Anda di halaman 1dari 6

Faktor Risiko serta Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Leptospirosis

Secara geografis, Indonesia terletak di zona intertropikal, di antara dua samudera besar,
yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta memiliki topografi yang beragam mulai dari
pegunungan hingga dataran rendah (Sukur, 2015). Akibat letak geografis tersebut, maka
Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi dan tidak teratur. Curah hujan yang tinggi, terutama
selama musim hujan, seringkali menyebabkan sungai-sungai meluap sehingga wilayah dataran
rendah cenderung tergenang air. Faktor lain termasuk deforestasi yang luas, perubahan tata guna
lahan yang tidak terkendali, serta kurangnya sistem pengelolaan air yang efektif, semuanya
berkontribusi pula pada meningkatnya risiko banjir di Indonesia (Aswad, 2020).
Banjir dapat menyebabkan kerugian di bidang ekonomi, akibat kerusakan yang
ditimbulkannya sehingga masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Di sisi lain banjir mengakibatkan banyak penduduk yang terpaksa mengungsi untuk
menyelamatkan diri dari bahaya genangan air atau akibat kerusakan tempat tinggal yang mereka
miliki. Kepadatan penduduk yang tinggi di tempat-tempat pengungsian meningkatkan risiko
penularan penyakit, terutama penyakit yang menyebar melalui kontak dekat antarindividu. Selain
itu, ketersediaan air bersih yang terbatas di lokasi pengungsian dan sanitasi yang kurang
memadai meningkatkan risiko penyakit yang terkait dengan air, seperti diare dan infeksi saluran
pernapasan (Aswad, 2020). Menurut Kurniawati (2018) kurangnya ventilasi yang baik di tempat-
tempat pengungsian yang terlalu ramai juga dapat meningkatkan risiko penularan penyakit yang
ditularkan melalui udara, seperti flu dan tuberkulosis. Peningkatan risiko terjangkit penyakit saat
banjir juga dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan yang terbentuk pasca banjir. Kelembaban
dan penumpukan sampah organik di lingkungan pascabanjir menciptakan kondisi yang ideal
untuk perkembangan nyamuk dan vektor penyakit lainnya (Fatoni, 2013).
Di samping beberapa gangguan kesehatan/penyakit terkait banjir di atas, penyakit infeksi
lain yang berhubungan dengan banjir yang perlu menjadi perhatian adalah leptospirosis.
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptospira yang
berbentuk spiral, yang dapat menular secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke
manusia, umumnya ditularkan oleh tikus (Purnama dan Hartono, 2022). Leptospirosis dapat
terjadi melalui kontak terhadap genangan air yang terkontaminasi urin yang terinfeksi bakteri
Leptospira, dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang luka atau membran mukosa (Aziz
dan Suwandi, 2019). Leptospirosis, yang dikenal sebagai flood fever atau demam banjir ini
berpotensi menimbulkan wabah, terutama pasca hujan deras atau banjir. Menurut International
Leptospirosis Society (ILS), Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia untuk tingkat
mortalitas leptospirosis (Rampengan, 2016).
Perubahan lingkungan, seperti perubahan iklim dan urbanisasi, dapat meningkatkan
risiko leptospirosis. Kejadian wabah cenderung meningkat setelah curah hujan berlebihan, yang
menunjukkan bahwa dampak perubahan lingkungan berperan pada penyebaran leptospirosis.
Estimasi global menyebutkan bahwa ada 5 hingga 14 kasus leptospirosis per 100.000 populasi
per tahun, tergantung pada kondisi geografis. Wilayah dengan iklim tropis, seperti Indonesia
memiliki kasus leptospirosis yang cukup banyak (Rampengan, 2016).
Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis leptospirosis. Sampai saat ini
leptospirosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini berkaitan
dengan keberadaan faktor risiko yaitu tingginya populasi tikus sebagai reservoar leptospirosis, di
samping buruknya sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya daerah banjir di Indonesia.
Hingga saat ini leptospirosis di Indonesia terus menyebar dan menyebabkan kematian manusia
(Kemenkes, 2014).
Ada sejumlah faktor risiko leptospirosis di Indonesia, terutama terkait dengan banjir dan
genangan air yang terjadi setelahnya, serta kondisi sanitasi yang buruk di daerah permukiman.
Risiko ini meningkat ketika manusia atau hewan terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi, seperti meluapnya air sungai, air berlumpur, atau saat melakukan aktivitas
seperti berenang, mandi, atau mencuci di sungai. Pekerja yang terlibat dalam aktivitas seperti
pertanian di sawah, mengumpulkan kayu di hutan, atau membersihkan sampah juga memiliki
risiko tinggi, terutama jika mereka tidak menggunakan alat pelindung diri. Selain itu, air minum
yang terkontaminasi juga dapat menyebabkan infeksi leptospirosis jika tidak diolah dengan baik
(WHO, 2020).
Infeksi leptospirosis terjadi akibat adanya genangan air yang membawa spiroket
leptospira masuk ke dalam tubuh, melalui membran mukosa dan kerusakan pada kulit. Spiroket
yang masuk ke dalam aliran darah ini akan menimbulkan awitan febris, setelah mengalami masa
inkubasi selama 1-2 minggu. Di dalam organ parenkimatosa (terutama ginjal dan hati),
organisme ini akan tinggal dan menimbulkan nekrosis jaringan serta perdarahan, sehingga
menyebabkan organ tersebut mengalami disfungsi sistem organ. Ginjal sebagai salah satu organ
yang memiliki peran penting dalam kasus ini, merupakan organ yang pada banyak spesies hewan
keterlibatannya bersifat kronis dan menjadi penyebab pelepasan sejumlah besar leptospira di
urine, yang dapat pula menjadi sumber utama kontaminasi lingkungan penyebab infeksi pada
manusia (Carroll et al., 2016).
Selama terjadi infeksi, tubuh akan membentuk antibodi aglutinasi, pengikat komplemen,
dan litik. Antibodi aglutinasi yang dihasilkan ini biasanya muncul pertama kali saat 5-7 hari
setelah terinfeksi dan akan berkembang secara lambat, serta mencapai puncak dalam 5-8 minggu.
Imunitas yang didapatkan pada manusia ini bersifat spesifik terhadap serovar tertentu setelah
terjadi infeksi, reinfeksi oleh serovar yang lain tetap dapat terjadi (Carroll et al., 2016).
Gejala patologik yang selalu ditemukan ialah vaskulitis kapiler berupa edema endotel,
nekrosis, disertai invasi limfosit akibat endotoksin yang dikeluarkan oleh leptospira pada semua
organ yang terkena. Vaskulitis menimbulkan petekie, perdarahan intraparenkim, dan perdarahan
pada lapisan mukosa dan serosa yang dapat berujung pada terjadinya hipovolemia dan renjatan.
Dapat ditemukan trombositopenia dan masa protrombin kadang-kadang memanjang yang tidak
dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K. Pada jantung dapat ditemukan petekie
endokardium, edema interstisial miokard, dan arteritis coroner (Rampengan, N.H., 2016).
Risiko seseorang terinfeksi leptospirosis tergantung pada paparan terhadap faktor risiko.
Beberapa orang memiliki risiko tinggi terpapar leptospirosis karena pekerjaannya, lingkungan
dimana mereka tinggal atau gaya hidup. Kelompok yang memiliki risiko tinggi terinfeksi
leptospirosis yaitu orang-orang yang terdampak bencana alam seperti banjir yang kerap terjadi di
Indonesia. Beberapa faktor yang merupakan faktor risiko kejadian Leptospirosis menurut
kebiasaan seperti kebiasaan aktivitas di tempat berair dengan kondisi adanya luka di badan,
kebiasaan tidak merawat luka dengan baik di daerah banyak genangan air, kebiasaan tidak
memakai alas kaki, kebiasaan mandi di sungai, perilaku hidup bersih yang kurang baik seperti
keberadaan sampah di dalam rumah dan kurang pengetahuan tentang leptospirosis (Kemenkes,
2014).
Seseorang dapat terinfeksi leptospirosis karena kontak secara langsung atau tidak
langsung dengan urin hewan yang terinfeksi leptospira. Penularan langsung dapat terjadi melalui
darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh
pejamu. Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air
dan lumpur yang tercemar urin hewan. Tikus merupakan hewan penular utama leptospirosis
(lebih dari 50%). Adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis. Di samping keberadaan binatang disekitar rumah juga merupakan faktor risiko
seperti anjing, kucing, kambing, dan sapi (Kemenkes, 2014).
Setelah mengetahui berbagai gejala yang timbul ketika penderita terkena leptospirosis,
penting juga untuk mengetahui tindakan pencegahannya (Kemenkes, ND). Masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari paparan.
Menurut WHO, untuk menurunkan angka kejadiannya, Upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah leptospirosis melalui pendekatan terhadap tiga hal, yaitu pada hewan sebagai sumber
penularan, pada jalur penularan, dan pada manusia (Barragan et al., 2017; Widjajanti, 2020).
Mencegah leptospirosis pada hewan adalah dengan memvaksin hewan yang berisiko
tertular leptospirosis dan menjaga kebersihan kandang mereka, untuk para peternak dapat
menghindari sentuhan langsung dengan hewan melalui penggunaan pelindung seperti sarung
tangan dan baju pelindung agar tidak terpapar.
Pada jalur penularan, pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan memutus jalur
penularan. Jalur penularan adalah lingkungan yang bisa menjadi tempat berkembang biak dan
hidup bakteri Leptospira. Rantai penularan mengacu pada lingkungan tempat bakteri Leptospira
dapat berkembang biak dan bertahan hidup. Sanitasi yang buruk merupakan faktor risiko
leptospirosis. Untuk mencegah penyakit ini, perlu untuk menjaga kebersihan di lingkungan
sekitar, terutama di daerah dengan hewan pengerat, seperti tikus dapat berkembang biak. Hal ini
termasuk penyimpanan air yang tepat dan pengelolaan sampah yang benar untuk menghindari
terciptanya habitat bagi hewan pengerat (Widjajanti, 2020).
Pada manusia, pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri setelah
beraktivitas di daerah yang berisiko terpapar leptospirosis. Namun masih banyak masyarakat kita
yang belum menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan baik yang disebabkan
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan diri. Mencuci tangan, kaki, dan
bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah pergi ke tempat yang mungkin terkontaminasi
leptospirosis adalah beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan (Widjajanti, 2020; Nur Aini
Eka Puji Dameanti et al., 2021).
Pengungsi tidak semuanya memilili jangkauan informasi mengenai leptospirosis.
Program pemberian informasi dan pelayanan terhadap pengungsi seperti penyuluhan untuk
memberi informasi mengenai pengendalian tikus, higienitas sumber air, bahkan kebersihan
sektor ternak seperti ayam dan kambing adalah salah satu cara untuk mencegah pengungsi tidak
tertular melalui urin hewan pengerat maupun ternak yang mengontaminasi air banjir dan benda
lain. (Kemenkes, 2014).

Referensi:
Aswad, A. S. (2020). Identifikasi Zona Potensi Banjir Berbasis Sistem Informasi Geografis
Menggunakan Metode Overlay Dengan Scoring Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Jurnal Geosains Dan Remote Sensing (JGRS), 1(1), 11-22.
Aziz, T. & Suwandi, J. F. (2019). Leptospirosis: Intervensi Faktor Resiko Penularan. Majority,
8(1), 232-236.
Barragan, V. et al. (2017) Critical Knowledge Gaps in Our Understanding of Environmental
Cycling and Transmission of Leptospira spp. Available at:
https://journals.asm.org/journal/aem.
Carroll, K. C., Hobden, J. A., Miller, S., Morse, S. A., Mietzner, T. A., Detrick, B., . . . Sakanari,
J. A. (2016). Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology 27th Ed (27th ed.).
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dino (2023) Banjir: Pengertian, Penyebab, Dan Dampaknya, BPBD Provinsi Jawa Timur.
Available at: https://web.bpbd.jatimprov.go.id/2023/10/19/banjir-pengertian-penyebab-
dan-dampaknya/ (Accessed: 22 February 2024).
Fatoni, W. Z. (2013). Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana: Peran Petugas
Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal Kependudukan Indonesia, 8(1), 37-52.
Haake DA, Levett PN (2015). Leptospirosis in humans. Curr Top Microbiol Immunol. 387:65-
97. doi: 10.1007/978-3-662-45059-8_5. PMID: 25388133; PMCID: PMC4442676.
Kemenkes. (ND). Mengenal Gejala dan Pencegahan Leptospirosis. Kemenkes: Unit pelayanan
kesehatan. Diambil dari https://upk.kemkes.go.id/new/mengenal-gejala-dan-pencegahan-
leptospirosis
Kemenkes. (2014). Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis. Kemenkes: Unit pelayanan
kesehatan. Diambil dari
https://p2pm.kemkes.go.id/storage/publikasi/media/file_1619051335.pdf
Kurniawati, V. (2018). Analisis Pengetahuan Masyarakat Tentang Resiko Penyebaran Penyakit
Menular Pasca Bencana Banjir Di Pangkalan Koto Baru Lima Puluh Kota. MENARA Ilmu,
7(7), 150-155.
Nur Aini Eka Puji Dameanti, F. et al. (2021) Gambaran Pengetahuan Penyakit Leptospirosis
pada Siswa SDN Deyeng 02 Kabupaten Kediri. Kediri.
Purnama, S. E. & Hartono, B. (2022). FAKTOR RISIKO KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI
INDONESIA: LITERATURE REVIEW. PREPOTIF Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(3),
2010-2022.
Rampengan, N. H. (2016). Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), 8(3), 143-150.
Sukur, D. W. (2015). Penentuan Tingkat Kerentanan Banjir Secara Geospasial. Jurnal Teknologi
Informasi DINAMIK, 20(1), 57-76.
Widjajanti, W. (2019). Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis. Journal of
Health Epidemiology and Communicable Diseases (JHECDs), 5(2), 62-68.

Anda mungkin juga menyukai