BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan
hanya bersifat ringan seperti batuk-pilek, disebabkan oleh virus, dan tidak memerlukan
pengobatan dengan antibiotik. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang
disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-
bulan musim dingin. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada
anak, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah (saifoellah noer,buku ajar
Menurut WHO tahun 2012, sebesar 78% balita yang berkunjung ke pelayanan
kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya pneumonia. ISPA lebih banyak terjadi di
sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara
sebanyak 2.1 juta balita pada tahun 2004 (Fitri, 2012). India, Bangladesh, Indonesia,
dan Myanmar merupakan negara dengan kasus kematian balita akibat ISPA terbanyak
sebesar 20.6% dari tahun 2010 hingga tahun 2011 yaitu 18.2% menjadi 38.8% (Layuk
dan Noer, 2015). Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakanpenyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada
balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3-6 x pertahun. Ini berarti seorang balita rata-
2
rata mendapat serangan batuk, pilek sebanyak 3-6 x setahun. Sebagai kelompok
penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien disarana
kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh
pada akhir 2000 sekitar 450.000 balita usia 0-5 tahun. Diperkirakan sebanyak 150.000
bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus
perhari atau 17 anak perjam atau seorang bayi / balita tiap lima menit (Depkes.RI,
2009). Prevalensi kejadian ISPA pada balita cenderung meningkat sesuai dengan
meningkatnya umur. antara laki-laki dan perempuan relatif sama, dan sedikit lebih
tinggi di pedesaan. ISPA cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan
Indonesia. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas dua
kelompok besar yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi
umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, satatus imunisasi, pemberian
ASI, dan pemberian vitamin A. faktor ekstrinsik meliputi kepadatan hunian, populasi
udara, tipe rumah, ventilasi, kelembapan, suhu, letak dapur, jenis bahan bakar,
penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan keluarga serta faktor ibu baik
Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik
rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung berinteraksi
dengan penghuninya (Depkes, 2009, Panduan konseling bagi petugas klinik sanitasi di
3
puskesmas). Namun dalam penelitian ini hanya membatasi pada faktor umur,
pengetahuan ibu status imunisasi, dan kepadatan hunian. Faktor imunisasi sebagai
penyebab penyakit ISPA, karena Balita yang memiliki status imunisasi yang tidak
lengkap akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan dengan balita yang
memiliki status imunisasi lengkap (Layuk dan Noer, 2015). Faktor kepadatan hunian
rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Hal ini tidak sehat
karena disamping menyebabkan kurangnya oksigen, juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, terutama ISPA akan mudah menular kepada
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, cakupan penemuan ISPA pada balita
tahun 2016 berkisar antara 16.000 kasus, sedangkan pada tahun 2017 terjadi
pneumonia pada balita pada kurun waktu 2012 sampai dengan 2018 mengalami
peningkatan dari 17.433 kasus menjadi 26.545 kasus. Namun pada tahun 2015 sampai
dengan 2017 menurun secara drastis, mulai dari 22.073 kasus menjadi 5.492 kasus di
tahun 2017. Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri.
Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan
sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA
dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara
Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur
juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia
4
menurut Riskesdas 2017 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2015 (25,5%)
Menurut Data dari Dinas Kesehatan Prov NTB pada tahun 2017, penderita
ISPA di Nusa Tenggara Barat berkisar antara (28,3%), ISPA yang tertinggi terjadi
pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Berdasarkan data tahun 2017 tercatat
berat dan pneumonia ringan sebanyak 149 penderita (<1 tahun), 192 penderita (1-4
tahun), 688 penderita (>5 tahun). Sedangkan pada bulan januari-februari 2017 tercatat
berat dan pneumonia ringan sebanyak 41 Penderita (<1 tahun), 58 penderita (1-4
tahun), 139 penderita (>5 tahun) (Laporan tahunan program P2 ISPA di sarana
Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kab. Lombok Tengah
pada tahun 2017, penderita ISPA pada anak di Kab. Lombok Tengah sebesar 75.827
kasus, sedangkan pada tahun 2018 terjadi penurunan jumlah kasus ISPA pada anak
yaitu menjadi 31.594, dengan meningkatnya tingkat kesadaran dan pengetahuan orang
tua tentang bahaya penyakit ISPA pada anak memberikan dampak yang postif
terhadap penurunan jumlah kasus ISPA. Pada tahun 2019 angka penderita ISPA pada
anak di Kab. Lombok Tengah kembali mendaptkan kenaikan jumlah kasus yaitu
Tabel 1.1 Tabel Cakupan Penemuan Kasus ISPA di Desa Kopang Rembige, Desa
Montong Gamang, Desa Bebuak wilayah kerja Puskesmas Kopang
Bulan Januari sampai Maret 2022
Menurut data yang diperoleh UPT Puskesmas Kopang pada bulan Januari 2022
terdapat 59 kasus ISPA pada Balita di Desa Kopang Rembige, di Desa Montong
Gamak terdapat 40 kausus dan Desa Bebuak terdapat 41 kasus ISPA pada balita yang
ditemukan. Pada bulan Februari terdapat 49 kasus ISPA pada Balita yang ditemukan
di Desa Kopang Rembige, Desa Montong Gamak terdapat 39 kausus dan Desa Bebuak
terdapat 25 kasus ISPA pada balita. Sedangkan pada bulan Maret terdapat 45 kasus
ISPA pada Balita di Desa Kopang Rembige, Desa Montong Gamak terdapat 28 kasus
Puskesmas Kopang membawahi kurang lebih 10 desa, salah satunya desa Kopang
Rembige. Di desa Kopang Rembige merupakan salah satu desa yang banyak terjadi
6
kasus ISPA pada balita dengan berbagai faktor. Dari observasi awal yang dilakukan
kebanyakan warga desa Kopang Rembige memang memiliki rumah yang lumayan
gangguan penyakit (Depkes RI, 2014). Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa di
banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak adalah 65
gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang merupakan
hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2013). Salah satu
faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik dan pemeliharaan
lingkungan luar rumah dan mengusahakan sinar matahari masuk ke dalam rumah di
siang hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah tetap bersih sehingga dapat
risiko meningkatnya terjadinya ISPA (Maryunani, 2010). Namun hal ini sering
diabaikan oleh para orang tua. Hal ini disebabkan karena orang tua tidak banyak
terjadinyaISPA.
Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Desa Kopang Rembige Wilayah
1.4.1 ManfaatTeoritis
1.4.2 ManfaatPraktis
1. Bagi Masyarakat
ISPA.
3. Bagi Penulis
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian keperawatan anak yang
bertujuan untuk mengetahui pemahaman orang tua terhadap factor penyebab terjadinya ISPA
pada balita. Adapun variabel dalam penelitian ini adalah variabel independen yaitu umur,
tingkat pengetahuan, status imunisasi, dan kepadatan hunian. Penelitian ini termasuk
observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study dengan teknik wawancara
yang berpedoman pada kuesioner. Penelitian ini di lakukan Di Wilayah Kerja Puskesmas
Kopang.
eskternal yaitu
umur,
pengetahuan
orang tua,
status
imunisasi dan
kepadatan
hunian
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas
dan bawah menurut Nelson(2012), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis
akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran
pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran
atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam
pneumoniaaspirasi.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut
yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih
14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini
mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin,
2008). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya
Jadi ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi
12
disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
a. Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah
atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
2) Kejang
13
3) Kesadaran menurun
4) Stridor
5) Wheezing
6) Demam /dingin.
a. Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak
b. Pneumonia Sedang
c. Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stridor
5) Gizi buruk
Adapun menurut Depkes RI tahun 2012, penyakit saluran pernapasan atas (ISPA)
14
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek
dan sesak.
2 ISPA sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih
mengorok.
3 ISPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan
1) Batuk pilek
Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan hidung
yang sering mengenai bayi dan anak. Penyakit ini cenderung berlangsung
antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan. Pada umumnya
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat berupa
15
napas bagian atas, dibantu oleh adanya faktor predisposisi. Penyakit ini
3) Tonsilitis
menelan, demam tinggi dan eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil,
4) Faringitis
sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun juga bisa disebabkan oleh
Tanda dan gejala faringitis antara lain membran mukosa dan tonsil merah,
(Behrman,2009).
5) Laringitis
Laringingitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk
haemophilus influenzae. Tanda dan gejalanya antara lain demam, batuk, pilek,
nyeri menelan dan pada waktu bicara, suara serak, sesak napas, stridor. Bila 14
penyakit berlanjut terus akan terdapat tanda obstruksi pernapasan berupa gelisah,
1) Bronkitis
virus influenzae, virus para influenzae, dan coxsackie virus. Dengan faktor
tanda dan gejala batuk kering, suhu badan rendah atau tidak ada demam,
2) Bronkiolitis
dan adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan
17
oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek beberapa hari,
tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan dangkal dan cepat,
3) Pneumonia
gejala yang sering didapatkan pada anak adalah napas cepat dan sulit
bernapas, mengi, batuk, demam, menggigil, sakit kepala, dan nafsu makan
4) Tuberkulosis
5) Komplikasi
sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain. Tetapi
ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah
satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang
biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang
melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun
sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas.
Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash,
Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa,
kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare
(Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam,
photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas),
19
(kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
1) Batuk
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi anak diraba.
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari
satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu
jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan
arloji.
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:
2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas
6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidakteraba.
7) Tenggorokan berwarnamerah.
Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing, malaise
cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan
bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan
dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat
mengakibatkan kematian.
merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian
karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang
tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan
kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai
bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. Penatalaksanaan
ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2012) :
a. Pemeriksaan
anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila
menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak
membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit
untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju
b. Klasifikasi ISPA
1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada
22
kedalam (chestindrawing).
3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai
c. Pengobatan
di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,
panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada
(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan
selanjutnya.
d. Perawatan di rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang
menderita ISPA.
jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh ,
3) Pemberian makanan
yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI
4) Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
5) Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
e. PencegahanISPA
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita
atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA.
banyak minum air putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang
cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena
25
dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan semakin
b. Imunisasi
serta pencahayaan udara yang baik akan mengurangi polusi asap dapur /
asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga dapat mencegah seseorang
pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang ditularkan
oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa
(sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara
droplet dan melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit
penyakit).
26
penderita (balita) yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit (agent)
ISPA yang meliputi jenis kelamin, umur, berat badan lahir, status gizi, dan status
imunisasi.
a. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor resiko terhadap kejadian ISPA yaitu laki-laki
lebih beresiko di banding perempuan, hal ini disebabkan aktivitas anak laki-
laki lebih banyak dari anak perempuan sehingga peluang untuk terpapar oleh
agent lebih banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dan Lilis (2011),
didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA menurut jenis kelamin tidak sama,
yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.
b. Umur
umur <2 tahun merupakan faktor resiko terjadinya ISPA.Hal ini disebabkan
karena anak dibawah dua tahun imunitasnya belum sempurna dan saluran
napas lebih sempit. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan
gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA
pada bayi dan balita merupakan kejadian infeksi pertama serta belum
27
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan
Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi
bahwa infeksi protozoa pada anak-anak yang tingkat gizinya buruk akan jauh
2013).
d. Status Imunisasi
satu strategi untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat ISPA pada anak
angka kesakitan dan kematian pada balita tertutama penyakit yang dapat
terhadap tujuh penyakit utama sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG,
beberapa jenis penyakit infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri, pertusis,
tetanus dan hepa- titis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA
yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk ringan.
a. Kepadatan Hunian
minimal menempati luas rumah 8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat
tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah
udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor
a) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang
secara merata(Prabu,2009).
c. Asap DalamRuangan
penggunaan bahan bangunan sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A.,
arang dan minyak tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya
kebiasaan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap
sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA
memilih makanan yang bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan
mereka mambawa anak mereka yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka
biasa, yang sebenarnya merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya
S.,2009).
1. Tingkat pendidikan.
2. Informasi.
3. Budaya.
apakah yang dilakukan baik atau buruk bagi kesehatan mereka terutama dalam
penyakit ISPA.
4. Pengalaman.
5. Sosial ekonomi.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah akan lebih rentan terkena
ISPA (Suliha, 2012). Menurut penelitian Susi hartati (2011) ibu balita yang
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat
kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saatini
adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi
campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan
gangguan penyakit (Depkes RI, 2004). Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa
dibanyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak adalah 65
gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang merupakan
hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2003). Ada dua jenis
imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.Pemberian imunisasi pada anak
biasanya dilakukan dengan cara imunisasi aktif, karena imunisasi aktif akan memberi
kekebalan yang lebih lama. Imunisasi pasif diberikan hanya dalam keadaan yang
sangat mendesak, yaitu bila diduga tubuh anak belum mempunyai kekebalan ketika
terinfeksi oleh kuman penyakit yang ganas. Perbedaan yang penting antara jenis
1) untuk memperoleh kekebalan yang cukup, jumlah zat anti dalam tubuh harus
meningkat; pada imunisasi aktif diperlukan waktu yang agak lebih lama untuk
2) kekebalan yang terdapat pada imunisasi aktif bertahan lama (bertahun- tahun)
sedangkan pada imunisasi pasif hanya berlangsung untuk beberapa bulan. Sesuai
terhadap 7 jenis penyakit utama, yaitu penyakit TBC (dengan pemberian vaksin
Imunisasi lain yang dianjurkan di Indonesia pada saat ini adalah terhadap penyakit
gondong dan campak Jerman (dengan pemberian vaksin MMR), tifus, radang
selaput otak oleh kuman Haemophilus influenzae tipe B (Hib), hepatitis A, cacar
telahdilemahkan.
yaitu bila anak sudah tidak diperbolehkan atau tidak lagi memerlukan
imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Vaksin yang digunakan untuk imunisasi
aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah
yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II, dan III yaitu: 1)
Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan
mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang masih hidup tetapi telah
pil ataucairan.
peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA (Dinkes RI, 2010:10).
melepaskan lelah, beristirahat, tempat bergaul dengan keluarga, sebagai tempat untuk
melindungi diri dari segala ancaman, sebagai lambang sosial. Secara umum rumah
pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus,
karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak
Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal
jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur,
ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus. Berdasarkan Kepmenkes RI
No.829 tahun 2009 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur
minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu
kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan
panasbadanyangakanmeningkatkankelembabanakibatuapairdaripernapasantersebut.
Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin
cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya
penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan
CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara
dalam ruangan.
b. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan
c. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak
dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.
Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit sebaiknya tidak
diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10m²/orang dan
kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara
Variabel Bebas
Faktor Intrinsik :
1. Umur Balita Variabel Terikat
2. Status Imunisasi
Kejadian ISPA
Faktor Ekstrinsik
1. Pengetahuan Ibu
2. Kepadatan Hunian
2.8 Hipotesis
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran
terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Menurut Sugiyono (2012:23)
dikatakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis
dengan pendekatan cross sectional. Desain penelitian analitik adalah penelitian yang
3.2.1 Populasi
meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya
merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah
Ibu yang memiliki balita yang berumur 12- 60 bulan dengan kejadian ISPA pada bulan
Januari sampai Maret 2022 yang diperoleh dari 3 Desa yaitu Desa Kopang Rembige,
39
3.2.2 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang dipilih dengan menyeleksi porsi dari
n
n=
1+ n ( e ) 2
5264
n=
1+5264 ( 0,05 ) 2
n=75 balita
2 Dusun Mumbang 25
Total 75
Jadi jumlah responden dalam penelitian ini adalah 75 balita yang terdapat di
Desa Montong Gamang, dimana peneliti memperoleh responden dari 3 dusun yang
ada diwilayah Desa Montong Gamang yaitu dusun Mbung Karung, dusun Mumbang
Kriteria pengambilan sampel dibedakan menjadi dua yaitu kriteria inklusi dan
eksklusi.
40
2003:97).
Teknik sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam
penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan
Sampling yaitu pengambilan sampel secara random atau acak (Notoatmodjo, 2002:85), karena
terhadap variabel hasil benar-benar murni pengaruh factor penelitian itu. Pada penelitian ini
peneliti akan memilih sampel sesuai dengan criteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan
oleh peneliti yaitu sebanyak 185 balita yang diperoleh dari data angka kejadian penyakit ISPA
pada balita di tiga desa yaitu Desa Kopang Rembige, Desa Montong Gamang dan Desa
Bebauk yang merupakan wilayah kerja puskesmas Kopang selama tiga bulan pada bulan
Januari-Maret 2022.
41
Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan penelitian yang
akan dilakukan.
Populasi
Ibu yang memiliki Balita yang berusia 12– 60 bulan dengan penyakit
ISPA selama bulan Januari-Maret 2022 di Desa Kopang Rembige,
Desa Montong Gamang dan Desa Bebuak = 346 balita
Sampel
Sebagian balita yang mengidap ISPA di Desa Kopang Rembige, Desa
Montong Gamang dan Desa Bebuak Puskesmas Kopang yaitu sebanyak
185 responden
Sampling
Simple Random Sampling
Jenis Penelitian
Korelasi/Cross Sectional
Pengumpulan Data
Analisis Data
Chi Squere
Hasil dan
Kesimpulan
3.5 Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian
penelitian ini adalah Umur, Pengetahuan Ibu, Status Imunisasi dan kepadatan
hunian.
Variabel dependen adalah variabel yang diamati dan diukur untuk menentukan
ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2013).
observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Pada definisi
2013).
43
Polimielitis
6.Vaksin
Campak
7.Vaksin
HepatitisB
Kepadatan Kepadatan penghuni Hasil bagi Wawancara Kuesioner - Sehat
Hunian rumah yang memenuhi antara luas Observasi Lembar apabila luas
syarat kesehatan lantai kamar observasi lantai
dengan jumlah dengan
peng-huni jumlah
dalam penghuni>1
m²/orang 0 m²/orang
=2
- Tidak sehat
luas lantai
dengan
jumlah
penghuni <
10m²/orang
=1
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian, juga
terkait dengan bahan penelitian (Supardi dan Surahman, 2014). Instrumen yang
yang telah dibuat sedemikian rupa sehingga responden tinggal mencentang jawaban
3. Meminta data sekunder dari Puskesmas Kopang tentang jumlah pasien balita yang
4. Menentukan populasi untuk dipilih sesuai kriteria inklusi dan ekslusi untuk menjadi
5. Setelah mendapat sampel maka calon responden diminta untuk mengisi lembar
7. Melakukan pengkodean dari data yang telah di dapat lalu melakukan analisis data.
1. Editing
kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk menguji hipotesis atau
2. Coding
yang terdiri atas beberapa kategorik. Pemberian kode ini sangat diperlukan
a. Usia : < 2 tahun diberi kode “1” dan usia ≥ 2tahun) diberi kode“0”
3. Skoring
terhadap item – item yang perlu diberi penilaian atau skor terhadap hasil
4. Entry
bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau software
47
komputer.
5. Tabulating
jawaban yang sama dengan menjumlahkannya. Pada tahapan ini data diperoleh
untuk setiap variabel disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dalam bentuk
tabel.
6. Cleaning
Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah dientri,
apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat meng-entri data
ke komputer.
1. AnalisaUnivariat
dua macam yaitu data kategori berupa skala ordinal dan nominal, data numerik
2. AnalisaBivariat
16.0 For Windows. Dari uji statistik ini akan diperoleh kemungkinan hasil uji
48
yaitu signifikasi atau bermakna dengan α = 0,05. Jika nilai p value ≤ 0,05 maka
terdapat korelasi yang bermakna antara variabel yang di uji. Hipotesa diterima
nilai pvalue
Dari penjelasan diatas maka untuk menjawab kasus penelitian ini digunakan uji
statistik pearson chi square bila tabel variabel lebih dari 2x2, untuk mengetahui
hubungan antar variabel, tingkat kesalahan 5% atau taraf signifikan yaitu α (0,05):
pada balita.
c. Ada Pengaruh antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita.
pada balita.
a. Tidak ada pengaruh antara umur dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita.
pada balita.
1. Prinsip EtikaPenelitian
a. Prinsip manfaat
dieksploitasi.
c. Prinsip keadilan
menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak menjaga privasi
2. Masalah EtikaPenelitian
a. Informed consent
Pemberian informed consent ini bertujuan agar subjek mengerti maksud dan
50
b. Prinsip Anonimity
c. Prinsip Confidentialy
Dalam hal kerahasiaan, informasi yang sudah didapatkan dari responden harus
masalah-masalah lainnya.
51
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2014. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Depkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta. DepKes.RI, 2009 Sistem
Kesehatan Nasional. Jakarta.
Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita
(12-59 bulan). Riskerdas ,UI.
Intan Silviana, 2014 Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit Ispa Dengan
Perilaku Pencegahan Ispa Pada Balita Di PHPT Muara Angke Jakarta Utara .
Jurnal Universitas Esa Unggula, Jakarta.
Layuk dan Noer, 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Dinas Kesehatan
DKI.
Muttaqin, 2008. Infeksi Saluran Pernafasan Akut. EGC. Jakarta. Nelson, 2013.
Pengertian Definisi Operasional Info. Jakarta: PT.Obor. Ngastiyah, 2005.
Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta. Dinkes
Sri Hayati. 2014. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Jakarta: Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
Suhandayani, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Penanggulangannya. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Susi Hartati. 2011. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian.
Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo, Jurnal UI. Syafarilla, 2011.
Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Erlangga.