OLEH :
KELOMPOK 4
Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini merupakan
salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan Bencana.
Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak dan sumber. Karena itu kami sangat menghargai
bantuan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga
semangat, buku-buku dan beberapa sumber lainnya sehingga tugas ini bias
terwujud. Oleh karena itu, melalui media ini kami sampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan
jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan
yang kami miliki. Maka itu kami dari pihak penyusun sangat mengharapkan saran
dan kritik yang dapat memotivasi saya agar dapat lebih baik lagi dimasa yang
akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana merupakan gangguan atau kekacauan fungsi sosial yang
serius yang menyebabkan meluasnya kerugian jiwa, materi atau lingkungan.
Bencana terjadi ketika sumber daya atau kapasitas yang tersedia sangat tidak
memadai dalam mengatasi ancaman (hazard). Bencana juga berarti proses
dimana ada jarak antara kejadian alam seperti tsunami, gempa bumi, badai dan
sebagainya dengan kejadian bencana seperti kehilangan, kematian dan
sebagainya. Jarak antara kejadian alam dan kejadian bencana sangat
bergantung pada tingkat distribusi kerentanan yang terjadi (UU Penanganan
Bencana No. 24/2007).
Statistik bencana dunia tahun 1995 – 2006 menyebutkan bahwa
trend bencana terus menerus terjadi setiap tahun dengan jumlah korban dan
kerugian ekonomis semakin meningkat yang menunjukan bahwa bencana
terjadi secara berkelanjutan. Bencana alam yang terjadi di Indonesia antara
lain Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban
kurang lebih 170.000 orang meninggal, 500.000 orang kehilangan tempat
tinggal dan belasan ribu anak jadi yatim piatu, bencana meluapnya Lumpur
Lapindo dan gempa bumi di Jogjakarta pada tahun 2007 yang menyebabkan
banyak korban menderita kerugian baik berupa kehilangan tempat tinggal,
kerugian ekonomi dan lain lain.
Dampak bencana terhadap masyarakat antara lain kehilangan orang
yang dicintai, kehilangan rumah dan kepemilikan lain, kerusakan lingkungan,
kerusakan struktur dan fungsi sosial, trauma psikologis yang berkepanjangan/
respon pasca trauma akibat keterpaparan terhadap korban cedera dan
kematian, respon histeris saat bencana, tidak adekuatnya koping strategis,
kurangnya dukungan/support dan lain lain. Faktor yang mempengaruhi respon
individu terhadap bencana yang dialami adalah derajat atau tingkat
keterpaparan terhadap bencana, dan pandangan atau penerimaan individu
terhadap bencana yang dialami.
1
Managemen penanganan bencana telah memiliki dasar hukum atau
peraturan yang jelas secara Nasional dan Internasional. Rengelolaan bencana
International antara lain telah terbentuknya badan atau organisasi
penanggulangan bencana antara lain International Decade for Natural
Disaster Reduction (IDNDR) tahun 1990-2000, World Conference on Natural
Disater Reduction di Yokohama tahun 1994, World Conference for Disaster
Reduction (WCDR) di Kobe tahun 2005. Organisasi tersebut melakukan
koordinasi dengan organisasi penanggulangan bencana lokal di daerah
bencana dan memberikan bantuan berupa materi, fasilitas dan personil dalam
penanggulangan bencana kepada negara negara di dunia.
Managemen penanggulangan bencana di Indonesia telah memiliki
dasar hukum yang jelas seperti yang tertuang dalam UU Penanggulangan
Bencana No. 24 tahun 2007 bahwa kordinasi penanggulangan bencana yang
sebelumnya dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) sesuai
Keppres No. 11/2001 digantikan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB). Dalam pasal pasal UU No. 24/2007 telah mengatur
tanggung jawab dan wewenang organisasi atau lembaga nasional, daerah dan
internasional dalam penanggulangan bencana; mengatur hak dan kewajiban
masyarakat; managemen penanggulangan bencana yang terdiri dari pra
bencana (Predisaster), selama bencana (during diaster) dan setelah bencana
(after disaster), serta mengatur proses pendanaan, pengelolaan bantuan,
pengawasan dan penyelesaian sengketa akibat bencana. Meskipun setelah
dilakukan evaluasi, kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana secara
umum berjalan baik namun tidak efektif dalam menanggulangi masalah
Lumpur Lapindo (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org)
Usaha penanggulangan bencana yang bersifat mengandalkan peran
aktif Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas) memiliki banyak
kelemahan antara lain sangat tergantung pada stabilitas ekonomi negara, krisis
keuangan negara dan utang luar negeri sehingga mengalami masalah dalam
pembiayaan persiapan dan pengadaan personil, fasilitas, penyelesaian
sengketa dengan korban bencana sehingga penekanan bantuan yang diberikan
hanya pada respon emergency (selama bencana) dan respon pemulihan; hanya
2
fokus pada bantuan fisik, material dan teknis semata serta hanya fokus pada
penyelesaian sengketa pada satuan keluarga (ADPC 2003 dalam www.ntt-
academia.org)
Berdasarkan hal tersebut maka muncul paradigma baru dalam
penanggulangan bencana yaitu Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas
(Community Based Disaster Risk Management/CBDRM). CBDRM adalah
pemberdayaan komunitas agar dapat mengelola bencana dimana masyarakat
terlibat atau difasilitasi untuk terlibat aktif dalam pengelolaan resiko bencana
(perencanaan, implementasi, pengawasan, evaluasi) dengan input sumber daya
lokal maksimum dan input eksternal minimun.
CBDRM memiliki kelebihan dibanding penanggulangan bencana
mengandalkan peran aktif Bakornas antara lain melibatkan peran serta aktif
masyarakat dalam pengelolaan bencana dengan cara mereduksi risiko
bencana/ kerentanan dan meningkatkan kapasitas individu/keluarga/komunitas
dalam menghadapi dampak bencana sedangkan pihak luar (LSM, donor,
pemerintah/Bakornas) berperan mendukung dan menfasilitasi misalnya
membantu analisis situasi, mengukur tingkat perencanaan dan implementasi
CBDRM. Fokus CBDRM bukan hanya pada saat terjadi bencana tetapi
meliputi seluruh elemen perencanaan/ siklus penanganan bencana yaitu
sebelum bencana, selama bencana dan setelah bencana.
Peran perawat komunitas sangat penting dalam meningkatkan
kemandirian masyarakat dalam penanggulangan bencana karena perawat
komunitas dengan ilmu dan keterampilan keperawatan yang dimiliki serta
kemampuan pengelolaan masyarakat dalam peningkatan status kesehatannya.
Peran perawat komunitas antara lain pada saat sebelum bencana berperan
sebagai pendidik dan motivator bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam
penanggulangan bencana, sebagai fasilitator dalam membantu masyarakat
mengidentifikasi faktor resiko bencana yang ada di masyarakat,
mengidentifikasi kapasitas/kemampuan atau sumber daya yang ada di
masyarakat yang dapat digunakan dalam penanggulangan bencana, membantu
menyusun perencanaan penanggulangan bencana dan pedoman implementasi
dan evaluasi, serta menjadi fasilitator dalam mengawasi dan mengevaluasi
3
program penanggulangan bencana di masyarakat. Selain berperan sebagai
fasilitator bagi masyarakat, seorang perawat komunitas juga harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan korban bencana pada
kondisi emergency saat bencana terjadi serta berperan aktif dalam rehabilitasi
korban bencana baik rehabilitasi fisik maupun rehabilitasi psikologis akibat
bencana.
Dalam menjalankan peran dan tugasnya membantu masyarakat
dalam penanggulangan bencana maka seorang perawat komunitas harus
memiliki kompetensi tertentu yang terdiri dari (1) Sikap/ perilaku yang
mendasar sebagai perawat bencana , (2) Pengkajian sistematik terhadap
kebutuhan pelayanan keperawatan, (3) Pemberian Perawatan kepada individu
yang rentan dan keluarganya, (4) Managemen perawatan dalam kondisi
bencana, (5) Membuat laporan praktek keperawatan pada saat terjadi bencana
dan terus menerus mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri tentang
perawat bencana.
Makalah ini akan menguraikan secara lebih jelas tentang
managemen penanggulangan bencana yang terdiri dari managemen dan
aplikasi pendidikan kesehatan dalam pencegahan dan penanggulangan dampak
buruk bencana dan kesiapsiagaan.
B. Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan pendidikan kesehatan ?
B. Apa saja tujuan pendidikan kesehatan ?
C. Apa saja sasaran pendidikan kesehatan ?
D. Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan ?
E. Apa saja ruang lingkup pendidikan kesehatan ?
F. Apa saja metode pendidikan kesehatan ?
G. Apa saja media pendidikan kesehatan ?
H. Apa yang dimaksud dengan pendidikan bencana ?
I. Apa yang dimaksud dengan pengetahua ?
J. Bagaimanakah peran perawat dalam managemen bencana ?
K. Apa yang dimaksud dengan kesiapsiagaan?
4
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pendidikan kesehatan
2. Mengetahui tujuan pendidikan kesehatan
3. Mengetahui sasaran pendidikan kesehatan
4. Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan
5. Mengetahui ruang lingkup pendidikan kesehatan
6. Mengetahui metode pendidikan kesehatan
7. Mengetahui media pendidikan kesehatan
8. Mengetahui pendidikan bencana
9. Mengetahui pengetahuan terkait bencana
10. Mengetahuiperan perawat dalam managemen bencana
11. Mengetahui kesiapsiagaan bencana
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Mungkin saja sebenarnya ia menderita batin atau menderita
gangguan jiwa yang menyebabkan ia tidak stabil, tingkah laku dan
sikapnya. Untuk menapai sehat seperti definisi diatas, maka orang harus
mengikuti berbagai latihan atau mengetahui apa saja yang harus dilakukan
agar orang benar-benar menjadi sehat.
b. Mengubah perilaku kaitannya dengan budaya
Sikap dan perilaku adalah bagian dari budaya. Kebiasaan, adat
istiadat, tata nilai atau norma, adalah kebudayaan. Mengubah kebiasaan,
apalagi adat kepercayaan yang telah menjadi norma atau nilai di suatu
kelompok masyarakat, tidak segampang itu untuk mengubahnya. Hal itu
melalui proses yang sangat panjang karena kebudayaan adalah suatu sikap
dan perilaku serta cara berpikir orang yang terjadinya melalui proses
belajar. Meskipun secara garis besar tujuan dari pendidikan kesehatan
mengubah perilaku belum sehat menjadi perilaku sehat, namun perilaku
tersebut ternyata mencakup hal yang luas, sehingga perlu perilaku tersebut
dikategorikan secara mendasar. Susilo membagi perilaku kesehatan
sebagai tujuan pendidikan kesehatan menjadi 3 macam yaitu :
1) Perilaku yang menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di
masyarakat. Dengan demikian kader kesehatan mempunyai tanggung
jawab di dalam penyuluhannya mengarahkan pada keadaan bahwa
cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari.
2) Secara mandiri mampu menciptakan perilaku sehat bagi dirinya sendiri
maupun menciptakan perilaku sehat di dalam kelompok. Itulah
sebabnya dalam hal ini Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC = Primary
Health Care) diarahkan agar dikelola sendiri oleh masyarakat, dalam
hal bentuk yang nyata adalah PKMD. Contoh PKMD adalah Posyandu.
Seterusnya dalam kegiatan ini diharapkan adanya langkah-langkah
mencegah timbulnya penyakit.
3) Mendorong berkembangnya dan penggunaan sarana pelayanan
kesehatan yang ada secara tepat. Ada kalanya masyarakat
memanfaatkan sarana kesehatan yang ada secara berlebihan Sebaliknya
sudah sakit belum pula menggunakan sarana kesehatan yang ada
7
sebagaimana mestinya.
8
e. Ketersediaan waktu di masyarakat
Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat
aktifitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat dalam
penyuluhan.
9
F. Metode Pendidikan Kesehatan
Metode pendidikan kesehatan menurut Achyar (2009), yaitu :
a. Metode ceramah
Ceramah ialah menyajikan pelajaran melalui penuturan secara
lisan atau penjelasan langsung.
b. Metode diskusi kelompok
Diskusi kelompok ialah percakapan yang dipersiapkan diantara tiga
orang atau lebih membahas topik tertentu dengan seorang pemimpin, untuk
memecahkan suatu permasalahan serta membuat suatu keputusan.
c. Metode panel
Panel adalah pembicara yang sudah direncanakan di depan
pengunjung atau peserta tentang sebuah topik dan diperlukan tiga panelis
atau lebih serta diperlukan seorang pemimpin.
d. Metode permainan peran
Bermain peran adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari
simulasi yang diarahkan untuk mengkreasikan peristiwa sejarah, aktual,
atau kejadian yang akan datang.
e. Metode demonstrasi
Demonstrasi ditunjukan untuk mengevaluasi perubahan
psikomotor dengan memperliatkan cara melaksanakan suatu tindakan atau
prosedur dengan alat peraga dan tanya jawab.
10
balik dan berbentuk buku. Biasanya berisi gambar dibaliknya berisi
pesan kalimat berisi informasi berkaitan dengan gambar tersebut.
5. Rubik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai hal
yang berkaitan dengan hal kesehatan.
6. Poster :berbentuk media cetak berisi pesan-pesan kesehatan biasanya
ditempel di tembok-tembok tempat umum dan kendaraan umum.
7. Foto : yang mengungkapkan masalah informasi kesehatan.
b. Media elektronik
1. Televisi : dalam bentuk ceramah di TV, sinetron, sandiwara, dan vorum
diskusi tanya jawab dan lain sebagainya. Radio :bisa dalam bentuk
ceramah radio, sport radio, obrolan tanya jawab dan lain sebagainya.
2. Vidio Compact Disc (VCD).
3. Slide : slide juga dapat digunakan sebagai sarana informasi.
4. Film strip juga bisa digunakan menyampaikan pesan kesehatan.
c. Media papan (bill board)
Papan yang dipasang di tempat-tempat umum dan dapat
dipakai dan diisi pesan-pesan kesehatan.
H. Pendidikan Bencana
Pendidikan bencana adalah merupakan proses pembelajaran
melalui penyediaan informasi, pengetahuan, dan kewaspadaan terhadap
peserta didik guna membentuk kesiapan bencana di level individu dan
komunitas. Melalui pendidikan bencana, peserta didik didorong untuk
mengetahui resiko bencana, mengumpulkan informasi terkait mitigasi
bencana, dan menerapkannya pada situasi bencana (Shiwaku et al., 2007).
Aplikasi bencana yang secara sederhana dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari meliputi melakukan simulasi bencana di keluarga,
menolong korban bencana, memiliki perlengkapan darurat (disaster kit),
mengetahui tempat berlindung saat bencana, dan mengetahui fasilitas tanggap
darurat yang tersedia di instansi terkait (Kapucu, 2008).
11
I. Pengetahuan
a. Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan merupakan hasil
dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan
sebagian besar diperoleh dari mata dan telinga. Pengatahuan merupakan
pedoman dalam membentuk tindakan seseorang.
b. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif
menurut Notoatmodjo (2012) mempunyai enam tingkat, yakni:
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Contoh tahu yaitu dapat
menyebutkan tanda – tanda gerakan tanah.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi
materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip, dan penggunakan rumus statistik.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannnya satu sama
lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari pengggunaan kata-kata
kerja dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
12
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat
meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori
atau rumsan-rumusan yang telah ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Evaluasi
dilakukan dengan menggunakan kriteria sendiri atau kriteria yang telah
ada. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cara tradisional dan juga cara
modern (Suparyanto, 2012), cara tradisional ada empat cara yaitu:
a) Cara coba-salah (trial and error)
b) Cara kekuasaan atau otoritas
c) Berdasarkan pengalaman pribadi
d) Melalui jalan pikiran
Pengetahuan yang diperoleh dengan cara tradisional ada dua cara yaitu:
1) Metode berfikir induktif
2) Metode berfikir deduktif
Pengetahuan yang diperoleh dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor
eksternal (Suparyanto, 2012), faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Faktor Internal
a) Pendidikan
Tokoh pendidikan abad 20 M. J. Largevelt yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2003) mendefinisikan bahwa pendidikan adalah setiap
usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak
yang tertuju kepada kedewasaan. Sedangkan GBHN Indonesia
mendefinisikan bahwa pendidikan sebagai suatu usaha dasar untuk dari
pengalaman dan kematanganjiwanya, makin tua seseorang maka makin
kondusif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi.
13
2) Faktor Eksternal
a) Informasi
Informasi adalah keseluruhan makna dapat diartikan sebagai
pemberitahuan seseorang adanya informasi baru mengenai suatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut. Pesan-pesan sugestif dibawa oleh informasi tersebut apabila arah
sikap tertentu. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menggunakan
kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi yang berpengaruh perubahan
perilaku, biasanya digunakan malalui media massa.
b) Kebudayaan/Lingkungan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pengetahuan kita. Apabila dalam suatu wilayah
mempunyai budaya untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan maka
sangat mungkin berpengaruh dalam pembentukan sikap atau sikap
seseorang.
Pembriati (2013) menerangkan bahwa pengertian pengetahuan
kebencanaan adalah kemampuan dalam mengingat peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia yang dapat
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Priambodo (2013:22)
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan bencana adalah suatu
kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan antara keduanya yang
terjadi secara tiba – tiba sehingga menimbulkan dampak negatif yang
dahsyat bagi kelangsungan kehidupan. Pendapat ini didukung adanya
Pasal 1 Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang menerangkan bahwa bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
14
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis. Jenis – jenis bencana dibagi menjadi tiga
yaitu:
- Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor.
- Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
- Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan
teror. Saat darurat bencana dan peristiwa krisis secara alami kacau dan
sangat dinamis, menciptakan fisik, emosional, dan kekacauan sosial.
Peristiwa krisis tersebut dan keadaan darurat, komunikasi sangat
penting pada semua fase penanggulangan bencana. Komunikasi
selama darurat menggabungkan berbagai langkah-langkah untuk
mengelola risiko bagi masyarakat dan lingkungan, menggambar dari
berbagai sumber yang mencakup satelit telekomunikasi, radar,
telemetri, meteorologi dan remote sensing, peringatan dini dibuat
mungkin. Sebelum terjadi bencana, telekomunikasi dapat digunakan
sebagai saluran untuk menyebarkan informasi tentang bahaya yang
akan datang, sehingga memungkinkan bagi orang untuk mengambil
tindakan yang diperlukan untuk mengurangi dampak bahaya ini.
Aplikasi telekomunikasi lainnya, termasuk penginderaan jauh dan
Global Positioning System (GPS), memiliki peran penting dalam
pelacakan mendekati bahaya, peringatan pihak berwenang, peringatan
15
yang terpengaruh populasi, operasi bantuan koordinasi, menilai
kerusakan dan memobilisasi dukungan untuk rekonstruksi.
F. Peran Perawat Dalam Managemen Bencana
Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi pelayanan keperawatan
tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi bencana. Perawat tidak hanya
dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan saja.
Kemampuan tanggap bencana juga sangat dibutuhkan saat keadaan darurat. Hal ini
diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan
dalam situasi bencana. Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda
dibandingkan pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Menurut
Mursalin (2011), ada beberapa tindakan penting yang bisa dilakukan oleh perawat
dalam situasi tanggap bencana :
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan
fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat,
sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan
oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut
andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga perawat atau pun tenaga
kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan bersama perawat
lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan
yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan
luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,
dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,
seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara
langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu,
16
Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan di
tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu,
sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan
tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma
psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit
trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa
pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan
mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana. Hal
yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan
kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa,
pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan
keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi
penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif
adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat
sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat
mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehingga
kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca
bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat
memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang
mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam
menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan
keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu
mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak.
Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan
17
berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu.
Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu
membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas, menurut Mepsa (2012) perlu
adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya
adalah, perawat harus memiliki skill keperawatan yang baik, perawat harus
memiliki jiwa dan sikap kepedulian, perawat harus memahami managemen siaga
bencana. Adapun peran perawat dalam menagemen siaga bencana adalah sebagai
berikut :
1. Peran perawat dalam fase pre-impect
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana.
c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana.
2. Peran perawat dalam fase impact
a. Bertindak cepat
b. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti dengan
maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.
c. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan
d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan
e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk
jangka waktu 30 bulan pertama.
3. Peran perawat dalam fase post impact
a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik,
fisikologi korban.
18
b. Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga
terjadi post traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan
sindrom dengan 3 kriteria utama. Pertama, gejala trauma
pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut mengalami
gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun
peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu akan
menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan
PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan
bersalah dan gangguan memori.
c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang
terkait bekerja sama dengan unsure lintas sektor menangani
maslah keehatan masyarakat paska gawat darurat serta
mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju keadaan
sehat dan aman.
J. Kesiapsiagaan
a. Pengertian Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak
negatif dari bencana. Kesiapsiagaan bencana merupakan proses dari penilaian,
perencanaan dan pelatihan untuk mempersiapkan sebuah rencana tindakan
yang terkoordinasi dengan baik (Undang-Undang No.24 Tahun 2007).
Berdasarkan LIPI (2006), Ada 7 (tujuh) stakeholder yang berkaitan
erat dengan kesiapsiagaan bencana, yaitu : individu dan rumah tangga,
instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas
sekolah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non pemerintah
(Ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari
ke tujuh stakeholders tersebut, rumah tangga, pemerintah dan komunitas
sekolah disepakati sebagai stakeholders utama dan empat stakeholders lainnya
19
sebagai stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan bencana.
Kesiapsiagaan bencana mencakup langkah-langkah untuk
memprediksi, mencegah dan merespon terhadap bencana. Koordinasi lintas
sektoral diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut seperti yang telah
disebutkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006), bahwa ruang lingkup
kesiapsiagaan dikelompokkan kedalam empat parameter yaitu pengetahuan
dan sikap (knowledge and attitude), perencanaan kedaruratan (emergency
planning), sistem peringatan (warning system), dan mobilisasi sumber daya.
Pengetahuan lebih banyak untuk mengukur pengetahuan dasar mengenai
bencana alam seperti ciri-ciri, gejala dan penyebabnya. Perencanaan
kedaruratan lebih ingin mengetahui mengenai tindakan apa yang telah
dipersiapkan menghadapi bencana alam. Sistem peringatan adalah usaha apa
yang terdapat di pemerintahan/masyarakat dalam mencegah terjadinya
korban akibat bencana dengan cara tanda-tanda peringatan yang ada.
Sedangkan mobilisasi sumber daya lebih kepada potensi dan peningkatan
sumber daya di pemerintahan/masyarakat seperti keterampilan-keterampilan
yang diikuti, dana dan lainnya.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas
lintas sektor yang berkelanjutan. Kegiatan itu membentuk suatu bagian yang
tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggungjawab untuk
mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan bencana
(pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi, dan atau
rekonstruksi) di Indonesia dikenal dengan Bakornas PB. Satu hal terpenting
untuk memastikan mutu dan efektivitas program kesiapsiagaan bencana dan
kedaruratan adalah melakukan koordinasi, penilaian dan evaluasi secara hati-
hati terhadap program-program yang telah disiagakan untuk memastikan
bahwa program tersebut dapat dioperasikan secara efektif.
Pan American Health Organization (PAHO, 2006), menyebutkan
Penanganan pelayanan kesehatan untuk korban cedera dalam jumlah besar
diperlukan segera setelah terjadinya bencana tanah longsor. Oleh karena itu
20
dibutuhkan kesiagaan untuk pertolongan pertama dan pelayanan kedaruratan
dalam beberapa jam pertama. Banyaknya korban jiwa yang tidak tertolong
karena minimnya sumber daya lokal, termasuk transportasi yang tidak
dimobilisasi segera. Sumber daya lokal sangat menentukan dalam penanganan
korban pada fase darurat. Tanggungjawab sektor kesehatan pada saat bencana
praktis mencakup semua aspek operasi normal pra-bencana. Semua
departemen teknis dan layanan penunjang dilibatkan pada saat terjadinya
bencana besar. Kesiapsiagaan harus ditujukan pada semua kegiatan kesehatan
dan sektor lainnya dan tak bisa dibatasi pada aspek yang paling terlihat dari
pengelolaan korban massal dan layanan kegawatdaruratan saja.
Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di
lingkungan Dinas Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala
Dinas Kesehatan dengan surat keputusan (Depkes RI, 2007).
Pendidikan dan pelatihan kebencanaan merupakan salah satu
upaya penanggulangan bencana pada tahap kesiapsiagaan bencana. (Renstra
BNPB 2010-2014). Pelatihan kebencanaan sangat diperlukan baik untuk
petugas maupun untuk masyarakat yang bakal terkena bencana.
(Soehatman,2010). Pelatihan yang diperlukan berkaitan dengan
penanggulangan bencana misalnya:
1) Pelatihan mengenai manajemen resiko bencana, diharapkan petugas
memiliki wawasan mengenai manajemen bencana termasuk perundang-
undangannya sehingga mampu mengembangkannya dilingkungan masing-
masing, mampu menyusun dan menilai suatu analisa resiko bencana.
2) Pelatihan mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya,
misalnya bencana banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, bencana industri,
atau bencana sosial.
3) Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya.
4) Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.
5) Pelatihan mengenai prosedur penanggulangan bencana yang meliputi
mitigasi bencana, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan
21
rekonstruksi.
6) Pelatihan mengenai sistem informasi dan komunikasi bencana.
7) Pelatihan manajemen logistik bencana.
8) Pelatihan standar pelayanan minimal kesehatan bencana dan pengungsi.
22
Jalur komunikasi secara internal dan eksternal. Jalur komunikasi untuk
koordinasi personil, fasilitas dan transportasi dalam penanggulangan
bencana harus jelas dan siaga termasuk informasi dari tempat kejadian
bencana ke posko atau rumah sakit rujukan korban bencana.
Perencanaan terhadap penanganan korban bencana (coordinated patient
care), termasuk didalamnya triage korbaan bencana, sistem rujukan dan
transportasi ke posko atau rumah sakit rujukan korban bencana.
Perencanaan keamanan terhadap korban, fasilitas dan personil terhadap
kondisi yang sangat parah dan mengancam
Identifikasi sumber atau fasilitas penanganan bencana baik lokal, regional
dan negara serta bagaimana menghubunginya
Pedoman penanganan korban bencana, masyarakat, media dan strategi
pembagian tugas dalam tim
Strategi managemen data korban dan kejadian bencana
Penanganan respon pasca bencana
Pedoman penyelamatan diri bagi masyarakat dan melakukan latihan
sebelum bencana terjadi
Antisipasi kebutuhan masyarakat setelah bencana seperti air bersih dan
makanan untuk jangka waktu yang lama
Perkiraan insiden kejadian bencana serta strategi identifikasi bencana seperti
alarm bencana
Managemen penanggulangan bencana terdiri dari penanganan sebelum
bencana (predisaster), penanganan saat bencana (during disaster) dan penangana
setelah bencana (afterdisaster) selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut :
23
Pengkajian terhadap faktor resiko bencana terdiri dari pengkajian
terhadap lingkungan atau keterpaparan terhadap ancaman (hazard), analisis
kerentanan dan kelompok yang rentan di masyarakat serta analisis sumber atau
kapasitas yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana, selanjutnya
dilakukan pencegahan atau mitigasi dalam rangka menghilangkan dan atau
mengurangi faktor resiko atau ancaman bencana. Tindakan pencegahan dan
mitigasi terdiri dari manajemen lingkungan, upaya fisik dan teknis dalam
mengatasi faktor resiko bencana, regulasi/ legislasi/kebijakan pembangunan yang
mendukung pencegahan bencana, upaya penyadaran dan peningkatan
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta membangun kemitraan
dan jaringan (networking) dalam persiapan bencana. Selain itu dipersiapkan alat
peringatan dini dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Peringatan dini
adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
2) Penanganan saat Bencana
Penanganan saat bencana terdiri dari evakuasi atau penyelamatan
korban bencana dan transportasi korban ke posko atau rumah sakit rujukan korban
bencana. Managemen penyelamatan korban bencana pada jumlah korban yang
sangat banyak maka perlu dilakukan tindakan triage.
KATEGORI PRIORITAS WARNA KONDISI PASIEN
TRIASE
24
pasien dalam kondisi amputasi inkomplit, fraktur
ini dapat berkembang terbuka pada tulang
kearah kematian jika panjang, luka bakar derajat
ditunda 2 atau 3 dengan luas
penanganannya. permukaan tubuh terbakar
15 – 40 %.
25
harus dipisahkan dari
lokasi triage utama.
26
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan
meningkatkan pengetahuan, sikap, praktek baik individu, kelompok atau
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri.
Manfaat pendidikan kesehatan tentunya untuk meningkatkan drajat kesehatan
bagi individu, kelompok dan masyarakat. Dalam makalah ini dibahans juga
sasaran pendidikan kesehatan, faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan
kesehatan, metode pendidikan kesehatan, dan media yang dapat digunakan dalam
memberikan pendidikan kesehatan. Pendidikan Bencana juga dibahas dalam
makalan ini seperti pengertian bencana, peran perawat dalam management
bencana dan kesiapsiaan dalam menghadapi bencana.
B. Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat menambah wawasan
baru, serta dapat mengaplikasikannya dalam bidang keperawatan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Achyar, T. S. dan Betty, D.S. 2008. Bahan Ajar Kuliah Penilaian Indera.
UniversitasPadjadjaran. Bandung
Kandasamy, M. (2007) Community Health Nurse in Disaster Management. Diambil
dari www.proquest.pqdauto. Diakses tanggal 25 Oktober 2019.
Lassa, Jonatan.A 2009. Community Based Approach to Disaster Risk Reduction and
Climate Change Adaptation Towards Sustainable Livelihood: Ten Years
Experiences From PMPB Kupang.
https://www.researchgate.net/publication/41110079_Community_Based_
Approach_to_Disaster_Risk_Reduction_and_Climate_Change_Adaptatio
n_Towards_Sustainable_Livelihood_Ten_Years_Experiences_From_PM
PB_Kupang. Diakses tanggal 25 Oktober 2019
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2009. Kolesterol.Pangan dan
Kesehatan. UPT-Balai Informasi Teknologi.
Mubarak, Wahit Iqbal, 2009. Buku Ajar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta :CV
Sagung Seto.
Notoatmodjo S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Saragih, F,.S. 2010. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Ibu
Tentang Makanan Sehat dan Gizi Seimbang di Desa Merek Raya
Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun Tahun 2010. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara ( USU )
Suparyanto. (2012). Konsep Dukungan Keluarga. Artikel, http://dr-
suparyanto.blogspot.com. Diakses 25 Oktober 2019
Susilo, R. 2011. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Yogyakarta: Nuha
Medika
28