BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah
Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas
bahwa hubungan antara usaha peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan, karena
tanpa modal kesehatan niscaya akan gagal pula pembangunan kita.
Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah seperti
membalikkan telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks, dimana penyakit yang
terbanyak diderita oleh masyarakat terutama pada yang paling rawan yaitu ibu dan anak, ibu
hamil dan ibu meneteki serta anak bawah lima tahun.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak.
Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di Negara
berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat
156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di Negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta)
dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi
di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek
pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah
sakit (15%-30%). (Kemkes RI, Pedoman Pengendalian ISPA)
ISPA sering disalah-artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar, ISPA
merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, yang meliputi saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Penyakit infeksi akut yang menyerang salah
satu atau lebih bagian dari saluran napas mulai dari hidung (saluran bagian atas) hingga jaringan
di dalam paru-paru (saluran bagian bawah).
Pada mulanya istilah ISPA diadaptasi dari Bahasa Inggris yaitu Acute Respiratory Infections
(ARI). Sehingga dari istilah tersebut terdapat beberapa unsur yang ada dalam ISPA, meliputi
Infeksi, Saluran pernapasan, dan Infeksi akut.
Infeksi merupakan masuknya kuman yang ada dalam tubuh sehingga berkembanglah suatu
penyakit yang nantinya akan menimbulkan gejala penyakit. Pada dasarnya kuman yang masuk
dalam tubuh manusia adalah mikroorganisme.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut yang
menyerang saluran utama pernafasan yang meliputi saluran pernafasan bagian atas
seperti rhinitis, fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah
seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis danpneumonia, yang dapat berlangsung selama 14
hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran
pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveolibeserta organ seperti sinus, ruang
telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2008).
Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri,
virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya
adalah virus. Di negara berkembang, ISPA bawah terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri
dari genus streptokokus, haemofilus, pnemokokus, bordetella dan korinebakterium, sedang di
negara maju ISPA bawah disebabkan oleh virus, miksovirus, adenivirus, koronavirus,
pikornavirus danherpesvirus (Parker, 1985 dalam Putranto, 2007).
Cara penularan ISPA kontak langsung melalui mulut dan droplet (pengecilan tetesan seperti
partikel cairan yang dimuntahkan dari mulut pada waktu kita batuk, bersin, atau berbicara yang
mungkin membawa infeksi yang lain melalui udara atau penularan terjadi karena kontak
langsung melalui udara) atau penularan terjadi karena kontak langsung melalui tangan, sapu
tangan, peralatan makanan atau benda-benda lain yang baru saja terkontaminasi oleh saluran
pernafasan dari orang-orang yang terinfeksi. Virus yang dikeluarkan melalui tinja fekal-oral
(Depkes RI).
Ada beberapa klasifikasi dari ISPA (Depkes RI tahun 2008) antara lain :
1. Ringan (bukan pneumonia): Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit,
hidung tersumbat / berair, tenggorokan merah, telinga berair.
2. Sedang (pneumonia sedang): Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah,
dari telinga keluar cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar
limfe yang nyeri tekan (adentis servikal).
3. Berat (pneumonia berat): Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di
taring, kejang, apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat pada
dinding dada sebelah bawah ke dalam.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius baik
di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA
merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total
kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama
Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara
Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi
1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun (Depkes
RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 0-59 bulan yaitu lebih dari 2 juta
kematian tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap harinya.
Dari seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi pada 15
negara, termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan jumlah kasus ISPA
sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) persentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA)
pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian pada
balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di Indonesia 83 orang
balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika
Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita di
Indonesia (Depkes RI, 2010).
Program pengendalian ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan
berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak
balitayang disebabkan oleh ISPA , namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut
masih tetap tinggi seperti yang telah dilaporkan berdasarkan data Riskesda 2013, yaitu Lima
provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh
(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa
Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA (41,4%). Period
prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007
(25,5%).
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam menentukan penyakit ISPA di Indonesia
adalah masih terbatasnya data yang dapat dipercaya dan mutakhir. Hal ini disebabkan penyakit
ISPA merupakan kelompok penyakit yang dapat menginfeksi pada berbagai lapisan masyarakat
dan di berbagai daerah dengan letak geografis yang berbeda dan berpotensi menjadi daerah
endemik dari beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi acaman bagi kesehatan
masyarakat.Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun
kematian penderita akibat ISPA, misalnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh asap
karena kebakaran hutan, gas buangan yang berasal dari sarana transpotasi dan polusi udara dalam
rumah karena asap dapur, asap rokok, perubahan iklim global antara lain perubahan suhu udara,
kelembaban, dan curah hujan merupakan acaman kesehatan terutama pada penyakit ISPA.
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah yang penulis angkat berdasarkan tema Penyakit ISPA adalah Program
Pengendalian Penyakit ISPA.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Faktor-faktor Keberhasilan
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) persentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA)
pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian pada
balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di Indonesia 83 orang
balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika
Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita di
Indonesia (Depkes RI, 2010).
Namun, jika dilihat kembali dan dibandingkan antara angka kejadian ISPA pada Riskesda
2007, dan 2013, secara nasional mengalami penurunan yaitu 0,5 % dari 25,5 % pada 2007
menjadi 25,0% pada 2013. Meskipun angka tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan,
namun untuk pengendalian ISPA sendiri setidaknya ada sedikit titik terang.
Untuk meningktkan keberhasilan pengendalian ISPA, tidak dapat dilaksanakan hanya dari
jajaran kesehatan saja namun harus didukung pemangku kepentingan dan masyarakat agar dapat
mencapai tujuan.
Pelaksanaan pengendalian ISPA memerlukan komitmen pemerintah pusat, pemeritah daerah,
dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran serta masyarakat termasuk dunia
usaha.Pedoman ini mengulas situasi pengendalian pneumonia, kebijakan dan strategi, kegiatan
pokok, peran pemangku kepentingan, tantangan dan pengembangan ke depan sesuai dengan visi
misi dan rencana strategis Kementerian Kesehatan.
Peningkatan pelaksanaan pengendalian ISPA perlu didukung dengan berbagai kegiatan
pengendalian ISPA baik sarana, prasarana, sumber daya manusia dan semua sumber dana
pendukung program yang tersedia baik APBN maupun APBD untuk dimanfaatkan sebaik-
baiknya dalam mencapai tujuan program dan target yang telah ditentukan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing jajaran kesehatan, pemangku kepentingan dan masyarakat itu
sendiri.
C. Faktor-faktor kegagalan
Secara nasional, terjadi penurunan tingkat kejadian ISPA yaitu 25,5 % pada SDKI 2007
menjadi 25,0% pada SDKI 2013. Namun, berdasarkan angka kejadian pada beberapa provinsi
dengan prevalensi kejadian tertinggi, perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Table 1.1
Prevalensi kejadian ISPA tertinggi di 5 Provinsi di Indonesia pada 2007-2013 (Riskesdas)
Prevalensi kejadian ISPA
No Provinsi
Riskesda 2007 Riskesda 2013
1 NTT 41,3% 41,7%
2 Aceh 36,6% 30,0%
3 Papua barat 36,2% 25,9%
4 Gorontalo 33,9% 23,2%
5 Papua 30,5% 31,1%
Table 1.2
Prevalensi kejadian ISPA tertinggi di 5 Provinsi di Indonesia pada 2007-2013 (Riskesdas)
Prevalensi kejadian ISPA
No Provinsi
Riskesda 2013 Riskesda 2007
1 NTT 41,7% 41,3%
2 Papua 31,1% 30,5%
3 Aceh 30,0% 36,6%
4 NTB 28,3% 26,5%
5 Jawa timur 28,3% 20,5%
Dari data diatas didapatkan bahwa terdapat peningkatan dan penurunan prevalensi kejadian
ISPA pada waktu dan tempat tertentu. Ada beberapa factor penting yang menjadi penyebab
kurang efektifnya kegiatan pengendalian penyakit ISPA antara lain :
1. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai kejadian ISPA, sehingga masyarakat
mengganggapnya biasa.
2. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam menentukan penyakit ISPA di Indonesia adalah
masih terbatasnya data yang dapat dipercaya dan mutakhir. Hal ini disebabkan penyakit ISPA
merupakan kelompok penyakit yang dapat menginfeksi pada berbagai lapisan masyarakat.
3. Kurangnya manajemen program, aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan
perhatian untuk terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan, dan
administrasi.
4. Kurangnya manajemen pembiayaan, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan
biaya untuk program cukup terbatas.
5. Perbedaan letak geografis, sanitasi, status gizi dan pengetahuan yang turut mempengaruhi
keberhasilan pengendalian ISPA.
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/124/jtptunimus-gdl-nurhadig2a-6164-2-babii.pdf
http://idtesis.com/pengertian-infeksi-saluran-pernapasan-akut-ispa-menurut/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33047/3/Chapter%20II.pdf
http://dokterkecil.wordpress.com/2011/03/31/ispa-infeksi-saluran-pernapasan-akut/
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/FINAL%20DESIGN%20PEDOMAN
%20PENGENDALIAN%20ISPA.pdf