Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MAKALAH

PENGENDALIAN NYAMUK AEDES SP STADIUM


PRADEWASA DENGAN INSEKTISIDA

Nama Kelompok :

1. Suryani (P07133318001)
2. Dinan Fadiati (P07133318002)
3. M.Deka Andriansyah (P07133318003)
4. Rahmad Suhendra (P07133318004)
5. Diah Ayu Fitriana (P07133318009)
6. Ludfi Novia Sari (P07133318011)
7. Andy Putra Hermawan (P07133318013)
8. Hening Rofika Damayanti (P07133318015)
9. Kurnia Isa (P07133318017)

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA


SARJANA TERAPAN SANITASI LINGKUNGAN
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN 2019

KATA PENGANTAR

Asalamualaikum Wr. Wb.

1
Puji Syukur atas hidayah dan rahmat ilmu serta kekuatan dari Allah SWT
karena berkat Rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
sehingga makalah ini menjadi lebih baik dan dapat terselesaikan. Kami menyadari
bahwa tak ada gading yang tak retak, begitu pun dengan makalah ini, namun kami
berharap makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan baru bagi pembaca dan
penulis sendiri.

Yogyakarta, 20 Maret 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4

2
C. Tujuan Makalah......................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................6
A. Pengertian Nyamuk Aedes aegypti.........................................................................6
B. Klasifikasi Aedes aegpty........................................................................................6
C. Siklus Hidup Aedes aegypti L...................................................................................7
D. Pengendalian Vektor...............................................................................................7
E. Konsep Pengendalian Vektor..................................................................................7
F. Metode Pengendalian Vektor..................................................................................8
G. Macam Pengendalian Vektor..................................................................................8
H. Pengertian Insektisida, IGR dan BTI......................................................................8
BAB III...........................................................................................................................11
PEMBAHASAN.............................................................................................................11
A. Aplikasi Pengendalian Larva Vektor DBD...........................................................11
B. Dampak Pengendalian Larva Vektor DBD dengan Insektisida.............................19
C. Cara Mengatasi Dampak Penggunaan Insektisida................................................19
BAB IV............................................................................................................................21
PENUTUP......................................................................................................................21
A. Kesimpulan..........................................................................................................21
B. Saran....................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit DBD telah melanda berbagai daerah di Indonesia.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh
nyamuk Aedes aegepty Virus ini ditularkan dari orang ke orang oleh
nyamuk Aedes aegypti. DBD merupakan salah satu penyakit menular yang
dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) atau wabah. Meningkatnya

3
kasus DBD di berbagai tempat memacu peningkatan upaya pengendalian
populasi nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD baik oleh dinas
terkait maupun oleh masyarakat. Secara umum pengendalian DBD
dilakukan secara terpadu yaitu Pengamatan Jentik Berkala (PJB),
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3 M serta fogging (insektisida).
Upaya pengendalian populasi nyamuk dengan menggunakan bahan kimia
insektisida seringkali menjadi pilihan utama karena mudah dan hasilnya
langsung dapat terlihat oleh masyarakat. Beberapa golongan insektisida
sudah banyak digunakan program dalam pengendalian nyamuk.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana aplikasi pengendalian Larva Vektor DBD?
2. Bagaimana dampak pengendalian vektor DBD fase pra dewasa
dengan Insektisida?
3. Bagaimana cara mengatasi dampak penggunaan insektisida dalam
pengendalian larva vektor DBD?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui cara aplikasi pengendalian vektor DBD pada
fase pra dewasa.
2. Untuk mengetahui dampak pengendalian Vektor DBD dengan
insektisida pada fase pra dewasa.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi dampak penggunaan insektisida
dalam pengendalian larva Vektor DBD.
A. Pengertian Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti adalah nyamuk yang


BAB II sering dijumpai di lingkungan sekitar dan menjadi
vektor penyakit DBD. Penyakit Demam Berdarah
TINJAUAN
PUSTAKA Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan
endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia.
Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa)
di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim

4
penghujan. Phylum
Nyamuk Aedes Sub phylum
aegypti Class
merupakan vektor Ordo
virus dengue Family
penyebab Genus
penyakit Demam Spesies
Berdarah Dengue
(DBD) terutama
di daerah tropis
dan subtropis.
Walaupun
beberapa spesies
dari Aedes sp.
dapat pula
berperan sebagai
vektor tetapi
Aedes aegypti
tetap merupakan
vektor utama
dalam penyebaran
penyakit DBD.

B. Klasifikasi
Aedes aegpty
Menurut Maskoer
Jasin (1984),
Aedes aegpty
diklasifikasikan
sebagai
berikut:Kingdom

5
: Animalia : Diptera
: Arthropoda : Culicidae
: Invertebrata : Aedes
: Insecta : Aedes aegyp
i

6
C. Siklus Hidup Aedes aegypti L

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna


(Holometabola), yaitu telur membutuhkan waktu 1-2 hari untuk menetas
menjadi larva, setelah itu larva menjadi pupa dalam waktu 5-7 hari, dari pupa
hingga imigo (nyamuk dewasa) membutuhkan waktu 1-2 hari . Selama masih
bertelur, seekor nyamuk betina mampu meletakkan 100-400 butir telur.
Biasannya, telur-telur tersebut diletakkan dibagian yang berdekatan dengan
permukaan ai, seperti di bak yang airnya jernih dan tidak berhubungan
langsung dengan tanah.
D. Pengendalian Vektor
Pengendalian adalah upaya menurunkan populasi sasaran kendali
sampai pada batas yang tidak menimbulkan gangguan. Vektor adalah
artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber
penular penyakit. Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan
yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin
sehingga keberadaannya tidak lagi beresiko untuk terjadinya penularan
penyakit tular vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat
dengan vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dicegah
(Permenkes, 374/2010).
Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dapat berupa
pengamatan dan penyelidikan Bioekologi, penentuan status kevektoran, status
resistensi, efikasi serta pemeriksaan sampel. Pengendalian vektor terdapat
beberapa metode yaitu metode fisik, biologi, kimia dan pengelolaan
lingkungan.
E. Konsep Pengendalian Vektor
1. Menekan populasi vektor (kepadatan, umur populasi, vektor positif
parasite, positif virus).
2. Usaha pemberantasan (eradikasi) vektor adalah tidak
memungkinkan, sehingga konsep diubah menjadi pengendalian
3. Tidak menimbulkan kerusakan (kerugian) atau gangguan terhadap
tata lingkungan hidup.
F. Metode Pengendalian Vektor
Metode pengendalian vektor yang dilakukan adalah memutus mata
rantai kehidupan vektor pada tingkat kehidupan yang paling lemah, baik
tingkat pra dewasa maupun dewasa. Pengendalian vektor dapat dilakukan
pada fase pra dewasa maupun dewasa. Pengendalian pada fase pra dewasa
dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu secara kimia dengan
pengaplikasian Larvasida abate dan Insect Growth Regulator (IGR), biologi
dengan penggunaan parasit, predator dll dan dengan Pengelolaan atau
manipulasi lingkungan.
G. Macam Pengendalian Vektor
1. Alamiah
Seperti Hujan, Banjir, air pasang dll
2. Buatan Manusia
a. Kimiawi (insektisida, repellent, IGR,Atractant,
Chemosterilant).
b. Hayati (ikan pemakan jentik, Mesocyclop, Larva Toxor dll).
c. Pengelolaan/modifikasi lingkungan (pengeringan,
penimbunan, mengalirkan air tergenang, pengeringan sawah
berkala dll).
H. Pengertian Insektisida, IGR dan BTI
Pengertian insektisida

Dalam peraturan pemerintah nomor 1 tahun tentang pengawasan


peredaran, penyimpanan dan penggunaan insektisida, insektisida adalah semua
zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakanuntuk
memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia. Insektisida kesehatan masyarakat adalah insektisida yang digunakan
untuk pengendalian vektor penyakit dan hama permukiman seperti
nyamuk,serangga pengganggu lain lalat, kecoak yang dilakukan di daerah
permukiman endemis, pelabuhan, bandara, dan tempat-tempat umum lainnya.
Pengertian IGR
IGR merupakan zat pengatur tumbuh serangga yang berperan dalam
mengganggu atau menghambat pertumbuhan normal serangga. Pertumbuhan
yang tidak normal ditandai dengan perpanjangan stadium larva atau kegagalan
menjadi pupa atau dewasa mandul. IGR sering digunakan dalam pengendalian
serangga karena toksisitas pada mamalia umumnya sangat rendah. Selain itu,
kerja IGR adalah menggaggu proses pertumbuhan yang spesifik pada serangga
sasaran. Senyawa IGR bekerja dengan menghambat sintesa khitin dan hormon
juvenoid. Hormon ini merupakan senyawa yang menghambat proses
pergantian kulit (molting) pada stadium pradewasa.
Insect growth regulator atau disebut sebagai zat pengatur tumbuh
serangga merupakan insektisida mirip hormon tiruan yang mengatur
pertumbuhan pada siklus hidup pradewasa serangga. IGR terbagi kedalam dua
kelas yaitu: (1) Juvenile hormone analogdan (2) Chitin synthesis inhibitor
(Wirawan 2006).
Sebagian komponen dari senyawa IGR adalah hormon kemudaan
(juvenile hormone) yang disekresi oleh sepasang kelenjar di otak serangga
yang dikenal sebagai corpora allata. Hormon Juvenile berfungsi untuk
memerintahkan serangga agar tetap pada stadium pradewasa. Ketika serangga
sudah mencapai ukuran yang optimal yang juga dikenal sebagai critical
weight, hormon prothoracicotropic (PTTH) akan dilepaskan dan merangsang
sekresi hormon ecdyson yang bekerja untuk memicu proses pergantian kulit.
Mekanisme yang mengendalikan sekresi PTTH berbeda antara spesies
serangga. Serangga hemiptera seperti Rhodnius prolixusdan Oncopelitus
fasciatus akan mengalami peregangan perut setelah mengisap darahsebagai
signal terjadinya sekresi PTTH dan pergantian kulit berikutnya (Minakuchi
dan Riddiford 2006). Pada kondisi pertumbuhan serangga normal, ketika
pertumbuhan serangga sudah dianggap cukup maka produksi hormon juvenile
akan berhenti dan memicu serangga untuk berganti kulit menjadi stadium
dewasa. Pemberian juvenile hormone analog mengakibatkan kegagalan larva
serangga untuk berganti kulit sehingga terjadi perpanjangan stadium larva atau
pupa. Senyawa-senyawa yang termasuk ke dalam juvenile hormone analog
adalah fenoxycarb, hidropren, kinopren, metopren, dan piriproksifen (Lim dan
Lee 2005).
Senyawa IGR selain mengganggu sistem endokrin juga menghambat
produksi kutikula. Khitin adalah lapisan utama penyusun tubuh serangga
(eskoskleton). Khitin terdiri dari protein dan fraksi khitin yang terbagi menjadi
tiga bentuk yaitu khitin α, β, dan γ. Sintesa khitin tergantung oleh kerja enzim
sintesis khitin yang berada di plasma membran. Bagaimanapun enzim ini
diproduksi sebagai zymogen (inaktif) di dalam retikulum endoplasma
epidermis dan harus diaktifkan oleh protease untuk sintesa khitin. Senyawa
Chitin synthesis inhibitor dapat mengganggu enzim yang merangsang proses
sintesa khitin (chitin biosynthesis inhibitor).
Serangga yang terpapar senyawa ini juga tidak mampu mengganti
kulit (molting) sehingga siklus pertumbuhan dari serangga dihambat.
Senyawa-senyawa yang termasuk kedalam Chitin synthesis inhibitor adalah
bistfluron, buprofezin, cyromazine, diflubenzuron, hexaflumuron, lufenuron,
dan penfluron (Tunaz dan Uygun 2004).
Pengertian BT (Bakteri turingiensis)
BT merupakan kelompok Insektisida ini berasal dari mikroorganisme
yang berperan sebagai insektisida. BT bekerja sebagai racun perut, setelah
tertelan kristal endotoksin larut yang mengakibatkan sel epitel rusak dan
serangga berhenti makan lalu mati. BS bekerja sama dengan BT, namun
bakteri ini diyakini mampu mendaur ulang diri di air akibat proliferasi dari
spora dalam tubuh serangga, sehingga mempunyai residu jangka panjang. BS
stabil pada air kotor atau air dengan kadar bahan organik tinggi.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Aplikasi Pengendalian Larva Vektor DBD

Dalam program pengendalian vektor, kegiatan pengendalian larva


dengan insektisida disebut sebagai larvasidasi. Larvasidasi merupakan
kegiatan pemberian insektisida yang ditujukan untuk membunuh stadium
larva. Larvasiding dimaksudkan untuk menekan kepadatan populasi vektor
untuk jangka waktu yang relative lama (3 bulan), sehingga transmisi virus
dengue selama waktu itu dapat diturunkan atau dicegah (longterm preventive
measure).

Spesies nyamuk perlu diketahui dan diidentifikasi atau dilakukan


pemetaan tempat perkembangbiakan nyamuk di tiap-tiap musim. Larvaciding
akan efektif bila tempat perkembangbiakan mudah dicapai, tempat
perkembangbiakan di area kecil, dan efek larvaciding hanya bertahan tidak
lebih dari 2 bulan. Larvaciding tidak menimbulkan dampak residu, namun
kontrolnya perlu diadakan setiap 2 bulan sehingga keputusan untuk
melakukan intervensi ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam
kenyataannya larvaciding ini sulit untuk dilakukan secara optimal, karena
tempat perkembangbiakan biasanya tersebar dimana-mana dan sulit untuk
menentukan waktu yang tepat. Untuk melakukan larvaciding dibutuhkan
pengetahuan tentang area tempat perkembangbiakan vektor dan hubungannya
dengan curah hujan.

Terdapat tiga jenis insektisida untuk mengendalikan larva Aedes yaitu


butiran temephos, pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth
Regulator /IGR) dan Bacillus thuringiensis (Bt H-14). Beberapa insektisida
yang biasa digunakan dalam pengendalian larva nyamuk Aedes aegypti
adalah sebagai berikut:

1. Temephos
Temephos merupakan salah satu bahan insektisida yang berfungsi
sebagai pengendalian vektor DBD (demam berdarah dengue). Secara kimia
temephos termasuk dari golongan organofosfat atau fosfat organik.
Penggunaan temephos dapat dilakukan dengan cara membubuhkan larutan
temephos yang berasal dari bubuk temephos yang dilarutkan dalam air.
Nugroho (2013) menyebutkan bahwa bahan kimia ini mampu membunuh
larva nyamuk dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain itu terdapat
penelitian yang menyatakan bahwa temephos dapat membunuh larva nyamuk
secara cepat yaitu dengan mengabsorpsi lebih dari 99% temephos dalam tubuh
nyamuk dengan rentang waktu 24 jam (Matsumura, 1997 dalam Yulidar,
2014).
Perkembangan nyamuk Ae. aegypti dimulai dari larva, pupa hingga
imago. Spesies ini termasuk dalam serangga yang bermetamorfosis secara
sempurna. Wahyuni (2005) menyatakan bahwa dalam perkembangannya,
nyamuk Ae. aegypti dapat diputus siklus hidupnya dengan menggunakan
temephos. Selanjutnya dijelaskan oleh Hadi (1993) dalam Setianingsih dkk.
(2015), bahwa temephos ini merupakan salah satu larvasida sehingga dapat
membunuh pada tahap larva. Dengan melihat manfaat tersebut, penggunaan
temephos dapat memberikan dampak positif bagi keberhasilan dalam
pencegahan penyakit DBD. Beberapa jenis insektisida dengan bahan aktif
temephos yaitu:
a. Jentika
Jentika adalah larvasida berbentuk butiran (granule) pengendali larva/jentik
nyamuk Aedes Aegypty untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) dilingkungan pemukiman masyarakat.
Cara Aplikasi : Penaburan pada tempat-tempat penampungan air
Keunggulan produk:
1) Efektif mengendalikan larva jentik nyamuk Aedes aegypti dan
nyamuk Culex quinquefasciatus.
2) Hemat, dosis aplikasi yang rendah
3) Memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia
4) Mudah diaplikasikan dengan penaburan pada tempat-tempat
penampungan air
5) Lulus uji lapangan dari lembaga litbang yang terakreditasi dan
berwenang memenuhi syarat dan ketentuan Permenkes No. 374 Tahun
2010 tentang Pengendalian Vektor
6) Larvasida ini memiliki efek Fast Knock-Down yang ampuh dan
cepat terhadap serangga sasaran hingga menurunkan tingkat populasi
nyamuk dilingkungan sekitarnya, toksisitas rendah terhadap mamalia,
tidak berbau serta ramah lingkungan.
Bahan Aktif Temephos 1%
Bentuk Butiran (Granule)
Kemasan Pail (25 Kg)
No. Registrasi RI.
Vendor / Formulator JJM
Aplikasi Penebaran / Baiting (umpan)
Hama Sasaran Jentik Nyamuk DBD

b. Abate
Abate adalah larvasida berbentuk butiran (granule) pembasmi larva/jentik
nyamuk Aedes Aegypty yang telah lama dikenal oleh masyarakat. Harganya
terjangkau namun manfaatnya sangat besar terhadap pengendalian jentik
nyamuk untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD).
Cara Pengaplikasiannya yaitu untuk penyemprotan skala besar dengan
sprayer ransel, larutkan dosis yang direkomendasikan dalam 50 - 100 liter
air. Untuk penyemprotan udara, larutkan dosis yang direkomendasikan
dalam 20 - 30 liter air. Untuk penyemprotan pada satu lokasi, cukup
larutkan dosis yang direkomendasikan dalam 1 liter air.
Keunggulan Larvasida ini memiliki efek Fast Knock-Down yang ampuh
dan cepat terhadap serangga sasaran hingga menurunkan tingkat populasi
nyamuk dilingkungan sekitarnya, toksisitas rendah terhadap mamalia, tidak
berbau serta ramah lingkungan.

Bahan Aktif Temephos 1%


Bentuk Butiran (Granule)
Kemasan Box Carton (25 Kg)
No. Registrasi RI.96/6-2002/T
Vendor / Formulator BASF
Aplikasi Penebaran / Baiting (umpan)
Hama Sasaran Jentik Nyamuk DBD

c. Abate (Sachet)
Larvasida berbentuk butiran (granule) pembasmi larva/jentik nyamuk
Aedes Aegypty yang telah lama dikenal oleh masyarakat. Harganya
terjangkau namun manfaatnya sangat besar terhadap pengendalian jentik
nyamuk untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit Demam Berdarah
Dengue.
Pengaplikasiannya untuk penyemprotan skala besar dengan sprayer ransel,
larutkan dosis yang direkomendasikan dalam 50 - 100 liter air. Untuk
penyemprotan udara, larutkan dosis yang direkomendasikan dalam 20 - 30
liter air. Untuk penyemprotan pada satu lokasi, cukup larutkan dosis yang
direkomendasikan dalam 1 liter air.
Keunggulan Larvasida ini memiliki efek Fast Knock-Down yang ampuh
dan cepat terhadap serangga sasaran hingga menurunkan tingkat populasi
nyamuk dilingkungan sekitarnya, toksisitas rendah terhadap mamalia, tidak
berbau serta ramah lingkungan.
2. Insect Growth Regulator (IGR)
Beberapa insektisida yang termasuk dalam jenis IGR yaitu:
a. Altosid (Granule)
Altosid mengandung S-metophrene 1,3% berebentuk butiran kasar
(granule) yang merupakan IGR (Insect Growth Regulator) dengan cara
kerja yang menghambat terbentuknya Cytine, sehingga pupa/ larva/ jentik
tidak berkembang menjadi nyamuk dewasa.
Keunggulan penggunaan altosid: Larvasida ini memiliki efek Fast Knock
Down yang ampuh dan cepat terhadap serangga sasaran hingga
menurunkan tingkat populasi nyamuk dilingkungan sekitarnya, toksisitas
rendah terhadap mamalia, tidak berbau serta ramah lingkungan, dan sangat
efektif pada air dengan tingkat polusi tinggi.
Cara Aplikasi Altosid: Cara aplikasi altosid adalah menempatkannya pada
tempat perkembang biakan nyamuk yang areal dan lokasinya relatif sulit
dan terpencil seperti rawa-rawa, hutan bakau, bekas galian pasir (lagun)
dan lain-lain. Granule (butiran-butiran) tersebut di bungkus dengan kain
dan di ikat pada pasak (tiang) kemudian di masukkan kedalam air yang di
ketahui sebagai tempat potensial nyamuk.
Dosis Altosid 1,3 G yang dianjurkan adalah 2,5gr per 100 liter air.
Bahan Aktif S-Metophrene 1.3%
Bentuk Granule (Butiran)
Kemasan Bag @18,8 Kg
No. Registrasi RI.1041/5-2004/T
Vendor/ Formulator -
Aplikasi Baiting (umpan)
Hama Sasaran Jentik Nyamuk DBD/ Malaria

b. Altosid (Briket)
Altosid (briket) adalah larvasida berbentuk briket (block) yang
merupakan IGR (Insect Growth Regulator) yang menghambat terbentuknya
Cytine, sehingga pupa/larva/jentik tidak berkembang menjadi nyamuk
dewasa. Altosid berisi arang (charcoal) yang melindungi zat akktif dari
sinar matahari. Tetap efektif pada serangga yang resisten terhadap
Organophosphat, carbonat dan pyrethroid.
Dosis Altosid 1,8 BR pada kedalaman lebih dari 70 Cm adalah 1
briket per 10m2 luas permukaan air, dan 2 briket apabila kedalaman air
lebih dari 70 Cm untuk 1m3 volume air.
Cara aplikasi altosid (briket) adalah dengan menempatkannya pada
tempat perkembang biakan nyamuk yang areal dan lokasinya relatif sulit
dan terpencil seperti rawa-rawa, hutan bakau, bekas galian pasir (lagun)
dan lain-lain. Briket tersebut di bungkus dengan kain berpori atau jaring
yang di ikat pada pasak (tiang) kemudian di masukkan kedalam air lebih
kurang 15-20 cm yang di ketahui sebagai tempat potensial nyamuk.
Keunggulan Larvasida ini memiliki efek Fast Knock-Down yang
ampuh dan cepat terhadap jentik hingga menurunkan tingkat populasi
nyamuk dilingkungan sekitarnya, toksisitas rendah terhadap mamalia, tidak
berbau serta ramah lingkungan, dan sangat efektif pada air dengan tingkat
polusi tinggi seperti safety tank. Metophrene akan dilepas secara bertahap
sehingga efektif sampai 150 hari pada air tergenang.

Bahan Aktif S-Metophrene 1.8%


Bentuk Briket (Charcoal)
Kemasan Case @220 Briket
Berat 7 Kg
No. Registrasi RI.1242/5-2006/T
Vendor/ Formulator -
Aplikasi Baiting (umpan)
Hama Sasaran Jentik Nyamuk DBD/ Malaria

c. Sumilarv
Larvasida berbentuk butiran (granule) yang merupakan IGR (Insect
Growth Regulator) penghambat berkembangnya larva/jentik nyamuk
Anopheles guns mencegah terjadinya penyebaran penyakit malaria.
Aplikasi senyawa ini dapat dilakukan di tempat terbuka atau di air minum.
Dosis tergantung pemakaian. Keunggulan Larvasida ini memiliki efek Fast
Knock-Down yang ampuh & cepat terhadap serangga sasaran hingga
menurunkan tingkat populasi nyamuk dilingkungan sekitarnya, toksisitas
rendah terhadap mamalia, tidak berbau serta ramah lingkungan.

Bahan Aktif Pyriproxyfen


Bentuk butiran (granule)
Kemasan Sachet (1 kg)
No. Registrasi RI.
Vendor/ Formulator Sumitomo Chemical
Aplikasi Baiting (umpan)
Hama Sasaran Jentik Nyamuk Malaria

3. Bacillus Thuringiensis (BT)


Beberapa insektisida dengan bahan aktif BT yaitu:
a. Bactivec
Merupakan biolarvasida berbentuk cair berbahan aktif BTI (Bacillus
Thuringiensis Israellensis) yang sangat efektif membunuh jentik/larva/pupa
nyamuk jenis Aedes aegypti, Anopheles, Culex, Mansonia, Psorophora.
Bacillus Thuringiensis adalah bakteri gram positif yang terdapat secara
alami disekitar kita.
Rekomendasi aplikasi / penggunaan :
1) kocok sebelum digunakan
2) untuk wadah penampungan air dosis 1mL (± 20 tetes) utk 50 L air
3) untuk area luas 2-5 mL / m2 -1 tetes utk 2,5 L air (1/2 tutup botol =
1 mL Bactivec)
Keunggulan Larvasida ini memiliki efek Fast Knock-Down yang
ampuh dan cepat terhadap sasaran hingga menurunkan tingkat populasi
nyamuk dilingkungan sekitarnya, toksisitas rendah terhadap mamalia, tidak
berbau serta ramah lingkungan.

Bahan Aktif Bacillus Thuringiensis


Israellensis (BTI)
Bentuk Cair
Kemasan Botol @30 ml; Galon @20 liter
No. Registrasi RI.324/9-2008/T
Vendor/ Formulator MBF
Aplikasi Baiting (umpan tetes)
Hama Sasaran Jentik Nyamuk DBD/ Malaria

b. Vectobac WG
Merupakan larvasida biologi satu-satunya di dunia yang telah di teliti
di sebagian besar Negara dan terbukti efektif dan aman, baik untuk
lingkungan maupun manusia (bahkan dapat ditaburkan ke dalam air
minum).Vectobac WG yang merupakan larvasida biologi ditemukan
pertama kali oleh perusahaan Abbot Company, salah satu perusahaan
farmasi besar di Amerika serikat. Awalnya adalah pada suatu daerah di
Israel terjadi wabah penyakit yang di akibatkan oleh serangga nyamuk, dan
pada saat penanggulangan wabah penyakit tersebut dengan cara
memberantas nyamuk dan jentiknya, mereka menemukan salah satu danau
yang ternyata hampir tidak ditemukan jentik maupun nyamuk disana.
Setelah dilakukan penelitian akhirnya mereka menemukan suatu
bascil di tubuh ikan yang ada di danau tersebut yang ternyata adalah
pembasmi jentik nyamuk disana. Dari bacsil inilah dikembangkan menjadi
larvasida yang ternyata sangat efektif dalam membasmi jentik, karena
itulah sekarang Vectobac WG dikenal sebagai larvasida yang berbahan aktif
BTI (bacsillus Thuringiensis Israelensis) yang merupakan satu-satunya
larvasida di dunia yang berbahan aktif biologi, kelebihan bahan aktif ini
adalah aman untuk manusia dan species lain, karena hanya akan bereaksi
terhadap jentik, bahkan aman untuk diminum.
Aplikasi vectobac WG adalah dengan cara menggunakan alat semprot
(hand sprayer) kecil yang terbuat dari plastik, berukuran 1 liter. Dosis
aplikasi yang digunakan untuk masing-masing kobakan tergantung pada
luas kobakan yang akan dikendalikan.
Keunggulan Larvasida ini memiliki efek Fast Knock-Down yang
ampuh & cepat terhadap jentik sasaran, toksisitas rendah terhadap mamalia,
tidak berbau serta ramah lingkungan.

Bahan Aktif Bacillus Thuringiensis


Israelensis (BTI)
Bentuk Granule
Kemasan Pot (50 gr & 500 gr), Pail (25
Kg)
No. Registrasi RI.
Vendor Valent BioSciences
Aplikasi Penebaran / Baiting (umpan)
Hama Sasaran Jentik Nyamuk

B. Dampak Pengendalian Larva Vektor DBD dengan Insektisida

Pengendalian larva Aedes aegypti dengan insektisida dapat


menimbulkan dampak negatif. Dampak negative dari penggunaan insektisida
dalam frekuensi tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dapat berdampak
negative bagi masyarakat dan lingkungan. Selain terjadi pencemaran
lingkungan penggunaan insektisida dalam jangka waktu lama juga dapat
menyebabkan terjadinya resistensi atau ketahanan larva nyamuk Ae. aegypti
terhadap insektisida tersebut.
Istiana dkk. (2012) menyebutkan bahwa larva Ae. aegypti di
Banjarmasin sudah resisten terhadap temephos. Hal ini terlihat dari pemberian
konsentrasi temephos yang diberikan tidak berpengaruh terhadap
perkembangan siklus hidup nyamuk tersebut.
C. Cara Mengatasi Dampak Penggunaan Insektisida.

Salah satu dampak negative dari penggunaan insektisida dalam


pengendalian larva Aedes adalah terjadinya resistensi larva terhadap bahan
aktif dari larvasida tersebut. Untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap
suatu jenis larvasida tertentu, perlu adanya rotasi dalam penggunaan larvasida.
Rotasi insektisida merupakan pergantian jenis dan cara kerja insektisida untuk
pengendalian vektor yang harus dilakukan dalam periode waktu maksimal 2-3
tahun atau 4-6 kali aplikasi. Salah satu larvasida alternatif pengganti
Temephos adalah larvasida dari golongan Insect Growth Regulator (IGR)
yang berbahan aktif Pyriproxifen sesuai dengan rekomendasi WHO.
Larvasida IGR dengan bahan aktif Pyriproxifen dapat membunuh larva dan
pupa karena pertumbuhan larva akan terhambat akibat kegagalan pergantian
kulit dan kerusakaan sistem pencernaan. Sehingga perkembangan abnormal
tersebut akan membunuh nyamuk.
Keuntungan dari penggunaan IGR efektif pada dosis rendah, residu
jangka panjang dan toksisitas terhadap mamalia rendah, sehingga digolongkan
sebagai senyawa ramah lingkungan dan tidak memiliki efek karsinogenik dan
teragonetik. IGR efektif membunuh lebih dari 70% larva uji Anopheles
aconitus selama 10 hari.
Tahapan kematian larva dan pupa:
Keterangan gambar:

A: Larva keadaan normal


B: Pupa keadaan normal
C: Kerusakan dan pembesaran tubuh larva
D: Kerusakan tubuh pupa
E: Kekakuan dan perubahan warna tubuh pupa
F: Kegagalan eklosi pupa
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Insektisida yang dapat digunakan dalam pengendalian larva Aedes


aegypti yaitu jenis Temephos, IGR (Insect Growth Regulator) dan
Bacillus Thuringiensis Israellensis (BTI).
2. Dampak negative yang dapat ditimbulkan dari penggunaan
insektisida dalam frekuensi tinggi dan dalam jangka waktu yang lama
dapat berdampak negative bagi masyarakat dan lingkungan. Selain
terjadi pencemaran lingkungan penggunaan insektisida dalam jangka
waktu lama juga dapat menyebabkan resistensi larva terhadap
insektisida dengan bahan aktif tertentu.
3. Cara mengatasi dampak negative dari penggunaan larvasida yaitu
dengan dilakukannya rotasi dalam penggunaan larvasida. Rotasi
insektisida merupakan pergantian jenis dan cara kerja insektisida untuk
pengendalian vektor yang harus dilakukan dalam periode waktu
maksimal 2-3 tahun atau 4-6 kali aplikasi. Salah satu larvasida
alternatif pengganti Temephos adalah larvasida dari golongan Insect
Growth Regulator (IGR) yang berbahan aktif Pyriproxifen sesuai
dengan rekomendasi WHO.

B. Saran

1. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD


khususnya fase larva sebaiknya dikurangi, karena penggunaan
insektisida dalam pengendalian vektor dapat menimbulkan dampak
negative.
2. Pengendalian lain yang dapat dilakukan selain menggunakan
insektisida yaitu dengan melakukan pengendalian Hayati dan
melakukan pengelolaan/modifikasi lingkungan

DAFTAR PUSTAKA

Damar, dkk. 2010. Efektifitas Larvasida Insect Growth Regulator (IGR). Jakarta

Departemen Kesehatan RI.2010. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida)


dalam Pengendalian Vektor. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Istiana dkk. 2012. Pemberian Konsentrasi Temephos terhadap Perkembangan


Siklus Hidup Nyamuk.

Jurnal Penelitian, Identifikasi Jenis Bahan Aktif dan Penggunaan Insektisida


Antinyamuk serta Kerentanan Vektor DBD terhadap Organofosfat pada
Tiga Kota Endemis DBD di Provinsi Banten, 2016, Loka Litbang P2B2
Ciamis http://etheses.uin-malang.ac.id/861/6/08620041%20Bab%202.pdf

Marisa.2007. Toleransi Larva dan Nyamuk Dewasa Aedes aegypti terhadap


Temefos dan Malation di Wilayah Endemik Kelurahan Duren Sawit Jakarta
Timur. Sekolah Pascasarjana IPB.

Minakuchi dan Riddiford.2006. Critical Weight, Hormon Prothoracicotropic


(PTTH).

Nur Solichah, dkk. 2016. Journal Pengaruh Pemberian Larvasida Insect Growth
Regulator (IGR) Berbahan Aktif Pyriproxyfen terhadap Perubahan Angka
Bebas Jentik (ABJ) di Kelurahan Bulusan Semarang. Semarang

Sonny Harianja, Dekaaprianto. 2017. Alat Pest Kontrol (Pengendali Hama) dan
Pestisida Public Health (Insektisida, Larvasida,Termitisida, Rodentisida
dan Fumigant). Jakarta

Anda mungkin juga menyukai