Anda di halaman 1dari 52

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat adalah ISPA

(Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan

hanya bersifat ringan seperti batuk-pilek, disebabkan oleh virus, dan tidak memerlukan

pengobatan dengan antibiotik. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang

disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-

bulan musim dingin. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada

anak, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah (saifoellah noer,buku ajar

ilmu penyakit dalam).

Menurut WHO tahun 2012, sebesar 78% balita yang berkunjung ke pelayanan

kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya pneumonia. ISPA lebih banyak terjadi di

negara berkembang dibandingkan negara maju dengan persentase masing-masing

sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara

sebanyak 2.1 juta balita pada tahun 2004 (Fitri, 2012). India, Bangladesh, Indonesia,

dan Myanmar merupakan negara dengan kasus kematian balita akibat ISPA terbanyak

(Usman, 2012). Kematian balita akibat ISPA di Indonesia mengalami peningkatan

sebesar 20.6% dari tahun 2010 hingga tahun 2011 yaitu 18.2% menjadi 38.8% (Layuk

dan Noer, 2015). Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

merupakanpenyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada

balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3-6 x pertahun. Ini berarti seorang balita rata-
2

rata mendapat serangan batuk, pilek sebanyak 3-6 x setahun. Sebagai kelompok

penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien disarana

kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat dipuskesmas dan 15%-30%

kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh

ISPA (DepKes.RI, 2009). Kematian akibat ISPA terutama Pneumonia di Indonesia,

pada akhir 2000 sekitar 450.000 balita usia 0-5 tahun. Diperkirakan sebanyak 150.000

bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus

perhari atau 17 anak perjam atau seorang bayi / balita tiap lima menit (Depkes.RI,

2009). Prevalensi kejadian ISPA pada balita cenderung meningkat sesuai dengan

meningkatnya umur. antara laki-laki dan perempuan relatif sama, dan sedikit lebih

tinggi di pedesaan. ISPA cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan

dan tingkat pengeluaran per kapita lebih rendah (Riskerdas, 2007).

Data di atas menunjukkan masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA di

Indonesia. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas dua

kelompok besar yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi

umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, satatus imunisasi, pemberian

ASI, dan pemberian vitamin A. faktor ekstrinsik meliputi kepadatan hunian, populasi

udara, tipe rumah, ventilasi, kelembapan, suhu, letak dapur, jenis bahan bakar,

penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan keluarga serta faktor ibu baik

pendidikan ibu, umur ibu, maupun pengetahuan ibu.

Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik

rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung berinteraksi

dengan penghuninya (Depkes, 2009, Panduan konseling bagi petugas klinik sanitasi di
3

puskesmas). Namun dalam penelitian ini hanya membatasi pada faktor umur,

pengetahuan ibu status imunisasi, dan kepadatan hunian. Faktor imunisasi sebagai

penyebab penyakit ISPA, karena Balita yang memiliki status imunisasi yang tidak

lengkap akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan dengan balita yang

memiliki status imunisasi lengkap (Layuk dan Noer, 2015). Faktor kepadatan hunian

merupakan penyebab timbulnya penyakit ISPA. Kepadatan penghuni dalam satu

rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Hal ini tidak sehat

karena disamping menyebabkan kurangnya oksigen, juga bila salah satu anggota

keluarga terkena penyakit infeksi, terutama ISPA akan mudah menular kepada

anggota keluarga yang lainnya (Notoatmodjo, 2015).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, cakupan penemuan ISPA pada balita

tahun 2016 berkisar antara 16.000 kasus, sedangkan pada tahun 2017 terjadi

penurunan menjadi 5.497 kasus. Cakupan penemuan dan penanganan kasus

pneumonia pada balita pada kurun waktu 2012 sampai dengan 2018 mengalami

peningkatan dari 17.433 kasus menjadi 26.545 kasus. Namun pada tahun 2015 sampai

dengan 2017 menurun secara drastis, mulai dari 22.073 kasus menjadi 5.492 kasus di

tahun 2017. Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri.

Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan

sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA

dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi

adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara

Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur

juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia
4

menurut Riskesdas 2017 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2015 (25,5%)

(PUSDATIN Kemenkes RI tahun 2018).

Menurut Data dari Dinas Kesehatan Prov NTB pada tahun 2017, penderita

ISPA di Nusa Tenggara Barat berkisar antara (28,3%), ISPA yang tertinggi terjadi

pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Berdasarkan data tahun 2017 tercatat

penyakit saluran pernapasan akut sebanyak 1.029 penderita diantaranya pneumonia

berat dan pneumonia ringan sebanyak 149 penderita (<1 tahun), 192 penderita (1-4

tahun), 688 penderita (>5 tahun). Sedangkan pada bulan januari-februari 2017 tercatat

penyakit saluran pernapasan akut sebanyak 238 penderita diantaranya pneumonia

berat dan pneumonia ringan sebanyak 41 Penderita (<1 tahun), 58 penderita (1-4

tahun), 139 penderita (>5 tahun) (Laporan tahunan program P2 ISPA di sarana

kesehatan, 2017). Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2017 pasien yang

menggunakan obat nyamuk bakar pada penderita ISPA di Indonesia (48,4%),

khususnya di Nusa Tenggara Barat (45,6%).

Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kab. Lombok Tengah

pada tahun 2017, penderita ISPA pada anak di Kab. Lombok Tengah sebesar 75.827

kasus, sedangkan pada tahun 2018 terjadi penurunan jumlah kasus ISPA pada anak

yaitu menjadi 31.594, dengan meningkatnya tingkat kesadaran dan pengetahuan orang

tua tentang bahaya penyakit ISPA pada anak memberikan dampak yang postif

terhadap penurunan jumlah kasus ISPA. Pada tahun 2019 angka penderita ISPA pada

anak di Kab. Lombok Tengah kembali mendaptkan kenaikan jumlah kasus yaitu

sebanyak 35.823 kasus (Dinas Kesehatan Kabuten Lombok Tenagh, 2017).


5

Tabel 1.1 Tabel Cakupan Penemuan Kasus ISPA di Desa Kopang Rembige, Desa
Montong Gamang, Desa Bebuak wilayah kerja Puskesmas Kopang
Bulan Januari sampai Maret 2022

Bulan Jumlah Penduduk Jumlah Balita Total ISPA


Januari 45450 5117 140

Februari 45520 5125 113

Maret 45641 5264 93

Menurut data yang diperoleh UPT Puskesmas Kopang pada bulan Januari 2022

terdapat 59 kasus ISPA pada Balita di Desa Kopang Rembige, di Desa Montong

Gamak terdapat 40 kausus dan Desa Bebuak terdapat 41 kasus ISPA pada balita yang

ditemukan. Pada bulan Februari terdapat 49 kasus ISPA pada Balita yang ditemukan

di Desa Kopang Rembige, Desa Montong Gamak terdapat 39 kausus dan Desa Bebuak

terdapat 25 kasus ISPA pada balita. Sedangkan pada bulan Maret terdapat 45 kasus

ISPA pada Balita di Desa Kopang Rembige, Desa Montong Gamak terdapat 28 kasus

dan Desa Bebuak terdapat 20 kasus. (UPT Puskesmas Kopang, 2022).

Puskesmas Kopang Kabupaten Lombok Tengah merupakan Faskes Tingkat

Pertama BPJS Kesehatan di wilayah Kecamatan Kopang Kabupaten Kopang.

Puskesmas Kopang membawahi kurang lebih 10 desa, salah satunya desa Kopang

Rembige. Di desa Kopang Rembige merupakan salah satu desa yang banyak terjadi
6

kasus ISPA pada balita dengan berbagai faktor. Dari observasi awal yang dilakukan

kebanyakan warga desa Kopang Rembige memang memiliki rumah yang lumayan

luas tetapi untuk ruangan kamar belum memenuhi syarat sehat

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap

gangguan penyakit (Depkes RI, 2014). Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa di

banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak adalah 65

gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang merupakan

hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2013). Salah satu

faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik dan pemeliharaan

lingkungan rumah. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan cara menjaga kebersihan

di dalam rumah, mengatur pertukaran udara dalam rumah, menjaga kebersihan

lingkungan luar rumah dan mengusahakan sinar matahari masuk ke dalam rumah di

siang hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah tetap bersih sehingga dapat

mencegah kuman dan termasuk menghindari kepadatan penghuni karena dianggap

risiko meningkatnya terjadinya ISPA (Maryunani, 2010). Namun hal ini sering

diabaikan oleh para orang tua. Hal ini disebabkan karena orang tua tidak banyak

mengetahui tentang cara menjaga kesehatan khususnya balita untuk mencegah

terjadinyaISPA.

Dari uraian di atas perlu suatu penelitian tentang Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Desa Kopang Rembige Wilayah

Kerja Puskesmas Kopang.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Faktor-Faktor Yang


7

Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada BalitaDesa Kopang Rembige Wilayah

Kerja Puskesmas Kopang?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruh kejadian penyakit ISPA

pada balita Di Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Menganalisa pengaruh umur dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di

Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang.

2. Menganalisa pengaruh pengetahuan Ibu dengan kejadian penyakit ISPA

padabalita di Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang..

3. Menganalisa pengaruh status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA

pada balitadi Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang.

4. Menganalisa pengaruh kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA

padabalita di Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang..

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 ManfaatTeoritis

Dapat digunakan untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan faktor

penyebab ISPA khususnya pada balita.

1.4.2 ManfaatPraktis

1. Bagi Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian untuk digunakan sebagai bahan informasi dan

masukan bagi masyarakat terutama Ibu yang memiliki Balita pengidap


8

ISPA.

2. Bagi Pihak Instansi Puskesmas

Sebagai bahan pemasukkan dan pertimbangan puskesmas untuk

bisamemberikan informasi tentang kejadian penyakit ISPA pada balita

mengenai faktor-faktor menurut umur, pengetahuan ibu, status imunisasi

dan kepadatan hunian.

3. Bagi Penulis

Diharapkan dalam memberikan wawasan yang luas bagi penulis tentang

faktor-faktor penyebab terjadi ISPA pada balita.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian keperawatan anak yang

bertujuan untuk mengetahui pemahaman orang tua terhadap factor penyebab terjadinya ISPA

pada balita. Adapun variabel dalam penelitian ini adalah variabel independen yaitu umur,

tingkat pengetahuan, status imunisasi, dan kepadatan hunian. Penelitian ini termasuk

observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study dengan teknik wawancara

yang berpedoman pada kuesioner. Penelitian ini di lakukan Di Wilayah Kerja Puskesmas

Kopang.

1.6 Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


No Peneliti Judul Hasil Penelitian Persamaan
dan Perbedaan
1 Muhammad Faktor-faktor yang pendidikan Persamaan :
Habibi Mempengaruhi Kejadian responden Metode
Syahidia Infeksi Saluran (OR=3,16; 95% deskriptif
dkk, 2016 Pernapasan Akut (ISPA) CI 1,20-8,31), dengan desain
pada Anak Berumur 12- pengetahuan studi cross-
59 Bulan di Puskesmas
responden sectional.
9

Kelurahan Tebet Barat, (OR=2,76; 95% Perbedaan :


Kecamatan Tebet, CI 1,12-6,79), Peneliti
Jakarta Selatan, Tahun pendapatan meneliti
2013 keluarga bagian
(OR=2,75; 95% internal dan
CI 1,10-6,86), dan eskternal yaitu
kepadatan umur,
hunian (OR=5,59; pengetahuan
95% 2,16-14,50) orang tua,
status
imunisasi dan
kepadatan
hunian
2 Iyang, 2019 Gambaran Faktor- Kepadatan hunian Persamaan :
Faktor Yang penderita Ispa Metode
Mempengaruhi 80% memenuhi, deskriptif
Kejadian ISPA Pada anggota keluarga dengan desain
Balita Di Wilayh merokok 90%, studi cross-
Kerja Puskesmas suhu ruangan sectional
Monojaya 100% tidak sehat, Perbedaan :
Tasikmalaya 2019 merokok dalam Peneliti
rumah 52,5% meneliti
bagian
internal dan
eskternal yaitu
umur,
pengetahuan
orang tua,
status
imunisasi dan
kepadatan
hunian
3 Ade Faktor – Faktor Yang Dari 60 responden Persamaan :
Syahrena Berhubungan Dengan 33 orang (55%) Analitik
Lubis, 2017 Kejadian ISPA di pengetahuan baik, deskriptif
Wilayah Puskesmas Pendidikan tinggi dengan
Sentosa Baru Medan sebanyak 20 orang pendekatan
(33,3%), Cross
Informasi baik ada Sectional
sebanyak 39 orang Perbedaan :
(65%) Peneliti
meneliti
bagian
internal dan
10

eskternal yaitu
umur,
pengetahuan
orang tua,
status
imunisasi dan
kepadatan
hunian
11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.1.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas

dan bawah menurut Nelson(2012), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang

disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis

akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran

pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran

atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam

penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan

pneumoniaaspirasi.

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut

yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih

14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini

mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin,

2008). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari

saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson,2013).

Jadi ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi
12

disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan

yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari.

2.1.2. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,

Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA

antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus,

Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani,2010).

2.1.3. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan

dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin,2008):

1. Golongan Umur Kurang 2 Bulan

a. Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah

atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan

yaitu 6x per menit atau lebih.

b. Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:

1) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai

kurang dari ½ volume yang biasa diminum)

2) Kejang
13

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Wheezing

6) Demam /dingin.

2. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

a. Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak

harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).

b. Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

1) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

c. Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:

1) Tidak bisa minum

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Gizi buruk

Adapun menurut Depkes RI tahun 2012, penyakit saluran pernapasan atas (ISPA)
14

dapat dikalsifikasikan menjadi :

1.6.1.1 ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek

dan sesak.

2 ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih

dari 390 C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti

mengorok.

3 ISPA berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan

menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan bawah:

a. Infeksi saluran pernapasan atas:

1) Batuk pilek

Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan hidung

yang sering mengenai bayi dan anak. Penyakit ini cenderung berlangsung

lebih berat kerena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga

tengah, dan nesofaring disertai demam yang tinggi. Faktor predisposisinya

antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan. Pada umumnya

penyakit terjadi pada waktu pergantian musim (Ngastiyah, 2005).

2) Sinusitis

Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat berupa
15

sinusitis maksilaris atau sinusitis frontalis. Biasanya paling sering terjadi

adalah sinusitis maksilaris, disebabkan oleh komplikasi peradangan jalan

napas bagian atas, dibantu oleh adanya faktor predisposisi. Penyakit ini

dapat disebabkan oleh kuman tunggal, namun 13 dapat juga disebabkan

oleh campuran kuman seperti streptokokus, pneumokokus, hemophilus

influenzae, dan klebsiella pneumoniae. Jamur dapat juga menyebabkan

sinusitis (Ngastiyah, 2005).

3) Tonsilitis

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau

amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi streptokokus atau

staphilokokus. Infeksi terjadi pada hidung menyebar melalui sistem limpa

ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan infeksi, bisa menyebabkan tonsil

membengkak sehingga bisa menghambat keluar masuknya udara.

Manifestasi klinis yang ditimbulkan meliputi pembengkakan tonsil yang

mengalami edema dan berwarna merah, sakit tenggorokan, sakit ketika

menelan, demam tinggi dan eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil,

selain itu juga muncul abses padatonsil (Ringgo, 2019).

4) Faringitis

Faringitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini juga

sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun juga bisa disebabkan oleh

bakteri, seperti hemolytic stretococcy, staphylococci, atau bakteri lainnya

Tanda dan gejala faringitis antara lain membran mukosa dan tonsil merah,

demam, malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, serak dan batuk


16

(Behrman,2009).

5) Laringitis
Laringingitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk

laring. Penyebab laringitis umumnya adalah streptococcus hemolyticus,

streptococcus viridans, pneumokokus, staphylococcus hemolyticus dan

haemophilus influenzae. Tanda dan gejalanya antara lain demam, batuk, pilek,

nyeri menelan dan pada waktu bicara, suara serak, sesak napas, stridor. Bila 14

penyakit berlanjut terus akan terdapat tanda obstruksi pernapasan berupa gelisah,

napas tersengal-sengal, sesak dan napas bertambah berat (Ngastiyah,2005).

b. Infeksi saluran pernapasan bawah

1) Bronkitis

Bronkitis merupakan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian

bawah, terjadi peradangan di daerah laring, trakhea dan bronkus.

Disebabkan oleh virus, yaitu: rhinovirus, respiratori sincytial virus (RSV),

virus influenzae, virus para influenzae, dan coxsackie virus. Dengan faktor

predisposisi berupa alergi, perubahan cuaca, dan polusi udara. Dengan

tanda dan gejala batuk kering, suhu badan rendah atau tidak ada demam,

kejang, kehilangan nafsu makan, stridor, napas berbunyi, dan sakit di

tengah depan dada (Ngastiyah, 2005).

2) Bronkiolitis

Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang lazim,

akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan oleh

virus sinsisium respiratorik (VSR), virus para influenzae, mikroplasma,

dan adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan
17

insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 2009). Yang didahului

oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek beberapa hari,

tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan dangkal dan cepat,

batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).

3) Pneumonia

Pneumonia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian bawah yang

mengenai parenhim paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yaitu

streptococcus pneumonia dan haemophillus influenza. Pada bayi dan anak

kecil ditemukan staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia yang

berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi 15.Gejala pneumonia

bervariasi, tergantung umur penderita dan penyebab infeksinya. Gejala-

gejala yang sering didapatkan pada anak adalah napas cepat dan sulit

bernapas, mengi, batuk, demam, menggigil, sakit kepala, dan nafsu makan

hilang (Syair, 2009).

4) Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterium bovis. Penyakit

tuberkulosis pada bayi dan anak disebut tuberkulosis primer merupakan

suatu penyakit sistemik, dan berlangsung secara perlahan-lahan. Ditandai

dengan gejala batuk, demam, berkeringat malam, penurunan aktifitas,

kehilangan berat badan, dan sukar bernapas (Ngastiyah, 2005).

5) Komplikasi

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh


18

sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain. Tetapi

penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang

baik dapat menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis paranasal, penutupan

tuba eustachi, empiema, meningitis dan bronkopneumonia serta berlanjut

pada kematian karena adanya sepsis yang menular (Ngastiyah,2005).

2.1.4. Penyebab penyakit ISPA

ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah

satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang

biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang

lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga selalu

melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun

minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telahmereka hirup sehari-hari,

sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas.

Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash,

Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi

kesehatan (Depkes RI, 2012).

2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA

ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran

pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa,

kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare

(Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam,

pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),

photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas),
19

dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia

(kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat

pertolongan dan mengakibatkan kematian. (Nelson, 2010). Sedangkan tanda gejala

ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah :

a. Gejala dari ISPARingan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Batuk

2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal

pada waktu berbicara ataumenangis).

3) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus darihidung.

4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi anak diraba.

b. Gejala dari ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari

satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu

tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung

jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan

arloji.

2) Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer).

3) Tenggorokan berwarna merah.


20

4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

6) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.

c. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala

ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

1) Bibir atau kulit membiru.

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas

3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.

4) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampakgelisah.

5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktubernafas.

6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidakteraba.

7) Tenggorokan berwarnamerah.

Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing, malaise

(lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut

cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan

bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan

dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat

mengakibatkan kematian.

2.1.6. Penatalaksanaan Kasus ISPA

Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar


21

merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian

karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang

tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan

memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak

mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta

mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan

kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai

bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. Penatalaksanaan

ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2012) :

a. Pemeriksaan

Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan

mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan

anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila

menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak

tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa

membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit

untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju

anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop

penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklasifikasi.

b. Klasifikasi ISPA

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut

1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada
22

kedalam (chestindrawing).

2) Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai

demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat.

Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.

c. Pengobatan

1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,

oksigen dan sebagainya.

2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita

tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik

pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilinprokain.

3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan

di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat

batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,

dekstrometorfan dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun

panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada

pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai

pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang

tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan

tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan


23

selanjutnya.

d. Perawatan di rumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang

menderita ISPA.

1) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan

memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan

dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6

jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan

dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,

dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

2) Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu

jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh ,

diberikan tiga kali sehari.

3) Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang

yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI

pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.

4) Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih

banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,

kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.


24

5) Lain-lain

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan

rapat, lebih-lebih pada anak dengandemam.

a) Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat

kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

b) Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi

cukup dan tidak berasap.

c) Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka

dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.

d) Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas

usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar

selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik,

usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan

untuk pemeriksaan ulang.

e. PencegahanISPA

Menurut Depkes RI, (2012) pencegahan ISPA antara lain:

a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik.

Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita

atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA.

Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna,

banyak minum air putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang

cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena
25

dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan semakin

meningkat, sehingga dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan

masuk ke tubuh kita.

b. Imunisasi

Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun

orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita

supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan

oleh virus / bakteri.

c. Menjaga kebersihan perorangan danlingkungan Membuat ventilasi udara

serta pencahayaan udara yang baik akan mengurangi polusi asap dapur /

asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga dapat mencegah seseorang

menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA.

Ventilasi yang baik 24 dapat memelihara kondisi sirkulasi udara

(atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA Infeksi saluran

pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang ditularkan

oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang

tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa

virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi

yang melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei

(sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara

droplet dan melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit

penyakit).
26

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya ISPA

Faktor-faktor penyebab ISPA terbagi dalam kelompok yaitu intrinsik dan

ekstrinsik (Depkes, 2009).Faktor internal merupakan suatu keadaan didalam diri

penderita (balita) yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit (agent)

ISPA yang meliputi jenis kelamin, umur, berat badan lahir, status gizi, dan status

imunisasi.

2.2.1 Faktor Intrinsik

a. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor resiko terhadap kejadian ISPA yaitu laki-laki

lebih beresiko di banding perempuan, hal ini disebabkan aktivitas anak laki-

laki lebih banyak dari anak perempuan sehingga peluang untuk terpapar oleh

agent lebih banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dan Lilis (2011),

didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA menurut jenis kelamin tidak sama,

yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.

b. Umur

Umur mempunyai pengaruh cukup besar untuk terjadinya ISPA.Anak dengan

umur <2 tahun merupakan faktor resiko terjadinya ISPA.Hal ini disebabkan

karena anak dibawah dua tahun imunitasnya belum sempurna dan saluran

napas lebih sempit. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan

gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA

pada bayi dan balita merupakan kejadian infeksi pertama serta belum
27

terbentuknya secara optimal proses kekebalan secaraalamiah.

c. Status Gizi Balita

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk

mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi

buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan

tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksimenjadi turun.

Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi

yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh

terhadap penyakit. Penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan

bahwa infeksi protozoa pada anak-anak yang tingkat gizinya buruk akan jauh

lebih parah dibandingkan dengan anak-anak yang gizinya baik (Notoatmodjo,

2013).

d. Status Imunisasi

Imunisasi berarti memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.Salah

satu strategi untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat ISPA pada anak

adalah dengan pemberian imunisasi.Pemberian imunisasi dapat menurunkan

angka kesakitan dan kematian pada balita tertutama penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi. Setiap anak harus mendapatkan imunisasi dasar

terhadap tujuh penyakit utama sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG,

DPT, hepatitis B, polio, campak. Imunisasi bermafaat untuk mencegah

beberapa jenis penyakit infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri, pertusis,

tetanus dan hepa- titis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian

dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan


28

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA

yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk ringan.

2.2.2 Faktor Ekstrinsik

a. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor

829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang

minimal menempati luas rumah 8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat

mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat

tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah

ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan

kematian dari bronkopneumonia pada bayi,tetapi disebutkan bahwa polusi

udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor

ini (Prabu, 2009).

b. Ventilasi kurang memadai

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara ataupengerahan udara ke atau dari

ruangan baik secara alamimaupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi

dapatdijabarkan sebagai berikut:

a) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang

optimum bagi pernapasan.

b) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asapataupun debu dan zat-zat

pencemar lain dengan carapengenceranudara Mensuplai panas agar

hilangnya panas badanseimbang.


29

c) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.

d) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkanoleh radiasi tubuh,

kondisi, evaporasi ataupun keadaaneksternal. Mendisfung- sikan suhu udara

secara merata(Prabu,2009).

c. Asap DalamRuangan

Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas penghuninya,

antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun

memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan

minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida

semprot maupun bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi,

penggunaan bahan bangunan sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A.,

2012).Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak,

arang dan minyak tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya

infeksi saluran pernapasan.Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih

menggunakan bahan bakarbiomasa untuk memasak. Ditambah lagi dengan

kebiasaan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap

sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA

dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur.

d. Tingkat Pengetahuan Ibu

Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor

yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit.

Pada kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah pada


30

umumnya status ekonominya rendah pula. Mereka sulit untuk menyerap

informasi mengenai kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya.

Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk

memilih makanan yang bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan

(Soewasti, dkk.,2007). Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor

resiko yang meningkatkan kematian ISPA terutama pnemonia. Kekurang

pahaman orang tua terhadap pnemonia juga menyebabkan keterlambatan

mereka mambawa anak mereka yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka

beranggapan bahwa bayi/anak balita mereka hanya menderita batuk-batuk

biasa, yang sebenarnya merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya

memberikan obat batuk tradisional yang tidak memecahkan masalah (Tuminah,

S.,2009).

2.3 Pengetahuan Ibu

Ichram (2005) pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan

melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecap. Faktor- faktor

yang mempengaruhi pengetahuan:

1. Tingkat pendidikan.

Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi

sehingga makin banyak pula pengetahuan tentang ISPA.

2. Informasi.

Seseorang dengan sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki

pengetahuan yang luas.


31

3. Budaya.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk bagi kesehatan mereka terutama dalam

penyakit ISPA.

4. Pengalaman.

Pengalaman adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaranpengetahuan

tentang ISPA dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh

dalam memecahkan masalah tentangISPA.

5. Sosial ekonomi.

Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah akan lebih rentan terkena

ISPA (Suliha, 2012). Menurut penelitian Susi hartati (2011) ibu balita yang

pengetahuannya rendah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia

sebesar 0,4 kali dibandingkan ibu balita yang berpengetahuan tinggi.

2.4 Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat

kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar

kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai

status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saatini

adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi

campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan

imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah (Behrman, 2009).

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap


32

gangguan penyakit (Depkes RI, 2004). Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa

dibanyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak adalah 65

gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang merupakan

hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2003). Ada dua jenis

imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.Pemberian imunisasi pada anak

biasanya dilakukan dengan cara imunisasi aktif, karena imunisasi aktif akan memberi

kekebalan yang lebih lama. Imunisasi pasif diberikan hanya dalam keadaan yang

sangat mendesak, yaitu bila diduga tubuh anak belum mempunyai kekebalan ketika

terinfeksi oleh kuman penyakit yang ganas. Perbedaan yang penting antara jenis

imunisasi aktif dan imunisasi pasif adalah:

1) untuk memperoleh kekebalan yang cukup, jumlah zat anti dalam tubuh harus

meningkat; pada imunisasi aktif diperlukan waktu yang agak lebih lama untuk

membuat zat anti itu dibandingkan dengan imunisasi pasif.

2) kekebalan yang terdapat pada imunisasi aktif bertahan lama (bertahun- tahun)

sedangkan pada imunisasi pasif hanya berlangsung untuk beberapa bulan. Sesuai

dengan program pemerintah (Departemen Kesehatan) tentang Program

Pengembangan Imunisasi (FPI), maka anak diharuskan mendapat perlindungan

terhadap 7 jenis penyakit utama, yaitu penyakit TBC (dengan pemberian vaksin

BCG), difteria, tetanus, batuk rejan, poliomielitis, campak dan hepatitis B.

Imunisasi lain yang dianjurkan di Indonesia pada saat ini adalah terhadap penyakit

gondong dan campak Jerman (dengan pemberian vaksin MMR), tifus, radang

selaput otak oleh kuman Haemophilus influenzae tipe B (Hib), hepatitis A, cacar

air dan rabies (Markum, 2002:15).


33

Jenis-jenis imunisasi wajib:

1) Vaksin BCG. Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG

mengandung kuman BCG yang masih hidup. Jenis kuman ini

telahdilemahkan.

2) Vaksin DPT Manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan

kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria,

pertusis (batuk rejan) dantetanus.

3) Vaksin DT (Difteria, Tetanus). Vaksin ini dibuat untuk keperluan khusus

yaitu bila anak sudah tidak diperbolehkan atau tidak lagi memerlukan

imunisasi pertusis, tapi masih memerlukan imunisasi difteria dantetanus.

Vaksin Tetanus Terhadap penyakit tetanus, dikenal 2 jenis imunisasi yaitu

imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Vaksin yang digunakan untuk imunisasi

aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah

dilemahkan dan kemudian dimurnikan.

4) Vaksin Poliomielitis. Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan

terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran,

yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II, dan III yaitu: 1)

Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan

(vaksin Salk), cara pemberiannya dengan penyuntikan 2) Vaksin yang

mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang masih hidup tetapi telah

dilemahkan (vaksin Sabin), cara pemberiannya melalui mulut dalam bentuk


34

pil ataucairan.

5) Vaksin Campak. Imunisasi diberikan untuk mendapat kekebalan tehadap

penyakit campak secaraaktif.

6) Vaksin Hepatitis B. Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif

terhadap penyakit Hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih

dikenal sebagai penyakit lever. Imunisasi yang lengkap dapat memberikan

peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA (Dinkes RI, 2010:10).

2.5 Kepadatan Hunian

Menurut Azwar (2010), rumah dapat diartikan sebagai tempat untuk

melepaskan lelah, beristirahat, tempat bergaul dengan keluarga, sebagai tempat untuk

melindungi diri dari segala ancaman, sebagai lambang sosial. Secara umum rumah

dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu :

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan, ruang

gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yangmengganggu.

2) Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy, komunikasi yang sehat antar

anggota keluarga dan penghuni rumah. Memenuhi persyaratan pencegahan

penularan penyakit antar penghuni rumah meliputi penyediaan air bersih,

pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus,

kepadatan hunian tidak berlebihan dan cukup sinar matahari pagi.

3) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul

karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak

mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat


35

penghuninya jatuh tergelincir.

Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.

Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal

jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur,

ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus. Berdasarkan Kepmenkes RI

No.829 tahun 2009 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur

minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu

kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan

mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan

penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti

ISPA.

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan

standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran

panasbadanyangakanmeningkatkankelembabanakibatuapairdaripernapasantersebut.

Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin

cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya

penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan

CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara

dalam ruangan.

2.5.1 Standar Ukuran Kepadatan Hunian

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan

jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 2009).

a. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan


36

dalam m² per orang.

b. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan

fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8m²/orang.

c. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak

dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.

Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit sebaiknya tidak

tidur dengan anggota keluarga lainnya (lubis.1989).

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan

standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan

diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10m²/orang dan

kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara

luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 2009).

2.6 Kerangka Teori


Gambar 1 Kerangka Teori
37

Sumber: Modifikasi Depkes (2009), Notoatmodjo (2013), Prabu (2009), Tuminah,S


(2009)

2.7 Kerangka Konsep

Variabel Bebas

Faktor Intrinsik :
1. Umur Balita Variabel Terikat

2. Status Imunisasi
Kejadian ISPA
Faktor Ekstrinsik
1. Pengetahuan Ibu
2. Kepadatan Hunian

Gambar 2 Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh umur terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada Balita di

Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang..

2. Ada pengaruh pengetahuan ibu terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita di Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang.

3. Ada pengaruh status imunisasi terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita di Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang.

4. Ada pengaruh tingkat hunian terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita di Desa Kopang Rembige Wilayah Kerja Puskesmas Kopang.


38

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan untuk mengarahkan penelitian yang

pengontrol faktor yang mungkin akan mempengaruhi validitas penemuan

(Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yaitu penelitian

yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran

terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Menurut Sugiyono (2012:23)

dikatakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis

menggunakan statistik. Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan analitik

dengan pendekatan cross sectional. Desain penelitian analitik adalah penelitian yang

bertujuan mencari keterkaitan antara faktor-faktor penyebab, serta mampu

memprediksi kejadian suatu penyakit.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin

meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya

merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah

Ibu yang memiliki balita yang berumur 12- 60 bulan dengan kejadian ISPA pada bulan

Januari sampai Maret 2022 yang diperoleh dari 3 Desa yaitu Desa Kopang Rembige,
39

Desa Montong Gaman dan Desa Bebauk sebanyak 346 balita.

3.2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang dipilih dengan menyeleksi porsi dari

populasi yang dapat mewakili kriteria populasi (Nursalam, 2008). Adapun

pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus slovin sebagai

n
n=
1+ n ( e ) 2

5264
n=
1+5264 ( 0,05 ) 2

n=75 balita

No Nama Dusun Wilayah Desa Montong Jumlah Balita


Gamang
1 Dusun Mbung Karung 25

2 Dusun Mumbang 25

3 Dusun Karang Tengak 25

Total 75

Jadi jumlah responden dalam penelitian ini adalah 75 balita yang terdapat di

Desa Montong Gamang, dimana peneliti memperoleh responden dari 3 dusun yang

ada diwilayah Desa Montong Gamang yaitu dusun Mbung Karung, dusun Mumbang

dan dusun Karang Tengak yang masing-masing dusun terdapat 25 responden.

Kriteria pengambilan sampel dibedakan menjadi dua yaitu kriteria inklusi dan

eksklusi.
40

1. Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003:96)

- Ibu balita yang berusia 12- 60 bulan dengan penyakit ISPA.

- Pengasuh yang menjaga balita pengidap penyakit ISPA

2. Kriteria Eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang memenuhi

kriteria inklusi dari penelitian karena sebab-sebab tertentu (Nursalam,

2003:97).

- Responden menolak untuk dijadikan responden.

3.3 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam

penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan

populasi yang ada (Hidayat,2008).

Pengambilan sampel di lakukan dengan menggunakan teknik Simple Random

Sampling yaitu pengambilan sampel secara random atau acak (Notoatmodjo, 2002:85), karena

dimaksudkan untuk menghindari kerancuan sehingga taksiran pengaruh factor penelitian

terhadap variabel hasil benar-benar murni pengaruh factor penelitian itu. Pada penelitian ini

peneliti akan memilih sampel sesuai dengan criteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan

oleh peneliti yaitu sebanyak 185 balita yang diperoleh dari data angka kejadian penyakit ISPA

pada balita di tiga desa yaitu Desa Kopang Rembige, Desa Montong Gamang dan Desa

Bebauk yang merupakan wilayah kerja puskesmas Kopang selama tiga bulan pada bulan

Januari-Maret 2022.
41

3.4 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan penelitian yang

akan dilakukan.

Gambar 3. Kerangka Kerja Penelitian

Populasi
Ibu yang memiliki Balita yang berusia 12– 60 bulan dengan penyakit
ISPA selama bulan Januari-Maret 2022 di Desa Kopang Rembige,
Desa Montong Gamang dan Desa Bebuak = 346 balita

Sampel
Sebagian balita yang mengidap ISPA di Desa Kopang Rembige, Desa
Montong Gamang dan Desa Bebuak Puskesmas Kopang yaitu sebanyak
185 responden

Sampling
Simple Random Sampling

Jenis Penelitian
Korelasi/Cross Sectional

Pengumpulan Data

Variabel Bebas Variabel


1. Umur Terikat
2. Tingkat Pengetahuan Ibu Kejadian ISPA pada
3. Status Imunisasi balita
4. Kepadatan Hunin
Pengolahan Data
Editing, coding, skoring, entry, tabulating,
cleaning
42

Analisis Data
Chi Squere

Hasil dan
Kesimpulan
3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian

tertentu (Notoatmodjo, 2013). Dalam penelitian ini terdapat variabel yaitu :

1. Variabel Independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya

menetukan variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel independen dalam

penelitian ini adalah Umur, Pengetahuan Ibu, Status Imunisasi dan kepadatan

hunian.

2. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang diamati dan diukur untuk menentukan

ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2013).

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah penyebab ISPA.

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari

sesuatu yang didefinisikan tersebut, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan

observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Pada definisi

operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi, komunikasi, dan replikasi (Nursalam,

2013).
43

Tabel 1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Kriteria


Kejadian Kejadian penyakit Data Skunder Data rekam Nominal Tidak ISPA= 1
ISPA
ISPA yang ditandai Puskesmas medik pasien ISPA= 2
dengan gejala batuk, Kopang
pilek disertai dengan
demam yang diagnosa
oleh dokter dan tercatat
dalam rekam medik
pasien.
Umur Usia balita pada saat Balita yang Kuesioner Nominal Umur≤ 2 Th =
penelitian yang 12 – 60 Bulan 1
dinyatakan dalam Umur> 2 Th=
bulan. 2
Pengetahu- Pengetahuan Ibu Menjawab Kuesioner Nominal Pengetahuan
an Ibu
tentang ISPA. pertanyaan baik (mean>5)
dengan benar =1
Pengetahuan
buruk (mean≤
5) = 2
Status Kelengkapan 1.Vaksin BCG Kuesioner Nominal Imunisasi
Imunisasi
imunisasi dasar yang 2.Vaksin DPT Dasar lengkap
harus diberikan pada 3.Vaksin Dif- (Skor >5) = 2
balita sesuai dengan teri, Tetanus Imunisasi
usianya 4.Vaksin Teta- Dasar tidak
nus lengkap
5.Vaksin (Skor≤ 5) = 1
44

Polimielitis
6.Vaksin
Campak
7.Vaksin
HepatitisB
Kepadatan Kepadatan penghuni Hasil bagi Wawancara Kuesioner - Sehat
Hunian rumah yang memenuhi antara luas Observasi Lembar apabila luas
syarat kesehatan lantai kamar observasi lantai
dengan jumlah dengan
peng-huni jumlah
dalam penghuni>1
m²/orang 0 m²/orang
=2
- Tidak sehat
luas lantai
dengan
jumlah
penghuni <
10m²/orang
=1

3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian, juga

terkait dengan bahan penelitian (Supardi dan Surahman, 2014). Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner danobservasi. Kuesioner berisi

beberapa pernyataan tertutup yang langsung diajukan kepada responden. Kuesioner

yang telah dibuat sedemikian rupa sehingga responden tinggal mencentang jawaban

yang dianggap benar.

3.8 Tempat dan Waktu Penelitian


45

Lokasi penelitian dilakukan di 3 Desa yaitu Desa Kopang Rembige, Desa

Montong Gamang dan Desa Bebuak wilayah kerja Puskesmas Kopang.

Pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Agustus 2022

3.9 Alur Penelitian dan Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut :

1. Peneliti mengajukan surat permohonan izin melakukan penelitian ke Universitas

Qamarul Huda Badaruddin Bagu.

2. Mengajukan izin ke Dinas Kesehatan Lombok Tengah untuk melakukan penelitian di

Wilayah Kerja Puskesmas Kopang

3. Meminta data sekunder dari Puskesmas Kopang tentang jumlah pasien balita yang

pernah mengalami ISPA

4. Menentukan populasi untuk dipilih sesuai kriteria inklusi dan ekslusi untuk menjadi

responden atau sampel

5. Setelah mendapat sampel maka calon responden diminta untuk mengisi lembar

persetujuan mengikuti penelitian (informed consent)

6. Meminta responden untuk mengisi kuesioner yang telah ditentukan

7. Melakukan pengkodean dari data yang telah di dapat lalu melakukan analisis data.

3.10 Teknik Pengolahan Data

Menurut Setiadi (2007), dalam proses pengolahan data penelitian mengunakan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing

Editing adalah upaya untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi dan


46

kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk menguji hipotesis atau

menjawab tujuan penelitian.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data

yang terdiri atas beberapa kategorik. Pemberian kode ini sangat diperlukan

terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual, menggunakan

kalkulator, maupun dengan menggunakan komputer. Berikut langkah

pengkodean dari masing-masing variabel yang diteliti:

a. Usia : < 2 tahun diberi kode “1” dan usia ≥ 2tahun) diberi kode“0”

b. Pendidikan : SMP diberi kode “1”, SMA diberi kode “2”,

Diploma diberi kode “3” dan Sarjana diberi kode“4”.

c. Pekerjaan : IRT diberi kode “1”, Petani diberi kode “2”,

Pedagang diberi kode “3”, PNS diberi kode“4”.

d. Pengetahuan : Baik diberi kode “1”, ”, Buruk diberi kode“0”

3. Skoring

Azwar (2012) menjelaskan bahwa, skoring adalah memberikan perilaku

terhadap item – item yang perlu diberi penilaian atau skor terhadap hasil

pengisian kuesioner pada responden, kemudian hasil pengisian kuesioner

dikelompokkan dalam bentuk nominal.

4. Entry

Entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam

bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau software
47

komputer.

5. Tabulating

Proses pengelompokan jawaban–jawaban yang serupa dan menjumlahkan

dengan teliti dan teratur. Setelah jawaban terkumpul kita kelompokkan

jawaban yang sama dengan menjumlahkannya. Pada tahapan ini data diperoleh

untuk setiap variabel disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dalam bentuk

tabel.

6. Cleaning

Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah dientri,

apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat meng-entri data

ke komputer.

3.11 Analisa Data

1. AnalisaUnivariat

Analisa data univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik variabel umur, pengetahuan Ibu, status imunisasi dan kepadatan

hunian. Penelitian (Notoatmodjo,2013). Sifat data secara umum dibedakan atas

dua macam yaitu data kategori berupa skala ordinal dan nominal, data numerik

berupa skala rasio daninterval.

2. AnalisaBivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berkorelasi atau

berhubungan (Notoadmodjo, 2012). Uji statistik yang digunakan adalah Chi

Square. Penguji statistik dalam penelitian ini dilakukan menggunakan SPSS

16.0 For Windows. Dari uji statistik ini akan diperoleh kemungkinan hasil uji
48

yaitu signifikasi atau bermakna dengan α = 0,05. Jika nilai p value ≤ 0,05 maka

terdapat korelasi yang bermakna antara variabel yang di uji. Hipotesa diterima

nilai pvalue

≤ 0,05 (Nursalam, 2008).

Dari penjelasan diatas maka untuk menjawab kasus penelitian ini digunakan uji

statistik pearson chi square bila tabel variabel lebih dari 2x2, untuk mengetahui

hubungan antar variabel, tingkat kesalahan 5% atau taraf signifikan yaitu α (0,05):

1. Jika nilai p ≤ (0,05) maka hipotesis penelitian (Ha) diterima,berarti:

a. Ada Pengaruh antara umur dengan kejadian penyakit ISPA padabalita.

b. Ada Pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kejadian penyakit ISPA

pada balita.

c. Ada Pengaruh antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada

balita.

d. Ada Pengaruh antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA

pada balita.

2. Jika nilai p ≥ (0,05) maka hipotesis penelitian (Ho) ditolak,berarti:

a. Tidak ada pengaruh antara umur dengan kejadian penyakit ISPA pada

balita.

b. Tidak ada pengaruh antara pengetahuan ibu dengankejadian penyakit ISPA

pada balita.

c. Tidak ada pengaruh antara status imunisasi dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita.

d. Tidak ada pengaruh antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit


49

ISPA pada balita.

3.12 Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2007), etika dalam melakukan penelitian meliputi :

1. Prinsip EtikaPenelitian

Dalam melaksanakan penelitian khususnya menggunakan subjek penelitian

adalah manusia, maka prinsip yang harus dipahami adalah:

a. Prinsip manfaat

Penelitian yang dilakukan diharapkan memberikan manfaat untuk

kepentingan manusia. Prinsip ini bisa ditegakan dengan membebaskan,

tidak menimbulkan kekerasan, dan tidak menjadikan manusia untuk

dieksploitasi.

b. Prinsip menghormati manusia

Berdasarkan prinsip ini manusia berhak untuk menentukan pilihan antara

mau dan tidak untuk diikutsertakan menjadi subjek penelitian.

c. Prinsip keadilan

Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia dengan

menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak menjaga privasi

manusia, dan tidak berpihak dalam perlakuan terhadap manusia

2. Masalah EtikaPenelitian

a. Informed consent

Informed consent diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed

consent ini merupakan lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Pemberian informed consent ini bertujuan agar subjek mengerti maksud dan
50

tujuan penelitian dan mengetahuidampaknya.

b. Prinsip Anonimity

Anonimity berarti dalam menggunakan subjek penelitian tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data. Peneliti hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data tersebut.

c. Prinsip Confidentialy

Dalam hal kerahasiaan, informasi yang sudah didapatkan dari responden harus

menjamin kerahasiaannya. Masalah ini merupakan masalah etika dengan

memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun

masalah-masalah lainnya.
51

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. 2009. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indeks.

Depkes RI, 2014. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Depkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta. DepKes.RI, 2009 Sistem
Kesehatan Nasional. Jakarta.

Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita
(12-59 bulan). Riskerdas ,UI.

Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:


Salemba Medika.

Hidayat, A. Aziz Alimul, 2012, Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba


Medika.

Ichram. 2005. Waspadai Penyakit pada Anak. Jakarta : PT.Indeks.

Intan Silviana, 2014 Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit Ispa Dengan
Perilaku Pencegahan Ispa Pada Balita Di PHPT Muara Angke Jakarta Utara .
Jurnal Universitas Esa Unggula, Jakarta.

Layuk dan Noer, 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Dinas Kesehatan
DKI.

Lubis, Namora Lumongga Lubis. 2009. Depresi, Tinjauan Psikologis. Jakarta:


Kencana.
Markum, A.H , 2002. Imunisasi, Edisi Ketiga, Fakultas Kedokteran UI Press.
Maryunani, Anik. 2010. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal.
Jakarta: Trans Info Medika.

Moehji, 2013. Ilmu Gizi. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.


52

Muttaqin, 2008. Infeksi Saluran Pernafasan Akut. EGC. Jakarta. Nelson, 2013.
Pengertian Definisi Operasional Info. Jakarta: PT.Obor. Ngastiyah, 2005.
Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta. Dinkes

Notoatmodjo, Soekidjo. 2013. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : PT


Rineka Cipta.

Nursalam, 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis. Prabu,


Putra. 2009. Rumah Sehat dan Perilaku Sehat. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahajeng E, Tuminah S. 2009. Prevalensi Determinannya ISPA di Indonesia. Jakarta:


Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Riskerdas. (Riset Kesehatan Dasar). 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

Soewasti, dkk., 2007. Pedoman Nasional. Penanggulangan ISPA. Cetakan ke 8.


Jakarta: Depkes RI.

Sri Hayati. 2014. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Jakarta: Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
Suhandayani, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Penanggulangannya. Medan:
Universitas Sumatera Utara.

Suliha,dkk,2012. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Cetakan I. Jakarta :


EGC.

Supardi dan Surahman, 2014. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Susi Hartati. 2011. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian.
Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo, Jurnal UI. Syafarilla, 2011.
Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Erlangga.

Syair, Umar. 2009. Transformasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja di


Indonesia, Jakarta: UI Press.

Usman, 2012. Penilaian Status Gizi. PT. Gramedia : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai