KELOMPOK 1
Pembimbing:
DR. Kholis Ernawati, S. Si, M. Kes
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk diperhatikan, karena merupakan
penyakit akut dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada balita di berbagai negara
berkembang termasuk Indonesia. Infeksi saluran pernafasan atas merupakan penyakit
dengan banyak gejala yang bervariasi diawali dengan panas disertai salah satu atau
lebih gejala tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Tipe
virus serta usia, kondisi fisiologis, dan imunologi seseorang juga mempengaruhi
gejala-gejala yang muncul. ISPA dapat terjadi tanpa gejala, atau bahkan dapat
menyebabkan kematian, namun seringkali penyakit ini muncul sebagai penyakit akut
yang dapat sembuh dengan sendirinya (Konsensus, 2017).
Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian
bayi. Sebanyak 36,4% kematian bayi pada tahun 2008 (32,1%) pada tahun 2009
(18,2%) pada tahun 2010 dan38,8%pada tahun 2011 disebabkan karena ISPA. Selain
itu, ISPA sering berada pada daftar sepuluh penyakit terbanyak penderitanya di rumah
sakit. Survei mortalitas yang dilakukan Subdit ISPA tahun 2010 menempatkan ISPA
sebagai penyebab terbesar kematian bayi di Indonesia dengan persentase 22,30% dari
seluruh kematian balita (Dongky, 2016).
Banyak orang tua yang sering mengabaikan gejala tersebut, sementara kuman
dan virus dengan cepat berkembang di dalam saluran pernafasan yang akhirnya
menyebabkan infeksi. Jika telah terjadi infeksi maka anak akan mengalami kesulitan
bernafas dan bila tidak segera ditangani, penyakit ini bisa semakin parah menjadi
pneumonia yang menyebabkan kematian (IDAI, 2015). Pneumonia dikatakan sebagai
pembunuh utama balita di dunia, berdasarkan data WHO, dari 6,6 juta balita yang
meninggal di dunia , 1. 1 juta meninggal akibat pneumonia pada tahun 2012 dan 99%
kematian pneumonia anak terjadi di negara berkembang. Sementara di Indonesia, dari
hasil SDKI 2012 disebutkan bahwa angka kematian balita adalah sebesar 40 per 1000.
Sementara berdasarkan Riskesdas (2007), penyebab kematian bayi terbanyak diare
(31,4%) dan pnemonia (23,8%). Sedangkan penyebab terbanyak kematian anak balita
adalah diare (25,2%) dan pnemonia (15,5%) (Didjen PP dan PL 2015).
Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan,
faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran
udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah. Faktor
lingkungan yang dimaksud adalah perilaku merokok. Perilaku merokok anggota
keluarga akan berdampak kepada anggota keluarga lain khususnya balita, dimana balita
menyerap nikotin dua kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa (Basuki, 2016)
dan balita juga memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai
penyakit (Darmawan, 2016). Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan
lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku
berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan
balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan
oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Tiga Faktor lingkungan juga dapat
disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah seperti asap rokok, asap dari dapur
karena memasak dengan kayu bakar serta kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar
didalam rumah (Sofia, 2017)
Perilaku hidup bersih dan sehat penduduk merupakan salah satu upaya
mencegah terjadinya ISPA dengan memperhatikan rumah dan lingkungannya yang
sehat. Beberapa perilaku penduduk yang dapat menimbulkan terjadinya ISPA antara
lain meludah sembarangan, membakar sampah, kebiasaan merokok, kebiasaan
membuka jendela, dan kebiasaan tidur (Hardati, 2014).
Menurut data penelitian yang dilakukan sejak tahun 2008 ISPA merupakan
penyebab utama kematian pada anak yaitu sebanyak 36,4% (2008), 32,1% (2009)
18,2% (2010) dan 38,8% (2011), untuk mencegah dan menurunkan tingkat kejadian
ISPA pada anak dibutuhkan pengetahuan pada keluarga tentang pentingnya faktor
lingkungan, faktor individu, dan faktor perilaku. Dengan demikian tujuan penelitian ini
adalah mengetahui hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA di desa
Kresek.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dan desain penelitiannya
berupa cross-sectional. Data yang diambil merupakan data primer yang dikumpulkan
sendiri dengan teknik wawancara terpimpin menggunakan kuesioner mengenai faktor
lingkungan rumah dengan skala ukurnya adalah ordinal, yaitu rumah sehat dan rumah
tidak sehat. Kuesioner perilaku dengan skala ukur penelitian adalah ordinal yaitu baik,
dan kurang baik..
Selanjutnya dianalisa secara bivariat dengan SPSS versi 23. Lokasi penelitian
dilakukan di Desa Kresek RT 06/ RW 01, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang,
Provisi Banten pada tanggal 2 – 24 Mei 2019.
Populasi dalam penelitian adalah seluruh kepala keluarga dari setiap keluarga binaan
di desa Kresek. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total
sampling dengan jumlah responden sebanyak 23 orang.
Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah Faktor Lingkungan Rumah,
Perilaku Keluarga, Kejadian ISPA.
DAFTAR PUSTAKA