Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan dapat dikatakan suatu kombinasi diantara kondisi fisik yang


meliputi kondisi sumberdaya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta
flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan
kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana
menggunakan lingkungan fisik tersebut.

Terdapat dua komponen pada lingkungan yang penting pembentukannya


sehingga dapat tercipta ekosistem yakni komponen biotik dan komponen abiotik.
Komponen biotik pada lingkungan hidup meliputi seluruh makluk hidup di
dalamnya, seperti hewan, manusia, tumbuhan, jamur dan benda hidup lainnya.
sedangkan komponen abiotik ialah benda-benda tidak hidup yang bermanfaat bagi
kelangsungan hidup makhluk hidup di sebuah lingkungan seperti mencakup tanah,
air, api, batu, udara, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, lingkungan sering juga disebut "lingkungan hidup". Misalnya


dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang
memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Definisi lingkungan hidup dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang ada di sekitar manusia atau makhluk hidup yang memiliki hubungan
timbal balik dan kompleks serta saling mempengaruhi antara satu komponen
dengan komponen lainnya.

Oleh karena lingkungan hidup merupakan sesuatu yang penting bagi makhluk
hidup maka sudah sepatutnya,kita menjaga lingkungan yang kita tinggali akan
tetapi menurut data statistik catatan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia,
sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya.

1
Data Kementerian. Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan
yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis ditebang.
Ditambah lagi dengan buruknya kebersihan lingkungan yang semakin parah
akibat banyaknya masyarakat yang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan
hingga menyebabkan berbagai penyakit dan bencana alam.

Definisi lingkungan hidup menurut No 23 tahun 2007 adalah kesatuan ruang


dengan semua benda atau kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya ada
manusia dan segala tingkah lakunya demi melangsungkan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia maupun mahkluk hidup lainnya yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan skenario terjadi angka kejadian penyakit leptospirosis dalam


lingkungan tersebut, dalam makalah ini kita akan membahas mengenai penyebab,
pengobatan hingga pencegahan kejadian tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit Leptospirosis ?
2. Bagaimana mata rantai penyakit Leptospirosis?
3. Bagaimana cara penularan Leptospirosis ?
4. Bagaimana cara mematahkan rantai penularan Leptospirosis ?
5. Apakah ada hubungan antara sanitasi dasar dengan Leptospirosis ?
6. Apa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian Leptospirosis ?
7. Apa saja upaya dalam pemberantasan Leptospirosis ?
8. Bagaimana cara menyusun perencanaan program untuk penanggulangan
dan pencegahan Leptospirosis ?

C. Tujuan Umum
1. Mengetahui penyebab terjadinya leptospirosis
2. Mengatasi bagaimana cara penanggulangannya
3. Meningkatkan fasilitas untuk membersihkan sungai.
4. Mengedukasi mengenai pola hidup yang sehat.

2
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. SKENARIO
Leptospirosis adalah salah satu emerging infection disease di indonesia, di
beberapa daerah belum mendapat prioritas dalam penanganannya. Penyakit ini
termasuk zoonosis dan sering terjadi di daerah yang mengalami banjir dengan
pemukiman yang kurang sehat. Angka kematian di Indonesia cukup tinggi, antara
2,5-16,45 %. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56% (Anies et al,
2009). Di Rumah Sakit Umum Kabupaten A tercatat penderita leptospirosis
sebanyak 62 pasien termasuk rujukan dari puskesmas. Penyakit tersebut
terdistribusi di 9 kecamatan. Wilayah puskesmas B merupakan wilayah dengan
kejadian tertinggi di Kabupaten tersebut yaitu 12 kasus. Kecamatan B, termasuk
daerah yang sering dilanda luapan air sungai yang mengalir membelah wilayah
tersebut sehingga menggenangi permukiman. Pembuangan air limbah masih
sebatas mengalirkannya ke selokan. Area yang tidak terkena luapan banjir sungai
juga terkena luapan air selokan pada waktu musim hujan karena penataan
pembuangan air kotor yang belum baik. Masih banyak dijumpai tempat
penyimpanan sampah yang tidak bertutup dan tidak terawat, bahkan masih banyak
dijumpai keluarga yang belum memiliki bak sampah. Tikuspun dijumpai
berkeliaran terutama di malam hari. Lebih dari separuh penduduk masih
berpendidikan SMP ke bawah, sementara yang mengenyam pendidikan tinggi
hanya sekitar 4-5%. Kebiasaan mandi dan cuci di sungai merupakan hal yang
sering di jumpai sehari-hari. Sebagian besar penduduk (61%) bekerja sebagai
petani atau buruh tani, yang bekerja biasa tanpa alat pelindung diri terutama dalam
kontak air.

Puskesmas sebagai ujung tombak upaya kesehatan masyarakat berupaya


menanggulangi penyakit tersebut. Bagaimana penyelenggaraannya ?

3
B. ANALISIS
1. Analisis Fish Bone
Skenario menunjukkan bahwa di Rumah Sakit Umum Kabupaten
A tercatat penderita leptospirosis sebanyak 62 pasien termasuk rujukan
dari puskesmas. Penyakit tersebut terdistribusi di 9 kecamatan. Wilayah
puskesmas B merupakan wilayah dengan kejadian tertinggi di Kabupaten
tersebut yaitu 12 kasus, ini disebabkan oleh gabungan dari faktor
penyebab yaitu faktor eksternal dan internal. Dari hasil analisis kelompok
kami, yang menggunakan konsep causal and effect analysis maka faktor
risiko yang terdapat dalam penyakit Leptospirosis ialah faktor penyebab
dan angka prevalensi Leptospirosis yang berperan sebagai faktor akibat.
Apabila faktor tersebut digabungkan menjadi suatu kesatuan maka dapat
dilihat pada fish bone analysis berikut.

Gambar 2.1. Fish Bone Analysis

4
a. Peningkatan Angka Kejadian Kasus Leptospirosis
Menurut suatu penelitian bahwa angka kematian di Indonesia
cukup tinggi, antara 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun
kematian mencapai 56%. (Anies et al,2009). Di Rumah Sakit Umum
Kabupaten A tercatat penderita leptospirosis sebanyak 62 pasien
termasuk rujukan dari Puskesmas. Penyakit tersebut terdistribusi di 9
kecamatan. Wilayah Puskesmas B merupakan wilayah dengan
kejadian tertinggi di Kabupaten tersebut yaitu 12 kasus. Hal ini
mungkin bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti lingkungan,
dimana lingkungan sangat berpengaruh terhadap transmisi
leptospirosis, tingkat pengetahuan akan leptospirosis serta kurangnya
pengupayaan dalam memutus rantai penularan dan pencegahan
penyebaran penyakit leptospirosis. (Depkes RI. 2015)
Dengan di identifikasikannya beberapa faktor penyebabnya
diharapkan pemerintah atau Dinas Kesehatan setempat dapat segera
mengambil tindakan dalam pengupayaan penurunan angka kejadian.

b. Karakteristik Wilayah Dan Rawan Banjir


Salah satu penyebab faktor terjadinya leptospirosis adalah
lingkungan luar rumah. Dimana lingkungan luar rumah yang banyak
air tergenang, daerah persawahan, daerah rawa-rawa, semak-semak,
serta kandang binatang ( Juriastuti,dkk. 2010).
Di Kabupaten A Kecamatan B, termasuk daerah yang sering
dilanda luapan air sungai yang mengalir membelah wilayah tersebut
sehingga mengenai pemukiman. Pembuangan air limbah masih
sebatas mengalirkannya keselokan.
Sarana Pembuangan Air Limbah merupakan tempat yang
sering dijadikan tempat tinggal tikus. Hal ini dikarenakan kondisi
buangan air dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang
terhubung dengan selokan di lingkungan rumah. Media penularan

5
penyakit Leptospirosis terjadi ketika air pada selokan terkontaminasi
oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri
Leptospira (Suratman. 2006. Analisis faktor risiko lingkungan dan
Perilaku yang berpengaruh terhadap Kejadian leptospirosis berat Di
kota semarang.)
Area yang tidak terkena luapan banjir sungai juga terkena
luapan air selokan pada waktu musim hujan karena penataan
pembuangan air kotor yang belum baik. Masih banyak dijumpai
tempat penyimpanan sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat,
bahkan masi banyak dijumpai keluarga yang belum memiliki bak
sampah
Dengan adanya wilayah dataran rendah yang subur yang dapat
ditumbuhi berbagai macam tumbuhan dan beberapa semak-semak,
serta daerah rawa ditengah utara yang rawan banjir akan menjadi
tempat vector untuk berkembang biak dan semakin banyak
menularkan pada daerah tersebut.

c. Rumah Yang Kurang Memenuhi Syarat Kesehatan


Rumah yang sehat adalah rumah yang memenuhi syarat
kesehatan yaitu memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih,
tempat pembuangan sampah, ventilasi rumah yang baik, kepadatan
hunian rumah yang sesuai, ada tempat masuknya cahaya dan bebas
kontaminasi (WHO, 2001). Masih banyak dijumpai tempat
penyimpanan sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat, bahkan
masih banyak dijumpai keluarga yang belum memiliki bak
sampah. Tikuspun dijumpai berkeliaran terutama di malam hari,
adanya kumpulan sampah disekitar rumah akan menjadi tempat
yang disenangi tikus. Keberadaan sampah terutama sampah sisa-
sisa makanan yang diletakkan ditempat sampah yang tidak
memenuhi syarat (tertutup) dan tidak terawat. Depkes RI (2008)
menyebutkan bahwa hewan-hewan yang menjadi sumber

6
penularan Leptospirosis salah satunya adalah rodent (tikus). Untuk
melihat keberadaan tikus bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan
secara visual, yaitu dengan melihat adanya tanda-tanda keberadaan
tikus berupa kotoran tikus, jejak kaki tikus, sisa keratan pada pintu
kayu, buku, kawat kasa yang berlubang bekas lewat tikus.

d. PHBS yang kurang


PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas
kesadaran, sehingga keluarga beserta semua yang ada di dalamnya
dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan
aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat.
Kebiasaan mandi dan cuci di sungai merupakan hal yang sering
dijumpai sehari-hari. Sebagian besar penduduk (61%) bekerja
sebagai petani atau buruh tani, yang bekerja biasa tanpa alat
pelindung diri terutama dalam kontak dengan air. Bagian penting
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
adalah memutuskan rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan
penjamu. Faktor pencegahan penularan menitikberatkan pada
penanggulangan risiko penyakit seperti lingkungan dan perilaku.
Lingkungan yang tidak bersih dan perilaku individu yang tidak
bersih dapat mempermudah penularan penyakit.(Widoyono. 2008.
Penyakit Tropis; Epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.)
Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa salah satu upaya
untuk mencegah terjadinya Leptospirosis yang dapat di lakukan
individu adalah dengan menjaga kebersihan individu yaitu dengan
cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya dengan
sabun setelah pergi ke sawah dan setelah kontak dengan air banjir.
Selain itu pencegahan juga bisa dilakukan dengan menutup
makanan.

7
Selain itu didukungnya kedaan lingkungan pada kecamatan
B yang berupa pengolahan limbah dengan kondisi selokan yang
tidak baik memiliki peran penting dalam penularan Leptospirosis.

e. Tingkat pengetahuan
Sebagian dari masyarakat berpendidikan SMP kebawah
sehingga pengetahuan tentang kesehatan sangat rendah.
Pengetahuan adalah suatu faktor predisposisi seseorang atau
masyarakat terhadap kesehatan. Pengetahuan merupakan faktor
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorangm
Pribadi yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang suatu
penyakit maka kemungkinan besar dapat menghindari atau
mencegah terjadinya penyakit tersebut. Dari teori ini bisa dikatakan
bahwa pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian penyakit
termasuk penyakit Leptospirosis. (Notoatmodjo, Soekidjo. 2003.
Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.)
Survei pengetahuan merupakan strategi umum untuk
mengumpulkan informasi dan menilai praktek kerja yang aman atau
upaya pencegahan di antara populasi berisiko. Survei pengetahuan
juga bisa digunakan untuk mengevaluasi program yang ada dan
untuk mengidentifikasi strategi yang efektif untuk perubahan
perilaku.

f. Pekerjaan
Sebagain besar dari masyarakat Kecamatan B memiliki
pekerjaan sebagai petani sawah, pekerjaan seorang tani di sawah
sering terkontaminasi dengan tanah dan genangan air. Sebaiknya
bekerja dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat
ingin kontak dengan air genangan banjir, salah satunya dengan
memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan. (CDC.
2010. Leptospirosis Pre-decision Brief for Public Health
Action.Centers for Disease Control and Prevention: Atlanta.)

8
Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka
akan mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri Leptospira ke
dalam tubuh akan semakin besar. Bakteri Leptospira masuk tubuh
melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui
selaput lendir, tubuh yang lecet, dan melalui makanan
yangterkontaminasi.

g. Promosi kesehatan
Seiring dengan meluasnya penyebaran penyakit leptospirosis
maka harus dilakukan upaya-upaya penanggulangan penyakit
leptospirosis, misalnya dilakukan pelaksanaan kegiatan komunikasi,
diperlukan suatu strategi promosi untuk menarik perhatian
komunikan atau masyarakat.
Promosi kesehatan dapat diartikan sebagai suatu proses
untuk memampukan masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain, promosi
kesehatan adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat
sehingga mereka mau dan mampu untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri. (Slamet, Juli Soemirat.
2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.)
Definisi di atas menekankan bahwa promosi kesehatan
adalah suatu program perubahan perilaku masyarakat yang
menyeluruh dalam konteks masyarakatnya. Bukan hanya perubahan
perilaku, melainkan juga harus diikuti oleh perubahan
lingkungannya. Artinya apabila perubahan perilaku tanpa diikuti
oleh perubahan lingkungan tidak akan efektif dan perilaku tersebut
tidak akan bertahan lama karena promosi kesehatan bukan sekedar
mengubah perilaku saja tetapi juga mengupayakan perubahan
lingkungan, sistem dan sebagainya. (Effendy, Nasrul. 2002. Dasar-
Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.)

9
Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik
internal (dari dalam diri manusia) maupun eksternal (dari luar diri
manusia). Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan baik individu, kelompok masyarakat dikelompokkan
menjadi 4 (Blum, 1974), yaitu:
1) Lingkungan (environment) yang mencakup lingkungan
fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.
2) Perilaku (behavior)
3) Pelayanan kesehatan (healthservice)
Keturunan (heredity)Tujuan promosi kesehatan adalah
membuat orang lain mampu meningkatkan kontrol terhadap dan
memperbaiki kesehatan masyarakat dengan basis filosofi yang jelas
mengenai pemberdayaan diri sendiri (self emprofment). Menurut
Notoatmodjo (2003: 54), ruang lingkup promosi kesehatan
berdasarkan tatanan pelaksanaannya dikelompokkan menjadi:
(Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat
Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta. Rineka Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta: Jakarta.)
a) Promosi kesehatan pada tatanan keluarga (tumah
tangga)
b) Promosi kesehatan pada tatanan sekolah
c) Promosi kesehatan pada tatanan tempat kerja
d) Promosi kesehatan pada tatanan tempat-tempat umum
e) Promosi kesehatan pada tatanan fasilitas pelayanan
kesehatan.
Sasaran dari adanya promosi kesehatan adalah:
1) Individu/keluarga
2) Masyarakat
3) Pemerintah/lintas sektor/politisi/swasta,
4) Petugas atau pelaksana program

10
Sehubungan dengan hal itu, promosi kesehatan dihubungkan
dengan bebeberapa tatanan, antara lain tatanan rumah tangga,
tatanan tempat kerja, tatanan institusi kesehatan, tatanan tempat-
tempat umum. Agar lebih spesifik menurut Maulana (2009: 22),
sasaran kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu: (Maulana HDJ. 2009.
Promosi Kesehatan.Jakarta: EGC, hal. 22.)

1) Sasaran primer, adalah sasaran yang mempunyai


masalah, yang diharapkan mau berperilaku sesuai
harapan dan memperoleh manfaat paling besar dari
perubahan perilaku tersebut.
2) Sasaran sekunder, adalah individu atau kelompok yang
memiliki pengaruh atau disegani oleh sasaran primer.
Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung
pesan-pesan yang disampaikan kepada sasaran primer.
3) Sasaran tersier, adalah para pengembil kebijakan,
penyandang dana, pihak-pihak yang berpengaruh
diberbagai tingkat (Pusat, Propinsi, Kabupaten,
Kecamatan, dan Desa/Kelurahan) sering dijumpai
sehari-hari. Sebagian besar penduduk (61%) bekerja
sebagai petani atau buruh tani, yang bekerja biasa tanpa
alat pelindung diri terutama dalam kontak dengan air.

C. PEMBAHASAN
1. Apa itu penyakit Leptospirosis ?
Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosa yang menjadi
masalah kesehatan di Indonesia yang di sebabkan oleh infeksi bakteri
berbentuk spiral dari genus leptospira yang pathogen, yang di tularkan
secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia. (PDPERSI
Jakarta, 2007). Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan
kuman leptospira patogen (Saroso, 2003). Dan menurut gejala klinis di

11
bagi menjadi bentuk berat/ilterus dan ringan/unikterus. Secara umum
gejala umum yang muncul adalah demam, nyeri kepala, nyeri otot,
khususnya di daerah betis, paha, serta gagal ginjal. (WHO, 2003).
Leptospirosis dikeluarkan melalui kontak air, lumpur, tanaman yang telah
di cemarkan oleh air seni dan rodent (tikus) dan hewan lain yang
mengandung bakteri leptospirosis. (Swastiko, 2009).

2. Bagaimana mata rantai penyakit Leptospirosis?


Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang
manusia dan binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang
dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling
sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever
atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Transmisi
bakteri leptospira ke manusia dapat terjadi karena ada kontak dengan air
atau tanah yang tercemar urin hewan yang mengandung leptospira. Selain
itu penularan bisa juga terjadi karena manusia mengkonsumsi makanan
atau minuman yang terkontaminasi dengan bakteri leptospira.
Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam proses
penularan leptospirosis. Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan
fisik, biologik, dan sosial. Salah satu pengaruh lingkungan sosial adalah
mengenai jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit
leptospirosis antara lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan,
pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang,
tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak dengan
binatang. Lingkungan fisik berupa keberadaan sungai yang membanjiri
sekitar rumah, kondisi parit atau selokan yang tergenang airnya,
keberadaan genangan air dan jarak rumah terhadap tempat pembungan
sampah. Lingkungan biologi berupa keberadaan tikus dan hewan
peliharaan (kucing, anjing, sapi, kerbau, babi, dll) yang menjadi hospes
sementara.

12
Gambar 2.2. Siklus Penularan Leptospirosis

3. Bagaimana cara penularan Leptospirosis ?


Risiko manusia terinfeksi tergantung pada paparan terhadap faktor
risiko. Beberapa manusia memiliki risiko tinggi terpapar Leptospirosis
karena pekerjaannya, lingkungan dimana mereka tinggal atau gaya hidup.
Kelompok pekerjaan utama yang berisiko yaitu petani atau pekerja
perkebunan, petugas pet shop, peternak, petugas pembersih, saluran air,
pekerja pemotongan hewan, pengolah daging, dan militer. Kelompok lain
yang memiliki risiko tinggi terinfeksi Leptospirosis yaitu bencana alam
seperti banjir dan peningkatan jumlah manusia yang melakukan olahraga
rekreasi air. (Kemenkes RI, 2017)
Manusia dapat terinfeksi Leptospirosis karena kontak secara
lansung atau tidak langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira.
(Kemenkes RI, 2017)
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang
mengandung kuman leptospira masuk kedalam tubuh
pejamu.

13
2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat
pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan atau
menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong
hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.

3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi


melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari
ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta
dan air susu ibu.

b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :


1) Genangan air.
2) Sungai atau badan air.
3) Danau.
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.

4. Bagaimana cara mematahkan rantai penularan Leptospirosis ?


Menurut Kementrian kesehatan republik Indonesia dalam petunjuk
teknis pengendalian leptosprirosis (2017) mengenai pemutusan rantai
penularan meliputi peningkatan kualitas kesehatan lingkungan yang
mencakup :
a) Identifikasi dan melakukan kontrol pada sumber infeksi
(seperti pembuangan kotoran yang terbuka, dan sumber air
yang terkontaminasi);
b) Pengawasan pada hewan reservoir seperti hewan pengerat
termasuk juga hewan lain yang berisiko seperti anjing dan
hewan ternak;
c) Desinfeksi permukaan tanah yang terkontaminasi seperti lantai
rumah, teras, dan sebagainya, dengan cairan desinfektan;
d) Jika memungkinkan, tandai area yang berisiko tinggi
terkontaminasi dengan tanda larangan masuk.

14
Pengendalian infeksi/penyakit pada manusia dengan antibiotik,
serta melakukan usaha promotif untuk penghendalian Leptospirosis yang
dapat dilakukan dengan cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan
daerah lain mempunyai serovar dan epidemi Leptospirosis yang berbeda.

5. Apakah ada hubungan antara sanitasi dasar dengan Leptospirosis ?


Kondisi sanitasi rumah berpengaruh terhadap terjadinya
leptospirosis. Beberapa aspek kondisi sanitasi rumah yang berkaitan
dengan kejadian leptospirosis meliputi : kondisi selokan, karakteristik
genangan air, sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah,
kejadian banjir, dan keberadaan tikus di dalam rumah.
Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan
kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis.
Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus.
Perilaku yang sehat berkaitan dengan sampah adalah sampah harus
diperlakukan dengan benar agar tidak membahayakan manusia bahkan
dapat mendatangkan manfaat. Sampah dikumpulkan di tempat sampah
yang memenuhi syarat kesehatan atau dibuang di lubang tanah dan
menguburnya, sehingga tidak dijangkau serangga dan tikus. Seringkali
masyarakat membuat lubang tanah untuk membuang sampah, namun cara
ini tidak sehat karena adanya kumpulan sampah akan menjadi indikator
dari kehadiran tikus serta menjadi tempat tinggal yang disenangi oleh
tikus. Sampah yang sudah terkumpul diangkut setiap hari ke tempat
penampungan sampah sementara atau ke tempat pembuangan sampah
akhir pada suatu lahan yang diperuntukkan atau ke tempat pengolahan
sampah.

6. Apakah faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian Leptospirosis ?


Faktor risiko Leptospirosis adalah kondisi yang melekat pada
individu (seperti riwayat, usia, jenis kelamin, dan keluarga) dan
kebiasaan (seperti aktivitas sehari-hari) yang lebih umum diantara orang
yang terkena Leptospirosis dibandingkan orang yang tidak terjangkit

15
Leptospirosis. Faktor risiko biasanya tidak menyebabkan penyakit tetapi
hanya mengubah probabilitas seseorang (atau risiko) untuk mendapatkan
penyakit. Secara epidemiologik bahwa penyakit dipengaruhi oleh tiga
faktor utama yaitu pertama faktor agent penyakit yang berkaitan dengan
penyebab (jumlah, virulensi, patogenitas kuman Leptospira), faktor
kedua yang berkaitan dengan faktor host (pejamu/tuan rumah/penderita)
termasuk di dalamnya adalah keadaan kebersihan perorangan, keadaan
gizi, usia, taraf pendidikan, jenis pekerjaan, sosial ekonomi dll, dan
Faktor ketiga adalah lingkungan fisik (selokan tidak terawat, banyak
genangan air) lingkungan bilogik (banyaknya populasi tikus di dalam atau
sekitar rumah, hewan piaraan sebagai hospes perantara), lingkungan
sosial ekonomi (jumlah pendapatan), lingkungan budaya (Kemenkes,
2017).

Berikut merupakan factor resiko kejadian Leptospirosis


(Kemenkes, 2017) :
a) Kejadian Leptospirosis menurut umur dan jenis kelamin
Kasus Leptospirosis terbanyak pada umur 15 tahun – 69
tahun. Kasus Leptospirosis pada anak jarang di laporkan,
karena tidak terdiagnosis atau manifestasi klinis yang berbeda
dengan orang dewasa. Laki-laki dan perempuan mempunyai
peluang yang sama tertular Leptospirosis.
b) Kejadian Leptospirosis menurut pekerjaan
Infeksi pada manusia bisa di dapat melalui pekerjaan,
aktivitas di luar pekerjaan, rekreasi, kegemaran orang yang
bekerja atau melakukan aktivitas di lingkungan yang
berhubungan dengan tikus atau lingkungan yang tercemari
urin tikus terinfeksi, maka orang tersebut mempunyai risiko
terinfeksi. Pekerja laboratorium yang berhubungan dengan
pertanian atau binatang, pekerja peternakan, pekerja
perkebunan karet, pekerja abbatoir, pengolahan ikan dan

16
unggas, jagal, penggali selokan, pekerja selokan, petani,
pekerja pasar, dokter hewan, pekerja tambang, pekerja
hewan, pengelola sampah di daerah endemis Leptospirosis.
Kontak dengan air, lumpur, tanah maupun rumput yang
tercemari urin tikus terinfeksi, saat latihan militer, rekreasi
seperti berenang, hiking, kamping, berburu, memancing,
berkebun dan penggunaan air tanah hujan, serta berjalan
disekitar rumah tanpa alas kaki mempunyai risiko tinggi
untuk tertulari Leptospira.
c) Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis menurut kebiasaan
penderita host/penjamu
Beberapa faktor yang merupakan faktor risiko kejadian
Leptospirosis menurut kebiasaan seperti kebiasaan aktifitas
ditempat berair dengan kondisi adanya luka di badan,
kebiasaan tidak merawat luka dengan baik di daerah banyak
genangan air juga merupakan faktor risiko Leptospirosis.
Kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi di
sungai, perilaku hidup bersih yang kurang baik seperti
keberadaan sampah di dalam rumah dan kurang pengetahuan
tentang Leptospirosis.
d) Kejadian Leptospirosis menurut keberadaan tikus di rumah
Faktor risiko kejadian Leptospirosis yang penting adalah
keberadaan tikus didalam rumah dan lingkungan di sekitar
rumah. Tikus merupakan hewan penular utama Leptospirosis
(lebih dari 50%). Berdasarkan referensi penelitian hasil
Brooks dkk (2001), adanya tikus di dalam rumah mempunyai
risiko 4 kali lebih tinggi terkena Leptospirosis. Jenis tikus
yang sering sebagai reservoar terjadinya Leptospirosis adalah
tikus riul (R.norvegicus), tikus rumah (R.diardii), tikus
kebun (R. exulans) celurut rumah (Suncus murinus).
Disamping keberadaan binatang disekitar rumah juga

17
merupakan faktor risiko seperti anjing, kucing, kambing,
sapi dll.
e) Kejadian Leptospirosis menurut keberadaan hewan
ternak/piaraan
Di sebagian besar negara tropis termasuk negara berkembang
kemungkinan paparan Leptospirosis terbesar pada manusia
karena terinfeksi dari binatang ternak, binatang rumah,
maupun binatang liar. Di Salem distrik di Tanil Nadu India,
pada bulan Oktober tahun 2000 dilaporkan adanya seorang
pekerja di pegilingan padi yang lingkungannya banyak
binatang ternak, anjing, tikus, dan kucing menderita
Leptospirosis, setelah dilakukan pemeriksaan MAT terhadap
hewan-hewan tersebut didapatkan 12 dari 23 (52, 1%) tikus,
6 dari 9 (66, 6%) kucing, 2 dari 4 (50%) anjing, 18 dari 34
(52, 9%) hewan ternak test MAT positif.
f) Kejadian Leptospirosis menurut Lingkungan abiotik dan
biotik
Kondisi lingkungan dapat merupakan faktor risiko timbulnya
Leptospirosis, seperti di daerah rawan banjir, daerah kumuh,
persawahan/perkebunan dan tempat rekreasi (kolam renang,
danau). Dari beberapa referensi penelitian diketahui beberapa
faktor risiko di lingkungan rumah dengan kondisi rumah
tidak sehat, lingkungan tanah becek banyak genangan air,
selokan dekat rumah yang tidak mengalir, sampah sekitar
rumah yang tidak dikelola. Leptospira dapat bertahan hidup
di lingkungan yang ber pH mendekati netral (6,8 – 74).
Curah hujan secara tidak langsung dapat di kaitkan dengan
angka kejadian Leptospira, hal ini karena curah hujan yang
tinggi dapat mengakibatkan terjadinya banjir dan adanya
genangan air yang dapat merupakan faktor risiko
Leptospirosis. Leptospira dapat hidup berbulan-bulan dalam

18
lingkungan yang hangat (220C) dan pH relatif netral (pH 6,
2-8). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri
Leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4. Temperatur
antara 280C-300C. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang
mengenang. Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk
bakteri Leptospira adalah air yang menggenang dengan
ketinggian 5-10 cm dan pH antara 6,7-8,5.

7. Apa saja upaya dalam pemberantasan Leptospirosis ?


Upaya dalam pemberantasan Leptospirosis, meliputi sebagai
berikut :
a) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung
mata, apron, masker).
b) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan
plester kedap air.
c) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan
percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
d) Menumbuhkan kesadaran terhadap potensi resiko dan metode
untuk mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan
mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai
hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan
tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa
sarung tangan.
e) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik
saat kontak dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan
waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat
hewan yang sakit.
f) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan
membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-
lain.

19
g) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan
air minum yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah
infeksi kuman leptospira.
h) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian
pupuk aau bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi
kuman leptospira berkurang.
i) Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air
kolam, genagan air dan sungai yang telah atau diduga
terkontaminasi kuman leptospira.
j) Jauhi binatang yang rentan terinfeksi bakteri, terutama tikus
liar yang paling banyak membawa bakteri leptospira.
k) Vaksinasi hewan piaraan atau ternak supaya terhindar dari
leptospirosis.

8. Bagaimana cara menyusun perencanaan program untuk penanggulangan


dan pencegahan Leptospirosis ?
Pada dasarnya tindakan untuk melakukan pencegahan tidak sesuai
jika dilakukan ketika seseorang telah menderita suatu penyakit. Tetapi,
upaya pencegahan harus dilakukan jauh sebelumnya yaitu pada kondisi
sehatpun harus ada upaya yang positif. Tindakan pencegahan merupakan
upaya untuk memotong perjalanan riwayat alamiah penyakit pada titik-
titik atau tempat-tempat yang paling berpotensi menyebabkan penyakit
atau sumber penyakit (Budioro, 2001: 47). Untuk menyusun perencanaan
penanggulangan dan pencegahan Leptospirosis pada tiap-tiap
kecamatan/permukiman bisa dilakukan dengan cara yaitu pencegahan
primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah suatu upaya dengan kegiatan yang
bersifat promotif, termasuk proteksi spesifik dengan cara vaksinasi yang
dilakukan agar orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari
leptospirosis. Sedangkan pencegahan sekunder merupakan upaya yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu komplikasi dari penyakit yang

20
nantinya dapat menyebabkan kematian, sehingga sasarannya adalah orang
yang sudah sakit leptospirosis.
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar
tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:

a) Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang


terkontaminasi.
Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi
leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja
laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus
atau alat pelindung diri standar yang dapat melindungi kontak
dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira.
Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung
tangan.
b) Melindungi sanitasi air minum penduduk.
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik,
dilakukan filtrasi dan deklorinasi untuk mencegah invasi
leptospira.
c) Pemberian vaksin
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat
tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman
sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan
dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja
laboratorium dan juga vaksinasi terhadap hewan peliharaan
efektif untuk mencegah leptospirosis.
d) Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis.
e) Pengendalian hospes perantara leptospira.
Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira
adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara untuk
membasmi roden seperti penggunaan racun tikus,

21
pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan
menggunakan predator roden.
f) Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan
dengan cara edukasi. Untuk mendukung usaha promotif ini
diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang
dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat
Dinas Kesehatan setempat.

Pokok-pokok cara penanggulangan dan pencegahan leptospirosis


juga memperhatikan hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis,
antara lain usia, jenis kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan
mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping
pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan
bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin
disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. Pencegahan
sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang
didiagnosis menderita leptospirosis

22
BAB III
RENCANA PROGRAM

Strategi Pengendalian Penyebaran Penyakit Leptospirosis yang dilakukan


adalah memutus agen infeksi yang menyebabkan penyakit ini. Dalam memutus
rantai ini ada dua program yang dilakukan yaitu :

3.1 Program Jangka Pendek

Tujuan program ini untuk meminimalkan penularan penyakit leptospirosis

3.2 Program Jangka Panjang

Tujuan program ini untuk memutus rantai terjadinya penyakit


leptospirosis.

 PROMOTIF
Penyuluhan terhadap kebersihan diri dan kebersihan lingkungan(Wc
umum, Sungai) sangat penting diajarkan agar tidak terjadi kejadiaan
seperti ini terulang kembali.

3.3 Persiapan Bahan Penyuluhan

Semua bahan untuk melakukan penyuluhan disiapkan oleh semua tim


yang melaksanakan penyuluhan yaitu tim kesehatan dan semua yang
mendapatkan tugas untuk menyiapkan.

 PENCEGAHAN (PREVENTIF)
Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko,
yang meliputi menjaga kebersihan lingkungan seperti, sungai, selokan,
tempat sampah.
 FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU
1. Menjaga Kebersihan Perorangan

23
Para masyarakat harus membersihkan diri sendiri dan tidak berperilaku
yang jorok.
2. Menjaga Kebersihan Lingkungan
Lingkungan rumah, selokan dan sungai harus di bersihkan.

A. Prioritas Penyelesaian masalah

Efektivitas Efisiensi Hasil


No Alternatif Jalan Keluar
𝑀𝑥𝐼𝑥𝑉
M I V C P=
𝐶

Pemberian edukasi tentang bagaimana cara

1 menjaga lingkungan 3 4 3 3 12

Penyuluhan tentang sanitasi


2 3 3 4 4 9

Pembagian tempat sampah gratis dan alat

3 pelindung diri untuk petani 4 3 4 3 16

Tabel 3.1. Daftar Penyelesaian Masalah Leptospirosis

P : Prioritas jalan keluar


M : Maknitude, besarnya masalah yang bias diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah ini)
I : Implementasi, kelanggengan selesainya masalah.
V : Valiability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, biaya yang diperlukan

24
Berdasarkan tabel perbaikan prioritas masalah yang dilakukan dengan metode
scoring, maka prioritas pertama penyelesaian masalah yang kami lakukan adalah
pembagian tempat sampah gratis dan alat pelindung diri untuk petani.

B. Pemecahan Masalah berdasarkan Rencana Kegiatan Plan Of Activity (


POA )

Rincian Lokasi Tenaga


Volume Kebutuhan
No Kegiatan Sasaran Target pelaksan pelaksa pelaksa Jadwal
kegiatan pelaksanaan
aan naan naan

1 Inventari Seluruh 100 % Seluruh 1.Mend Balai Tim 3 hari a. Data


sasi masyara masya masyara ata desa kesehat setelah anggota
sasaran. kat dan rakat kat dan semua an kejadia masyarakat
pemerin dan pemerin masyara n b. Alat tulis,
tah pemer tah kat dan Ruangan,audi
setempa intah setempa penderit o, konsumsi,
t. setem t. a dana, alat
pat. tulis, tempat
2.meren
sampah, alat-
canakan
alat pelindung
pembag
diri untuk
ian
petani
tempat
sampah
dan alat
pelindu
ng diri
untuk
petani.

25
2 Pemberia Seluruh 100 % Seluruh 1.penyu Balai Tim 4 Hari
n edukasi masyara masya masyara luhan desa kesehat setelah
kepada kat dan rakat kat dan tentang an kejadia
masyarak pemerin dan pemerin sanitasi n
at tah pemer tah
2.pemb
setempa intah setempa
erian
t. setem t.
edukasi
pat.
tentang
kebersi
han
lingkun
gan

3.
Pemberi
an
edukasi
pembua
ngan air
limba
yang
benar

4.meber
ikan
edukasi
cara
membu
at wc
umum
yang
benar
dan

26
sehat

5.pemb
agian
tempat
sampah
dan alat
pe-
lindung
diri
untuk
petani

Tabel 3.2. Plan Of Activity (POA)

27
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang didapatkan oleh kelompok kami adalah bahwa hubungan


antara keadaan lingkungan terhadap kejadian luar biasa leptospirosis di desa
tersebut dengan memberikan penyuluhan kepada warga desa tersebut tentang cara
mencegah dan memutuskan mata rantai penularan leptospirosis. Dengan cara
pemberian edukasi tentang bagaimana cara menjaga lingkungan yang baik dan
benar, mengadakan penyuluhan tentang sanitasi lingkungan, dan pembagian
tempat sampah gratis dan alat pelindung diri untuk para petani di desa tersebut.

Sebaiknya masyarakat setempat lebih memperhatikan kebersihan


lingkungan dan kebersihan diri. Dan seharusnya program–program yang ada di
daerah tersebut berjalan dengan baik serta puskesmas mengkontrol kebersihan
masyarakat di desa tersebut. Karena dengan adanya kesadaran masyarakat akan
pentingnya menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan lingkungan
(envirotment) akan membuat prevelensi kejadian Leptospirosis menurun dan
masyarakat setempat dapat terhindar dari penyakit tersebut.

28
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI. 2017.Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis.


Jakarta: Kemenkes RI. Diakses tanggal 11 Mei 2020 dari
http://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Buku_Petunjuk_Teknis_P
engendalian_Leptospirosis.pdf
Priyambodo, S. (2009). Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Cetakan Keempat.
Jakarta: Penerbit Swadaya.
Saroso, S. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I
Siti, nurcha. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-sitinurcha-
6633-3-babii.pdf.
Wahid, Waode Annisa. 2017. Leptospirosis. Makassar : Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar. Hal : 7.

29

Anda mungkin juga menyukai