Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

LEPTOSPIROSIS

Disusun Oleh:
dr. Farah Akhwanis Syifa

Konsulen Pembimbing:
dr. Jaka Susila , Sp. PD

Dokter Pendamping:
dr. Fatah Abdul Yasir

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
KEBUMEN – JAWA TENGAH
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “LEPTOSPIROSIS”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada konsulen


pembimbing, yaitu dr. Jaka Susila, Sp. PD, yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini,
serta dokter pendamping, dr. Fatah Abdul Yasir yang telah membimbing penulis
selama mengikuti program internship.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini
bermanfaat. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Kebumen, 27 Desember 2022

Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus Internsip:

Diajukan untuk Memenuhi Tugas

Pelaksanaan Internship Dokter Indonesia

Di RS PKU Muhammadiyah Gombong Kebumen

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal:

Januari 2023

Disusun oleh:

dr. Farah Akhwanis Syifa

Mengetahui,

Konsulen Pembimbing Dokter Pendamping

dr. Jaka Susila, Sp. PD dr. Fatah Abdul Yasir

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 8
2.1 Leptospirosis .................................................................................................. 8
2.1.1 Definisi .................................................................................................... 8
2.1.2 Epidemiologi ........................................................................................... 9
2.1.3 Etiologi .................................................................................................. 11
2.1.4 Faktor Risiko ......................................................................................... 12
2.1.5 Klasifikasi ............................................. Error! Bookmark not defined.
2.1.6 Patogenesis ............................................................................................ 13
2.1.7 Diagnosis ............................................................................................... 18
2.1.8 Diagnosis Banding ................................................................................ 23
2.1.9 Tatalaksana............................................................................................ 23
2.1.10 Komplikasi ............................................................................................ 25
2.1.11 Prognosis ............................................................................................... 25
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................................... 27
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................... 46
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 51
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 52

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut WHO (2016) leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang memiliki


pengaruh signifikan terhadap kesehatan di seluruh belahan dunia, khususnya di negara
yang memiliki iklim sub tropis dan tropis. Akan tetapi kejadian leptospirosis lebih
banyak terjadi di negara beriklim tropis karena suhu lingkungan mendukung bakteri
Leptospira lebih survive di daerah ini.

Bakteri Leptospira yang menjadi penyebab leptospirosis dapat menyerang


hewan dan manusia. Infeksi yang terjadi pada manusia merupakan kejadian yang
bersifat insidental, karena reservoir atau penyebar utama Leptospira adalah tikus
(Rusmini, 2011). Air kencing tikus yang terinfeksi Leptospira terbawa banjir dan dapat
masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang terluka dan selaput mukosa. Penularan
leptospirosis paling sering terjadi pada kondisi banjir yang menyebabkan perubahan
lingkungan seperti genangan air, becek, banyak timbunan sampah sehingga bakteri
Leptospira lebih mudah berkembang biak.

Leptospirosis menjadi suatu masalah di dunia karena angka kejadian yang


tinggi namun dilaporkan rendah di sebagian besar negara. Hal tersebut diakibatkan
karena sulitnya dalam menentukan diagnosis klinis dan tidak adanya alat untuk
diagnosis sehingga sebagian besar negara melaporkannya sebagai angka kejadian yang
rendah. Di sisi lain, di suatu negara angka kejadian Leptospirosis meningkat setiap
tahunnya. Menurut WHO sejak tahun 2003 di negara tropis diperkirakan terdapat kasus
leptospirosis antara 10-100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun.

Jumlah kasus leptospirosis di Indonesia sendiri pada tahun 2014 menurun


dibandingkan tahun 2013 yaitu dari 641 kasus menjadi 519 kasus, namun angka
kematian atau mortalitas akibat leptospirosis meningkat dari 9,38% pada tahun 2013
menjadi 11,75% pada tahun 2014 (Kemenkes RI, 2015). International Leptospirosis

6
Society menguatkan Indonesia sebagai negara dengan angka mortalitas leptospirosis
16,7% dan menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Uruguay (100%) dan India
(21%) (WHO, 2006). Oleh sebab itu leptospirosis merupakan penyakit dengan angka
mortalitas cukup tinggi di Indonesia.

Banyaknya kasus leptospirosis yang terjadi salah satunya diakibatkan oleh


sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap penyakit tersebut. Sikap preventif
masyarakat terhadap leptospirosis saat ini masih tergolong negatif. Menurut
masyarakat, berjalan di genangan air banjir atau selokan tanpa alat pelindung seperti
sepatu bot bukanlah suatu masalah, masyarakat juga kurang peduli dengan adanya luka
pada tangan atau kaki meskipun kecil yang beresiko menjadi tempat masuknya bakteri
leptospira (Widoyono, 2008). Selain itu, masyarakat menganggap keberadaan tikus di
rumah atau di lingkungan sekitar mereka adalah hal yang wajar, mereka hanya
menggertak untuk mengusir tikus-tikus yang ada di dalam rumah.

Sikap negatif masyarakat tentang leptospirosis saat ini tidaklah luput dari
pengetahuan masyarakat yang rendah mengenai penyakit tersebut. Masyarakat belum
mengetahui tentang leptospirosis, cara penularan, tanda dan gejala serta tindakan
pencegahan untuk leptospirosis. Rahim, et al. (2012) mengatakan pengetahuan
masyarakat yang masih rendah diakibatkan oleh kurang efektifnya penyuluhan
kesehatan yang diberikan. Hasil penelitian Prabhu, et al. (2014) menunjukkkan bahwa
penyuluhan kesehatan perlu ditingkatkan untuk menambah informasi masyarakat
tentang leptospirosis.

7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Leptospirosis
2.1.1 Definisi
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
dari genus Leptospira yang berbentuk spiral. Bakteri ini bersifat patogen
dan dapat menyerang hewan dan manusia. Leptospira merupakan
organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5–25 μm, disertai
spiral halus yang lebarnya 0,1–0,2 μm. Leptospira dapat
dikembangbiakkan pada pH 7,4 dan pada suhu 28–30°C (Muliawan, 2008).
Serotip L. interrogans merupakan penyebab penyakit Leptospirosis yang
merupakan penyakit zoonosis. Serotip L. Biflexa terdapat di air dan tanah
sebagai organisme yang hidup bebas.

Gambar bakteri Leptospira pada mikroskop lapangan gelap

8
2.1.2 Epidemiologi

Penularan leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang


tersebar diseluruh dunia dan ditransmisikan baik secara langsung ataupun
tidak langsung dari binatang ke manusia (zoonosis). Transmisi dari
manusia ke manusia dapat terjadi, namun sangat jarang. Transmisi
leptospira ke manusia terjadi karena kontak dengan urin, darah, atau organ
dari binatang terinfeksi; serta kontak dengan lingkungan (tanah, air) yang
terkontaminasi leptospira (Setadi, 2013).

Leptospira dapat hidup beberapa waktu dalam air dan alam terbuka.
Iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospira ialah udara hangat
(25oC), tanah basah/ lembab, dan pH tanah 6,2-8. Leptospira dapat
bertahan hidup di tanah yang sesuai sampai 43 hari dan di dalam air dapat
hidup berminggu-minggu lamanya. Hal ini dapat dijumpai sepanjang tahun
di negara tropis sehingga kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan negara sub-tropis, dengan risiko penyakit yang lebih berat.
Insiden leptospirosis di negara tropis saat musim hujan sebanyak 5-
20/100.000 penduduk per tahun. Selama wabah dan dalam kelompok risiko
tinggi paparan, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000
penduduk (Novie, 2016).

Tahun 2011 merupakan kasus paling banyak dengan 857 kasus


dengan 82 kasus kematian (CFR 9, 56%) hal tersebut di karenakan
terjadinya KLB di provinsi Di Yogyakarta. Tahun 2012 kasus mengalami
penurunan yaitu 222 kasus dan 28 kematian akan tetapi angka kematian
meningkat CFR 12, 6% di karenakan meningkatnya kasus kematian di kota
Semarang. Tahun 2013 di laporkan terjadi sebanyak 640 kasus dengan
kematian 60 kasus (CFR 9,37%) meningkatnya jumlah kasus karena terjadi

9
KLB di Kabupaten Sampang Madura. Sedangkan tahun 2014 hingga bulan
Oktober dilaporkan sebanyak 411 kasus dengan kematian sebanyak 56
kasus (CFR 13,63%). Terjadi peningkatan angka kematian karena terjadi
KLB di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah karena intensitas hujan
yang tinggi berakibat tejadinya banjir.

Distribusi Leptospirosis di Indonesia

Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis


Leptospirosis namun penyakit ini telah bertahun-tahun menjadi masalah
kesehatan yang sangat tidak diperhatikan. Kegiatan penanggulangan
Leptospirosis belum menjadi kegiatan rutin di sejumlah wilayah di
Indonesia. Pada tahun 2001, sebanyak 139 spesimen serum manusia telah
dilakukan pemeriksaan terhadap Leptospirosis dan hasilnya 18,7% positif,
dengan serovar dominan adalah serovar bataviae.

Pada keadaan banjir besar di Indonesia di bulan januari 2002 terjadi


wabah Leptospirosis terutama di Jakarta. Kegiatan serosurvei telah di
lakukan pada binatang pada saat terjadi banjir di tahun 2002, hasilnya
memperlihatkan tingkat seropositif yang tinggi di antara binatang

10
peliharaan sebagai reservoir infeksi seperti kucing, anjing, dan ternak sapi
dengan demikian risiko infeksi pada manusia tinggi.

2.1.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan bakteri Gram negatif dari genus
Leptospira, famili Leptospiraceae dan ordo Spirochaetales yang berbentuk
spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 μm dan tebal 0,1 μm, serta
mempunyai kait berupa flagellum periplasmik, bergerak maju mundur
dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Leptospira dapat diwarnai
dengan pewarnaan karbolfuchsin. Namun bakteri ini haya dapat dilihat
dengan mikroskop medan gelap (Setiawan, 2008).

Beberapa penelitian terakhir berdasarkan temuan DNA


diidentifikasi 7 spesies Leptospira patogen pada lebih 250 varian serologi
(serovar). Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia
di antaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia
lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini
adalah kambing dan sapi. Setiap hewan berisiko terjangkit Leptospira
dengan spesies yang berbeda. Reservoar (tempat tumbuh dan berkembang
biak mikroba infeksius) paling utama adalah binatang pengerat dan tikus
adalah yang paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. Di Amerika
yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, binatang buas dan kucing.
Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa binatang, misalnya L.
pomona dan L. interrogans terdapat pada lembu dan babi, L. grippotyphosa
pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L. ballum dan L
icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L. canicola
dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah L.
autumnalis, L. hebdomidis, dan L. australis (Ningsih, 2022).

11
Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang
merupakan bakteri patogen (dapat menyebabkan penyakit) (dan L biflexa
yang bersifat saprofitik (hidup bebas dan umumnya dianggap tidak
menyebabkan penyakit) (Kusmiyati et al., 2005). Leptospira patogen
bertahan hidup di tubulus ginjal dan saluran kelamin hewan tertentu.
Leptospira yang bersifat saprofitik ditemukan di berbagai jenis lingkungan
basah atau lembab misalnya permukaan air dan tanah lembab, bahkan
untuk Saprophytichalophilic (menyukai garam) Leptospira dapat
ditemukan dalam air laut (Kemenkes RI, 2017).

2.1.4 Faktor Risiko


Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang
atau air, lumpur, tanah, dan tanaman yang telah dicemari air kencing
binatang yang terkontaminasi leptospirosis. Beberapa pekerjaan yang
berisiko seperti petani sawah, pekerja pejagalan, peternak, pekerja
tambang, industri perikanan, serta petani tebu dan pisang. Dokter hewan
maupun staf laboratorium yang kontak dengan kultur leptospirosis juga
memiliki risiko terpapar leptospirosis. Beberapa kegemaran yang
bersentuhan dengan air atau tanah yang tercemar juga bisa menularkan
leptospirosis, seperti berkemah, berkebun, berkelana di hutan, berakit di air
berjeram, dan olahraga air lainnya (Novie, 2016).

12
Gambar Faktor risiko penyebaran leptospira

Meskipun leptospirosis sering dianggap sebagai penyakit pedesaan,


orang yang tinggal di kota juga dapat terkena, tergantung pada kondisi
hidup dan tingkat kebersihan baik di rumah maupun lingkungan
terdekatnya. Wabah leptospirosis telah dilaporkan mengikuti terjadinya
bencana alam seperti banjir dan badai (Setadi, 2013).

2.1.5 Patogenesis
Penularan penyakit ini melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda,
anjing, serangga, burung, landak, kelelawar, tupai dan lain lain tetapi
potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus. Di Indonesia,
penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan
banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genangan air, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang
menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Tikus

13
merupakan reservoar dan penyebar utama leptospirosis karena bertindak
sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi (Zein, 2009).

Leptospirosis di Indonesia terutama disebarkan oleh tikus yang


melepaskan bakteri melalui urin ke lingkungan. Reservoir yang tahan
terhadap infeksi bakteri Leptospira tikus got (Rattus Norvegicus)
kebun/ladang (Rattus exulans) akan menjadi sumber penularan pada
manusia dan hewan. Sedangkan tikus yang peka terhadap infeksi bakteri
Leptospira seperti tikus rumah asia (Rattus tanezumi), tikus got (Rattus
norvegicus), dll.

Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus


jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian
masuk ke dalam darah, berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh.
Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti ruang depan mata dan
ruang subarakhnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti
(Jawetz, 2010). Tubuh manusia akan memberikan respon imunologik, baik
secara selular maupun humoral. Leptospira berkembang biak terutama di
ginjal (tubulus konvoluta), serta akan bertahan dan diekskresi melalui urin.
Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga
bertahun-tahun. Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya
dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase ini, leptospira
melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada beberapa organ.

Urin tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam tubuh manusia


melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung,
dapat juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi urin tikus
yang terinfeksi Leptospira. Leptospirosis tidak menular langsung dari
pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis berkisar antara 2 hingga 26
hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh

14
tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat
mikroba masuk ke ginjal, Leptospira akan melakukan migrasi ke
interstitium (cairan tubuh), tubulus renal, dan lumen tubular ginjal
menyebabkan nefritis interstitial (kondisi ginjal yang ditandai oleh
pembengkakan di antara tubulus ginjal) dan nekrosis tubular. Jika berlanjut
menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus,
hipovolemia (kekurangan volume cairan) karena dehidrasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis
sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfungsi
hepatoselular.

Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan


edema (bengkak), vakuolisasi miofibril dan nekrosis fokal. Pada kasus
berat disseminated vasculitic syndrome akan menyebabkan kerusakan
endotelium kapiler. Dapat terjadi gangguan paru sebagai mekanisme
sekunder akibat kerusakan pada alveolar dan vaskular interstitial yang
mengakibatkan hemoptoe (batuk darah). Leptospira juga dapat menginvasi
akuos humor mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali
mengakibatkan uveitis (peradangan pada lapisan tengah mata (uvea) kronis
dan berulang. Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat
tetapi lebih sering terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini,
respon imun sistemik dapat mengeliminasi bakteri dari tubuh, tetapi dapat
pula memicu reaksi inflamasi yang dapat mengakibatkan secondary end-
organ injury (Dohe et al.,2009).

Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat


mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan
gejala-gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang
bersirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun
di dalam darah sudah terdapat antibodi. Diatesis perdarahan umumnya

15
terbatas pada kulit dan mukosa, tetapi pada keadaan tertentu terjadi
perdarahan saluran cerna atau organ vital yang dapat menyebabkan
kematian. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen leptospira dapat
dideteksi pada jaringan yang terkena.

Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat


leptospira, sedangkan gejala fase kedua timbul akibat respons imun
pejamu. Beberapa organ yang mengalami gangguan akibat toksin
leptospira ialah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh darah dan jantung.
Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) kemudian ke
selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan komplikasi
neurologik tersering dari leptospirosis.

Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang


seluruh bagian ginjal secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan
infiltrasi sel mononuklear dapat terjadi tanpa adanya gangguan fungsi
ginjal. Selanjutnya pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat
menyebabkan komplikasi acute kidney injury (AKI), disebut juga sindrom
pseudohepatorenal. Pada tahap tersebut, pasien dianjurkan menjalani
dialisis. AKI merupakan penyebab kematian yang penting pada
leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan
penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal.
Pada kasus yang meninggal minggu ke-2 terlihat banyak fokus nekrosis
pada epitel tubulus ginjal, sedangkan yang meninggal setelah minggu
ketiga ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal.

Faktor-faktor yang dapat mengarahkan prognosis kurang baik ialah


adanya oliguri/anuri yang berlangsung lama, blood ureum nitrogen (BUN)
selalu meningkat > 60 mg%/24 jam, rasio ureum urin : darah tidak
meningkat. Hemodialisis tidak lebih menguntungkan untuk terapi

16
pengganti pada AKI akibat leptospirosis dibandingkan dialisis peritoneal
bila telah ada indikasi. Pada leptospirosis dengan AKI disamping dapat
mengoreksi kelainan biokimiawi akibat AKI, dialisis peritoneal juga dapat
mengeluarkan bahan-bahan toksik akibat penurunan fungsi hati.
Pemeriksaan mikroskop elektron pada AKI dengan oliguri memperlihatkan
adanya gambaran obstruksi dan nekrosis tubulus, endapan komplemen
pada membran basalis glomerulus dan infiltrasi sel radang pada jaringan
interstisialis (Steele, 2009).

Leptospira juga ditemukan di antara sel-sel parenkim hati.


Leptospirosis dapat menyebabkan infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel
Kupffer disertai kolestasis, yang mengakibatkan gejala ikterus.
Keterlibatan organ hati pada leptospirosis berat dapat dilihat dari kadar
bilirubin yang tinggi dan membutuhkan berminggu-minggu untuk dapat
kembali pada kadar normal. Dapat terjadi peningkatan sedang kadar
transaminase dan peningkatan ringan kadar alkali fosfatase. Kerusakan
parenkim hati disebabkan antara lain karena penurunan hepatic flow dan
toksin yang dilepaskan oleh leptospira. Leptospirosis berat dapat
menyebabkan pankreatitis akut, ditandai dengan peningkatan kadar
amilase dan lipase serta keluhan nyeri perut.

Gejala patologik yang selalu ditemukan ialah vaskulitis kapiler


berupa edem endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit akibat endotoksin
yang dikeluarkan oleh leptospira pada semua organ yang terkena.
Vaskulitis menimbulkan petekie, perdarahan intraparenkim, dan
perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa yang dapat berujung pada
terjadinya hipovolemia dan renjatan. Dapat ditemukan trombositopenia
dan masa protrombin kadang-kadang memanjang yang tidak dapat
diperbaiki dengan pemberian vitamin K. Pada jantung dapat ditemukan
petekie endokardium, edema interstisial miokard, dan arteritis koroner.

17
Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan
menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin
darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler
yang meningkatkan kadar bilirubin, serta proliferasi sel Kupffer sehingga
terjadi kolestatik intra-hepatik.

Gejala pada paru bervariasi, mulai dari batuk, dispneu, dan


hemoptisis sampai dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan
severe pulmonary haemorrhage syndrome (SPHS). Kelainannya dapat
berupa kongesti septum paru, perdarahan multifokal, dan infiltrasi sel
mononuklear. Perdarahan dapat terjadi pada pleura, alveoli, dan
trakeobronkial. Efusi pleura mungkin juga dapat terjadi. Gambaran infiltrat
biasanya dapat terlihat pada daerah intra-alveolar dan perdarahan
interstisial. Baik infiltrat alveolar maupun dispneumerupakan indikator
yang buruk pada leptospirosis berat. Pada otot rangka dapat terjadi nekrosis
lokal dan vakuolisasi. Leptospira juga dapat masuk ke ruang anterior mata
dan menyebabkan uveitis (Speelman, 2008).

2.1.6 Manifestasi klinis


Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit yang khas yaitu:

1. Fase leptospiremia: leptospira dapat dijumpai dalam darah.


Gejala ditandai dengan nyeri kepala daerah frontal, nyeri otot betis, paha,
pinggang terutama saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam
tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit
berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita
dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali,
dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani

18
secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dan organ-organ yang terlibat
akan membaik. Manifestasi klinik akan berkurang bersamaan dengan
berhentinya proliferasi organisme di dalam darah. Fungsi organ-organ ini
akan pulih 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat,
demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu
demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.

2. Fase imun: berlangsung 4-30 hari, ditandai dengan peningkatan


titer antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan
umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan
paling jelas saat fase ikterik dimana dapat ditemukan purpura, petekie,
epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjuntival injection dan conjungtival
suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonik untuk
leptospirosis. Meningitis, gangguan hati dan ginjal akan mencapai
puncaknya pada fase ini. Pada fase ini juga terjadi leptospiuria yang dapat
berlangsung 1 minggu sampai 1 bulan.

Secara garis besar, manifestasi klinis leptospirosis dapat dibagi


menjadi leptospirosis anikterik pada sekitar 85%-90% kasus dan
leptospirosis ikterik (sindroma Weil) pada kurang lebih 10% kasus.

2.1.7 Diagnosis
Salah satu kendala penanganan leptospirosis ialah kesulitan dalam
menegakkan diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai
macam keluhan dari berbagai sistem organ sehingga sering didiagnosis
dengan meningitis, hepatitis, nefritis, fever of unknown origin (FUO),
influenza, sindrom Kawasaki, sindrom syok toksik, dan penyakit Legionela
(Steele, 2009).

19
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis leptospirosis dibagi
menjadi dua, yaitu pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi anti-leptospira
dan untuk mendeteksi bakteri leptospira secara langsung, antigen, maupun
asam nukleat lepstospira. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut antara lain: (i)
microscopic agglutination test (MAT) untuk mendeteksi antibodi terhadap
Leptospira secara serologis, (ii) polymerase chain reaction (PCR) untuk
mendeteksi gen spesifik Leptospira, (iii) kultur darah atau dari cairan tubuh
lain, (iv) IgM ELISA untuk menemukan antibodi IgM spesifik leptospira,
dan (v) RDT. Standar baku dalam menegakkan diagnosis leptospirosis
adalah dengan menemukan bakteri Leptospira secara langsung
menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan kultur.

Sampel yang bermanfaat dan yang paling sering dikumpulkan


yaitu:

1. Darah dengan heparin untuk kultur dalam 10 hari pertama.

2. Darah atau serum beku untuk pemeriksaan serologi diambil pada


fase septikemia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesens.
Hasil serologi negatif pada fase awal penyakit tidak
menyingkirkan diagnosis leptospirosis.

3. Urine untuk kultur diambil pada fase imun.

4. Sampel post mortem. Penting untuk mengumpulkan spesimen


dari sebanyak mungkin organ untuk serologi. Sampel post
mortem harus dikumpulkan aseptik dan diinokulasi ke dalam
media kultur sesegera mungkin setelah kematian. Sampel harus
disimpan dan diangkut pada suhu 4°C. Selain itu, pewarnaan
perak, immunostaining, dan imunohistokimia mungkin
membantu.

20
5. CSS dan dialisat untuk kultur diambil pada fase septikemia.
Pada kasus leptospirosis an-ikterik dapat dijumpai jumlah
leukosit normal dengan neutrofilia, peningkatan laju endap
darah (LED) dan protein dalam CSS.

Terdapat 3 kriteria dalam mendiagnosis leptopirosis, yaitu kasus


suspek, probable, dan konfirmasi.

1. Kriteria kasus suspek meliputi: demam akut dengan atau tanpa


sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah (malaise), conjungtival
suffusion, dan ada riwayat terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan faktor risiko
leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu sebelumnya:
a) kontak dengan air yang terkontaminasi kuman
Leptospira/urin tikus saat terjadi banjir;
b) kontak dengan sungai, danau dalam aktifitas mencuci,
mandi berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit
bambu dll
c) Kontak dipersawahan atau perkebunan berkaitan dengan
pekerjaan sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak
menggunakan alas kaki;
d) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing,
anjing yang dinyatakan secara laboratorium terinfeksi
Leptospira;
e) Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan
cairan infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan
lain seperti plasenta, cairan amnion, menangani ternak
seperti memerah susu, menolong hewan melahirkan dll;

21
f) Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia
yang diduga terinfeksi Leptospirosis dalam suatu
laboratorium atau tempat lainnya;
g) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber
infeksi seperti dokter hewan, dokter perawat, pekerja
potong hewan, petani, pekerja perkebunan, petugas
kebersihan dirumah sakit, pembersih sekolahan, pekerja
tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar, tentara,
pemburu;
h) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan
hobby dan olah raga seperti pendaki gunung, memancing,
berenang, arung jeram, trilomba juang (triathlon), dll.

2. Kriteria kasus probable adalah jika terdapat dua gejala klinis di


antara tanda-tanda berikut:
a) nyeri betis;
b) sklera ikterik;
c) manifestasi pendarahan;
d) sesak nafas;
e) oliguria atau anuria;
f) aritmia jantung;
g) batuk dengan atau tanpa hemoptisis; dan
h) ruam kulit.
- Kasus suspek dengan RDT (untuk mendeteksi lgM anti
Leptospira) positif, atau;
- Kasus suspek dengan gambaran laboratorium:
a) Trombositopenia < 100.000 sel/mm;
b) Leukositosis dengan neutropilia > 80%;

22
c) Kenaikan jumlah bilirubin total > 2 gr% atau peningkatan
SGPT, amilase, lipase, dan creatine phosphokinase (CPK)
d) pemeriksaan urin proteinuria dan/atau hematuria

3. Kasus konfirmasi ditegakkan apabila kasus probable disertai


salah satu dari gejala berikut:
a) isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik;
b) hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif; dan
c) Sero konversi microscopic agglutination test (MAT) dari
negatif menjadi positif atau adanya kenaikan titer 4x dari
pemeriksaan awal;
d) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu
sampel.

2.1.8 Diagnosis Banding


Leptospirosis ringan mempunyai diagnosis banding meliputi:
Demam dengue/demam berdarah dengue, malaria tanpa komplikasi,
rickettsiosis, demam tifoid, influenza, infeksi hanta virus dsb.
Leptospirosis berat mempunyai diagnosis banding meliputi: Sepsis berat,
malaria falciparum berat, hantavirus dengan gagal ginjal, demam tifoid
dengan komplikasi. (Novie, 2016).

2.1.9 Tatalaksana
1. Medikamentosa
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera
setelah diduga diagnosis leptospirosis, sebaiknya sebelum hari ke-5 setelah
onset penyakit. Umumnya dokter mengobati dengan antibiotik tanpa
menunggu timbulnya penyakit. Uji serologik tidak menjadi positif sampai

23
sekitar seminggu setelah onset penyakit, dan kultur tidak dapat menjadi
positif selama beberapa minggu. Kesulitan melihat hasil pengobatan ialah
bahwa umumnya leptospira merupakan penyakit self limiting dengan
prognosis yang cukup baik (Novie, 2016).

Kasus leptospirosis berat harus diberikan penisilin dosis tinggi IV


(benzylpenicillin IV 30 mg/kg, maksimal 1,2 g, per 6 jam selama 5-7 hari).
Kasus yang lebih ringan dapat diobati dengan antibiotik oral seperti
amoksisilin, ampisilin, doksisiklin (2 mg/kg, maksimal 100 mg, setiap 12
jam selama 5-7 hari), atau eritromisin. Sefalosporin generasi ketiga, seperti
ceftriaxone dan cefotaxime, dan kuinolon juga efektif. Reaksi Jarisch-
Herxheimer dapat terjadi setelah pengobatan penisilin (Steele, 2009).

Kularatne et al.15 di Sri Langka melaporkan bahwa pemberian


metil-prednisolon 500 mg IV selama 3 hari pada pasien leptospirosis berat
dengan angka kematian 16 orang dari total 149 orang (10,7%)
dibandingkan tanpa pemberian metil prednisolon dengan angka kematian
17/78 (21,8%) dengan P < 0,025.

2. Terapi suportif dan dialysis


Kasus berat perlu dirawat di rumah sakit dengan perawatan suportif
agresif dan pengawasan ketat pada keseimbangan cairan dan elektrolit.
Peritoneal dialisis atau hemodialisis diindikasikan pada gagal ginjal.
Perawatan suportif yang baik dan dialisis telah mengurangi mortalitas
penyakit ini dalam beberapa tahun terakhir. Bila protrombin terganggu
dapat diberikan vitamin K (Novie, 2016).

3. Pencegahan
Pemberian doksisiklin 200 mg/minggu dapat memberikan
pencegahan sekitar 95% pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun
profilaksis pada anak belum ditemukan. Pengontrolan lingkungan rumah

24
dan penggunaan alat pelindung diri terutama di daerah endemik dapat
memberikan pencegahan pada penduduk berisiko tinggi walaupun hanya
sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya memberikan sedikit perlindungan
karena terdapat serotipe kuman yang berbeda (Setadi, dkk, 2013)
4. Pengendalian Faktor Risiko
Kegiatan pengendalian faktor risiko Leptospirosis dilakukan pada:
(a) sumber infeksi (pengendalian tikus dan hewan ternak);
(b) alur transmisi antara sumber infeksi dan manusia (pemberian
desinfeksi penampungan air, pengelolaan tanah yang terinfeksi);
(c) infeksi atau penyakit pada manusia (antibiotik profilaksis,
promosi kesehatan).

2.1.10 Komplikasi
Meningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering
ditemukan, namun dapat pula terjadi ensefalitis, mielitis, radikulitis,
neuritis perifer (tidak biasa) pada minggu kedua karena terjadinya reaksi
hipersensitivitas (Novie, 2016). Komplikasi berat pada penderita
leptospirosis berat dapat berupa syok, perdarahan masif dan ARDS yang
merupakan penyebab utama kematian leptospirosis berat. Syok terjadi
akibat perubahan homeostasis tubuh yang berperan pada timbulnya
kerusakan jaringan (Setadi, 2013). Gagal ginjal, kerusakan hati, perdarahan
paru, vaskulitis dan ganguan jantung berupa miokarditis, perikarditis dan
aritmia jarang ditemukan walaupun umumnya sebagai penyebab kematian.
Meskipun jarang dapat ditemukan uveitis setelah 2 tahun timbul gejala
leptospira.

2.1.11 Prognosis
Prognosis umumnya baik dan pasien dapat sembuh total dari
leptospirosis. Pada beberapa pasien, pemulihan dapat berlangsung

25
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Pada anak angka kematian lebih
rendah dibandingkan dewasa (Novie, 2016). Gejala sisa mungkin terjadi,
termasuk kelelahan kronis dan gejala neuropsikiatri lainnya seperti sakit
kepala, paresis, kelumpuhan, perubahan suasana hati, dan depresi.

Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapat


mengalami nyeri kepala periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis
leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan pandangan
yang kabur. Leptospirosis selama kehamilan dapat menyebabkan kematian
janin, aborsi, atau lahir mati (Setadi, 2013).

Tingkat fatalitas kasus di berbagai belahan dunia telah dilaporkan


berkisar dari <5%-30%. Angka ini tidak terlalu dapat dipercaya karena di
banyak daerah terjadinya penyakit ini tidak terdokumentasi dengan baik.
Selain itu, kasus ringan mungkin tidak terdiagnosis sebagai leptospirosis.
Penyebab penting kematian termasuk gagal ginjal, gagal jantung-paru, dan
perdarahan luas. Gagal hati jarang menjadi penyebab, meskipun timbul
ikterik. Perbaikan prognosis leptospirosis berat akhir-akhir ini terjadi
karena penggunaan hemodialisis sebagai sarana penunjang gagal ginjal
reversibel yang mungkin terjadi dalam beberapa kasus dan diberikannya
perawatan suportif yang agresif (Setadi, 2013).

26
BAB III
LAPORAN KASUS

Nama pasien : Tn. PW

Alamat : Sumpiuh

Umur : 51 th

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pedagang

MRS : 19 Oktober 2022

Tanggal pemeriksaan : 23 Oktober 2022

NO RM : 459xxx

ANAMNESIS: Autoanamnesa dan Alloanamnesa

Keluhan utama
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien Tn. P rujukan dari Puskesmas Sumpiuh datang ke IGD RS PKU
Muhammadiyah Gombong Rabu 19 Oktober 2022 pukul 21.00 dengan keluhan demam
sejak 2 hari SMRS. Demam dikeluhkan pasien setelah beberapa hari ini kehujanan saat
sedang berkerja di sawah. Pasien juga mengatakan tangannya pernah terluka karena
tidak sengaja terkena sampah tulang ayam saat di sawah. Demam dikatakan membaik
setelah meminum obat penurun panas lalu naik lagi. Keluhan disertai dengan mual dan
muntah, serta perubahan warna pada urin pasien. Pasien mengatakan bahwa warna

27
urinnya berubah menjadi merah kecoklatan seperti teh. Keluhan ini tidak disertai
dengan rasa sakit saat kencing atau berkurangnya volume urin.

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat sakit ginjal dan liver sebelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat anggota
keluarga dengan keluhan demam disangkal. Pasien belum pernah periksa atau dirawat
di Rumah Sakit. Riwayat asma, alergi, penyakit paru, jantung, hipertensi, DM, dan
konsumsi obat rutin disangkal.

Riwayat penyakit keluarga


Pasien memiliki seorang istri, 3 anak, dan 2 cucu. Keluarga dengan keluhan yang
sama disangkal

Riwayat pekerjaan, kebiasaan, dan sosial ekonomi


Pasien merupakan seorang pedagang perabotan keliling. Namun, beberapa hari
sebelum masuk rumah sakit pasien tidak bisa bekerja dikarenakan hujan lebat yang
turun setiap hari. Pasien akhirnya bertani di sawah saat musim hujam setiap hari selama
kurang lebih 5 hari. Pasien tinggal di lingkungan pedesaan, rumah pasien memiliki
pencahayaan dan ventilasi yang cukup. Pasien setiap hari mengonsumsi rokok <1
bungkus per hari. Pasien jarang berolahraga. Pasien makan sehari-hari dengan masakan
istrinya. Pasien jarang konsumsi buah-buahan. Pasien menggunakan pembiayaan
kesehatan dengan asuransi BPJS non-PBI kelas II.

PEMERIKSAAN FISIK (23 Oktober 2022)


Pemeriksaan umum:
Kesadaran : Komposmentis, kooperatif
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/80 mmHg

28
Nadi : 84 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Saturasi O2 : 99% NK
Suhu : 37,1°C
Berat badan : 73 kg
Tinggi badan : 170 cm
Status Gizi : 25,26 (overweight)

Pemeriksaan Generalisata:
Pemeriksaan kepala dan leher
Mata : ikterus (+/+) dan conjunctival suffussion (+/+)
Hidung : keluar cairan (-/-)
Mulut : mukosa basah (-), sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thoraks Paru
Inspeksi :
Statis : Normal simetris kiri dan kanan
Dinamis : Gerakan dada simetris kiri kanan, sela iga melebar (-)
penggunaan otot napas tambahan (-) retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus normal simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru.
Auskultasi : suara pernapasan : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Thoraks Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midklavikularis sinistra SIK IV
Perkusi : Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra

29
Batas kiri jantung : satu jari lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi : S1& S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Perut ascites, venektasi (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba
membesar. Lien tak teraba, nyeri tekan regio hipokondrium kanan (-).
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen

Ekstremitas
Atas : Ekstremitas teraba hangat, pitting udem (-), clubbing finger (-), CRT < 2 detik.
Ikterik
Bawah : Ekstremitas teraba hangat, pitting udem (+), clubbing finger (-), CRT < 2 detik.
Ikterik. Nyeri tekan otot gastrocnemius (+/+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Klinik

PEMERIKSAAN HASIL NORMAL


19/10/2022
Leukosit 14.84 High 3,6 -11 rb/ul
Eritrosit 4.26 Low 3,8-5,2 juta/L
Hemoglobin 13.3 11,7-15,5 gr/dl

Hematokrit 37.6 Low 35-47%


MCV 88.1 80-100 fL
MCH 31.2 26- 34 pg

30
MCHC 35.5 32-36 g/dl
Trombosit 97 Low 150-440 rb/ul
Hitung jenis
Basofil 0.0 0,0-1,0 %
Eosinofil 1.3 Low 2,0-4,0 %
Neutrofil 91.0 High 50,00-70,0 %
Limfosit 3.7 Low 25,0-40,0 %
Monosit 4.0 2,0-8,0 %
Faal ginjal
Ureum 50 High 15-39 mg/dl
Kreatinin 1.64 High 0,6-1,3 mg/dl
Faal hati
SGOT 73.00 High 0-35 U/L

SGPT 15.20 0-35 U/L


ELEKTROLIT
Natrium 130.4 Low 135-147 mEq/L
Kalium 3.80 3,5-5,0 mEq/L
Diabetes
Glukosa Darah Sewaktu 166 High 70-105 mg/dl

RESUME
Pasien Tn. P rujukan dari Puskesmas Sumpiuh datang ke IGD RS PKU
Muhammadiyah Gombong Rabu 19 Oktober 2022 pukul 21.00 dengan keluhan
demam sejak 2 hari SMRS. Demam dikeluhkan pasien setelah beberapa hari ini
kehujanan saat sedang berkerja di sawah. Pasien juga mengatakan tangannya pernah
terluka karena tidak sengaja terkena sampah tulang ayam saat di sawah. Demam
dikatakan membaik setelah meminum obat penurun panas lalu naik lagi. Keluhan

31
disertai dengan mual dan muntah, serta perubahan warna pada urin pasien. Pasien
mengatakan bahwa warna urinnya berubah menjadi kuning kecoklatan seperti teh.
Keluhan ini tidak disertai dengan rasa sakit saat kencing atau berkurangnya volume
urin.
Pasien merupakan seorang pedagang perabotan keliling. Namun, beberapa
hari sebelum masuk rumah sakit pasien tidak bisa bekerja dikarenakan hujan lebat
yang turun setiap hari. Pasien akhirnya bertani di sawah saat musim hujam setiap hari
selama kurang lebih 5 hari.
Pada pemeriksaan fisik khusus didapatkan ikterus dan conjunctival suffussion
yang positif di kedua mata, pada sistem respirasi didapatkan laju pernafasan 20 kali
per menit dengan jenis vesikuler pada kedua lapangan paru, tanpa rhonki dan tanpa
wheezing, dari sistem kardiovaskular didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, suhu
37,1, dengan denyut nadi 84 kali per menit, dengan S1 S2 tunggal reguler tanpa
murmur, dari sistem gastrohepatobiliari, hepar dan lien tidak teraba, dan pada sistem
muskuloskletal didapatkan pitting udem di ekstremitas inferior dan nyeri tekan pada
otot gastrocnemius kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit 14,84 ribu/μL
dengan dominan neutrofil, penurunan eritrosit 4,26 juta/μL, penurunan hematokrit
37,60%, dan penurunan trombosit sampai 97 ribu/ul. Pada pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan peningkatan ureum dan kreatinin dengan 50 mg/dl dan 1,64 mg/dl. Pada
pemeriksaan fungsi hati didapatkan peningkatan SGOT yaitu 73.00 U/L dan SGPT
normal. Untuk natrium pasien menurun sampai 130.4 mEq/L dan gula darah sewaktu
meningkat 166 mg/dl.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien didapatkan diagnosis pasien yaitu observasi febris dengan trombositopenia ec
suspect leptospirosis

32
Diagnosis Kerja :
Observasi Febris, Trombositopenia, AKI ec suspect infeksi Leptospirosis

Diagnosis Banding :
- Dengue Fever
- Typhoid Fever
- Hepatitis
- Weil’s Disease
- Malaria

Penatalaksanaan di IGD:
Farmakologi
• O2 4 lpm nasal kanul
• RL loading 1000 cc dilanjutkan IVFD RL 20 tpm
• Inj. Santagesic 1 amp
• Inj. Ranitidin 1 amp
• Sucralfat syr 3x1 cth
• Paracetamol 3x500 mg tab
• Zinc 1x20 mg tab
• Cek Trombosit per 24 jam

Edukasi
• Tentang perjalanan penyakit pasien.
• Perlunya pengendalian dan pemantauan penyakit secara berkelanjutan.
• Penyulit dan risikonya.
• Membersihkan lingkungan sekitar rumah.
• Membiasakan hidup bersih dan sehat

33
Prognosis :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Follow Up:
Tabel Follow Up pasien
TGL SUBJECTIVE OBJECTIVE DX TX
19-10-22 Demam, BAK TD : 80/60 Observasi Bed Rest
merah, mual febris H2,
IGD HR : 84x/m Evaluasi KU dan
muntah dengan
RR: 20x/m trombositope Tanda Vital
Rujukan PKM
nia.
Sumpiuh T: 36,8 C
dengan demam AKI O2 4 lpm nasal kanul
dan Mata CA -/-
trombositopenia Cor : S1 > s2 reg IVFD RL loading
1000 cc
Pulmo : sd ves +/+,
Inj. Santagesic 1 amp
rbh -/-, whz-/-
Inj. Ranitidin 1 amp
Abdomen supel BU +
N, NTE + Sucralfat syr 3x1 cth

Paracetamol 3x500 mg
tab
Lab terlampir
Zinc 1x20 mg tab
Trombosit 97 ribu/ul
Cek Trombosit per 24
Ur/Cr H
jam
SGOT H

Na L

34
20-10-22 Demam, BAK TD : 110/70 Observasi Bed Rest
merah, mual febris H3,
Bangsal HR : 84x/m Evaluasi KU dan
muntah, perut dengan
kembung, RR: 20x/m trombositope Tanda Vital
nia.
Kaki terasa T: 37,6 C
nyeri dan berat AKI O2 4 lpm nasal kanul
Mata CA -/-
IVFD RL loading
Cor : S1 > s2 reg
1000 cc
Pulmo : sd ves +/+,
Inj. Santagesic 1 amp
rbh -/-, whz-/-
Inj. Ranitidin 1 amp
Abdomen supel BU +
N, NTE + Sucralfat syr 3x1 cth

Paracetamol 3x500 mg
tab

Zinc 1x20 mg tab

Cek Trombosit per 24


jam

21-10-22 Demam turun, TD : 120/80 Observasi Bed Rest


BAK mulai febris,
Bangsal HR : 85x/m O2 4 lpm nasal kanul
jernih, mual trombositope
muntah <<, RR: 20x/m nia.
perut makin IVFD RL 20 tpm
T: 36,6 C AKI
kembung
Mata CA -/- Inj. Santagesic 1 amp
Kaki terasa
nyeri dan berat konjungtival
Inj. Ranitidin 1 amp
sampai suffussion -/-
kesulitan Cor : S1 > s2 reg Sucralfat syr 3x1 cth
berjalan
Pulmo : sd ves +/+, Paracetamol 3x500 mg
rbh -/-, whz-/-
tab

35
Abdomen supel BU + Zinc 1x20 mg tab
N, NTE +

Lab terlampir Bd-Gard 1x1 tab

Trombosit 50 ribu/ul Curcuma 3x1 tab

Prorenal 3x1 tab

22-10-22 Demam turun, TD : 120/80 Suspek O2 4 lpm nasal kanul


mual muntah leptospirosis
Bangsal HR : 82x/m IVFD RL 20 tpm
>>, perut
Cholestasis
membesar dan RR: 20x/m
nyeri, badan Insuffisiensi Inj. Ketorolac 30 mg
kuning, T: 36,3 C
renal
Mata CA -/- SI +/+, Inj. Santagesic 1 amp
Kaki bengkak,
terasa nyeri dan konjungtival
Inj. Ranitidin 1 amp
berat sampai suffussion +/+
kesulitan Cor : S1 > s2 reg Sucralfat syr 3x1 cth
berjalan
Pulmo : sd ves +/+, Paracetamol 3x500 mg
rbh -/-, whz-/-
tab
Abdomen cembung,
undulasi positif, kesan Zinc 1x20 mg tab
ascites, BU + < , NTE
+ Bd-Gard 1x1 tab
Ekstremitas hangat,
Curcuma 3x1 tab
ikterik +/+//+/+
hipertrofi otot Prorenal 3x1 tab
gastrocnemius +/+
nyeri tekan.

dr. Jaka, Sp. PD

Urdafalk 2 x 1 tab

36
Inj Ceftriaxon 1 g/12
jam

Inj MPS 62,5 mg/24


jam

Inj Furosemide 20
mg/12 jam

Cek IgM Leptospira

23-10-22 Demam turun, TD : 110/80 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul


mual > muntah,
Bangsal HR : 83x/m Cholestasis IVFD RL 20 tpm
BAK keruh,
perut nyeri, RR: 20x/m Insuffisiensi
badan kuning, renal Inj. Ranitidin 1 amp
T: 36,5 C
Kaki bengkak, Inj Ceftriaxon 1 g/12
terasa nyeri. Mata CA -/- SI +/+,
konjungtival jam
suffussion +/+
Inj MPS 62,5 mg/24
Cor : S1 > s2 reg
jam
Pulmo : sd ves +/+,
rbh -/-, whz -/- Inj Asam Traneksamat
Abdomen cembung <, 500 mg/8 jam
undulasi positif, kesan
ascites, BU + < , NTE Inj Furosemide 20
+ mg/12 jam
Ekstremitas hangat,
ikterik +/+//+/+ Sucralfat syr 3x1 cth
hipertrofi otot
gastrocnemius +/+ Urdafalk 2x1 tab
nyeri tekan.
Lab terlampir

37
Trombosit 15 rb/ul Paracetamol 3x650 mg
IgM Leptospira (+) tab

Zinc 1x20 mg tab

Biogard 1x1 tab

Curcuma 3x1 tab

Advice dr. Jaka, Sp.


PD

Stop ketorolac dan


santagesic

Stop prorenal

Tambah inj. Asam


tranexamat 500 mg/8
jam

Paracetamol 3x650 mg
tab

Zinc 1x20 mg tab

Biograd 1x1 tab

24-10-22 Demam -, sesak TD : 110/70 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul


-, mual > Berat
Bangsal HR : 84x/m IVFD RL 20 tpm
muntah, BAK
AKI grade
keruh >, perut RR: 20x/m
III Inj. Ranitidin 1 amp
nyeri, badan
kuning, T: 36,8 C
Cholestasis

38
Kaki bengkak, Mata CA -/- SI +/+, Inj Ceftriaxon 1 g/12
terasa nyeri. konjungtival jam
suffussion +/+
Cor : S1 > s2 reg Inj MPS 62,5 mg/24

Pulmo : sd ves +/+, jam


rbh -/-, whz -/-
Inj Furosemide 20
Abdomen cembung <,
mg/8 jam
undulasi positif, kesan
ascites, BU + < , NTE Doksisiklin 2x100 mg
+
Ekstremitas hangat, Sucralfat syr 3x1 cth
ikterik +/+//+/+
hipertrofi otot Urdafalk 2x1 tab
gastrocnemius +/+
Paracetamol 3x650 mg
nyeri tekan.
tab

Lab terlampir Zinc 1x20 mg tab

Hb 10.8 Biogard 1x1 tab


AT 28 rb/ul
Curcuma 3x1 tab
Ur 238
Cr 7.86
Advice dr. Jaka, Sp.
PD

Cek DR, Ur/Cr

Doksisiklin 2x100 mg

Inj. Furosemid 3x1

Stop asam traneksamat

39
25-10-22 Demam -, sesak TD : 120/78 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul
-, mual + Berat
Bangsal HR : 84x/m IVFD RL 20 tpm
muntah +, BAK
AKI grade
dbn, perut RR: 20x/m
III Inj. Ranitidin 1 amp
nyeri, badan
kuning, T: 36,8 C
Cholestasis
Mata CA -/- SI +/+, Inj Ceftriaxon 1 g/12
Kaki bengkak,
terasa nyeri. konjungtival jam
suffussion +/+
Inj MPS 62,5 mg/24
Cor : S1 > s2 reg
jam
Pulmo : sd ves +/+,
rbh -/-, whz -/- Inj Furosemide 20
Abdomen supel, BU mg/8 jam
+, NTE +
Doksisiklin 2x100 mg
Ekstremitas hangat,
ikterik +/+//+/+ Sucralfat syr 3x1 cth
hipertrofi otot
gastrocnemius +/+ Urdafalk 2x1 tab
nyeri tekan.
Paracetamol 3x650 mg
tab

Zinc 1x20 mg tab

Biogard 1x1 tab

Curcuma 3x1 tab

Advice dr. Jaka, Sp.


PD

Monitor urin output


per 8 jam

40
Pasien diminta
nampung urin

Konsul ke dr.
Haryono, Sp. PD
untuk rencana HD

25-10-22 Lemas, sesak -, TD : 120/80 Leptospirosis Advice dr. Haryono,


mual + muntah Berat Sp. PD
HD HR : 84x/m
-, BAK dbn,
AKI grade Acc HD
perut nyeri, RR: 20x/m
III
badan kuning, Qb 250
T: 36,8 C
Cholestasis
Kaki terasa Qd 500
nyeri. Mata CA -/- SI -/-,
konjungtival UFG 500
suffussion +/+
TD 3 jam
Cor : S1 > s2 reg
Free Heparin
Pulmo : sd ves +/+,
Cek lab post HD
rbh -/-, whz -/-
Abdomen supel, BU
+, NTE +
Ekstremitas hangat,
ikterik +/+//+/+
hipertrofi otot
gastrocnemius +/+
nyeri tekan.

26-10-22 Demam -, sesak TD : 120/70 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul


-, mual + Berat
Bangsal HR : 84x/m IVFD RL 20 tpm
muntah -, BAK
AKI grade
dbn, perut RR: 20x/m
III Inj. Ranitidin 1 amp
T: 36,8 C

41
nyeri, badan Mata CA -/- Inj Ceftriaxon 1 g/12
kuning, konjungtival jam
suffussion +/+
Kaki bengkak,
terasa nyeri. Cor : S1 > s2 reg Inj MPS 62,5 mg/24

Pulmo : sd ves +/+, jam


rbh -/-, whz -/-
Inj Furosemide 20
Abdomen supel, BU
mg/8 jam
+, NTE +
Ekstremitas hangat, Doksisiklin 2x100 mg
hipertrofi otot
gastrocnemius +/+ Sucralfat syr 3x1 cth
nyeri tekan.
Urdafalk 2x1 tab
Urin output 2,600
cc/24 jam Paracetamol 3x650 mg
tab

Lab terlampir Zinc 1x20 mg tab


Hb 11.2
Biogard 1x1 tab
Trombosit 52 rb/ul
Curcuma 3x1 tab
Ur 201
Cr 5.38
Advice dr. Jaka, Sp.
PD

Cek DR, Ur/Cr per 48


jam

Domperidone 3x1 tab

27-10-22 Demam -, sesak TD : 120/70 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul


-, mual + Berat
Bangsal HR : 84x/m IVFD RL 20 tpm
muntah -, perut
AKI grade
RR: 20x/m
III

42
nyeri <, badan T: 36,8 C Inj. Ranitidin 1 amp
kuning <,
Mata CA -/- Inj Ceftriaxon 1 g/12
Kaki terasa konjungtival
nyeri. suffussion +/+ jam

Cor : S1 > s2 reg Inj MPS 62,5 mg/24


Pulmo : sd ves +/+, jam
rbh -/-, whz -/-
Inj Furosemide 20
Abdomen supel, BU
+, NTE + mg/8 jam

Ekstremitas hangat, Domperidone 3x1 tab


hipnyeri tekan otot
gastrocnemius +/+. Doksisiklin 2x100 mg
Urin output 2,700
Sucralfat syr 3x1 cth
cc/24 jam
Urdafalk 2x1 tab

Paracetamol 3x650 mg
tab

Zinc 1x20 mg tab

Biogard 1x1 tab

Curcuma 3x1 tab

Advice dr. Haryono,


Sp. PD
HD lagi
Qb 200
Qd 500
UFG 500

43
TD 4,5 jam
Heparin mini
28-10-22 mual < muntah TD : 120/70 Leptospirosis O2 4 lpm nasal kanul
-, perut nyeri -, Berat
Bangsal HR : 84x/m IVFD RL 20 tpm
badan kuning <,
AKI grade
HD RR: 20x/m
Kaki nyeri < III Inj. Ranitidin 1 amp
T: 36,8 C
Mata CA -/- Inj Ceftriaxon 1 g/12
konjungtival jam
suffussion -/-
Inj MPS 62,5 mg/24
Cor : S1 > s2 reg
jam
Pulmo : sd ves +/+,
rbh -/-, whz -/- Inj Furosemide 20
Abdomen supel, BU mg/8 jam
+, NTE +
Domperidone 3x1 tab
Ekstremitas hangat,
nyeri tekan otot Doksisiklin 2x100 mg
gastrocnemius +/+.
Sucralfat syr 3x1 cth

Lab terlampir Urdafalk 2x1 tab


Hb 12.9
Paracetamol 3x650 mg
AT 93 rb tab
Ur 201
Zinc 1x20 mg tab
Cr 3.09
Bilirubin total 32.38 Biogard 1x1 tab

Direk 25.48 Curcuma 3x1 tab


Indirek 6.90
Cek lab post HD

44
Urinalisa
Bilirubin 2+
Darah +/-
29-10-22 mual - perut TD : 120/70 Leptospirosis Advice dr. Jaka, Sp.
nyeri -, badan perbaikan PD :
Bangsal HR : 84x/m
kuning -
AKI grade
RR: 20x/m BLPL
Kaki nyeri III
minimal T: 36,8 C
Mata CA -/-
konjungtival
suffussion -/-
Cor : S1 > s2 reg
Pulmo : sd ves +/+,
rbh -/-, whz -/-
Abdomen supel, BU
+, NTE +
Ekstremitas hangat,
nyeri tekan otot
gastrocnemius +/+.
Lab terlampir
Kontrol Keluhan nyeri lutut dan pinggang, kesemutan, nyeri perut
Poli
Dalam
Hasil Lab 12-11-22 (terlampir)
05-11-22
Leukosit 10.25 rb/ul
12-11-22
Hemoglobin 10.1 g/dl (L)
14-12-22
Trombosit 412 rb/ul
Ureum 29 mg/dl
Creatinin 1.50 mg/dl (H)

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien didapati keluhan demam sejak 2 hari. Demam dikeluhkan pasien
setelah beberapa hari ini kehujanan saat sedang berkerja di sawah. Pasien juga
mengatakan tangannya pernah terluka karena tidak sengaja terkena sampah tulang
ayam saat di sawah. Demam dikatakan membaik setelah meminum obat penurun panas
lalu naik lagi. Keluhan disertai dengan mual dan muntah, serta perubahan warna pada
urin pasien. Pasien mengatakan bahwa warna urinnya berubah menjadi kuning
kecoklatan seperti teh. Keluhan ini tidak disertai dengan rasa sakit saat kencing atau
berkurangnya volume urin. Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya.

Berdasarkan riwayat pekerjaan, kebiasaan, dan sosial ekonomi, pasien


merupakan seorang pedagang perabotan keliling. Namun, beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit pasien tidak bisa bekerja dikarenakan hujan lebat yang turun setiap
hari. Pasien akhirnya bertani di sawah saat musim hujam setiap hari selama kurang
lebih 5 hari.

Anamnesa keluhan tersebut belum dapat secara tepat mengarah ke satu


diagnosis sehingga pasien dapat didiagnosis banding dengan influeza, infeksi saluran
kemih, infeksi leptospira, sampai hepatitis. Namun, jika ditinjau dari pekerjaan, pasien
memiliki riwayat kontak dengan air yang kemungkinan tercemar bakteri Leptospira.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genangan air, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan
mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Urin tikus terbawa banjir kemudian
masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan
hidung. Tikus merupakan reservoar dan penyebar utama leptospirosis karena bertindak
sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi (Zein, 2009).

46
Pemeriksaan keadaan umum tampak sakit sedang, badan tampak kuning dan
suhu tubuh meningkat. Pada pemeriksaan kepala didapatkan mata pasien tampak
kuning atau disebut juga conjunctival suffussion. Pada pemeriksaan abdomen
dikeluhkan nyeri pinggang, didapatkan perut tampak cembung cenderung asites dan
nyeri tekan epigastrik. Pada pemeriksaan ekstremitas akral ikterik, hipertrofi pada otot
gastrocnemius dan nyeri pada saat ditekan. Pemeriksaan fisik lain-lain dalam batas
normal.

Pemeriksaan penunjang laboratorium klinik didapatkan peningkatan pada nilai


leukosit (14.84 ribu/uL), ureum kreatinin (50 dan 1.64 mg/dL), dan gula darah sewaktu
(166 mg/dL). Didapatkan juga penurunan pada trombosit sampai 97 ribu dan kadar
natrium (130.4 mEq/L).

Perjalanan penyakit leptospirosis dapat dibedakan menjadi 2 fase, yaitu fase


septikemia atau fase leptospiremia dan fase imun. Pada fase septikemia penderita akan
mengalami gejala mirip flu, meliputi demam, nyeri otot pada betis, paha, pinggang
terutama saat ditekan, mual dan muntah. Gejala-gejala tersebut dialami oleh pasien Tn.
PW pada kasus ini. Conjunctival suffusion merupakan dilatasi pembuluh darah
konjungtiva tanpa eksudat purulen. Adanya conjunctival suffusion menjadi tanda
patognomonik leptospirosis. Gejala ini tampak pada Tn. PW. Leptospirosis dapat
dibagi menjadi dua, yaitu leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik yang disebut
juga penyakit Weil. Pada kasus ini, leptospirosis yang muncul adalah penyakit Weil.
Penyakit Weil adalah jenis leptospirosis yang paling sering menyebabkan kematian

Pemeriksaan leptopirosis yang biasa digunakan di suatu daerah endemis adalah


RDT. Pemeriksaan RDT adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini dan
digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM pada darah. Pemeriksaan ini hanya untuk
skrining awal dan memiliki angka sensitivitas tidak lebih dari 80% sehingga tetap perlu
diikuti dengan pemeriksaan lain. Tingkat kepositifan dari tes skrining tergantung pada

47
jumlah antibodi spesifik dalam serum spesimen yang berkaitan dengan stadium
penyakit. Pada kasus ini, didapatkan hasil IgM Leptospira positif.

Pada leptospirosis berat bisa terjadi leukositosis disertai trombositopenia, dan


kedua hal tersebut ditemukan pada kasil pemeriksaan darah Tn. PW. Pemeriksaan
penunjang lainnya meliputi pemeriksaan kimia darah dan urinalisis. Pemeriksaan kimia
darah yang bermakna pada kasus adalah peningkatan fungsi ginjal, SGOT dan gula
darah sewaktu. Tuan PW mengalami gangguan fungsi renal yang tampak jelas pada
hari kedua demam, dengan ureum 50 mg/dl dan kreatinin 1,64 mg/dl. Urinalisis pada
penderita leptospirosis menunjukkan adanya bilirubin dan darah pada urin.
Pemeriksaan sedimen urin dalam batas normal.

Penatalaksanaan awal yang dilakukan terhadap pasien tersebut di IGD yaitu


dengan pemberian O2 Nasal Kanul 4 Liter per menit dan loading cairan ringer lactate
1000 cc karena pasien datang dengan tekanan darah yang cukup rendah (80/60 mmHg).
Kemudian ditambahkan dengan pemberian injeksi Santagesic untuk mengurangi nyeri
dan Ranitidin, Zinc tablet serta sirup Sukralfat untuk keluhan gastrointestinal pasien.
Pasien juga diberikan obat Paracetamol tablet 500 mg untuk menurunkan demam.

Pada hari kedua perawatan, pasien mendapat Curcuma dan Prorenal tablet
untuk mengatasi gangguan fungsi hati dan ginjal. Pada hari kelima atau setelah
didapatkan hasil pemeriksaan IgM Leptospira, pasien mendapatkan terapi tambahan
Doksisiklin. Doksisiklin 2x100 mg selama 7 (tujuh) hari merupakan pilihan antibiotik
untuk Leptospirosis ringan. Bila terdapat kontraindikasi (alergi, anak, atau ibu hamil)
dapat diberikan antibiotik alternatif yaitu Amoksisilin 3x500 mg/hari pada orang
dewasa atau 10-20 mg/kgBB per 8 jam pada anak selama 7 hari. Kasus ini merupakan
Leptospirosis berat sehingga ditambahkan antibiotik Injeksi Ceftriaxon 1-2 gram
intravena selama 7 hari.

Pasien juga mendapatkan injeksi metil-prednisolon 500 mg IV selama 3 hari.


Berdasarkan laporan dari Kularatne et al tahun 2015 di Sri Lanka, pasien leptospirosis

48
berat yang diberi injeksi metil-prednisolon dengan angka kematian 16 orang dari total
149 orang (10,7%) dibandingkan tanpa pemberian metil prednisolon dengan angka
kematian 17/78 (21,8%). Kasus berat perlu dirawat di rumah sakit dengan perawatan
suportif agresif dan pengawasan ketat pada keseimbangan cairan dan elektrolit.

Pada evaluasi hasil laboratorium pasien, didapatkan nilai ureum dan creatinin
pasien semakin meningkat dari hari ke hari, hal ini disebabkan karena Leptospira
termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh bagian ginjal secara invasi
langsung. Selanjutnya pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat
menyebabkan komplikasi acute kidney injury (AKI). Pada tahap ini, pasien dianjurkan
menjalani hemodialisa. AKI merupakan penyebab kematian yang penting pada
leptospirosis. Setalah dua kali hemodialisa, dilakukan pemeriksaan lab kimia darah
kembali dan menunjukkan perbaikan terkait ureum dan kreatinin pasien.

Pasien ini didiagnosis dengan Leptospirosis berat (Weil disease) karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan tanda dan gejala leptospirosis berat (Weil
diseases) karena sesuai dengan teori dengan adanya keluhan demam, kulit dan matanya
menguning, dan nyeri disekujur tubuh terutama pada kedua kakinya. Dan pasien
termasuk dalam kelompok beresiko tinggi karena pasien pernah bekerja di sawah.

Infeksi leptospirosis pada pemeriksaan fisik pada umumnya didapatkan,


demam, bradikardi, nyeri tekan otot gastrocnemius, hepatomegali, conjunctival
injection. Pada pemeriksaan darah lengkap penderita sesuai dengan gambran
leptospirosis dengan ditemukan adanya leukositosis dimana bila leukosit subnormal
dengan neutrofilia maka akan sangat mungkin leptospirosis, pada kasus berat dapat
terjadi trombositopenia. Pada pasien terjadi peningkatan SGOT dan SGPT karena
terjadinya gangguan hati, terjadi juga peningkatan bilirubin dimana bilirubin direk
lebih tinggi dari bilirubin inderek akibat kolestasis sesuai dengan gambaran
leptospirosis. Pada pemeriksaan faal ginjal didapatkan peningkatan nilai Ureum dan

49
kreatinin yang menunjukkan sudah terjadi kerusakan dari ginjal sesuai dengan keadaan
pasien.

Pada pasien ini didapatkan pemeriksaan serologi IgM anti leptospirosis positif
sehingga pasien sudah dapat didiagnosis probable leptospirosis. Pada Weil’s disease
yang merupakan leptospirosis berat adalah ditemukanya ikterus, tanda-tanda gangguan
ginjal dan diathesis hemorrhagic dengan adanya trombositopenia dan sesuai dengan
kondisi pasien ini saat di bangsal.

50
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien masuk IGD dengan diagnosis kerja observasi febris H2, trombositopenia
dan AKI. Setelah perawatan dan pemantauan di ruangan, didapatkan diagnosis
pasien yaitu Leptospirosis berat dan AKI grade III

Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai dengan
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Leptospirosis.

51
DAFTAR PUSTAKA

Dohe, V. B., Pol, S. S., Karmarkar, A. P., & Bharadwaj, R. S. (2009). Two test strategy
for the diagnosis of leptospirosis. Bombay Hospital Journal, 51(1), 18–21.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Medical Microbiology (25th ed). New York: Mc
Graw Hill, 2010; p. 483-7.
KemenKes RI. (2017). Petunjuk Teknik Pengendalian Leptospirosis. Kemenkes RI,
126. http://infeksiemerging.kemkes.go.id/down
load/Buku_Petunjuk_Teknis_Pengendalia n_Leptospirosis.pdf.
Kusmiyati, Noor, S. M., & Supar. (2005). Leptospirosis pada hewan dan manusia di
Indonesia. Wartazoa, 15(4), 213–220.
Novie H. Rampengan. (2016). Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8,
Nomor 3, hlm. 143-150
Nungsih, Ika & Mardiastuti H Wahid. (2022). Leptospirosis Ditinjau dari Aspek
Mikrobiologi. Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi.
2022. 07 (1) : 31-43
Made , I. A. (2013). Infeksi Leptospirosis Dengan Gejala Jaundice Dan Acute Kidney
Injury: Sebuah Laporan Kasus. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar, Bali.
Muliawan, Sylvia Y. Bakteri Spiral Patogen. Jakarta: Erlangga; 2008.
Setadi B, Setiawan A, Effendi D. Leptospirosis. Sari pediatri. 2013;15: 163-7.
Setiawan, I. M. (2008). Pemeriksaan Laboratorium Untuk Mendiagnosis Penyakit
Leptospirosis. In Media Litbang Kesehatan: Vol. XVIII (Issue 1, pp. 44– 52).
Speck WT, Toltziis P. Leptospirosis. In: Behrman RE, Kliecman RM, Nelson WE,
editors. Nelson Textbook of Pediatrics (16th ed). Philadelphia: WB Saunders,
2000; 908-9.
Speelman P. Leptospirosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (17th ed). New
York: Mc Graw Hill, 2008; p. 988-91.

52
Steele JH. Leptospirosis. In: Pickering LK, penyunting. Report of The Committee on
Infectious Disease (25th ed). Elk Grove Village: American Academy of
Pediatrics, 2009; p. 370-2.
Zein, U. (2009). Leptospirosis in Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S (ed). In I. Ed (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 2807–2811).
Interna Publishm

53
LAMPIRAN
I. Hasil Lab 19/10/2022

54
II. Hasil Lab 21/10/2022

III. Hasil Lab 23/10/2022

55
IV. Hasil Lab 24/10/2022

V. Hasil Lab 26/10/2022

56
VI. Hasil Lab 28/10/2022 (Darah)

57
VII. Hasil Lab 28/10/2022 (Urinalisa)

58
VIII. Hasil Lab 12/11/2022 (Poliklinik Penyakit Dalam)

59
IX. Gambaran Klinis Tn. PW

Hipertrofi dan ikterik pada otot Gastrocnemius

Conjunctival suffussion

60

Anda mungkin juga menyukai