LEPTOSPIROSIS
Disusun Oleh:
dr. Farah Akhwanis Syifa
Konsulen Pembimbing:
dr. Jaka Susila , Sp. PD
Dokter Pendamping:
dr. Fatah Abdul Yasir
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “LEPTOSPIROSIS”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini
bermanfaat. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus Internsip:
Januari 2023
Disusun oleh:
Mengetahui,
iii
DAFTAR ISI
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
6
Society menguatkan Indonesia sebagai negara dengan angka mortalitas leptospirosis
16,7% dan menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Uruguay (100%) dan India
(21%) (WHO, 2006). Oleh sebab itu leptospirosis merupakan penyakit dengan angka
mortalitas cukup tinggi di Indonesia.
Sikap negatif masyarakat tentang leptospirosis saat ini tidaklah luput dari
pengetahuan masyarakat yang rendah mengenai penyakit tersebut. Masyarakat belum
mengetahui tentang leptospirosis, cara penularan, tanda dan gejala serta tindakan
pencegahan untuk leptospirosis. Rahim, et al. (2012) mengatakan pengetahuan
masyarakat yang masih rendah diakibatkan oleh kurang efektifnya penyuluhan
kesehatan yang diberikan. Hasil penelitian Prabhu, et al. (2014) menunjukkkan bahwa
penyuluhan kesehatan perlu ditingkatkan untuk menambah informasi masyarakat
tentang leptospirosis.
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Leptospirosis
2.1.1 Definisi
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
dari genus Leptospira yang berbentuk spiral. Bakteri ini bersifat patogen
dan dapat menyerang hewan dan manusia. Leptospira merupakan
organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5–25 μm, disertai
spiral halus yang lebarnya 0,1–0,2 μm. Leptospira dapat
dikembangbiakkan pada pH 7,4 dan pada suhu 28–30°C (Muliawan, 2008).
Serotip L. interrogans merupakan penyebab penyakit Leptospirosis yang
merupakan penyakit zoonosis. Serotip L. Biflexa terdapat di air dan tanah
sebagai organisme yang hidup bebas.
8
2.1.2 Epidemiologi
Leptospira dapat hidup beberapa waktu dalam air dan alam terbuka.
Iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospira ialah udara hangat
(25oC), tanah basah/ lembab, dan pH tanah 6,2-8. Leptospira dapat
bertahan hidup di tanah yang sesuai sampai 43 hari dan di dalam air dapat
hidup berminggu-minggu lamanya. Hal ini dapat dijumpai sepanjang tahun
di negara tropis sehingga kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan negara sub-tropis, dengan risiko penyakit yang lebih berat.
Insiden leptospirosis di negara tropis saat musim hujan sebanyak 5-
20/100.000 penduduk per tahun. Selama wabah dan dalam kelompok risiko
tinggi paparan, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000
penduduk (Novie, 2016).
9
KLB di Kabupaten Sampang Madura. Sedangkan tahun 2014 hingga bulan
Oktober dilaporkan sebanyak 411 kasus dengan kematian sebanyak 56
kasus (CFR 13,63%). Terjadi peningkatan angka kematian karena terjadi
KLB di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah karena intensitas hujan
yang tinggi berakibat tejadinya banjir.
10
peliharaan sebagai reservoir infeksi seperti kucing, anjing, dan ternak sapi
dengan demikian risiko infeksi pada manusia tinggi.
2.1.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan bakteri Gram negatif dari genus
Leptospira, famili Leptospiraceae dan ordo Spirochaetales yang berbentuk
spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 μm dan tebal 0,1 μm, serta
mempunyai kait berupa flagellum periplasmik, bergerak maju mundur
dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Leptospira dapat diwarnai
dengan pewarnaan karbolfuchsin. Namun bakteri ini haya dapat dilihat
dengan mikroskop medan gelap (Setiawan, 2008).
11
Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang
merupakan bakteri patogen (dapat menyebabkan penyakit) (dan L biflexa
yang bersifat saprofitik (hidup bebas dan umumnya dianggap tidak
menyebabkan penyakit) (Kusmiyati et al., 2005). Leptospira patogen
bertahan hidup di tubulus ginjal dan saluran kelamin hewan tertentu.
Leptospira yang bersifat saprofitik ditemukan di berbagai jenis lingkungan
basah atau lembab misalnya permukaan air dan tanah lembab, bahkan
untuk Saprophytichalophilic (menyukai garam) Leptospira dapat
ditemukan dalam air laut (Kemenkes RI, 2017).
12
Gambar Faktor risiko penyebaran leptospira
2.1.5 Patogenesis
Penularan penyakit ini melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda,
anjing, serangga, burung, landak, kelelawar, tupai dan lain lain tetapi
potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus. Di Indonesia,
penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan
banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genangan air, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang
menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Tikus
13
merupakan reservoar dan penyebar utama leptospirosis karena bertindak
sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi (Zein, 2009).
14
tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat
mikroba masuk ke ginjal, Leptospira akan melakukan migrasi ke
interstitium (cairan tubuh), tubulus renal, dan lumen tubular ginjal
menyebabkan nefritis interstitial (kondisi ginjal yang ditandai oleh
pembengkakan di antara tubulus ginjal) dan nekrosis tubular. Jika berlanjut
menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus,
hipovolemia (kekurangan volume cairan) karena dehidrasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis
sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfungsi
hepatoselular.
15
terbatas pada kulit dan mukosa, tetapi pada keadaan tertentu terjadi
perdarahan saluran cerna atau organ vital yang dapat menyebabkan
kematian. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen leptospira dapat
dideteksi pada jaringan yang terkena.
16
pengganti pada AKI akibat leptospirosis dibandingkan dialisis peritoneal
bila telah ada indikasi. Pada leptospirosis dengan AKI disamping dapat
mengoreksi kelainan biokimiawi akibat AKI, dialisis peritoneal juga dapat
mengeluarkan bahan-bahan toksik akibat penurunan fungsi hati.
Pemeriksaan mikroskop elektron pada AKI dengan oliguri memperlihatkan
adanya gambaran obstruksi dan nekrosis tubulus, endapan komplemen
pada membran basalis glomerulus dan infiltrasi sel radang pada jaringan
interstisialis (Steele, 2009).
17
Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan
menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin
darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler
yang meningkatkan kadar bilirubin, serta proliferasi sel Kupffer sehingga
terjadi kolestatik intra-hepatik.
18
secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dan organ-organ yang terlibat
akan membaik. Manifestasi klinik akan berkurang bersamaan dengan
berhentinya proliferasi organisme di dalam darah. Fungsi organ-organ ini
akan pulih 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat,
demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu
demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
2.1.7 Diagnosis
Salah satu kendala penanganan leptospirosis ialah kesulitan dalam
menegakkan diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai
macam keluhan dari berbagai sistem organ sehingga sering didiagnosis
dengan meningitis, hepatitis, nefritis, fever of unknown origin (FUO),
influenza, sindrom Kawasaki, sindrom syok toksik, dan penyakit Legionela
(Steele, 2009).
19
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis leptospirosis dibagi
menjadi dua, yaitu pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi anti-leptospira
dan untuk mendeteksi bakteri leptospira secara langsung, antigen, maupun
asam nukleat lepstospira. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut antara lain: (i)
microscopic agglutination test (MAT) untuk mendeteksi antibodi terhadap
Leptospira secara serologis, (ii) polymerase chain reaction (PCR) untuk
mendeteksi gen spesifik Leptospira, (iii) kultur darah atau dari cairan tubuh
lain, (iv) IgM ELISA untuk menemukan antibodi IgM spesifik leptospira,
dan (v) RDT. Standar baku dalam menegakkan diagnosis leptospirosis
adalah dengan menemukan bakteri Leptospira secara langsung
menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan kultur.
20
5. CSS dan dialisat untuk kultur diambil pada fase septikemia.
Pada kasus leptospirosis an-ikterik dapat dijumpai jumlah
leukosit normal dengan neutrofilia, peningkatan laju endap
darah (LED) dan protein dalam CSS.
21
f) Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia
yang diduga terinfeksi Leptospirosis dalam suatu
laboratorium atau tempat lainnya;
g) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber
infeksi seperti dokter hewan, dokter perawat, pekerja
potong hewan, petani, pekerja perkebunan, petugas
kebersihan dirumah sakit, pembersih sekolahan, pekerja
tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar, tentara,
pemburu;
h) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan
hobby dan olah raga seperti pendaki gunung, memancing,
berenang, arung jeram, trilomba juang (triathlon), dll.
22
c) Kenaikan jumlah bilirubin total > 2 gr% atau peningkatan
SGPT, amilase, lipase, dan creatine phosphokinase (CPK)
d) pemeriksaan urin proteinuria dan/atau hematuria
2.1.9 Tatalaksana
1. Medikamentosa
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera
setelah diduga diagnosis leptospirosis, sebaiknya sebelum hari ke-5 setelah
onset penyakit. Umumnya dokter mengobati dengan antibiotik tanpa
menunggu timbulnya penyakit. Uji serologik tidak menjadi positif sampai
23
sekitar seminggu setelah onset penyakit, dan kultur tidak dapat menjadi
positif selama beberapa minggu. Kesulitan melihat hasil pengobatan ialah
bahwa umumnya leptospira merupakan penyakit self limiting dengan
prognosis yang cukup baik (Novie, 2016).
3. Pencegahan
Pemberian doksisiklin 200 mg/minggu dapat memberikan
pencegahan sekitar 95% pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun
profilaksis pada anak belum ditemukan. Pengontrolan lingkungan rumah
24
dan penggunaan alat pelindung diri terutama di daerah endemik dapat
memberikan pencegahan pada penduduk berisiko tinggi walaupun hanya
sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya memberikan sedikit perlindungan
karena terdapat serotipe kuman yang berbeda (Setadi, dkk, 2013)
4. Pengendalian Faktor Risiko
Kegiatan pengendalian faktor risiko Leptospirosis dilakukan pada:
(a) sumber infeksi (pengendalian tikus dan hewan ternak);
(b) alur transmisi antara sumber infeksi dan manusia (pemberian
desinfeksi penampungan air, pengelolaan tanah yang terinfeksi);
(c) infeksi atau penyakit pada manusia (antibiotik profilaksis,
promosi kesehatan).
2.1.10 Komplikasi
Meningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering
ditemukan, namun dapat pula terjadi ensefalitis, mielitis, radikulitis,
neuritis perifer (tidak biasa) pada minggu kedua karena terjadinya reaksi
hipersensitivitas (Novie, 2016). Komplikasi berat pada penderita
leptospirosis berat dapat berupa syok, perdarahan masif dan ARDS yang
merupakan penyebab utama kematian leptospirosis berat. Syok terjadi
akibat perubahan homeostasis tubuh yang berperan pada timbulnya
kerusakan jaringan (Setadi, 2013). Gagal ginjal, kerusakan hati, perdarahan
paru, vaskulitis dan ganguan jantung berupa miokarditis, perikarditis dan
aritmia jarang ditemukan walaupun umumnya sebagai penyebab kematian.
Meskipun jarang dapat ditemukan uveitis setelah 2 tahun timbul gejala
leptospira.
2.1.11 Prognosis
Prognosis umumnya baik dan pasien dapat sembuh total dari
leptospirosis. Pada beberapa pasien, pemulihan dapat berlangsung
25
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Pada anak angka kematian lebih
rendah dibandingkan dewasa (Novie, 2016). Gejala sisa mungkin terjadi,
termasuk kelelahan kronis dan gejala neuropsikiatri lainnya seperti sakit
kepala, paresis, kelumpuhan, perubahan suasana hati, dan depresi.
26
BAB III
LAPORAN KASUS
Alamat : Sumpiuh
Umur : 51 th
Pekerjaan : Pedagang
NO RM : 459xxx
Keluhan utama
Demam
27
urinnya berubah menjadi merah kecoklatan seperti teh. Keluhan ini tidak disertai
dengan rasa sakit saat kencing atau berkurangnya volume urin.
28
Nadi : 84 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Saturasi O2 : 99% NK
Suhu : 37,1°C
Berat badan : 73 kg
Tinggi badan : 170 cm
Status Gizi : 25,26 (overweight)
Pemeriksaan Generalisata:
Pemeriksaan kepala dan leher
Mata : ikterus (+/+) dan conjunctival suffussion (+/+)
Hidung : keluar cairan (-/-)
Mulut : mukosa basah (-), sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks Paru
Inspeksi :
Statis : Normal simetris kiri dan kanan
Dinamis : Gerakan dada simetris kiri kanan, sela iga melebar (-)
penggunaan otot napas tambahan (-) retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus normal simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru.
Auskultasi : suara pernapasan : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Thoraks Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midklavikularis sinistra SIK IV
Perkusi : Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra
29
Batas kiri jantung : satu jari lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi : S1& S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut ascites, venektasi (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba
membesar. Lien tak teraba, nyeri tekan regio hipokondrium kanan (-).
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen
Ekstremitas
Atas : Ekstremitas teraba hangat, pitting udem (-), clubbing finger (-), CRT < 2 detik.
Ikterik
Bawah : Ekstremitas teraba hangat, pitting udem (+), clubbing finger (-), CRT < 2 detik.
Ikterik. Nyeri tekan otot gastrocnemius (+/+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Klinik
30
MCHC 35.5 32-36 g/dl
Trombosit 97 Low 150-440 rb/ul
Hitung jenis
Basofil 0.0 0,0-1,0 %
Eosinofil 1.3 Low 2,0-4,0 %
Neutrofil 91.0 High 50,00-70,0 %
Limfosit 3.7 Low 25,0-40,0 %
Monosit 4.0 2,0-8,0 %
Faal ginjal
Ureum 50 High 15-39 mg/dl
Kreatinin 1.64 High 0,6-1,3 mg/dl
Faal hati
SGOT 73.00 High 0-35 U/L
RESUME
Pasien Tn. P rujukan dari Puskesmas Sumpiuh datang ke IGD RS PKU
Muhammadiyah Gombong Rabu 19 Oktober 2022 pukul 21.00 dengan keluhan
demam sejak 2 hari SMRS. Demam dikeluhkan pasien setelah beberapa hari ini
kehujanan saat sedang berkerja di sawah. Pasien juga mengatakan tangannya pernah
terluka karena tidak sengaja terkena sampah tulang ayam saat di sawah. Demam
dikatakan membaik setelah meminum obat penurun panas lalu naik lagi. Keluhan
31
disertai dengan mual dan muntah, serta perubahan warna pada urin pasien. Pasien
mengatakan bahwa warna urinnya berubah menjadi kuning kecoklatan seperti teh.
Keluhan ini tidak disertai dengan rasa sakit saat kencing atau berkurangnya volume
urin.
Pasien merupakan seorang pedagang perabotan keliling. Namun, beberapa
hari sebelum masuk rumah sakit pasien tidak bisa bekerja dikarenakan hujan lebat
yang turun setiap hari. Pasien akhirnya bertani di sawah saat musim hujam setiap hari
selama kurang lebih 5 hari.
Pada pemeriksaan fisik khusus didapatkan ikterus dan conjunctival suffussion
yang positif di kedua mata, pada sistem respirasi didapatkan laju pernafasan 20 kali
per menit dengan jenis vesikuler pada kedua lapangan paru, tanpa rhonki dan tanpa
wheezing, dari sistem kardiovaskular didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, suhu
37,1, dengan denyut nadi 84 kali per menit, dengan S1 S2 tunggal reguler tanpa
murmur, dari sistem gastrohepatobiliari, hepar dan lien tidak teraba, dan pada sistem
muskuloskletal didapatkan pitting udem di ekstremitas inferior dan nyeri tekan pada
otot gastrocnemius kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit 14,84 ribu/μL
dengan dominan neutrofil, penurunan eritrosit 4,26 juta/μL, penurunan hematokrit
37,60%, dan penurunan trombosit sampai 97 ribu/ul. Pada pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan peningkatan ureum dan kreatinin dengan 50 mg/dl dan 1,64 mg/dl. Pada
pemeriksaan fungsi hati didapatkan peningkatan SGOT yaitu 73.00 U/L dan SGPT
normal. Untuk natrium pasien menurun sampai 130.4 mEq/L dan gula darah sewaktu
meningkat 166 mg/dl.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien didapatkan diagnosis pasien yaitu observasi febris dengan trombositopenia ec
suspect leptospirosis
32
Diagnosis Kerja :
Observasi Febris, Trombositopenia, AKI ec suspect infeksi Leptospirosis
Diagnosis Banding :
- Dengue Fever
- Typhoid Fever
- Hepatitis
- Weil’s Disease
- Malaria
Penatalaksanaan di IGD:
Farmakologi
• O2 4 lpm nasal kanul
• RL loading 1000 cc dilanjutkan IVFD RL 20 tpm
• Inj. Santagesic 1 amp
• Inj. Ranitidin 1 amp
• Sucralfat syr 3x1 cth
• Paracetamol 3x500 mg tab
• Zinc 1x20 mg tab
• Cek Trombosit per 24 jam
Edukasi
• Tentang perjalanan penyakit pasien.
• Perlunya pengendalian dan pemantauan penyakit secara berkelanjutan.
• Penyulit dan risikonya.
• Membersihkan lingkungan sekitar rumah.
• Membiasakan hidup bersih dan sehat
33
Prognosis :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Follow Up:
Tabel Follow Up pasien
TGL SUBJECTIVE OBJECTIVE DX TX
19-10-22 Demam, BAK TD : 80/60 Observasi Bed Rest
merah, mual febris H2,
IGD HR : 84x/m Evaluasi KU dan
muntah dengan
RR: 20x/m trombositope Tanda Vital
Rujukan PKM
nia.
Sumpiuh T: 36,8 C
dengan demam AKI O2 4 lpm nasal kanul
dan Mata CA -/-
trombositopenia Cor : S1 > s2 reg IVFD RL loading
1000 cc
Pulmo : sd ves +/+,
Inj. Santagesic 1 amp
rbh -/-, whz-/-
Inj. Ranitidin 1 amp
Abdomen supel BU +
N, NTE + Sucralfat syr 3x1 cth
Paracetamol 3x500 mg
tab
Lab terlampir
Zinc 1x20 mg tab
Trombosit 97 ribu/ul
Cek Trombosit per 24
Ur/Cr H
jam
SGOT H
Na L
34
20-10-22 Demam, BAK TD : 110/70 Observasi Bed Rest
merah, mual febris H3,
Bangsal HR : 84x/m Evaluasi KU dan
muntah, perut dengan
kembung, RR: 20x/m trombositope Tanda Vital
nia.
Kaki terasa T: 37,6 C
nyeri dan berat AKI O2 4 lpm nasal kanul
Mata CA -/-
IVFD RL loading
Cor : S1 > s2 reg
1000 cc
Pulmo : sd ves +/+,
Inj. Santagesic 1 amp
rbh -/-, whz-/-
Inj. Ranitidin 1 amp
Abdomen supel BU +
N, NTE + Sucralfat syr 3x1 cth
Paracetamol 3x500 mg
tab
35
Abdomen supel BU + Zinc 1x20 mg tab
N, NTE +
Urdafalk 2 x 1 tab
36
Inj Ceftriaxon 1 g/12
jam
Inj Furosemide 20
mg/12 jam
37
Trombosit 15 rb/ul Paracetamol 3x650 mg
IgM Leptospira (+) tab
Stop prorenal
Paracetamol 3x650 mg
tab
38
Kaki bengkak, Mata CA -/- SI +/+, Inj Ceftriaxon 1 g/12
terasa nyeri. konjungtival jam
suffussion +/+
Cor : S1 > s2 reg Inj MPS 62,5 mg/24
Doksisiklin 2x100 mg
39
25-10-22 Demam -, sesak TD : 120/78 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul
-, mual + Berat
Bangsal HR : 84x/m IVFD RL 20 tpm
muntah +, BAK
AKI grade
dbn, perut RR: 20x/m
III Inj. Ranitidin 1 amp
nyeri, badan
kuning, T: 36,8 C
Cholestasis
Mata CA -/- SI +/+, Inj Ceftriaxon 1 g/12
Kaki bengkak,
terasa nyeri. konjungtival jam
suffussion +/+
Inj MPS 62,5 mg/24
Cor : S1 > s2 reg
jam
Pulmo : sd ves +/+,
rbh -/-, whz -/- Inj Furosemide 20
Abdomen supel, BU mg/8 jam
+, NTE +
Doksisiklin 2x100 mg
Ekstremitas hangat,
ikterik +/+//+/+ Sucralfat syr 3x1 cth
hipertrofi otot
gastrocnemius +/+ Urdafalk 2x1 tab
nyeri tekan.
Paracetamol 3x650 mg
tab
40
Pasien diminta
nampung urin
Konsul ke dr.
Haryono, Sp. PD
untuk rencana HD
41
nyeri, badan Mata CA -/- Inj Ceftriaxon 1 g/12
kuning, konjungtival jam
suffussion +/+
Kaki bengkak,
terasa nyeri. Cor : S1 > s2 reg Inj MPS 62,5 mg/24
42
nyeri <, badan T: 36,8 C Inj. Ranitidin 1 amp
kuning <,
Mata CA -/- Inj Ceftriaxon 1 g/12
Kaki terasa konjungtival
nyeri. suffussion +/+ jam
Paracetamol 3x650 mg
tab
43
TD 4,5 jam
Heparin mini
28-10-22 mual < muntah TD : 120/70 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul
-, perut nyeri -, Berat
Bangsal HR : 84x/m IVFD RL 20 tpm
badan kuning <,
AKI grade
HD RR: 20x/m
Kaki nyeri < III Inj. Ranitidin 1 amp
T: 36,8 C
Mata CA -/- Inj Ceftriaxon 1 g/12
konjungtival jam
suffussion -/-
Inj MPS 62,5 mg/24
Cor : S1 > s2 reg
jam
Pulmo : sd ves +/+,
rbh -/-, whz -/- Inj Furosemide 20
Abdomen supel, BU mg/8 jam
+, NTE +
Domperidone 3x1 tab
Ekstremitas hangat,
nyeri tekan otot Doksisiklin 2x100 mg
gastrocnemius +/+.
Sucralfat syr 3x1 cth
44
Urinalisa
Bilirubin 2+
Darah +/-
29-10-22 mual - perut TD : 120/70 Leptospirosis Advice dr. Jaka, Sp.
nyeri -, badan perbaikan PD :
Bangsal HR : 84x/m
kuning -
AKI grade
RR: 20x/m BLPL
Kaki nyeri III
minimal T: 36,8 C
Mata CA -/-
konjungtival
suffussion -/-
Cor : S1 > s2 reg
Pulmo : sd ves +/+,
rbh -/-, whz -/-
Abdomen supel, BU
+, NTE +
Ekstremitas hangat,
nyeri tekan otot
gastrocnemius +/+.
Lab terlampir
Kontrol Keluhan nyeri lutut dan pinggang, kesemutan, nyeri perut
Poli
Dalam
Hasil Lab 12-11-22 (terlampir)
05-11-22
Leukosit 10.25 rb/ul
12-11-22
Hemoglobin 10.1 g/dl (L)
14-12-22
Trombosit 412 rb/ul
Ureum 29 mg/dl
Creatinin 1.50 mg/dl (H)
45
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien didapati keluhan demam sejak 2 hari. Demam dikeluhkan pasien
setelah beberapa hari ini kehujanan saat sedang berkerja di sawah. Pasien juga
mengatakan tangannya pernah terluka karena tidak sengaja terkena sampah tulang
ayam saat di sawah. Demam dikatakan membaik setelah meminum obat penurun panas
lalu naik lagi. Keluhan disertai dengan mual dan muntah, serta perubahan warna pada
urin pasien. Pasien mengatakan bahwa warna urinnya berubah menjadi kuning
kecoklatan seperti teh. Keluhan ini tidak disertai dengan rasa sakit saat kencing atau
berkurangnya volume urin. Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya.
46
Pemeriksaan keadaan umum tampak sakit sedang, badan tampak kuning dan
suhu tubuh meningkat. Pada pemeriksaan kepala didapatkan mata pasien tampak
kuning atau disebut juga conjunctival suffussion. Pada pemeriksaan abdomen
dikeluhkan nyeri pinggang, didapatkan perut tampak cembung cenderung asites dan
nyeri tekan epigastrik. Pada pemeriksaan ekstremitas akral ikterik, hipertrofi pada otot
gastrocnemius dan nyeri pada saat ditekan. Pemeriksaan fisik lain-lain dalam batas
normal.
47
jumlah antibodi spesifik dalam serum spesimen yang berkaitan dengan stadium
penyakit. Pada kasus ini, didapatkan hasil IgM Leptospira positif.
Pada hari kedua perawatan, pasien mendapat Curcuma dan Prorenal tablet
untuk mengatasi gangguan fungsi hati dan ginjal. Pada hari kelima atau setelah
didapatkan hasil pemeriksaan IgM Leptospira, pasien mendapatkan terapi tambahan
Doksisiklin. Doksisiklin 2x100 mg selama 7 (tujuh) hari merupakan pilihan antibiotik
untuk Leptospirosis ringan. Bila terdapat kontraindikasi (alergi, anak, atau ibu hamil)
dapat diberikan antibiotik alternatif yaitu Amoksisilin 3x500 mg/hari pada orang
dewasa atau 10-20 mg/kgBB per 8 jam pada anak selama 7 hari. Kasus ini merupakan
Leptospirosis berat sehingga ditambahkan antibiotik Injeksi Ceftriaxon 1-2 gram
intravena selama 7 hari.
48
berat yang diberi injeksi metil-prednisolon dengan angka kematian 16 orang dari total
149 orang (10,7%) dibandingkan tanpa pemberian metil prednisolon dengan angka
kematian 17/78 (21,8%). Kasus berat perlu dirawat di rumah sakit dengan perawatan
suportif agresif dan pengawasan ketat pada keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pada evaluasi hasil laboratorium pasien, didapatkan nilai ureum dan creatinin
pasien semakin meningkat dari hari ke hari, hal ini disebabkan karena Leptospira
termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh bagian ginjal secara invasi
langsung. Selanjutnya pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat
menyebabkan komplikasi acute kidney injury (AKI). Pada tahap ini, pasien dianjurkan
menjalani hemodialisa. AKI merupakan penyebab kematian yang penting pada
leptospirosis. Setalah dua kali hemodialisa, dilakukan pemeriksaan lab kimia darah
kembali dan menunjukkan perbaikan terkait ureum dan kreatinin pasien.
Pasien ini didiagnosis dengan Leptospirosis berat (Weil disease) karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan tanda dan gejala leptospirosis berat (Weil
diseases) karena sesuai dengan teori dengan adanya keluhan demam, kulit dan matanya
menguning, dan nyeri disekujur tubuh terutama pada kedua kakinya. Dan pasien
termasuk dalam kelompok beresiko tinggi karena pasien pernah bekerja di sawah.
49
kreatinin yang menunjukkan sudah terjadi kerusakan dari ginjal sesuai dengan keadaan
pasien.
Pada pasien ini didapatkan pemeriksaan serologi IgM anti leptospirosis positif
sehingga pasien sudah dapat didiagnosis probable leptospirosis. Pada Weil’s disease
yang merupakan leptospirosis berat adalah ditemukanya ikterus, tanda-tanda gangguan
ginjal dan diathesis hemorrhagic dengan adanya trombositopenia dan sesuai dengan
kondisi pasien ini saat di bangsal.
50
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien masuk IGD dengan diagnosis kerja observasi febris H2, trombositopenia
dan AKI. Setelah perawatan dan pemantauan di ruangan, didapatkan diagnosis
pasien yaitu Leptospirosis berat dan AKI grade III
Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai dengan
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Leptospirosis.
51
DAFTAR PUSTAKA
Dohe, V. B., Pol, S. S., Karmarkar, A. P., & Bharadwaj, R. S. (2009). Two test strategy
for the diagnosis of leptospirosis. Bombay Hospital Journal, 51(1), 18–21.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Medical Microbiology (25th ed). New York: Mc
Graw Hill, 2010; p. 483-7.
KemenKes RI. (2017). Petunjuk Teknik Pengendalian Leptospirosis. Kemenkes RI,
126. http://infeksiemerging.kemkes.go.id/down
load/Buku_Petunjuk_Teknis_Pengendalia n_Leptospirosis.pdf.
Kusmiyati, Noor, S. M., & Supar. (2005). Leptospirosis pada hewan dan manusia di
Indonesia. Wartazoa, 15(4), 213–220.
Novie H. Rampengan. (2016). Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8,
Nomor 3, hlm. 143-150
Nungsih, Ika & Mardiastuti H Wahid. (2022). Leptospirosis Ditinjau dari Aspek
Mikrobiologi. Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi.
2022. 07 (1) : 31-43
Made , I. A. (2013). Infeksi Leptospirosis Dengan Gejala Jaundice Dan Acute Kidney
Injury: Sebuah Laporan Kasus. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar, Bali.
Muliawan, Sylvia Y. Bakteri Spiral Patogen. Jakarta: Erlangga; 2008.
Setadi B, Setiawan A, Effendi D. Leptospirosis. Sari pediatri. 2013;15: 163-7.
Setiawan, I. M. (2008). Pemeriksaan Laboratorium Untuk Mendiagnosis Penyakit
Leptospirosis. In Media Litbang Kesehatan: Vol. XVIII (Issue 1, pp. 44– 52).
Speck WT, Toltziis P. Leptospirosis. In: Behrman RE, Kliecman RM, Nelson WE,
editors. Nelson Textbook of Pediatrics (16th ed). Philadelphia: WB Saunders,
2000; 908-9.
Speelman P. Leptospirosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (17th ed). New
York: Mc Graw Hill, 2008; p. 988-91.
52
Steele JH. Leptospirosis. In: Pickering LK, penyunting. Report of The Committee on
Infectious Disease (25th ed). Elk Grove Village: American Academy of
Pediatrics, 2009; p. 370-2.
Zein, U. (2009). Leptospirosis in Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S (ed). In I. Ed (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 2807–2811).
Interna Publishm
53
LAMPIRAN
I. Hasil Lab 19/10/2022
54
II. Hasil Lab 21/10/2022
55
IV. Hasil Lab 24/10/2022
56
VI. Hasil Lab 28/10/2022 (Darah)
57
VII. Hasil Lab 28/10/2022 (Urinalisa)
58
VIII. Hasil Lab 12/11/2022 (Poliklinik Penyakit Dalam)
59
IX. Gambaran Klinis Tn. PW
Conjunctival suffussion
60