Anda di halaman 1dari 15

KEJADIAN LUAR BIASA

PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

Kelompok 1 :

1. Maria Virgina Fallo

2. Samuel Umbu Kabula

3. Elti Yolitma Masus

4. Naddya A. M. Henuck

5. Endang M. Umbu Sasa

6. Arjuna A. Syahputra

7. Mariyanti N. Adu

8. Dahniar S. Djaba

9. Maria Y. I. Wokan

10. Maria E. Bere

11. Ninda A. L. Ully

12. Johan Oma Putra

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2021
LATAR BELAKANG
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit endemik di seluruh
wilayah tropis dan sebagian wilayah subtropis. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti tersebut menjadi momok yang menakutkan karena penularannya dapat berlangsung
cepat dalam suatu wilayah. Bahkan dalam satu bulan, jumlah kasus DBD pada wilayah
endemik bisa sampai puluhan manusia yang terinfeksi virus dengue.
Kementerian Kesehatan Republik Indoneisa mencatat pada tahun 2016, terdapat
201.885 penderita DBD di seluruh wilayah Indonesia dimana sebanyak 1.585 penderita
meninggal dunia akibat serangan virus dengue yang berpindah ke dalam tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti(1). Bahkan di beberapa provinsi, jumlah kasus DBD
cenderung meningkatkan atau pun bersifat fluktuatif namun masih pada jumlah kasus yang
cukup tinggi.
Kejadian dengue meningkat 30 kali lipat selama lima puluh tahun terakhir. Sekitar
50- 100 juta infeksi baru terjadi tiap tahun di lebih 100 negara endemis dengue
termasuk Indonesia. Trend kasus DBD di Indonesia dari tahun 2002-2014 menunjukkan
bahwa kasus terbanyak terjadi pada tahun 2007 dengan incidence rate (IR) sebesar
71,78 per 100.000 penduduk. Kasus DBD kemudian mengalami penurunan sangat
signifikan menjadi 27,67 per 100.000 penduduk pada tahun 201 namun meningkat
kembali tahun 2012- 2014 dengan angka insidens masing-masing 37,2 dan 39,8 per
100.000 penduduk. Secara nasional angka kematian mengalami penurunan kurang dari 1%
sejak tahun 2008. Case Fatality Rate (CFR) tahun 2005 mengalami penurunan, hingga
tahun 2010 namun, kembali meningkat pada tahun 2011 hingga 2014 mencapai 0,9%.
Penyakit ini sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah dan
termasuk dalam 5 penyakit dengan frekuensi KLB tertinggi. Wilayah dengan kasus DBD
terbanyak yaitu Jawa Timur (2.657 kasus) kemudian Jawa Barat (2.008 kasus) lalu Nusa
Tenggara Timur di urutan ke-tiga dengan 1.169 kasus.
Data profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan
bahwa kasus DBD di Provinsi NTT dalam periode 4 (empat) tahun terakhir mengalami
fluktuasi sejak tahun 2014-2017. Kasus DBD pada tahun 2014 sebesar 487 kasus (10
per 100.000 penduduk), pada tahun 2015 meningkat menjadi 665 kasus (13 per
100.000 penduduk), pada tahun 2016 meningkat lagi menjadi 1.213 (23,3 per 100.000
penduduk) dan pada tahun 2017 mengalami penurunan jumlah kasus DBD sebanyak 542
kasus (10,3 per 100.000 penduduk). Jika dikaitkan dengan capaian Renstra Dinkes NTT pada
tahun 2017, belum mencapai target yang seharusnya sebesar 8/100.000. Hal ini
menggambarkan bahwa upaya pencegahan penyakit DBD belum optimal, dan berpotensi
untuk menyebabkan terjadinya KLB cukup tinggi diwaktu-waktu mendatang.

GAMBARAN UMUM KLB DBD


Secara geografs, Indonesia merupakan negara yang dikelilingi oleh Benua Asia,
Benua Australia, Samudra Pasifk, dan Samudera Hindia. Indonesia dilalui oleh garis
khatulistiwa sehingga beriklim tropis. Iklim tersebut berdampak pada suhu, curah hujan,
pencahayaan, kelembaban, dan angin yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan
hewan dan tumbuhan, termasuk vektor penyakit. Banyaknya vektor penyakit yang
berkembang subur di iklim tropis, membuat Indonesia menjadi daerah endemis penyakit
menular.Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang disebabkan oleh gigitan vektor
nyamuk Aedes aegypti yang telah terinfeksi virus dengue. Penyakit DBD pertama kali
ditemukan di Indonesia, yaitu di Kota Surabaya pada tahun 1968. Pada saat itu, tercatat
sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia. Kasus DBD
dipengaruhi oleh jumlah penduduk pada suatu wilayah yang dicerminkan melalui perhitungan
Incidence Rate (IR).
Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang dapat menimbulkan kekhawatiran
masyarakat karena perjalanan penyakitnya yang cepat dan dapat menyebabkan kematian
dalam waktu singkat. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang berpotensi untuk
Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia (Depkes,2005). Obat untuk membasmi virus
dan vaksin untuk mencegah DBD hingga saat ini belum tersedia. Pengobatan terhadap
penderita DBD hanya bersifat simtomatis dan suportif (Depkes,2005). Upaya
pencegahan/pemberantasan DBD yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan memberantas
vektor (nyamuk penularnya). Cara yang dianggap paling tepat untuk memberantas
vektor (nyamuk Aedes aegypti) adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk
demam berdarah dengue (PSN DBD)(Depkes,2005).

Kejadian demam berdarah dengue adalah faktor perilaku host. Faktor ini dipengaruhi
oleh umur dan tingkat pendidikan host serta faktor geografis dari wilayah tempat tinggal host.
Faktor umur dan tingkat pendidikan host akan memengaruhi cara pandang dan perilaku host
terhadap kejadian DBD. Faktor geografis berpengaruh pada perkembangbiakan vektor.
Kondisi daerah dengan curah hujan ideal berisiko lebih besar untuk terjadinya wabah demam
berdarah. Curah hujan yang ideal mengakibatkan air menggenang di suatu mediayang
menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya
cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang rumah) (Al-
dubai, Ganasegeran, Alwan, Alshagga, & Saif-ali, 2013).Banyak faktor yang mempengaruhi
kasus demam berdarah yang bila tanpa penanganan yang tepat akan mengakibatkan kematian.
Berbagaiupaya pengendalian prevalensi kasus DBD khususnya pada daerah dengan transmisi
yang tinggi atau persisten, sangat diperlukan. Daerah yang memiliki transmisi tinggi adalah
kota/kabupaten dengan IR yang cenderung tinggi sehingga membutuhkan pengendalian
penyakit yang teliti dan cepat (Qi et al., 2015).
Salah satu pengendalian DBD yang dilakukan di Indonesia dan dapat dilakukan oleh
semua umur dan dari seluruh jenjang pendidikan adalah kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN). Pemerintah di Indonesia mencanangkan pembudidayaan PSN secara
berkelanjutan oleh masyarakat dengan pesan inti 3M plus dan mewujudkan terlaksananya
gerakan 1 rumah 1 Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Keberhasilan kegiatan PSN dapat
diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ ≥ 95% diharapkan dapat mencegah
atau mengurangi kasus penularan DBD (Kemenkes RI, 2016a). Sejak saat itu, penyakit DBD
menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia
telah terjangkit penyakit DBD.Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, secara nasional
pada tahun 2017 kasus DBD berjumlah 68.407 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 493
orang. Jumlah tersebut menurun cukup drastis dari tahun 2016, yaitu 204.171 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 1.598 orang. Prevalensi DBD tahun 2017 juga menurun jika
dibandingkan dengan tahun 2016, yaitu dari 78,85 menjadi 26,10 per 100.000 penduduk.
Namun, penurunan Case Fatality Rate (CFR) dari tahun sebelumnya tidak terlalu tinggi, yaitu
0,78% pada tahun 2016 menjadi 0,72% pada tahun 2017 (Kementerian Kesehatan, 2018).
Penyebaran penyakit DBD hingga menjadi KLB sangat terkait dengan perilaku
masyarakat dalam menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan. Keberadaan vektor
nyamuk di tempat perindukan di tempat penampungan air bersih seperti bak mandi,
tempayan, ember, kaleng bekas, vas bunga, dan lainnya juga menjadi faktor yang perlu
diperhatikan sehingga pemberantasan dilakukan melalui pendekatan perubahan perilaku,
kebersihan lingkungan dan pemberantasan tempat perindukan nyamuk. Ketika sudah ada
penderita DBD di tengah masyarakat, biasanya permintaan dilakukannya fogging atau
pengasapan akan meningkat. Pemerintah telah menyatakan penyakit DBD sebagai salah satu
penyakit yang dapat menimbulkan wabah atau KLB. Hal ini sebagaimana tertera dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/ Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit
Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.Selain itu,
merebaknya kasus DBD bahkan sampai menimbulkan KLB juga disebabkan oleh lambannya
pemerintah dalam mengantisipasi dan merespons kasus DBD5.
Hasil penelitian Runge-Ranzinger menyebutkan bahwa sebagian besar negara yang
diteliti tidak memiliki rencana kontijensi yang komprehensif dan rinci untuk wabah DBD.
Negara-negara cenderung bergantung pada kontrol vektor yang diintensifkan sebagai respons
wabah, dengan intervensi yang sangat minimal pada aspek manajemen terpadu perawatan
klinis, epidemiologi, laboratorium dan surveilans. Untuk itu dibutuhkan buku pegangan
teknis untuk surveilans, prediksi wabah, dan respons wabah yang merupakan pedoman
praktik terbaik berdasarkan bukti untuk memastikan status wabah dan mobilisasi sumber
daya yang diperlukan dalam rencana kontijensi dengue yang efektif (Runge-Ranzinger,
2016). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa penyakit DBD merupakan penyakit
menular yang terjadi setiap tahun bahkan mengalami peningkatan jumlah penderita setiap
tiga tahun sekali dan menyebabkan status KLB. Kebijakan yang ada belum mampu mengatasi
penyakit DBD yang sering terjadi. Diperlukan upaya untuk mewaspadai meningkatnya kasus
DBD dan KLB DBD berdasarkan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan penanggulangan KLB
DBD yang telah dilakukan.

METODE PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI DBD

 Pemastian diagnosis

Pemastian diagnosis dilakukan dengan melihat gejala klinis yang muncul pada penderita dan
melakukan pengambilan sampel darah pada beberapa orang penderita yang sedang dirawat.
Pemeriksaan sediaan darah dengan menggunakan Rapid Test Diagnostic (RDT) yang
dilakukan oleh analis kesehatan Puskesmas .

 Pemastian KLB

Pada unit pelayanan kesehatan dengan sistem informasi yang berjalan baik dan jumlah kasus
DBD dapat dideteksi sesuai dengan wilayah administratif seperti desa atau kelurahan, maka
peningkatan kasus pada setiap wilayah dapat dijadikan peringatan dini sebelum terjadi KLB.
Untuk memastikan bahwa peningkatan kasus adalah KLB atau bukan KLB, dapat dilakukan
analisis pola minimum-maksimum kasus DBD bulanan maupun mingguan dengan
pembanding kasus DBD pada tahun-tahun sebelumnya. Selain dengan menetapkan pola
maksimum-minimum, pada daerah desa atau kelurahan sebaiknya ditetapkan telah berjangkit
KLB DBD apabila memenuhi satu kriteria sebagai berikut :
a. Terdapat satu kasus DBD atau lebih yang selama 3 bulan terakhir di daerah
kabupaten/kota bersangkutan tidak ditemukan penderita DBD tetapi HI jentik
Aedes Aegypti desa atau kelurahan tersebut lebih dari 5%.
b. Terdapat peningkatan bermakna jumlah kasus DBD dibandingkan keadaan
sebelumnya.
c. Terdapat peningkatan bermakna dibandingkan dengan keadaan tahun
sebelumnya pada periode yang sama.

Kriteria KLB ini ditetapkan sesuai pedoman Depkes (1991), suatu Kejadian Luar Biasa
apabila memenuhi salah satu kriteria diantaranya adalah adanya peningkatan kasus secara
bermakna dari periode sebelumnya pada periode mingguan terlihat tanggal 3 – 9 Maret 2011
terjadi kenaikan penderita lebih dari 2 kali periode minggu sebelumnya

 Analisis epidemiologi
a. distribusi orang
b. distribusi tempat
c. distribusi waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
Dengue dan ditularkan melalui vektor nyamuk dari spesie Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Peran vektor dalam penyebaran penyakit menyebabkan kasus banyak ditemukan
pada musim hujan ketika munculnya banyak genangan air yang menjadi tempat perindukan
nyamuk. Selain iklim dan kondisi lingkungan, beberapa studi menunjukkan bahwa DBD
berhubungan dengan mobilitas dan kepadatan penduduk, dan perilaku masyarakat. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tersebut menjadi landasan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian DBD.
a. Kesakitan dan Kematian Akibat DBD
Kasus DBD ditegakkan dengan diagnosa yang terdiri dari gejala klinis dan hasil laboratorium
yang megindikasikan penurunan trombosit < 100.000/mm3 dan adanya kebocoran plasma
yang ditandai dengan peningkatan hematokrit > 20%. Kasus DBD yang dilaporkan pada
tahun 2019 tercatat sebanyak 138.127 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2018
sebesar 65.602 kasus. Kematian karena DBD pada tahun 2019 juga mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2018 yaitu dari 467 menjadi 919 kematian. Kesakitan dan kematian
dapat digambarkan dengan menggunakan indicator incidence rate (IR) per 100.000 penduduk
dan case fatality rate (CFR) dalam bentuk persentase.

Incidence Rate DBD pada tahun 2019 sebesar 51,48 per 100.000 penduduk. Angka ini
menunjukkan peningkatan dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu tahun 2016 dan 2017
ketika Incidence Rate DBD sebesar 26,1 dan 24,75 per 100.000 penduduk. Pada gambar tren
IR DBD tahun 2010-2019 juga diketahui adanya tiga puncak IR DBD, yaitu pada tahun 2010,
2016, dan 2019.
Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Bali memiliki IR tertinggi di antara 34
provinsi lainnya, yaitu masing-masing sebesar 239, 180,66, dan 114,8 per 100.000 penduduk.
Sedangkan provinsi dengan IR DBD terendah yaitu Maluku sebesar 13,09, Papua sebesar
17,67, dan Banten sebesar 22,55 per 100.000 penduduk. Perbandingan IR DBD tahun 2018-
2019 menunjukkan sebagian besar provinsi mengalami peningkatan. Provinsi Kalimantan
Utara dan Maluku Utara mengalami peningkatan signifian sebanyak 10 kali lipat yaitu
masing-masing dari 24,01 dan 8,92 pada tahun 2018 menjadi 239 dan 86,24 per 100.000
penduduk pada tahun 2019. Pada tahun 2019, hanya tiga provinsi yang mengalami penurunan
IR DBD, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Maluku. Selain angka kesakitan,
besaran masalah DDB juga dapat diketahui dari angka kematian atau CFR yang diperoleh
dari proporsi kematian terhadap seluruh kasus yang dilaporkan. Secara nasional, CFR
menunjukkan sedikit penurunan dari 0,71% pada tahun 2018 menjadi 0,67% pada tahun
2019. Provinsi dikatakan memiliki CFR tinggi jika telah melebihi 1%. Pada tahun 2019
terdapat 10 provinsi dengan CFR di atas 1%, yaitu Maluku, Gorontalo, Kalimantan Tengah,
NTT, Jawa Tengah,Maluku Utara, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Papua, dan Sulawesi Barat.
Tingginya CFR memerlukan langkah peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Upaya
edukasi kepada masyarakat juga diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat agar segera memeriksakan diri ke saran kesehatan jika ada anggota keluarganya
yang memiliki gejala DBD. Hal ini menjadi penting sebagai pertolongan segera untuk
mencegah keparahan dan komplikasi yang berujung pada fatalitas.
b. Kabupaten/Kota Terjangkit DBD

Penyebaran penyakit DBD dapat diindikasikan dengan jumlah kabupaten/kota terjangkit.

Jumlah kabupaten kota pada tahun 2018 sebanyak 481 atau 93,58% dari seluruh
kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD menujukkan
kecenderungan peningkatan sejak tahun 2010 sampai dengan 2019.
Kementerian Kesehatan menetapkan salah satu indikator pada Rencana Strategis tahun 2015-
2019, yaitu persentase kabupaten/kota yang memiliki IR DBD < 49 per 100.000 penduduk.
Dari 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, terdapat 320 kabupaten/kota (62,26%) yang
sudah mencapai IR DBD < 49/100.000 penduduk. Target program tahun 2019 adalah sebesar
68% kabupaten/kota dengan IR DBD < 49 per 100.000 penduduk. Pada gambar di bawah ini
dapat diketahui bahwa terdapat 23 provinsi pada tahun 2019 yang tidak memeuhi target IR
DBD < 49 per 100.000 penduduk. Provinsi-provinsi tersebut yaitu Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa
Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Utara, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.
c. angka bebas jentik

Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan indikator yang digunakan untuk menilai upaya
pengendalian DBD. Capaian indikator ini secara nasional pada tahun 2019 belum mencapai
target program sebesar > 95%.

GAMBAR 3.

ANGKA BEBAS JENTIK DI INDONESIA TAHUN 2010-2019

ABJ tahun 2019 sebesar79,2%, meningkat dibandingkan tahun 2018 sebesar 31,5%. Indikator
ini merupakan output yang diharapkan dari kegiatan ‘’Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik
(G1R1J)’’. Dengan demikian diperlukan optimalisasi kegiatan tersebut dari seluruh
kabupaten/kota, optimalisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pemenuhan kebutuhan
logistik yang mendukung pengendalian DBD, serta monitoring dan pembinaan kepada dinas
Kesehatan provinsi dalam manajemen sistem pelaporan.

Berdasarkan hasil penyidikan Epidemiologi, yang menjadi faktor utama yang menjadi
sumber dan cara penularan, yang ditinjau dari kebiasaan hidup dan lingkungan yang
mempengaruhi penyebaran penyakit yaitu adanya timbunan sampah ( Purnawinadi dkk,
2020).

Menurut Pertiwi tahun 2009, Penyakit DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan
Aedes Albopictus seperti halnya vektor penularan Chikunggunya. Banyak tempat perindukan
nyamuk sering berhubungan dengan peningkatan kejadian DBD. Oleh karena itu
penanggulangan vektor penyakit DBD sama dengan upaya pengendalian vektor DBD yaitu
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) baik secara fisik (3M = Menutup, Menimbun dan
Menguras), kimiawi (temephos), maupun biologis (Ikan pemakan jentik)(Purnawinadi,2020)

Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor resiko penularan oleh vektor dengan
meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, penurunan kepadatan dan umur vektor,
mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit.
Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan mempertimbangkan faktor-
faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman dan habitat perkembangbiakan);
lingkungan social budaya (pengetahuan, sikap dan perilaku) dan aspek vektor. Pada dasarnya
metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta
masyarakat sehingga berbagai metode pengendalian vektor dengan cara lain merupakan
upaya pelengkap yang secara cepat memutus rantai penularan (Depkes RI, 2010).

KESIMPULAN

Data profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan bahwa
kasus DBD di Provinsi NTT dalam periode 4 (empat) tahun terakhir mengalami fluktuasi
sejak tahun 2014-2017. Secara geografis, Indonesia merupakan negara yang dikelilingi oleh
Benua Asia, Benua Australia, Samudra Pasifk, dan Samudera Hindia. Indonesia dilalui oleh
garis khatulistiwa sehingga beriklim tropis. Iklim tersebut berdampak pada suhu, curah hujan,
pencahayaan, kelembaban, dan angin yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan
hewan dan tumbuhan, termasuk vektor penyakit. Penyebaran penyakit DBD hingga menjadi
KLB sangat terkait dengan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan dan kesehatan
lingkungan. metode penyelidikan epidemiologi mencakup pemastian diagnosis, pemastian
KLB, dan distribusi. %. Kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2019 tercatat sebanyak
138.127 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2018 sebesar 65.602 kasus.
Kematian karena DBD pada tahun 2019 juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun
2018 yaitu dari 467 menjadi 919 kematian. Jumlah kabupaten kota pada tahun 2018 sebanyak
481 atau 93,58% dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Jumlah kabupaten/kota
terjangkit DBD menujukkan kecenderungan peningkatan sejak tahun 2010 sampai dengan
2019. Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan indikator yang digunakan untuk menilai upaya
pengendalian DBD. Capaian indikator ini secara nasional pada tahun 2019 belum mencapai
target program sebesar > 95%. Berdasarkan hasil penyidikan Epidemiologi, yang menjadi
faktor utama yang menjadi sumber dan cara penularan, yang ditinjau dari kebiasaan hidup
dan lingkungan yang mempengaruhi penyebaran penyakit yaitu adanya timbunan sampah.

SARAN
1. Kepada masyarakat
A. Pengendalian vektor yang paling efektif dan efisien adalah dengan pemutusan
rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaan dimasyarakat
dilakukan melalui upaya PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) Demam Berdarah
Dengue dalam bentuk kegiatan 3M Plus. Untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan kegiatan 3M Plus ini harus dilakukan secara serempak dan terus
menerus atau berkesinambungan.
B. Diharpkan masyarakat menutup tempat penampungan air bagi yang memiliki
tempat penampungan air dan ritin mengurasnya minimal 3 kali seminggu.
C. Bila terdapat ban, kaleng, botol bekas serta tempurung kelapa dan potongan banbu
dihalaman rumah supaya dikubur atau ditimbun untuk mencegam
berkembangbiaknya nyamuk.
D. Tidak membiarkan menggantung pakaian di kamar.
E. Menggunakan obat antinyamuk.
2. Ditujukan Kepada Pihak Kepala Desa Dan Perangkat Desa
A. Mengkordinir kegiatan PSN.
B. Mengkordinis kader untuk pemantauan jentik nyamuk.
3. Puskesmas
A. Melakukan pengamatan terhadap timbulnya kasus DBD secara rutin atau
pengamatan terhadap peningkatan kasus agar segera dilakukan intervensi.
B. Melakukan investigasi dilapangan dan melakukan pengobatan secara masal.
C. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan pemantauan secara berkala oleh
kader kesehatan.
D. Tanggap terhadap adanya peningkatan kunjungan pelayanan karena suatu
penyakit dan melakukan penyidikan epidemiologi untuk mengetahui kebenaran di
lapangan.
4. Dinas Kesehatan Kabupaten
A. Melakukan SKD (Sistem Kewaspadaan Dini) terhadap penyakit potensial KLB
termasuk penyakit DBD di wilayah Kabupaten , dengan menggerakan Puskesmas
agar supaya ada pantauan perkembangan penyakit tersebut sehingga tidak
menyebar kewilayah lain.
B. Menginstruksikan Puskesmas untuk melaksanakan PJB (Pemantauan Jentik
Berkala) sesuai dengan frekuensi pelaksanaan dan ketepatan pelaksanaan yang
seharusnya.
DAFTAR PUSTAKA
https://journal.unhas.ac.id/index.php/jnik/article/view/5996/3316 di akses pada tanggal 29
Maret 2021

https://www.researchgate.net/publication/341846017_Analisis_Spasial_dan_Pemodelan_Fakt
or_Risiko_Kejadian_Demam_Berdarah_Dengue_Tahun_2016-2018_di_Kota_Kupang di
akses pada tanggal 29 Maret 2021

https://e-journal.unair.ac.id > ...PDF Hasil web JURNAL BERKALA EPIDEMIOLOGI


GAMBARAN KASUS ... - e-journal unair

http://jurnal.dpr.go.id › pdfPDF KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR ...


- Jurnal DPR RI

profil Kesehatan Indonesia tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai