DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-5 Kavling 4-9 Jakarta 12950
Telepon (021) 5201590 (Hunting)
Dalam rangka kegiatan On Job Training Tatalaksana Diare Sesuai Standar yang akan
diselenggarakan oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, untuk itu kami
mohon kesediaan Saudara untuk menugaskan 1 orang pengelola program Penyakit ISP untuk dapat
menjadi peserta pada kegiatan dimaksud yang akan dilaksanakan pada:
Kami lampirkan kerangka acuan pelaksanaan dan jadwal pelaksanaan tentative. Untuk informasi
lebih lanjut dapat menghubungi sdri. Alya Ammarie, SKM (081295895448).
Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
Lampiran 1
Nomor : PM.01.01/C.III/1653/2023
Tanggal : 17 Februari 2023
DAFTAR UNDANGAN
Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
Lampiran 1:
A. LATAR BELAKANG
DIARE
Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut
WHO dan UNICEF, terjadi sekitar 2 milyar kasus diare di seluruh dunia setiap tahun, dan
sekitar 1,9 juta anak balita meninggal karena diare setiap tahun, sebagian besar terjadi di
negara berkembang. Dari semua kematian anak balita karena diare, 78% terjadi di wilayah
Afrika dan Asia Tenggara. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah
3,5%.
Pernyataan bersama WHO-UNICEF tahun 2004 merekomendasikan pemberian
oralit, tablet zinc, pemberian ASI dan makanan serta antibiotika selektif merupakan bagian
utama dari manajemen diare. Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi diare
untuk semua kelompok umur sebesar 8 % dan angka prevalensi untuk balita sebesar 12,3 %
dan pada bayi <1 tahun sebesar 10,6 %. Selain itu, setiap 1-2 kali per tahun, balita di
Indonesia menderita diare.
Hasil Kajian Masalah Kesehatan berdasarkan siklus kehidupan 2011 yang dilakukan
oleh Litbangkes tahun 2011 menunjukkan penyebab utama kematian bayi usia 29 hari
11 bulan adalah Pnemonia (23,3%) dan Diare (17,4%). Dan penyebab utama kematian anak
usia 1-4 tahun adalah Pneumonia (20,5%) dan Diare (13,3%).
Hasil Indonesia Sample Registration System tahun 2014 yang dilakukan oleh
Balitbangkes Kemenkes RI juga menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian
utama nomor tiga pada bayi dan nomor satu pada balita usia 1 – 4 tahun. Pada Sample
Registration System tahun 2016, diare merupakan penyebab kematian pada bayi 0 – 11
bulan, yaitu sebesar 7,1 %. Sementara pada Sample Registration System tahun 2018, diare
tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada bayi 0 - 11 bulan sebesar 5,5 %1.
Data terbaru dari hasil Survei Status Gizi Indonesia tahun 2020, prevalensi diare di berada
ada pada angka 9,8%.
Hasil rapid survei diare yang dilakukan oleh oleh Subdit Hepatitis dan Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan (PISP) menunjukkan bahwa angka kesakitan diare semua umur tahun
2015 adalah 270/1.000 penduduk semua umur dan angka kesakitan diare pada balita adalah
843/1.000 balita.
Diare sangat erat kaitannya dengan terjadinya kasus stunting. Kejadian diare berulang
pada bayi dan balita dapat menyebabkan stunting. Zat mikro dalam tubuh yang seharusnya
untuk pertumbuhan dan perkembang, habis untuk melawan infeksi berulang termasuk diare.
Kajian Analisis Determinan Faktor Penyebab Stunting di Indonesia2. Satu studi menunjukkan
adanya hubungan yang cukup kuat antara kejadian diare dalam 7 hari terakhir dengan
kejadian stunting terutama didaerah pedesaan.
Data dari Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, tingkat stunting di Indonesia
adalah 30,8%. Diare merupakan ancaman bagi kualitas hidup anak. Hasil integrasi SSGBI
DEMAM TIFOID
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang menjadi masalah Kesehatan dunia.
Demam tifoid terjadi baik di negara tropis maupun negara subtropis, terlebih pada negara
berkembang. Besarnya angka kejadian demam tifoid sulit ditentukan karena mempunyai
gejala dengan spektrum klinis yang luas3. Menurut data World Health Organization (WHO)
tahun 2003, terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian
mencapai 600.000 kasus4. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan 95%
adalah rawat jalan. Di Indonesia terdapat 900.000 kasus dengan angka kematian sekitar
20.000 kasus5. Menurut data Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007,
demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia untuk semua umur.
Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Menurut laporan WHO 2003, insidensi
demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun
dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun6.
Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7
per 100.000 penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–
1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2-4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan
51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah
pada kelompok usia 2-15 tahun7.
Tifoid ditemukan di masyarakat Indonesia, yang tinggal di kota maupun desa.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi
dan lingkungan yang kurang baik. Selain masalah diatas ada beberapa masalah lain yang
turut menambah besaran masalah penyakit tifoid di Indonesia diantaranya adalah angka
kemiskinan. Persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen. Jumlah
penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang. Persentase penduduk miskin di
daerah perkotaan sebesar 6,69 persen pada Maret 2019. Sementara persentase penduduk
miskin di daerah perdesaan sebesar 12,85 persen pada Maret 20198. Pada penduduk miskin
bila sakit tidak berobat ke sarana kesehatan, hal ini dikarenakan masalah biaya, sehingga
bila mereka menjadi penjamah makanan maka mereka akan menjadi sumber penularan
penyakit kepada masyarakat yang menjadi pembeli jajanan tersebut. Risiko penularan
melalui penjamah makanan yang kebersihannya buruk memperbanyak jumlah kasus tifoid.
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram negatif
berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia, dan bersifat patogen pada manusia
(Nurtjahjani, 2007). Data Riskesdas 2007 menunjukkan angka prevalensi tifoid yang di
3 Muliawan SY, Surjawidjaya JE. Diagnosis dini demam tifoid dengan menggunakan protein membran luar S. Typhi sebagai
antigen spesifik. CDK.1999;124:11-3.
4 Department of Vaccines and Biologicals. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
disease burden and implication for controls. Bulletin of the World Health Organization. 2008; 86(4):260-68.
7 World Health Organization. Bulletin of the World Health Organization 2008;86 (5):321–46.
8 BPS, 2019
diagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 0,79 %. Angka kesakitan tifoid di Indonesia yang
tercatat di buletin WHO 2008 sebesar 81,7 per 100.000 dibagi menurut golongan umur 0-1
thn (0,0/ 100.000), 2-4 thn (148,7/100.000), 5-15 tahun (180,3/ 100.000), >16 tahun 51,2 /
100.000/tahun. Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak pada usia 2-15 tahun. 20-
40 % kasus tifoid harus menjalani perawatan di rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan negara
karena sakit Tifoid diperkirakan mencapai 60.000.000 dolar Amerika per tahun.
Penyakit ini mudah berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang menjaga
kebersihan diri dan lingkungannya yaitu penularan secara langsung jika bakteri ini terdapat
pada feses, urine atau muntahan penderita dapat menularkan kepada orang lain dan secara
tidak langsung melalui makanan atau minuman (Djauzi, 2005; Easmon, 2005, Vollard 2007).
Penderita tifoid mempunyai potensi untuk menjadi carrier atau pembawa menahun.
Era sebelum antibiotika digunakan, diperkirakan sedikitnya 5% penderita tifoid menjadi
pembawa menahun. Antara 1 – 5% dari pasien yang mengalami infeksi akut akan menjadi
karier yang kronis. Hal ini tergantung pada umur, jenis kelamin dan perawatannya. Karier
kronis pada umumnya terjadi pada wanita dan penderita dengan usia di atas 50 tahun (Spicer,
2000; Mansjoer, 2001; WHO, 2003; Medicine Team, 2005)9.
Pada skrining karier tifoid pada penjamah makanan di DKI Jakarta tahun 2013, dari
105 penjamah makanan, 3 (2,9%) diantaranya merupakan karier. Dari 3 karier tersebut,
masing-masing 1 karier berasal dari Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.
Menurut jenis kelamin, 2 laki-laki, dan lainnya perempuan. Pada tahun 2015, skrining karier
tifoid di Sulawesi Selatan sebesar 13% (7/54), D.I. Yogyakarta 4,8% (10/207).
Pada saat terjadi bencana alam, yang menyebabkan terjadinya pengungsian
penduduk harus diwaspadai terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit tifoid karena
masalah kebersihan diri, sanitasi dan kebersihan lingkungan.
Selama ini terjadi over diagnosis tifoid yang berdampak tingginya penggunaan
antibiotika yang tidak tepat, hal ini memicu resistensi obat. Interpretasi hasil pemeriksaan
penunjang tifoid tidak mudah. Permasalahannya sebagai negara endemis kita masih memiliki
angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus belum optimal karena adanya
kendala pada penunjang diagnosis, adanya variasi gejala klinis, pemeriksaan penunjang
standar baku yang sulit dilaksanakan sampai ke lini terdepan. Salah satu faktor yang
memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, yang
mungkin disebabkan resistensi antibiotika (0,8%). Berdasarkan alasan di atas, maka penyakit
tifoid harus mendapat perhatian yang serius, dan terpadu dalam pengendaliannya di
masyarakat.
HEPATITIS A DAN E
Hepatitis Virus merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan memerlukan upaya penanggulangan melalui pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan agar kesakitan, kematian, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan
dapat ditekan serendah-rendahnya.
Besaran masalah Hepatitis A dan Hepatitis E tidak diketahui dengan pasti. Namun
mengingat kondisi sanitasi lingkungan, higiene dan sanitasi pangan, serta perilaku hidup
bersih dan sehat yang belum optimal, maka masyarakat Indonesia merupakan kelompok
berisiko untuk tertular Hepatitis A dan Hepatitis E. Laporan yang diterima oleh Kementerian
9Nadyah. Hubungan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Insidens Penyakit Demam Tifoid Di Kelurahan Samata Kecamatan
Somba Opu Kabupaten Gowa 2013. Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar. Volume VII No. 1/2014. Jurnal.Kesehatan.
Kesehatan menunjukkan bahwa setiap tahun selalu terjadi KLB Hepatitis A, sedangkan untuk
Hepatitis E jarang dilaporkan di Indonesia.
Laporan KLB Hepatitis A yang diterima oleh Kementerian Kesehatan pada tahun
2019, terjadi di beberapa wilayah Indonesia dengan jumlah kasus sebesar 3453 kasus yang
terjadi di 17 Kabupaten/Kota dari 9 Provinsi. Beberapa daerah juga mengalami KLB Hepatitis
A, tetapi tidak melaporkan ke Kementerian Kesehatan dengan berbagai macam
pertimbangan.
Hepatitis virus akut (AVH) adalah infeksi sistemik yang sebagian besar memengaruhi
hati. Ini paling sering disebabkan oleh virus yang bersifat hepatotropik (hepatitis A, B, C, D,
dan E). Infeksi virus lain juga dapat mempengaruhi hati, seperti cytomegalovirus (CMV),
herpes simplex, coxsackievirus, dan adenovirus. Sedangkan hepatitis A dan Eare sembuh
sendiri, infeksi hepatitis C dan pada tingkat yang lebih rendah hepatitis B biasanya menjadi
kronis.
B. TUJUAN
Tujuan Umum:
Terlaksananya kegiatan orientasi program penyakit infeksi saluran pencernaan bagi petugas
PISP Provinsi/Kab/Kota/Puskesmas serta lintas program terkait di Indonesia.
Tujuan Khusus:
Meningkatnya kemampuan petugas PISP Provinsi/Kab/Kota/Puskesmas serta lintas program
terkait tentang tatalaksana melalui manajemen kasus yang efektif dan manajemen program
PISP sehingga mampu untuk mendeteksi dan mengendalikan PISP sedini mungkin serta
memperkuat kapasitas tanggap darurat terhadap PISP.
C. METODE
Metode yang digunakan dalam pertemuan ini adalah:
1. Presentasi dan tanya jawab
2. Dilaksanakan secara hybrid.
3. Kegiatan berlangsung selama 4 (empat) hari.
E. NARASUMBER
Narasumber pada pertemuan ini adalah:
- UKK Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
- Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI)
- Perhimpunan Kedokteran Tropis dan Penyakit Infeksi Indonesia (PETRI)
- Perhimpunan Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia (PGHNAI)
- Dinas Kesehatan Kota Palembang
- Sub Timker PISP, Dit P2PM
F. PESERTA
1. Peserta daerah luring :
a. 1 orang Pengelola Program PISP Dinas Kesehatan Provinsi se Indonesia
b. 1 orang Pengelola Program PISP Dinas Kesehatan 5 Kab/Kota DI Yogyakarta
2. Peserta daerah daring :
a. Pengelola Program PISP Dinas Kesehatan Kab/Kota/Puskesmas se-Indonesia
b. Pengelola Program MTBS Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota/Puskesmas se-
Indonesia
c. Pengelola Program Surveilans Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota/Puskesmas se-
Indonesia
d. Perencana Program Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota/Puskesmas se Indonesia
3. Peserta Pusat luring:
a. Tim Kerja HPISP, Direktorat P2PM, Ditjen P2P
b. Tim Kerja Standarisasi Klinis, Dit PKR, Ditjen Yankes
c. Tim Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat, Direktorat Tata Kelola Kesehatan
Masyarakat, Ditjen Kesmas
d. WHO Indonesia (2 orang)
G. MODERATOR
1. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul
2. Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul
3. Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo
H. METODE :
1. Presentasi Narasumber
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Demonstrasi/video
I. OUTPUT :
Terlaksananya kegiatan On Job Training Tatalaksana Diare Sesuai Standar.
J. JADWAL KEGIATAN
Terlampir
K. PENDANAAN
Kegiatan ini didanai oleh APBN DIPA Setditjen P2P untuk Satker P2PM Tahun Anggaran
2023.
SURAT TUGAS
NOMOR ..........................................
Sehubungan dengan surat dari Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Kementerian Kesehatan RI nomor …………….. tanggal ...... Februari 2023, dengan ini kami
menugaskan kepada :
Nama :
NIP :
Gol/ Pangkat :
Jabatan :
Untuk :
1. Menghadiri Undangan Pertemuan On Job Training Tatalaksana Diare Sesuai Standar di
................ pada tanggal 7 – 10 Maret 2023.
2. Biaya yang dikeluarkan sebagai akibat Surat Tugas ini menjadi beban Anggaran DIPA
Setditjen P2P untuk Satker P2PM Tahun Anggaran 2023.
3. Tidak melakukan rekam absensi datang dan pulang.
Agar yang bersangkutan melaksanakan tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab
Nama Pejabat
NIP
Lampiran 6:
Nama :
NIP :
Pangkat/ Gol :
Jabatan :
1. Sehubungan dengan Surat Tugas Nomor ................................ serta Surat Perintah Dinas
Nomor .................................. maka saya telah melaksanakan Perjalanan Dinas tersebut.
2. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran seluruh penggunaan biaya
Perjalanan Dinas, maka sehubungan dengan hal tersebut saya menyatakan bahwa saya
tidak melakukan:
a. Pemalsuan dokumen
b. Tindakan berupa menaikkan dari harga sebenarnya (mark up)
c. Perjalanan Dinas rangkap (dua kali atau lebih)
d. Hal-hal lain yang berakibat kerugian daerah/ negara sehubungan dengan
pelaksanaan Perjalanan Dinas tersebut.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila di kemudian hari terbukti
pernyataan saya ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Perundang-
Undangan.
...........................................
NIP
- 103 -
jdih.kemenkeu.go.id
- 104 -
18. SATUAN BIAYA TIKET PESAWAT PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI PERGI PULANG (PP)
jdih.kemenkeu.go.id