Anda di halaman 1dari 13

FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA BERDASARKAN STATUS

IMUNISASI CAMPAK DAN STATUS ASI EKSKLUSIF


The Risk Factors of Pneumonia Disesase at Babies Under Five Years Old Based on Measles Imune Status
and Breast Freeding Exclusive Status

Dian Eka Puspitasari1, Fariani Syahrul2


1
FKM Universitas Airlangga, dian_ep1@yahoo.com
2
Departemen Epidemiologi FKM Universitas Airlangga, fariani_syahrul@yahoo.com
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga,
Surabaya, Jawa timur, Indonesia

ABSTRAK
Penyakit pneumonia pada balita termasuk dalam 10 besar penyakit terbanyak pada anak yang berusia 1–5
tahun di rawat inap anak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bhakti Dharma Husada Surabaya periode
tahun 2011–2013. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko pneumonia pada balita
berdasarkan status imunisasi campak dan status Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Jenis penelitian yaitu
observasional analitik dengan desain kasus kontrol. Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD
Bhakti Dharma Husada Surabaya pada bulan Januari – April 2014. Sampel penelitian terdiri dari 20 sampel
kasus balita yang menderita pneumonia yang diambil secara total populasi dan 40 sampel kontrol balita yang
diambil dari tetangga kasus dan tidak memiliki riwayat penyakit pneumonia atau penyakit pernafasan lain
yang diambil secara random. Variabel bebas yang diteliti meliputi status imunisasi campak dan status ASI
eksklusif, sedangkan variabel terikat yang diteliti meliputi penyakit pneumonia pada balita. Analisis data
menggunakan StatCalc dengan menghitung odds ratio Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
balita penderita pneumonia berjenis kelamin laki-laki dan berumur 1 sampai dengan kurang dari 2 tahun.
Imunisasi campak (OR=10,23 ; 95% CI=1,60–107,95), dan ASI eksklusif (OR=7,00; 96%CI=1,82 – 29,49)
berpengaruh terhadap kejadian pneumonia. Pentingnya meningkatkan kesadaran orang tua mengenai
pemberian imunisasi campak dan asi eksklusif dapat mencegah kejadian pneumunia pada balita.

Kata kunci: pneumonia, balita, imunisasi campak, ASI eksklusif

ABSTRACT
Pneumonia in infants is included in the top 10 most illnesses in children aged 1-5 years in the hospitalization
of children at the Regional Public Hospital of Bhakti Dharma Husada (RSUD Bhakti Dharma Husada)
Surabaya in the period 2011-2013. This study aims to analyze the risk factors for pneumonia in infants based
on measles immunization status and the status of exclusive breastfeeding (ASI). The type of research is
analytic observational with a case-control design. This research was conducted in the inpatient ward of the
RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya in January - April 2014. The study sample consisted of 20 samples
of cases of toddlers suffering from pneumonia taken in total populations and 40 control samples of toddlers
taken from neighboring cases and had no history of pneumonia or other respiratory diseases. The
independent variables studied included measles immunization status and exclusive breastfeeding status,
while the dependent variables studied included pneumonia in infants. Data analysis using StatCalc by
calculating the odds ratio The results showed that most toddlers with pneumonia were male and aged 1 to
less than 2 years. Measles immunization (OR = 10.23; 95% CI = 1.60-107.95) and exclusive breastfeeding
(OR = 7.00; 96% CI = 1.82 - 29.49) affect the incidence of pneumonia. The importance of increasing
parental awareness about measles immunization and exclusive breastfeeding can prevent the incidence of
pneumonia in infants.

Keywords: pneumonia, under five years child, measles immunization, exclusive breastfeeding

PENDAHULUAN pernapasan bagian atas (ISPA) dan infeksi saluran


pernapasan bagian bawah. Infeksi saluran
Gangguan pada sistem pernapasan seringkali pernapasan bagian atas (ISPA), meliputi faringitis,
merupakan penyebab utama morbiditas dan otitis media, sinusitis, dan epiglotitis akut,
mortalitas. Infeksi saluran pernapasan dikategori- sedangkan infeksi saluran pernapasan bagian
kan menjadi 2 jenis, yaitu infeksi saluran bawah, meliputi pneumonia (Gillespie, 2009).
69
70 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 69–81

Pneumonia merupakan istilah umum Cakupan penemuan penderita pneumonia balita


yang menandakan terjadinya inflamasi pada merupakan indikator dari terlaksananya program
daerah pertukaran gas dalam paru, biasanya P2 ISPA dan meningkatnya kualitas petugas
mengimplikasikan terjadinya inflamasi parenkim puskesmas dalam deteksi dini kasus pneumonia.
paru yang disebabkan oleh bermacam-macam infeksi Rendahnya capaian target penemuan penderita
(Francis, 2011). Pneumonia adalah suatu proses pneumonia tersebut disebabkan karena masih
infeksi akut yang terjadi dan mengenai jaringan ada petugas puskesmas yang kurang memahami
paru-paru (alveoli), terjadinya pneumonia pada pengklasifikasian pneumonia pada balita atau masih
anak sering kali bersamaan dengan proses infeksi belum optimalnya tata laksana penderita pneumonia,
akut pada bronkus (yang biasa disebut broncho dan rendahnya kelengkapan laporan dari puskesmas
pneumonia) (Misnadiarly, 2008). Pengertian lain yang ada di kabupaten/kota (Dinkes Provinsi Jawa
dari pneumonia atau radang paru adalah suatu Timur, 2012).
peradangan yang terjadi pada parenkim paru dan Pemerintah telah berperan aktif dalam upaya
dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi menekan angka kesakitan dan kematian pneumonia
seperti bakteri, virus, jamur, parasit, maupun bahan lewat program pemberantasan ISPA (P2 ISPA) dan
asing (bahan kimia) (Soegijanto, 2004). Gejalanya salah satu kebijakan di dalam program P2 ISPA yaitu
meliputi: batuk, sputum purulen, demam, nyeri adanya upaya pengendalian kesakitan dan kematian
dada pleuritik, dan dispnea, mungkin juga terdapat pneumonia pada balita melalui pendekatan MTBS
riwayat infeksi saluran napas atas, namun tidak (Manajemen Terpadu Balita Sakit) dilakukan bekerja
semua kasus seperti ini (Francis, 2011). sama dengan lintas program. Kebijakan di dalam
Pneumonia merupakan salah satu penyakit program tersebut ditujukan untuk menurunkan angka
yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas kesakitan dan kematian akibat ISPA dan pneumonia.
secara bermakna di seluruh dunia, di mana sekitar Program MTBS bertujuan untuk menemukan
5 juta anak balita menghadapi kematian sebagai penderita baru pneumonia (Depkes RI, 2004).
konsekuensi dari pneumonia. Berdasar data Upaya lainnya yaitu Program Pengembangan
UNICEF pada tahun 2012, sebanyak 21.000 balita Imunisasi (PPI) salah satunya imunisasi campak
di Indonesia meninggal karena pneumonia atau yang diketahui secara tidak langsung dapat
14% kematian anak dan balita disebabkan oleh menurunkan proporsi kematian balita akibat
pneumonia (Francis, 2011). Sedangkan menurut pneumonia (Misnadiarly, 2008), karena salah satu
Survei Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 2001 komplikasi dari penyakit campak adalah penyakit
kematian balita akibat pneumonia sebesar 5 per pneumonia (Mulyani dan Mega, 2013).
1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa penyakit Berdasarkan profil kesehatan propinsi Jawa
pneumonia dapat menyebabkan kematian lebih dari Timur, di RSU Propinsi Jatim penyakit pneumonia
100.000 balita setiap tahun, atau hampir 300 balita termasuk dalam daftar 10 besar penyakit terbanyak
setiap hari, atau 1 balita setiap 5 menit (Misnadiarly, rawat inap pada tahun 2012, dengan rincian 2.384
2008). penderita RSU kelas A (urutan ke 8), dan 3.878
Hasil pencatatan dan pelaporan pada tahun penderita RSU kelas B (urutan ke 6) (Dinkes
2012, target cakupan penemuan penderita pneumonia Provinsi Jawa Timur, 2012).
balita di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2012 Berdasarkan data rekam medik di RSUD Bhakti
sebesar 80% dan tahun 2013 sebesar 90%. Dari Dharma Husada Surabaya, di ruang rawat inap anak
38 kabupaten/kota yang mencapai target tersebut (ruang ganesa) RSUD Bhakti Dharma Husada
di tahun 2012 hanya 3 (tiga) kabupaten/kota, Surabaya, pada tahun 2013 penyakit pneumonia
yakni Kabupaten Bojonegoro, Kota Pasuruan, dan termasuk dalam urutan ke 5 penyakit terbanyak di
Kabupaten Gresik (Dinkes Provinsi Jawa Timur, rawat inap anak dengan jumlah penderita sebesar 38
2012). Sedangkan, cakupan penemuan penderita orang dan urutan ke 12 penyakit terbanyak di rawat
pneumonia balita di kota Surabaya pada tahun 2012 jalan dengan jumlah penderita sebesar 101 orang
hanya sebesar 17,88% dan pada tahun 2013 sebesar (Data Rekam Medik RSUD Bhakti Dharma Husada
20,88%. Sehingga cakupan penemuan penderita Surabaya, 2014). Banyaknya balita yang menjalani
pneumonia balita di kota Surabaya masih rendah perawatan di rumah sakit kemungkinan karena
dan masih kurang dari target Provinsi Jawa Timur kondisi balita yang menderita pneumonia cukup
(Dinkes Kota Surabaya, 2013). parah sehingga harus segera di rujuk di rumah sakit,
Dian dan Fariani, Faktor Risiko Pneumonia pada Balita… 71

agar mendapatkan perawatan dari dokter spesialis Sebagian besar balita yang menderita
anak. pneumonia diketahui tidak mendapatkan imunisasi
Masih tingginya angka kejadian pneumonia, campak pada saat berumur 9 bulan, sehingga balita
kemungkinan masih berkaitan dengan faktor risiko tersebut tidak memiliki kekebalan alami terhadap
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat penyakit campak dan komplikasi dari penyakit
menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita. campak yaitu penyakit pneumonia.
Salah satu faktor risiko tersebut adalah kondisi Pemerintah juga telah menggalakkan program
balita yaitu balita yang tidak mendapatkan imunisasi pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif bagi bayi
campak dan tidak mendapatkan ASI eksklusif hingga berumur 6 bulan, ASI eksklusif diketahui
(Misnadiarly, 2008). secara langsung dapat memberikan kekebalan alami
Penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2011), pada tubuh bayi dari berbagai macam penyakit,
diketahui bahwa status imunisasi campak merupakan karena ASI mengandung zat antibodi seperti faktor
salah satu faktor risiko dari terjadinya penyakit bifidus, Secretory Immunoglobulin A (SIgA) yang
pneumonia pada balita, di mana balita yang tidak berfungsi mengikat virus, bakteri, dan zat toksik,
mendapatkan imunisasi campak berisiko 3,21 kali laktoferin, lisozim yang berfungsi menghancurkan
untuk terkena penyakit pneumonia dibandingkan bakteri dengan merobek dinding sel bakteri,
dengan balita yang mendapatkan imunisasi leukosit, makrofag yang berfungsi menghasilkan
campak. SIgA dan interferon, serta komplemen dan faktor
Cakupan imunisasi campak di Kota Surabaya antistreptokokus yang berfungsi membantu
pada tahun 2012 sebesar 84,37% (dengan menurunkan insidensi penyakit saluran pernapasan,
jumlah bayi sebesar 44.022, sedangkan jumlah sehingga ASI bermanfaat melindungi bayi dan balita
bayi yang mendapat imunisasi campak sebesar dari penyakit pneumonia (Arisman, 2010).
37.341), sehingga terdapat 6.681 bayi yang tidak Penelitian yang dilakukan oleh Mokoginta
mendapatkan imunisasi campak. Sedangkan target (2013), diketahui bahwa status ASI eksklusif
cakupan imunisasi campak di Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu faktor risiko dari terjadinya
sebesar 99,53% (Dinkes Provinsi Jawa Timur, penyakit pneumonia pada balita, di mana balita yang
2012). Cakupan imunisasi campak di Kota Surabaya tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko 4,47 kali
masih rendah dan kurang dari target Provinsi Jawa untuk terkena penyakit pneumonia dibandingkan
Timur, sedangkan cakupan imunisasi lainnya yaitu dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif.
cakupan imunisasi BCG, DPT (DPT 1, DPT 2, Kesadaran orang tua dalam memberikan ASI
dan DPT 3), Polio, dan Hepatitis B telah mencapai eksklusif pada bayinya masih rendah. Cakupan
target cakupan imunisasi di Provinsi Jawa Timur pemberian ASI eksklusif di Kota Surabaya pada
sebesar 99,80% (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2012). tahun 2012 sebesar 60,52% (dengan jumlah
Rendahnya cakupan imunisasi campak di kota bayi yang diperiksa sebesar 21.780, sedangkan
Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, namun jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif sebesar
faktor yang paling utama adalah kesadaran orang tua 13.182), sehingga terdapat 8.598 bayi yang tidak
dalam memberikan imunisasi campak pada bayinya. mendapatkan ASI eksklusif. Sedangkan target
Sebagian besar orang tua masih belum memahami cakupan pemberian ASI eksklusif di Provinsi Jawa
bahwa pemberian imunisasi campak bagi bayi Timur sebesar 64,08% (Dinkes Provinsi Jawa Timur,
sangat penting untuk melindungi tubuh bayi dari 2012). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Kota
penyakit khususnya penyakit campak. Oleh karena Surabaya masih rendah dan kurang dari target
itu, rendahnya cakupan imunisasi campak di Kota Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu, rendahnya
Surabaya diduga berkaitan dengan meningkatnya cakupan pemberian ASI eksklusif di Kota Surabaya
kejadian pneumonia pada balita. Hal ini disebabkan diduga berkaitan dengan meningkatnya kejadian
karena salah satu komplikasi dari penyakit campak pneumonia pada balita. Hal ini disebabkan karena
adalah penyakit pneumonia (Yusri, 2011). Sehingga, ASI eksklusif mengandung kolostrum. Kolostrum
jumlah balita yang menderita pneumonia di kota adalah air susu ibu yang keluar pertama kali
Surabaya masih mengalami peningkatan kasus berwarna jernih kekuningan dan mengandung
tiap tahunnya, tidak terkecuali balita pneumonia berbagai macam zat antibodi selain itu, kolostrum
yang dirawat di RSUD Bhakti Dharma Husada juga mengandung berbagai macam vitamin dan
Surabaya. protein utama globulin. Protein ini berfungsi sebagai
72 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 69–81

antibodi alami terhadap infeksi beberapa penyakit, METODE


sehingga globulin dapat memberikan daya tahan Penelitian ini merupakan penelitian
tubuh alami pada bayi (Marmi, 2012). Sehingga, observasional analitik dengan menggunakan rancang
riwayat pemberian ASI eksklusif yang buruk pada bangun kasus kontrol (case control), yaitu sebuah
bayi diduga dapat meningkatkan kejadian berbagai studi observasional yang menilai hubungan antara
macam penyakit pada bayi, hal ini dikarenakan bayi paparan dan penyakit dengan cara menentukan
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki sekelompok orang-orang yang berpenyakit (disebut
daya tahan tubuh yang rendah dibandingkan dengan kasus) dan sekelompok orang-orang yang tidak
balita yang diberi ASI eksklusif. Di dalam tubuh berpenyakit (disebut kontrol), lalu membandingkan
bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, terdapat frekuensi paparan (atau jika diukur kuantitatif, level
berbagai macam vitamin dan berbagai macam zat paparan) pada kedua kelompok tersebut (Murti,
antibodi yang merupakan kekebalan alami tubuh 2003).
untuk melawan berbagai macam paparan virus dan Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
penyakit sehingga bayi yang diberi ASI eksklusif retrospektif di mana peneliti melakukan pengamatan
memiliki daya tahan tubuh yang baik dibandingkan terhadap riwayat karakteristik atau paparan yang
dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif diduga mengakibatkan terjadinya suatu penyakit
yang lebih rentan untuk menderita berbagai macam (Murti, 2003). Sehingga faktor risiko yang diteliti
penyakit akibat daya tahan tubuh yang rendah adalah status imunisasi campak dan status ASI
(Anonim, 2013). eksklusif yang terjadinya pada masa lampau sebelum
Sebagian besar balita yang menderita mengalami pneumonia.
pneumonia diketahui tidak mendapatkan ASI Populasi di dalam penelitian ini terdiri dari
eksklusif, sehingga balita tersebut tidak memiliki 2 kelompok, yaitu kelompok kasus dan kelompok
kekebalan alami terhadap berbagai macam virus dan kontrol. Kelompok kasus adalah semua balita yang
bakteri penyebab penyakit. berumur 1–< 5 tahun yang berobat di rawat inap
Pemerintah telah membentuk program P2 ISPA anak RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya pada
yang kegiatannya meliputi sosialisasi ke petugas bulan Januari sampai dengan bulan April tahun 2014
puskesmas tentang tata laksana kasus pneumonia dan menderita penyakit pneumonia berdasarkan
pada balita, melatih sumber daya manusia khususnya diagnosis dokter. Sedangkan, kelompok kontrol
melatih petugas puskesmas dan petugas rumah adalah semua balita yang berumur 1–< 5 tahun
sakit dalam tata laksana kasus pneumonia pada yang merupakan tetangga balita pneumonia dan
balita, dan menyediakan sarana serta prasarana yang tidak menderita penyakit pneumonia serta penyakit
mendukung penatalaksanaan kasus di puskesmas saluran pernapasan.
dan rumah sakit, melalui pengadaan alat autometer Besar sampel yang diambil di dalam
di puskesmas dan rumah sakit, selain itu pemerintah penelitian ini terdiri dari 20 sampel kasus (balita
juga menyediakan logistik pengendalian penyakit yang menderita penyakit pneumonia berdasarkan
ISPA dan pneumonia yang meliputi obat esensial diagnosis dokter) yang berobat di rawat inap anak
dan oksigen konsentrator (Depkes RI, 2004). RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya pada bulan
Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh Januari sampai dengan bulan April tahun 2014
pemerintah lewat program P2 ISPA, program sedangkan besar sampel kontrol ditentukan dengan
pengembangan imunisasi (PPI), dan program perbandingan 1:2 sehingga, didapatkan 40 sampel
ASI eksklusif, program tersebut bertujuan untuk kontrol (balita yang tidak menderita pneumonia
menanggulangi dan menurunkan angka kesakitan dan penyakit saluran pernapasan) yang merupakan
serta angka kematian pada balita akibat penyakit tetangga balita penderita pneumonia.
pneumonia, namun jumlah balita yang menderita Pengambilan sampel pada kelompok kasus
pneumonia di kota Surabaya masih mengalami dilakukan secara total populasi atau mengambil
peningkatan kasus tiap tahunnya tidak terkecuali semua sampel kasus pada bulan Januari sampai
balita yang menderita pneumonia dan dirawat di dengan bulan April tahun 2014 dengan jumlah
RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya. sampel yang telah ditentukan, sedangkan
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis pengambilan sampel pada kelompok kontrol
faktor risiko pneumonia pada balita berdasarkan dilakukan secara acak (random) pada balita yang
status imunisasi campak dan status ASI eksklusif. merupakan tetangga dari balita yang menderita
Dian dan Fariani, Faktor Risiko Pneumonia pada Balita… 73

pneumonia dengan jumlah sampel yang telah Tabel 2. Ranking Penyakit Pneumonia Di Ruang
ditentukan. Ganesa (Anak) RSUD Bhakti Dharma
Variabel bebas di dalam penelitian ini meliputi Husada Surabaya Periode Tahun 2011–
status imunisasi campak dan status ASI eksklusif, 2013
sedangkan variabel terikat di dalam penelitian ini
Tahun Jumlah Ranking
adalah penyakit pneumonia pada balita.
2011 10 6
Teknik pengumpulan data primer mengenai 2012 26 2
status imunisasi campak dan status ASI eksklusif 2013 38 5
diperoleh melalui wawancara terhadap responden
(orang tua balita) dan untuk melihat riwayat
Hasil penelitian menunjukkan terdapat
pemberian imunisasi campak pada balita dengan
peningkatan jumlah penderita pneumonia balita
melihat riwayat pemberian imunisasi yang tercantum
yang berumur 1–5 tahun dan berobat di rawat inap
di buku KMS dan buku KIA balita, sedangkan
anak (ruang ganesa) RSUD Bhakti Dharma Husada
pengumpulan data sekunder mengenai jumlah balita
Surabaya di tiap tahunnya. Pada tahun 2011 terdapat
penderita pneumonia dan diagnosis dokter diperoleh
10 penderita pneumonia balita, pada tahun 2012
melalui data rekam medik RSUD Bhakti Dharma
jumlahnya meningkat menjadi 26 penderita dan
Husada Surabaya.
pada tahun 2013 jumlahnya meningkat lagi menjadi
Instrumen pengumpulan data primer
38 penderita.
menggunakan alat ukur kuesioner, sedangkan
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
instrumen pengumpulan data sekunder menggunakan
penyakit pneumonia/bronchopneumonia termasuk
data rekam medik RSUD Bhakti Dharma Husada
dalam 10 besar penyakit di ruang ganesa (anak)
Surabaya. Setelah proses pengumpulan data,
umur 1–5 tahun pada periode tahun 2011–2013.
dilakukan editing, coding, data entry, cleaning dan
Pada tahun 2011 penyakit pneumonia/
kemudian data dianalisis.
bronchopneumonia berada pada ranking ke 6
Data dianalisis pada tingkat kepercayaan
dengan jumlah penderita sebanyak 10 orang. Pada
95% CI (Confidence Interval) dan uji statistik
tahun 2012 penyakit pneumonia/bronchopneumonia
yang digunakan yaitu uji Statcalc (statistic
berada pada ranking ke 2 dengan jumlah penderita
calculator) pada program Epi Info version 3.3.2
sebanyak 26 orang. Pada periode tahun 2012
untuk menghitung Odds Ratio dan signifikansi dari
terdapat peningkatan jumlah penderita sebesar
masing-masing variabel bebas yaitu status imunisasi
35,2% dari periode tahun 2011, selain itu ranking
campak dan status ASI eksklusif dengan kejadian
penyakit pneumonia/bronchopneumonia naik
pneumonia pada balita di RSUD Bhakti Dharma
menjadi ranking 2 dari tahun 2011. Pada tahun
Husada Surabaya.
2013 penyakit pneumonia/bronchopneumonia
berada pada ranking ke 5 dengan jumlah penderita
HASIL sebanyak 38 orang. Meskipun pada periode tahun
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah 2013 penyakit pneumonia/bronchopneumonia
balita penderita pneumonia yang berumur 1–5 turun menjadi ranking ke 5, namun pada tahun
tahun dan berobat di rawat inap anak (ruang ganesa) 2013 terjadi peningkatan jumlah penderita
RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya pada tahun pneumonia/bronchopneumonia sebesar 51,3% dari
2011–2013 sebesar 74 orang, dengan rincian: tahun 2012. Oleh karena itu, penyakit pneumonia/
bronchopneumonia pada balita masih termasuk
dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada anak yang
Tabel 1. Distribusi Penyakit Pneumonia Pada berumur 1–5 tahun di ruang ganesa RSUD Bhakti
Balita di RSUD Bhakti Dharma Husada Dharma Husada Surabaya.
Surabaya Tahun 2011–2013
Karakteristik Balita Berdasarkan Kejadian
Tahun Jumlah %
Pneumonia Menurut Jenis Kelamin dan Umur
2011 10 13,5
2012 26 35,2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
2013 38 51,3 20 balita penderita pneumonia yang pernah berobat
Total 74 100 di rawat inap anak RSUD Bhakti Dharma Husada
74 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 69–81

Surabaya pada bulan Januari–April 2014 dan 40 jumlah balita yang berjenis kelamin laki-laki
balita yang tidak menderita pneumonia. sebanyak 20 orang (50%) dan jumlah balita yang
Karakteristik balita yang menderita pneumonia berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 orang
dan balita yang tidak menderita pneumonia di dalam (50%). Sehingga, sebagian besar balita penderita
penelitian ini meliputi umur dan jenis kelamin. pneumonia adalah balita yang berjenis kelamin laki-
Karakteristik menurut jenis kelamin terbagi menjadi laki dan sebagian besar balita yang tidak menderita
jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan pneumonia adalah balita yang berjenis kelamin
karakteristik menurut umur terbagi menjadi 4 perempuan.
kelompok umur yang terdiri dari kelompok umur
1–<2 tahun, kelompok umur 2–<3 tahun, kelompok Faktor Risiko Pneumonia pada Balita
umur 3-<4 tahun, dan kelompok umur 4–<5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
Hasil penelitian diketahui bahwa balita 20 balita penderita pneumonia yang pernah berobat
penderita pneumonia yang berumur 1–< 2 tahun di rawat inap anak RSUD Bhakti Dharma Husada
merupakan penderita terbanyak sebesar 9 orang Surabaya pada bulan Januari–April 2014 dan
(45%), selanjutnya penderita yang berumur 2–< 40 balita yang tidak menderita pneumonia dan
3 tahun sebesar 7 orang (35%), penderita yang merupakan tetangga dari balita yang menderita
berumur 3–< 4 tahun sebesar 3 orang (15%), pneumonia.
dan penderita yang berumur 4–< 5 tahun sebesar Faktor risiko adalah suatu keadaan tertentu
1 orang (5%). Balita yang tidak menderita yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
pneumonia dan berumur 2–< 3 tahun merupakan menyebabkan suatu penyakit, keadaan tersebut
jumlah balita terbanyak sebesar 18 orang (45%), dapat berasal dari individu seperti usia dan jenis
selanjutnya balita yang berumur 3–< 4 tahun sebesar kelamin (biasa disebut sebagai faktor intrinsik).
10 orang (25%), balita yang berumur 4–< 5 tahun Selain berasal dari faktor intrinsik, keadaan lainnya
sebesar 6 orang (15%), balita yang berumur 1–< 2 yang dapat mempengaruhi timbulnya suatu penyakit
tahun sebesar 6 orang (15%). Sehingga, sebagian yaitu lingkungan, sosial budaya, dan perilaku (biasa
besar balita penderita pneumonia adalah balita yang disebut sebagai faktor ekstrinsik) (Notoatmodjo,
berumur 1–< 2 tahun, sedangkan sebagian besar 2003). Pada penyakit pneumonia, terdapat
balita yang tidak menderita pneumonia adalah balita beberapa faktor risiko yang diduga berperan dalam
yang berumur 2–< 3 tahun. peningkatan angka kesakitan pneumonia pada balita.
Hasil penelitian didapatkan bahwa balita Faktor risiko tersebut meliputi perilaku pemberian
penderita pneumonia yang berjenis kelamin laki- imunisasi campak pada bayi umur 9 bulan yang
laki merupakan penderita terbanyak yaitu sebesar berhubungan dengan status imunisasi campak dan
11 orang (55%), sisanya yaitu penderita yang perilaku pemberian ASI eksklusif pada bayi yang
berjenis kelamin perempuan sebesar 9 orang (45%). berhubungan dengan status ASI eksklusif.
Sedangkan balita yang tidak menderita pneumonia, Dari hasil penelitian didapatkan balita yang
menderita pneumonia sebagian besar (35%) tidak
Tabel 3. Distribusi Balita Berdasarkan Kejadian mendapatkan imunisasi campak pada saat berumur
Pneumonia Menurut Umur dan Jenis 9 bulan, sedangkan pada balita yang tidak menderita
Kelamin pneumonia sebagian besar (95%) telah mendapatkan
imunisasi campak pada saat berumur 9 bulan.
Kejadian Pneumonia
Variabel
Dari hasil penelitian diketahui bahwa balita yang
Pneumonia Tidak
(%) Pneumonia (%) menderita pneumonia sebanyak 7 orang yang tidak
Umur mendapatkan imunisasi campak dan 13 orang yang
1–< 2 tahun 9 (45) 6 (15) mendapatkan imunisasi campak, sedangkan balita
2–< 3 tahun 7 (35) 18 (45) yang tidak menderita pneumonia sebanyak 2 orang
3–< 4 tahun 3 (15) 10 (25) tidak mendapatkan imunisasi campak dan 38 orang
4–< 5 tahun 1 (5) 6 (15) mendapatkan imunisasi campak, sehingga mayoritas
Jumlah 20 (100) 40 (100) balita yang tidak menderita pneumonia mendapatkan
Jenis Kelamin imunisasi campak pada saat berumur 9 bulan.
Laki-Laki 11 (55) 20 (50) Hasil statistik didapatkan OR = 10,23; 95% CI
Perempuan 9 (45) 20 (50) (1,60 < OR < 107,95), di mana balita yang tidak
Jumlah 20 (100) 40 (100) mendapatkan imunisasi campak pada usia 9 bulan
Dian dan Fariani, Faktor Risiko Pneumonia pada Balita… 75

Tabel 4. Faktor Risiko Pneumonia pada Balita


Pneumonia Tidak Pneumonia Jumlah
Variabe l OR
n % n % n %
Status Imunisasi Campak
Tidak Imunisasi 7 35 2 5 9 15
Imunisasi 13 65 38 95 51 85 10,23
Total 20 100 40 100 60 100
Status ASI Eksklusif
Tidak ASI Eksklusif 15 75 12 30 27 45
ASI Eksklusif 5 25 28 70 33 55 7,00
Total 20 100 40 100 60 100

berisiko mengalami pneumonia 10,23 kali lebih tubuhnya rendah. Balita yang tidak mendapatkan
besar dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif tidak mempunyai daya tahan tubuh
imunisasi campak pada usia 9 bulan, hasil ini yang baik karena ASI mengandung berbagai
bermakna pada 95% CI (1,60 < OR < 107,95), macam vitamin dan zat-zat antibodi seperti faktor
sehingga status imunisasi campak merupakan faktor bifidus, secretory immunoglobulin A (SIgA) yang
risiko terjadinya pneumonia pada balita. Riwayat berfungsi mengikat virus, bakteri, dan zat toksik,
imunisasi campak yang buruk berisiko 10,23 laktoferin, lisozim yang berfungsi menghancurkan
kali untuk terkena pneumonia karena pneumonia bakteri dengan merobek dinding sel bakteri,
merupakan salah satu komplikasi dari penyakit leukosit, makrofag yang berfungsi menghasilkan
campak dan penyakit campak bisa dicegah dengan SigA dan interferon, serta komplemen dan faktor
pemberian imunisasi campak, sehingga penyakit antistreptokokus yang berfungsi membantu
pneumonia juga bisa dicegah dengan pemberian menurunkan insidensi penyakit saluran pernafasan
imunisasi campak pada bayi yang berumur 9 bulan. seperti penyakit pneumonia. Oleh karena itu, ASI
Dari hasil penelitian didapatkan balita yang berfungsi memberikan kekebalan alami pada tubuh
menderita pneumonia sebagian besar (75%) tidak bayi dan untuk mendapatkan kekebalan alami
mendapatkan ASI eksklusif, sedangkan pada yang terkandung di dalam ASI, maka ibu dapat
balita yang tidak menderita pneumonia sebagian memberikan ASI eksklusif pada bayi hingga bayi
besar (70%) mendapatkan ASI eksklusif. Dari berumur 6 bulan. Sehingga, penyakit pneumonia
hasil penelitian diketahui bahwa balita yang pada bayi dan balita dapat dicegah dengan pemberian
menderita pneumonia sebanyak 15 orang yang ASI eksklusif.
tidak mendapatkan ASI eksklusif dan 5 orang yang
mendapatkan ASI eksklusif, sedangkan pada balita
PEMBAHASAN
yang tidak menderita pneumonia didapatkan 12
orang yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan Jenis Kelamin
28 orang yang mendapatkan ASI eksklusif, sehingga Jenis kelamin merupakan salah satu faktor
mayoritas balita yang tidak menderita pneumonia risiko terjadinya penyakit pneumonia. Beberapa
mendapatkan ASI eksklusif. penelitian menunjukkan bahwa penderita pneumonia
Hasil statistik didapatkan OR = 7,00; 95% CI lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
(1,82 < OR < 29,49), di mana balita yang tidak perempuan, sehingga balita yang berjenis kelamin
mendapatkan ASI eksklusif berisiko mengalami laki-laki berisiko untuk terkena pneumonia dan
pneumonia 7,00 kali lebih besar dibandingkan angka kesakitan serta angka kematian pneumonia
dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif, hasil pada balita yang terbanyak adalah pada balita yang
ini bermakna pada 95% CI (1,82 < OR < 29,49), berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan balita
sehingga status ASI eksklusif merupakan faktor yang berjenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena
risiko terjadinya pneumonia pada balita. Riwayat penyakit pneumonia (Depkes RI, 2004).
pemberian ASI eksklusif yang buruk berisiko 7,00 Balita yang berjenis kelamin laki-laki memiliki
kali untuk terkena pneumonia karena virus dan perbedaan sistem hormonal dengan balita yang
bakteri yang menyebabkan penyakit pneumonia berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu,
sangat mudah menyerang balita yang daya tahan sistem hormonal pada balita yang berjenis kelamin
76 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 69–81

laki-laki kemungkinan mempengaruhi daya tahan mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita
tubuh balita yang berjenis kelamin laki-laki yang berjenis kelamin perempuan dengan OR =
menjadi rentan terhadap bakteri ataupun virus yang 1,40; 95% CI (1,32 < OR < 2,70). Penelitian yang
menyebabkan terjadinya penyakit pneumonia pada dilakukan oleh Al Faruk (2002), menunjukkan bahwa
balita (Depkes RI, 2004). penderita pneumonia terbanyak adalah balita yang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar balita
besar penderita pneumonia dengan jumlah paling yang menderita pneumonia dan berjenis kelamin
banyak adalah balita yang berjenis kelamin laki-laki laki-laki diketahui tidak mendapatkan imunisasi
di mana sebagian besar balita yang berjenis kelamin campak pada saat berumur 9 bulan dan juga tidak
laki-laki tidak mendapatkan imunisasi campak pada mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan
saat berumur 9 bulan, sehingga balita yang berjenis balita yang berjenis kelamin perempuan.
kelamin laki-laki tidak memiliki kekebalan alami Hasil penelitian ini dikuatkan oleh penelitian
terhadap penyakit campak dibandingkan dengan lain yang dilakukan oleh Mokoginta (2013),
balita yang berjenis kelamin perempuan. Pneumonia menunjukkan bahwa balita yang berjenis kelamin
merupakan salah satu komplikasi dari penyakit laki-laki memiliki risiko 2,0 kali lebih besar untuk
campak. Pneumonia terjadi apabila virus campak mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita
menyebar dan menginfeksi jaringan paru sehingga yang berjenis kelamin perempuan dengan OR =
terjadi peradangan pada paru. Peradangan inilah 2,0; 95% CI (2,15 < OR < 4,01). Penelitian yang
yang disebut sebagai pneumonia (Mulyani dan dilakukan oleh Mokoginta (2013), menunjukkan
Mega, 2013). bahwa penderita pneumonia terbanyak adalah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian balita yang berjenis kelamin laki-laki dan diketahui
besar balita yang berjenis kelamin laki-laki tidak bahwa sebagian besar balita penderita pneumonia
mendapatkan ASI eksklusif, sehingga sebagian besar yang berjenis kelamin laki-laki tidak mendapatkan
balita yang berjenis kelamin laki-laki tidak memiliki imunisasi campak dan tidak mendapatkan ASI
daya tahan tubuh yang baik dibandingkan dengan eksklusif.
balita yang berjenis kelamin perempuan. Penyakit Balita yang berjenis kelamin laki-laki memiliki
pneumonia dapat dengan mudah menyerang balita karakteristik yang berbeda dengan balita yang
yang memiliki daya tahan tubuh rendah. Pada saat berjenis kelamin perempuan, balita yang berjenis
daya tahan tubuh balita rendah, penyakit saluran kelamin laki-laki pada umumnya lebih rentan
pernapasan khususnya pneumonia dapat dengan untuk menderita penyakit saluran pernapasan.
mudah menginfeksi saluran pernapasan balita yang Balita yang berjenis kelamin laki-laki seringkali
daya tahan tubuhnya rendah (Marmi, 2012). tidak mendapatkan imunisasi campak dan ASI
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan eksklusif, bahkan beberapa balita yang berjenis
penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2010) yang kelamin laki-laki terindikasi mengalami malnutrisi.
menunjukkan bahwa balita yang berjenis kelamin Pada saat balita mengalami malnutrisi, daya tahan
laki-laki memiliki risiko 1,24 kali lebih besar untuk tubuh balita tersebut sangat rendah, sehingga balita
mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita yang malnutrisi mudah terserang berbagai macam
yang berjenis kelamin perempuan dengan OR = penyakit (Arisman, 2010).
1,24; 95% CI (1,63 < OR < 2,45). Penelitian yang Balita yang berjenis kelamin laki-laki seringkali
dilakukan oleh Hartati (2010) juga menunjukkan terpapar polusi udara baik di dalam rumah maupun
bahwa penderita pneumonia terbanyak adalah balita di luar rumah. Polusi di dalam rumah meliputi asap
yang berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar rokok dan asap dapur, sedangkan polusi udara di luar
balita yang menderita pneumonia dan berjenis rumah meliputi asap kendaraan bermotor, sehingga
kelamin laki-laki diketahui tidak mendapatkan balita yang berjenis kelamin laki-laki rentan untuk
imunisasi campak pada saat berumur 9 bulan dan mengalami penyakit saluran pernapasan seperti ISPA
tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dan pneumonia (Misnadiarly, 2008).
dengan balita yang berjenis kelamin perempuan. Perbedaan pola asuh pada balita yang berjenis
Hasil penelitian ini juga didukung oleh kelamin laki-laki dan balita yang berjenis kelamin
penelitian lain yang dilakukan oleh Al Faruk (2002). perempuan kemungkinan juga menyebabkan balita
Penelitian yang dilakukan oleh Al Faruk (2002) juga yang berjenis kelamin laki-laki lebih rentan sakit
menunjukkan bahwa balita yang berjenis kelamin daripada balita yang berjenis kelamin perempuan.
laki-laki memiliki risiko 1,50 kali lebih besar untuk Mayoritas orang tua menganggap bahwa balita
Dian dan Fariani, Faktor Risiko Pneumonia pada Balita… 77

yang berjenis kelamin laki-laki lebih kuat fisiknya mengalami gangguan pernapasan seperti pneumonia
dibandingkan dengan balita yang berjenis kelamin (Francis, 2011).
perempuan, sehingga orang tua cenderung lebih Balita yang berumur 1–< 2 tahun memiliki
protektif dengan balita yang berjenis kelamin perbedaan dengan balita yang berumur 2–< 3 tahun.
perempuan, perbedaan itulah yang menyebabkan Perbedaan tersebut terletak pada daya tahan tubuh
mayoritas balita berjenis kelamin perempuan lebih dan perkembangan sistem pernapasan. Balita yang
sering berada di dalam rumah dan balita berjenis berumur 1–< 2 tahun cenderung memiliki daya tahan
kelamin laki-laki lebih sering bermain di luar rumah tubuh yang rendah, hal ini dikarenakan balita yang
yang setiap harinya terpapar oleh polusi udara dan berumur 1–< 2 tahun, sistem imunitas alami belum
bermacam-macam virus atau bakteri penyebab berfungsi dengan baik dan sistem saluran pernapasan
penyakit khususnya penyakit pneumonia. juga belum berfungsi dengan optimal, sehingga
Faktor-faktor inilah yang kemungkinan dapat balita yang berumur 1–< 2 tahun sangat mudah
menyebabkan daya tahan tubuh balita yang berjenis sekali mengalami sakit. Sedangkan pada balita yang
kelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan berumur 2–< 3 tahun telah memiliki sistem imunitas
balita yang berjenis kelamin perempuan, sehingga yang baik oleh karena balita yang berumur 2–< 3
balita yang berjenis kelamin laki-laki sangat rentan tahun pada umumnya telah mendapatkan imunisasi
sakit dan mengalami pneumonia dibandingkan dasar yang lengkap, sehingga daya tahan tubuh balita
dengan balita yang berjenis kelamin perempuan. yang berumur 2–< 3 tahun lebih kuat dibandingkan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan daya tahan tubuh balita yang berumur 1–<
jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko 2 tahun. Selain itu, sistem pernapasan pada balita
terjadinya pneumonia pada balita, di mana balita yang berumur 2–< 3 tahun juga telah berkembang
yang berjenis kelamin laki-laki berisiko untuk dengan baik dan berfungsi optimal, sehingga sistem
terkena pneumonia sehingga, balita yang berjenis pernapasannya cenderung lebih kuat apabila terpapar
kelamin laki-laki sebaiknya mendapatkan imunisasi oleh polusi udara maupun bakteri dan virus yang
campak dan ASI eksklusif agar balita yang berjenis menyebabkan penyakit pada saluran pernapasan
kelamin laki-laki tidak memiliki risiko untuk terkena khususnya penyakit pneumonia.
pneumonia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hartati (2010), menunjukkan
Umur bahwa balita yang berumur ≤ 12 bulan (0–1
Tingginya kejadian pneumonia terutama tahun) memiliki risiko 3,24 kali lebih besar untuk
menyerang kelompok usia bayi dan balita. Faktor mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita
usia merupakan salah satu faktor risiko kematian yang berumur > 24 – < 60 bulan (2 – < 5 tahun)
pada balita yang menderita pneumonia. Semakin dengan OR = 3,24; 95% CI (1,58<OR<6,64).
tua usia balita yang sedang menderita pneumonia Penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2010)
maka akan semakin kecil risiko meninggal akibat menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang
pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda. menderita pneumonia dan berumur ≤ 12 bulan (0–1
Usia merupakan faktor risiko yang berhubungan tahun) tidak mendapatkan imunisasi campak pada
dengan kejadian pneumonia. Risiko untuk terkena saat berumur 9 bulan dibandingkan dengan balita
pneumonia lebih besar pada balita yang berumur yang berumur > 24 – < 60 bulan (2– < 5 tahun)
di bawah 2 tahun dibandingkan dengan balita dan balita yang berumur ≤ 12 bulan juga tidak
yang berumur di atas 2 tahun, hal ini dikarenakan mendapatkan ASI eksklusif.
umur di bawah 2 tahun merupakan masa rentan Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
bagi balita untuk tertular penyakit pneumonia sebab yang dilakukan oleh Al Faruk (2002), menunjukkan
daya tahan tubuh balita masih rendah dan sistem bahwa balita yang berumur ≤ 12-24 bulan memiliki
saluran pernapasan yang belum berfungsi sempurna risiko 3,50 kali lebih besar untuk mengalami
(Misnadiarly, 2008). pneumonia dibandingkan dengan balita yang
Umur yang sangat muda merupakan faktor berumur > 24–59 bulan dengan OR = 3,50;
risiko bagi balita untuk terkena pneumonia, selain 95% CI (2,10 < OR < 6,15). Penelitian ini juga
karena daya tahan tubuh yang masih rendah, umur menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang
balita yang sangat muda juga berpengaruh pada menderita pneumonia dan berumur ≤ 12–24 bulan
sistem respirasi (sistem pernapasan), sehingga tidak mendapatkan imunisasi campak pada saat
umur balita yang sangat muda, mudah sekali untuk berumur 9 bulan dibandingkan dengan balita yang
78 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 69–81

berumur > 24–59 bulan dan tidak mendapatkan ASI Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor
eksklusif, sehingga balita yang berumur ≤ 12–24 risiko yang dapat meningkatkan angka kesakitan
bulan cenderung memiliki daya tahan tubuh yang dan kematian pada balita dari penyakit menular
rendah. khususnya pneumonia. Penyakit pneumonia lebih
Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar mudah menyerang balita yang belum mendapatkan
penderita pneumonia adalah balita yang berumur imunisasi khususnya imunisasi campak. Oleh karena
1–< 2 tahun. Balita yang berumur 1–< 2 tahun itu, untuk menekan tingginya angka kematian pada
sebagian besar tidak mendapatkan imunisasi campak balita karena penyakit pneumonia, dapat dilakukan
pada saat berumur 9 bulan dan balita yang berumur dengan memberikan imunisasi campak (Mulyani
1–< 2 tahun sebagian besar juga tidak mendapatkan dan Mega, 2013).
ASI eksklusif, sehingga balita yang berumur 1–< 2 Riwayat status imunisasi campak yang buruk
tahun sangat mudah sakit dan mengalami pneumonia diduga dapat meningkatkan angka kesakitan dan
dibandingkan dengan balita yang berumur2–< 3 kematian dari penyakit pneumonia, karena penyakit
tahun. campak berhubungan dengan penyakit pneumonia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Pneumonia merupakan komplikasi dari penyakit
umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya campak. Pneumonia terjadi apabila virus campak
pneumonia pada balita, di mana balita yang berumur menyebar dan menginfeksi jaringan paru sehingga
1–< 2 tahun berisiko untuk terkena pneumonia terjadi peradangan pada paru. Peradangan inilah
sehingga, balita yang berumur 1–< 2 tahun sebaiknya yang disebut sebagai pneumonia (Mulyani dan
mendapatkan imunisasi campak dan ASI eksklusif Mega, 2013).
agar balita yang berumur 1–< 2 tahun tidak memiliki Hasil penelitian diketahui terdapat 7 balita yang
risiko yang besar untuk terkena pneumonia. menderita pneumonia dan sebagian besar (35%)
Balita yang berumur kurang dari 2 tahun sangat tidak mendapatkan imunisasi campak pada saat
rentan untuk terinfeksi berbagai macam penyakit berumur 9 bulan, sedangkan pada 38 balita yang
menular, karena balita yang berumur kurang dari tidak menderita pneumonia sebagian besar (95%)
2 tahun belum memiliki daya tahan tubuh yang mendapatkan imunisasi campak saat berumur 9
optimal, dikarenakan umur kurang dari 2 tahun bulan. Pada hasil analisis didapatkan OR = 10,23;
merupakan masa awal kehidupan, sehingga beberapa 95% CI (1,60 < OR < 107,95) yaitu balita yang
fungsi tubuh belum bekerja secara optimal dan daya tidak mendapatkan imunisasi campak akan berisiko
tahan tubuh belum terbentuk sempurna, sehingga 10,23 kali lebih besar dibandingkan dengan balita
balita yang berumur kurang dari 2 tahun belum yang mendapatkan imunisasi campak. Dari hasil
dapat beradaptasi dengan berbagai macam paparan penelitian diketahui bahwa status imunisasi campak
termasuk paparan virus dan bakteri penyebab merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
penyakit menular (Soegijanto, 2004). pneumonia pada balita, di mana balita yang telah
mendapatkan imunisasi campak saat berumur 9
Status Imunisasi Campak dengan Kejadian bulan maka balita tersebut dapat terhindar dan
Pneumonia pada Balita terlindungi dari penyakit pneumonia.
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan Penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2011)
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu didapatkan OR = 3,21; 95% CI (1,58 < OR < 6,52)
penyakit, sehingga bila kelak terpapar dengan suatu di mana balita yang tidak mendapatkan imunisasi
penyakit tidak akan menderita penyakit tersebut campak berisiko mengalami pneumonia sebesar
karena sistem imun telah membentuk antibodi untuk 3,21 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan
melawan penyakit tersebut. Tujuan dari diberikannya imunisasi campak. Penelitian yang dilakukan oleh
imunisasi adalah untuk memberikan kekebalan Hartati (2011) menunjukkan bahwa sebagian besar
kepada bayi sehingga bisa mencegah dari penyakit balita yang menderita pneumonia tidak mendapatkan
dan kematian. Kelompok usia bayi dan anak balita, imunisasi campak pada saat berumur 9 bulan dan
merupakan kelompok yang berisiko tinggi untuk berjenis kelamin laki-laki yang berumur 1–< 2
terkena penyakit menular, oleh karena itu, pemberian tahun.
imunisasi sangat penting dilakukan untuk mencegah Penelitian lain yang dilakukan oleh Al Faruk
beberapa penyakit menular (Mulyani dan Mega, (2002), didapatkan OR = 2,879; 95% CI (1,418 <
2013). OR< 5,844) sehingga balita yang tidak mendapatkan
Dian dan Fariani, Faktor Risiko Pneumonia pada Balita… 79

imunisasi campak berisiko 2,879 kali lebih besar Oleh karena itu, tindakan pencegahan yang
untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan paling tepat dilakukan agar balita terlindungi dari
balita yang mendapatkan imunisasi campak penyakit pneumonia adalah dengan pemberian
sehingga, sebagian besar balita yang menderita imunisasi campak. Imunisasi campak bertujuan
pneumonia tidak mendapatkan imunisasi campak untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
pada saat berumur 9 bulan dan berjenis kelamin campak, menghindarkan dari penyakit campak
laki-laki. serta penyakit lain yang merupakan komplikasi
Penelitian yang dilakukan oleh Annah dari penyakit campak seperti pneumonia. Imunisasi
(2012) didapatkan OR = 5,80; 95% CI (2,30 < OR campak diberikan satu kali pada saat balita berumur
< 14,61) yaitu balita yang status imunisasinya tidak 9 bulan dengan dosis 0,5 ml (Mulyani dan Mega,
lengkap, termasuk tidak mendapatkan imunisasi 2013).
campak berisiko 5,80 kali lebih besar untuk terkena
pneumonia dibandingkan dengan balita yang status Status ASI Eksklusif dengan Kejadian Pneumonia
imunisasinya lengkap, termasuk telah mendapatkan pada Balita
imunisasi campak. ASI eksklusif adalah pemberian ASI (Air Susu
Beberapa penelitian di atas telah menunjukkan Ibu) saja tanpa makanan dan minuman lain kepada
bahwa penyakit campak berkaitan erat dengan bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan (Depkes RI,
penyakit pneumonia pada balita. 2004). Manfaat ASI eksklusif adalah memberikan
Campak adalah penyakit virus akut yang perlindungan bagi bayi. Bayi yang diberi ASI
disebabkan oleh virus campak, Virus campak eksklusif dapat terlindungi dari paparan penyakit
adalah virus RNA beruntai tunggal dari keluarga saluran pernapasan dan saluran pencernaan karena di
Paramyxovirus dari genus Morbillivirus. Virus dalam ASI terdapat beberapa zat-zat kekebalan tubuh
campak hanya menginfeksi manusia, di mana virus (antibodi) yang melindungi tubuh dari serangan
campak ini tidak aktif oleh panas, cahaya, pH asam, penyakit (Marmi, 2012).
eter, dan tripsin (enzim). ASI yang diberikan pada bayi hingga berumur
Virus campak memiliki waktu kelangsungan 6 bulan selain sebagai bahan makanan bayi
hidup singkat di udara, atau pada benda dan juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit
permukaan. Virus campak berada di dalam lendir dan infeksi, karena dapat mencegah pneumonia
pada hidung dan tenggorokan orang yang terinfeksi. yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Riwayat
Penularan campak dapat terjadi ketika bersin atau pemberian ASI yang buruk diduga menjadi salah
batuk (Mulyani dan Mega, 2013). satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian
Virus campak ditularkan melalui udara, penyakit saluran pernapasan seperti pneumonia
menempel, dan berkembang biak pada epitel pada balita. Oleh karena itu, untuk mencegah risiko
nasofaring. Tiga hari setelah invasi, virus bereplikasi pneumonia pada balita yang disebabkan karena
di kelenjar limfe. Pada tahap ini virus menyebar kondisi malnutrisi, sebaiknya dilakukan pemberian
pada semua sistem retikuloendotelia dan terjadi ASI pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun.
viremia (Mulyani, 2013). Sebagian besar orang (Depkes RI, 2004).
yang terinfeksi virus campak dapat sembuh, namun Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 balita
komplikasi dari virus campak juga dapat terjadi. penderita pneumonia yang sebagian besar (75%)
Beberapa penderita campak dapat mengalami tidak mendapatkan ASI eksklusif, sedangkan pada
komplikasi. Komplikasi dari penyakit campak berupa 28 balita yang tidak menderita pneumonia sebagian
infeksi telinga, diare, radang otak (ensephalitis), besar (70%) mendapatkan ASI eksklusif. Pada hasil
dan radang paru (bronchopneumonia) (Misnadiarly, analisis didapatkan OR = 7,00; 95% CI (1,82 <
2008). OR < 29,49) yaitu balita yang tidak mendapatkan
Komplikasi ini dapat terjadi karena virus ASI eksklusif akan berisiko 7,00 kali lebih besar
campak menyebar dan menginfeksi pada jaringan dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI
paru yang ditandai dengan adanya giant cell, eksklusif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
sehingga menyebabkan peradangan pada peribroncial status ASI eksklusif merupakan salah satu faktor
paru. Proses peradangan pada peribroncial paru risiko terjadinya pneumonia pada balita, di mana
disebut sebagai pneumonia (Mulyani dan Mega, balita yang mendapatkan ASI eksklusif maka balita
2013). tersebut dapat terhindar dan terlindungi dari penyakit
pneumonia.
80 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 69–81

Penelitian yang dilakukan oleh Fanada (2012) mengikat virus, bakteri, dan zat toksik, laktoferin,
didapatkan OR = 5,184; 95% CI (2,084 < OR < lisozim yang berfungsi menghancurkan bakteri
12,892) di mana balita yang tidak mendapatkan dengan merobek dinding sel bakteri, leukosit,
ASI eksklusif berisiko mengalami pneumonia makrofag yang berfungsi menghasilkan SigA
sebesar 5,184 kali dibanding dengan balita yang dan interferon, serta komplemen dan faktor
mendapatkan ASI eksklusif, sehingga status ASI antistreptokokus yang berfungsi membantu
eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya menurunkan insidensi penyakit saluran pernapasan
pneumonia pada balita. (Arisman, 2010).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Mokoginta Kolostrum juga mengandung berbagai macam
(2013), didapatkan OR = 4,47; 95% CI (1,64 < vitamin dan protein utama globulin. Protein ini
OR < 12,10) sehingga balita yang tidak diberi berfungsi sebagai antibodi alami terhadap infeksi
ASI eksklusif berisiko 4,47 kali lebih besar untuk beberapa penyakit, sehingga globulin dapat
terkena pneumonia dibanding balita yang diberi ASI memberikan daya tahan tubuh alami pada bayi
eksklusif. Hasil penelitian dari Mokoginta (2013) (Marmi, 2012).
menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif pada Oleh karena itu, tindakan pencegahan yang
bayi dapat melindungi bayi dan balita dari penyakit paling tepat dilakukan agar bayi dan balita terhindar
pneumonia. dari penyakit pneumonia adalah dengan pemberian
Penelitian yang juga dilakukan oleh Annah ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif pada bayi
(2012), didapatkan OR = 2,49; 95% CI (1,202 < OR yang berumur 0–6 bulan, secara khusus dapat
< 5,171) sehingga balita yang tidak mendapatkan terlindungi dari serangan penyakit sistem pernapasan
ASI eksklusif mempunyai risiko 2,49 kali lebih dan pencernaan. Hal tersebut disebabkan zat-zat
besar untuk menderita pneumonia dibandingkan kekebalan tubuh yang terdapat pada kolostrum
dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif. memberikan perlindungan langsung melawan
Hasil penelitian dari Annah (2012) menunjukkan serangan penyakit termasuk penyakit pneumonia
bahwa balita yang menderita pneumonia adalah pada bayi dan balita (Marmi, 2012).
balita yang berjenis kelamin laki-laki dan tidak
mendapatkan ASI eksklusif.
SIMPULAN DAN SARAN
Beberapa penelitian di atas telah menunjukkan
bahwa status ASI eksklusif berkaitan dengan Simpulan
penyakit pneumonia pada balita. Sebagian besar balita yang menderita
ASI menyediakan nutrisi yang ideal untuk pneumonia berjenis kelamin laki-laki dengan
bayi karena ASI merupakan perpaduan sempurna kelompok umur terbanyak yaitu pada umur 1–< 2
dari vitamin, protein, dan lemak yang semuanya tahun dan sebagian besar balita yang tidak menderita
diperlukan bayi untuk terus tumbuh dan berkembang. pneumonia berjenis kelamin perempuan dengan
ASI lebih mudah dicerna daripada susu formula kelompok umur terbanyak yaitu pada umur 2–<
(Arisman, 2010). 3 tahun. Risiko terjadinya pneumonia pada balita
Kandungan protein ASI cukup tinggi dan yang tidak mendapatkan imunisasi campak 10,23
komposisinya berbeda dengan protein yang terdapat kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang
dalam susu sapi. Protein dalam ASI dan susu sapi mendapatkan imunisasi campak. Sehingga, status
terdiri dari protein whey dan casein. Protein dalam imunisasi campak merupakan faktor risiko terjadinya
ASI lebih banyak terdiri dari protein whey yang pneumonia pada balita. Risiko terjadinya pneumonia
lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
sapi lebih banyak mengandung protein casein . Oleh 7,00 kali lebih besar dibandingkan dengan balita
karena itu, susu sapi lebih sulit dicerna oleh usus yang mendapatkan ASI eksklusif. Sehingga, status
bayi (Hendarto dan Pringgadini, 2008). Selain zat ASI eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya
gizi, ASI juga mengandung zat-zat yang berfungsi pneumonia pada balita.
sebagai sistem pertahanan tubuh dari berbagai
macam penyakit, salah satunya adalah kolostrum Saran
(Marmi, 2012).
Kolostrum adalah air susu ibu yang keluar Diharapkan tempat pelayanan kesehatan
pertama kali, berwarna jernih kekuningan, dan yaitu rumah sakit khususnya bagi tenaga medis
mengandung zat antibodi seperti faktor bifidus, agar dapat melaksanakan kegiatan PKMRS yaitu
secretory immunoglobulin A (SIgA) yang berfungsi penyuluhan kesehatan masyarakat di rumah sakit
Dian dan Fariani, Faktor Risiko Pneumonia pada Balita… 81

yang meliputi selalu mengingatkan orang tua Annah, Itma. 2012. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia
balita untuk melakukan imunisasi campak bagi Anak Umur 6–59 Bulan Di RSUD Salewangan
balita yang berusia 9 bulan dan belum melakukan Maros Tahun 2012. Skripsi. Makasar; Universitas
imunisasi campak, menganjurkan orang tua Hasanuddin.
bayi untuk memberikan ASI eksklusif pada Arisman, MB. 2010. Gizi Dalam Daur Kehidupan:
bayi hingga bayi berusia 6 bulan, meningkatkan Buku Ajar Ilmu Gizi, Ed. 2 Jakarta: EGC.
kesadaran dari orang tua balita agar orang tua Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman
balita mengerti dan menyadari bahwa pemberian Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
imunisasi campak dan pemberian ASI eksklusif Pernapasan Akut untuk Penanggulangan
sangat penting dalam menjaga kondisi kesehatan Pneumonia Pada Balita. Jakarta: Ditjen PPM-
balita serta mengoptimalkan peran kader dalam PLP.
kegiatan posyandu balita agar para kader mampu Dinas Kesehatan Kota Surabaya. 2012. Data Profil
berperan aktif dalam memberikan penyuluhan Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2012. Surabaya:
tentang pentingnya pemberian imunisasi campak Dinkes Kota Surabaya.
dan pemberian ASI eksklusif pada bayi, selain itu Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2012. Data
kader juga harus mengingatkan orang tua yang Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun
memiliki bayi untuk memberikan imunisasi campak 2012. Surabaya: Dinkes Propinsi Jatim.
dan apabila terdapat bayi yang belum mendapatkan Fanada, Mery. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan
imunisasi campak pada umur 9 bulan, maka kader dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita
dapat mengajak orang tua bayi tersebut untuk segera di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang
memberikan imunisasi campak pada bayi tersebut. Tahun 2012. Palembang: Balitbangkes.
Instansi terkait khususnya dinas kesehatan Francis, Charles. 2011. Perawatan Respirasi. Jakarta:
selaku pelaksana program P2 ISPA hendaknya Erlangga.
melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat Gillespie, Stephen & Kathleen Bamford. 2009. At
agar masyarakat memahami dan menyadari perilaku a Glance: Mikrobiologi Medis dan Infeksi Edisi
yang berkaitan dengan tindakan pencegahan Ketiga. Jakarta: Erlangga.
pneumonia pada balita. Petugas dinas kesehatan Hartati, Susi. 2011. Analisis Faktor Risiko yang
dapat melakukan sosialisasi tentang bahaya merokok Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada
Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Tesis.
di dalam rumah, penyuluhan tentang imunisasi
Jakarta; Universitas Indonesia: 74–76.
campak, dan sosialisasi pemberian ASI eksklusif
Hendarto A. dan Pringgadini K. 2008. Nilai Nutrisi
pada bayi. Puskesmas selaku tempat layanan
Air Susu Ibu. Bedah ASI: Kajian dari Berbagai
kesehatan hendaknya juga melaksanakan kegiatan
Sudut Pandang Ilmiah. Jakarta: Balai Penerbit
penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat.
FKUI.
Petugas puskesmas dapat melaksanakan penyuluhan
Marmi, SST. 2012. ASI Saja Mama. Yogyakarta:
tentang bahaya merokok di dalam rumah,
Pustaka Pelajar.
penyuluhan tentang pemberian imunisasi wajib
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas
dasar termasuk imunisasi campak, dan penyuluhan
Pneumonia pada Anak Balita, Orang Dewasa,
tentang pemberian ASI eksklusif kepada bayi,
Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
selain itu puskesmas juga melakukan sosialisasi Mokoginta, Dhefika. 2014. Faktor Risiko Kejadian
tentang penyakit pneumonia dan dampak penyakit Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja
pneumonia pada balita. Puskesmas Sudiang Kota Makasar. Skripsi.
Makasar; Universitas Hasanuddin: 4.
REFERENSI Mulyani, Nina Siti & Mega Rinawati. 2013. Imunisasi
Untuk Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
Al Faruk, Hasan. 2002. Hubungan Pemberian ASI Murti, Bhisma. 2003. Prinsip dan Metode Riset
Eksklusif, Vit A Dosis Tinggi, dan Imunisasi Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Campak Terhadap Kejadian Pneumonia pada University Press.
Anak Usia 12–59 Bulan yang Dilayani Sarana Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku
Pelayanan Kesehatan Dasar Puskesmas di Kota Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta
Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat Tahun 2002. Soegijanto, S. 2004. Kumpulan Makalah Penyakit
Tesis. Jakarta; Universitas Indonesia. Tropis Dan Infeksi Di Indonesia Jilid 1. Surabaya:
Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai