Anda di halaman 1dari 37

Tugas Individu (Makalah)

Mata Kuliah : Epidemiologi Kesehatan Darurat Lanjut


Dosen : Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes

FAKTOR RISIKO TIMBULNYA


PENYAKIT DIARE PASCA BENCANA ALAM

REZKI ELISAFITRI
P1804216007

KONSENTRASI EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan
topik “Faktor Risiko Timbulnya Penyakit Diare Pasca Bencana Alam”. Makalah
ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas Epidemiologi Kesehatan
Darurat Lanjut.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan makalah ini
penulis banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan penulis sendiri.
Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya.
Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan yang lebih baik
di masa yang akan datang.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan
yang diharapkan dapat tercapai, Aamiin.

Makassar, November 2017


Rezki Elisafitri

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
C. Tujuan ............................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Bencana ..................................................... 5
B. Tinjauan Umum tentang Penyakit Menular Pasca Bencana Alam ... 10
C. Tinjauan Umum tentang Diare .......................................................... 14
BAB III FAKTOR RISIKO TIMBULNYA DIARE PASCA BENCANA
A. Faktor Agent ..................................................................................... 24
B. Faktor Host ........................................................................................ 24
C. Faktor Environment .......................................................................... 27
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 32
B. Saran .................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (RI, 2007).
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di wilayah rawan
terhadap berbagai kejadian bencana alam, misalnya bahaya geologi (gempa
bumi, gunung api, longsor, tsunami) dan bahaya hidrometeorologi (banjir,
kekeringan, pasang surut, gelombang besar). Hal ini mengingat wilayah
negara Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis,
klimatologis dan demografis yang berpotensi terjadinya bencana, baik yang
disebabkan faktor alam maupun non alam, seperti bencana yang disebabkan
oleh faktor manusia (Haryono, et al., 2012).
Selama tahun 2016, terdapat 2342 kejadian bencana di Indonesia,
mengalami kenaikan sebesar 35% jika dibandingkan dengan jumlah bencana
pada tahun 2015. Dari 2342 kejadian tersebut, sebanyak 92% merupakan
bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, longsor dan puting
beliung (BCC Indonesia, 2016). Hingga bulan Agustus 2017, terdapat 1601
kejadian bencana yaitu 575 kejadian banjir, 463 puting beliung, 418 tanah
longsor, 66 kebakaran hutan dan lahan, 55 kombinasi banjir dan longsor, 13
gempa bumi, 6 kecelakaan transportasi, 5 gelombang pasang dan abrasi, 2
kekeringan, serta masing-masing 1 letusan gunung api dan konflik atau
kerusuhan sosial (DIBI BNPB, 2017).
Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia memberikan
dampak dan pengaruh terhadap kualitas hidup penduduk yang dapat dirasakan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Bencana tidak hanya
menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya berbagai fasilitas

1
kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan masyarakat,
seperti munculnya berbagai penyakit pasca bencana, fasilitas air bersih dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan (Widayatun &
Fatoni, 2013).
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda,
tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang
memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada
bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan
gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu
relatif lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta
menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan
leptospirosis (Pan American Health Organization, 2006).
Penyakit infeksi yang berkaitan dengan bencana alam dapat dibagi
menjadi beberapa jalur penularan, yaitu yang ditularkan melalui makanan dan
air (water and food borne diseases), akibat kepadatan manusia (crowding),
penularan terkait vektor (vector-borne diseases), serta yang lebih kecil
proporsinya terkait dengan penularan langsung dari jenazah (dead bodies).
Di lokasi pengungsian korban bencana, sangat perlu dilakukan
pendataan mengenai penyakit-penyakit yang ada, terutama penyakit menular.
Dengan pendataan ini diharapkan ada tindakan penanganan yang cepat agar
tidak terjadi penularan penyakit. Ada 13 besar penyakit menular dan penyakit
tidak menular yang terkait bencana, yaitu penyakit campak, demam berdarah
dengue (DBD), diare berdarah, diare biasa, hepatitis, ISPA, keracunan
makanan, malaria, penyakit kulit, pneumonia, tetanus, trauma (fisik), dan
typoid. Penyakit endemis yang dapat meningkat pasca bencana antara lain
malaria dan DBD. Sedangkan penyakit penyebab utama kesakitan dan
kematian di tempat bencana yaitu pneumonia, diare, malaria, campak,
malnutrisi serta keracunan pangan.

2
Dalam makalah ini akan dibahas tentang penyakit diare. Penyakit
diare merupakan penyakit menular yang potensial terjadi pada wilayah
bencana atau lokasi pengungsian. Faktor risiko utama berupa rendahnya
kualitas sanitasi, kurangnya persediaan air bersih, kebersihan diri dan
kebersihan makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak memadai. Setiap
penderita diare terancam bahaya dehidrasi, yang merupakan penyebab utama
kematian bagi penderita diare.
Menurut data dari WHO, penyakit diare membunuh satu anak di dunia
setiap 15 detik, karena akses terhadap sanitasi yang sangat rendah terutama
dalam keadaan kedaruratan pasca bencana seperti banjir. Berdasarkan data
dari Kemenkes RI (2011), penyakit diare menempati urutan pertama pada
sepuluh besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan jumlah
penderita sebanyak 71.889 orang. Diare merupakan salah satu penyakit yang
dapat menimbulkan kematian. Berdasarkan laporan KLB diare yang terjadi
di Indonesia dari tahun 2008 – 2011, setiap tahun terjadi kematian pada kasus
diare. CFR diare secara berturut-turut adalah 2,54%, 1,74%, 1,74% dan
0,40%.
Diare merupakan penyakit yang sudah dipastikan ada pada populasi
pengungsi. Hal ini disebabkan kondisi air dan sanitasi yang sangat jauh dari
kuantitas dan kualitas pada lokasi pengungsian. Dengan kepadatan penduduk
yang tinggi, tentunya memerlukan sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi
yang memadai. Secara tidak langsung, penyakit diare menjadi penyebab
mayor kematian terkait bencana yang bukan merupakan dampak trauma
langsung saat bencana terjadi. Kematian terkait diare ini mencapai 40%,
kebanyakan diare disebabkan oleh kuman kolera (Jamil, 2012). Oleh karena
itu, diperlukan adanya surveilans faktor risiko diare pada kejadian bencana
sebagai kesiapsiagaan menghadapi adanya KLB diare pada kelompok
pengungsi di daerah bencana.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah “Apa saja faktor risiko timbulnya penyakit diare pasca bencana
alam?”

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai
adalah mengidentifikasi faktor risiko timbulnya penyakit diare pasca bencana
alam.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Bencana


1. Definisi Bencana
Dalam UU No. 24 tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai
“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis”.
Menurut Harjadi et al (2005), bencana adalah suatu peristiwa
yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia yang dapat
terjadi secara tiba-tiba serta perlahan-lahan, yang menyebabkan
hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan,
serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk
menanggulanginya.
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga
aspek dasar, yaitu :
a. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak
(hazard).
b. Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan,
penghidupan dan fungsi dari masyarakat.
c. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui
kemampuan masyarakat untuk mengatasi sumber daya mereka.
2. Karakteristik Bencana
Dari banyaknya pengamatan akan bencana, maka dapat
ditemukan karakteristik dari bencana itu sendiri sebagai berikut (Royan,
2004):
a. Terdapat kerusakan pada pola kehidupan normal. Kerusakan
tersebut biasanya terlihat cukup parah, sebagai akibat dari

5
kejadian yang mendadak dan tidak terduga serta luasnya cakupan
akan dampak dari bencana.
b. Dampak dari bencana merugikan manusia, baik bersifat
langsung maupun tidak. Biasanya dapat berupa kematian,
kesakitan, kesengsaraan, maupun akibat negatif lainnya yang
berdampak pada kesehatan masyarakat.
c. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan pada sistem
pemerintahan, bangunan, komunikasi, dan berbagai sarana dan
prasarana pelayanan umum lainnya.
d. Adanya pengungsian yang membutuhkan tempat tinggal atau
penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan, dan
pelayanan sosial yang terkadang tidak mencukupi atau kurang
terkoordinasi.
3. Jenis-jenis Bencana
UU No. 24 tahun 2007 mengelompokkan bencana ke dalam 3
kelompok yaitu sebagai berikut:
a. Bencana alam, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain, berupa
gempa bumi.
b. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemic dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik social antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan
teror.
Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission
(DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri
dari :

6
a. Natural hazard
Natural hazard terjadi karena proses alam yang manusia tidak
atau sedikit memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak
hazard dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata
ruang dan wilayah, prasyarat bangunan dan sebagainya. Natural
hazard terdiri dari geological hazard, hydro-meteorological hazards
dan biological hazards.
b. Human made hazard
Human made hazard adalah hazard sebagai akibat aktivitas
manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial,
ekonomi dan lingkungan. Hazard ini mencakup :
1) Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industry,
prosedur yang berbahaya dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari
hazard ini adalah polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan
dan sebagainya.
2) Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan
aktivitas manusia sehingga merusak sumber daya lingkungan dan
keragaman hayati dan berakibat lebih jauh terganggunya
ekosistem.
4. Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan
terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang
berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Secara umum, manajemen
bencana ditujukan untuk:
a. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta
kerusakan harta benda dan lingkungan hidup.

7
b. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan
penghidupan korban.
c. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/
pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi
ke daerah baru yang layak huni dan aman.
d. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti
komunikasi/transportasi,air minum, listrik, dan telepon, termasuk
mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena
bencana.
e. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut.
f. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan
Ada tiga aspek mendasar dalam manajemen bencana, yaitu sebagai
berikut (PAHO, 2006):
a. Respons terhadap bencana
b. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
c. Minimisasi (mitigasi) efek bencana
Tanggung jawab dalam program manajemen bencana
mencakup semua sektor, tidak hanya dari sektor kesehatan saja.
Manajemen bencana harus memainkan peran utama dalam
mempromosikan dan mengoordinasikan upaya pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, respons, dan upaya rehabilitasi dini yang terkait
dengan kesehatan.
5. Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana adalah seluruh kegiatan yang
meliputi aspek perencanaan, dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana mencakup pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan (Depkes,
2005). Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga)

8
tahap meliputi prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana
(RI, 2007).
Untuk mengetahui manajemen penanggulangan bencana
secara berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan
bencana dan peran tiap komponen pada setiap tahapan (Depkes, 2005):
a. Kejadian Bencana, adalah peristiwa bencana yang disebabkan
oleh alam atau ulah manusia, baik yang terjadi secara tiba-tiba
atau perlahan-lahan, dapat menyebabkan hilangnya jiwa manusia,
trauma fisik dan psikis, kerusakan harta benca dan lingkungan,
yang melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk
mengatasinya.
b. Tanggap Darurat (Emergency Response), adalah upaya yang
dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan untuk
menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana, terutama
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
c. Pemulihan (Recovery), adalah proses pemulihan kondisi
masyarakat yang terkena bencana baik dampak fisikdan psikis,
dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada
keadaan semula. Hal ini dilakukan dengan memperbaiki
prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar,
Puskesmas, dan lain-lain), dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
d. Pembangunan, merupakan fase membangun kembali sarana dan
prasarana yang rusak akibat bencana. Pembangunan dapat
dibedakan menjadi:
1) Rehabilitasi, yaitu upaya yang dilakukan setelah kejadian
bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah,
fasilitas umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan
kembali roda ekonomi.

9
2) Rekonstruksi, yaitu program jangka menengah dan jangka
panjang yang meliputi perbaikan fisik, sosial dan ekonomi
untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi
yang sama atau lebih baik.
e. Pencegahan (Prevention), adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya bencana dan jika mungkin dengan
meniadakan bencana.
f. Mitigasi, adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak
bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan
bangunan-bangunan fisik maupun non fisik struktural melalui
perundang-undangan dan pelatihan.
g. Kesiapsiagaan (Preparedness), adalah upaya yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

B. Tinjauan Umum tentang Penyakit Menular Pasca Bencana Alam


1. Klasifikasi Penyakit Menular Pasca Bencana
Penyakit infeksi terkait bencana bukanlah dominan disebabkan
oleh jenazah yang banyak serta kerusakan alam serta infrastruktur akibat
bencana, melainkan terutama disebabkan perpindahan manusia yang
sangat banyak dalam satu waktu yang relatif singkat. Migrasi dan
pengungsian inilah yang menjadi fokus penularan penyakit infeksi.
Penyakit endemis yang dapat meningkat pasca bencana antara lain
malaria dan DBD. Penyebab utama kesakitan dan kematian di tempat
bencana yaitu pnemonia, diare, malaria, campak, malnutrisi serta
keracunan pangan (Watson, 2007).
Adapun klasifikasi penyakit pasca bencana adalah sebagai
berikut (Watson, 2007):

10
a. Penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan
Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan
yaitu:
1) Diare dan diare berdarah
Diare merupakan masalah yang sudah dipastikan ada
pada populasi pengungsi. Hal ini disebabkan kondisi air dan
sanitasi yang sangat jauh dari kebersihan pada populasi
pengungsi. Secara umum, diare merupakan penyebab mayor
kematian terkait bencana yang bukan merupakan dampak
trauma langsung saat bencana terjadi. Kematian terkait diare ini
mencapai 40%. Kebanyakan diare disebabkan kuman kolera
(Jamil, 2012).
2) Hepatitis A dan E
Penyakit Hepatitis A dan E juga ditularkan melalui air.
3) Leptospirosis
Leptospirosis bisa ditularkan ke manusia karena
kumannya biasa hidup di urin tikus.
b. Penyakit yang terkait dengan kepadatan
Penyakit-penyakit yang dapat terjadi terkait dengan
kepadatan yaitu ISPA, campak, TB, pneumonia, influenza, dan
penyakit kulit. Penularan penyakit ini sangat terkait dengan kontak
erat di tengah kepadatan penduduk di tempat pengungsian.
c. Penyakit yang terkait vektor
Penyakit-penyakit yang dapat terjadi terkait dengan vektor di
tempat pengungsian, yaitu Demam berdarah dengue (DBD) dan
Malaria. Air tergenang pada saat tsunami dan banjir menjadi tempat
perindukan yang baik bagi nyamuk penular DBD dan malaria.
Laporan di seluruh dunia menyebutkan bahwa keduanya mudah
merebak di daerah endemis yang baru saja mengalami bencana alam.
Perubahan ekologi akan menyebabkan migrasi nyamuk ke

11
pemukiman penduduk. Pemberian obat-obat anti malaria dan cairan
infus yang cukup, serta nutrisi yang memadai merupakan senjata
bagi petugas kesehatan yang berkunjung ke daerah bencana dengan
malaria atau DBD sebagai penyulit di pengungsian atau pemukiman
penduduk.
d. Penyakit terkait jenazah yang banyak
Tidak ada bukti ilmiah bahwa jenazah bisa menularkan
penyakit-penyakit infeksi sebab patogen tidak dapat hidup lama di
dalam jenazah. Namun demikian, pada penyakit khusus seperti
kolera dan DBD penularan masih dapat terjadi. Meskipun demikian,
berdasarkan rekomendasi, petugas kesehatan atau petugas evakuasi
jenazah harus tetap mengaktifkan pencegahan universal karena darah
dan cairan tubuh jenazah baru tetap dapat menularkan berbagai
penyakit yan ditularkan melalui darah dan cairan tubuh.
2. Penyebaran Penyakit Pasca Bencana
Penyebaran penyakit pasca bencana dapat disebabkan oleh:
a. Adanya penyakit sebelum bencana
b. Adanya perubahan ekologi karena bencana, pengungsian, kepadatan
penduduk di tempat pengungsian dan rusaknya fasilitas publik.
3. Prinsip-prinsip Pengendalian Penyakit Menular Pasca Bencana
Prinsip-prinsip pencegahan dan pengendalian penyakit menular
pasca bencana, antara lain :
a. Melaksanakan sesegera mungkin semua upaya kesehatan masyarakat
untuk mengurangi risiko penularan penyakit.
b. Menyusun suatu system pelaporan penyakit yang reliable untuk
mengidentifikasi KLB dan untuk memulai upaya pengendalian
sesegera mungkin.
c. Menyelidiki semua laporan KLB penyakit secara cepat. Klarifikasi
awal mengenai situasi dapat mencegah pemakaian yang sebenarnya

12
tidak diperlukan dari sumber daya yang jumlahnya terbatas dan
mencegah terputusnya program yang biasa.
4. Faktor Risiko Terjadinya KLB Pasca Bencana
Berdasarkan Pan American Health Organization (2003), bencana
alam dapat memperbesar risiko penyakit yang dapat dicegah akibat
perubahan yang merugikan pada bidang-bidang berikut :
a. Kepadatan Penduduk
Kontak yang dekat antar manusia itu sendiri berpotensi
meningkatkan penyebaran penyait bawaan udara (airborne disease).
Kondisi tersebut menyebabkan peninggkatan kasus infeksi
pernapasan akut yang dilaporkan pasca bencana. Selain itu, layanan
sanitasi yang tersedia sering tidak cukup untuk mengatasi
pertambahan penduduk yang mendadak.
b. Perpindahan Penduduk
Pemindahan korban bencana dapat menyebabkan masuknya
penyakit menular baik pada penduduk migran maupun pada
penduduk asli yang rentan.
c. Kerusakan dan Pencemaran Layanan Sanitasi dan Penyediaan Air
Bersih
Sistem persediaan air dan sistem pembuangan air kotor dan
sistem saluran listrik adalah sistem yang sangat rentan dan mudah
rusak akibat bencana alam. Air minum sangat rentan terhadap
kontaminasi yang disebabkan oleh kebocoran saluran air kotor dan
adanya bangkai binatang di sumber air.
d. Terganggunya Program Kesehatan Masyarakat
Pasca bencana, tenaga dan dana biasanya dialihkan untu
kegiatan pemulihan. Jika program kesehatan masyarakat, misalnya
program pengendalian vektor atau program vaksinasi tidak
dipelihara atau dipulihkan sesegera mungkin, penyebaran penyakit
dapat meningkat pada populasi yang tidak terlindungi.

13
e. Perubahan ekologi yang mendukung perkembang biakan vector
Musim hujan yang tidak biasanya disertai atau tanpa banjir,
kemungkinan dapat mempengaruhi kepadatan populasi vektor. Salah
satu dampaknya adalah pertambahan tempat perkembangbiakan
nyamuk atau masuknya hewan pengerat di daerah banjir.
f. Perpindahan hewan peliharaan dan hewan liar
Seperti halnya populasi manusia, populasi hewan sering
berpindah akibat bencana alam, sehingga zoonosis yang ada dalam
tubuh hewan tersebut dapat ditularkan pada manusia dan juga pada
hewan lain.
g. Persediaan makanan, air dan penampungan darurat dalam situasi
bencana.
Kebutuhan dasar penduduk sering disediakan dari sumber
baru atau sumber yang berbeda. Sangat penting untuk memastikan
bahwa metode baru ini aman dan sumber baru atau berbeda itu
bukan merupakan sumber penularan penyakit menular.

C. Tinjauan Umum tentang Diare


1. Pengertian Diare
Diare berasal dari bahasa Yunani yakni “diarroi” yang artinya
mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang
terlalu frekuen. Berikut beberapa pendapat mengenai pengertian diare:
a. WHO (2009) mendefinisikan bahwa diare adalah buang air besar
dalam bentuk cair lebih dari tiga kali dalam sehari. WHO lebih
menitikberatkan pada konsistensi tinja daripada menghitung
frekuensi buang air besar.
b. Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan
Lingkungan, diare adalah buang air besar yang lembek atau cair,
bahkan hanya berupa air yang terjadi lebih sering dari biasanya (tiga
kali atau lebih) dalam sehari (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).

14
c. Widoyono (2008) mengemukakan bahwa diare adalah perubahan
frekuensi dan konsistensi tinja. Ibu lebih sering menyebut diare
dengan istilah berak lembek, cair, berdarah, berlendir, atau disertai
dengan muntah (muntaber).
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian diare dapat
disimpulkan bahwa diare adalah bertambahnya frekuensi buang air besar
yang lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam sehari, dengan
bentuk tinja yang lembek atau cair.
2. Jenis-jenis Diare
Menurut Kemenkes RI dalam Wulandari (2009), diare dapat
dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung selama kurang dari 14 hari
(umumnya kurang dari 7 hari).
b. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinja. Disentri dapat
menyebabkan anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan
kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa usus.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung terus-menerus selama
lebih dari 14 hari. Diare persisten dapat menyebabkan penurunan
berat badan dan gangguan metabolisme tubuh.
d. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare baik
diare akut maupun diare persisten, mungkin juga disertai dengan
penyakit lain seperti demam, gangguan nutrisi, dan penyakit lainnya.
3. Penyebab dan Faktor Risiko Diare
Menurut Widoyono (2008), diare dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain:
a. Faktor Infeksi
Infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama
diare yang disebabkan oleh:
1) Infeksi bakteri yakni Vibrio cholerae, E. Coli, Salmonella,
Shigella sp, Campilobacter, Yersinia, Aeromonas dan
sebagainya.

15
2) Infeksi virus yakni Rotavirus, Adenovirus.
3) Infeksi parasit yakni cacing perut, Ascaris, Trichiuris,
Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa, Entamoeba
histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan Crypto.
b. Faktor Malabsorpsi
1) Malabsorpsi karbohidrat, terjadi pada bayi yang peka terhadap
lactoglobulis pada susu formula yang dapat menyebabkan diare.
2) Malabsorpsi lemak, terjadi apabila dalam makanan terdapat
lemak triglyserida yang mengubah lemak menjadi micelles yang
siap diabsorpsi usus dengan bantuan kelenjar lipase. Diare dapat
muncul jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus
karena lemak tidak terserap dengan baik.
c. Faktor Makanan
Makanan yang dapat menyebabkan diare adalah makanan
yang sudah tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak mentah
(sayuran) dan kurang matang.
d. Faktor Lingkungan
Penyakit diare berkaitan dengan lingkungan yang sanitasinya
kurang baik, seperti pasokan air tidak memadai, air terkontaminasi
dengan tinja, dan jamban tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sebagian besar kuman penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal
oral yang dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut
cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum
atau jari-jari tangan.
e. Faktor Perilaku
Perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran bakteri
patogen dan meningkatkan risiko terjadinya penyakit diare adalah
faktor perilaku hidup bersih dan sehat ibu ataupun anggota keluarga,
seperti:
1) Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan.
2) Mengkonsumsi air minum yang tercemar.

16
3) Tidak mencuci tangan dengan air bersih dan sabun setelah
buang air besar atau sesudah makan dan menyusui anak.
4) Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar.
5) Tidak mengelola sampah secara baik dan benar.
6) Tidak mengolah air limbah dengan baik.
f. Faktor Psikologis
Diare kronis dapat disebabkan oleh rasa takut, cemas, dan
tegang pada anak, tetapi jarang terjadi pada anak balita.
4. Patofisiologi Diare
Menurut Davey (2006), patofisiologi diare dapat disebabkan oleh
gangguan osmotik, sekretorik dan dismotilitas.
a. Gangguan osmotik
Gangguan osmotik terjadi jika terdapat kegagalan absorbsi
cairan osmotik pada lumen usus. Mukosa lumen usus halus adalah
epitel berpori, yang dapat dilewati oleh air dan elektrolit dengan
cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan
cairan ekstraseluler. Penyebab dalam gangguan ini adalah
terdapatnya bahan yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus sehingga
tekanan osmotik di lumen usus meningkat yang akan menarik cairan.
Perubahan tekanan osmotik juga akan menghambat absorbs air dan
bahan yang larut di dalam lumen usus akan lewat tanpa diabsorbsi
sehingga terjadi diare.
b. Gangguan sekretorik
Gangguan sekretorik diakibatkan oleh adanya rangsangan
tertentu misalnya toksin, pada dinding usus. Toksin akan
menyebabkan villi usus gagal mengabsorbsi natrium, yang akan
menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi
rongga usus yangberlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare.

17
c. Gangguan motilitas
Gangguan motilitas usus terjadi akibat adanya gangguan pada
kontrol otonomik, misal pada diabetik neuropathi. Motilitas usus
akan meningkat sehingga banyak cairan dan bahan makanan yang
tidak terabsorbsi dengan baik sehingga menimbulkan diare.
5. Diagnosis Diare
Untuk mendiagnosis diare akut diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai (Eppy, 2009).
a. Anamnesis
Dalam menganamnesis pasien diare akut perlu ditanyakan
mengenai onset, lama gejala, frekuensi, serta kuantitas dan
karakteristik feses.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dinilai keadaan umum,
kesadaran, berat badan, temperatur, frekuensi nafas, denyut nadi,
tekanan darah, turgor kulit, kelopak mata, serta mukosa lidah.
Selain itu, perlu dicari tanda-tanda dehidrasi dan kontraksi volume
ekstraseluler, seperti denyut nadi >90 kali/menit dan lemah,
hipotensi postural / ortostatik, lidah kering, kelopak mata cekung,
serta kulit yang dingin dan lembab.
c. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang
diperlukan untuk mencari penyebab diare akut, yakni pemeriksaan
leukosit dan darah samar feses, pemeriksaan laktoferin feses,
endoskopi saluran cerna bagian bawah, kultur feses, serta
pemeriksaan telur cacing dan parasit.
6. Gejala Diare
Widoyono (2008) mengemukakan beberapa gejala dan tanda
penyakit diare, antara lain:

18
a. Gejala umum berupa berak cair atau lembek, muntah, demam, dan
gejala dehidrasi (mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis, dan
gelisah).
b. Gejala spesifik
1) Vibrio cholera, gejalanya berupa diare hebat, warna tinja
menyerupai air cucian beras dan berbau amis.
2) Disentriform, gejalanya berupa tinja berlendir dan berdarah.
7. Komplikasi Diare
Menurut Widoyono (2008), diare yang berkepanjangan dapat
menyebabkan:
a. Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada
pemasukan air. Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala
klinis dan kehilangan berat badan, yaitu :
1) Tanpa dehidrasi
Penderita diare kehilangan cairan <5% berat badan. Tanda-
tandanya adalah balita tetap aktif, memiliki keinginan untuk
minum seperti biasa, mata tidak cekung dan turgor kembali
segera.
2) Dehidrasi ringan/sedang
Penderita diare kehilangan cairan 5-10% berat badan. Tanda-
tandanya adalah gelisah atau rewel, mata cekung, ingin minum
terus/rasa haus meningkat dan turgor kembali lambat.
3) Dehidrasi berat
Penderita diare kehilangan cairan >10% berat badan. Tanda-
tandanya adalah lesu/lunglai, tidak sadar, mata cekung, malas
minum dan turgor kembali sangat lambat ≥ 2 detik.
b. Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi terjadi jika cairan tubuh yang hilang lebih
dari 10% berat badan dapat menyebabkan penderita diare mengalami

19
syok atau pre-syok karena berkurangnya volume darah
(hipovolemia).
c. Gangguan asam-basa (asidosis)
Asidosis terjadi akibat kehilangan cairan tubuh (bikarbonat)
dari dalam tubuh, sehingga tubuh bernafas cepat untuk membantu
meningkatkan pH arteri.
d. Hipoglikemia
Pada anak-anak dengan gizi cukup atau baik, hipoglikemia
ini jarang terjadi. Lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya
sudah menderita kekurangan gizi. Gejala hipoglikemia akan muncul
jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg % pada bayi dan 50
mg % pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa
lemas, tremor, berkeringat, pucat, dan penurunan kesadaran.
e. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi
dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang
singkat. Hal ini disebabkan karena asupan makanan yang kurang dan
output yang berlebihan. Hal ini akan bertambah parah jika
pemberian makanan saat diare dihentikan dan penderita diare sudah
mengalami malnutrisi sebelumnya.
8. Penatalaksanaan Diare
Penatalaksanaan diare pada anak masih berpedoman pada
rekomendasi WHO yang disebut 5 Ways to Threat Diarrhea. Di
Indonesia dikenal dengan istilah Lintas Diare (Lima Langkah Tuntaskan
Diare). Menurut Sofwan (2011), lima langkah tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Berikan oralit
Oralit merupakan campuran garam elektrolit, seperti
natrium klorida (NaCl), kalium klorida (KCl), dan trisodium sitrat
hidrat, serta glukosa anhidrat. Oralit diberikan untuk mengganti
cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat diare.

20
Walaupun air sangat penting untuk mencegah dehidrasi, air minum
tidak mengandung garam elektrolit yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh sehingga
lebih diutamakan oralit. Campuran glukosa dan garam yang
terkandung dalam oralit dapat diserap dengan baik oleh usus
penderita diare. Oralit perlu diberikan segera bila anak diare, sampai
diare berhenti.
b. Berikan zinc selama 10 hari berturut-turut
Zinc merupakan salah satu zat gizi mikro yang penting
untuk kesehatan dan pertumbuhan anak. Zinc yang ada dalam tubuh
akan menurun dalam jumlah besar ketika anak mengalami diare.
Untuk menggantikan zinc yang hilang selama diare, anak dapat
diberikan zinc yang akan membantu penyembuhan diare. Zinc
diberikan satu kali sehari selama 10 hari berturut-turut.
Pemberian zinc harus tetap dilanjutkan meskipun diare sudah
berhenti. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan tubuh
terhadap kemungkinan berulangnya diare pada 2 – 3 bulan ke depan.
c. Teruskan pemberian ASI dan makanan
Jika anak masih mendapatkan ASI, maka teruskan
pemberian ASI sebanyak yang anak inginkan. Anak harus diberi
makan seperti biasa dengan frekuensi lebih sering. Hal ini
dilakukan sampai dua minggu setelah anak berhenti diare. Jangan
batasi makanan anak jika ia mau lebih banyak, karena lebih
banyak makanan akan membantu mempercepat penyembuhan,
pemulihan dan mencegah malnutrisi.
d. Antibiotika selektif
Tidak semua kasus diare memerlukan antibiotik.
Antibiotik hanya diberikan jika ada indikasi, seperti diare
berdarah atau diare karena kolera, atau diare dengan disertai
penyakit lain. Ini sangat penting karena seringkali ketika diare,
masyarakat langsung membeli antibiotik seperti Tetrasiklin atau

21
Ampicillin. Selain tidak efektif, tindakan ini berbahaya, karena
jika antibiotik tidak dihabiskan sesuai dosis akan menimbulkan
resistensi kuman terhadap antibiotik. Selain bahaya resistensi
kuman, pemberian antibiotik yang tidak tepat bisa membunuh
flora normal yang justru dibutuhkan tubuh.
e. Pemberian konseling untuk ibu dan keluarga
Petugas kesehatan perlu memberikan nasihat dan mengecek
pemahaman ibu/pengasuh tentang cara pemberian oralit, zinc,
ASI/makanan dan tanda-tanda untuk segera membawa anaknya ke
petugas kesehatan jika anak buang air besar cair lebih sering, muntah
berulang-ulang, mengalami rasa haus yang nyata, makan atau minum
sedikit, demam, tinjanya berdarah, dan tidak membaik dalam 3 hari.
9. Pencegahan Diare
Menurut Kemenkes RI (2011a), upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya diare adalah:
a. Memberikan ASI
ASI memiliki khasiat preventif karena mengandung zat
antibodi dan zat-zat gizi lainnya. Pada bayi yang baru lahir,
pemberian ASI secara penuh memiliki daya lindung empat kali lebih
besar terhadap penyakit diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan pemberian susu botol. Pada bayi yang tidak diberikan ASI
secara penuh pada 6 bulan pertama kehidupan, berisiko 30 kali lebih
besar menderita diare. Pemberian susu formula merupakan cara lain
dari menyusui. Namun, penggunaan botol untuk susu formula
biasanya berisiko tinggi terkena diare.
b. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Pemberian MP-ASI adalah bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pemberian MP-ASI yang
kurang baik pada bayi berisiko menyebabkan terjadinya diare atau
penyakit infeksi lainnya. Perilaku pemberian MP-ASI yang baik
seperti perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana MP-ASI

22
diberikan, mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan, masak
makanan dengan benar, menyuapi anak dengan menggunakan
sendok yang bersih, dan menyimpan sisa makanan pada tempat yang
dingin kemudian panaskan sebelum diberikan pada anak.
c. Menggunakan Air Bersih
Sebagian besar bakteri penyebab diare ditularkan melalui
jalur fecal oral yang ditularkan dengan memasukkan ke dalam
mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja. Masyarakat
dapat mengurangi risiko terhadap diare dengan menggunakan air
bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminan mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
d. Mencuci Tangan dengan Sabun
Kebiasaan yang berhubungan dengan personal hygiene yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan.
Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar,
sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,
sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan, berdampak
pada penurunan kasus diare.
e. Menggunakan Jamban
Pengalaman di berbagai negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam
penurunan risiko terhadap penyakit diare.
f. Membuang Tinja Bayi yang Benar
Banyak orang yang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak
berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula
menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya.
g. Imunisasi Campak
Anak yang sakit campak sering disertai diare, sehingga
pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh
karena itu, berikan anak imunisasi campak segera setelah berumur 9
bulan.

23
BAB III
FAKTOR RISIKO TIMBULNYA PENYAKIT DIARE
PASCA BENCANA ALAM

Terjadinya bencana alam pada suatu wilayah menyebabkan perubahan


keseimbangan pada host, agent dan environment. Adanya perubahan ini dapat
menjadi pemicu terhadap timbulnya suatu penyakit atau merupakan faktor risiko
timbulnya suatu penyakit, utamanya penyakit menular di lokasi bencana atau
tempat pengungsian. Surveilans faktor risiko terhadap kondisi lingkungan di
sekitar lokasi bencana atau lokasi pengungsian sangat diperlukan untuk
mengidentifikasi faktor risiko timbulnya persebaran penyakit terhadap pengungsi.
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi cakupan pelayanan air
bersih, cakupan pemanfaatan sarana pembuangan kotoran, pengelolaan sampah,
pengamanan makanan, kebersihan lingkungan di lokasi pengungsian.
Untuk mencegah timbulnya KLB diare pasca bencana di suatu lokasi
bencana atau tempat pengungsian, maka perlu diidentifikasi faktor risiko penyakit
diare pada lokasi bencana/tempat pengungsian, dilihat dari faktor host, agent dan
environment.
A. Faktor Agent
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral, antara
lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak
langsung dengan tinja penderita. Kuman atau bakteri penyebab diare adalah
E.Coli Salmonella, Vibrio cholera (kolera), dan serangan bakteri lain yang
jumlahnya berlebihan dan patogenik (memanfaatkan kesempatan ketika
kondisi tubuh lemah) seperti pseudomonas, infeksi basil (disentri), infeksi
virus enterovirus dan adenovirus. Adanya kuman penyebab diare di lokasi
bencana/tempat pengungsian dapat menjadi faktor risiko timbulnya diare
setelah kejadian bencana.

24
B. Faktor Host
Beberapa faktor pada host yang dapat meningkatkan insiden diare dan
lamanya diare adalah sebagai berikut:
1. Gizi Buruk pada Pengungsi
Beratnya penyakit, lama dan risiko kematian karena diare
meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi, terutama pada
penderita gizi buruk. Pada penderita gizi buruk, serangan diare lebih
sering terjadi. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan
berat diare yang diderita. Diduga bahwa mukosa penderita malnutrisi
sangat peka terhadap infeksi karena daya tahan tubuh yang kurang. Pada
tempat pengungsian status gizi ini sangat dipengaruhi oleh intake
makanan yang dikonsumsi oleh pengungsi. hygiene sanitasi yang jelek
serta kepadatan penduduk tempat pengungsian.
2. Bayi Tidak Diberikan ASI Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif adalah pada bayi yang berada di tempat
pengungsian. ASI mengandung antibodi yang dapat melindungi kita
terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti Shigella dan Vibrio
cholera. Bayi-bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6
bulan. ASI memiliki khasiat preventif secara imunologik dengan adanya
antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan
perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI
secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare
daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol.
3. Tidak Adanya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada
Pengungsi
a. Tidak cuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan
yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan.
Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar,
sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak dan
sesudah makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare. Hal ini

25
berkaitan erat dengan penyediaan air bersih di lokasi bencana/tempat
pengungsian.
b. Kebiasaan membuang tinja di sembarang tempat
Membuang tinja (termasuk tinja bayi) harus dilakukan secara
bersih dan benar. Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi
tidaklah berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau
bakteri dalam jumlah besar. Tinja bayi dapat pula menularkan
penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Hal ini berkaitan erat
dengan penyediaan jamban di lokasi bencana/tempat pengungsian.
c. Penggunaan air bersih
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan
melalui jalur fecal-oral yaitu dapat ditularkan dengan memasukkan
ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja
misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam
panci yang dicuci dengan air tercemar. Masyarakat/warga pada
lokasi bencana/tempat pengungsian yang terjangkau oleh penyediaan
air yang benar-benar bersih mempunyai risiko menderita diare lebih
kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air
bersih. Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare
yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air
tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai
penyimpanan di tempat pengungsian.
4. Tidak Diberikannya Imunisasi Campak pada Pengungsi
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian
imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh sebab itu pada warga
korban bencana lokasi bencana/tempat pengungsian harus segera
diberikan imunisasi campak. Salah satu faktor risiko timbulnya diare
pasca bencana adalah tidak diberikannya imunisasi campak pada warga
korban bencana dilokasi bencana/tempat pengungsian. Diare sering
terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang menderita campak
karena daya tahan tubuh yan menurun.

26
C. Faktor Environment
Lingkungan sangat memegang peranan penting pada risiko timbulnya
diare pasca bencana. Hal-hal yang terkait dengan lingkungan di lokasi
bencana/tempat pengungsian adalah sarana sanitasi yang tidak memadai baik
dari segi kuantitas maupun kualitas merupakan salah satu faktor risiko pada
kejadian diare di tempat pengungsian.
1. Penyediaan Air Bersih Tidak Memenuhi Syarat Dari Segi Kuantitas
Dan Kualitas.
Semua orang di dunia memerlukan air untuk minum, memasak
dan menjaga kebersihan pribadi. Dalam situasi bencana mungkin saja air
untuk keperluan minum tidak cukup. Dalam hal ini pengadaan air yang
layak dikonsumsi menjadi paling mendesak. Biasanya masalah kesehatan
yang berkaitan dengan air utamanya penyakit diare akan muncul akibat
kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang sudah tercemar sampai
tingkat tertentu.
Oleh karena itu, pada tempat pengungsian dan pada tempat
tinggal warga di di lokasi bencana perlu diketahui kuantitas dan kualitas
penyediaan air bersih sebagai kewaspadan dini terhadap timbulnya diare
di lokasi bencana/tempat pengungsian. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut:
a. Standar dalam pengadaan air antara lain:
1) Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikitnya 0,125 liter
perdetik.
2) Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500
meter.
3) Satu kran air untuk 80 – 100 orang.
4) Kebutuhan air bersih di tempat pengungsian sebanyak 15 liter
per orang.
5) Kualitas air berasal dari sumber harus layak diminum dan cukup
volumenya untuk keperluan keperluan dasar (minum, memasak,
menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga) tanpa

27
menyebabkan risiko besar terhadap kesehatan akibat penyakit
maupun pencemaran dari penggunaan jangka pendek.
b. Tolak ukur kunci kualitas air antara lain:
1) Di sumber air yang tidak terdesinfektan (belum bebas kuman),
kandungan bakteri dari pencemaran kotoran manusia tidak lebih
dari 10 coliform per 100 mililiter.
2) Untuk air yang disalurkan melalui pipa pipa kepada penduduk
yang jumlahnya lebih dari 10.000 orang atau bagi semua
pasokan air pada waktu ada risiko atau sudah ada kejadian
penularan penyakit diare, air harus didisinfektan lebih dahulu
sebelum digunakan sehingga mencapai standard yang bisa di
terima. Residu klorin pada kran air 0,2-0,5 miligram/liter,
kejenuhan di bawah 5 NTU dan konduksi tidak lebih dari 2000
js/cm serta airnya biasa di minum.
3) Sebaiknya dilakukan penelitian atau uji lab tentang kadar
endapan dan bahan kimiawi terlebih dahulu, agar tidak menjadi
masalah kesehatan akibat mengkonsumsi air tersebut. Air yang
sehat tidak berdampak negatif secara signifikan terhadap
kesehatan penggunanya dan terbebas dari pencemaran kimiawi
atau radiologis untuk pemakaian jangka pendek dan panjang.
c. Standar prasarana dan perlengkapan untuk pengadaan air di tempat
pengungsian antara lain:
1) Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang
berkapasitas 10-20 liter dan memiliki tempat penyimpanan air
berkapasitas 20 liter. Alat ini sebaiknya berbentuk wadah yang
berleher sempit dan mempunyai penutup.
2) Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram perbulan.
3) Kamar mandi umum harus tersedia dalam jumlah cukup untuk
semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam-jam

28
tertentu, pisahkan petak-petak untuk perempuan dan untuk laki
laki.
4) Prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk
umum dengan standar satu bak air untuk dipergunakan
maksimal 100 orang.
Salah satu sumber penularan penyakit diare adalah air bersih yang
tidak memenuhi syarat dari segi bakteriologi. Oleh karena itu, pada
tempat pengungsian perlu diperhatikan sarana air bersih sudah
memenuhi syarat kesehatan baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya.
2. Penyediaan Jamban (Pembuangan Kotoran Manusia) yang Tidak
Memenuhi Syarat
Jamban (pembuangan kotoran manusia yang tidak memenuhi
syarat pada lokasi bencana dan tempat pengungsian dapat menjadi faktor
risiko timbulnya penyakit diare. Oleh sebab itu diperlukan penyediaan
jamban di lokasi/pengungsian warga pasca bencana. Syarat-syarat
jamban yang sehat adalah :
a. Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang
cukup dan jaraknya tidak lebih dari 50 meter dari barak pengungsian,
supaya bisa di akses secara mudah dan cepat kapan saja saat
diperlukan.
b. Sebaiknya setiap jamban digunakan paling banyak 20 orang.
c. Penggunaan jamban diatur per rumah tangga dan menurut perbedaan
jenis kelamin.
d. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang kurangnya
berjarak 30 meter dari sumber air bawah tanah, dengan dasar
penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas air tanah.
e. Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke sumber air
manapun,baik sumur maupun mata air dan sungai.

29
f. Tempat pembuangan tinja tidak boleh terbuka sehingga dapat
dipakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor
penyakit lainnya.
Jika penyediaan jamban keluarga tidak memenuhi syarat seperti diatas,
maka kotoran/feses para pengungsi atau warga dapat menjadi sumber
penularan diare di daerah tersebut.
3. Pengelolaan Sampah di Tempat Pengungsian Tidak Memenuhi
Syarat
Pengelolaan limbah padat/ sampah berkaitan dengan kesehatan
masyarakat, karena dari sampah akan hidup mikroorganisme penyebab
penyakit dan juga binatang serangga sebagai pemindah atau penyebar
penyakit (vektor). Tidak adanya pengelolaan sampah yang baik di lokasi
bencana/tempat pengungsian dapat menjadi faktor risiko timbulnya diare
pasca bencana. Tata pengelolaan sampah padat di pengungsian harus
memperhatikan hal hal berikut :
a. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter
dari sebuah bak sumpah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari
100 meter jaraknya dari tempat sampah umum.
b. Sebaiknya tersedia satu tempat sampah berkapasitas 100 liter untuk
tiap 10 keluarga bila limbah rumah tangga sehari hari tidak di kubur
ditempat.
Perlunya pengelolaan sampah di tempat pengungsian, disebabkan karena
jika sampah padat yang dihasilkan dari aktifitas pengungsi atau warga di
tempat pengungsian tidak dikelola dengan baik maka sampah tersebut
dapat menjadi tempat perkembangbiakan lalat. Lalat dapat menjadi
perantara penyakit diare jika hinggap di kotoran manusia dan makanan
yang akan dikonsumsi oleh warga dilokasi bencana/tempat pengungsian.

30
4. Pengelolaan Limbah Cair di Pengungsian Tidak Memenuhi Syarat
Limbah cair hasil dari aktifitas warga di lokasi bencana/tempat
pengungsian jika dibuang sembarang tanpa memperhatikan syarat-syarat
pengelolaan limbah cair di tempat pengungsian dapat menjadi faktor
risiko timbulnya diare pasca bencana. Pengelolaan limbah cair
(pengeringan) pada tempat pengungsian harus memperhatikan :
a. Risiko pengikisan tanah dan genangan air,
b. Termasuk air hujan, air luapan dari sumber sumber air, limbah cair
rumah tangga dan limbah cair dari prasarana prasarana medis.
c. Tidak boleh ada genangan air limbah di sekitar titik titik tempat
pemukiman.
d. Air hujan dan luapan air/banjir sebaiknya di alirkan langsung melalui
saluran pembuangan air agar tempat tinggal/barak, jalan-jalan
setapak, serta prasarana pengadaan air juga tidak terkikis oleh air.
5. Pengelolaan Makanan dan Minuman di Tempat Pengungsian
Pengelolaan makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan di
tempat pengungsian dapat menjadi faktor risiko timbulnya diare. Pada
tempat pengungsian dengan jumlah warga yang banyak tentunya
membutuhkan suplai makanan yang banyak juga. Oleh sebab itu,
makanan yang diberikan pada pengungsi harus terjaga dari segi hygiene
dan sanitasi mulai dari pengolahan sampai penyajian makanan.
Pengelolaan makanan dan minuman yang tidak memenuhi syarat hygiene
maka akan menjadi faktor risiko timbulnya diare.

31
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Faktor risiko timbulnya penyakit diare setelah bencana alam berdasarkan
faktor agent, yaitu adanya kuman penyebab diare (E.Coli Salmonella dan
Vibrio cholera) yang biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain
melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak
langsung dengan tinja penderita di lokasi bencana/tempat pengungsian.
2. Faktor risiko timbulnya penyakit diare setelah bencana alam berdasarkan
faktor host, yaitu status gizi pengungsi yang buruk, bayi tidak diberikan
ASI eksklusif, tidak adanya perilaku hidup bersih dan sehat pada
pengungsi serta tidak diberikannya imunisasi campak pada pengungsi.
3. Faktor risiko timbulnya diare setelah bencana alam berdasarkan faktor
lingkungan, yaitu penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat,
penyediaan jamban yang tidak memenuhi syarat, pengelolaan sampah
yang tidak memenuhi syarat, pengelolaan limbah cair yang tidak
memenuhi syarat serta pengelolaan makanan dan minuman yang tidak
memenuhi syarat di tempat pengungsian.

B. Saran
1. Perlunya penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi lingkungan yang
memadai di tempat pengungsian.
2. Melakukan penatalaksanaan kasus diare secara tepat dan kesiapsiagaan
akan kemungkinan timbulnya KLB diare.
3. Para pengungsi sebaiknya melakukan pencegahan penyakit diare seperti
menggunakan air bersih yang memenuhi syarat, buang air besar di
jamban, membuang tinja bayi dan anak kecil di jamban, serta mencuci
tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum menjamah/memasak
makanan dan sesudah buang air.

32
DAFTAR PUSTAKA

BBC Indonesia. (2016). Jumlah Bencana di Indonesia Mencapai Rekor pada


2016. Jakarta: British Broadcasting Corporation Indonesia. Retrieved 1
Oktober, 2017, from http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38456759.

Depkes RI. (2007). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat


Bencana. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

DIBI BNPB. (2017). Statistik Bencana Indonesia 2017. Jakarta: Data dan
Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Retrieved 1 Oktober, 2017, from http://dibi.bnpb.go.id/.

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. (2013). Profil Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Eppy. (2009). Diare Akut. Medicinus, 22 (3) : 91-98.

Kemenkes RI. (2007). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2011a). Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2011b). Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Widayatun, Fatoni Zainal. (2013). Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi


Bencana: Peran Petugas Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 8(1): 37-52.
PAHO. (2006). Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
PPK-LIPI. (2015). Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Retrieved 1 Oktober, 2017, from http://kependudukan.lipi.go.id/id/kajian-

33
kependudukan/kesehatan-masyarakat/222-dampak-bencana-terhadap-
kesehatan-masyarakat.

RI. (2007). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas
PBP).

Sofwan, R. (2011). Cara Tepat Atasi Diare Pada Anak. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer.

UNICEF. (2016). One is too many : Ending child deaths from pneumonia and
diarrhea. New York : United Nations Children’s Fund.

USAID, UNICEF, & WHO. (2005). Diarrhoea treatment guidelines including


new recommendations for the use of ORS and zinc supplementation.

WHO. 2016. Diarrhoeal Disease. Geneva : World Health Organization. Retrieved


10 Desember, 2016, from
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/

Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Penularannya. Jakarta: Erlangga.

34

Anda mungkin juga menyukai