KANDIDIASIS KUTIS
Oleh:
Richard Holman Matanta C11115321
Alexander Changay C11115322
Muh. Haedar C11115324
Edwin Putra Pomada C11115326
Pahista Pamberiaski C11115330
Residen Pembimbing
dr. Rina Munirah Bulqini
Supervisor
Dr. dr. Anni Adriani, Sp.KK, FINSDV, FAADV
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Dr. dr. Anni Adriani, Sp.KK, FINSD, FAADV dr. Rina Munirah Bulqini
ii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
II. EPIDEMIOLOGI ....................................................................................... 2
III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS............................................................ 3
IV. GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS ...................................................... 6
V. DIAGNOSIS BANDING ........................................................................... 9
VI. TERAPI DAN EDUKASI.......................................................................... 10
VII. KESIMPULAN .......................................................................................... 12
iii
I. PENDAHULUAN
1
II. EPIDEMIOLOGI
2
Bertambahnya umur dihubungkan juga dengan meningkatnya risiko morbiditas
dan mortalitas. Hal ini dikarenakan orang lanjut usia lebih sering terekspos pada
situasi yang meningkatkan risiko invasi kandidiasis, termasuk penggunaan
antibiotik spektrum luas, hiperalimentasi, dan seringnya kontak dengan alat
monitor invasif di ICU[3].
(1)
(3)
(2)
Gambar 1: (1) Struktur dinding; (2) bentuk mikroskopis [13] (3) struktur
skematik dinding C. Albicans [10]
3
memiliki komposisi dinding sel yang serupa, meskipun jumlah α-glucans,
chitin, dan mannan relatif bervariasi karena faktor morfologinya. Jumlah
glucans jauh lebih banyak dibanding mannan pada C. albicans yang secara
imunologis memiliki keaktifan yang rendah[13].
Disamping itu, candida albicans memiliki beberapa atribut dan faktor
virulensi yang istimewa yaitu sebagai berikut[12] :
1. Polymorphyism & pH-sensing
C. albicans memiliki bentuk yang beragam yaitu budding yeast, pseudohifa,
dan hifa sejati. Disamping bentuk yang bervariasi, mikroorganisme ini juga
memiliki protein yang peka terhadap pH melalui mekanisme adaptasi yang
diperantarai dinding sel β-glikosidase dua lapis yaitu Phr1 (pH-reseptor 1) yang
peka terhadap kondisi basa dan phr2 (pH-reseptor 2) yang peka terhadap
kondisi asam.
2. Quorum sensing & dimorphism
C. albicans memiliki kemampuan adaptasi morfologi sesuai kepadatan
permukaan pejamu/host. Pada densitas > 107 cell/ml, candida tipe ini akan
cenderung berubah menjadi bentuk yeast dan sebaliknya kan cenderung
menjadi hifa yang sering dikaitkan merupakan bentuk invasif dari Candida
albicans. Kemampuan berubah bentuk menjadi dua jenis ini disebut juga
dimorfisme.
3. Adhesins & invasins
C. albicans memiliki kemampuan daya lekat yang tinggi dengan mengeluarkan
protein adhesin sebagai protein untuk membuat nya tetap berlengket pada host.
Adhesin ini merupakan protein Agglutinin-like Sequence 3 (ALS3) dan Hypa
assosiated GPI-linked protein (HWP1) yang berfungsi sebagai perekat pada
host. Proses endositosis dan meningkatkan daya penetrasi, jamur ini
mengeluarkan protein invasins (E-cadherins di sel epitel dan N-cadherin di sel
endotel)
4. Contact sensing & thigmotropism
4
C. albicans dianggap memiliki kemampuan menyesuaikan bentuk permukaan
host hingga kemampuan menyesuaikan dengan respon stimulus
mekanosensorik (tigmotropisme)
5. Biofilm formation
Biofilm formation merupakan bentuk perlindungan berlapis struktur yeast, hifa,
dan matriks ektraseluler dipuncak struktur sehingga mampu mempertahankan
bentuk infektif dari jamur. Bahkan mekanisme formasi biofilm dianggap
sebagai teknik menjaga diri dari paparan antimikroba dan sistem kekebalan
tubuh host.
6. Secreted hydrolases
Untuk proses penetrasi aktif dibutuhkan enzim pemecah seperti protease,
phospolopase, dan lipase sehingga daya invasi menjadi lebih kuat dari jamur
lainnya.
5
C. albicans memiliki kemampuan menempel karena memiliki molekul
adhesin dan berubah dari yeast menjadi hifa yang bersifat reversibel. Kemudian
jamur ini mampu membentuk berkolonisasi membentuk biofilm seperti pagar
berlapis sebagai proteksi dari sistem imun host dan terhindar dari antimikroba
yang diberikan. Namun pada saat berkoloni, C. albicans masih bersifat komensal
ketika daya tahan tubuh manusia yang masih baik.. Disamping jamur ini
berkompetisi bersama flora normal yang ada di kulit dan mukosa. Sebaliknya
ketika kondisi immunokompromised justru jamur ini bersifat patogen. Selain
kondisi immunokompromised, disebutkan bahwa kondisi host yang rentan seperti
kerusakan mukosa juga salah satu faktor risiko/port d’ entry jamur ini menjadi
patogen. Pada saat daya tahan tubuh host menurun dan faktor risiko lainnya,
jamur ini akan melakukan penetrase aktif dengan mengeluarkan enzim hidrolase
dan protein invasin (N-cadherin dan E-cadherin), maka jamur ini mampu masuk
ke dalam sitem aliran darah dan mengaktifkan kemokin & sitokin proinflamasi
[11].
a. Kandidosis Intertriginosa
6
erosi. Batasnya cukup tegas, berbentuk polisiklik, eritem.2 Lesi tersebut
dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau
bulla yang bila pecah akan memberikan gambaran daerah erosif, dengan
pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.[1]
pada bagian tepi lesi dan pustul yang berkumpul di bagian sentral, menghasilkan suatu
daerah erosi yang luas pada regio mamma bagian bawah (submamma).
Gambar 2. Kandidiasis kutaneus : papul eritem dengan sedikit pustul dan skuama,
yang berkumpul pada regio perigenital dan perianal.2
7
Gambar 3. Kandidiasis kutaneus: intertriginosa interdigitalis : Seorang perempuan
berusia 55 tahun dengan lesi pruritus pada sela jari tangan. Erosi yang disertai eritem
dan maserasi terlihat pada sela jari.[2]
Gambar 4 : Kandidiasis kutaneus , Sebagian plak terkikis pada vulva dikelilingi oleh
kerah halus pada bayi. Di luar lesi utama terdapat beberapa lesi satelit pustular.2
8
V. DIAGNOSIS
9
Gambar 5. Candida albicans memperlihatkan koloni berwarna putih hingga kecoklatan pada
glukosa-pepton agar. [9]
Gambar 6. Candida albicans: Pemeriksaan KOH. Tampak budding yeast dan pseudohifa
yang berbentuk seperti sosis (sausage-like pseudohyphal).2
VI. TERAPI
biasanya digunakan untuk lesi yang lebih besar atau di area yang berambut.
Pengobatan dengan obat topical diberikan sebanyak dua kali sehari dan diberikan
hingga di area kulit normal sekitar 2cm dari tepi lesi. Untuk kelas imidazole
terapi sebaiknya dilanjutkan seminggu setelah gejala sudah tidak ada. Untuk
10
penggunaan nystatin biasanya terapi dilakukan selama kurang lebih 2 minggu.
atau infeksi yang resisten terhadap terapi topikal. Obat sistemik yang dipilih
sebagai terapi lini pertama untuk infeksi kandidiasis kutis adalah fluconazole.
Dulu obat sistemik yang biasa digunakan adalah ketoconazole, akan tetapi karena
banyaknya efek samping obat yang merugikan dan adanya pengobatan lain yang
lebih aman dan efektif, ketoconazole sekarang sudah tidak dipilih sebagai terapi
lini pertama.
golongan imidazole lain juga telah pernah ditemukan. Seringkali, resistensi ini
11
VII. KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Fitzpatrick T. Dermatology in general medicine. 8th ed. New York u.a.:
McGraw-Hill; 2012.
3. Scheinfeld N. Cutaneous Candidiasis: Background, Pathophysiology, Etiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2019 [cited 7 February 2019]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/1090632-overview
4. Griffiths C, Barker J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, Rook A. Rook's
textbook of dermatology. 8th ed. New York: Wiley-Blackwell; 2010.
5. Hakim L, Ramadhian R. Kandidiasis Oral. Majority. 2015;4(8):53-57.
6. Soetojo S, Astari L. Profil Pasien Baru Infeksi Kandida pada Kulit dan Kuku.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2016;28(1):34-41.
7. Wirata G. Kandidosis Kutis. Bali: Bagian Anatomi Unud; 2017.
8. Mayer F, Wilson D, Hube B. Candida albicans pathogenicity mechanism. Landes
Bioscience. 2013;4(2):119-128.
9. James W, Elston D, Berger T, Andrews G. Andrews' Diseases of the skin. 12th
ed. [London]: Saunders/ Elsevier; 2016.
10. Elorza, M. V., & Valent, E. (2006). Molecular organization of the cell wall of
Candida albicans and its relation to pathogenicity, 6, 14–29.
https://doi.org/10.1111/j.1567-1364.2005.00017.x
11. Lewis, R. E., Viale, P., & Kontoyiannis, D. P. (2014). The potential impact of
antifungal drug resistance mechanisms on the host immune response to Candida,
(June). https://doi.org/10.4161/viru.20746
12. Mayer, F. L., Wilson, D., & Hube, B. (2013). Candida albicans pathogenicity
mechanisms, 119–128.
13. Mutiawati, V. K. (2016). Pemeriksaan mikrobiologi pada candida albicans, 53–
63.
13