ABSTRAK
Campak merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian apabila terjadi
komplikasi. Kota Surabaya merupakan daerah dengan jumlah kasus campak terbanyak di Jawa Timur.
Surveilans merupakan salah satu upaya pengendalian penyakit campak yang diharapkan mampu menyediakan
data dan informasi berkualitas untuk dasar pengambilan keputusan sebuah tindakan atau intervensi. Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan mengevaluasi atribut pada sistem surveilans epidemiologi
campak di Kota Surabaya tahun 2012. Evaluasi dilakukan dengan cara menilai atribut surveilans yang
kemudian dibandingkan dengan petunjuk teknis surveilans campak tahun 2012, keputusan menteri kesehatan
RI tahun 2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan, dan guideliness
for evaluating surveillance systems dari center for disease control and prevention tahun 2001. Teknik
pengambilan data dengan menggunakan wawancara serta observasi atau studi dokumen. Responden dalam
penelitian ini adalah 39 orang petugas surveilans di 39 Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Variabel yang diteliti adalah kesederhanaan, fleksibilitas, kualitas data,
akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif positif, kerepresentatifan, ketepatan waktu dan stabilitas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa atribut kesederhanaan adalah tidak sederhana. Atribut fleksibilitas dari case
based measles surveillance adalah tidak fleksibel sedangkan fleksibilitas dari early warning alert and
response system sudah bersifat fleksibel. Atribut kualitas data, akseptabilitas, sensitivitas, dan
kerepresentatifan adalah rendah. Atribut nilai prediktif positif belum dapat dihitung. Atribut ketepatan waktu
sudah sesuai atau sudah tepat waktu dan atribut stabilitas data adalah tinggi.
ABSTRACT
Measles is one of infectious diseases that potentially lead to death when complications occur. Surabaya is the
area where the most measles cases occur in East Java. Surveillance as one of measles controlling efforts
expected to provide qualified data and information as the basis for any decision making for a treatment or
intervention. This study is a descriptive research aiming at evaluating the attributes of measles epidemiology
surveillance system in Surabaya on 2012. The evaluation was done by assessing the attributes of surveillance
then compared to technical guide for measles surveillance 2012, the decree of the health ministry of The
Republic of Indonesia at 2003 about conducting surveillance system of health epidemiology guideline, and
guidelines for evaluating surveillance systems from center for disease control and prevention 2001. The data
collection method employed interview and observation or study documentation. The respondents of this study
were 39 surveillance officers at 39 Public health center (PHC) in Health Department Surabaya working area.
The variables of this study were simplicity, flexibility, data quality, acceptability, sensitivity, predictive value
positive, representativeness, timeliness, and stability. The results of this study showed that the simplicity is
complicated. The flexibility from case based measles surveillance is not flexible whereas the flexibility from
early warning alert and response system is flexible. The data quality, acceptability, sensitivity and
representativeness are low. The predictive value positive has not been able to be scored. The stability is high
and the timeliness is punctual.
171
172 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 171–183
fluktuasi yakni 83%, kemudian menurun menjadi vaksin, mengeradikasi penyakit, dan mencegah
75% dan meningkat kembali menjadi 85%. Angka penyebaran penyakit. Dengan tersedianya data
cakupan tersebut selama tiga tahun terakhir belum atau informasi yang valid dan akurat tentunya akan
memenuhi target yang telah ditetapkan dalam upaya menghasilkan program-program pengendalian atau
pengendalian campak. Hal ini tentunya berdampak pemberantasan penyakit yang efektif dan efisien.
pada banyaknya kasus di Kota Surabaya. Oleh sebab itu diperlukan adanya sebuah
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan evaluasi atau penilaian mengenai pelaksanaan
Kota Surabaya, jumlah puskesmas yang tersebar surveilans campak di Dinas Kesehatan Kota
di 31 kecamatan se-Kota Surabaya berjumlah Surabaya berdasarkan atribut surveilans yang
62 puskesmas induk. Apabila di analisa lebih meliputi kesederhanaan, fleksibilitas, kualitas
dalam, dari jumlah kasus pada tahun 2012 saja data, akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif
yaitu 717 kasus, apabila dihitung rata-rata kasus di positif, kerepresentatifan, ketepatan waktu dan
62 puskesmas, maka akan mendapatkan 11 hingga stabilitas. Sistem surveilans harus dievaluasi secara
12 kasus di setiap puskesmas. Berdasarkan kriteria periodik, dan evaluasinya harus menghasilkan
KLB campak, angka tersebut telah termasuk dalam rekomendasi untuk peningkatan kualitas, efisiensi
kategori KLB dimana definisi KLB campak yaitu dan kemanfaatan (CDC, 2001).
adanya 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu Sehingga tujuan dari penelitian ini yaitu
4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok mendeskripsikan pelaksanaan surveilans campak,
dan dibuktikan adanya hubungan epidemiologi mengevaluasi atribut surveilans, mengidentifikasi
(Kemenkes, 2012). adanya permasalahan terutama pada atribut
Permasalahan dalam pencatatan dan pelaporan surveilans serta penentuan alternatif solusi sebagai
terjadi dalam Case Based Measles Surveilance bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan
(CBMS). Berdasarkan hasil analisis laporan pembuatan program pengendalian, penanggulangan
CBMS Kota Surabaya di Dinas Kesehatan Provinsi dan pemberantasan penyakit campak selanjutnya.
Jawa Timur, dari 183 kasus campak yang diambil
spesimen untuk pemeriksaan laboratorium pada
METODE
tahun 2011, ditemukan sebanyak 100% tersangka
kasus campak tidak disertai laporan C1 dari Rancang bangun penelitian ini adalah penelitian
puskesmas di Kota Surabaya. Sedangkan pada evaluasi dengan menilai atribut surveilans yang
tahun 2012, dari 251 kasus campak yang diambil terdiri dari kesederhanaan, fleksibilitas, kualitas data,
spesimen untuk pemeriksaan laboratorium, hanya akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif positif,
18,3% tersangka kasus campak yang disertai laporan representatif, ketepatan waktu, dan stabilitas.
C1 dari puskesmas. Penilaian dilakukan oleh petugas puskesmas
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi di wilayah Kota Surabaya yang dipilih secara acak
masih tingginya kasus campak di berbagai daerah menggunakan metode simple random sampling pada
adalah kinerja surveilans campak (Susilaningsih, 62 puskesmas sehingga didapatkan sampel sebanyak
2009). Tujuan surveilans yaitu tersedianya data dan 39 puskesmas. Jumlah responden pada masing-
informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen masing puskesmas yaitu 1 orang petugas surveilans
kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam campak.
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi Pengumpulan data primer dengan wawancara
program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan kepada responden menggunakan kuisioner dan
serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan observasi. Sedangkan pengumpulan data sekunder
tepat secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota diperoleh melalui studi dokumen atau arsip data
(Depkes, 2003). surveilans epidemiologi campak yang ada di
Munculnya berbagai permasalahan tersebut puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
sebenarnya tidak akan terjadi apabila pelaksanaan Analisa data dilakukan secara deskriptif. Hasil
surveilans epidemiologi di daerah berjalan yang diperoleh dibandingkan dengan Petunjuk Teknis
dengan baik. Menurut Nelson dan Sifakis (2007), Surveilans Campak dari Kementerian Kesehatan
surveilans tidak hanya digunakan untuk menghitung Republik Indonesia Tahun 2012, Keputusan
jumlah kasus, namun juga sebagai alat untuk Menteri Kesehatan RI No. 1116/MENKES/ SK/
mendeskripsikan kelompok beresiko, mengevaluasi VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
174 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 171–183
Surveilans Epidemiologi Kesehatan, dan Guideliness bagi petugas puskesmas selaku pelapor. Hal ini
for Evaluating Surveillance Systems dari Center for mengakibatkan petugas menggunakan pulsa pribadi
Disease Control and Prevention Tahun 2001. untuk mengirimkan pesan singkat tersebut ke Dinas
Kota Surabaya.
Selain rekapitulasi pada akhir minggu di
HASIL
tingkat puskesmas, rekapitulasi juga dilakukan
Alur pelaksanaan surveilans campak di setiap akhir bulan pada formulir C1 yang kemudian
puskesmas yaitu pencatatan penderita suspect dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya
campak dilakukan oleh petugas surveilans pada pada awal bulan selanjutnya dengan batas waktu
buku/daftar registrasi puskesmas serta formulir LB1 hingga tanggal 10. Tanggal tersebut merupakan
(data kesakitan) yang sebelumnya dikonfirmasi pada kebijakan dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya
petugas medis yang melakukan pemeriksaan. Di dengan mempertimbangkan waktu pelaporan ke
setiap akhir minggu pelayanan, yaitu hari Sabtu, Dinas Kesehatan Provinsi pada tanggal 15 setiap
dilakukan rekapitulasi kasus suspect campak pada bulannya agar dalam jangka waktu 5 hari, dapat
formulir W2 yang kemudian dilaporkan ke Dinas merekapitulasi seluruh puskesmas serta melakukan
Kesehatan Kota Surabaya setiap hari Senin. pengolahan terhadap laporan.
Alur pencatatan dan pelaporan surveilans Hasil penilaian petugas puskesmas terhadap
campak oleh puskesmas di wilayah kerja Dinas atribut sistem surveilans campak, adalah sebagai
Kesehatan Kota Surabaya dapat digambarkan berikut:
sebagai berikut:
Kesederhanaan
Beberapa indikator yang terkait diantaranya
yaitu: Alur pelaporan, menurut responden, alur
pelaporan surveilans campak yang berjalan saat ini
sudah sederhana (71,8%). Hal ini terkait dengan
kemudahan petugas dalam pengisian formulir
C1 (89,7%) dan W2 (86,5%). Namun sisanya
(28,2%) menyatakan kesulitan dalam pelaksanaan
surveilans campak. Hal tersebut terkait dengan uji
laboratorium.
Tenaga pelaksana surveilans, merupakan lulusan
SMA (2,6%), lulusan D3 (74,4%) dan lulusan S1
(23,1%). Sebagian besar responden menyatakan
pernah mengikuti pelatihan surveilans (69,2%).
Dan hampir seluruh petugas memiliki tugas kerja
selain surveilans campak (94,4%). Jumlah petugas
Keterangan: surveilans campak di puskesmas diantaranya
: alur pelaporan surveilans campak di Dinas terdapat 1 petugas (59%), terdapat 2 petugas (25,6%)
Kesehatan Kota Surabaya dan terdapat lebih dari 2 petugas (15,4%). Mayoritas
: koordinasi pemeriksaan laboratorium tenaga surveilans campak yang ada di puskesmas
merupakan bidan dan perawat. Ketersediaan
Gambar 1. Alur Pencatatan dan Pelaporan
pedoman, hampir di seluruh puskesmas (87,2%)
Surveilans Campak Di Dinas Kesehatan
telah memiliki buku “Petunjuk Teknis Surveilans
Kota Surabaya Tahun 2012
Campak Tahun 2012” yang menjadi pedoman dan
Pelaporan W2 mengalami perubahan dapat memudahkan petugas dalam pelaksanaan
menjadi EWARS sejak akhir tahun 2012 namun surveilans di tingkat puskesmas.
pelaksanaan secara serempak di seluruh puskesmas Ketersediaan sarana, merupakan hal penting
pada awal 2013. Dengan menggunakan EWARS yang dapat menunjang pelaksanaan surveilans.
maka pengiriman laporan melalui pesan singkat/ Hampir seluruh puskesmas telah memiliki sarana
SMS (short messaging service). Semenjak awal untuk pelaksanaan surveilans yang lengkap, yaitu
pelaksanaan sistem pelaporan menggunakan jaringan elektromedia (84,6%), alat komunikasi
EWARS, tidak ada dana khusus dari tingkat pusat (100%), formulir (100%) dan transportasi (100%).
Bilqis Evira M. dkk., Penilaian Atribut Surveilans… 175
Namun untuk mengirim laporan, hampir seluruh rutin surveilans campak, yaitu laporan C1 dan W2,
responden menggunakan alat komunikasi dan alat terdapat perbedaan jumlah kejadian suspect campak
transportasi pribadi. Uji laboratorium, terdapat yang terjadi di Kota Surabaya misalnya yaitu pada
petugas yang telah melakukan pengambilan tahun 2012. Berdasarkan laporan C1 terdapat 717
spesimen darah pada pasien untuk konfirmasi kasus sedangkan pada laporan W2 terdapat 415
kepastian penyakit campak (59%). Sedangkan kasus.
sisanya (41%), tidak melakukan karena beberapa Berdasarkan hasil observasi pada laporan C1
alasan, diantaranya yaitu penderita masih bayi dan W2 di puskesmas, hanya sedikit puskesmas
atau balita sehingga sulit untuk diambil darahnya, yang melakukan validasi pada laporan rutin
rendahnya kemauan petugas untuk mengirimkan tersebut (28,2%). Dan untuk kegiatan diseminasi
spesimen ke Dinas Kesehatan Kota serta tidak ada informasi, responden menyatakan petugas
umpan balik dari Dinas Kesehatan Kota terkait hasil sudah melakukan diseminasi informasi (71,8%).
laboratorium. Responden menyatakan melaporkan hasil surveilans
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil campak ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya melalui
penilaian kesederhanaan dalam pelaksanaan pengumpulan hardcopy berupa formulir C1 dan
surveilans campak di puskesmas Kota Surabaya W2, softcopy file dan pesan singkat (EWARS)
adalah tidak sederhana sebab dibutuhkan konfirmasi (97,4%). Responden juga menyatakan melakukan
uji laboratorium untuk penegakan diagnosis umpan balik (71,8%) yaitu kepada pasien atau
campak. keluarga pasien apabila terdapat konfirmasi hasil
laboratorium. Selain itu umpan balik oleh kepala
Fleksibilitas puskesmas melalui minilokakarya yang diadakan
Pelaksanaan surveilans campak tahun 2012, puskesmas satu kali dalam setiap bulan bagi seluruh
terdapat beberapa perubahan yaitu diberlakukannya petugas dan karyawan.
CBMS (Case Based Measles Surveillance) sebanyak Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
50% dari jumlah kasus pada tahun sebelumnya kevalidan data pada laporan rutin campak adalah
dengan uji laboratorium untuk penegakan diagnosis tidak valid sehingga kualitas data yang dihasilkan
campak dan perubahan format laporan W2 adalah rendah.
(mingguan) menjadi EWARS (Early Warning And
Akseptabilitas
Response System) yaitu melalui pesan singkat/SMS
(short messaging service). Beberapa indikator yang dinilai dalam atribut
Secara umum, sebagian besar responden dari akseptabilitas adalah Kelengkapan laporan: C1,
puskesmas (71,8%) menyatakan bahwa sistem berdasarkan hasil observasi arsip dan absensi
surveilans campak tahun 2012 sudah fleksibel untuk formulir C1 puskesmas mencapai 100%, dan
menyesuaikan dengan perubahan informasi atau W2/EWARS, berdasarkan hasil observasi arsip
keadaan lapangan dengan terbatasnya tenaga, waktu dan absensi formulir W2/EWARS, kelengkapan
dan biaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil laporan seluruh puskesmas di Dinas Kesehatan
penilaian fleksibilitas dalam pelaksanaan surveilans Kota Surabaya mencapai 90,56%. Ketepatan waktu
campak di puskesmas Kota Surabaya adalah fleksibel pelaporan: Berdasarkan hasil observasi absensi C1
pada perubahan EWARS dan tidak fleksibel pada puskesmas, ketepatan waktu pelaporan C1 dari
pelaksanaan CBMS sebab dibutuhkan konfirmasi uji seluruh puskesmas mencapai 92,6%. Sedangkan
laboratorium untuk penegakan diagnosis campak. ketepatan waktu pelaporan W2 dari puskesmas
hanya 15,4%. Penolakan pengisian jawaban dalam
Kualitas data formulir, responden menyatakan pernah ada
Berdasarkan hasil observasi, hampir seluruh penolakan (12,8%), sedangkan sisanya (87,2%)
puskesmas mengisi dengan lengkap dan jelas pada menyatakan tidak pernah ada penolakan dalam
formulir C1 (92,3%). Dan lebih dari 80% data yang pengisian jawaban di formulir. Tingkat penerimaan
ada di formulir sudah diisi dengan lengkap. Untuk terhadap sistem surveilans campak di puskesmas
laporan W2, kelengkapan dalam pengisian data, dapat dikatakan rendah (38,5%). Sehingga dapat
berdasarkan hasil observasi hanya 38,5% puskesmas disimpulkan bahwa tingkat akseptabilitas adalah
yang diisi dan sesuai. Sedangkan unsur kevalidan rendah.
data, berdasarkan hasil observasi pada laporan
176 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 171–183
berdekatan, maka harus dilakukan pengambilan dengan ketepatan waktu dan dapat mempengaruhi
spesimen. besarnya biaya operasional yang dibutuhkan untuk
Pada aspek pelaporan, berdasarkan Petunjuk melaksanakan sistem tersebut (CDC, 2001).
Teknis Surveilans Campak (Kemenkes, 2012), Alur pelaporan : Petugas menyatakan bahwa
pelaporan dari tingkat puskesmas ke Dinas alur pelaporan sederhana. Sebuah sistem dapat
Kesehatan Kota maksimal pada tanggal 5 setiap dikatakan sederhana dimana definisi kasus mudah
bulannya dengan mengirim laporan C1 yang berisi diterapkan dan seseorang yang mengidentifikasi
rekapitulasi kejadian suspect campak di puskesmas kasus adalah orang yang menganalisis dan
baik yang diambil spesimen maupun yang tidak. menggunakan informasi tersebut (Romaguera,
Sedangkan penderita yang diambil spesimen German & Klaucke, 2000).
darahnya, dilakukan individual record pada formulir Tenaga pelaksana surveilans : Berdasarkan
C1 yang dikirim ke Dinas Kota bersama dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/
serum yang akan dilakukan uji laboratorium. Menkes/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman
Berdasarkan hasil wawancara, pencatatan Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
dan pelaporan kejadian suspect campak di tingkat Kesehatan, indikator tenaga pelaksana surveilans
puskesmas Kota Surabaya, di rekapitulasi pada di puskesmas yaitu 1 orang tenaga epidemiolog
akhir minggu pada formulir W2 dan di rekapitulasi terampil. Berdasarkan hasil observasi, pelaksana
setiap akhir bulan pada formulir C1 yang kemudian surveilans epidemiologi campak di puskesmas,
dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya seluruhnya terdapat 1 orang tenaga pelaksana
pada awal bulan selanjutnya dengan batas waktu surveilans sehingga dapat disimpulkan telah
hingga tanggal 10. Tanggal tersebut merupakan memenuhi indikator. Ketersediaan sarana :
kebijakan dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
dengan mempertimbangkan waktu pelaporan ke Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 Tentang
Dinas Kesehatan Provinsi pada tanggal 15 setiap Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
bulannya agar dalam jangka waktu 5 hari dapat Epidemiologi Kesehatan, indikator sarana yang
merekapitulasi seluruh puskesmas serta melakukan diperlukan untuk terlaksananya penyelenggaraan
pengolahan terhadap laporan. Tanggal tersebut surveilans epidemiologi kesehatan di puskesmas
merupakan kebijakan dari Dinas Kesehatan Provinsi yaitu 1 paket komputer, 1 paket alat komunikasi
Jawa Timur. (telepon, faksimili, SSB), 1 paket kepustakaan, 1
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan paket pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi
dalam alur pelaporan terdapat pada sumber dan program aplikasi komputer, 1 paket formulir, 1
pencatatan dan pelaporan dimana sumber pencatatan paket peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi
adalah puskesmas pembantu, praktik dokter, bidan, dan 1 roda dua. Berdasarkan hasil observasi, sarana
perawat, dan pelayanan kesehatan swasta lainnya yang dimiliki oleh puskesmas, sebagian besar telah
serta masyarakat/posyandu maupun petugas desa memiliki sarana lengkap sesuai dengan indikator
siaga. Namun pencatatan kasus campak di puskesmas (84,6%).
bersumber dari buku/daftar registrasi puskesmas Uji laboratorium : Dalam upaya penegakan
serta formulir LB1 (data kesakitan). Selain itu diagnosis, maka setiap kasus suspect campak
terdapat pula perbedaan waktu pengumpulan laporan dilakukan pengambilan spesimen untuk diuji
dari tingkat puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota, laboratorium. Namun pelaksanaan uji laboratorium
dimana waktu pengumpulan pada Petunjuk Teknis tersebut masih dilakukan secara bertahap di
Surveilans Campak adalah setiap tanggal 5 namun Indonesia. Untuk tahun 2012, kebijakan dari
berdasarkan kebijakan, waktu pengumpulan adalah tingkat pusat yakni pemeriksaan spesimen untuk uji
tanggal 10. laboratorium sebanyak 50% dari jumlah kasus pada
Berikut adalah pembahasan mengenai atribut tahun sebelumnya.
surveilans campak : Menurut Romaguera, German, dan Klaucke
(2000), sebuah sistem dikatakan kompleks bila
Kesederhanaan membutuhkan uji laboratorium untuk konfirmasi
Kegiatan surveilans, kesederhanaan berarti kasusnya, kontak telepon atau kunjungan rumah
struktur sederhana dan mudah dioperasikan. Sistem oleh petugas untuk mengumpulkan data tambahan,
surveilans harus sesederhana mungkin, tetapi laporan dengan level yang bertingkat dan/atau
tetap dapat mencapai tujuan. Hal ini berkaitan erat banyaknya sumber data. Pada pelaksanaan surveilans
Bilqis Evira M. dkk., Penilaian Atribut Surveilans… 179
di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya, bukti dari tidak dilakukannya validasi data terhadap
secara bertahap dilakukan uji laboratorium untuk setiap laporan yang dilaporkan dari puskesmas
penegakan diagnosis campak. Dengan adanya uji kepada Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
laboratorium, maka kasus yang ditemukan dapat Menurut CDC (2001) sebuah sistem surveilans
terkonfirmasi secara jelas mengenai penyakit yang yang memiliki data dengan kualitas tinggi, sistem
diderita pasien. Apabila yang ditemukan adalah tersebut dapat diterima oleh pihak yang berpartisipasi
benar kasus campak, maka diperlukan kewaspadaan di dalamnya. Sistem juga dapat dengan akurat
dini terhadap timbulnya KLB di sebuah wilayah mewakili kejadian-kejadian kesehatan dibawah
tertentu serta kegiatan surveilans diarahkan pada surveilans. Hal tersebut karena surveilans bertujuan
upaya penanggulangan dan pengendalian campak. memberikan informasi mengenai masalah kesehatan
Hal tersebut akan meningkatkan keefektifan dan pada sebuah populasi dengan tepat waktu, sehingga
keefisienan dari kegiatan surveilans campak. penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan
dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan
Fleksibilitas lebih efektif (Murti, 2011).
Fleksibilitas berarti suatu sistem yang mampu
Akseptabilitas
menyesuaikan diri terhadap perubahan informasi
yang dibutuhkan atau keadaan lapangan dengan Akseptabilitas atau tingkat penerimaan terhadap
terbatasnya waktu, personil dan anggaran. Selain itu sistem dapat dilihat dari keinginan individu maupun
juga dapat dengan mudah terintegrasi dengan sistem organisasi tertentu untuk ikut serta dalam sistem
lain dan dapat dianggap fleksibel (CDC, 2001). tersebut. Beberapa indikator dapat termasuk jumlah
Adanya perubahan dalam pelaporan W2 menjadi pihak yang berpartisipasi dalam sistem surveilans,
EWARS pada akhir tahun 2012 memudahkan kelengkapan wawancara atau angka penolakan
petugas puskesmas dalam mengirimkan laporan jawaban, kelengkapan laporan, angka pelaporan dari
dengan menggunakan pesan singkat (SMS) kepada dokter/laboratorium/rumah sakit/fasilitas kesehatan,
Dinas Kesehatan Kota. Namun laporan tersebut dan ketepatan waktu pelaporan (CDC, 2001).
dikirim dengan menggunakan alat komunikasi dan Berdasarkan Petunjuk Teknis Surveilans
biaya (pulsa) pribadi. Untuk pelaksanaan surveilans Campak (Kemenkes, 2012), indikator kelengkapan
campak berbasis CBMS, berdampak pada tenaga, laporan rutin (C1) adalah ≥ 90%. Sehingga
waktu dan biaya. Tenaga khusus dibutuhkan untuk kelengkapan laporan C1 dan W2 puskesmas di
pengambilan darah penderita suspect campak yang Dinas Kesehatan Kota telah memenuhi indikator
kemudian serumnya dikirim ke Dinas Kesehatan yaitu 100% dan 90,56%. Namun kelengkapan dalam
Kota beserta laporan C1 berbasis individu. pengisian formulir W2 pada kolom campak masih
Pengiriman spesimen tersebut membutuhkan tenaga, di bawah indikator akibat kesalahpahaman petugas
waktu dan biaya. mengenai fungsi W2 sebagai alat kewaspadaan dini
tidak hanya untuk penyakit diare namun juga untuk
Kualitas data penyakit campak.
Kualitas data menggambarkan kelengkapan dan Berdasarkan Petunjuk Teknis Surveilans
validitas data yang terekam pada sistem surveilans. Campak (Kemenkes, 2012), indikator ketepatan
Hal tersebut diukur dengan mengetahui persentase laporan rutin (C1) adalah ≥ 80%. Laporan C1 telah
data yang unknown (tidak jelas) dan data yang memenuhi indikator sebesar 92,6%. Sedangkan W2
blank (tidak lengkap) yang ada pada form surveilans tidak memenuhi indikator, hanya sebesar 15,4%.
(CDC, 2001). Hal ini karena laporan W2 dikumpulkan secara
Berdasarkan hasil observasi, laporan C1 akumulatif oleh petugas puskemas setiap bulannya.
dapat dikatakan lengkap. Sedangkan laporan W2, Berdasarkan hasil wawancara, hanya 38,5%
tidak lengkap. Berdasarkan hasil wawancara, hal responden menyatakan bahwa hasil surveilans
ini disebabkan kebanyakan petugas puskesmas dimanfaatkan oleh pihak lain. Pihak yang
berasumsi bahwa laporan W2 adalah laporan menggunakan hasil dari surveilans campak di
mingguan diare, sehingga pada kolom campak jarang tingkat puskesmas yaitu lintas program dan lintas
diisi. Sehingga terdapat perbedaan jumlah kasus sektor. Lintas program adalah bagian imunisasi
antara laporan C1 dan W2. Adanya perbedaan jumlah sedangkan lintas sektor adalah pihak kelurahan dan
pada laporan rutin antara C1 dan W2 merupakan kecamatan.
180 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 171–183
Menurut Murti (2011), manfaat sistem pemborosan sumber daya, baik untuk penemuan
surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi kasus maupun untuk pengobatan (Noor, 2008).
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan,
pengambil keputusan, serta pemangku surveilans Kerepresentatifan
pada berbagai level. Salah satu cara mengatasi Kerepresentatifan berarti dapat menguraikan
rendahnya pemanfaatan data adalah membangun dengan tepat berbagai kejadian atau peristiwa
jejaring dan komunikasi yang baik antara peneliti, kesehatan sepanjang waktu termasuk penyebarannya
pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan. dalam populasi menurut waktu dan tempat (CDC,
2001). Berdasarkan hasil observasi di 39 puskesmas
Sensitivitas
responden, sebanyak 30 puskesmas tidak ditemukan
Sensitivitas dimaksudkan dengan kemampuan visualisasi dari hasil analisis berdasarkan orang,
sistem untuk dapat menjaring data informasi yang tempat dan waktu. Hal ini dikarenakan anggapan
akurat. Sensitivitas dapat dipertimbangkan melalui petugas bahwa campak bukan penyakit serius.
dua level. Pertama, level pelaporan. Sensitivitas Kegiatan surveilans bertujuan untuk
mengacu pada proporsi kasus yang dapat dideteksi mempelajari gambaran epidemiologi dari kasus
oleh sistem surveilans. Kedua, sensitivitas mengacu campak, sehingga dapat menjawab pertanyaan who,
pada kemampuan dalam mendeteksi KLB, termasuk where, when, why dan how. Bila pertanyaan tersebut
kemampuan memonitor perubahan kasus setiap tidak bisa dijawab oleh data surveilans, maka fungsi
waktu (CDC, 2001). surveilans telah gagal dalam memberikan informasi
Tujuan dari laporan W2 yaitu sebagai alat SKD- tentang adanya suatu masalah kesehatan. Pengolahan
KLB (Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar dan analisa data dilakukan di setiap tingkat mulai
Biasa), dirasa belum mampu merepresentasi kejadian puskesmas, kabupaten/kota, provinsi maupun
campak yang ada di masyarakat. Hal ini terkait nasional. Penyajian data dalam bentuk tabel, grafik
dengan perbedaan jumlah kasus yang terlapor pada dan spotmap akan membantu analisis yang akan
laporan W2 (mingguan) dan laporan C1 (bulanan). dilakukan (Kemenkes, 2012).
Padahal seharusnya jumlah kasus Menurut Nelson dan Sifakis (2007), presentasi
pada kedua laporan tersebut pada akhir tahun dari data penyakit infeksi yang endemis sangat
adalah sama. Jumlah kasus campak pada tahun 2012 penting untuk menilai kemajuan atau kemunduran
yang bersumber dari laporan W2 sebanyak 415 status kesehatan pada sebuah masyarakat. Jika
kasus sedangkan jumlah kasus yang sumber dari laporan surveilans tidak bersifat representatif
laporan C1 sebanyak 717 kasus. maka dapat mempengaruhi program pencegahan
Menurut Romaguera, dkk (2000), pengukuran penyakit.
sensitivitas memerlukan validitas dari data yang
telah dikumpulkan. Menurut Nelson dan Sifakis Ketepatan waktu
(2007), sebuah sistem surveilans yang memiliki Ketepatan waktu berarti tingkat kecepatan atau
sensitivitas baik sangat penting untuk mengontrol keterlambatan di antara langkah-langkah yang harus
terjadinya KLB atau untuk mengevaluasi sebuah ditempuh dalam suatu sistem surveilans. Selain
intervensi tidak hanya untuk memonitor tren itu pula waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui
penyakit. kecenderungan (trend), outbreak, atau menilai
pengaruh dari upaya penanggulangan (CDC,
Nilai prediktif positif
2001).
Nilai Prediktif Positif (NPP) adalah proporsi Berdasarkan Petunjuk Teknis Surveilans
orang-orang yang teridentifikasi sebagai kasus Campak (Kemenkes, 2012), indikator ketepatan
yang sesungguhnya. Hal ini berhubungan dengan laporan rutin (C1) adalah ≥ 80%. Laporan C1 telah
kejelasan dan ketepatan definisi kasus serta tingkat memenuhi indikator sebesar 92,6%. Sedangkan W2
sensitivitas dan spesifisitas dari definisi kasus tidak memenuhi indikator, hanya sebesar 15,4%.
tersebut (CDC, 2001). Hal ini karena laporan W2 dikumpulkan secara
Suatu sistem surveilans dengan NPP rendah, akumulatif oleh petugas puskemas setiap bulannya.
akan banyak menjaring dan melaporkan kasus Umpan balik juga dilakukan oleh puskesmas.
dengan “positif palsu” dan hal ini merupakan
Bilqis Evira M. dkk., Penilaian Atribut Surveilans… 181
Menurut Nelson dan Sifakis (2007), ketepatan kejadian suspect campak dilakukan pengambilan
waktu sangat dibutuhkan guna mengontrol sebuah spesimen untuk konfirmasi diagnosis. Dengan
kejadian luar biasa dari sebuah penyakit yang akut diterapkannya pengambilan spesimen pada seluruh
penderita suspect campak, secara bertahap, dapat
Stabilitas meningkatkan nilai prediktif positif. Namun hal
Stabilitas berkenaan dengan reliabilitas dan itu tentu mempengaruhi aspek fleksibilitas dari
ketersediaan sistem surveilans. Reliabilitas yaitu pelaksanaan CBMS. Sehingga salah satu upaya
kemampuan untuk mengumpulkan, mengatur, dan untuk dapat mengimbangi ketidaksederhanaan dalam
menyediakan data secara tepat tanpa kesalahan. konfirmasi laboratorium, yaitu dengan mengurangi
Sedangkan ketersediaan yakni kemampuan untuk kompleksitas dalam pencatatan dan pelaporan.
dioperasikan ketika dibutuhkan (CDC, 2001). Dalam wawancara yang dilakukan, alur pelaporan
Komputer dan formulir yang digunakan saat ini telah sederhana. Apalagi dengan adanya
puskesmas sudah cukup mampu dalam pelaksanaan pelaporan melalui pesan singkat.Oleh karena itu
surveilans yang berkaitan dengan mengumpulkan, diperlukan optimalisasi pelaporan berbasis teknologi
mengatur, dan menyediakan data secara tepat tanpa seperti pelaporan melalui pesan singkat tersebut atau
kesalahan serta mudah untuk dioperasikan ketika dapat menggunakan teknologi yang lebih sederhana
dibutuhkan. Kerusakan atau kehilangan data jarang yaitu pengadaan software yang dapat diakses
terjadi di puskesmas. Apabila terjadi, waktu yang secara online. Software tersebut bertujuan untuk
dibutuhkan juga tidak terlalu lama. memudahkan pelaporan ke tingkat pusat serta dapat
Berdasarkan hasil penilaian pada atribut diakses secara online oleh Dinas Kesehatan Kota
surveilans epidemiologi campak, ditemukan guna memantau laporan dan deteksi dini terhadap
beberapa permasalahan dalam pelaksanaan surveilans penyakit potensial wabah, begitu pula dengan Dinas
campak di 39 Puskesmas Kota Surabaya berdasarkan Kesehatan Provinsi. Software tersebut dapat berupa
atribut surveilans pada tahun 2012 diantaranya yaitu pengembangan dari EWARS yang telah ada saat ini.
atribut kesederhanaan yang tidak sederhana karena Hal tersebut dapat meningkatkan atribut sensitivitas
dibutuhkan uji laboratorium sebagai konfirmasi dimana W2/EWARS adalah alat SKD KLB bagi
kasus, atribut kualitas data yakni ketidaklengkapan penyakit potensial KLB termasuk campak dan
pengisian data pada formulir W2 serta ketidakvalidan diharapkan akan mempengaruhi pada ketepatan
data sebab perbedaan antara laporan C1 dan W2, waktu pelaporan W2/EWARS setiap minggunya.
atribut akseptabilitas yakni ketidaktepatan waktu Disamping itu juga dibutuhkan pelatihan dan/atau
pelaporan W2 serta hasil wawancara menyatakan sosialisasi guna peningkatan dan penguatan kinerja
bahwa rendahnya kemauan pihak lain seperti petugas surveilans agar pelaksanaan surveilans lebih
kelurahan, kecamatan dan masyarakat dalam efektif dan efisien.
pemanfaatan hasil pelaksanaan surveilans campak, Aspek kualitas data dimana terjadi perbedaan
atribut sensitivitas yakni rendahnya kemampuan laporan yang mempengaruhi kualitas dari data
data dalam mendeteksi KLB terutama formulir W2 campak. Hal tersebut hendaknya petugas melakukan
yang seharusnya menjadi alat Sistem Kewaspadaan validasi laporan terutama di tingkat puskesmas
Dini KLB (SKD-KLB) dan atribut kerepresentatifan sebelum dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kota.
yakni berdasarkan hasil observasi, tidak ditemukan Apabila ditemukan kejadian suspect campak, maka
visualisasi hasil analisis kasus berdasarkan variabel petugas langsung mencatat dalam laporan W2 dan
orang, tempat dan waktu. C1. Laporan W2 berisi angka agregat kejadian
Alternatif solusi terhadap permasalahan yang suspect campak dan dilaporkan secara mingguan.
ditemukan dalam pelaksanaan surveilans campak Sedangkan laporan C1 berisi data mengenai
di Dinas Kota Surabaya diantaranya yaitu: Aspek penderita secara lebih rinci dan dilaporkan secara
kesederhanaan dari pelaksanaan surveilans bulanan. Validasi diperlukan agar setiap laporan yang
campak termasuk dalam kategori tidak sederhana memiliki sumber data yang sama, menghasilkan
karena dibutuhkan konfirmasi laboratorium guna informasi yang sama pula. Dalam memvalidasi data
penegakan diagnosis. Hal tersebut telah sesuai diperlukan peran serta kepala puskesmas untuk
dengan pedoman dari WHO dan Kementerian memeriksa laporan.
Kesehatan Republik Indonesia sehingga pelaksanaan Membangun jejaring dan komunikasi,
CBMS diharapkan sesuai dengan Petunjuk Teknis baik lintas program maupun lintas sektor. Hasil
Surveilans Campak Tahun 2012 dimana setiap pelaksanaan surveilans dapat menjadi dasar terutama
182 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 171–183
bagi pelaksanaan imunisasi pada bagian imunisasi, Permasalahan dalam pelaksanaan surveilans di
pada bagian promosi kesehatan dalam melakukan puskesmas yaitu alur pelaksanaan surveilans campak
penyuluhan terkait penyakit campak dan bagi yang tidak sederhana, pelaksanaan CBMS yang tidak
penyusunan program lainnya. Disamping itu juga fleksibel, serta rendahnya kualitas data, akseptabilitas
dapat menjadi sumber informasi mengenai status data, sensitivitas data, dan kerepresentatifan.
kesehatan masyarakat bagi pihak kelurahan atau Alternatif solusi yang dapat dilakukan yaitu
kecamatan sebagai pembuat kebijakan dan pengambil optimalisasi pelaporan berbasis teknologi dan
keputusan bagi masyarakat di lingkungannya. peningkatan kapasitas petugas surveilans melalui
Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan aspek pelatihan dan/atau sosialisasi bagi puskesmas
akseptabilitas di tingkat puskesmas. dan Dinas Kesehatan Kota, terkait pelaksanaan
Pada aspek kerepresentatifan, diperlukan surveilans campak meliputi pencatatan, pelaporan,
penyuluhan mengenai manfaat visualisasi hasil validasi laporan, pengolahan data, analisis dan
analisis kejadian suspect campak berdasarkan interpretasi serta SKD KLB campak guna penguatan
variabel orang, tempat, dan waktu serta pelatihan sistem surveilans dari tingkat puskesmas hingga
pembuatan grafik, tabel, mapping, dan sebagainya Dinas Kesehatan Kota.
bagi petugas di tingkat puskesmas.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa alternatif Saran
solusi yang dapat dilakukan yaitu optimalisasi Upaya optimalisasi pelaporan berbasis teknologi
pelaporan berbasis teknologi dan peningkatan dan penyederhanaan laporan, diperlukan pengadaan
kapasitas petugas surveilans melalui pelatihan dan/ software yang dapat diakses secara online sehingga
atau sosialisasi bagi puskesmas dan Dinas Kesehatan mampu menghubungkan puskesmas ke tingkat pusat
Kota, terkait pelaksanaan surveilans campak secara langsung. Software tersebut dapat berupa
meliputi pencatatan, pelaporan, validasi laporan, pengembangan dari EWARS. Diperlukan penelitian
pengolahan data, analisis dan interpretasi serta SKD lebih lanjut mengenai pelaksanaan Case Based
KLB campak guna penguatan sistem surveilans dari Measles Surveillance serta Sistem Kewaspadaan
tingkat puskesmas hingga Dinas Kesehatan Kota. Dini KLB Campak Di Kota Surabaya agar
pelaksanaan surveilans campak di Kota Surabaya
KESIMPULAN DAN SARAN dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Kesimpulan
REFERENSI
Pencatatan penderita suspect campak bersumber
dari buku/daftar registrasi puskesmas serta formulir CDC, 2001. Updated Guidelines For Evaluating
LB1 (data kesakitan) kemudian direkapitulasi Public Health Surveillance Systems. MMWR
pada W2 di setiap akhir minggu pelayanan dan 2001 / 50 (RR13).
dilaporkan setiap hari Senin. Dan setiap akhir bulan Depkes. R.I., 2003. Keputusan Menteri Kesehatan
direkapitulasi pada formulir C1 yang kemudian Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/SK/
dilaporkan dengan batas waktu hingga tanggal VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
10 setiap bulannya. Bila terdapat penderita yang Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
diambil spesimen untuk uji laboratorium, maka Diunduh dari http://www.pdpersi.co.id/peraturan/
akan dilakukan individual record pada formulir C1. kepmenkes/kmk11162003.pdf (sitasi 4 Oktober
Spesimen tersebut selanjutnya dikirim ke Dinas 2012).
Kesehatan Kota Surabaya yang kemudian dikirim Depkes, RI. 2003. Kepmenkes No. 1202/Menkes/
ke BBLK Surabaya. SK/VIII/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat
Hasil evaluasi pada atribut surveilans yaitu 2010 dan Pedoman Penetapan Provinsi Sehat dan
atribut kesederhanaan adalah tidak sederhana. Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta.
Atribut fleksibilitas dari CBMS adalah tidak fleksibel Dinkes, 2011. Kampanye Campak Dan Polio
sedangkan fleksibilitas dari EWARS sudah bersifat Di Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi
fleksibel. Atribut kualitas data, akseptabilitas, Jawa Timur. http://dinkes.jatimprov.go.id/
sensitivitas, dan kerepresentatifan adalah rendah. contentdetail/9/3/129/kampanye_campak_dan_
Atribut nilai prediktif positif belum dapat dihitung. polio_di_jawa_timur.html (sitasi 1 Maret 2013).
Atribut ketepatan waktu sudah tepat waktu dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
atribut stabilitas data adalah tinggi Penyehatan Lingkungan, 2013. Progress On
Bilqis Evira M. dkk., Penilaian Atribut Surveilans… 183
Measles Elimination: An Epidemiology Analysis. Romaguera RA., German, Robert R., & Klaucke,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Douglas N., Evaluating Public Health Surveillance
Kemenkes, 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2010. dalam Teutsch, SM. & Churchill, R. Elliot (eds.),
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik 2000. Principles and Practice of Public Health
Indonesia. Surveillance. New York: Oxford University
Kemenkes, 2012. Petunjuk Teknis Surveilans Press.
Campak. Jakarta: Direktorat Jenderal PP dan PL Setiawan, I M., 2008. Penyakit Campak. Jakarta: CV
Kementerian Kesehatan RI. Sagung Seto.
Murti, Bhisma. 2011. Surveilans Kesehatan Susilaningsih, Inayah. 2009. Gambaran Epidemiologi
Masyarakat. http://fk.uns.ac.id/static/materi/ Kasus Campak Dan Indikator Kinerja Surveilans
Surveilans_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf (sitasi 5 Campak Rutin Di Indonesia Tahun 2005–2008
Juli 2013). (Studi Kasus Data Sub Direktorat Surveilans
Nelson KE., & Sifakis, Frangiscos. 2007. Infectious Epidemiologi
Disease Epidemiology. Jones and Bartlett Departemen Kesehatan Republik Indonesia). http://
Publisher. http://www.jblearning. com/ eprints.undip. ac.id/37836/1/3679.pdf (sitasi 2
samples/0763728799/28799_CH04_117_144. Maret 2013).
pdf (sitasi 11 April 2013). WHO. World health Statistics 2011. http://www.
Noor NN. 2008. Epidemiologi. Jakarta: PT Rineka who.int/csr/don/2011_04_21/en/ (sitasi 10 Juli
Cipta. 2012).
Noor NN. 2009. Pengantar Epidemiologi Penyakit
Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta.