Anda di halaman 1dari 23

Konstipasi

Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi defekasi,
sensasi tidak puas atau tidak lampiasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra
mengejan atau feses yang keras. Proses defekasi dapat terjadi kurang dari 3 kali seminggu atau
lebih dari 3 hari tidak defekasi. Penderita konstipasi biasanya juga perlu mengejan secara
berlebihan sewaktu defekasi.
Konstipasi juga berarti pelannya pergerakan tinja melalui kolon. Kondisi ini sering berhubungan
dengan sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon desendens yang menumpuk
karena penyerapan cairan berlangsung lama.
Jenis konstipasi terdiri dari: konstipasi kolonik, konstipasi dirasakan/ persepsi (perceived
constipation), dan konstipasi idiopatik. Defekasi yang tidak teratur yang abnormal, dan juga
pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri
disebut sebagai konstipasi kolonik. Konstipasi persepsi adalah masalah subjektif yang terjadi
bila pola eliminasi usus seseorang tidak konsisten dengan apa yang dirasakan orang tersebut
sebagai normal. Konstipasi idiopatik terjadi apabila tidak didapatkan penyakit organik yang
menimbulkan konstipasi.
Hasil konsensus nasional penatalaksanaan konstipasi di Indonesia tahun 2006 membagi
konstipasi menjadi konstipasi primer dan konstipasi sekunder. Konstipasi primer terdiri dari
konstipasi dengan transit normal (konstipasi fungsional), konstipasi dengan transit lambat, dan
disfungsi anorektal. Konstipasi sekunder merupakan konstipasi yang disebabkan oleh penyakit
lain, yaitu: penyakit endokrin dan metabolik, kondisi psikologis, kondisi miopatik, abnormalitas
struktural, penyakit neurologis, kehamilan dan penyalahgunaan laksansia.

Penyebab:
a. Gangguan fungsi yang meliputi: kelemahan otot abdomen, pengingkaran
kebiasaan/ mengabaikan keinginan untuk defekasi, ketidakadekuatan defekasi
(misalnya: tanpa waktu, posisi saat defekasi, dan privasi), kurangnya aktivitas
fisik, kebiasaan defekasi tidak teratur, dan perubahan lingkungan yang baru
terjadi
b. Psikologis/ psikogenik yang meliputi: depresi, stres emosional, dan konfusi
mental.
c. Farmakologis: penggunaan antasida (kalsium dan aluminium), antidepresan,
antikolinergik, antipsikotik, antihipertensi, barium sulfat, suplemen zat besi, dan
penyalahgunaan laksatif.
d. Mekanis: Ketidakseimbangan elektrolit, hemoroid, megakolon (penyakit
Hirschprung), gangguan neurologis, obesitas, obstruksi pascaoperasi, kehamilan,
pembesaran prostat, abses rektal atau ulkus, fisura anal rektal, striktur anal rektal,
prolaps rektal, rektokel, dan tumor
e. Fisiologis: perubahan pola makan dan makanan yang biasa dikonsumsi,
penurunan motilitas saluran gastrointestinal, dehidrasi, insufisiensi asupan serat,
insufisiensi asupan cairan, pola makan buruk.
Penanganan:
Penanganan konstipasi berikut ini akan dijelaskan berdasarkan 4 bentuk intervensi
keperawatan tersebut:
Observasi keperawatan terhadap konstipasi meliputi: waktu defekasi terakhir; pola
defekasi termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, volume dan warna feses; bising
usus; tanda dan gejala konstipasi dan impaksi; adanya inkontinensia fekal; masalah
defekasi yang muncul sebelumnya; pola defekasi rutin; penggunaan laksatif; bentuk
pengobatan yang menimbulkan efek samping gastrointestinal.
Program latihan defekasi; peningkatan masukan cairan (2500-3000 ml/ hari); terapi
nutrisi (masukan serat 20- 30 g/ hari); impaksi fekal secara manual jika diperlukan;
enema atau irigasi sesuai keperluan; terapi komplementer (akupresur, terapi herbal,
refleksologi); manajemen stres; program latihan rutin untuk memperkuat otot
abdomen

Tukak Lambung
Tukak peptik merupakan penyakit akibat gangguan pada saluran gastrointestinal atas yang
disebabkan sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung.

Penyebab:

Helicobacter pylori diketahui sebagai penyebab utama tukak lambung, selain NSAID dan
penyebab yang jarang adalah Syndrome Zollinger Ellison dan penyakit Chron disease.
Bakteri tersebut terdapat di mukosa lambung dan juga banyak ditemukan pada permukaan
epitel di antrum lambung.

Pengobatan:
Pengobatan tukak peptik ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,
menghilangkan keluhan, menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan dan komplikasi.
Pilihan pengobatan yang paling tepat untuk penyakit tukak peptik tergantung pada
penyebabnya. Terapi kombinasi obat diperlukan untuk penyakit tukak peptik. Kombinasi
dua jenis antibiotik dengan PPI (Proton Pump Inhibitor) atau bismuth digunakan untuk
terapi eradikasi H. pylory, sedangkan kombinasi H2 reseptor antagonis, PPI atau sukralfat
dapat digunakan untuk terapi yang disebabkan NSAID. Penggunaan obat yang tidak
rasional masih sering dijumpai di pusat-pusat kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.
Ketidaktepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis dapat menyebabkan kegagalan terapi. Gaya
hidup yang kurang sehat seperti merokok, konsumsi makanan dan minuman cepat saji serta
minuman beralkohol dapat meningkatkan terjadinya angka kekambuhan dan komplikasi
perdarahan pada saluran cerna, kanker bahkan kematian.

Terapi pengobatan penyakit tukak peptik bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, menghilangkan keluhan, menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan dan
komplikasi (Berardi & Welage, 2008). Pilihan pengobatan yang paling tepat untuk penyakit
tukak peptik tergantung pada penyebabnya. Terapi yang paling efektif umumnya untuk
mengobati atau menghilangkan penyebab yang mendasari terjadinya tukak. Secara umum,
penatalaksanaan terapi pada tukak peptik adalah sebagai berikut:

a. Non Farmakologi
1) Menghentikan konsumsi minuman beralkohol, rokok dan penggunaan
NSAID.
2) Beristirahat yang cukup, dan menghindari stress.
3) Menghindari makanan dan minuman yang memicu sekresi asam lambung
yang berlebih, seperti cabai, teh, kopi, dan alkohol.

b. Farmakologi
1) Antasida
Antasida meningkatkan pH lumen lambung, sehingga dapat
menetralkan asam lambung serta meningkatkan kecepatan pengosongan
lambung. Antasida yang mengandung magnesium, tidak larut dalam air
dan bekerja cukup cepat. Magnesium mempunyai efek laksatif dan bisa
menyebabkan diare, sedangkan preparat antasida yang mengandung
aluminium, bekerja relatif lambat dan menyebabkan konstipasi. Kombinasi
antara magnesium dan aluminium dapat digunakan untuk meminimalkan
efek pada motilitas .
2) PPI (Pump Proton Inhibitor)
Inhibitor pompa proton (PPI) adalah penekan sekresi lambung yang
paling potensial. Contohnya seperti omeprazole, esomeprazole,
lansoprazole, rabeprazole dan pantoprazole Obat-obat golongan PPI dapat
menghambat sekresi asam lambung dengan cara memblok H + / K +
ATPase (Adenosine Triphosphatase) yang terdapat di sel parietal lambung.
Obat-obat tersebut dapat digunakan untuk terapi eradikasi H. pylori yang
dikombinasikan dengan
antibiotik. Selain itu juga dapat digunakan untuk terapi tukak peptik yang
disebabkan NSAID (BNF 58, 2009).
Penggunaan pantoprazole intravena setelah terapi endoskopi pada
perdarahan tukak peptik dapat menurunkan angka kejadian perdarahan ulang,
tindakan operasi, dan mengurangi lama waktu rawat inap di rumah sakit
(Wang et al., 2009).
3) Antagonis reseptor H2 histamin
Obat-obat golongan ini memblok kerja histamin pada sel parietal dan
mengurangi sekresi asam, sekaligus mengurangi nyeri akibat ulkus peptikum
dan meningkatkan kecepatan penyembuhan tukak. Contoh obat-obatnya
seperti simetidin dan ranitidin (Neal, 2007).
4) Sukralfat
Sukralfat merupakan agen pelindung mukosa yang melindungi ulkus
epitel dari zat ulcerogenic, seperti asam lambung, pepsin dan empedu. Hal ini
juga secara langsung mengadsorbsi empedu dan pepsin (Truter, 2009).
Sulkrafat mengalami polimerisasi pada pH < 4 untuk menghasilkan gel yang
sangat lengket dan melekat kuat pada dasar ulkus (Neal, 2007).
5) Analog Prostaglandin
Misoprostol merupakan golongan analog prostaglandin yang memiliki
mekanisme kerja menjaga mukosa lambung dengan cara menghambat sekresi
asam lambung (Avunduk, 2008). Penggunaan misoprostol tidak
direkomendasikan untuk anak-anak dan dikontraindikasikan terhadap wanita
hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot uterus yang dapat
menyebabkan keguguran (Lacy et al., 2010).
6) Bismuth subsitrat
Bismuth subsitrat dapat melindungi ulkus dari asam lambung, pepsin
dan empedu dengan membentuk lapisan di dasar ulkus. Obat ini lebih efektif
dibandingkan dengan antagonis reseptor H2 histamin dan agen penyembuhan
tukak lainnya (Truter, 2009).
Low Back Pain

Nyeri punggung bawah atau LBP adalah nyeri yang terbatas pada regio lumbal,

tetapi gejalanya lebih merata dan tidak hanya terbatas pada satu radiks saraf, namun secara

luas berasal dari diskus intervertebralis lumbal.

Nyeri punggung bawah (low back pain) adalah nyeri di daerah punggung bawah,

yang mungkin disebabkan oleh masalah saraf, iritasi otot atau lesi tulang. Nyeri punggung

bawah dapat mengikuti cedera atau trauma punggung, tapi rasa sakit juga dapat

disebabkan oleh kondisi degeneratif seperti penyakit artritis, osteoporosis atau penyakit

tulang lainnya, infeksi virus, iritasi pada sendi dan cakram sendi, atau kelainan bawaan

pada tulang belakang. Obesitas, merokok, berat badan saat hamil, stres, kondisi fisik yang

buruk, postur yang tidak sesuai untuk kegiatan yang dilakukan, dan posisi tidur yang

buruk juga dapat menyebabkan nyeri punggung bawah.

Gejala penyakit punggung yang sering dirasakan adalah nyeri, kaku, deformitas,

dan nyeri serta paraestesia atau rasa lemah pada tungkai. Gejala serangan pertama sangat

penting. Dari awal kejadian serangan perlu diperhatikan, yaitu apakah serangannya

dimulai dengan tiba – tiba, mungkin setelah menggeliat, atau secara berangsur – angsur

tanpa kejadian apapun. Dan yang diperhatikan pula gejala yang ditimbulkan menetap atau

kadang – kadang berkurang. Selain itu juga perlu memperhatikan sikap tubuh, dan gejala

yang penting pula yaitu apakah adanya sekret uretra, retensi urine, dan inkontinensia

Penyebab:

Etiologi nyeri punggung bermacam – macam, yang paling banyak adalah penyebab

sistem neuromuskuloskeletal. Disamping itu LBP dapat merupakan nyeri rujukan dari

gangguan sistem gastrointestinal, sistem genitorinaria atau sistem kardiovaskuler. Proses


infeksi, neoplasma dan inflasi daerah panggul dapat juga menimbulkan LBP. Penyebab

sistem neuromuskuloskeletal dapat diakibatkan beberapa faktor, ialah (a) otot, (b) discus

intervertebralis, (c) sendi apofiseal, anterior, sakroiliaka, (d) kompresi saraf / radiks, (e)

metabolik, (f) psikogenik, (g) umur

Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelaianan yang terjadi pada tulang

belakang, otot, discus intervertebralis, sendi, maupun struktur lain yang menyokong

tulang belakang. Kelainan tersebut antara lain: (1) kelainan kongenital / kelainan

perkembangan, seperti spondylosis dan spondilolistesis, kiposcoliosis, spina bifida,

ganggguan korda spinalis, (2) trauma minor, seperti regangan, cedera whiplash, (3)

fraktur, seperti traumatik misalnya jatuh, atraumatik misalnya osteoporosis, infiltrasi

neoplastik, steroid eksogen, (4) hernia discus intervertebralis, (5) degeneratif kompleks

diskus misalnya osteofit, gangguan discus internal, stenosis spinalis dengan klaudikasio

neurogenik, gangguan sendi vertebra, gangguan sendi atlantoaksial misalnya arthritis

reumatoid, (6) arthritis spondylosis, seperti artropati facet atau sacroiliaka, autoimun

misalnya ankylosing spondilitis, sindrom reiter, (7) neoplasma, seperti metastasisi,

hematologic, tumor tulang primer, (8) infeksi / inflamasi, seperti osteomyelitis vertebral,

abses epidural, sepsis discus, meningitis, arachnoiditis lumbal. (9) metabolik osteoporosis

– hiperparatiroid, (10) vaskuler aneurisma aorta abdominalis, diseksi arteri vertebral,

lainnya, seperti nyeri alih dari gangguan visceral, sikap tubuh, psikiatrik, sindrom nyeri

kronik.
Pengobatan:

Pada kondisi nyeri punggung bawah karena spondilosis dan scoliosis, modalitas

fisioterapi yang dipergunakan adalah Micro Wave Diathermy (MWD), Trancutaneus

Electrical Nerve Stimulation (TENS) dan Core Stability Exercise.

1. Micro Wave Diathermy (MWD)

Micro Wave Diathermy adalah salah satu terapi heating yang mengunakan stressor

fisis berupa energi elektronik yang dihasilkan oleh arus bolak balik frekuensi 2450 MHz

dengan panjang gelombang 12,25 cm.

Efek hangat yang dihasilkan oleh energi listrik oleh arus bolak balik tersebut

meningkatkan suhu lokal dan menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah. Dengan adanya

vasodilatasi pembuluh darah maka akan terjadi beberapa mekanisme dalam tubuh seperti

peningkatan konsentrasi peningkatan aliran darah ke otot. Dengan adanya peningkatan

konsentrasi aliran darah ke otot maka suplai oksigen dan nutrisi akan semakin banyak dan

akan memperbaiki metabolisme jaringan sekitar yang diberikan terapi menggunakan

MWD.

Menurut Sujanto (2007), dalam penggunaan MWD terdapat efek fisiologis dan

efek terapeutik. Dimana efek fisiologis tersebut mencakup perubahan pada temperatur,

jaringan ikat, jarinagan otot, jaringan saraf. Sedangkan efek terapeutik lebih ke arah

jaringan lunak, kontraktur jaringan dan gangguan konduktivitas. Efek panas yang

dihasilkan oleh MWD selain dapat mengurangi nyeri, MWD juga dapat memberikan

rileksasi pada otot sehingga dapat mengurangi spasme otot, karena sirkulasi darah serta

pasokan O2 pada daerah nyeri tersebut menjadi lancar. Setelah berkurangnya spasme otot

ini maka akan lebih mudah untuk melakukan gerakan – gerakan pada terapi latihan yang
akan dilakukan.

2. TENS (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation)

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah perangsangan saraf

secara elektris melalui kulit. Dua pasang elektroda yang berperekat dipasang pada

punggung, dikedua sisi dari tulang punggung. Elektroda ini dihubungkan dengan sebuah

kotak kecil yang mempunyai tombol-tombol putar dan tekan. Tombol putar

mengendalikan kekuatan dan frekuensi denyut listrik yang dihasilkan oleh mesin. Denyut

ini menghambat pesan nyeri yang dikirim ke otak dari rahim dan leher rahim serta

merangsang tubuh mengeluarkan bahan pereda nyeri alaminya, yaitu endorfin. Penelitian

menunjukkan bahwa TENS paling efektif meredakan nyeri .

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah penerapan arus listrik

melalui kulit untuk kontrol rasa sakit, dihubungkan dengan kulit menggunakan dua atau

lebih elektroda, diterapkan pada frekuensi tinggi (>50Hz) atau frekuensi rendah (<10Hz)

dengan intensitas yang menghasilkan sensasi getar.

Tipe TENS terbagi menjadi 3, yaitu TENS konvensional, Intens TENS, dan

Acupuntur Like TENS (Slamet, 2008). Dari tipe TENS yang beragam, maka terdapat

indikasi dan kontra indikasi dari penggunaan alat tersebut. Indikasi dari penggunaan TENS

antara lain:

(a) pada kondisi akut: nyeri pasca operasi, nyeri sewaktu melahirkan, nyeri haid

(dysmenorrhea), nyeri musculosceletal, dan nyeri akibat patah tulang, (b) nyeri yang

berhubungan dengan penanganan kasus gigi, (c) pada kondisi kronik: nyeri punggung

bawah, arthritis, nyeri punting dan nyeri phantom, neuralgia pasca herpetic, neuralgia

trigeminal, (d) injuri saraf tepi, (e) angina pectoris, (f) nyeri fascial,
(g) nyeri tulang akibat metastase. Sedangkan untuk kontraindikasi dari penggunaan TENS

antara lain: (a) penyakit vaskuler, (b) adanya kecenderungan perdarahan, (c) keganasan

pada area yang diterapi, (d) pasien beralat pacu jantung, (e) kehamilan, apabila terapi

diberikan pada area pungggung dan abdomen, (f) luka terbuka yang sangat lebar, (g)

kondisi infeksi, (h) pasien yang mengalami gangguan hambatan komunikasi, (i) kondisi

dermatologi.

Mekanisme kerja TENS adalah dengan pengaturan neuromodulasi seperti

penghambatan pre sinaps pada medula spinalis, pelepasan endorfin yang merupakan

analgesik alami dalam tubuh dan penghambat langsung pada saraf yang terserang secara

abnormal.

Dismenore

Dismenore merupakan adanya gangguan fisik pada wanita yang mengalami


menstruasi, yang dikarakteristikan dengan adanya nyeri pada saat menstruasi, dan nyeri
tersebut bisa terjadi sebelum atau selama menstruasi dalam waktu yang singkat. ada dua
tipe-tipe dari dysmenorrhea, yaitu:

a. Primary dysmenorrhea, adalah nyeri haid yang dijumpai pada alat- alat
genital yang nyata. Dismenore primer terjadi beberapa waktu setelah
menarche. Dismenore primer adalah suatu kondisi yang dihubungkan
dengan siklus ovulasi
b. Secondary dysmenorrhea, adalah nyeri saat menstruasi yang disebabkan
oleh kelainan ginekologi atau kandungan. Pada umumnya terjadi pada
wanita yang berusia lebih dari 25 tahun. Dismenore sekunder adalah
nyeri menstruasi yang berkembang dari dismenore primer yang terjadi
sesudah usia 25 tahun dan penyebabnya karena kelainan pelvis
Penyebab:

Faktor penyebab dismenore, yaitu:

a. Faktor Psikis
Pada gadis-gadis yang emosional, apabila tidak mendapatkan
pengetahuan yang jelas maka mudah terjadi dismenore.
b. Faktor konstitusional
Faktor ini erat hubungannya dengan faktor psikis. Faktor-faktor seperti
anemia, penyakit menahun dan sebagainya mempengaruhi timbulnya
dismenore.
c. Faktor obstruksi kanalis servikalis
Salah satu faktor yang paling tua untuk menerangkan terjadinya
dismenore adalah stenosus kanalis servikalis. Pada wanita uterus
hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosus kanalis servikalis, akan
tetapi hal tersebut tidak anggap sebagai faktor yang penting sebagai
penyebab terjadinya dismenore.
d. Faktor endokrin
Pada umumnya ada anggapan bahwa kejang yang terjadi pada
dismenore primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan.
Faktor ini mempunyai hubungan dengan tonus dan kontraktilitas otot
uterus.

Pengobatan:

Pengobatan seperti Pengobatan herbal, Penggunaan suplemen, Perawatan medis,


Relaksasi, Hipnoterapi. Menurut Reeder (2013) penatalaksanaan pada disminore yaitu:

a. Dismenorea primer
Penatalaksanaan medis pada dismenorea primer terdiri atas pemberian
kontrasepsi oral dan NSAIDs. Pada kontrasepsi oral bekerja dengan
mengurangi volume darah menstruasi dengan menekan endometrium
dan ovulasi, sehingga kadar protaglandin menjadi rendah. Golongan
obat NSAID yang diberikan pada pasien dismenorea primer yaitu
ibuprofen, naproksen dan asam mefenamat. Medikasi diberikan setelah
nyeri dirasakan, dan dilanjutkan selama 2 sampai 3 hari pertama pada
saat menstruasi.
b. Dismenorea sekunder
Penatalaksanaan atau terapi fisik untuk dismenorea sekunder bergantung
dengan penyebabnya. Pemberian terapi NSAIDs, karena nyeri yang
disebabkan oleh peningkatan protaglandin. Antibiotik dapat diberikan
ketika ada infeksi dan pembedahan dapat dilakukan jika terdapat
abnormalitas anatomi dan struktural.

Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut
usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg.

Penyebab:

Hipertensi essensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang

jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor

genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan

terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-

lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress

emosi, obesitas dan lain-lain.

Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya hidup

tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien

hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada berbagai populasi
menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 %

untuk terkena hipertensi primer .

Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit komorbid

atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus,

disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab

sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah.

Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa

penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat.

Pengobatan:

1. Pengendalian faktor risiko

Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling berpengaruh terhadap

terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha

sebagai berikut :

a. Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada

obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-

orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sesorang yang badannya

normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki


berat badan lebih (overweight). Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan

dengan menurunkan berat badan. Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang

yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan hiperkolestrol

mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi.

b. Mengurangi asupan garam didalam tubuh

Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita.

Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai

dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak.

c. Ciptakan keadaan rileks

Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol

sistem saraf yang akan menurunkan tekanan darah .

d. Melakukan olahraga teratur

Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak

3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan

memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah

(Depkes, 2006b).

e. Berhenti merokok

Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat

memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon

monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat

merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses


arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat

meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot

jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan

risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri. Tidak ada cara yang benar-benar

efektif untuk memberhentikan kebiasaan merokok.

Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan

kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan

terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa

kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan

selama beberapa bulan perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung

pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa prinsip

pemberian obat antihipertensi sebagai berikut :

1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.

2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah

dengan harapan memperpanjang umur dan mengurang timbulnya komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat

antihipertensi.

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan

seumur hidup.

Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk

pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker),
penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE- inhibitor), penghambat reseptor angiotensin

(Angiotensin Receptor Blocker, ARB) dan antagonis kalsium.

Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak dimasukkan dalam

kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya termasuk lini pertama.

Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu: penghambat

saraf adrenergik, agonis α-2 sentral dan vasodilator

Asma

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh reaksi

hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils, dan T-lymphocytes terhadap stimulus

tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea, whizzing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang

bersifat reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner and suddarth, 2011). Penyakit

asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan

elemennya.

Penyebab:

Ada beberapa hal yang merupakan faktor presdiposisi dan presipitasi

timbulnya serangan asma yaitu :

a. Faktor presdiposisi

Berupa genetik dimana yang diturunkan adalah bakat

alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunanya

yang jelas. Penderita denganpenyakit alergi biasanya mempunyai

keluarga dekat juga yang menderita menyakit alergi. Karena adanya

bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika
terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitifitas saluran

pernafasan juga bisa di turunkan.

b. Faktor presipitasi

1) Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:


a) Inhalan yaitu yang masuk melalui salura pernafasan

misalnya debu, bulu binantang, serbuk bunga, spora jamur,

bakteri dan polusi.

b) Ingestan yaitu yang masuk melalui mulut misalnya makanan

dan obat obatan.

c) Kontaktan yaitu yang masuk melalui kontak denga kulit

misalnya perhiasan, logam dan jam tangan.

2) Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa penggunungan yang dingin

sering mempengaruhi asma. Atsmosfir yang mendadk dingin

merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang

kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim

hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan

dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

3) Stress

Stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan

asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang

sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera

diobati penderita asma yang alami stress perlu diberi nasehat


untuk menyelesaiakan masalah pribadinya. Karena juka

stresnya belum diatasi maka gejala asma belum bisa diobati.

4) Lingkungan Kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab

terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia

bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan,

industri tekstil, pabrik asbes atau polisi lalul intas. Gejala ini

membaik pada waktu libur atau cuti.

5) Olah raga atau aktivitas yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan

asma jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat.

Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan

asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai

aktifitas tersebut.

Menurut NANDA (2013) etiologi asma adalah dari :

a) Lingkungan, yaitu berupa aspa dan rokok

b) Jalan napas, yaitu berupa spasme inhalasi asap,

perokok,pasif, sekresi yang tertahan, dan sekresi di bronkus.

c) Fisiologi, yaitu berupa inhalasi dan penyakit paru obstruksi

kronik.

Pengobatan:

a. Pengendalian asma

Manajemen pengendalian asma terdiri dari 6 (enam) tahapan


yaitu sebagai berikut:

1) Pengetahuan

Memberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang

keadaan penyakitnya dan mekanisme pengobatan yang akan

dijalaninya kedepan .

2) Monitor

Memonitor asma secara teratur kepada tim medis yang

menangani penyakit asma. Memonitor perkembangan gejala, hal-

hal apa saja yang mungkin terjadi terhadap penderita asma

dengan kondisi gejala yang dialaminya beserta memonitor

perkembangan fungsi paru .

3) Menghindari Faktor Resiko

Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam

mengurangi gejala asma adalah menhindari faktor pencetus yang

dapat meningkatkan gejala asma. Faktor resiko ini dapat berupa

makanan, obat-obatan, polusi, dan sebagainya .

b. Pengobatan Medis Jangka Panjang

Pengobatan jangka panjang terhadap penderita asma,

dilakukan berdasarkan tingkat keparahan terhadap gejala asma

tersebut. Pada penderita asma intermitten, tidak ada pengobatan

jangka panjang. Pada penderita asma mild intermitten, menggunakan

pilihan obat glukokortikosteroid inhalasi dan didukung oleh

Teofilin, kromones, atau leukotrien. Dan untuk asma moderate


persisten, menggunakan pilihan obat β-agonist inhalsi

dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline atau

leukotrien. Untuk asma severe persisten, β2- agonist inhalasi

dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan

leukotrien atau menggunakan obat β2 agonist oral.

Infertilitas
Infertilitas adalah ketidakmampuan sepasang suami istri untuk memiliki keturunan
dimana wanita belum mengalami kehamilan setelah bersenggama secara teratur 2-3 x /
minggu, tanpa memakai metode pencegahan selama 12 bulan.

Pasangan suami-istri dianggap fertil untuk bisa memiliki anak apabila suami
memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu menghasilkan dan
menyalurkan sel kelamin pria (spermatozoa) ke dalam organ reproduksi istri dan istri
memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu menghasilkan sel
kelamin wanita (sel telur atau ovum) yang dapat dibuahi oleh spermatozoa dan memiliki
rahim yang dapat menjadi tempat perkembangan janin, embrio, hingga bayi berusia cukup
bulan dan dilahirkan. Dua faktor yang telah disebutkan tersebut apabila tidak dimiliki oleh
pasangan suami-istri, pasangan tersebut tidak akan mampu memiliki anak atau infertil.

Penyebab:

Penyebab infertilitas pada wanita sebagai berikut :


1. Hormonal
Gangguan glandula pituitaria, thyroidea, adrenalis atau ovarium yang
menyebabkan kegagalan ovulasi, kegagalan endometrium uterus untuk berproliferasi
sekresi, sekresi vagina dan cervix yang tidak menguntungkan bagi sperma, kegagalan
gerakan (motilitas) tuba falopii yang menghalangi spermatozoa mencapai uterus.

2. Obstruksi

Tuba falopii yang tersumbat bertanggung jawab sepertiga dari penyebab


infertilitas. Sumbatan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, penyakit
radang pelvis yang umum, contohnya apendisitis dan peritonitis, dan infeksi tractus
genitalis, contohnya gonore.
a. Faktor lokal
Faktor-faktor lokal yang menyebabkan infertil pada wanita adalah fibroid uterus
yang menghambat implantasi ovum, erosi cervix yang mempengaruhi pH sekresi
sehingga merusak sperma, kelainan kongenital vagina, cervix atau uterus yang
menghalangi pertemuan sperma dan ovum, mioma uteri oleh karena menyebabkan
tekanan pada tuba, distrorsi, atau elongasi kavum uteri, iritasi miometrium, atau torsi
oleh mioma yang bertangkai.

Penyebab infertilitas pada pria adalah sebagai berikut

1. Gangguan Spermatogenesis
Analisis sperma dapat mengungkapkan jumlah spermatozoa normal atau tidak.
Pengambilan spesimen segar dengan cara masturbasi di laboratorium. Standar untuk
spesimen semen normal telah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia .

2. Ketidak mampuan koitus atau ejakulasi

Faktor-faktor fisik yang menyebabkan ketidak mampuan koitus dan ejakulasi,


misalnya hipospadia, epispadia, deviasi penis seperti priapismus atau penyakit
peyronie.Faktor-faktor psikologis yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mencapai
atau mempertahankan ereksi dan kebiasaan pria alkoholisme kronik.

3. Faktor Sederhana

Faktor sederhana seperti memakai celana jeans ketat, mandi dengan air terlalu
panas, atau berganti lingkungan ke iklim tropis dapat menyebabkan keadaan luar panas
yang tidak menguntungkan untuk produksi sperma sehat.

Pengobatan:

Penanganan infertilitas pada prinsipnya didasarkan atas 2 hal yaitu Mengatasi


faktor penyebab / etiologi dan meningkatkan peluang untuk hamil.
a. Gangguan Ovulasi
Tindakan untuk mengatasi faktor penyebab infertilitas salah satunya adalah dengan
melakukan induksi ovulasi (pada kasus anovulasi), reanastomosis tuba (oklusi tuba fallopii) dan
pemberian obat-obatan secara terbatas pada kasus faktor sperma.
Apabila induksi ovulasi tidak berhasil, metoda dikembangkan untuk meningkatkan
peluang satu pasangan mendapatkan kehamilan, seperti stimulasi ovarium, inseminasi dan
fertilisasi in vitro.
Kasus terbanyak gangguan ovulasi pada perempuan usia reproduksi adalah sindrom
ovarium polikistik.
Lini pertama induksi ovulasi: klomifen sitrat (KS): pemberian KS sebanyak 3 siklus
(dosis maksimal 150 mg/hari) terjadi ovulasi selama 3-6 siklus, tetapi tidak terjadi kehamilan.
Lini kedua: gonadotropin atau laparoskopi ovarian drilling (LOD). Lini ketiga: fertilisasi in vitro.

b. Faktor sperma
Karakteristik sperma tidak terkait langsung dengan laju kehamilan, tidak terdapat bukti
cukup kuat bahwa pengobatan varikokel memberikan hasil yang baik terhadap terjadinya
kehamilan. Pemberian vitamin, anti oksidan dan carnitine tidak memiliki bukti cukup kuat
terhadap kualitas sperma.

c. Endometriosis
Bila dijumpai endometriosis derajat minimal dan ringan pada laparoskopi diagnostik,
tindakan dilanjutkan dengan laparoskopi operatif. Endometriosis derajat sedang-berat
merupakan indikasi fertilisasi in vitro.

d. Faktor tuba, oklusi tuba


Tindakan laparoskopi dianjurkan bila dijumpai hasil pemeriksaan HSG abnormal.
Fertilisasi in vitro memberikan luaran yang lebih baik dalam hal kehamilan dibandingkan bedah
rekonstruksi tuba pada kasus oklusi tuba bilateral. Faktor idiopatik infertilitas ditegakkan atas
3 pemeriksaan dasar infertilitas yang memberikan hasil normal, yaitu deteksi ovulasi, patensi
tuba fallopii dan analisis sperma. Penanganan pasangan infertilitas idiopatik dapat dilakukan
inseminasi intra uterin (IIU) sebanyak 4-6 x. Stimulasi ovarium dalam IIU terutama dilakukan
pada kasus endometriosis dan infertilitas idiopatik.

e. Fertilisasi in vitro (FIV)


Tindakan fertilisasi in vitro terutama dilakukan atas indikasi : Faktor sperma yang berat
dan tidak dapat dikoreksi, oklusi tuba bilateral, endometriosis derajat sedang ‐ berat, infertilitas
idiopatik yang telah menjalani IIU 4-6 x dan belum berhasil hamil, gangguan ovulasi yang tidak
berhasil dengan induksi ovulasi lini pertama dan lini kedua.

Anda mungkin juga menyukai