DIFTERI
DISUSUN OLEH :
1. A. Meidin Anugerah C014172114
2. Miftahul Fajri C014172053
3. Primitha Yulianti C014172107
SUPERVISOR :
dr. Risna Halim Mubin, Sp.PD–KPTI
Pembimbing Supervisor
i
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2
1.1 Definisi ........................................................................................ 2
1.2. Etiologi ........................................................................................ 2
1.3. Patofisiologi ................................................................................. 3
1.4. Gejala Klinis ................................................................................ 5
1.5 Diagnosis ..................................................................................... 6
1.6. Tatalaksana .................................................................................. 7
1.7. Komplikasi .................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal
pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacteria ulcerans yang ditandai
oleh terbentuknya eksudat berbentuk membran pada tempat infeksi dan
diikuti gejala umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh basil
ini.4
1.2. Etiologi
Spesies Corynebacterium diphteriae adalah kuman batang gram
positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku
dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan
palisade, bentuk L atau V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman
ini tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah
dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat
pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.
diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula
dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka
terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada
medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia
C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid
saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi
glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe
utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun
dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies
2
yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini
mungkin dapat menjelaskan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai
kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada
marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik
imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase
pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul
62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal).
Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh
C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.5
1.3. Patofisiologi
Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan C. Difteri
langsung melalui droplet pernafasan, secret nasofaring dan secara tidak
langsung melalui debu, baju, ataupun benda yang terkontaminasi. Pada
difteri kulit, penyebarannya melalui kontak dengan eksudat dan secret
saluran nafas. Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernafasan
bagian atas, tapi dapat juga masuk melalui kulit, saluran genital atau mata.
C.difteri dalam hidung atau mulut berkembang pada sel epitel mukosa
saluran napas terutama tonsil, kadang-kadang ditemukan di kulit dan
konjungtiva atau genital. Basil ini kemudian menghasilakan eksotoksin yang
dilepaskan oleh endosome sehingga menyebabkan reaksi inflamasi likal,
selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis. Toksin terdiri dari dua
fragmen protein pembentuk. Fragmen B berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel pejamu yang rentan, sifat proteolitiknya memotong lapisan
membrane lipid, sehingga membantu fragmen A masuk kedalam sel pejamu.
Selanjutya akan terjadi peradangan dan destruksi sel epitel yang akan diikuti
3
nekrosis. Pada daerah nekrosis terbentuk fibrin yang kemudian diinfiltrasi
oleh sel darah putih, akibatnya terbentuk patchy exudat yang pada awalnya
dapat terkelupas
Pada keadaan lebih lanjut toksin yang di produksi lebih banyak,
sehingga daerah nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat
fibrosa yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel
eritrosit yang berwarna abu-abu sampai hitam. Memberan ini sulit
terkelupas, kalau di paksa akan menimbulkan perdarahan
Pada umumnya infeksi C diphtheria tumbuh secara local dan
menghasilkan racun yang menyebar secara homogen. Karakteristik
membrane difteri tebal, kasar, berwarna kelabu-biru atau putih dan terdiri
dari bakteri, epitel nekrotik, makrofag , dan fibrin. Membran melekat pada
dasar mukosa. Membrane dapat menyebar ke bronkil menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan dan dispneu. Kekebalan karena vaksinasi akan
berkurang dari waktu-waktu, hal ini , mengakibatkan peningkatan resiko
tertular penakit dari karrier, meskipun imunisasi sebelumnya lengkap.
Dengan meluasnya cakupan vaksinas, kasus strain penyakit invasive
nontoksikogenik meningkat.
Kerusakan jaringan local menyebabkan toksin menyebar melalui
aliran limpa dan hematogen ke organ lain, seperti miokardium, ginjal, dan
system saraf. Strain nontoksigenik cenderung menyebabkan infeksi ringan,
tetapi dengan berjalannya program imunisasi dilaporkan kasus strain
nontoksigenik difteri C yang menyebabkan penyakit invasive
Infeksi C diphtheria ditandai peradangan local, disaluran pernapasan
bagian atas, dan berhubungan dengan toksin pada jantung dan penyakit
saraf. Strain C diphtheria terdiri dari : gravis, intermedius, dan mitis. Semua
strain menghasilkan toksin yang identic, strain gravis lebih virulen krena
terbentuk toksin lebih cepat dan menguras pasokan besi local, sehingga
produksi toksin awal lebih besar. Produksi racun dikodekan pada gen tox,
yang , dilanjutkan oleh fag beta lisogenik. Ketika DNA fag terintegrasi ke
4
materi genetic bakteri, bakteri akan meningkatkan kemampuan
memproduksi toksin polipeptida.
Gen tox diatur oleh zat besi yang berikatan dengan corynebacterial.
Dengan adanya besi ferro, kompleks DtxR-besi menempel operan gen tox,
selanjutnya transkripsi terhambat, molekul DtxR dilepaskan dan gen tox
ditranskripsi. Pengikatan besi ferro menjadi molekul DtXr membentuk
kompleks yang mengikat operator gen tox dan menghambat transkripsi.4
5
Difteri pernafasan cepat berlanjut menjadi gagal pernapasan karena
obstruksi jalan napas atau aspirasi pseudomembran ke trakeobronkial.
Miokarditis bisa terjadi pada 65% dari penderita difteri dan 10-25 %
diantaranya mengalami disfungsi miokard dengan manifestasi klinis berupa
takikardi, suara jantung melemah, irama jantung mendua dan aritmia. Pada
pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan tanda-tanda miokarditis berupa
low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbalik dan tanda-tanda blok
mulai dari pemanjangan interval PR sampai blok AV total.
1.5. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis infeksi C Diphtheriae dalah dengan
mengisolasi C Diphteriae baik dalam media kultur atau mengidentifikasi
toksinnya. Diagnosa awal dapat dilakukan dengan pewarnaan Gram dimana
akan ditemukan bakteri berbentuk batang, gram positif,tidak berkapsul,
berkelompok dan tidak bergerak. Diagnosa defenitif dan identifikasi basi C
diphterieae dengan kultur melalui media terllurite atau leoffler dengan
sampel yang diambil dari pesudomembran di orofaring hidung, tonsil
kriptus, atau ulserasi, dirongga mulut.
Kriteria klinis meliputi:
6
(A) Penyakit saluran pernapasan atas dengan sakit tenggorokan
(b) Demam yang tidak terlalu tinggi (di atas 39oC (102oF) jarang terjadi)
(c) Sebuah pseudo-membran abu-abu yang melekat, padat yang menutupi
aspek posterior dari faring. Dalam kasus yang parah, dapat menutupi
seluruh cabang trakeobronkial.
Klasifikasi kasus Difteri:
Probable: kasus yang kompatibel secara klinis yang tidak dikonfirmasi
oleh laboratorium dan tidak terkait secara epidemiologis
ke kasus yang dikonfirmasi laboratorium
Confirmed: kasus yang kompatibel secara klinis yang dikonfirmasi dengan
laboratorium atau terkait secara epidemiologi dengan kasus yang
dikonfirmasi laboratorium.
1.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada kasus difteri terbagi menjadi 2, yaitu perawatan
umum dan pengobatan khusus. Perawatan umum harus segera dilakukan
karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Perawatan umum:
7
Pada kasus terjadi paralisis, dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti
fisioterapi aktif bila keadaan sudah membaik. Paralisis palatum dan faring
dapat menimbulkan aspirasi sehingga dianjurkan pemberian makanan cair
melalui selang lambung. Bila terjadi obstuksi laring, secepat mungkin
dilakukan trakeostomi.
Terapi antibiotic:
8
- Eritromisin: 2 gram per hari peroral dengan dosis terbagi 4 kali sehari
- Preparat lain: amoksisilin, rifampisin, dan klindamisin.6,7
9
a. Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)
Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes
hipersensitivitas terhadap
ADS; pemberian antitoksin secara dini sangat penting dalam
hal kesembuhan.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
1:1000 dalam semprit.
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka).
Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan
penderita, berkisar antara 20.000-100.000 KI.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang
terjadi beberapa menit setelah pemberian ADS. Reaksi
demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum sickness (8,8%)
7-10 hari kemudian.
b. Menegakkan diagnosis melalui kultur bakteri yang tepat
c. Pemberian antibiotika.
10
Antibiotika Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg BB maks
1,5 juta selama 14 hari, atau Eritromisin oral atau injeksi diberikan
40 mg/KgBB/hari maks 2 g/hari interval 6 jam selama 14 hari.
d. Perawatan suportif termasuk perhatian khusus untuk
mempertahankan patensi saluran napas bila terdapat membran
laring atau faring ekstensif. Lakukan penilaian apakah ditemukan
keadaan gawat napas akibat obstruksi saluran napas karena
membran dan edema perifaringeal maka lakukan trakeostomi.
e. Observasi jantung ada/tidaknya miokarditis, gangguan neurologis,
maupun ginjal
f. Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit
miokarditis diberikan prednison 2 mg/KgBB selama 2 minggu
kemudian diturunkan bertahap.
g. Pada fase konvalesens diberikan vaksin difteri toksoid disesuaikan
status imunisasi penderita.
11
Difteri laring 40.000 Intravena
2. Pemulangan Penderita
Beberapa hal harus diperhatikan untuk pemulangan Penderita difteri
klinik, yaitu:
Setelah pengobatan tetap dilakukan pengambilan kultur pada
Penderita (sebaiknya pada hari ke 8 dan ke 9 pengobatan).
Apabila klinis Penderita setelah terapi baik (selesai masa pengobatan
10 hari), maka dapat pulang tanpa menunggu hasil kultur
laboratorium.
Sebelum pulang penderita diberi penyuluhan komunikasi risiko dan
pencegahan penularan oleh petugas.
Setelah pulang, Penderita tetap dipantau oleh Dinas Kesehatan
setempat sampai mengetahui hasil kultur terakhir negatif.
Semua Penderita setelah pulang harus melengkapi imunisasi nya
sesuai usia.
12
Penderita yg mendapat ADS harus diimunisasi lengkap 3x setelah 4-
6 minggu dari saat ADS diberikan.8
13
f) Apabila terdapat tanda dan gejala infeksi respiratori atas untuk
menggunakan masker, termasuk di tempat tempat umum.
g) Bagi penderita yang harus didampingi keluarga, maka penunggu
penderita harus menggunakan APD (masker bedah dan gaun) serta
melakukan kebersihan tangan.
1.7. Komplikasi
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan sebagai
berikut: 1) virulensi basil difteri; 2) luas membran yang terbentuk; 3) jumlah
toksin yang diproduksi oleh bakteri; 4) waktu antara timbulnya penyakit sampai
pemberian antitoksin.4
Komplikasi yang mungkin timbul adalah sebagai berikut:
1. Karena pembentukan pseudomembran atau aspirasi menimbulkan
kegagalan pernapasan, edema jaringan, dan nekrosis.
2. Jantung, miokarditis, dilatasi jantung dan kegagalan pompa, aneurisma
mikotik, endokarditis.
3. Gangguan irama, blok jantung, termasuk disosiasi atrioventrikular dan
disritmia
4. Pneumonia bacterial sekunder
5. Disfungsi saraf kranial dan neuropati perifer, kelumpuhan total
6. Neuritis optik
7. Septikemia/syok (jarang)
8. Artritis septik, osteomielitis (jarang)
9. Metastasis infeksi ke tempat yang jauh seperti limpa, miokardium, atau
SSP (jarang)
10. Kematian
14
DAFTAR PUSTAKA
15