DIFTERI
Oleh:
Ria Adiba, S.Ked (712019060)
Zhafirah Alifah, S.Ked (712019096)
Pembimbing:
dr. Sofyan Effendi, Sp.THT
i
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Oleh
Ria Adiba, S.Ked (712019060)
Zhafirah Alifah, S.Ked (712019096)
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Derah Palembang Bari
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Difteri” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
bagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Derah Palembang Bari Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Sofyan Effendi, Sp.THT, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik di
bagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang, yang telah
memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian
laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
telah diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
iv
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 21
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah:
1. Mengetahui definisi, faktor risiko, gejala klinis, dan penatalaksanaan
Difteri
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan referat ini adalah:
Menambah wawasan dan pemahaman mengenai Difteri.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteria adalah infeksi toksin akut yang disebabkan oleh spesies dari
Corynebacterium, khususnya Corynebacterium diptheriae dan jarang
disebabkan oleh strain dari Corynebacterium ulcerans.4 Penyakit difteria
merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi (PD3I).5
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.1
2.2 Etiologi
Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri batang Gram-positif,
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60oC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk V, L atau Y,
atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. 6 Kuman tumbuh
secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang
mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia
C. Diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa.6
Bakteri C. diphtheriae merupakan satu-satunya spesies dari genus
Corynebacterium yang bersifat patogen bagi manusia. Ketiga biotip C.
diphtheriae adalah gravis, mitis dan intermedius. Nama-nama ini diberikan
berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya (gravis = berat/parah;
mitis = lunak/ringan; intermedius = pertengahan). Kini nama-nama ini sudah
tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang toksigenik
maupun yang tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih
3
dipergunakan karena penting dalam identifikasi seperti dalam morfologi
kuman, morfologi sel serta sifat-sifat biokimiawi yang berguna dalam
epidemiologi.6
Ciri khas C. diptheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan
berat molekul 62 kD, tidak tahan panas / cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (amino terminal) dan fragmen B (karboksi terminal). Kemampuan
suatu strain untuk membentuk / memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C. diptheriae yang terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.6
2.3 Epidemiologi
Pada tahun 1920, lebih dari 250.000 kasus difteria dengan kematian
10.000 kasus dilaporkan di Amerika Serikat dengan tingkat fatalitas tertinggi
pada anak kecil dan pada lansia. Insidensi difteria menurun dengan meluasnya
penyebaran toksoid diptheriae di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II,
menurun dengan tetap pada akhir tahun 1970-an. Sejak saat itu, ≤ 5 kasus
terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan tidak adanya difteria traktus
respiratorik epidemik. Penurunan juga terjadi di Eropa. Meskipun insidensi
penyakit ini menurun di seluruh dunia, namun difteria masih terjadi pada
negara berkembang dengan tingkat imunisasi yang buruk dalam melawan
difteria.2
Sedangkan di negara berkembang menurut laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2013, difteri masih endemik. South-East Asia
Region (SEARO) selalu menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di
dunia. India merupakan negara tertinggi di SEARO dengan kasus difteri
sebanyak 2.525 kasus (tahun 2012). Jumlah ini menurun dibandingkan tahun
2011 yaitu sebanyak 4.233 kasus. Sedangkan Indonesia merupakan negara
tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 189
kasus, tahun 2010 sebanyak 432, tahun 2011 sebanyak 806 kasus, dan pada
tahun 2012 sebanyak 1.194 dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 76
4
kasus. Dari 19 propinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi
terjadi di Propinsi Jawa Timur sebanyak 955 kasus (79,5%), diikuti oleh
Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Sulawesi Selatan masing-masing
sebanyak 61 kasus (5,6%) dan 49 kasus (4,5%).3
Pada waktu terjadinya endemis difteria, terutama menyerang anak < 15
tahun. dengan diperkenalkannya imunisasi toxoid, penyakit ini berpindah ke
orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan alami terhadap C. diptheriae
yang toksigenik pada era vaksin dan pada individu yang memiliki tingkat
booster imunisasi yang rendah.4
2.4 Patogenesis
Padatnya penduduk, kesehatan yang menurun, kondisi hidup yang jelek,
imunisasi yang tidak komplit, dan imun yang menurun membantu terjadinya
difteri dan merupakan faktor risiko penyebaran penyakit ini. Manusia
merupakan penyebar utama infeksi ini, namun beberapa kasus dihubungkan
dengan hewan ternak sebagai penyebar penyakit difteri. Pasien yang terinfeksi
dan asimtomatik bisa menyebarkan C. diphtheria via droplet, secret
nasofaringeal dan meskipun jarang, muntah. Pada penyakit kulit, kontak
dengan eksudat luka bias menyebabkan transmisi penyakit ke kulit, sama
seperti penyebaran lewat traktus respirasi. Imunitas dari paparan atau
vaksinasi bias melemah seiring waktu. Booster yang inadekuat pada setiap
individual menambah resiko terpapar penyakit lewat pembawa, meskipun
sebelumnya telah divaksinasi dengan benar.selain itu, sejak munculnya
vaksinasi masal, kasus dari jenis bakteri yang non toksis menyebabkan
penyakit yang semakin invasive semakin bertambah. C diphtheria menempel
ke mukosa sel epitel dimana ekxotoksin, yang dilepas endosom, menyebabkan
inflamasi local yang diikuti kehancuran jaringan dan nekrosis.toksin ini
terbentuk dari dua protein yang bersatu. Fragmen B mengikat ke dinding
reseptor host yang bias dilalui, yang dimana secara proteolitik membuka
lapisan membrane lipid sehingga fragmen A bisa masuk. Secara molekuler,
ada pendapat bahwa adaptasi seluler ini karena modifikasi diftamid,
tergantung dari antigen leukosit manusia yang bisa menyebabkan infeksi yang
5
lebih parah. Molekul diftamid ada pada semua organism eukariotik dan
terletak di residu histidin pada translasi factor elongasi 2 (eEF2). eEF2
bertanggung jawab untuk modifikasi residu histidin dan target dari toksin
difteri. Fragment A menghambat transfer asam amino dari RNA ke rantai
asam amino ribosom, yang dimana menghambat sintesis protein yang
dibutuhkan oleh sel hot normal untuk berfungsi. Sehingg terjadi kematian sel.
Hancurnya jaringan local menyebabkan toksin untuk menyebar secara limfatik
dan hematologi ke seluruh tubuh. Persebaran toksin difteri tersebut bias
empengaruhi jarinyan yang terletak jauh seperti miokardium, ginjal dan
system saraf. Strain yang nontoksik biasanya jarang menimbulkan infeksi
yang parah, akan tetapi sejak vaksinansi, kasus strain nontoksik menyebabkan
penyakit yang parah menjadi semakin banyak didokumentasikan.7
6
pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar baik uni
maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis
yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior,
hypopharynx, atau area glotis.4
7
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada
difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa
laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa
faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteria laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain,
seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk
kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria
laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
8
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.6
9
Laringo-trakeo bronkitis
Spasmodic croup
Angioneurotic edema pada laring
Epiglotitis
4. Difteria Kulit, diagnosis bandingnya:
impetigo
infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.9
2.8 Penyulit
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin. Maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam
obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan
ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.6
a. Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membran difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servikal.
b. Dampak toksin, dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin. Pada umumnya penyulit atau lebih lambat pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu
ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup,
terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung.
Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,
perpanjangan interval PR, dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,
terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan
ke-7.
10
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor
serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7
sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian
apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan
pada pusat vasomotor dan terjadi hipotensi dan gagal jantung.
c. Infeksi sekunder bakteri, setelah era penggunaan antibiotik secara luas,
penyulit ini sudah sangat jarang terjadi.
2.9 Prognosis
Prognosis tergantung kepada
Virulensi kuman
Lokasi dan perluasan membrane
Kecepatan terapi
Status kekebalan
Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada
penderita gizi kurang
Ada atau tidaknya komplikasi
Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang berespon
baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa
mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua
kasus difteri respiratorik. 9
2.10 Imunisasi
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan
selama 2-3 minggu. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah menderita
aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria.
Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.
Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk
mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan,
11
kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan sangat diperlukan.
Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak berumur 6 tahun.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer
DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu. Apabila imunisasi
belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum
diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (< 1
tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan 1x.
Waktu pasien dipulangkan :
DPT 0,5 ml, i.m, untuk anak < 7 tahun
DT 0,5 ml, i.m, untuk anak ≥ 7 tahun
Test kekebalan :
Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes
dilakukan dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara
intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis
jaringan sehingga test positif.
Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid secara
suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10
mm. Ini berarti bahwa :
- pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi
reaksi hipersensitivitas.
- pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi
yang berbahaya.
2.11 Penatalaksanaan
Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka
pengobatan harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan
penunjang. Selain itu, kontak dekat, seperti anggota keluarga, kontak rumah
tangga, dan karier harus menerima booster difteri tanpa memandang status
imunisasi atau usia, yaitu pengobatan dengan eritromisin selama 7-10 hari
(40mg/kgbb/hari untuk anak dan 1 gram perhari untuk dewasa) atau
12
Benzathine penisilin G (600,000 unit untuk usia <6 tahun dan 1,200,000 unit
untuk >6 tahun). Pasien dengan kecurigaan difteri harus diberikan pengobatan
antibiotik dan dan antitoksin difteri dalam dosis yang adekuat. Bantuan jalan
nafas dan perawatan jalan nafas diberikan bila dibutuhkan.8
Tatalaksana Umum
Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin
diberikan. Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah
Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai
setidaknya 2 kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak
24 jam memberikan hasil negatif
Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan
toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila
perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis
palatum molle dan otot-otot faring).
Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen
atau lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.
Monitoring jantung dan organ-organ vital lain.8
Tatalaksana Medikamentosa
1. Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat
antitoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang
dibentuk oleh Corynebacterium diphtheriae. Antitoxin ini dibuat dari
plasma kuda yang sehat, yang telah terimunisasi dengan suntikan toksin
difteri.9
Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml
(20.000 IU), tiap ml mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25%
fenol v/v. Untuk pencegahan, dosis untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU,
sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk pengobatan, dosis
tergantung usia, berat gejala, dan lokasi membran.8
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran8
13
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
o Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan
perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu
kelopak mata bagian bawah. Satu tetes NaCl 0,9% digunakan
14
sebagai kontras pada mata lainnya untuk perbandingan. Hasilnya
dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap positif bila ada
tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila terjadi
konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan
secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan
dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensitisasi)
dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9%
dengan dosis sebagai berikut5:
15
3. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah
pemberian serum secara intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada
penyuntikan serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya
terjadi dalam 24 jam.
2. Antibiotik
Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin,
mengobati infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin, dan tetrasiklin. Resistensi terhadap eritromisin
sering terjadi karena obat tersebut telah digunakan secara luas. Eritromisin
diberikan pada pasien dengan alergi penisilin. Eritromisin sedikit lebih
unggul dari penisilin untuk pemberantasan infeksi nasofaring. Terapi
antibiotik bukanlah pengganti untuk terapi antitoksin. Pemberantasan
bakteri harus didokumentasikan oleh setidaknya 2 kultur berturut-turut
diperoleh 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin
diulang jika hasil kultur tetap positif.11
Dosis1 :
Penisilin prokain 300,000/hari bila BB 10kg atau kurang,dan
600,000/hari bila BB >10 kg intramuskuler, selama 14 hari.
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam
selama 14 hari.
Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan
observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria.1
Pengobatan Karier
16
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.8
17
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi
2.12 Pencegahan
1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi
Corynebacterium Diphtheriae. 1,8
2.Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri
umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat
jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan
Td. DT tidak mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti
DTaP untuk anak-anak yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td
adalah vaksin tetanus-difteri yang diberikan kepada remaja dan orang
dewasa sebagai booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam
kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga mengandung
perlindungan terhadap pertusis.
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali
umumnya diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang
diberikan antara 15-18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun.
Karena kekebalan terhadap difteri berkurang seiring dengan waktu, maka
pemberian booster dianjurkan. 9,11
2.13 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis.
Biasanya jelas didapatkan pada hari ke 10 – 14 tetapi dapat dijumpai
sepanjang minggu 1 – 6, biarpun setelah gejala tonsillitis menghilang.
Risiko cardiac toxicity terkait dengan derajat tonsillitis sendiri. Kelainan
18
EKG yang tidak signifikan ditemukan pada 20 – 30% pasien, tetapi
disosiasi atrioventrikular, complete heart block, dan aritmia ventricular
bisa terjadi dan biasa diasosiasi dengan tingkat kematian yang tinggi.
Gagal jantung juga bisa terjadi.1
Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsillitis
difteria berat. Toksin difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy
yang mengenai saraf cranial dan perifer. Kesan toksin biasanya bermula
pada minggu 1 infeksi dengan kehilangan akomodasi ocular dan bulbar
palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi nasal. Bisa juga didapatkan
suara parau dan kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati perifer pula
terlihat sepanjang minggu 3 – 6. Neuropati terjadi secara motorik dan
sensorik, walaupun symptom motorik lebih dominan. Resolusi terjadi
dalam masa beberapa minggu.8
Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh
pseudomembran yang mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda
usia pasien makin cepat pula timbul komplikasi ini. Selain itu bisa timbul
gejala albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal yang menyebabkan
nefritis.1
19
BAB III
KESIMPULAN
1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toxin dari bakteri Corynebacterium Diphteriae, dengan ditandai
pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan
penyebarannya melalui udara.
2. Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri batang Gram-positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60oC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Masa inkubasi
kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan,
panas badan 38,9ºC.
3. Manifestasi penyakit Difteri bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan
atau penyakit yang hipertoksik serta fatal.
4. Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling tersering adalah
tonsilitis difteri.
5. Pengobatan pada difteri harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan penunjang. Dasar dari terapi ini adalah menetralisir toksin bebas
dan eradikasi C. diphtheriae dengan isolasi, antibiotik dan ADS. Antibiotok
penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.
diphtheriae.
6. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
7. Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan
pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7
tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.
8. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis.
20
DAFTAR PUSTAKA
``
21