Anda di halaman 1dari 4

WASPADA LEPTOSPIROSIS SAAT BANJIR DATANG

Musim hujan telah tiba, banyak penyakit yang datang. Salah satunya yaitu Leptospirosis,
apalagi di daerah yang sering banjir. Kasus akibat leptospirosis yang terjadi cukup tinggi,
diperkirakan mencapai 320.000 kasus per tahun. Angka kematiannya pun cukup tinggi berkisar
5% sampai 12%. Leptospirosis sering terjadi di area padat penduduk, rawan banjir, pengelolaam
limbah yang kurang baik, dan kondisi sanitasi yang buruk. Di Indonesia, kasus kejadian
leptospirosis juga cukup tinggi. Beberapa daerah melaporkan adanya kasus leptospirosis yang
terjadi setiap tahun dengan angka kasus yang tinggi seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, maupun
Jawa Timur. Menurut DirJen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI, pada tahun
2004 - 2012 terjadi kenaikan kasus leptospirosis di Indonesia antara 5-15% (Depkes, 2014).
Dalam skala nasional, walaupun jumlah kasus meningkat, terjadi penurunan jumlah kematian
yaitu dari 148 dan 16,5% tahun 2018 menjadi 122 kematian dan 13,26% tahun 2019 (Pusdatin,
2020). Walaupun secara nasional CFR dari tahun 2018 ke 2019 mengalami penurunan, jumlah
kasus penyakit kembali meningkat pada tahun 2020. DKI Jakarta adalah penyumbang kasus
leptospirosis dengan angka yang cukup tinggi.

Tingginya kejadian leptospirosis berhubungan erat dengan kondisi lingkungan yang


buruk. Kondisi lingkungan di perumahan dan sanitasi di tempat kerja merupakan faktor penting
untuk terjadinya penularan leptospirosis. Pembuangan sampah yang terbuka, rumah
semipermanen, Gedung atau rumah yang tidak memiliki atap atau langit-langit yang
memudahkan tikus memasuki rumah. Adanya sampah yang menggunung atau berserakan di
sekitar rumah. Adanya genangan air, sering terjadinya banjir, selokan yang tersumbat, sanitasi
rumah yang tidak baik, dan tingginya curah hujan.
Leptospirosis adalah penyakit zoonotic. Penyakit zoonotic adalah suatu penyakit yang
penyebabnya penularan dari hewan ke manusia, salah satunya disebarkan melalui air seni atau
darah hewan yang terinfeksi bakteri Lepstospira Interrogans. . Bakteri Leptospira dapat bertahan
hidup beberapa tahun di ginjal hewan tanpa menimbulkan gejala. Ada beberapa hewan yang
menjadi rantai penyebaran Lepstospirosis diantaranya tikus, sapi, anjing, kuda dan babi. Penyakit
ini umumnya marak terjadi pada saat musim hujan/ banjir surut. Bakteri ini masuk ke tubuh
manusia melalui selaput lendir, luka, mata, hidung, ataupun makanan. Apabila tidak ditangani
dengan segera, leptospirosis dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, bahkan kematian.
Penularan melalui :

1. Kontak langsung terjadi antara kulit dengan urine hewan yang terjangkit
bakteri Leptospira.
2. Kontak yang terjadi antara kulit dengan air dan tanah yang terkontaminasi urine hewan
pembawa bakteri Leptospira.
3. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi urine hewan bakteri Leptospira.

Gejala leptospirosis bervariasi pada setiap pasien dan awalnya sering dianggap sebagai gejala
penyakit lain, seperti demam berdarah atau flu. Pada beberapa kejadian, gejala leptospirosis tidak
muncul sama sekali. Namun, pada beberapa penderita, gejala penyakit ini muncul dalam 2 hari
sampai 4 minggu setelah terpapar bakteri Leptospira.
Tanda dan gejala awal pada penderita leptospirosis antara lain:
1. Demam tinggi
2. Sakit kepala
3. Perdarahan
4. Nyeri otot
5. Menggigil
6. Mata merah
7. Muntah
8. Lemah
9. Kekuningan pada kulit

Proses penegakan diagnosis leptospirosis dapat dilakukan melalui gejala, riwayat penyakit
pengidap, serta pemeriksaan fisik. Selain itu, ada beberapa tes penunjang yang dapat dilakukan
untuk membantu memastikan diagnosis penyakit tersebut dan mengetahui tingkat keparahan
yang dialami pengidap.

Tes penunjang tersebut, antara lain:

 Tes urine, digunakan untuk melihat ada/ tidaknya bakteri leptospira dalam urine.
 Tes darah, untuk melihat adanya bakteri dalam aliran darah.
 Pemeriksaan fungsi ginjal, untuk melihat kondisi ginjal dan infeksi bakteri ini pada
ginjal.
 Pemeriksaan fungsi hati.
 Foto Rontgen paru, untuk melihat apakah infeksi sudah menyebar hingga ke organ paru-
paru.

Leptospirosis sering ditemui di negara sub tropis dan tropis, seperti negara Indonesia karena
iklim yang lembab dan panas membuat bakteri Leptospira bertahan hidup lebih lama.
Leptospirosis sering terjadi pada individu yang:

a. Menghabiskan waktunya di luar ruangan, seperti petani dan nelayan.


b. Sering berinteraksi dengan hewan, seperti peternak, dokter hewan, atau pemilik hewan
peliharaan.
c. Memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan saluran pembuangan limbah atau selokan.
d. Bertempat tinggal di daerah yang rawan banjir.

Infeksi leptospirosis umumnya tidak memerlukan penanganan khusus. Pada kondisi kasus
ringan, infeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dalam 7 hari. Pengobatan biasanya ditujukan
untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.
Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi risiko
penyebaran leptospirosis, diantaranya yaitu:
a. Menggunakan pakaian pelindung diantaranya sarung tangan, sepatu bot, dan pelindung
mata saat bekerja.
b. Menutup luka terbuka dengan plester anti air.
c. Menghindari kontak langsung dengan air yang terkontaminasi, seperti berenang atau
berendam.
d. Menggunakan air minum yang terjamin kebersihannya.
e. Rajin mencuci tangan sebelum makan dan sesudah kontak dengan hewan.
f. Menjaga kebersihan lingkungan.
g. Memastikan lingkungan rumah bebas dari tikus.
h. Melakukan vaksinasi hewan peliharaan atau hewan ternak.

Berikut adalah cara menghindari penularan lepstospirosis :


a. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, yaitu menjaga kebersihan diri dan
kebersihan lingkungan.
b. Menyimpan makanan dan minuman dengan baik.
c. Mencuci tangan dan kaki serta sebagian tubuh lainnya dengan sabun setelah melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan alam.
d. Membasmi tikus di rumah ataupun di tempat kerja.
e. Membersihkan dengan desinfektan bagian-bagian rumah, kantor, atau gedung

Upaya pengendalian dan pencegahan peningkatan kasus leptospirosis dapat dilakukan


dengan perbaikan tata air, tata lahan, dan sosial ekonomi masyarakat. Tata air dan tata lahan
sangat berkaitan dengan daerah aliran sungai sebagai resapan air yang berperan penting dalam
pencegahan banjir. Perbaikan saluran air atau drainase di sekitar pemukiman penduduk juga
harus dilakukan, begitupun dengan kontrol terhadap bendungan pengendali air yang berguna
untuk mengukur kesiapan apabila curah hujan tinggi.
Apapun bentuk perbaikan infrastrukturnya, perilaku manusia harus menunjukkan sikap yang
mendukung upaya perbaikan pembangunan. Individu yang berperan bukan hanya dari
masyarakat, tetapi juga dari pemerintah. Edukasi dan promosi yang harus dilakukan berkaitan
dengan penyakit leptospirosis, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan kebiasaan menjaga
kebersihan lingkungan seperti membuang sampah pada tempatnya. Oleh karena itu, upaya
pengendalian penyakit leptospirosis dan banjir dapat dilakukan melalui:

1. Edukasi
Edukasi dapat dilakukan melalui kurikulum pendidikan formal dan atau non-
formal, serta memanfaakan media social untuk mengedukasi masyarakat.
2. Pembangunan tata kelola sampah beserta edukasi tentang proses dan cara
kerjanya.
3. Pemberdayaan untuk masyarakat dalam pengelolaan sampah dan lingkungan
untuk dijadikan suatu barang yang bernilai jual.
4. Perlu ditegakkan aturan oleh pihak yang berwenang terkait permukiman, daerah
aliran sungai dan air.
BIODATA

Nama : Fifi Afilia, A.Md.Farm

Tempat. Tanggal Lahir : Semarang, 16 September 1995

Jenis Kelamin : Perempuan

Golongan darah : AB +

Alamat : Panglegur Kec. Tlanakan Kab. Pamekasan

Agama : Islam

Anda mungkin juga menyukai