).

2
Malaria juga menimbulkan dampak yang berat pada kelompok rentan
seperti ibu hamil dan anak-anak. Ibu hamil yang terinfeksi malaria akan
mengalami anemia berat dan memiliki risiko lebih tinggi terhadap kematian janin.
Termasuk juga berpotensi mengalami gangguan perkembangan bayi ketika lahir,
seperti melahirkan bayi prematur dan berat badan lahir rendah. Kasus malaria
pada anak dapat menyebabkan anemia, yang dapat mengganggu pertumbuhan
dan mempengaruhi kecerdasan.
Dampak yang lebih besar dapat terjadi akibat penyebaran penyakit malaria
akibat bencana menyebar lebih cepat dari biasanya. Berpotensi menimbulkan
dampak yang lebih besar pada kelompok rentan. Maka dari itu, penulis tertarik
untuk mengetahui bagaimana potensi epidemi penyakit malaria.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana potensi epidemi penyakit malaria pascabencana Berdasarkan
Teori Pan American Organization Health (Paho)?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui potensi epidemi penyakit malaria pascabencana
Berdasarkan Teori Pan American Organization Health (Paho)
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui paparan kerentanan terhadap penyakit malaria
endemik
b. Untuk mengetahui peningkatan tingkat penyakit malaria endemik pada
penduduk lokal
c. Untuk mengetahui masalah khusus dengan penyakit malaria di populasi
yang dikuasai
d. Untuk mengetahui penyakit malaria setelah bencana

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Bencana


1. Pengertian Bencana
Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan korban dan
penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan,
kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda
dan dampak psikologis.
2. Surveilans Epidemiologi Setelah Bencana
Surveilans menurut WHO adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus-menerus serta
penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat
mengambil tindakan, baik oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat.
Surveilans dapat memungkinkan mengambil tindakan yang tepat untuk
diambil. Hal ini sangat penting dalam bencana dan kedaruratan karena
kerentanan dari populasi yang terkena dampak (bencana), perubahan
mendadak yang dapat terjasi dalam kesehatan karena sifat situasi yang tidak
stabil dan kebutuhan untuk berbagi data kuantitatif dengan cepat dengan
berbagai mitra agar dapat dilakukan dengan cepat tindakan efektif yang
tepat.
Penting untuk membentuk staf kesehatan khusus untuk surveilans
kesehatan masyarakat serta personel bantuan sementara pusat dan rumah
sakit. Mereka harus mewaspadai pasien dengan salah satu daftar penyakit

4
termasuk demam tifoid, kolera, tifus, wabah, meningitis serta keracunan yang
berlebihan termasuk keracunan makanan atau kasus malaria. Riwayat
penyakit harus dicatat dan dilaporkan, kontak yang diidentifikasikan dan
sumber penyakit. Sistem pelaporan diperluas untuk menciptakan sistem
surveilans diseluruh wilayah itu mencakup penyakit prioritas, termasuk
penyakit epidemic serius terkait air dan sanitasi.
Surveilans aktif terhadap pergerakan populasi dapat menyediakan data
untuk perencanaan darurat intervensi pemerintah dan untuk surveilans
penyakit umum. Sistem ini akan diperlukan untuk melacak lokasi pemukiman
besar dan padat untuk surveilans populasi. Informasi tersebut juga dapat
membantu untuk mengantisipasi pola masa depan dalam pengendalian.
Pendekatan yang paling efektif biasanya dilakukan memperluas rute dan pola
pelaporan yang digunakan oleh struktur administrasi yang ada didaerah
dimana orang-orang datang.
Negara-negara Amerika Latin memiliki pengalaman panjang dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit yang ditularkan melalui vektor. Oleh
karena itu, aman untuk mengasumsikan bahwa di daerah-daerah di mana
penyakit yang ditularkan melalui vektor penting bersifat endemik, departemen
kesehatan memiliki kegiatan pengendalian dalam operasi. Ini menyiratkan
ketersediaan data dasar, keberadaan kelompok inti ahli epidemiologi, ahli
entomologi dan kesehatan masyarakat yang dapat memberi nasihat tentang
langkah-langkah yang harus diambil; ketersediaan peralatan, manual, dan
materi pelatihan; dan dukungan logistik dan persediaan darurat.
Ketika bencana melanda faktor-faktor risiko penularan penyakit
meningkat, kegiatan pengendalian vektor terganggu dan rencana darurat
yang sudah ada harus menjadi operasional. Para ahli telah mencatat bahwa
sebagian besar rencana ini terlalu kaku dan harus disesuaikan dengan
keadaan setempat. Penggunaan sumber daya yang tersedia secara optimal
harus selalu diperhitungkan.
Dalam periode segera setelah badai, risiko tertular malaria, demam
berdarah atau ensefalitis dapat menurun sebagai akibat dari kerusakan

5
tempat berkembang biak vektor lokal. Situasi epidemiologis kemungkinan
akan berubah beberapa minggu kemudian. Penting untuk mengawasi
dampak tidak langsung dari bencana. Penghancuran saluran air akan
mendorong populasi untuk mengumpulkan air segar dalam wadah
sementara, yang merupakan tempat berkembang biak yang ideal untuk
nyamuk pembawa demam berdarah. Korban akibat gempa bumi dapat
meningkatkan permintaan untuk transfusi darah, risiko itu sendiri di daerah-
daerah di mana penyakit Chagas bersifat endemik. Kondisi kehidupan di
kamp sementara meningkatkan kontak manusia-vektor.
Kepadatan nyamuk yang dianggap bukan vektor penyakit cenderung
meningkat tak lama setelah badai menerjang. Meskipun nyamuk ini tidak
memiliki kepentingan medis, populasi yang terkena dampak menuntut dan
harus mendapatkan perhatian pada masalah gangguan.
Di Amerika Tengah Daratan, Karibia, dan Amerika Selatan Tropis
penyakit artropoda yang ditularkan meliputi malaria, leishmaniasis
mukokutan, leishmaniasis kulit difus, leishmaniasis visceral, leishmaniasis
visceral (kebutaan sungai), trypanosomiasis Amerika atau penyakit Chagas,
filariasis bancroftian, demam berdarah, demam berdarah, demam berdarah
demam berdarah (DBD), ensefalitis equine Venezuela, ensefalitis virus,
fasciolosis manusia, tularemia, demam hutan kuning, bartonellosis, demam
Oroya, tipus kutu, dan wabah.
Dalam konteks bencana alam, penyakit yang ditularkan oleh vektor
paling penting di Amerika adalah malaria, demam berdarah dan demam
berdarah dengue. Demam kuning perkotaan memiliki vektor demam
berdarah, tetapi demam kuning jarang menular di daerah perkotaan kecuali
saat terjadi epidemi. Selain itu, demam kuning dapat dicegah dengan vaksin
yang aman dan efektif. Saat ini tidak ada vaksin untuk malaria, demam
berdarah atau DBD.
Surveilans epidemiologi bencana menurut Pan American Health
Organization (PAHO) terdiri dari:
a. Faktor risiko untuk penyakit menular setelah bencana

6
b. Potensi epidemic penyakit menular pascabencana
c. Menyusun sistem surveilans Penyakit Menular & Penyakit Tidak Menular
d. Aspek operasional surveilans penyakit setelah bencana
e. Pengendalian penyakit menular setelah bencana
3. Potensi Epidemi Penyakit Menular Pascabencana Menurut Pan American
Health Organization (PAHO)
Tingkat penyakit yang sudah ada sebelumnya dalam komunitas yang
terkena bencana adalah salah satu dari enam parameter risiko. Secara teori,
tidak adanya suatu negara di negara yang terkena penyakit seperti malaria
menghilangkan kebutuhan akan surveilans, tetapi dalam praktiknya,
kebutuhan tersebut tidak dirasakan begitu saja. Rumor dan sumber informasi
tidak resmi lainnya sering menimbulkan kekhawatiran tentang malaria,
wabah, dan kondisi eksotis lainnya yang tidak diyakini endemik di suatu
daerah. Ahli epidemiologi tidak dapat selalu berasumsi bahwa karena
penyakit tidak pernah dilaporkan mereka tidak bertahan di komunitas
terpencil atau dalam populasi di mana tidak ada akses ke laboratorium
diagnostik kesehatan masyarakat. Penemuan baru-baru ini tentang fokus
endemik Vibrio cholerae di Amerika Serikat adalah contoh yang sangat baik
untuk poin ini. Jika pasien di Louisiana secara kebetulan didiagnosis setelah
badai atau periode banjir, opini publik akan menerima hubungan sebab-akibat
tanpa pertanyaan.
Pertimbangan kedua adalah kemungkinan bahwa agen penyakit
menular dapat dibawa ke daerah yang terkena dampak oleh pekerja bantuan,
atau dalam kendaraan atau persediaan transportasi. Ini dapat terjadi dalam
suatu negara atau, lebih dramatis, dari negara lain. Gempa bumi 1976 di
Guatemala, misalnya, terjadi selama musim dingin influenza di Amerika
Utara. Vektor dan agen penyakit menular juga dapat diperkenalkan dengan
kendaraan transportasi (khususnya pesawat terbang) atau dalam persediaan
bantuan. Di Amerika Latin dan Karibia, nyamuk Aedes aegypti dapat dengan
mudah masuk kembali ke daerah bebas vektor melalui kendaraan angkutan
udara atau darat yang berasal atau melewati daerah yang terinfestasi. Ketika

7
wabah eksplosif menunjuk ke sumber infeksi yang umum, ahli epidemiologi
juga harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa makanan kaleng atau
olahan yang digunakan untuk bantuan terkontaminasi. Aftosa, atau penyakit
kaki-dan-mulut, adalah contoh utama dari masalah kesehatan hewan serius
yang bersifat kesehatan masyarakat yang dapat ditularkan melalui daging
yang terinfeksi, persediaan bantuan yang terkontaminasi, dan sepatu pekerja
bantuan. Bencana alam yang besar tidak memberikan pembenaran untuk
meninggalkan tindakan pencegahan kesehatan masyarakat yang diterima
seperti membatasi kontak pasien dengan pekerja pertolongan yang sakit, dan
menyemprotkan pesawat atau menginspeksi mereka di pelabuhan masuk.
a. Paparan Kerentanan terhadap Penyakit Menular Endemik
Ada tiga cara di mana kerentanan dapat terpapar penyakit endemik
yang menyebabkan epidemi berikutnya atau peningkatan tingkat penyakit
setelah bencana. Secara singkat, ini terjadi melalui migrasi populasi
pedesaan ke daerah padat; migrasi populasi perkotaan ke daerah
pedesaan; dan imigrasi para korban ke daerah-daerah yang terkena
dampak bencana. Mengantisipasi masalah-masalah ini dan menerapkan
langkah-langkah pencegahan membutuhkan apresiasi terhadap pola
penyakit di negara-negara yang dilanda bencana.
1) Migrasi penduduk pedesaan ke daerah padat
Pada abad pertengahan, kelas-kelas istimewa mencoba
menghindari efek epidemi dengan melarikan diri dari kota-kota yang
berbahaya. Pola reaksi saat ini terhadap kekeringan, gangguan sipil,
dan banyak bencana alam adalah pola di mana populasi berkumpul
untuk makanan, keamanan, dan perawatan medis. Secara umum,
semakin banyak pedesaan dan terisolasi adalah migran seperti itu,
semakin besar kerentanan mereka terhadap penyakit menular yang
umum, terutama yang ditularkan melalui kontak aerosol atau orang-ke-
orang. Orang-orang dari komunitas yang tersebar juga kecil
kemungkinannya telah menerima imunisasi anak secara rutin. Ketika
populasi bermigrasi dari dataran tinggi ke kamp-kamp atau pusat-

8
pusat populasi di ketinggian yang lebih rendah, risiko penyakit yang
ditularkan melalui vektor tidak ditularkan pada ketinggian yang lebih
tinggi juga ditambahkan.
2) Migrasi populasi urban ke daerah pedesaan
Lebih jarang, populasi perkotaan mungkin dipaksa oleh
gangguan sipil, gempa bumi atau badai untuk pindah ke lingkungan
pedesaan. Dengan melakukan hal itu mereka dapat terkena penyakit
yang ditularkan melalui vektor, khususnya malaria. Penghancuran
Managua oleh gempa bumi pada tahun 1972 adalah peristiwa
semacam itu di Amerika. Tingkat keparahan malaria falciparum yang
resisten terhadap klorokuin di antara para pengungsi Kampouchean
adalah contoh lain baru-baru ini mengenai penularan penyakit menular
melalui migrasi perkota-pedesaan. Para pengungsi, pertama diusir dari
pusat-pusat populasi ke daerah pedesaan dengan indeks malaria
rendah, kemudian bermigrasi ke perbatasan Thailand melalui daerah
holoendemik.
3) Imigrasi kerentanan ke daerah yang terkena dampak
Pekerja bantuan internasional yang mendapat pengarahan
singkat atau kurang dipasok adalah jenis orang yang paling rentan
memasuki wilayah yang terkena dampak bencana. Selama Perang
Saudara Nigeria satu dekade yang lalu, ini adalah masalah yang
cukup serius sehingga efektivitas beberapa tim medis asing terancam.
Kegagalan untuk menghargai risiko malaria dan / atau keengganan
untuk menggunakan obat kemosupresif (mis., Klorokuin)
menyebabkan beberapa kasus penyakit, termasuk malaria serebral
dan satu kematian. Satu kelompok, ditugaskan untuk Biafra, lalai untuk
mendapatkan gammaglobulin profilaksis, dan sebelum itu bisa
diterbangkan, anggota tim dijadika tidak berdaya oleh hepatitis
menular.
Lembaga-lembaga bantuan yang telah lama menyadari risiko
penyakit yang rentan timbul, tetapi mereka menghadapi kesulitan

9
meyakinkan sukarelawan yang skeptis, tidak berpengalaman dan tidak
terawasi dari dimensi masalah. Kelompok sukarela ad hoc biasanya
dibentuk setelah bencana besar tertentu dan juga dibentuk di negara-
negara donor dengan kepentingan geografis khusus di negara yang
terkena dampak. Penyelenggara dan staf medis mereka dari kelompok
ad hoc harus berkonsultasi dengan agen yang lebih berpengalaman
atau salah satu manual yang sangat baik tentang menjaga kesehatan
wisatawan ke daerah tropis.
b. Peningkatan Tingkat Penyakit Menular Endemik pada Penduduk Lokal
Harus dipahami bahwa laporan penyakit menular harus diharapkan
meningkat selama periode pertolongan medis di masyarakat dengan
tingkat penyakit menular yang tinggi. Jika layanan medis tidak ada
sebelum bencana, melembagakannya sesudahnya tentu akan
meningkatkan tingkat penyakit yang jelas. Bahkan ketika layanan
kesehatan primer benar-benar ada sebelum bencana, pelaporan penyakit
secara teratur biasanya sangat tidak lengkap. Setelah bencana, laporan
bertambah karena jumlah unit pelaporan bertambah. Total populasi yang
dilayani juga bisa bengkak karena pergerakan ke daerah tersebut. Dokter
yang biasa berlatih di bawah kondisi lokal lain mungkin dihadapkan
dengan sindrom klinis yang tidak mereka kenal, dan mencoba membuat
diagnosis etiologis tanpa dukungan laboratorium diagnostik.
Selama epidemi didefinisikan sebagai jumlah tak terduga dari
kasus penyakit menular sangat penting untuk menentukan apakah
peningkatan penyakit itu nyata atau semu. Kecuali pada pengungsi yang
dikonfigurasikan, angka pasti dari total populasi yang berisiko jarang
tersedia untuk perhitungan tingkat kasus yang dilaporkan, yaitu jumlah
kasus yang dilaporkan dibagi dengan total populasi yang berisiko. Dengan
demikian, mungkin perlu melakukan survei cepat di masyarakat untuk
mencapai perkiraan seberapa umum suatu penyakit menular pada
populasi umum. Tren dapat dipantau dengan memeriksa laporan klinik
retrospektif dan prospektif dari pasien yang terlihat dengan kondisi

10
tersebut. Namun, bahkan ketika evaluasi dilakukan, mungkin sulit untuk
memutuskan apakah kenaikan tarif cukup signifikan untuk menjamin
mengambil langkah-langkah pengendalian darurat atau meminta
tambahan pasokan medis atau staf.
c. Masalah Khusus dengan Penyakit Menular dalam perkemahan
Pengalaman baik di era bersejarah dan modern telah berulang kali
menunjukkan bahwa ancaman komunikasi penyakit terbesar di antara
populasi yang padat, dan bahwa kemungkinan wabah serius meningkat
seiring dengan waktu. Bahayanya agak independen dari bencana alam
atau buatan manusia yang menghasilkan perkemahan. Petugas medis
pencegahan harus, oleh karena itu, lebih suka populasi yang terkena
dampak kembali ke rumah mereka atau segera dimukimkan kembali. Jika
hal ini tidak memungkinkan, perumahan penduduk di tempat sementara
yang tersebar dengan kerabat yang tidak terpengaruh, atau di komunitas
terdekat, lebih disukai daripada membentuk perkemahan. Namun,
administrator bantuan dari: sepuluh menanggapi perasaan naluriah bahwa
situasi dapat dikelola dengan lebih baik dan kebutuhan mereka yang
paling terkena dampak bencana lebih efisien disediakan ketika mereka
berkumpul.
Ketika tidak dapat dihindari untuk membentuk perkemahan untuk
waktu yang lama, risiko penyakit menular dapat dikurangi melalui
pengawasan ketat atas perhatian yang cermat terhadap sanitasi. Otoritas
sipil seringkali merasa sulit untuk mengorganisir dan kemudian
mempertahankan disiplin militer yang diperlukan tanpa batas. Jika kamp-
kamp tersebut ditempati oleh para pengungsi atau warga negara yang
berpikiran mandiri, mereka kemungkinan besar pada akhirnya akan
memberontak.
d. Penyakit Menular setelah Bencana
Bahkan di negara berkembang yang sangat miskin, wabah serius
penyakit menular sangat jarang terjadi setelah bencana alam yang tidak
melibatkan perkemahan penduduk. Ketahui pengecualian untuk hal ini

11
termasuk kasus leptospirosis, yang meningkat di Brasil setelah banjir,
bertambahnya masalah demam tifoid yang sedang berlangsung setelah
badai di Mauritius, dan kasus keracunan makanan di Dominika dan
Republik Dominika. Mungkin lebih mungkin bahwa pengalihan sumber
daya yang langka dari kegiatan kesehatan masyarakat normal ke bantuan
bencana, atau masalah ekonomi berikutnya yang diperburuk oleh
bencana, akan menyebabkan epidemi lama setelah peristiwa akut, seperti
dalam kebangkitan dan kegagalan berikutnya untuk memberantas
malaria. dari Haiti.
Dengan mengingat hal ini, dalam edisi ketiga belas (1981) dari
buku pegangan American Public Health Association berjudul Control of
Communicable Diseases in Man ada konsensus yang diuraikan yang
dicapai oleh para spesialis penyakit menular, perwakilan penghubung,
dan Pan American Health Pejabat Organisasi / Organisasi Kesehatan
Dunia tentang risiko relatif penyakit menular individu setelah bencana.

B. Tinjaun Tentang Penyakit Malaria


1. Pengertian Malaria
Penyakit malaria adalah salah satu penyakit yang penularannya melalui
gigitan nyamuk anopheles betina. Penyebab penyakit malaria adalah genus
plasmodia family plasmodiidae. Malaria adalah salah satu masalah
kesehatan penting di dunia. Secara umum ada 4 jenis malaria, yaitu tropika,
tertiana, ovale dan quartana. Di dunia ada lebih dari 1 juta meninggal setiap
tahun (Dirjen P2Pl, 2011).
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat
intraseluler dari genus plasmodium. Penyakit ini secara alami ditularkan oleh
gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit malaria ini dapat menyerang
siapa saja terutama penduduk yang tinggal di daerah dimana tempat tersebut
merupakan tempat yang sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk
berkembang.

12
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari
genus Plasmodium yang dapat dengan mudah dikenali dari gejala meriang
(panas, dingin dan menggigil) serta demam berkepanjangan. Penyakit ini
menyerang manusia dan juga sering ditemukan pada hewan berupa burung,
kera, dan primata lainnya (Achmadi, 2008).
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
(Plasmodium) yang ditularkan oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi (vector
borne desease). Malaria pada manusia dapat disebabkan oleh P. malariae,
P. vivax, dan P. ovale. Pada tubuh manusia, parasit membelah diri dan
bertambah banyak di dalam hati dan kemudian menginfeksi sel darah merah
(Depkes RI, 2008).
Penyakit malaria juga dapat dikatakan sebagai penyakit yang muncul
kembali (reemerging disease). Hal ini disebabkan oleh pemanasan global
yang terjadi karena polusi akibat ulah manusia yang menghasilkan emisi dan
gas rumah kaca, seperti CO2, CFC, CH3, NO, Perfluoro Carbon dan Carbon
Tetra Fluoride yang menyebabkan atmosfer bumi memanas dan merusak
lapisan ozon, sehingga radiasi matahari yang masuk ke bumi semakin
banyak dan terjebak di lapisan bumi karena terhalang oleh rumah kaca,
sehingga temperatur bumi kian memanas dan terjadilah pemanasan global
(Soemirat, 2004).

2. Determinan Epidemiologi Malaria

13
Spektrum Determinan Epidemiologi malaria sangat luas yaitu dari aspek
faktor agen, riwayat alamiah malaria, faktor lingkungan, faktor pencegahan
dan pengobatan, faktor rumah tangga, sosial ekonomi bahkan politik. Malaria
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit (Plasmodium sp) yang
hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah (eritrosit) manusia
ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles sp) betina, dapat menyerang
semua orang baik laki-laki ataupun perempuan pada semua golongan umur
dari bayi, anak-anak dan orang dewasa. Parasit ini ditularkan dari satu orang
ke orang lainnya melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Parasit harus
melewati siklus hidup pada tubuh nyamuk dan manusia sebelum ditularkan.
a. Faktor Agent : Plasmodium sp
Penyebab malaria adalah parasit dari genus Plasmodium sp, dan
terdiri dari 4 spesies: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Baru-baru ini melalui
metode Polymerase Chain Reaction (PCR) ditemukan jenis Plasmodium
lain yaitu Plasmodium knowlesi. Plasmodium ini masih dalam proses

14
penelitian dan ditemukan pertama kali di Sabah. Reservoar utama
Plasmodium ini adalah kera ekor panjang (Macacasp).
b. Faktor manusia (host intermdiate)
Faktor yang mempengaruhi antara lain:
1) Ras (suku bangsa). Penduduk dengan prevalensi Hemoglobin S (HbS)
tinggi lebih tahan terhadap akibat infeksi P.falsiparum.
2) Kekurang enzim tertentu, misalnya G6PD (glokosa 6 fosfat
dehidrogenase) juga memberikan perlindungan terhadap infeksi
P.falsiparum.
3) Kekebalan (imunitas) di daerah endemis malaria, adalah :
a) Anti parasitic immunity adalah bentuk immunitas yang mampu
menekan pertumbuhan parasit dalam derajat sangat rendah namun
tidak sampai nol, hingga mencegah hiperparasitemia.
b) Anti disease imunity adalah bentuk imunitas yang mampu
mencegah terjadinya gejala penyakit tanpa ada pengaruh terhadap
jumlah parasit.
c) Premunition adalah keadaan semi-imun dimana respon imun
mampu menekan pertumbuhan parasit dalam jumlah rendah
namun tidak sampai nol, mencegah hiperparasitemia dan menekan
virulensi parasit, hingga kasus tidak bergejala/sakit. (White NJ,
1996)
4) Umur dan jenis kelamin.
c. Faktor Nyamuk (host definitive)
Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah, karena
diperlukan untuk pertumbuhan telurnya. Nyamuk betina hanya kawin satu
kali selama hidupnya dan terjadi setelah 24-48 jam dari saat keluar dari
kepompong. Oleh karena itu sarang nyamuk banyak ditemukan di telaga,
rawa, sawah, tempat penampungan air, bekas jejak ban mobil dan lain-
lain. Nyamuk dewasa dapat terbang sampai sejauh 1,5 km. Nyamuk
jantan dewasa tidak berbahaya untuk manusia, tetapi nyamuk betina
berbahaya karena ia mengisap darah untuk kelangsungan hidupnya.

15
Nyamuk Anopheles suka menggigit pada sore menjelang malam hari
hingga menjelang pagi, namun pada siang hari di tempat-tempat yang
gelap atau yang terhindar/tertutup dari sinar matahari.
1) Perilaku nyamuk yang penting adalah:
a) Tempat hinggap atau istirahat: eksofilik (di luar rumah) dan
endofilik (di dalam rumah)
b) Tempat menggigit : eksofagik (di luar rumah) dan endofilik (di
dalam rumah)
c) Obyek yang digigit : antrofofolik (menggigit manusia) dan zoofilik
(menggigit hewan).
2) Umur nyamuk (longevity). Nyamuk dewasa dapat hidup selama dua
minggu sampai beberapa bulan dengan perkembangbiakan nyamuk,
pada fase jentik dan kepompong selalu memerlukan air.
3) Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit
4) Frekuensi menggigit menusia
5) Siklus gonotrofik, yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur.
d. Faktor Lingkungan (environment)
1) Fisik, meliputi : suhu udara, kelembaban, hujan, angin, sinar matahari,
arus air, iklim
2) Kimiawi, meliputi : pengaruh kadar garam dari tempat perindukan,
seperti An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau (kadar garam 12–
18) dan tidak dapat berkembang pada kadar garam 40 keatas,
An.letifer dapat hidup di tempat yang asam atau pH rendah.
3) Biologik, meliputi :
a) Adanya bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar
matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya.
b) Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala
timah (panchaxspp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan
mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah.

16
c) Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi
jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut
dikandangkan tidak jauh dari rumah.
4) Sosial budaya, meliputi :
a) Kebiasaan berada di luar rumah sampai larut malam, dimana
vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan
gigitan nyamuk.
b) Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan
mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk menaggulangi malaria
antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan
kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan
obat nyamuk.
c) Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan,
pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman
baru / transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan
yang menguntungkan penularan malaria (man made malaria).
d) Peperangan dan perpindahan penduduk.
e) Meningkatnya pariwisata dan perjalanan dari dan ke daerah
endemik sehingga meningkatnya kasus malaria yang diimpor.
3. Cara Penularan
a. Penularan secara alamiah (Natural Infection)
Penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles. Nyamuk ini
jumlahnya kurang lebih ada 80 jenis dan dari 80 jenis itu, hanya kurang
lebih 16 jenis yang menjadi vektor penyebar malaria di Indonesia.
Penularan secara alamiah terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina yang telah terinfeksi oleh Plasmodium. Sebagian besar spesies
menggigit pada senja dan menjelang malam hari. Beberapa vektor
mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan menjelang
fajar. Setelah nyamuk Anopheles betina mengisap darah yang
mengandung parasit pada stadium seksual (gametosit), gamet jantan dan
betina bersatu membentuk ookinet di perut nyamuk yang kemudian

17
menembus di dinding perut nyamuk dan membentuk kista pada lapisan
luar dimana ribuan sporozoit dibentuk. Sporozoit-sporozoit tersebut siap
untuk ditularkan. Pada saat menggigit manusia, parasit malaria yang ada
dalam tubuh nyamuk masuk ke dalam darah manusia sehingga manusia
tersebut terinfeksi lalu menjadi sakit.
b. Penularan yang tidak alamiah
1) Malaria bawaan (congenital)
Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita
malaria. Penularan terjadi melalui tali pusat atau plasenta.
2) Secara mekanik
Penularan terjadi melalui transfusi darah melalui jarum suntik.
Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para morfinis yang
menggunakan jarum suntik yang tidak steril.
3) Secara oral (melalui mulut)
Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P.
gallinasium), burung dara (P. relectum) dan monyet (P. knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah
manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa
gejala klinis.
4. Pencegahan Penyakit Malaria
Pencegahan malaria secara garis besar mencakup tiga aspek sebagai
berikut:
a) Mengurangi pengandung gametosit yang merupakan sumber infeksi
(reservoar). Hal tersebut dapat dicegah dengan jalan mengobati penderita
malaria akut dengan obat yang efektif terhadap fase awal dari siklus
eritrosit aseksual sehingga gametosit tidak sempat terbentuk didalam
darah penderita. Selain itu, jika gametosit telah terbentuk dapat dipakai
jenis obat yang secara spesifik dapat membunuh gametosit (obat
gametosida).

18
b) Memberantas nyamuk sebagai vektor malaria
Memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan menghilangkan
tempat-tempat perindukan nyamuk, membunuh larva atau jentik dan
membunuh nyamuk dewasa. Pengendalian tempat perindukan dapat
dilakukan dengan menyingkirkan tumbuhan air yang menghalangi aliran
air, melancarkan aliran saluran air dan menimbun lubang-lubang yang
mengandung air.
Jentik nyamuk diberantas dengan menggunakan solar atau oli yang
dituangkan ke air, memakai insektisida, memelihara ikan pemangsa jentik
nyamuk (ikan kepala timah atau Gambusia Affinis), memelihara Crustacea
kecil pemangsa jentik (Genus Mesocyclops) atau memanfaatkan bakteri
Bacillus thuringiensis yang menginfeksi dan membunuh jentik nyamuk.
Untuk negara-negara berkembang, telah ditemukan teknologi sederhana
untuk mengembangbiakkan bakteri di atas dengan memakai air kelapa
sebagai media kulturnya.
Nyamuk dewasa dapat diberantas dengan menggunakan insektisida,
biasanya dengan cara disemprotkan. Peran DDT sekarang diganti oleh
insektisida sintetis dari golongan kimia lain, yang masih efektif. Akhir-akhir
ini telah dikembangkan teknik genetika untuk mensterilkan nyamuk
Anopheles dewasa.
c) Melindungi orang yang rentan dan berisiko terinfeksi malaria
Secara prinsip upaya ini dikerjakan dengan cara sebagai berikut:
1) Mencegah gigitan nyamuk
2) Memberikan obat-obat untuk mencegah penularan malaria
3) Memberi vaksinasi (belum diterapkan secara luas dan masih dalam
tahap riset atau percobaan di lapangan).

19
BAB III
PEMBAHASAN

A. Paparan Kerentanan terhadap Penyakit Malaria endemik


Bencana gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung merapi, dalam
jangka pendek dapat berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat
yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular,
kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health
Organization, 2006).
Suatu situasi di mana suatu bencana dapat memengaruhi kerentanan
populasi. Ada tiga kondisi di mana kerentanan dapat terpapar penyakit endemik
yang menyebabkan epidemi berikutnya atau peningkatan tingkat penyakit
setelah bencana. Secara singkat, ini terjadi melalui migrasi populasi pedesaan
ke daerah padat; migrasi populasi perkotaan ke daerah pedesaan; dan imigrasi
para korban ke daerah-daerah yang terkena dampak bencana.
1. Migrasi penduduk pedesaan ke daerah padat
Orang-orang sering berkumpul atau dengan nama lain pengungsi untuk
mendapatkan makanan, keselamatan, dan perawatan medis setelah
bencana. Kemungkinan yang terjadi, meningkatnya kejadian aerosol atau
penyakit menular dari orang ke orang. Penyakit yang ditularkan vektor dapat
meningkat pada kelompok ini, salah satunya yaitu penyakit malaria.
Potensi penyakit menular (malaria) sebanding dengan populasi kepadatan
dan perpindahan. Kondisi ini meningkatkan tekanan pada air dan persediaan
makanan dan risiko kontaminasi (seperti di kampung-kampung pengungsian),
gangguan layanan sanitasi yang sudah ada sebelumnya seperti air pipa dan
air limbah, dan kegagalan untuk mempertahankan atau mengembalikan
program kesehatan masyarakat yang normal dalam waktu dekat periode
bencana.
Dalam jangka panjang, peningkatan penyakit malaria yang ditularkan
karena gangguan upaya pengendalian vektor, terutama setelah hujan lebat
dan banjir. Insektisida residu dapat tersapu bersih dari bangunan dan jumlah

20
tempat berkembang biak nyamuk dapat meningkat. Apalagi perpindahan
hewan peliharaan di dekat pemukiman manusia. Dalam bencana kompleks di
mana kekurangan gizi, kepadatan, dan sanitasi dasar buruk.
Dalam kondisi darurat, penyakit yang paling gampang menimbulkan
Kejadian Luar Biasa adalah malaria. Malaria gampang menular pada daerah
pengungsian yang padat dan lingkungan jelek, serta malaria merupakan
ancaman karena pengungsi tidur di luar rumah tanpa perlindungan terhadap
gigitan nyamuk. Patut diperhitungkan juga ancaman tambahan, jika musim
hujan akan segera tiba. Potensi penyakit malaria berpotensi terjadi pada
masyarakat yang rentan terutama pada pada ibu hamil dan anak-anak.
Kondisi tempat pengungsian yang padat, terisi oleh pengungsi dari
beragam latar belakang serta usia, semakin mempermudah penyebaran
penyakit menular seperti malaria. Tidak hanya karena kondisi yang padat,
aktivitas pengungsi yang lebih banyak di luar ruangan menyebabkan nyamuk
malaria lebih mudah menggigit.
Kontak manusia yang lebih dekat dengan sendirinya meningkatkan
potensi penyebaran penyakit di udara. Ini merupakan bagian dari
peningkatan akut yang dilaporkan infeksi pernafasan setelah bencana. Selain
itu, layanan sanitasi yang tersedia sifat buruk seringkali tidak memadai untuk
mengatasi peningkatan populasi yang tiba-tiba.
2. Migrasi populasi di perkotaan ke daerah pedesaan
Populasi perkotaan yang mungkin terpaksa pindah ke lingkungan
pedesaan yang diakibatkan dari bencana, seperti: gempa bumi atau badai.
Lingkungan tersebut dapat terjadi dua kemungkinan yaitu lebih sehat atau
tidak (kondisi tambah memburuk). Kondisi buruk yang kemungkinan terjadi
pada pengungsi diantaranya:
a. Keadaan sosial budaya, misalnya adanya perbedaan kepercayaan dan
budaya yang berbeda akan mempengaruhi keadaan masyarakat.
b. Kondisi yang berkaitan dengan faktor psikologis, misalnya keadaan
dimana terjadi kekhawatiran, ketakutan, kepanikan dan faktor-faktor
lainnya.

21
c. Atau kondisi lain, yang dimana kondisi pedesaan yang merupakan daerah
endemis terhadap penyakit malaria sehingga populasi perkotaan yang
berpindah ke pedesaan berpotensi terkena penyakit malaria.
Potensi penularan penyakit menular setelah bencana dikaitkan dengan
karakteristik dari populasi yang mengungsi, khususnya kedekatannya air
yang aman dan kakus yang berfungsi, status gizi dari populasi pengungsi,
tingkat kekebalan terhadap vaksin dan penyakit yang dapat dicegah seperti
dan akses untuk layanan kesehatan.
Wabah jarang dilaporkan dalam populasi yang terkena bencana
daripada di yang terkena dampak konflik populasi, di mana dua pertiga dari
kematian mungkin berasal penyakit menular. Malnutrisi meningkatkan risiko
untuk kematian akibat penyakit menular dan lebih umum dalam populasi yang
terkena dampak konflik, terutama jika mereka perpindahan terkait dengan
konflik jangka panjang.
Perpindahan populasi dari perkotaan ke pedesaan, hal itu dapat terkena
penyakit yang ditularkan melalui vektor, khususnya malaria. Contohnya,
Penghancuran Managua oleh gempa bumi pada tahun 1972 adalah peristiwa
semacam itu di Amerika. Tingkat keparahan malaria falciparum yang resisten
terhadap klorokuin di antara para pengungsi Kampouchean adalah contoh
lain baru-baru ini mengenai penularan penyakit menular melalui migrasi
perkota-pedesaan. Para pengungsi, pertama diusir dari pusat-pusat populasi
ke daerah pedesaan dengan indeks malaria rendah, kemudian bermigrasi ke
perbatasan Thailand melalui daerah holoendemik.
3. Imigrasi kerentanan ke daerah yang terkena dampak
Pekerja bantuan internasional (relawan) yang mendapat pengarahan
singkat atau kurang dipasok adalah jenis orang yang paling rentan memasuki
wilayah yang terkena dampak bencana. Kegagalan untuk menghargai risiko
malaria dan / atau keengganan untuk menggunakan obat kemosupresif
(mis,Klorokuin) menyebabkan beberapa kasus penyakit, termasuk malaria
serebral dan satu kematian.

22
Lembaga-lembaga bantuan yang telah lama menyadari risiko penyakit
yang rentan timbul, tetapi mereka menghadapi kesulitan meyakinkan
sukarelawan yang skeptis, tidak berpengalaman dan tidak terawasi dari
dimensi masalah. Lembaga- lembaga yang tidak berpengalaman atau tidak
siap dalam kondisi mental dan fisik akan rentan tertular atau menularkan
penyakit.
Ancaman penyakit ini muncul sebagai dampak dari buruknya sanitasi,
kesulitan air bersih, dan membusuknya mayat yang belum ditemukan
ataupun belum dikubur. Kondisi semacam ini, jika tidak diantisipasi akan
berdampak pada korban bencana yang masih hidup, bahkan terhadap para
tim relawan dan petugas yang membantu penanganan pascabencana di
lapangan. Hal tersebut juga berkaitan dengan prekonomian atau pemberian
bantuan. Keluar masuknya relawan dan barang-barang yang merupakan
bantuan dapat diduga atau dicurigai mengakibatkan penularan atau
penyebaran penyakit. Terdapat 3 hal yang memungkinkan petugas atau
relawan terinfeksi atau menularkan penyakit baru diantaranya:
a. Melalui orang-orang
Petugas penanggulangan bencana yang bepergian selama inkubasi
atau bahkan dengan penyakit akut dapat menyebabkan penyakit baru
atau serotipe penyakit yang berbeda yang bersifat endemik lokal.
b. Melalui transportasi
Ini berlaku untuk vektor. Karena vektor transportasi udara yang cepat
dari penyakit yang terinfeksi atau tidak, dapat dimasukkan ke negara yang
sebelumnya masih belum pernah terdapat penyakit malaria ( penyakit
malaria mungkin diperkenalkan dengan cara ini).
c. Melalui donasi/sumbangan
Dua barang bantuan penting dalam hal ini adalah makanan dan
pakaian. Keduanya mungkin telah terkontaminasi sebelum sumbangan
dan bertanggung jawab atas wabah eksplosif.

23
B. Peningkatan Penyakit Menular Endemik pada Penduduk Lokal
Laporan penyakit menular diperkirakan meningkat selama periode
pertolongan medis di masyarakat dengan tingkat penyakit menular yang tinggi.
Setelah bencana, laporan bertambah karena jumlah unit pelaporan bertambah.
Selama epidemi didefinisikan sebagai jumlah tak terduga dari kasus penyakit
menular yang sangat penting untuk menentukan apakah peningkatan penyakit
itu nyata atau semu. Kecuali pada pengungsi yang dikonfigurasikan, angka pasti
dari total populasi yang berisiko jarang tersedia untuk perhitungan tingkat kasus
yang dilaporkan, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan dibagi dengan total populasi
yang berisiko.
Seiring dengan minggu-minggu berlalu setelah bencana, masyarakat
cenderung menjadi semakin kurang peduli tentang risiko penyakit epidemi di
wilayah yang terkena, atau timbulnya kembali penyakit seperti malaria.
Surveilans penyakit menular penting dan harus dilanjutkan sampai sistem
pelaporan penyakit kembali normal.
Penyebab peningkatan penyakit menular seringkali terjadi karena kondisi
yang sanitasi yang buruk dan kurangnya air minum. Epidemi penyakit menular
setelah bencana awal yang cepat adalah dianggap tidak biasa, tetapi ini bukan
kasus untuk keadaan darurat. Untuk mengetahui potensi terjadinya peningkatan
penyakit menular pada penduduk lokal maka harus dilakukan survey cepat.
Dengan demikian, perlu melakukan survei cepat di masyarakat untuk
mencapai perkiraan seberapa umum suatu penyakit menular pada populasi
umum. Tren dapat dipantau dengan memeriksa laporan klinik retrospektif dan
prospektif dari pasien yang terlihat dengan kondisi tersebut. Namun, bahkan
ketika evaluasi dilakukan, mungkin sulit untuk memutuskan apakah kenaikan
penyebaran penyakit tinggi, cukup signifikan untuk menjamin mengambil
langkah-langkah pengendalian darurat atau meminta tambahan pasokan medis
atau staf.
Surveilans aktif terhadap pergerakan populasi dapat menyediakan data
untuk perencanaan darurat intervensi pemerintah dan untuk surveilans penyakit
umum. Sistem ini akan diperlukan untuk melacak lokasi pemukiman besar dan

24
padat untuk surveilans populasi. Informasi tersebut juga dapat membantu untuk
mengantisipasi pola masa depan dalam pengendalian. Pendekatan yang paling
efektif biasanya dilakukan memperluas rute dan pola pelaporan yang digunakan
oleh struktur administrasi yang ada didaerah. Surveilans yang telah dilakukan
sebagai langkah untuk pengendalian darurat dan pengambilan keputusan untuk
penentuan kebutuhan baik dari segi logistik maupun tenaga yang dibutuhkan.

C. Masalah Khusus dengan Penyakit Menular dalam perkemahan


Pengalaman baik di era bersejarah dan modern telah berulang kali
menunjukkan bahwa ancaman penyakit terbesar di antara populasi yang padat,
dan bahwa kemungkinan wabah serius meningkat seiring dengan waktu.
Bahayanya agak independen dari bencana alam atau buatan manusia yang
menghasilkan perkemahan. Petugas medis pencegahan harus, oleh karena itu,
lebih suka populasi yang terkena dampak kembali ke rumah mereka atau segera
dimukimkan kembali. Jika hal ini tidak memungkinkan, perumahan penduduk di
tempat sementara yang tersebar dengan kerabat yang tidak terpengaruh, atau di
komunitas terdekat, lebih pilih daripada membentuk perkemahan untuk
mengungsi.
Masalah khusus seperti perang sipil dan konflik menghasilkan
serangkaian masalah kesehatan masyarakat yang berbeda dan kendala
operasional. Setelah bencana alam besar, perilaku jarang mencapai kepanikan
umum atau tertegun menunggu. Tindakan individu yang spontan namun sangat
terorganisir timbul sebagai tanda selamat dengan cepat pulih dari guncangan
awal mereka dan mulai sengaja mencapai tujuan pribadi yang jelas.
Korban gempa sering memulai pencarian dan penyelamatan kegiatan
beberapa menit setelah dampak dan dalam beberapa jam mungkin telah
mengatur diri ke dalam kelompok untuk mengangkut yang terluka ke pos medis.
Perilaku antisosial aktif seperti penjarahan luas terjadi hanya dalam keadaan luar
biasa. Meskipun semua orang berpikir reaksi spontannya sepenuhnya rasional,
mereka dapat merusak kepentingan komunitas yang lebih tinggi. Seseorang
saling bertentangan, peran sebagai kepala keluarga dan pejabat kesehatan,

25
misalnya, ada dalam beberapa kasus mengakibatkan personil bantuan utama
tidak melapor untuk bertugas sampai kerabat dan properti mereka aman.
Banyak desas-desus, terutama epidemi penyakit menular. Akibatnya,
tekanan cukup besar dapat ditempatkan pada pihak berwenang untuk
melakukan pekerjaan kemanusiaan darurat seperti vaksinasi massal melawan
tipus atau kolera, tanpa alasan medis yang kuat. Selain itu, orang mungkin
enggan untuk tunduk pada langkah-langkah yang berwenang berpikir perlu.
Selama periode peringatan, atau setelah terjadinya bencana alam. Singkatnya,
orang enggan untuk mengungsi, bahkan jika rumah mereka kemungkinan besar
sudah atau sudah ada telah dihancurkan.
Pola perilaku ini memiliki dua dampak besar bagi mereka yang membuat
keputusan. tentang program-program kemanusiaan. Pertama, pola perilaku dan
tuntutan bantuan darurat dapat dibatasi dan dimodifikasi dengan menjaga
populasi tetap dibentuk dan dengan memperoleh informasi yang diperlukan
sebelum memulai perpanjangan program. Kedua, populasi itu sendiri akan
menyediakan sebagian besar penyelamatan dan pertolongan pertama,
membawa yang terluka ke rumah sakit jika mereka dapat diakses, membangun
tempat pengungsian sementara, dan melaksanakan tugas-tugas penting lainnya.
Oleh karena itu, sumber daya tambahan harus diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh mereka sendiri.
Penanganan masalah konflik tersebut harus diatasi agar dapat
mengurangi potensi terjadinya atau penularan penyakit malaria. Asosiasi
kesehatan masyarakat Amerka (APHA) menegaskan pentingnya tindakan
segera untuk mengurangi ancaman penyakit menular dan wabah pascabencana.
Pemerintah dan para tim relawan di lapangan harus menjamin ketersediaan
pelayanan kesehatan di lapangan masyarakat lebih memilih untuk mengungsi di
tempat yang telah disediakan daripada kembali ke rumah mereka.
Monitoring dan surveilans ketat terhadap faktor lingkungan (air, sanitasi,
penanganan sampah) dan pengendalaian vektor penyakit (nyamuk dan lalat)
harus mulai diperhatikan. Kelompok-kelompok rentan seperti ibu hamil, bayi,

26
anak-anak, orang tua, serta orang cacat harus didata agar bisa mendapat
pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya.
Pemerintah juga perlu menjamin obatan-obatan dan logistik, termasuk
peralatan yang disediakan sesuai dengan standar dan aturan pemerintah
Indonesia. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelayan obat-obatan
dan logistik kesehatan adalah pemilihan item yang relevan dengan prioritas
kondisi kesehatan setempat dan harus tersedia setiap saat di fasilitas kesehatan.

D. Penyakit Menular setelah Bencana


Bahkan di negara berkembang yang sangat miskin, wabah serius penyakit
menular sangat jarang terjadi setelah bencana alam yang tidak melibatkan
perkemahan penduduk . Mungkin lebih mungkin bahwa pengalihan sumber daya
yang langka dari kegiatan kesehatan masyarakat normal ke bantuan bencana,
atau masalah ekonomi berikutnya yang diperburuk oleh bencana, akan
menyebabkan epidemi lama setelah peristiwa akut, seperti dalam kebangkitan
dan kegagalan berikutnya untuk memberantas malaria.
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lehih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: Bayi
dan anak-anak; Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; Penyandang
cacat; dan Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersehut,
dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata
Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan 'orang sakit' sebagai bagian
dari kelompok rentan dalam kondisi bencana.
Permasalahan kecukupan gizi dijumpai pada kelompok penduduk rentan
balita dan ibu hamil, sedangkan kondisi fisik yang memerlukan perhatian
terutama dijumpai pada kelompok rentan ibu baru melahirkan, korban cedera,
serta penduduk yang berada dalam kondisi tidak sehat.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 UU No 24 tahun 2007,
pelayanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus

27
dipenuhi pada kondisi bencana, di samping kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya:
air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, Pelayanan psikososial serta
penampungan dan tempat hunian.
Bencana alam biasanya tidak menghasilkan wabah besar penyakit
menular, walaupun dalam keadaan tertentu terkadang meningkatkan potensi
penularan penyakit. Peningkatan penyakit yang paling sering diamati adalah
insiden penyakit yang disebabkan oleh kontaminasi feses air dan makanan; air
dan sanitasi, contohnya penyakit malaria.
Risiko wabah penyakit menular sebanding dengan populasi kepadatan
dan perpindahan. Kondisi ini meningkatkan tekanan pada air dan persediaan
makanan dan risiko kontaminasi (seperti di kamp-kamp pengungsian), gangguan
layanan sanitasi yang sudah ada sebelumnya seperti air pipa dan air limbah, dan
kegagalan untuk mempertahankan atau mengembalikan program kesehatan
masyarakat yang normal dalam waktu dekat periode bencana. Adapun penyakit
yang terkait dengan bencana diantaranya:
1. Penyakit yang ditularkan melalui air
a. Penyakit diare
Wabah penyakit diare dapat terjadi setelah kontaminasi air minum,
dan telah dilaporkan setelah banjir dan perpindahan terkait. Risiko wabah
penyakit diare setelah bencana alam di Indonesia lebih tinggi pada
Negara berkembang daripada di negara maju. Di Provinsi Aceh,
Indonesia, Penilaian kesehatannya cepat dilakukan di kota Calang dua
minggu setelah tsunami Desember 2004 dan menemukan bahwa 100%
orang yang selamat minum dari sumur yang tidak terlindungi, dan 85%
penduduk melaporkan diare dalam dua minggu sebelumnya.
b. Hepatitis A dan E
Hepatitis A dan E terkait dengan kekurangan akses ke air bersih dan
sanitasi. Hepatitis A adalah endemik di sebagian besar negara
berkembang dan anak-anak terpapar dan mengembangkan kekebalan
pada usia dini. Akibatnya, risiko wabah besar biasanya rendah di
pengaturan ini. Di daerah endemik, hepatitis E wabah sering terjadi

28
setelah hujan lebat dan banjir; umumnya ringan, tetapi pada wanita hamil
tingkat fatalitas kasus bisa mencapai 25%.
c. Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit bakteri zoonosis yang ditularkan
melalui kontak kulit dan selaput lendir dengan air, vegetasi basah, atau
lumpur yang terkontaminasi urin hewan pengerat. Tikus yang terinfeksi
menularkan leptospira dalam jumlah besar ke dalam urin mereka. Banjir
memfasilitasi penyebaran organisme karena proliferasi hewan pengerat
dan kedekatan dari tikus ke manusia di dataran tinggi bersama. Wabah
leptospirosis terjadi di Taiwan, Cina, terkait dengan Topan Nali pada
tahun 2001 dan menyusul banjir di tahun Mumbai, India, pada tahun 2000.
2. Penyakit yang terkait dengan kepadatan
a. Campak
Campak dan risiko penularan pada populasi yang terpengaruh
bencana tergantung pada tingkat cakupan vaksinasi dasar di antara
populasi yang terkena dampak, dan khususnya di antara anak-anak
berusia <15 tahun. Kondisi kehidupan yang penuh sesak, seperti yang
biasa terjadi di antara orang-orang tergeser oleh bencana alam,
memfasilitasi penularan dan bahkan membutuhkan lebih tinggi tingkat
cakupan imunisasi untuk mencegah wabah. Di Aceh setelah tsunami,
sekelompok campak melibatkan 35 kasus terjadi di kabupaten Aceh
Utara, dan kasus sporadis berlanjut umum meskipun telah dilakukan
kampanye vaksinasi massal. Kasus sporadis dan kelompok campak (>
400 kasus klinis dalam enam bulan setelah gempa bumi) juga terjadi di
Indonesia.
b. Maningitis
Meningitis yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis ditularkan
dari orang ke orang, khususnya dalam situasi padat atau crowding. Di
antara mereka ada kasus dan kematian akibat meningitis pengungsi di
Aceh dan Pakistan telah dilaporkan. Respons cepat dengan profilaksis

29
antibiotik, seperti yang terjadi di Aceh dan Pakistan, dapat mengurangi
penularan.
c. Infeksi Saluran Penapasan Akut (ISPA)
Infeksi pernapasan akut (ISPA) merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di antara mereka populasi pengungsi, terutama
pada anak-anak berusia <5 tahun. Kurangnya akses ke kesehatan
layanan dan antibiotik untuk perawatan semakin meningkatkan risiko
kematian akibat ISPA. Risiko faktor-faktor di antara orang-orang yang
dipindahkan termasuk berkerumun, pajanan untuk memasak di dalam
ruangan dan miskin nutrisi. Kematian di antara mereka yang mengungsi
akibat tsunami di Aceh pada 2004 telah dipaorkan.
3. Penyakit yang ditularkan melalui vector
a. Malaria
Wabah malaria setelah banjir adalah fenomena yang terkenal.
Gempa bumi di Wilayah Atlantik Kosta Rika pada tahun 1991 dikaitkan
dengan perubahan habitat yang bermanfaat untuk berkembang biak dan
mendahului peningkatan ekstrim dalam kasus malaria.
b. Demam berdarah
Penularan demam berdarah dipengaruhi oleh kondisi meteorologi
termasuk curah hujan dan kelembaban dan sering menunjukkan musim
yang kuat. Namun, penularan tidak langsung terkait dengan banjir.
Peristiwa seperti itu mungkin bertepatan dengan periode penularan risiko
tinggi dan diperburuk oleh peningkatan ketersediaan situs pemuliaan
vektor – kebanyakan wadah buatan - yang disebabkan oleh gangguan
pasokan air dasar dan pembuangan limbah padat jasa.
Risiko wabah penyakit yang ditularkan melalui vektor dapat dipengaruhi
oleh komplikasi lain faktor, seperti perubahan perilaku manusia (peningkatan
paparan nyamuk sementara tidur di luar, perpindahan dari daerah non-
endemik ke endemik, jeda dalam penyakit mengendalikan aktivitas,
kepadatan penduduk), atau perubahan habitat yang mempromosikan nyamuk
berkembang biak (deforestasi tanah longsor, perusakan sungai).

30
4. Penyakit lain yang terkait dengan bencana
a. Tetanus
Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang, tetapi disebabkan oleh
racun yang dikeluarkan oleh anaerobik tetanus bacillus Clostridium tetani .
Luka yang terkontaminasi, khususnya pada populasi di mana tingkat
cakupan vaksinasi rutin rendah, terkait dengan morbiditas dan mortalitas
akibat tetanus. Sekelompok 106 kasus tetanus, termasuk 20 kematian,
terjadi di Aceh dan memuncak 2½ minggu setelah tsunami.
b. Coccidiomycosis
Wabah coccidiomycosis yang tidak biasa terjadi setelah Januari 1994
di selatan Gempa California. Infeksi tidak ditularkan dari orang ke orang,
tetapi memang demikian disebabkan oleh jamur Coccidioides immitis,
yang ditemukan di tanah pada semi-kering tertentu wilayah Amerika Utara
dan Selatan. Wabah ini dikaitkan dengan paparan peningkatan kadar
debu di udara setelah tanah longsor setelah gempa bumi.

31
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Paparan Kerentanan terhadap Penyakit Malaria
Ada tiga keadaan di mana kerentanan dapat terpapar penyakit
endemik yang menyebabkan epidemi berikutnya atau peningkatan tingkat
penyakit setelah bencana. Secara singkat, ini terjadi melalui migrasi populasi
pedesaan ke daerah padat; migrasi populasi perkotaan ke daerah pedesaan;
dan imigrasi para korban ke daerah-daerah yang terkena dampak bencana.
2. Peningkatan Tingkat Penyakit Menular Endemik pada Penduduk Lokal
Penyebab peningkatan penyakit menular seringkali terjadi karena
kondisi yang sanitasi yang buruk dan kurangnya air minum. Dengan kondisi
tersebut maka perlu melakukan survey cepat untuk mengetahui peningkatan
penyakit malaria dan dapat digunakan sebagai langkah untuk pengendalian
darurat dan pengambilan keputusan untuk penentuan kebutuhan baik dari
segi 32ector32c maupun tenaga yang dibutuhkan.
3. Masalah Khusus dengan Penyakit Menular dalam perkemahan
Masalah khusus seperti perang sipil dan konflik menghasilkan
serangkaian masalah kesehatan masyarakat yang berbeda dan kendala
operasional. Banyaknya desas- desus terutama epidemic penyakit menular
sehingga orang enggan untuk mengungsi, bahkan jika rumah mereka
kemungkinan besar sudah atau sudah ada telah dihancurkan.
4. Penyakit menular setelah bencana
Bencana alam biasanya tidak menghasilkan wabah besar penyakit
menular, walaupun dalam keadaan tertentu terkadang meningkatkan potensi
penularan penyakit. Peningkatan penyakit yang paling sering diamati adalah
insiden penyakit yang disebabkan oleh kontaminasi feses air dan makanan;
air dan sanitasi, Adapun penyakit yang terkait dengan bencana diantaranya:
penyakit yang ditularkan melalui air (diare, hepatitis A dan E, dan
leptospirosis), penyakit yang terkait dengan kepadatan (campak, meningitis

32
dan ISPA), penyakit yang ditularkan melalui vector (malaria dan DBD) dan
penyakit lain yang terkait dengan bencana (tetanus dan Coccidiomycosis).

B. Rekomendasi
Kesiap-siagaan terhadap bencana sangat penting untuk respons yang
cepat dan efektif. Deteksi dan respon yang cepat terhadap bencana sangat
penting dilakukan untuk memantau potensi ternjadinya penyakit menular setelah
bencana.
Kesiap-siagaan tidak hanya berlaku bagi petugas bencana tetapi juga
berlaku bagi setiap masyarakat, sehingga pada saat terjadi bencana masyarakat
mampu untuk mengurangi potensi terjadinya penularan penyakit malaria.

33
DAFTAR PUSTAKA
Arsin, Andi Arsunan. 2012. Malaria di Indonesia. Makassar : Masagena Press

BNPB. 2014. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019.

Kesehatan RI. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat


Bencana. Jakarta.

Kouadio, Isidore k dkk. 2014. Infectious Diseases Following Natural Disasters:


Prevention And Control Measures. Https://www.tandfonline.com/loi/ierz20

Mudatsir. 2015. Upaya Pencegaha Penyakit Menular Pada Bencana Tsunami.


ISSN:2477-6440

Pan American Health Organization. 1982. Epidemiologic Surveillance after Natural


Disaster. Spanish.

Pan American Health Organization. 2000. Natural disasters: Protecting the public’s
health. Washington.D.C, 20037, USA

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008


Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana

Suni, Nur Sholikah Putri. 2018. Penyebaran Penyakit Malaria Pasca Bencana Di
Lombok Dan Upaya Penanggulangan. Vol X No 18.

Widayatun dan Zainal Fatoni. 2013. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana:
Peran Petugas Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal
Kependudukan Indonesia Vol. 8 No.1 (ISSN 1907-2902)

World Health Organization. 1999. WHO Recommended Surveillance Standards.


Second edition. http://www.who.int/emc.

World Health Organization. 2000. Strategy For Malaria Control in Complex


Emergencies

34
World Health Organization. 2006. Communicable Diseases Following Natural Disaster.
Http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/en/.

35

Anda mungkin juga menyukai