Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENGERTIAN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

MATA KULIAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

Disusun oleh:

1. Amatullah Muthi’ah As-Syahidah (P23133117004)


2. Hasti Amalia (P23133117016)
3. Rizqia syaffa sabila (P23133117033)

Kelompok 1

2 D-IV

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II
2018/2019
DAFTAR ISI

1. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan Menurut Para Ahli................................... 2


2. Jenis Penyakit Berbasis Lingkungan Dan Faktor Risiko ............................................ 3
3. Faktor Risiko Penyakit Berbasis lingkungan .............................................................. 3
3.1 Jenis Penyakit Berbasis lingkungan dana Faktor risikonya ................................. 6
3.1.1 Diare ............................................................................................................ 7
3.1.2 ISPA ............................................................................................................. 9
3.1.3 Tuberculosis .............................................................................................. 12
3.1.4 Demam Berdarah Dengue......................................................................... 16
3.1.5 Cacingan .................................................................................................... 21
2. Teori Simpul Terjadinya Penyakit ............................................................................ 21
3. Hukum Kesehatan Tentang Penyakit Berbasis Lingkungan ..................................... 24
4. Analisis Dampak Lingkungan Dalam Penyakit Berbasis Lingkungan ..................... 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 25

1
1. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan Menurut Para Ahli

Pengertian Penyakit merupakan suatu kondisi patologis berupa kelainan

fungsi dan /atau morfologi suatu organ dan/atau jar tubuh. (Achmadi’05).

Sedangkan pengertian Lingkungan adalah segala sesuatu yg ada disekitarnya

(benda hidup, mati, nyata, abstrak) serta suasana yg terbentuk karena terjadi

interaksi antara elemen-elemen di alam tersebut. (Sumirat’96).

Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa

kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh

interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi

penyakit.

1. HL Blum, seorang pakar yang selama ini selalu menjadi rujukan dan

’‘suhu’ kesehatan masyarakat, melalui teorinya, berpendapat bahwa

kesehatan lingkungan dan perilaku manusia merupakan dua faktor

dominan yang paling berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat.

Komponen perilaku dan komponen kesehatan lingkungan ini merupakan

dua faktor yang paling memungkinkan untuk diintervensi, sehingga telah

menjadi kiblat berbagai tindakan promotif dan preventif pada mayoritas

masalah penyakit dan masalah kesehatan.

2. Achmadi, 2008. Penyakit berbasis lingkungan masih mendominasi

masalah kesehatan di negara berkembang. Penyakit berbasis lingkungan

dapat terjadi karena adanya hubungan interaktif antara manusia, perilaku

serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit.

2
2. Jenis Penyakit Berbasis Lingkungan Dan Faktor Risiko

 Disebabkan oleh virus seperti ISPA, TBC paru, Diare, Polio,

Campak, dan Kecacingan;

 Disebabkan oleh binatang seperti Flu burung, Pes, Anthrax ; dan

 Disebabkan oleh vektor nyamuk diantanya DBD, Chikungunya dan

Malaria.

Para ahli kesehatan masyarakat pada umumnya sepakat bahwa kualitas

kesehatan lingkungan adalah salah satu dari empat faktor yang mempengaruhi

kesehatan manusia menurut H.L Blum yang merupakan faktor yang

memberikan kontribusi terbesar terhadap pencapaian derajat kesehatan.

Memang tidak selalu lingkungan menjadi faktor penyebab, melainkan

juga sebagai penunjang, media transmisi maupun memperberat penyakit yang

telah ada.

3. Faktor Risiko Penyakit Berbasis lingkungan


Faktor yang menunjang munculnya penyakit berbasis lingkungan antara lain:

1) Ketersediaan dan akses terhadap air yang aman

Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya air

dimana ketersediaan air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun,

jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik

3
per tahun. Namun demikian, Indonesia masih saja mengalami persoalan air

bersih. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air

bersih, sebagian besar yang memiliki akses mendapatkan air bersih dari

penyalur air, usaha air secara komunitas serta sumur air dalam.

Dari data profil kesehatan Indonesia tahun 2016 yang dikeluarkan

oleh depkes menunjukkan bahwa secara nasional persentase rumah tangga

dengan akses air minum layak sebesar 71,14%. Provinsi dengan persentase

rumah tangga dengan akses air minum layak tertinggi yaitu DKI Jakarta

(92,44%), Bali (88,71%) dan Kepulauan Riau (85,31%). Sedangkan

provinsi dengan persentase rumah tangga menurut akses air minum layak

terendah adalah Bengkulu (37,35%), Lampung (52,41%), dan Papua

(52,69%). Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar

terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya nampak pada anak-anak sebagai

6 kelompok usia rentan.

2.1 Akses sanitasi dasar yang layak

Kepemilikan dan penggunaan fasilitas tempat buang air besar merupakan

salah satu isu penting dalam menentukan kualitas sanitasi. Mulai tahun 2015

definisi rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak adalah apabila

fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan, antara lain

dilengkapi dengan jenis kloset leher angsa atau plengsengan dengan tutup dan

memiliki tempat pembuangan akhir tinja tangki (septic tank) atau Sistem

Pengolahan Air Limbah (SPAL), dan merupakan fasilitas buang air besar yang

digunakan sendiri atau bersama.

4
Data dari Susenas Kor 2016 menunjukkan hasil mengenai persentase rumah

tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak. Secara nasional, terdapat

67,80% rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak.. Angka ini

jelas menjadi faktor besar yang mengakibatkan masih tingginya kejadian diare

utamanya pada bayi dan balita di Indonesia.

4. Penanganan sampah dan limbah

Tahun 2010 diperkirakan sampah di Indonesia mencapai 200.000 ton per

hari yang berarti 73 juta ton per tahun. Pengelolaan sampah yang belum tertata

akan menimbulkan banyak gangguan baik dari segi estetika berupa onggokan

dan serakan sampah, pencemaran lingkungan udara, tanah dan air, potensi

pelepasan gas metan (CH4) yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan

global, pendangkalan sungai yang berujung pada terjadinya banjir serta

gangguan kesehatan seperti diare, kolera, tifus penyakit kulit, kecacingan, atau

keracunan akibat mengkonsumsi makanan (daging/ikan/tumbuhan) yang

tercemar zat beracun dari sampah.

5. Vektor penyakit

Vektor penyakit semakin sulit diberantas, hal ini dikarenakan vektor

penyakit telah beradaptasi sedemikian rupa terhadap kondisi lingkungan,

sehingga kemampuan bertahan hidup mereka pun semakin tinggi. Hal ini

didukung faktor lain yang membuat perkembangbiakan vektor semakin pesat

antara lain: perubahan lingkungan fisik seperti pertambangan, industri dan

pembangunan perumahan; sistem penyediaan air bersih dengan perpipaan yang

belum menjangkau seluruh penduduk sehingga masih diperlukan container

5
untuk penyediaan air; sistem drainase permukiman dan perkotaan yang tidak

memenuhi syarat; sistem pengelolaan sampah yang belum memenuhi syarat,

penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dalam pengendalian vektor;

pemanasan global yang meningkatkan kelembaban udara lebih dari 60% dan

merupakan keadaan dan tempat hidup yang ideal untuk perkembang-biakan

vektor penyakit.

6. Perilaku masyarakat Perilaku Hidup Bersih san Sehat belum banyak

diterapkan masyarakat,

Menurut studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006,

perilaku masyarakat dalam mencuci tangan 7 adalah (1) setelah buang air besar

12%, (2) setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, (3) sebelum makan

14%, (4) sebelum memberi makan bayi 7%, dan (5) sebelum menyiapkan

makanan 6 %. Studi BHS lainnya terhadap perilaku pengelolaan air minum

rumah tangga menunjukan 99,20 % merebus air untuk mendapatkan air minum,

namun 47,50 % dari air tersebut masih mengandung Eschericia coli.Menurut

studi Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP) tahun 2006

terdapat 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke sungai, sawah,

kolam, kebun dan tempat terbuka.

3.1 Jenis Penyakit Berbasis lingkungan dana Faktor risikonya

6
3.1.1 Diare

Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang frekuensinya

lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer. Diare dapa

diklasifikasikan menjadi 3 yaitu diare akut, kronik dan persisten. Agen

yang dapat menyababkan diare antara lain bias melalui tiga jalur, yaitu:

pada makanan, dalam air, atau penularan dari satu orang ke orang lain.

Perbedaan cara penularan melalui ketiganya tergantung pada potensi

ketersediaannya di lingkungan tempat tinggal kita dan reflek yang

diperlukan agen tersebut untuk memunculkan infeksi.

Faktor risikonya

a. Umur

 Kebanyakan episode diare terjadi pada dua tahun pertama

kehidupan. Insiden paling tinggi pada golongan umur 6-11 bulan,

pada masa diberikan makanan pendamping. Hal ini karena belum

terbentuknya kekebalan alami dari anak pada umur di bawah 24

bulan.

b. Jenis Kelamin

 Resiko kesakitan diare pada golongan perempuan lebih rendah

daripada laki-laki karena aktivitas anak laki-laki dengan lingkungan

lebih tinggi.

c. Musim

7
 Variasi pola musim di daerah tropik memperlihatkan bahwa diare

terjadi sepanjang tahun, frekuensinya meningkat pada peralihan

musim kemarau ke musim penghujan.

d. Status Gizi

 Status gizi berpengaruh sekali pada diare. Pada anak yang kurang

gizi karena pemberian makanan yang kurang, episode diare akut

lebih berat, berakhir lebih lama dan lebih sering. Kemungkinan

terjadinya diare persisten juga lebih sering dan disentri lebih berat.

Resiko meninggal akibat diare persisten atau disentri sangat

meningkat bila anak sudah kurang gizi.

e. Lingkungan

 Di daerah kumuh yang padat penduduk, kurang air bersih dengan

sanitasi yang jelek penyakit mudah menular. Pada beberapa tempat

shigellosis yaitu salah satu penyebab diare merupakan penyakit

endemik, infeksi berlangsung sepanjang tahun, terutama pada bayi

dan anak-anak yang berumur antara 6 bulan sampai 3 tahun.

f. Status Sosial Ekonomi

 Status sosial ekonomi yang rendah akan mempengaruhi status gizi

anggota keluarga. Hal ini nampak dari ketidakmampuan ekonomi

keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga khususnya pada

anak balita sehingga mereka cenderung memiliki status gizi kurang

bahkan status gizi buruk yang memudahkan balita tersebut terkena

diare. Mereka yang berstatus ekonomi rendah biasanya tinggal di

8
daerah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga

memudahkan seseorang untuk terkena diare.

g. Perilaku

 Air minum yang mengandung E. Coli yang tidak direbus sampai

mendidih.

 Air sungai yang tercemar bakteri E.coli karena orang diare buang air

besar di sungai digunakan untuk mencuci bahan makanan, peralatan

dapur, sikat gigi, dan lain-lain.

 Tangan yang terkontaminasi dengan bakteri E.coli (sesudah BAB

tidak mencuci tangan dengan sabun)

 Makanan yang dihinggapi lalat pembawa bakteri E.Coli kemudian

dimakan oleh manusia.

3.1.2 ISPA

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan

Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute

Respiratory Infection (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang

salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung

(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada

anak, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian

9
penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6

kali pertahun, yang berarti seorang balita rata- rata mendapat serangan

batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun.

Faktor risiko

a. Rumah

Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya

untuk tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan

pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk

kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk

keluarga dan individu (WHO, 2007). Anak-anak yang tinggal di

apartemen memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA

daripada anak-anak yang tinggal di rumah culster di Denmark.

Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di

dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan

mempermudah terjadinya ISPA anak.

b. Kepadatan hunian (crowded)

Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota

keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk

ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa

kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna

prevalensi ISPA berat.

c. Status sosio-ekonomi

10
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosio-

ekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan

kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan tidak ada hubungan

antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan

korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan

rendahnya status sosio-ekonomi (Darmawan,1995).

d. Kebiasaan merokok

Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai

kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak

dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain

didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua

merokok (Koch et al, 2003)

e. Polusi udara

Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan

pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah

ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian

kesehatan Universitas Indonesia untuk mengetahui efek pencemaran

udara terhadap gangguan saluran pernafasan pada siswa sekolah

dasar (SD) dengan membandingkan antara mereka yang tinggal di

wilayah pencemaran udara tinggi dengan siswa yang tinggal di

wilayah pencemaran udara rendah di Jakarta. Dari hasil penelitian

tidak ditemukan adanya perbedaan kejadian baru atau insiden

11
penyakit atau gangguan saluran pernafasan pada siswa SD di kedua

wilayah 14 pencemaran udara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

pencemaran menjadi tidak berbeda dengan wilayah dengan tingkat

pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat yang aman untuk

semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran pemafasan.

Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh

terhadap terjadinya penyakit ISPA.

3.1.3 Tuberculosis

Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global.

Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, WHO menargetkan

untuk menurunkan kematian akibat tuberkulosis sebesar 90% dan menurunkan

insidens sebesar 80% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2014. Pada

tahun 2015 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru tuberkulosis atau

kasus/100.000 populasi, dengan 480.000 kasus multidrug-resistant. Indonesia

merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia setelah

India. Sebesar 60% kasus baru terjadi di 6 negara yaitu India, Indonesia, China,

Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Kematian akibat tuberkulosis

diperkirakan sebanyak 1,4 juta kematian ditambah 0,4 juta kematian akibat

tuberkulosis pada orang dengan HIV. Meskipun jumlah kematian akibat

tuberkulosis menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, tuberkulosis tetap

menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2015 (WHO,

Global Tuberculosis Report, 2016). Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan adalah pasien

12
tuberkulosis Basil Tahan Asam positif (BTA positif) melalui percik renik dahak

yang dikeluarkannya. Tuberkulosis dengan BTA negatif juga masih memiliki

kemungkinan menularkan penyakit TB meskipun dengan tingkat penularan

yang kecil

Faktor risiko

 Faktor Umur, dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada

Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa

kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara

bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya

mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB

Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.

 Faktor Jenis Kelamin, TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai

kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

 Tingkat Pendidikan, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi

terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang

memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga

dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk

mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.

 Pekerjaan, bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel

debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada

saluran pernafasan. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap

13
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup

sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu

juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah).

Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan

mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan

kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi

yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi

diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai

pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak

memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya

penularan penyakit TB Paru.

 Kebiasaan Merokok, merokok diketahui mempunyai hubungan dengan

meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit

jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan

merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.

Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya

infeksi TB Paru.

 Kepadatan hunian kamar tidur, luas lantai bangunan rumah sehat harus

cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah

tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak

menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan

kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena

penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.

14
 Pencahayaan, cahaya sangat penting karena dapat membunuh bakteri-

bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang

sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

 Ventilasi, kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di

dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan

merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/

bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.

 Kondisi rumah, kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko

penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat

perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan

menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media

yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.

 Status Gizi, kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap

kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.

 Perilaku, perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya

dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai

orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang

disekelilingnya.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu)

baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang

15
terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain.

Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama

lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah

merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap

status kesehatan penghuninya.

3.1.4 Demam Berdarah Dengue

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang

disebabkan oleh virus Dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus,

genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan

nyamuk dari genus Aedes, terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus.

Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh

kelompok umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan

perilaku masyarakat.

Faktor risiko

Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui konsep segitiga

epidemiologi. Faktor tersebut adalah agent (agen), host (manusia), Environment

(lingkungan). Timbulnya penyakit DBD bisa disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara faktor host (manusia) dengan segala sifatnya

(biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis), adanya agent sebagai penyebab dan

environment (lingkungan) yang mendukung.

1. Pembawa Penyakit (Agent)

16
Agent adalah sesuatu yang bila ada atau tidak ada akan

menimbulkan penyakit. Agent yang menyebabkan demam berdarah dengue

tentunya adalah nyamuk Aedes aegypti. Hanya nyamuk betina yang dapat

menggigit dan menularkan virus dengue.

Nyamuk ini umumnya menggigit di siang hari (09.00-10.00) dan

sore hari (16.00- 17.00). Nyamuk ini membutuhkan darah karena darah

merupakan sarana untuk mematangkan telurnya.1,5 Virus Dengue yang

ditularkan oleh nyamuk ini sendiri bersifat labil terhadap panas (termolabil)

ada 4 tipe virus yang menyebabkan DBD, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3,

dan DEN-4. Masing-masing virus dapat dibedakan melalui isolasi virus di

laboratorium. Infeksi oleh salah satu tipe virus dengue akan memberikan

imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang

akan datang. Namun, hanya memberikan imunitas sementara dan parsial

pada infeksi tipe virus lainnya. Bahkan beberapa penelitian mengatakan jika

seseorang pernah terinfeksi oleh salah satu virus, kemudian terinfeksi lagi

oleh tipe virus lainnya, gejala klinis yang timbul akan jauh lebih berat dan

seringkali fatal. Kondisi ini yang menyulitkan pembuatan vaksin terhadap

DBD.

2. Pejamu (host)

Pejamu (host) artinya adalah kelompok yang dapat terserang

penyakit ini. Dalam kasus penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk

17
ini, tentu ada beberapa hal yang mempengaruhi pejamu (host) ini mudah

terserang penyakit DBD ini, diantaranya.

Perilaku manusia yang menyebabkan terjangkitnya dan

menyebarnya DBD khususnya diantaranya adalah mobilitas dan kebiasaan

masyarakat itu sendiri. Mobilitas, saat ini dengan semakin tingginya

kegiatan manusia membuat masyarakat untuk melakukan mobilisasi dari

satu tempat ke tempat lain. Dan hal ini yang mempercepat penularan DBD.

Kebiasaan, kebiasaan yang dimaksud adalah sebagaimana

masyarakat di Indonesia cenderung memiliki kebiasaan menampung air

untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, menampung air

di bak mandi dan keperluan lainnya, yang menjadi tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Kebiasaan lainnya adalah

mengumpulkan barang-barang bekas dan kurang melaksanakan kebersian

dan 3M PLUS.

3. Lingkungan (Environment)

Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan yang

memudahkan terjadinya kontak dengan agent.

a. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik ada bermacam-macam misalnya tata rumah,

jenis kontainer, ketinggian tempat dan iklim.

1) Jarak antara rumah

18
Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu

rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin

mudah nyamuk menyebar kerumah sebelah menyebelah. Bahan-

bahan pembuat rumah, konstruksi rumah, warna dinding dan

pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah

tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk.

2) Macam kontainer

Termasuk macam kontainer disini adalah jenis/bahan kontainer,

letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup dan asal air

mempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.

3) Ketingian tempat

Pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap syarat-syarat

ekologis yang diperlukan oleh vektor penyakit. Di Indonesia nyamuk

Ae. aegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada daerah dengan

ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut

4) Iklim

Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik, yang

terdiri dari: suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan

angin

(a) Suhu udara

19
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi

metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun

sampai dibawah suhu kritis. Rata-rata suhu optimum untuk

pertumbuhan nyamuk adalah 25ºC - 27ºC. Pertumbuhan nyamuk akan

terhenti sama sekali bila suhu kurang 10ºC atau lebih dari 40ºC.

(b) Kelembaban udara

Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan

keadaan rumah menjadi basah dan lembab yang memungkinkan

berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit.

(c) Curah hujan

Hujan berpengaruh terhadap kelembaban udara dan tempat

perindukan nyamuk juga bertambah banyak.

(d) Kecepatan angin

Kecepatan angin secara tidak langsung berpengaruh pada

kelembaban dan suhu udara, disamping itu angin berpengaruh terhadap

arah penerbangan nyamuk.

b. Lingkungan Sosial

Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang

memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung

baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA, kebiasaan

20
membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi masyarakat khususnya

dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan resiko

terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di dalam masyarakat.

3.1.5 Cacingan

Penyakit cacingan adalah penyakit yang sering terjadi pada usia

anak anak. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman parasit. Parasit

parasit ini bisa hidup di dalam tubuh manusia dan masuk ke dalam tubuh

lewat makanan atau tangan yang terkontaminasi telor cacing tersebut.

Faktor risiko

a. Faktor biologi, disebabkan oleh Cacing Gelang, Cacing

Tambang dan Cacing Kremi

b. Faktor lingkungan

 Pembuatan jamban yang tidak sehat/memenuhi

persyaratan

 Tinggal diperkampungan kumuh

c. Faktor prilaku

 Tidak memcuci dan memasak sayuran dengan benar

 Tidak mencuci tangan sebelum makan

 Bermain di tanah

 BAB sembarangan

4. Teori Simpul Terjadinya Penyakit

21
Mengacu kepada gambaran skematik tersebut di atas, maka patogenesis

penyakit dapat diuraikan ke dalam 5 (lima) simpul, yakni :

 Simpul 1: sumber penyakit

Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan agent penyakit. Agent

penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan

penyakit melalui kontak secar langsung atau melalui media perantara (yang

juga kompenen lingkungan). Berbagai agent penyakit yang baru maupun

lama dapt dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:

a. Mikroba, seperti virus, amuba, jamur, bakteri, parasit, dan lain-lain.

b. Kelompok fisik, misalnya kekuatan radiasi, energi kebisingan,

kekuatan cahaya.

c. Kelompok bahan kimia toksik, misalnya pestisida, Merkuri,

Cadmium, CO, H2S dan lain-lain.

22
Sumber penyakit adalah titik yang secara konstan maupun kadang-

kadang mengeluarkan satu atau lebih berbagai komponen lingkungan

hidup tersebut di atas.

 Simpul 2: media transmisi penyakit

Ada lima komponen lingkungan yang lazim kita kenal sebagai

media transmisi penyakit, yaitu air, udara, tanah/pangan, binatang/serangga,

manusia/langsung. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit

jika di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit atau agent penyakit.

 Simpul 3: perilaku pemajanan (behavioural exposure)

Agent penyakit dengan atau tanpa menumpang komponen lingkungan

lain, masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal dengan

hubungan interaktif. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan

dengna penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dalam konsep yang

disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural exposure. Perilaku

pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen

lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit).

Masing-masing agent penyakit yang masuk ke dalam tubuh dengan cara-

cara yang khas. Ada 3 jalan masuk kedalam tubuh manusia, yakni :

a. Sistem pernafasan

b. Sistem pencernaan

c. Masuk melalui permukaan kulit

23
 Simpul 4: kejadian penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcomehubungan interaktif

penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan

kesehatan. Seseorang dikatakan sakit kalau salah satu maupun bersama

mengalami kelainan dibandingkan dengan rata-rata penduduk lainnya.

 Simpul 5: variabel suprasistem

Kejadian penyakit masih dipengaruhi oleh kelompok variabel

simpul 5, yakni variabel iklim, topografi, temporal, dan suprasistem lainnya,

yakni keputusan politik berupa kebijakan makro yang bisa mempengaruhi

semua simpul (Achmadi, 2008).

5. Hukum Kesehatan Tentang Penyakit Berbasis Lingkungan

Penyakit berbasis lingkungan di Bahasa dalam beberapa Undang-Undang,

diantaranya adalah:

1. UU RI No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup

2. UU RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

3. Kepmenkes RI No. 812/Menkes/SK-IX/2008 Tentang Sanitasi

STBM

24
6. Analisis Dampak Lingkungan Dalam Penyakit Berbasis Lingkungan

Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL)

ADKL pada dasarnya merupakan model pendekatan guna mengkaji

dan atau menelaah secara mendalam untuk mengenal, memahami dan

memprediksi kondisi karakteristik lingkungan yang berpotensi terhadap

timbulnya resiko kesehatan, dengan mengembangkan tatalaksana terhadap

sumber perubahan media lingkungan, masyarakat terpajan dan dampak

kesehatan yang terjadi.

Dengan demikian penerapan ADKL dapat dilakukan guna menelaah

rencana usaha atau kegiatan dalam tahapan pelaksanaan maupun pengelolaan

kegiatan serta melakukan penilaian guna menyusun atau mengembangkan

upaya pemantauan maupun pengelolaan untuk mencegah, mengurangi, atau

mengelola dampak kesehatan masyarakat akibat suatu usaha atau kegiatan

pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

http://dinkes.lumajangkab.go.id/penyakit-berbasis-lingkungan/

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39026/Chapter%20ll.pdf?s

equence=4&isAllowed=y

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/e1cf67b8122c12a4d2a95d6

ac50137ff.pdf

25
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016. Jakarta : Kemenkes. RI;

2017.

26

Anda mungkin juga menyukai