Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

BUDAYA MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI


BENCANA

Dosen Pengampun

Disusun Oleh :

Kelompok VII

Sri Dewi 1911071058


Nurjanna 1911071008
Firayanti 1911071066
Adrianto 1711071033

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat,hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan
selalu membawa keberkahan, baik di dunia sampai di akhirat, sehingga semua cita-cita serta
harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata Kuliah Manajemen Bencana yang
berjudul BUDAYA MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA. Makalah ini telah
kami susun dengan maksimal. Harapan kami semoga makalah ini penuh manfaat, menambah
pengetahuan dan pengalaman baik bagi pribadi dan orang lain. Terlepas dari semua itu, kami
sadar bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya
dapat memperbaiki makalah ini.

Palu, 06 November 2021


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

A Latar Belakang..........................................................................................................1

B Rumusan Masalah.....................................................................................................1

C Tujuan.......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2-5

BAB III PENUTUP.............................................................................................................6

A Kesimpulan...............................................................................................................6

B Saran.........................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di seluruh penjuru dunia. Bencana
dapat berdampak kepada individu, keluarga dan komunitas. Bencana adalah gangguan serius
yang mengganggu fungsi komunitas atau penduduk yang menyebabkan manusia mengalami
kerugian, baik kerugian materi, ekonomi atau kehilangan penghidupan yang mana berpengaruh
terhadap kemampuan koping manusia itu sendiri.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana


menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena
itu, Undang-Undang ini mendefisinikan bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Negara Indonesia dikenal dengan negeri seribu bencana. Berbagai macam jenis bencana,
baik yang d`isebabkan oleh faktor alam, atau faktor perbuatan manusia, atau karena faktor
keduanya, datang silih berganti melanda Indonesia, seperti gempa bumi, letusan gunung merapi,
banjir, tanah longsor, kebakaran lahan.

Masyarakat sangat penting untuk mengetahui, memahami dan menyadari bahwa bumi
tempat untuk berpijak sehari hari merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana, sehingga
bencana bisa terjadi kapan saja dan di wilayah mana saja. Manusia tidak bisa memprediksi
dengan tepat kapan dan dimana terjadinya. Namun demikian perlu disadari bahwa bencana bisa
dikelola sehingga dampaknya dapat dikendalikan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada pembahasan ini adalah
Bagaimana Budaya Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana.

C. Tujuan
Untuk mengetahui Budaya Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana.
BAB II
PEMBAHASAN

Pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana saat ini sangat dibutuhkan,


dikarenakan bencana merupakan kejadian yang jarang dapat diprediksi secara cepat dan tepat
kapan akan terjadi, oleh karena itu bangunan pengetahuan masyarakat atas bencana di
lingkungan mereka sangat penting. Kejadian bencana memang tidak dapat dicegah, tetapi
jatuhnya korban dapat diminimalisir apabila penduduk memiliki kesiapan psikologis dini
terhadap bencana alam (Fathiyah dan Harahap, 2007).

Salah satu cara untuk mengurangi dampak bencana adalah dengan memanfaatkan kearifan
lokal (selanjutnya disebut dengan pengetahuan lokal) dalam memahami tanda-tanda sebelum
bencana berlangsung. Wisner (2009) mendefinisikan pengetahuan lokal sebagai totalitas
persepsi, keyakinan, pemahaman, dan keterampilan yang digunakan oleh satu atau lebih anggota
komunitas atau secara potensial dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Pengetahuan lokal
dilihat menjadi dasar untuk pengambilan keputusan tingkat lokal pada aktivitas kehidupan
sehari-hari untuk subsistensi dan interaksi sosial.
Ada beberapa pengetahuan penting yang bersumber dari karakteristik kearifan lokal ini,
yaitu
1) Berasal dari dalam masyarakat sendiri;
2) Disebarluaskan secara informal maupun non-formal;
3) Dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan;
4) Dikembangkan ke generasi dan mudah diadaptasi, serta tertanam di dalam cara hidup
masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup. (Hiryanto dan Fathiyah, 2013).

Berbagai literatur mencoba untuk mendefinisikan apa itu pengetahuan lokal. Sebagai contoh
definisi yang digagas oleh Berkes (1999), pengetahuan lokal adalah bagian dari kearifan lokal
(local widom), di mana pengetahuan lokal dipegang oleh penduduk asli, terikat dengan budaya
tertentu, dan unik. Terminologi “lokal” mengacu pada tempat, wilayah, dan sebaran pengetahuan
(misalnya adanya migrasi manusia secara rutin - pengembara, pendatang musiman). Dalam
konteks bencana, pengetahuan lokal seharusnya direkonstruksi tidak hanya sebagai pengetahuan
yang “otentik”, tetapi juga dapat dibaurkan dengan nilai-nilai modern sehingga dapat
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Sejatinya, pengetahuan lokal dihasilkan dari
observasi/amatan panjang atas pengalaman dan interaksi antara manusia dan alam, lokal dan
global (Nygren, 1999). Pendapat senada disampaikan oleh Pareek dan Trivedi (2011) bahwa
pengetahuan lokal mampu mengungkapkan pandangan atas dunia melalui sudut pandang
masyarakat lokal setempat.

Salah satu manfaat dari merawat dan merevitalisasi pengetahuan lokal dalam konteks
bencana, yaitu ketika peristiwa gempa bumi dan tsunami di kawasan Samudera Hindia pada
akhir Desember 2004. Bencana tersebut telah menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh,
tetapi tidak di Pulau Simeulue. Padahal pulau ini merupakan daratan terdekat dengan pusat
terjadinya gempa bumi (Kolibri, 2012). Rendahnya jumlah korban dikarenakan masyarakat
masih mengingat pengetahuan lokal tentang tsunami yang disebut smong. Tak hanya itu,
masyarakat di Maluku Utara juga memiliki pengetahuan lokal akan tsunami. Apabila ikan-ikan
di sekitar pantai naik ke permukaan, maka gempa tak lama lagi akan mengguncang. Kemampuan
mengidentifikasi pertanda bencana diyakini oleh masyarakat Maluku Utara sehingga berhasil
menyelamatkan mereka dari beberapa letusan Gunung Kie Besi pada tahun 1988 (Zamzami dan
Hendrawati, 2014).

Pengetahuan atau kearifan lokal tidak hanya diketahui oleh masyarakat di Indonesia, tetapi
juga di negara lain yang pernah mengalami kejadian bencana. Salah satunya yaitu masyarakat
adat Moken yang ada di Thailand. Masyarakat adat Moken dikenal sebagai gipsi laut nomaden di
Thailand dan secara tradisional menempati Kepulauan Surin (Arunotai, 2007). Jika di Simeulue
dikenal dengan smong, masyarakat adat Moken mengenal legenda Legend of the Seven Rollers
and the Laboon yang menceritakan tentang “gelombang yang memakan manusia” (dikenal
dengan tsunami). Legenda ini diceritakan turun temurun oleh kakek-nenek mereka, sehingga
masyarakat adat Moken dapat mengidentifikasi tsunami ketika tanda-tanda alam persis seperti
yang ditemukan dalam legenda tersebut (Singh, 2011).

Wimal Dissanayake (2009), seorang akademisi komunikasi yang mengenalkan konsep Asian
Perspective on Communication menyatakan bahwa “komunikasi adalah sumber kehidupan
masyarakat”. Tidak ada aktivitas manusia di dunia yang tidak mengandung unsur komunikasi.
Ruben dan Steward (2013) menjelaskan pula bahwa tidak ada kegiatan yang lebih mendasar
untuk kehidupan kita secara pribadi, sosial, atau profesional kecuali aktivitas komunikasi.
Aktivitas komunikasi adalah sebuah proses yang kompleks, tercermin dalam beberapa bentuk
komunikasi, antara lain, kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, profesional, teknologi,
tradisional maupun nasional.

Tradisi komunikasi ritual menjadi salah satu tradisi yang ikut memberikan sumbangan
kepada kajian kebencanaan khususnya dalam memahami nilai, pengetahuan dan tradisi lokal
yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat di lokasi rawan bencana. Semenjak tragedi tsunami
Aceh tahun 2004, beberapa akademisi komunikasi mulai aktif memublikasikan hasil riset tentang
bencana dan unsur lokal masyarakat sebagai strategi pengurangan risiko bencana. Beberapa
contoh hasil riset komunikasi ritual yang memfokuskan pada isu kebencanaan antara lain
dilakukan oleh Susmayadi, Sudibyakto, Kanagae, Adiyoso dan Suryanti (2014) dengan
mengambil fokus bagaimana masyarakat di kawasan pantai Parangtritis dapat menjaga diri
ketika menghadapi bencana.

Hasil penelitian bahwa ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menyusun strategi
komunikasi pengurangan risiko bencana, yaitu

1) Pesan yang mudah dipahami (secara visual dan non-visual);


2) Partisipasi aktif dari komunitas penduduk lokal dalam mengidentifikasi bencana;
3) Pesan dapat dikemas dalam dua bahasa (bilingual) – bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
agar dapat dipahami baik oleh penduduk lokal maupun turis. Ketiga aspek ini
direkomendasikan mengingat pantai Parangtritis adalah destinasi favorit wisatawan
domestik maupun mancanegara dengan tingkat kerentanan bencana yang cukup tinggi.

Salah satu pelopor kajian komunikasi ritual, James W. Carey (1992) menyebutkan bahwa
aktivitas komunikasi merupakan kegiatan berbagi, berpartisipasi, berkumpul, dan memiliki
keyakinan yang sama atas nilai-nilai tertentu. Senada dengan pendapat sebelumnya,
Rothenbuhler dan Coman (2005) menekankan bahwa proses komunikasi yang terjadi dalam
komunikasi ritual bukanlah berpusat pada pemindahan informasi, melainkan lebih
mengutamakan dimensi berbagi (sharing) mengenai budaya bersama (common culture). Bahkan,
Radford (2005) menganggap bahwa komunikasi sebagai sebuah kegiatan sacral dan keramat.
Proses komunikasi dalam perspektif ritual ibarat sebuah upacara suci atau sacred ceremony di
mana setiap individu yang ikut mengambil bagian secara bersama dalam bersekutu dan
berkumpul. Aktivitas yang diutamakan adalah soal kebersamaan masyarakat dalam melakukan
doa, bernyanyi dan seremonialnya.

Bagi peneliti, perspektif komunikasi ritual menjadi relevan untuk digunakan sebagai
landasan berpikir khususnya penelitian yang memfokuskan pada eksplorasi dan pemanfaatan
nilai/pengetahuan/tradisi lokal sebagai upaya pengurangan risiko bencana. Adanya common
culture yang sama tentang definisi, tanda-tanda bencana serta praktik pengelolaan lingkungan
menjadikan masyarakat memiliki coping strategy tersendiri dalam menghadapi bencana. Sejak
saat itulah, perspektif komunikasi ritual menjadi penting untuk dipakai dalam kajian
kebencanaan di Indonesia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kejadian bencana memang tidak dapat dicegah, tetapi jatuhnya korban dapat
diminimalisir apabila penduduk memiliki kesiapan psikologis dini terhadap bencana Salah satu
cara untuk mengurangi dampak bencana adalah dengan memanfaatkan kearifan lokal
(selanjutnya disebut dengan pengetahuan lokal) dalam memahami tanda-tanda sebelum bencana
berlangsung. Ada beberapa pengetahuan penting yang bersumber dari karakteristik kearifan lokal
ini, yaitu (1) berasal dari dalam masyarakat sendiri; (2) disebarluaskan secara informal maupun
non-formal; (3) dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan; (4) dikembangkan ke
generasi dan mudah diadaptasi, serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana
untuk bertahan hidup. Berbagai literatur mencoba untuk mendefinisikan apa itu pengetahuan
lokal. Sebagai contoh definisi yang digagas oleh Berkes (1999), pengetahuan lokal adalah bagian
dari kearifan lokal (local widom), di mana pengetahuan lokal dipegang oleh penduduk asli,
terikat dengan budaya tertentu, dan unik. Tradisi komunikasi ritual menjadi salah satu tradisi
yang ikut memberikan sumbangan kepada kajian kebencanaan khususnya dalam memahami
nilai, pengetahuan dan tradisi lokal yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat di lokasi rawan
bencana seperti yang terjadi pada tragedi tsunami Aceh tahun 2004. Bagi para peneliti,
perspektif komunikasi ritual menjadi relevan untuk digunakan sebagai landasan berpikir
khususnya yang memfokuskan pada eksplorasi dan pemanfaatan nilai/pengetahuan/tradisi lokal
sebagai upaya pengurangan risiko bencana.

B. Saran
Masyarakat maupun pemerintah perlu memperhatiakan dalam menyikapi kejadian
bencana yang datang bertubi tubi di Indonesia maupun lingkungan sekitar yang rawan bencana.
Pemerintah berperan aktif untuk menyikapi hal tersebut serta mengarahkan dan membangun
masyarakat yang sadar akan bencana. Yang dimaksud dengan masyarakat sadar bencana adalah :
kondisi masyarakat yang memiliki pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan kepedulian
dengan hal-hal yang berkaitan dengan kebencanaan, sehingga memiliki kesadaran untuk bersikap
dan melakukan adaptasi di wilayah yang rawan bencana dengan sebaik baiknya, dan dapat
berpartisipasi secara aktif dalam meminimalisir terjadinya bencana atau mengatasi dampak
apabila terjadi bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.


Sekretariat Negara. Jakarta.

Istiyanto, B. "Penggunaan Media Komunikasi Tradisional sebagai Upaya Pengurangan Jatuhnya


Korban Akibat Bencana Alam." Jurnal Ilmu Komunikasi 2, no. 2 (2013): 25-37.

Anda mungkin juga menyukai