PSKM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Surveilans epidemiologi adalah suatu proses pengamatan yang terus menerus dan
sistematis serta berkesinambungan dalam pengumpulan data, analisis dan interpretasi data
kesehatan dalam upaya untuk menguraikan dan memantau suatu peristiwa kesehatan agar
dapat dilakukan penanggulangan yang efektif dan efisien terhadap masalah kesehatan
masyarakat tersebut. (Hasmi, 2011)
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang langsung disebabkan oleh kuman TBC
(Mycobaketerium tuberculosis). Pada penyakit tuberkulosis jaringan yang paling sering
diserang adalah paru - paru (95,9 %), tetapi dapat juga mengenai tubuh lainnya. Gejala yang
biasanya muncul adalah demam, batuk darah, batuk yang biasanya berlangsung lama dan
produktif yang berdurasi lebih dari 3 minggu. (Price dan Wilson, 2005)
Cara penularan melalui ludah atau dahak penderita yang mengandung basil
tuberkulosis paru. Pada waktu batuk butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap
oleh orang yang sehat dan masuk kedalam parunya yang kemudian menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru (TB Paru). Pecegahan penyakit TBC ini dapat dilakukan dengan
pencegahan primer (Imunisasi aktif, Chemoprophylaxis, obat anti TBC, Pengontrolan Faktor
Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi,
sakit kronis dan mental), pencegahan sekunder (Melalui usaha pembatasan
ketidakmampuan, control pasien dan deteksi dini), dan pecegahan tersier (rehabilitasi). Cara
mencegah terinfeksi penyakit ini adalah menjaga pola hidup yang sehat, dengan memenuhi
kebutuhan cairan, vitamin, nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.
1
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan hampir 500.000 jiwa didunia menderita
tuberculosis. Pada tahun 2012 sebanyak 8,6 juta telah menderita TBC dan yang meninggal
sebanyak 1,3 juta diseluruh dunia, dan angka ini naik menjadi sembilan juta orang pada 2013
dengan angka kematian sekitar 1,5 juta orang. Pada tahun 2014, angka penemuan kasus TB
paru tercatat sebesar 69,7%, sedangkan angka keberhasilan pengobatan sebesar 90%.
Berdasarkan data indonesia pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru BTA
positif (BTA+) sebanyak 196.310 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang
ditemukan tahun 2012 yang sebesar 202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan
terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah
seluruh kasus baru di Indonesia.
Data Profil Kesehatan Palembang dari sumber data Bidang Pengendalian Masalah
Kesehatan 2014, bahwa selama 3 tahun terakhir penemuan kasus TB Paru tahun 2011
sebesar 2109 kasus, pada tahun 2012 terdapat 1007 kasus dan tahun 2013 sebesar 1003
kasus. (Dinkes Kota Palembang, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Belum diperolehnya gambaran Surveilans Epidemiologi Penyakit TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Pembina Palembang Tahun 2013-2015.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Diperolehnya gambaran Surveilans Epidemiologi Penyakit TBC Paru
yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Pembina Palembang Tahun 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diperolehnya distribusi Penyakit TBC Paru menurut kelompok umur di
Puskesmas Pembina Palembang
2. Diperolehnya distribusi Penyakit TBC Paru menurut kelompok jenis kelamin di
Puskesmas Pembina Palembang
3. Diperolehnya distribusi penyakit TBC Paru menurut wilayah di Puskesmas
Pembina Palembang
4. Diperolehnya distribusi penyakit TBC Paru menurut waktu di Puskesmas
Pembina Palembang
1.4 Ruang Lingkup
1.4.1 Lingkup Lokasi
Praktikum Surveilans Epidemiologi penyakit TBC Paru dilaksanakan di
wilayah kerja Puskesmas Pembina Palembang.
1.4.2 Lingkup Materi
Praktikum Surveilans Epidemiologi penyakit TBC Paru memiliki lingkup
materi meliputi Puskesmas Pembina Palembang.
1.4.3 Lingkup Waktu
Praktikum Surveilans Epidemiologi dilaksanakan dari tanggal 25 Januari
sampai dengan 11 Februari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Surveilans Epidemiologi
2.1.1 Definisi
2.1.2 Variabel Epidemiologi
2.1.2.1 Distribusi Frekuensi Menurut Orang
4
Distribusi frekuensi menurut orang disini membicarakan peranan umur, jenis kelamin, sosial
ekonomi, pekerjaan. Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua
keadaan ditunjukkan dengan umur. Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan
mudah dan melihat pola kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Untuk keperluan
perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian-pembagian umur sabagai berikut :
Kelas Sosial, merupakan variabel yang sering pula dilihat hubungannya dengan
angka kesakitan dan kematian. Variabel ini menggambarkan tingkat kehidupan seseorang.
Kelas sosial ini ditentukan oleh unsur-unsur seperti pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan.
Jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan
yakni :
4. Negara-negara
5. Regional.
2.1.3 Pengukuran Epidemiologi
2.1.3.1 Proporsi
Distribusi proporsi adalah suatu penyebaran persentase (yakni proporsi dari jumlah
peristiwa-peristiwa dalam sekelompok data yang mengenai masing-masing kategori atau
subkelompok dari kelompok itu).
dimana :
X = Jumlah kejadian atau penderita dan lain-lain, yang timbul dalam suatu
kategori atau subgrup tertentu dari suatu kelompok yang lebih besar.
2.1.3.2 Rasio
Rasio =
Dimana:
X = Banyaknya peristiwa, orang, dan lain-lain, yang mempunyai satu atau lebih atribut
tertentu.
Y = Banyaknya peristiwa, orang dan lain-lain, yang mempunyai satu atau lebih atribut
tertentu, tetapi dalam beberapa hal berbeda atribut dengan anggota c.
K = 1
2.1.3.3 Rate
Adalah perbandingan suatu peristiwa dibagi dengan jumlah penduduk yang mungkin
terkena peristiwa yang dimaksud dalam waktu yang sama yang dinyatakan dalam persen
atau permil
Rate =
2.2 TB Paru
2.2.1 Definisi
a. Kependudukan
Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam timbulnya atau
kejadian TB, yakni:
1) Jenis Kelamin
2) Umur
3) Status Gizi
4) Kondisi Sosial Ekonomi
b. Faktor Lingkungan
1) Kepadatan
2) Lantai Rumah
3) Ventilasi
4) Pencahayaan
5) Kelembapan
6) Ketinggian
2.2.3 Epidemiologi TB Paru
Kejadian suatu penyakit menurut Gordon (1950) yang dikutip oleh azwar (1999)
menyebutkan bahwa timbul tidaknya suatu penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga
faktor utama yang digambarkan dalam segitiga yang dikenal dengan istilah segitiga
epidemiologi yang saling mempengaruhi, yaitu :
2.2.5 Patogenesis
Fase ini disebut juga fase simbiosis yang terjadi antara 7-21 setelah infeksi. Kuman
membelah dengan kecepatan yang sama baik pada kelinci yang resisten maupun rentan.
Namun pada yang rentan lebih meningkat jika dibandingkan dengan resisten sebagaimana
terlihat pada gambar sebelah.
Selama beberapa hari atau minggu awal infeksi TB primer, respons kompleks
sedang disiapkan oleh pejamu. Walaupun lekosit PMN telah aktif pada awal inflamasi namun
mereka tidak bekerja dengan baik. Respons humoral atau antibodi yang biasanya
merupakan pusat pertahanan terhadap bakteri patogen, peranannya bisa diabaikan dalam
melawan tuberkulosis. Namun demikian sistem komplemen ikut berperan pada tahap awal
fagositosis.
Setelah 4-8 minggu infeksi akan dibentuk mekanisme pertahanan spesifik yaitu
terjadi sensitisasi sel T terhadap antigen spesifik. Mekanisme pertahanan spesifik pada
tuberkulosis ditandai dengan dimulainya respons cell-mediated immunity (CMI) dan delayed-
type hipersensitivity (DTH) yang akan meningkatkan kemampuan pejamu untuk menghambat
atau mengeliminasi kuman. Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat
hubungannya dan timbul akibat aktivasi sel T yang bersifat spesifik. Kedua fenomena yang
belum dapat dipisahkan tersebut terjadi melalui mekanisme respons imun yang sama dan
akan mengubah respons pejamu terhadap pajanan antigen berikutnya.
Respons DTH ditandai dengan nekrosis perkijuan akibat lisisnya sel-sel makrofag
alveoli yang belum teraktivasi sedang respons CMI timbul setelah makrofag alveoli teraktivasi
sehingga menjadi sel epiteloid matur. Pada binatang percobaan didapatkan bahwa kedua
respons imun tersebut terjadi pada pejamu yang rentan maupun resisten tetapi dengan
derajat berbeda. Pada pejamu resisten didapatkan rasio sel-sel epiteloid terhadap nekrosis
perkijuan jauh lebih besar dibandingkan pejamu rentan.
Keseimbangan antara CMI dan DTH akan menentukan bentuk penyakit yang akan
berkembang. Respons CMI akan mengaktifkan makrofag dan kuman dibunuh secara
intraselular, sedang respons DTH menyebabkan nekrosis perkijuan dan pertumbuhan kuman
dihambat secara ekstraselular. Keduanya merupakan respons imun yang sangat efektif
menghambat perjalanan penyakit. Untuk keberhasilan pengelolaan TB, diperlukan
pengetahuan tentang saling pengaruh antara kedua respons imun tersebut dan perubahan
rasio antara keduanya.
Unsur utama respons imun adalah kemampuan membatasi proliferasi atau daya
tahan hidup kuman TB dalam makrofag teraktivasi (proses CMI) dan kemampuan
menghancurkan makrofag inkompeten yang membiarkan kuman berkembang di dalamnya.
Kuman dari makrofag inkompeten yang telah hancur akan ditelan oleh makrofag generasi
berikutnya yang lebih imunokompeten (proses DTH).
Kedua proses tersebut memerlukan dukungan sitokin, makrofag dan lekosit PMN.
Sel-sel tersebut sebagian mati saat berinteraksi dengan kuman, melepaskan banyak enzim
proteolitik yang kuat. Enzim tersebut juga memudahkan terjadinya trombosis pembuluh darah
lokal. Kombinasi faktor-faktor tersebut mengakibatkan proses pencairan lesi perkijuan,
menyediakan lingkungan dan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan kuman TB.
2.2.6 Gejala- Gejala TB Paru
Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai gejala yang
sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental.
1. Gejala Sistematik
Gejala ini mencakup :
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza.Tetapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40-41 ºC.Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali.Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam
influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk
b. Badan terasa lemah
c. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun.Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
2. Gejala Respiratorik
Gejala ini mencakup :
a. Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan.Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus.Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah
penyakit berkembang dalam jaringan paru yakini setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan pada peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum).Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi
dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. Batuk biasnya terjadi lebih dari 3 minggu,
kering sampai produktif dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen, batuk
berdarah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek
b. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru-paru
2.2.7 Pencegahan TB Paru
Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Environment
dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Pencegahan Primer
Dengan promisi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif,
walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar
kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC
yang meliputi :
a. Imunisasi aktif, melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin (BCG) secara
nasional dan internasional pada daerah dengan kejadian tinggi dan orang tua
penderita atau berisiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan
tergantung Host tambahan dan Environment
b. Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak
dijalankan dan tetap harus dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak
c. Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan
pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental
2. Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus
TBC yang timbul dengan 3 komponen utama : Agent, Host dan Environment.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern
kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode
tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat,
sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat
dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC,
dengan imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan
dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi
epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan
terhadap epidemic TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi
kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis
3. Pencegahan Tersier
Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan
diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis,
rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi
pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan
penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan
perlunya rehabilitasi
1. Perkembangan media.
2. Metode solusi problem keresistenan obat.
3. Perkembangan obat Bakterisidal baru.
4. Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
5. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel.
6. Studi lain yang intensif.
7. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol
Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.
a. Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifamfisin.
Bila pengobatan tahap inetnsif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
b. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
WHO dan IUATLD (International Union Against Tubercolosis And Lung Disease) me-
rekomendasikan paduan OAT standar, yaitu:
a. Kategori -1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol
(E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama dua bulan (2HRZE). Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
b. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di
UPK. Dilanjutkan satu bulan dengan (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E)
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan 3 kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan
setelah penderita selesai menelan obat.
c. Kategori -3 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HZR diberikan setiap hari selama dua bulan (2HZR),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu
(4H3R3).
18
Sehingga semenjak tanggal 2 mei 1993, klinik bersalin cabang RSU M. Husin ini diserahkan
pengelolaanya kepada Pemerintah Daerah Kota Palembang yang pelaksanaanya diserahkan
kepada Dinas Kesehatan Kota Palembang yang diberi nama Puskesmas Pembina 8 Ulu.
Oleh karenanya sejak saat itu dalam pelaksanaan kegiatannya Puskesmas selalu dalam
pengawasan Dinas Kesehatan Kota Palembang.
Setelah menjalani masa uji coba puskesmas swakelola Pembina dan berdasarkan
keputusan walikota Palembang No 443 tahun 2011, puskesmas Pembina sebagai unit kerja
yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah (PPK-BLUD).
Tabel 3.1
Kondisi geografi wilayah kerjanya terdiri dari dataran rendah dan rawa-rawa.
a. Buruh kasar
b. Pegawai negeri
c. Pedagang
d. Pensiunan
e. Pengrajin
1. Jumlah Kecamatan
Puskesmas pembina terletak dikecamatan seberang ulu 1 dan wilayah kerjanya
hanya 1 kecamatan.
2. Jumlah Desa/ Kelurahan
Tabel 3.2
Jumlah kelurahan, Rw, Rt Wilayah Kerja Puseksmas Pembina Tahun
2015
No Kelurahan RW RT
(Rukun Warga) (Rukun Tetangga)
1 Silaberanti RW 1 Rt 01, Rt 02, Rt 03, Rt 04, Rt 05, Rt
43
RW 2 Rt 06, Rt 07, Rt 08, Rt 09
RW 3 Rt 10, Rt 11, Rt 12, Rt 13, Rt 35
RW 4 Rt 14, Rt 15, Rt 16, Rt 17, Rt 18
RW 5 Rt 19, Rt 20, Rt 21, Rt 22, Rt 36
RW 6 Rt 23, Rt 24, Rt 25, Rt 26, Rt 37, Rt
38, Rt 41, Rt 42
RW 7 Rt 27, Rt 28, Rt 29, Rt 30, Rt 40
RW 8 Rt 31, Rt 32, Rt 34, Rt 39
Jumlah 8 RW 42 RT
2 8 Ulu RW 1 Rt 01, Rt 02, Rt 03, Rt 04, Rt 05
RW 2 Rt 06, Rt 07, Rt 08, Rt 09
RW 3 Rt 10, Rt 11, Rt 12, Rt 13, Rt 14, Rt
15, Rt 16, Rt 17
RW 4 Rt 23, Rt 24, Rt 25, Rt 26, Rt 27, Rt
28, Rt 29
RW 5 Rt 30, Rt 31, Rt 32, Rt 34, Rt 35, Rt
36
Jumlah 5 RW 31 RT
Sumber :Profil Puskesmas Pembina Palembang Tahun 2015
Tabel 3.3
1 2 3 4 5
22 Jumlah sumber
Air bersih
Sumur Gali 46 69 115
SPTDK 0 0 0
PDAM 1341 1585 2926
23 Jumlah jamban 1344 1591 2935
keluarga
Sumber :Profil Puskesmas Pembina Palembang Tahun 2015
3.1.7 Fasilitas Pelayanan Kesehatan
b. Spesialis Anak
Klinik spesialis ini buka setiap hari selasa dilayani oleh Dokter Spesialis
Anak dengan dibantu oleh para perawat yang berpengalaman dan terlatih.
c. Spesialis Penyakit Dalam
Klinik spesialis ini dibuka setiap hari selasa dilayani oleh Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dengan dibantu oleh perawat yang berpengalaman dan terlatih.
Dalam pelayanannya klinik ini dlengkapi dengan alat Electrocaardiograph
(ECG).
6. Klinik Pelayanan Penderita TB Paru
Di klinik ini pula melayani program pengobatan terhada penderita TB Paru dan
Kusta.
b. Imunisasi
Melayani imunisasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis, Campak, TT
Bumil/Caten. Dilaksanakan setiap hari selasa dan kamis oleh perawat
terlatih.
c. Konsultasi Kesehatan Lingkungan (Sanitasi)
Memberikan konsultasi mengenai kesehatan dan kebersihan lingkungan
Rumah Sehat, Jamban Sehat, Sarana Air Bersih, Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN). Dilaksanakan oleh sanitarian, setiap hari, baik didalam maupun luar gedung.
12. Laboratorium
Melayani pemeriksaan Rutin Urine, Darah Rutin, Test Kehamilan, Test
Trombosit, DDR, BTA Sputum, Golongan Darah Dan Gula Darah, Kolesterol,
Asam Urat, SGOT/PT, Ureum, Creatinin, HbsAg test, dll. Dilayani setiap hari
oleh 2 orang Analis terlatih.
13. Penyuluhan Kesehatan
Dilakukan pada perorangan ataupun perkelompok, baik dilaksanakan di
puskesmas, sekolah ataupun di tempat lain yang membutuhkan. Pelayanan ini
akan dilaksanakan oleh tenaga-tenaga penyuluh yang cukup menguasai materi
yang dibahas.
14. Lain- lain
Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah kerjanya, Puskesmas
Pembina melakukan kegiatan-kegiatan jemput boal. Kegiatan-kegiatan tersebut
meliputi Posyandu Balita di 21 Posyandu dan Posyandu Lansia di 6 Posyandu,
UKS/UKGS di 12 SD/MI dan SMP, UKGMD di 4 Posyandu serta melakukan
kunjungan ke rumah pasien bagi pasien- pasien yang mmbutuhkannya.
1. Visi
b) Meningkatkan keprofesionalisme provider
3. Motto
4. Nilai
3.1.9 Ketenagaan
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan sehari-harinya, Puskesmas Pembina
dipimpin oleh seorang Pimpinan Puskesmas yang sejak April 2009 dijabat oleh Dr. Hj.
Erfiana Umar, M.kes yang dibantu oleh 2 orang dokter umum, 1 dokter spesialis kandungan
1 orang dolter gigi, 2 orang sarjana kesehatan masyarakat, 6 orang perawat ahli madya, 4
orang perawat, 3 orang perawat gigi, 6 orang bidan, 1 orang asisten apoteker, 2 orang
sanitarian, 1 orang petugas gizi, 2 orang analis.
Sesuai dengan komitmen yang telah disepakati bersama antara pimpinan dan
seluruh Staff Puskesmas Pembina maka diadakan jadwal pembelajaran dan pelatihan baik di
dalam maupun diluar puskesmas pembina, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
keterampilan sumber daya manusia yang ada di Puskesmas Pembina.
Secara garis besar Puskesmas Pembina dibagi atas beberapa unit kerja yang
bertanggung jawab pada Pimpinan Puskesmas secara langsung dan pelaksanaan
kegiatannya di sesuaikan dengan program kerjanya masing-masing yang disusun setiap
tahun dibawah tanggung jawab pemegang program.
Bagan 3.1
KEPALA PUSKESMAS
Koordinator Pelayanan Kesehatan Masyarakat
YANKES WAJIB
Koordinator Pelayanan Perorangan
UKS
Kesehatan Olahraga
P2M/KB
YANKES WAJIB
YANKES PENGEMBANG
PETUGAS KIA/KB
KESLING
GIZI MASYARAKAT
Kesehatan Kerja
GIZI MASYARAKAT
Tradisional
KIA/KB
Kehatan Mata
Keperawatan Kesehatan
PENGOBATAN
GIGI DAN MULUT
P2M/PTM
KESEAHTAN JIWA
KESEHATAN USIA LANJUT
Bagan 3.2
RUJUKAN
RUMAH SAKIT
PASIEN
PULANG
LABORATORIUM
GILINGAN MAS
Apotik
KLINIK KIA/KB
BP GIGI
KLINIK PTM
Pasien KIA/KB
Pasien Penyakit Gigi
RUANG BERSALIN
BP DEWASA
BP ANAK
(Pelayanan Pasien TB Paru)
(
3.2 Data Distribusi Frekuensi Penyakit TB PARU di Puskesmas Pembina
tahun 2013-2015
Grafik 3.1
Grafik 3.2
Grafik 3.3
Tabel 3.6
Distribusi Frekuensi Penyakit TB Paru Puskesmas Pembina Palembang Menurut Jenis
Kelamin Tahun 2013-2015
Jenis 2013 2014 2015
No
Kelamin Frek % Frek % Frek %
1 Laki- 35 66,03 26 63,41 22 52,39
laki
2 Permpuan 18 33,97 15 36,59 20 47,61
Jumlah 53 100% 41 100% 42 100%
Sumber :Register TB Paru Puskesmas Pembina
Diagram 3.1
Diagram 3.3
Tabel 3.7
Distribusi Frekuensi Penyakit TB Paru Puskesmas Pembina Palembang
Menurut Wilayah Tahun 2013-2015
2013 2014 2015
No Kelurahan
Frek % Frek % Frek %
1 Silaberanti 13 24,53 18 43,90 15 35,71
2 8 Ulu 11 20,76 10 24,40 13 30,96
Luar
3 29 54,71 13 31,70 14 33,33
Wilayah
Jumlah 53 100 41 100 42 100
Sumber :Register TB Paru Puskesmas Pembina
Diagram 3.4
Berdasarkan data grafik diatas penderita penyakit TB Paru tertinggi terdapat pada
luar wilayah yaitu sebanyak 29 0rang (54,71%).
Diagram 3.5
Berdasarkan data grafik diatas penderita penyakit TB Paru tertinggi terdapat pada
kelurahan Silaberanti yaitu sebanyak 18 0rang (43,90%).
Diagram 3.6
Berdasarkan data grafik diatas penderita penyakit TB Paru tertinggi terdapat pada
kelurahan Silaberanti yaitu sebanyak 15 orang (35,71%).
3.2.4 Distribusi Frekuensi Penyakit TB Paru Puskesmas Pembina Palembang
Menurut Waktu
Tabel 3.8
Berdasarkan data tabel diatas penderita TB Paru pada tahun 2013 sebanyak 52
kasus , pada tahun 2014 sebanyak 41 kasus dan pada tahun 2015 sebanyak 42 kasus.
Grafik 3.4
Grafik 3.5
Berdasarkan data grafik diatas penderita TB Paru terbanyak menurut tahun 2013-
2015 terdapat pada tahun 2013 sebesar 52 kasus (38,51%)
3.3 Faktor Risiko
3.3.1 Data Kepadatan Penduduk
Tabel 3.9
Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan Puskesmas
Pembina Tahun 2013-2014
Kepadatan penduduk
Luas Jumlah penduduk
kelurahan wilayah(km²)
2013-2015 2013 2014 2015 2013 2014 2015
3.3.2 Data PHBS
Tabel 3.10
Rumah tangga
No Kelurahan Jumlah dipantau Ber PHBS %
2013 2014 2013 2014 2013 2014
1 Silaberanti 1.344 1.660 761 1.021 25.92 27.11
2 8 Ulu 1.591 2.105 630 1.281 21.46 34.02
Jumlah 2.935 3.765 1.391 2.302 47.38 61.13
Sumber :Profil Puskesmas Pembina Palembang
Tabel 3.11
Tahun 2013-2014
BAB IV
PEMBAHASAN
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberculosis. Risiko untuk terjangkit
penyakit TB dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yaitu tinggi ketika awalnya,
menurun karena di atas 2 tahun hingga dewasa mempunyai daya tangkal terhadap TB
dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda, dan menurun kembali ketika seseorang atau
kelompok menjelang usia tua. (Warrwn, 1994, Daniel dalam Harisson, 1991).
43
Berdasarkan data hasil penelitian yang kami lakukan di Puskesmas Pembina Palembang,
diketahui bahwa penderita TB Paru terbesar berdasarkan variabel jenis kelamin pada tahun
2013-2015 terdapat pada laki-laki. Pada tahun 2013 sebanyak 66,03%, tahun 2014 sebanyak
63,41% dan pada tahun 2015 penderita TB Paru sebesar 52,39%.
Lingkungan sekitar juga menjadi faktor eksternal terjadinya penyakit TB Paru yang
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan. Penyakit TB Paru menular
dengan cepat pada orang yang berkontak langsung dengan penderita TB Paru melalui udara
khususnya pada laki-laki.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengolahan data Serveilans Epidemiologi Penyakit TB Paru
yang kami lakukan di puskesmas pembina palembang sejak tanggal 25 januari-11
februari 2016, dapat disimpulkan bahwa :
1. Penderita TB Paru di Puskesmas Pembina berdasarkan golongan umur dari
tahun 2013-2015 yaitu pada golongan umur 16-45 tahun. Dari tiga tahun
terakhir penderita TB Paru tertinggi pada tahun 2015 dengan proporsi
73,80%
2. Penderita TB Paru di Puskesmas Pembina berdasarkan variabel jenis
kelamin tahun 2013-2015 yaitu laki-laki. Dari tiga tahun terakhir penderita
TB Paru tertinggi pada tahun 2013 dengan proporsi 66,03%
3. Penderita TB Paru di Puskesmas Pembina berdasarkan variabel wilayah
tahun 2013 yaitu terdapat pada luar wilayah dan pada tahun 2014-2015
terdapat pada kelurahan Silaberanti.
4. Penderita TB Paru di Puskesmas Pembina berdasarkan variabel waktu
tahun 2013-2015 yaitu terdapat pada tahun 2013 dengan jumlah 52 kasus.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, adapun saran yang dapat kami berikan,
yaitu sebagai berikut :
1. Petugas kesehatan memberikan penyuluhan dan informasi tentang
penyakit TBC Paru terutama pada kelompok umur 16-45 tahun. Karena
hampir separuhnya penderita terjadi pada kelompok usia produktif.
2.
46
Memberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama pada jenis kelamin laki-
laki, seperti menghindari kebiasaan merokok, minum-minuman beralkohol,
pergaulan bebas, khususnya mengenai cara pencegahan dan penanganan TB Paru
di wilayah binaan.