Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN INFEKSI

OPORTUNISTIK: CANDIDIASIS PADA HIV AIDS

Fasilitator: Misutarno, S.Kep. Ns., M.Kep.

OLEH
KELOMPOK IV
Servianus Gonsaga R (131811123025)
Lilik Juliati (131811123004)
Vina Hardiyanti (131811123067)
Heny Kurniawaty (131811123012)
Mau’na Qurratun A (131811123041)
Farih Aminudin (131811123075)
Umi fatun Amalia (131811123049)
Ilham Ainunnajib (131611123076)
Laeli Nurhanifah (131811123025)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala limpahan berkah dan rahmat yang diberikan, sehingga sebuah makalah
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien infeksi oportunistik: Candidiasis HIV
AIDS” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam menyusun makalah ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami.


Oleh karena itu, terselesaikannya makalah ini bukan semata-mata karena
kemampuan individual belaka, melainkan karena adanya dukungan dan bantuan
dari pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketulusan hati
disampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Misutarno, S.Kep. Ns., M.Kep sebagai dosen fasilitator yang senantiasa


memberikan bimbingan dan arahan dalam memberikan materi dan
penyelesaian makalah ini;

2. Teman-teman serta semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu
dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ilmiah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 25 September 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kandidiasis adalah sekelompok infeksi yang disebabkan oleh Candida
albicans dan spesies lain dari genus kandida (Pappas, et al., 2009). Ada lebih dari
20 spesies kandida yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia, yang paling
umum adalah Candida albicans. Kandida biasanya hidup di kulit dan membran
mukosa tanpa menyebabkan infeksi. Gejala kandidiasis bervariasi tergantung pada
daerah tubuh yang terinfeksi. Kandidiasis yang berkembang di mulut atau
tenggorokan disebut thrush atau kandidiasis orofaringeal. Kandidiasis di vagina
sering disebut sebagai kandidiasis genital/vulvovaginal. Terdapat kondisi dimana
spesies kandida memasuki aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh yang
disebut kandidiasis invasif. Kondisi dimana kandida masuk ke dalam aliran darah
dan menyebar keseluruh tubuh disebut sebagai kandidemia. Kondisi ini dapat
menyebabkan kasus yang fatal (CDC, 2016).
Oral candidiasis merupakan salah satu manifestasi dari penyakit mulut berupa
infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida albicans. Penyakit ini sangat sering
ditemukan pada orang yang memiliki imunitas yang rendah seperti orang yang
terkena HIV. Sebenarnya penyakit ini dapat dicegah apabila kesehatan mulut kita
dijaga dengan baik dan mengonsumsimakanan yang baik. Selain itu, apabila oral
candidiasis tidak cepat dilakukan perawatan akan berbahaya dan menyebabkan
ketidaknyamanan pada mulut.
Prevalensi kandidiasis di negara berkembang ditemukan tinggi, dan dapat juga
ditemukan di seluruh dunia dan menyerang seluruh populasi umum. Prevalensi
kandidiasis pada laki-laki dan perempuan sama, diduga banyak terjadi di daerah
tropis dengan kelembaban udara yang tinggi (Ramali, 2013). Penelitian yang
dilakukan oleh Havlickova et al (2008) menyebutkan 2 bahwa kelainan kulit yang
disebabkan oleh infeksi kandida di China menempati urutan ketiga (14%) dari
infeksi jamur pada kulit, di Singapura dilaporkan bahwa kasus infeksi kandida
pada kulit dan kuku menempati urutan ketiga dan keempat pada tahun 2003.
Kasus kandidiasis kutis di Indonesia menempati urutan ketiga dalam insidensi
dermatomikosis, tetapi pada beberapa kota, yaitu Makasar, Medan, dan Denpasar
menempati urutan pertama dalam insiden dermatomikosis (Adiguna, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Citrashanty et al (2011) di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya menyebutkan bahwa jumlah pasien kandidiasis menempati urutan ketiga
setelah dermatofitosis dan pitiriasis versikolor. Data lain menyebutkan bahwa
penderita baru kandidiasis kutis sebanyak 26,27% dari 598 kasus baru penyakit
jamur di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado untuk Periode 2009- 2011 (Rara,
et al, 2013).
Penatalaksanan penyakit candidiasis adalah dengan mengatasi dan
menghindari faktor presipitasinya, pemberian obat antijamur secara oral dan
sistemik serta yang paling penting adalah tindakan pencegahan. Asuhan
keperawatan profesional sangat dibutuhkan dalam mengatasi keluhan pasien
candidiasis dengan HIV AIDS, baik secara fisik, psikis, sosial dan spiritual pasien.
1.2 Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa memahami konsep penyakit dan asuhan keperawatan pada pasien
Candidiasis dengan HIV AIDS
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan tentang definisi Candidiasis
b. Menjelaskan tentang etiologi Candidiasis
c. Menjelaskan tentang klasifikasi dan manifestasi klinis Candidiasis
d. Menjelaskan tentang patogenesis Candidiasis
e. Menjelaskan tentang pathofisiologi Candidiasis
f. Menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik Candidiasis
g. Menjelaskan tentang pengobatan Candidiasis
h. Menjelaskan tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan
Candidiasis
1.3 Manfaat
Sebagai bahan pembelajaran bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan infeksi oportunistik: candidiasis HIV AIDS.

BAB 2
TINJAUAN TEORI CANDIDIASIS

2.1 Definisi
Kandidiasis adalah suatu infeksi jamur yang disebabkan oleh
candida. Candida merupakan mikroflora normal pada rongga mulut,
mikroorganisme ini mencapai 40-60 % dari populasi (Silverman S,
2001). Kandidiasis adalah infeksi atau penyakit akibat jamur Candida, khususnya
C. Albicans. Penyakit ini biasanya akibat debilitasi (seperti pada penekanan
sistem imun, khususnya pada HIV/AIDS), perubahan fisiologis, pemberian
antibiotika berkepanjangan, dan hilangnya penghalang/ barrier tubuh
(Stedman, 2005). Kandidiasis merupakan sekelompok infeksi yang disebabkan
oleh Candida albicans ataupun spesies lain dari genus kandida. Organisme ini
khususnya menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, dan traktus
gastrointestinal, tetapi organisme ini juga dapat menyebabkan penyakit sistemik
(Janik, et al., 2008)
2.2 Etiologi
Penyebab kandidiasis ini adalah jamur jenis Candida. Candida merupakan
flora normal pada tubuh manusia dan tidak berbahaya pada orang yang
mempunyai imun tubuh yang kuat. Candida paling banyak di rongga mulut,
saluran pernapasan, dan vagina. Candida ini baru akan menimbulkan masalah
pada orang-orang yang mempunyai daya tahan tubuh rendah, misalnya penderita
AIDS, pasien yang dalam pengobatan kortikosteroid, dan tentu saja bayi yang
sistem imunnya belum sempurna. Candida albicans adalah jamur dismorfik yang
bertanggung jawab pada 70-80% dari seluruh infeksi kandida, sehingga Candida
albicans merupakan penyebab tersering dari infeksi kandida yang superfisial dan
sistemik (Klenk, et al., 2003). Soedarmadi (2007) mengemukakan bahwa
kandidiasis vagina 81% disebabkan oleh Candida albicans, 16% oleh Torulopsis
glabarata, sedang 3% lainnya disebabkan oleh Candida tropicalis, Candida
pseudotropicalis, Candida krusei dan Candida stellatoidea. Kasus kandidemia
yang sebagian besar terjadi pada pasien immunokompromais juga disebabkan oleh
Candida albicans, sedangkan untuk spesies kandida yang lain sebesar 35% dari
total infeksi, dan dengan frekuensi yang lebih sedikit diantaranya disebabkan oleh
Candida tropicalis, Candida parapsilosis, Candida glabrata, Candida lusitaniae,
Candida krusei, Candida dubliniensis, and Candida guilliermondii (Martin, et al.,
2007).
Faktor-faktor yang merupakan presdiposisi infeksi antara lain :
1. Diabetes
2. Leukimia
3. Gangguan saluran gastrointestinal yang meningkatkan terjadinya
malabsorpsi dan malnutrisi.
4. Pemakaian antibiotik
Kadang orang yang mengkonsumsi antibiotik menderita infeksi Candida
karena antibiotik membunuh bakteri yang dalam keadaan normal
terdapat di dalam jaringan, sehingga pertumbuhan Candida tidak terkendali.
Selain itu, pemakaian kortikosteroid atau terapi imunosupresan pasca
pencangkokan organ. Kedua hal ini bias menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi jamur. Kortikosteroid (sejenis hormon steroid)
dihirup/dihisap untuk perawatan pada paru-paru (misalnya asma) bisa
berdampak pada kandidiasis mulut
5. Pasien dengan HIV/AIDS
2.3 Jenis Kandidiasis dan Manifestasi Klinis Candidiasis pada
HIV/AIDS
Kandidiasis dapat dibagi menjadi beberapa jenis (James, et al., 2006):
1. Kandidiasis Mukosa:
a. Kandidiasis Oral/orofaringeal
Kandidiasis orofaringeal atau thrush merupakan kandidiasis yang
berkembang di mulut atau tenggorokan (CDC, 2016). Gejala klinis; tampak
plak/ pseudomembran, putih seperti sari susu, mengenai mukosa bukal, lidah
dan permukaan oral lainnya. Pseudomembran tersebut terdiri atas kumpulan
hifa dan sel yeast, sel radang, bakteri, sel epitel, debris makanan dan
jaringan nekrolitik. Bila plak diangkat tampak dasar mukosa eritematosa atau
mungkin berdarah dan terasa nyeri sekali (Klenk, et al.,2003)
b. Kandidiasis Vulvovaginal
Kandidiasis vulvovaginal, kadang disebut sebagai infeksi jamur (ragi) vagina,
merupakan infeksi yang umum terjadi ketika terdapat pertumbuhan berlebih
dari jamur kandida. Kandida selalu ada di dalam dan permukaan tubuh dalam
jumlah yang kecil. Akan tetapi, ketika terjadi ketidakseimbangan, seperti
perubahan keasaman vagina atau perubahan hormonal, kandida dapat
bermultiplikasi. Ketika hal tersebut terjadi, gejala kandidiasis dapat
muncul (CDC, 2016). Pasien biasanya memiliki keluhan sangat gatal atau
pedih disertai keluar cairan yang putih mirip krim susu/keju, kuning tebal,
tetapi dapat cair seperti air atau tebal homogen dan tampak pseudomembran
abuabu putih pada mukosa vagina. Lesi bervariasi, dari reaksi eksema ringan
dengan eritema minimal sampai proses berat dengan pustul, eksoriasi dan
ulkus, serta dapat meluas mengenai perineum, vulva, dan seluruh area
inguinal. Sering dijumpai pada wanita hamil, dan pada wanita tidak hamil
biasanya keluhan dimulai seminggu sebelum menstruasi. Gatal sering lebih
berat bila tidur atau sesudah mandi air hangat. Umumnya didapati disuria dan
dispareunia superfisial. Dapat juga terjadi vulvitis tanpa disertai infeksi
vagina. Umumnya vulva eritema dengan fisura yang sering terlokalisata pada
tepi mukosa introitus vagina, tetapi dapat meluas mengenai labia mayora.
Intertrigo perineal dengan lesi vesikular dan pustul dapat terjadi (Richardson,
et al., 2003).
c. Balanitis / Balanopostitis Kandidiasis
Balanitis kandidiasis merupakan kandidiasis yang teri pada glans penis,
sedangkan balanopostitis mengenai glans penis dan prepusium pada laki-laki
yang belum disirkumsisi. Gambaran klinis tampak erosi merah superfisialis
dan pustul berdinding tipis di atas glans penis, sulkus koronarius (balanitis)
dan pada prepusium penis yang tidak disirkumsisi (balanopostitis) (Hay, et
al., 2010). Papual kecil tampak pada glans penis beberapa jam sesudah
berhubungan seks, kemudian menjadi pustul putih atau vesikel dan pecah
meninggalkan tepi yang mengelupas. Bentuk ringan ini biasanya sedikit pedih
dan iritasi. Pada bentuk lanjut tampak bercak putih susu di glans penis, sulkus
koronanius dan kadang-kadang di batang penis. Dapat meluas ke skrotum,
paha dan seluruh area inguinalis, terutama pada udara panas. Pada kasus berat
lesi tampak pada epitel uretra (Rippon, 1988).

2. Kandidiasis Kutis
Kandidiasis kutis merupakan penyakit infeksi pada kulit yang disebabkan
oleh jamur genus kandida. Gambaran klinis kandidiasis kutis berdasarkan
tempat yang terkena dibagi menjadi : kandidiasis kutis intertriginosa,
kandidiasis paronikia dan onikomikosis, kandidiasis kutis generalisata,
kandidiasis kutis granulomatosa, dan diaper rash (Ramali, 2004). Kandidiasis
kutis dibagi menjadi:
a. Kandidiasis Kutis Intertrigo
Kandidiasis intertrigo merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan oleh
Candida albicans, khususnya terletak di antara lipatan intertriginosa kulit
yang berdekatan. Gambaran klinis tampak sebuah bercak merah yang gatal,
diawali dengan vesikulopustula yang membesar dan pecah, menyebabkan
maserasi dan membentuk fisura pada area intertrigo yang terlibat. Area yang
terlibat memiliki batas bergerigi dengan pinggiran putih yang terdiri dari
epidermis yang mengalami nekrosis, yang mengelilingi dasar maserasi
yang ertitem. Lesi satelit biasanya dijumpai dan dapat menyatu dan meluas
menjadi lesi yang lebar (Scheinfeld, 2016).
b. Kandidiasis Mukokutaneus Kronik
Kandidiasis mukokutaneus kronik adalah infeksi heterogen pada rambut ,
kuku , kulit , dan selaput lendir yang terus berlanjut meskipun dengan terapi,
ditandai dengan infeksi kronik dari kandida, yang terbatas pada permukaan
mukosa, kulit, dan kuku. Munculnya penyakit biasanya dimulai pada masa
bayi atau dalam dua dekade pertama kehidupan. Kondisi ini mungkin ringan
dan terbatas pada area tertentu dari kulit atau kuku (Edward, 2008).
c. Kandidiasis Paronikia
Kandidiasis paronikia merupakan inflamasi pada lipatan kuku, yang
disebabkan oleh Candida albicans. Tampak daerah lipatan kuku menjadi
eritem, bengkak, dan lunak, dengan discharge sesekali. Kutikulia
menghilang, bersama dengan distrofi kuku dan onikolisis dengan perubahan
warna di sekitar daerah lipatan kuku bagian lateral. Terdapat warna kehijauan
dengan akumulasi cairan hyponychial yang mungkin terjadi yang merupakan
hasil dari infeksi kandida (Scheinfeld, 2016). Pasien akan merasakan
pembengkakan yang sakit pada sekitar kulit kuku (Edward, 2008).
d. Kandidiasis Onikomikosis
Gejala yang paling umum dari infeksi jamur kuku adalah kuku menjadi
menebal dan berubah warna menjadi putih, hitam, kuning atau hijau. Saat
infeksi berlangsung kuku bisa menjadi rapuh. Jika tidak diobati, kulit bisa
menjadi meradang dan nyeri di bawah dan di sekitar kuku. Mungkin juga
timbul bercak putih atau kuning pada kuku atau kulit menjadi bersisik
disekitar kuku dan berbau busuk (NHS, 2015).
e. Kandidiasis Kutaneus Kongenital
Kandidiasis kutaneus kongenital merupakan kondisi kulit pada bayi baru lahir
yang disebabkan oleh ketuban pecah dini yang bersamaan dengan jalan lahir
yang terinfeksi Candida albicans. Biasanya bermanifestasi sebagai erupsi
makulopapular eritematosa yang mengenai badan dan ekstremitas, akan
sembuh setelah deskuamasi yang luas. Pustula dan vesikula biasanya dangkal
dan menghilang secara spontan atau dengan pengobatan topikal. Adanya
mikroabses putih pada plasenta dan tali pusat bayi dengan erupsi tersebut
harus dicurigai kandidiasis kutaneus kongenital (Scheinfeld, 2016).
f. Diaper Rash
Diaper rash kandidiasis merupakan sebuah infeksi oleh Candida albicans pada
area diaper pada anak. Infeksi perineum yang umum pada bayi, pustular dan
eritem (Edward, 2008). Maserasi dari mukosa anal dan kulit perianal sering
merupakan manifestasi klinis pertama. Erupsi khas dimulai dengan papula
bersisik yang bergabung dan membentuk lesi yang jelas. Kemudian lesi
terkikisdengan perbatasan bergerigi (Scheinfeld, 2016).
g. Kandidiasis Kutis Generalisata
Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara, intergluteal,
dan umbilicus. Sering disertai glossitis, stomatitis, dan paronikia. Lesi berupa
ekzematoid, dengan vesikel-vesikel dan pustul-pustul (Scheinfeld, 2016).

h. Kandidiasis Unspecified
Kondisi dimana Candida albicans, tumbuh diluar kendali di daerah kulit yang
lembab. Biasanya merupakan akibat dari sistem kekebalan tubuh yang lemah,
tetapi dapat pula akibat dari efek samping kemoterapi atau terapi
antibiotik. Dikatakan kandidiasis unspecified ketika seseorang mengalami
kandidiasis mukokutan kronik, atau kandidiasis kutis, atau kandidiasis oral,
atau monilial vaginitis secara bersamaan (ICD 10, 2016)
2.4 Patogenesis Candidiasis
Kandidiasis termasuk infeksi jamur superfisial yang menyerang jaringan
berkeratin (rambut, kuku, stratum korneum), yang disebabkan oleh jamur
genus kandida. Kandida merupakan organisme oportunistik yang dapat
menjadi patogen pada kulit, kuku, dan mukosa (Jain, 2012).
Candida albicans merupakan penyebab tersering dari kandidiasis. Candida
albicans sering ditemukan sebagai jamur aprofit dan berkoloni di membran
mukosa pada hewan berdarah panas. Pada sekitar 50% dari individu normal,
terdapat kolonisasi di orofaring. Selain itu, Candida albicans merupakan
organisme komensal pada mukosa vagina pada 20 - 25% dari wanita sehat
yang tidak memiliki gejala. Jamur ini jarang diisolasi dari kulit normal
kecuali pada area intertriginosa yang kadang-kadang dapat ditemukan
kolonisasi kandida (Fidel, et al., 1996). Faktor predisposisi yang berpengaruh
pada infeksi kandida meliputi kondisi kulit lokal, status nutrisi, perubahan
status fisiologi, penyakit sistemik, dan penyebab iatrogenik.
a. Faktor predisposisi mekanik : trauma, sumbatan lokal,
kelembaban, dan atau maserasi, pemakaian gigi palsu, sumbatan pakaian, dan
obesitas.
b. Faktor predisposisi nutrisi : avitaminosis, defisiensi besi, dan
malnutrisi.
c. Faktro predisposisi perubahan status fisiologis : umur yang
berkaitan
dengan status imunologis, kehamilan dan menstruasi pada wanita.
d. Faktor predisposisi penyakit sistemik : sindrom down,
acrodermatitis
enteropathica, penyakit endokrin (diabetes melitus, penyakit chusing,
hipoadrenalism, hipotiroidism, hipoparatiroidism), uremia, keganansan, dan
kondisi imunodefisiensi.
e. Faktor predisposisi iatrogenik : penggunaan kateter dan jalur
intravena,
radiasi-X, obat-obatan (glukokortikoid, agen imunosupresif lain, antibiotik,
kontrasepsi oral) (Klenk, et al., 2003).
Faktor penting lainnya adalah perbedaan virulensi di antara spesies kandida
(Janik, et al., 2008). Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kandidiasis
adalah pekerjaan. Pekerjaan adalah suatu aktifitas yang dilakukan setiap hari
dan bisa menyebabkan kelelahan, sehingga menyebabkan daya tahan tubuh
menurun dan muncul gejala kandidiasis (Depkes RI, 2005).
2.5 Patofisiologi Candidiasis
Infeksi kandida dapat terjadi apabila terdapat faktor predisposisi yang
meliputi kondisi kulit lokal, status nutrisi, perubahan status fisiologi, penyakit
sistemik, penurunan status imun (HIV/AIDS) dan penyebab iatrogenik (Klenk, et
al., 2003). Pasien dengan HIV/AIDS sangat mudah mengalami infeksi
oportunistik. Umumnya bagian intra oral yang paling banyak dialami penderita
AIDS yang disebut kandidiasis oral. Penyakit HIV fase akhir dan letal (wasting
syndrome) terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+
dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis.
Mekanisme infeksi Candida albicans sangat komplek termasuk adhesi dan
invasi, perubahan morfologi dari bentuk sel khamir ke bentuk filamen (hifa),
pembentukan biofilm dan penghindaran dari sel-sel imunitas inang. Kemampuan
Candida albicans untuk melekat pada sel inang merupakan faktor penting pada
tahap permulaan kolonisasi dan infeksi. Perubahan fenotip menjadi bentuk
filamen memungkinkan Candida albicans untuk melakukan penetrasi ke lapisan
epitelium dan berperanan dalam infeksi dan penyebaran 18 Candida albicans pada
sel inang. Candida albicans juga dapat membentuk biofilm yang dipercaya terlibat
dalam penyerangan sel inang dan berhubungan dengan resistansi terhadap
antifungi (Kusumaningtyas, 2007). Proses pertama dari infeksi adalah adhesi,
melibatkan interaksi antara ligand dan reseptor pada sel inang dan proses
melekatnya sel Candida albicans ke sel inang. Selanjutnya diikuti perubahan
bentuk dari khamir ke filament, yang diketahui berhubungan dengan patogenitas
dan proses penyerangan kandida terhadap sel inang. Tahap selanjutnya adalah
pembentukan lapisan biofilm sebagai salah satu cara Candida spp untuk
mempertahankan diri dari obat-obat antifungi. Produksi enzim hidrolitik
ektraseluler seperti aspartyl proteinase juga sering dihubungkan dengan
patogenitas Candida albicans (Naglik, et al., 2004).
2.6 Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis infeksi kandida dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis dapat diketahui faktor
predisposisi dan gejala klinis pasien. Tergantung dari jenis kandidiasis yang
dialami. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan manifestasi klinis dari
kandidiasis. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan : (Kuswadji, 2006)
1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan 19 larutan KOH 10%
atau dengan pewarnaan Gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu.
Pemeriksaan mikroskopik (Direct Microscopic Assesment) : Dahak,
eksudat,trombus, darah dan sebagainya dapat diperiksa dengan sediaan apus yang
diwarnaidengan wet mounts, gram, Giemsa, Periodic Acid Shift (PAS) untuk
mencari elemen-elemen jamur yaitu pseudohifa dan sel-sel bertunas (budding
yeast cell) yang karakteristik untuk candida.
2. Pemeriksaan biakan/kultur
Semua bahan termasuk kultur darah, kultur spesimen biposi, aspirasi,kultur
dari permukaan yang terlibat, urin, luka operasi, drainase luka, cairanperitoneum,
sputum, specimen bronchoalveolar lavage (BAL) atau cairancerebrospinal. Isolasi
Candida dari kulit, urin, luka, sputum atau spesimen feses tidakbersifat diagnostik,
tetapi pertumbuhan spesies Candida dari spesimen yang steril (darah, cairan
serebrospinal) hampir selalu bersifat diagnostik.
3. Serologi : Ekstrak karbohidrat Candida kelompok A memberikan
reaksipresipitin yang positif dengan serum pada 50% orang normal dan pada 70%
orangdengan kandidiasis mukokutan. Pada kandidiasis sistemik, peningkatan titer
antiboditerhadap Candida dapat ditemukan melalui macam-macam tes,misalnya
aglutinasi,presipitasi gel, imunonoassay enzim, imunoelektroforesis. Deteksi
antigen spesifikCandida pada serum (free mannan) memungkinkan dengan
menggunakan reaksiaglutinasi dengan partikel lateks yang terikat dengan antibodi
monoclonal. Tes serologi terbaru yaitu dengan (1,3)-beta-D glucan. Dimana beta-
D glucan adalah komponen yang penting dari dinding sel Candida dan dapat di
deteksi dan dikuantifikasi pada aliran darah pasien dengan candidiasis
hematogen.Pemeriksaan komponen enzim ini dilakukan secara serial (2 kali
seminggu),hasilnya cepat dengan angka sensitivitas dan spesifisitas 70% dan
87%.
4. Histopatologi : keuntungan yang utama dari pemeriksaan ini adalah
cepat,biaya rendah, identifikasi presumtif dari jamur yang spesifik dan
demonstrasi darireaksi jaringan. Tetapi kalau tidak menggunakan teknik spesial,
misal imunofluoresenatau organisme nya memiliki struktur yang unik, sulit untuk
melakukan diagnosis.
2.7 Penatalaksanaan Candididiasis
1. Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.
Lesi-lesi lokal paling baik diobati dengan menghilangkan penyebabnya, yaitu
menghindari basah, mempertahankan daerah-daerah tersebut tetap sejuk, berbedak
dan kering dan penghentian pemakaian antibiotika.
2. Topikal
a. Larutan ungu gentian ½-1 % untuk selaput lendir, 1-2 % untuk
kulit, dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari2.
b. Nistatin, berupa krim, salap, emulsi3.
c. Amfoterisin B4.
d. Grup azol antara lain :
 Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
 Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
 Tiokonazol, bufonazol, isokonazol
 Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
 Antimikotik lain yang berspektrum luas
3. Sistemik :
a. Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran
cerna. Pemberian nistatin melalui mulut tidak diabsorpsi, tetap dalam usus
dan tidak mempunyai efek pada infeksi Candida sistemik.
b. Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidosis sistemik
Amfoterisin B yang disuntikkan secara intravena, merupakan usaha
pengobatan efektif yang telah diterima untuk sebagian besar bentuk
kandidiasis yang mengenai organ dalam. Amfoterisin B diberikan dalam
kombinasi dengan flusitosin melalui mulut untuk menambah
efek pengobatan pada kandidiasis diseminata.
c. Ketokonazol bersifat fungistatik
Ketokonazol menimbulkan respons terapeutik yang jelas pada beberapa
penderita infeksi Candida sistemik, terutama pada kandidiasis mukokutan.
Terapi ketokonazol untuk pengendalian jangka panjang kandidiasis
mukokutan kronik. Anti jamur grup azolmenghambat pembentukan
ergosterol dengan mem blok aksi 14-alpha-demethylase. Dapat diberikan
dengan dosis 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagihari
setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita
kelainan hepar.
d. Kandidosis vaginalis dapat diberikan klotrimazol 500 mg per
vaginam dosistunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2x200 mg
selama 5 hari atau denganitrakonazol 2x200 mg dosis tunggal atau dengan
flukonazol 150 mg dosis tunggal.Pada vulvovaginitis Candida, terapi
perawatan dengan ketokenazol mungkindiperlukan.
e. Anti jamur spektrum luas adalah polyene, echinocandin digunakan
jika belumdiketahui spesies jamurnya. Bila organisme nya dipastikan
Candida albicans, harusdimulai terapi dengan fluconazol.
2.8 Pencegahan Candiddiasis
a. Hindari pakian yang ketat,atau terbuat dari bahan yang tidak serap
keringat
b. Konsumsi yogurt atau supplement yang mengandung laktobasilus
akan meningkatkan tumbuhnya bakteri yang baik daam usus dan
menekan tumbuhnya kandida.
c. Hindari berganti pasangan seks.
d. Gunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dengan
kelompok berisiko.
e. Jaga kebersihan mulut
f. Jaga kebersihan pada daerah vulva
g. Hindari /hati –hati terhadap bahan kimia tertentu yang dapat
merusak keseimbangan mikroorganisme pada mulut, vagina dan anus.
h. Minum antibiotik dan kortikosteroid sesuai indikasi karena dapat
menimbulkan resistensi (kekebalan ) jamur dan mudah mengalami
infeksi.
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CANDIDIASIS

3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Riwayat kesehatan sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Pemeriksaan fisik
6. Data dasar pengkajian fisik:
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala: mudah lelah,berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya,
kelelahan, malaise. Tanda : kelemahan otot.
b. Sirkulasi
Gejala : proses penyembuhan luka lambat
Tanda : takikardi,perubahan Tekanan Darah
c. Intregitas ego
Gejala : kawatir dengan penampilan akibat lesi dan berat badan menurun
Tanda : cemas, depresi, takut menarik diri,
d. Eliminasi
Gejala :diare ,sering dengan atau tanpa disertai kram abdominal .nyeri
panggul serta nyeri saat miksi. Tanda : lesi atau abses perianal ,
perubahan dalam jumlah warna dan karkteristik urin.
e. Makanan/ cairan
Gejala : Tidak ada napsu makan, perubahan dalam kemampuan
mengenali makan, mual muntah ,disfagia ,nyeri retrosternal saat
menelan. Tanda: penurunan BB yang cepat turgor kulit buruk, lesi pada
rongga mulut, adanya selaput putih dan dan perubahan warna, kesehatan
gigi /gusi yag buruk, adanya gigi tanggal
f. Hygiene
Memperlihatkan penampilan yang tidak rapi. Kekurangan dalam banyak
atau semua perawatan diri aktivitas perawatan diri
g. Neurosensori
Gejala : Kerusakan sensasi atau indera posisi getaran, kelemahan otot.
Tanda: timbul rafleks yang tidak normal.
h. Nyeri/nyaman
Gejala : nyeri, sakit dan rasa terbakar
Tanda : penurunan rentan gerak, gerak otot melingdungi bagian yang
sakit
i. Keamanan
Gejala : Rasa terbakar luka yang lama penyembuhannya.riwayat
penyakit defisiensi imun.
Tanda : perubahan intergitas kulit luka pda perianal dan kulit.
j. Seksualitas
Gejala : riwayat berperilaku beresiko tinggi yakni mengadakan hubungan
seksual dengan pasangan yang terinfeksi , aktivitas seksual yang tidak
terlindungi dan seks anal serta penggunaan kondom yang tidak konsisten.
7. Psiko-sosio-spiritual:
Kaji faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan dukungan keluarga
dan orang lain, stigma, perubahan gaya hidup, perubahan penghasilan, dan
distress spiritual.
Kaji penampilan adanya penurunan berat badan, kecacatan, dan kelemahan.
Kaji adanya kecemasan, depresi, kesepian karena teman dekat meninggal
karena AIDS, isolasi diri dan perubahan konsep diri.
3.2 Diagnosa keperawatan
1. Perubahan membran mukosa oral b/d penurunan sistem imun
2. Nyeri akut b/d reaksi inflamasi
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d lesi oral
4. Kekurangan volume cairan b/d pembatasan pemasukan :mual muntah
5. Ansietas b/d perubahan kesehatan

3.3 Intervensi Keperawatan


Perubahan membran mukosa oral b/d penurunan sistem imun
Intervensi:
Kaji kulit setiap hari, catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi
R/menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibangdingkan
dengan melakukan intervensi yang tepat
Secara teratur ubah posisi, ganti sprei sesuai kebutuhan
R/ Meningkatkan aliran darah ke jaringan dan meningkatkan prodes
penyembuhan.
Lakukan oral higiene 2-3 kali/ hari
Lakukan program dokter: pemberian anti jamur (Nistatin, kotrimasol)
Gunting kuku secara teratur
R/ kuku yang panjang /kasar dapat menngkatkan resiko kerusakan kulit
Kolaborasi pemeriksaan penunjang
Gunakan obat topical sistemik sesuai indikasi
R/ digunakan pada perawatan lesi kulit.jika digunakan salep multi dosis perawatan
harus dilakukan untuk menghindari kontaminasi silang.
Nyeri akut b/d reaksi inflamasi
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri perhatikan lokasi intensitasfrkwensi dan waktu.
Berikan aktivitas hiburan misalnya membaca dan nonton televisi
Intruksikan pasien untuk teknik napas dalam
Lakukan perawatan mulut 2-3 kali perhari
Berikan analgesik antipiretik sesuia instruksi atau program medik
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d lesi oral
Intervensi
Kaji kemempuan untuk mengunyah,menelan,dan merasakan
Timbang BB sesuai dengan kebutuhan
Hilangkan rangsan lingkungan yang berbahaya atau kondisi yang memperburuk
reflex
Rencanakan diet dengan pasien atau orang terdekat
Batasi makanan yang menyebabkan mual /muntah
Catat pemasukan kalori
Kolaborasi dengan ahli gizi terkait diet yang sesuai dengan kebutuhan pasien
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium: albumin.
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CADIDIASIS ORAL

4.1 Kasus:
Pasien Tn.X (32 tahun) masuk rumah sakit dengan keluhan utama luka dan
radang di dalam rongga mulut sejak 3 minggu yang lalu serta diare sejak 2
minggu yang lalu. Lidah kotor, bercak putih tebal, luka dan sulit mengunyah
dan menelan makanan. Diare juga tidak pernah berhenti walaupun sudah
minum obat anti diare. Pasien sudah pernah dirawat inap 6 bulan lalu dengan
diagnosis B20 (HIV+). Saat ini BB menurun drastis, dari 70 kg menjadi 50
kg.
4.2 Pengkajian
Tanggal MRS : 07-09-2019
Tanggal Pengkajian : 10-09-2019
Jam Pengkajian : 08.00
Jam Masuk :09.00
No. RM :123xxx
Diagnosa Masuk :B20+CandidiasisOral
Hari rawat ke : Ketiga (3)

1. Data Demografi:
a. Nama Pasien : Tn. X
b. Umur : 32 Tahun
c. Suku/ Bangsa : Jawa
d. Agama : Islam
e. Pendidikan : SMP
f.Pekerjaan : Sopir
g. Alamat : Kedung Pengkol II,
Kelurahan Mojo, Kec. Gubeng, Surabaya
h. Sumber Biaya : Pribadi.
2. Keluhan Utama:
Luka dan radang di dalam mulut serta diare.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Keluhan luka dan radang di dalam rongga mulut sejak 3 minggu terakhir.
Semakin hari semakin bertambah parah. Lidah kotor berbecak putih dan
nyeri. Diare sejak 2 minggu terakhir, tidak pernah berhenti walaupun
minum obat antidiare. Enam bulan lalu, pasien positif HIV saat opname di
RS. Berat badan turun 10 kg sejak 1 bulan lalu, dari 70 kg menjadi 50 kg.
Tn. X sudah mengikuti terapi ARV, tetapi tidak rutin karena minum
ramuan tradisional dan berobat ke di dukun.
4. Riwayat penyakit dahulu:
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit selain HIV+ yang diderita sejak 6
bulan lalu. Riwayat operasi (-), riwayat menggunakan Napza (-).
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Dalam keluarga tidak ada yang menderita sakit kronik, menular dan
sistemik.
6. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan:
Pasien merokok (+), Minum Alkohol (+), sering ganti pasangan seks
terutam saat mengantar barang perusahaan ke luar kota. Pasien juga
jarang berolahraga.
7. Observasi dan Pemeriksaan Fisik:
a. Tanda tanda vital: TD=100/60 mmHg, Suhu= 38,5ºC, N=110,
RR=24x/menit
Kesadaran= Compos mentis, GCS E4V5M6
b. Sistem Pernapasan:
Sesak napas (+), batuk berdahak (+) tetapi sulit mengeluarkan dahak,
bunyi napas: Ronchi (+) di lobus superior kiri kanan. Retraksi Otot
bantu napas (-), irama napas tidak teratur. O2 nasal canula 3 lpm.
c. Sistem Kardio vaskuler:
Keluhan nyeri dada (-), suara jantung (S1/S2 normal, irama irreguler,
suara jantung tambahan(-), capillary revil time < 3 detik, akral hangat.

d. Sistem Persyarafan
Kesadaran: CM , pemeriksaan pupil mata isokor, pembesaran pupil(-),
reflek fisiologis (patella, triceps, biceps normal), pemeriksaan reflek
patologis babinski (-), brudzinski (-) dan kernig(-), gangguan
pendengaran (-), penciuman (+)dan penglihatan normal. Sulit untuk
istirahat dan tidur
e. Sistem perkemihan
Nyeri saat berkemih (+), urine keluar sedikit (500cc/hari), Intake cairan
yang dikonsumsi sehari – hari (200cc), terpasang kateter (urine
tertampung 100cc, pekat).
f. Sistem pencernaan
Mulut kotor, bau, nyeri telan (+), adanya luka di rongga mulut
(stomatitis), lidah kotor, bercak putih tebal, sulit mengunyah dan
menelan makanan dan minuman. Kembung (-), nyeri tekan (+),
peristaltik (35x/ menit) BAB cair tanpa ampas, frekuensi > 8 sehari, diet
bubur tetapi tidak dihabiskan. Nafsu makan berkurang. BB=50kg, TB=
170cm, IMT=19.
g. Sistem penglihatan
Visus normal kiri dan kanan. Gangguan penglihatan (-)
h. Sistem pendengaran
Pendengaran normal, luka (-)
i. Sistem Muskuloskleletal
Pergerakan sendi bebas, kekuatan otot 4 atas-bawah kiri kanan. Akral
hangat.
j. Sistem integumen
Mukosa rongga mulut terdapat luka (+), turgot kulit lambat, gatal-gatal
di bagian lipatan kulit (+). Dekubitus (-).
k. Sistem Endokrin
Kelenjar tyroid tidak membesar, pembesaran kelenjar getah bening (+)
di leher, submandibula, pre dan post uarikuler, axilla, dan
femoral.hipoglikemi (-) luka gangren (-).

8. PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Pasien tampak murung, sedih, dan menarik diri. Pasien mengatakan malu,
putus asa dan menyesal dengan penyakit yang dialami sekarang. Pasien
merasa tidak berdaya lagi serta beranggpan bahwa kematian sudah dekat.
9. PERSONAL HYGIENE & KEBIASAAN
Pasien tampak kotor, sejak 2 minggu yang lalu belum keramas, belum
mandi hanya dilap oleh keluarga. Menggosok gigi juga belum dilakuan
sejak 2 minggu yang lalu, keluarga mengatakan takut tertular kalau
membanu pasien sikat gigi.
10. PENGKAJIAN SPIRITUAL
Sejak sakit pasien mengeluh sulit berdoa karena merasa bahwa Tuhan
tidak menerima dan mendengarkan doanya lagi.
11. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah: Hb 9,5g/dL, RBC 3,5.10ˆ6/μL, HCT 30.10 ˆ3/μL, WBC
3.10 ˆ3/μL, Trombosit 100.10 ˆ3/μL, CD4 200/mm3.
LED=100mm/jam, GDA 80mg/dL .
b. Rongent paru: TBC paru+
c. Kultur hapusan bercak putih:positif Candida Albicans
d. Pemeriksaan laboratorium tanggal 09 september 2019 :
 Ureum 2,5 mg/dl ( nilai normal 10-50 mg/dl )
 Creatinin 4,1mg/dl ( nilai normal p : 0,7-1,2, w : 0,5-0,9 mg/dl )
 Kalium 3 mmol/L ( nilai normal serum : 3,5-5,1 mmol/ L ).
12. TERAPI:
Infus RL:D5% , Clinimix (1:1:1) 2000cc/24 jam
Ranitidine 2x50mg IV; Paracetamol infus 3x1gr iv; ketoconazole 200mg
1x1 oral. ARV: Evavirenz 600mg+Lamivudine 300mg+Tenofovir 300mg
13. DATA TAMBAHAN LAIN
4.3 Analisis Data
Tanggal Data Etiologi Masalah
10-09-2019 DS : Hipersekresi jalan Bersihan jalan
1. Pasien napas napas tidak
mengatakan efektif
sesak napas Obstruksi jalan
2. Batuk
napas
berdahak
tetapi sulit
mengeluarkan
dahak.
3. Pasien
mengatakan
merokok aktif

DO :
4. Bunyi
napas: ronchi
(+) di lobus
superior kiri
kanan
5. Irama
napas tidak
teratur
6. O2
nasal canula 3
lpm.
7. Ronge
nt paru: TBC
paru+

10-09-2019 DS : Kesulitan menelan Defisit Nutrisi


 Pasien
mengatakan
sulit Intake yang tidak
mengunyah adekuat
dan menelan
makanan dan
minuman
 Nafsu
makan
berkurang.

DO :
 Mulut
kotor, bau
 Nyeri
telan (+)
 Adany
a luka di
rongga mulut
(stomatitis)
 Lidah
kotor, bercak
putih tebal
 Diet
bubur tetapi
tidak
dihabiskan.
 BB=55
kg
 TB=17
0cm, IMT=17.
10-09-2019 DS : Diare Resiko
 Pasien
gangguan
mengatakan diare Ketidakseimbangan keseimbangan
sejak 2 minggu elektrolit elektrolit
terakhir, tidak
pernah berhenti
walaupun minum
obat antidiare.

DO:
 Peristaltik
(35x/ menit)
 BAB cair
tanpa ampas
 Frekuensi >4
sehari.

4.4 Diagnosis Keperawatan


1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
napas (D0001)
2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (D0019)
3. Resiko gangguan keseimbangan elektrolit berhubungan dengan
ketidakseimbanga elektrolit, diare (D0037)

4.5 Intervensi Keperawatan


No SDKI SLKI SIKI
1. Bersihan jalan Bersihan jalan napas Pemantauan Respirasi
napas tidak (L.01001) (I.01014)
efektif Setelah dilakukan Terapeutik
berhubungan intervensi keperawatan a. Atur interval pemantauan
dengan obstruksi selama 2x1 jam, respirasi sesuai kondisi
jalan napas diharapkan: pasien
(D0001) 1. Frekuensi napas (5: Observasi
membaik) a. Monitor frekuensi, irama,
2. Pola napas (5:
kedalaman, dan upaya
membaik)
napas
3. Ronchi (5: menurun)
b. Monitor kemampuan
4. Produksi sputum
batuk efektif
(5:menurun)
c. Monitor adanya
5. Batuk efektif (5:
sumbatan napas
meningkat)
d. Auskultasi bunyi napas
e. Monitor saturasi oksigen
f. Monitor nilai AGD
Manajemen Jalan Napas
(I.01011)
Terapeutik
a. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
b. Berikan oksigen
Observasi
a. Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
b. Monitor bunyi napas
tambahan (snoring)

Terapi Oksigen (I.01026)


Kolaborasi
a. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
b) Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan
jalan napas
b. Siapkan dan atur
peralatan pemberian
oksigen
Observasi
a. Monitor kecepatan aliran
oksigen
b. Monitor tanda- tanda
hipoventilasi
2. Defisit Nutrisi Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi
berhubungan Setelah dilakukan 1.03119
dengan intake intervensi keperawatan 1. Observasi
a. Identifikasi
yang tidak selama 2x24 jam,
adekuat diharapkan: status nutrisi
b. Identifikasi
(D0019) 1. Frekuensi makan
alergi dan intoteransi
(5: membaik)
2. Nafsu makan (5: makanan
c. Identifikasi
membaik)
3. Membrane makanan yang disukai
d. Identifikasi
mukosa (5:
kebutuhan kalori dan
membaik)
4. Porsi makan yang jenis nutrient
e. Identifikasi
dihabiskan (5:
perlunya penggunaan
meningkat)
5. Nyeri abdomen selang nasogastric
f.Monitor asupan
(5: menurun)
6. Diare (5: makanan, berat badan,
menurun) dan hasil pemeriksaan
laboratorium
2. Terapeutik
a. Sajikan
makanan secara
menarik dan suhu
yang sesuai
b. Berikan
makanan rendah serat,
tinggi kalori, dan
tinggi protein, serta
suplemen makanan
3. Edukasi
a. Ajarkan diet
yang diprogramkan
kepada keluarga
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi
pemberian medikasi
sebelum makanan
b. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan
3. Resiko gangguan Keseimbangan Manajemen elektrolit
keseimbangan elektrolit (L.03021) (1.03107)
elektrolit Setelah dilakukan 1. Obsevasi
berhubungan intervensi keperawatan a. Identifikasi tanda
dengan selama 2x24 jam, dan gejala
ketidakseimbang diharapkan: penurunan kadar
a elektrolit, diare 1. Serum natrium (5: kalium
b. Monitor intake
(D0037) membaik)
2. Serum kalium (5: output cairan
c. Monitor kadar
membaik)
3. Serum klorida (5: kalium serum
membaik) dan/urine
4. Serum kalsium (5: d. Monitor akses IV
membaik) terhadap phlebitis
5. Serum magnesium
dan ilfiltrasi
(5: membaik)
2. Terapeutik
a. Pasang akses IV
line
b. Berikan suplai
kalium jika perlu
c. Hindari pemberian
KCl jika haluaran
urine <0,5
mL/kgBB/jam
3. Edukasi
a. Anjurkan
modifikasi diet
tinggi kalium (mis.
Pisang, sayuran
hijau, tomat,
coklat), jika perlu
kolaborasi
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi
pemberian KCl oral
(40-80mEw/hari)
pada hipokalemia
ringan dan sedang
(3-3,5mEq/L),
sesuai indikasi
b. Kolaborasi
pemberian KCl
vena (10-20mEw
dalam 100 ml NaCl)
selama 1 jam pada
hipokalemia berat
(<2,5mEq/L), sesuai
indikasi

WOC CANDIDIASIS
MK Nyeri akut

BAB IV
PENUTUP
4.5 Kesimpulan
Kandidiasis merupakan sekelompok infeksi yang disebabkan oleh Candida
albicans ataupun spesies lain dari genus kandida. Organisme ini khususnya
menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, dan traktus gastrointestinal, tetapi
organisme ini juga dapat menyebabkan penyakit sistemik. Infeksi jamur Candida
sering ditemukan pada penderita HIV/AIDS yang berhubungan langsung dengan
tingkat imunosupresinya, yang dapat menjadi indikator infeksi HIV dan prediksi
perkembangan infeksinya menjadi AIDS.
Penyakit HIV fase akhir dan letal (wasting syndrome) terjadi destruksi
seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200
sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastic. Oleh karena itu pasien rentan
mengalami infeksi oportunistik, salah satunya candidiasis. Penatalaksanan yang
tepat dan tindakan pencegahan baik, akan mengurangi dampak penyakit ini.
4.6 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan, kita harus terus belajar memahami konsep
penyakit candidiasis pada pasien dengan HIV AIDS, sehinggga mampu
memberikan asuhan keperawatan profesional dalam tatanan nyata

DAFTAR PUSTAKA
Adiguna MS. (2004). Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam :
Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S,
editor. Dermatomikosis Superfisialis (edisi ke-2). Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
CDC. (2016). Candidiasis. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses
pada tanggal 24 Maret 2016 dari
https://www.cdc.gov/fungal/disease/candidiasis/ Citrashanty I, Suyoso S.
(2011). Mikosis superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2008-2010. BIKKK, 23
(3): 200-6.
Dahlan, Sopiyudin. (2004). Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
ARKAS.
Ditta H, Indropo A. (2016). Studi Retrospektif: Diagnosis dan Penatalaksanaan
Kandidiasis Vulvovaginalis. BIKKK – Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin-Periodical of Dermatology and Venereology, 28 (1), 42-48.
Edward, John E.. (2008). Candidiasis. In Harrison’s Internal Medicine (17th Ed.).
USA : McGraw – Hill.
Errol Reiss H. Jean Shadomy, G. Marshall Lyon (2011). Fundamental medical
mycology (Chap 11). Hoboken, N.J.: John Wiley & Sons.
Fidel PL, Sobel JD. (1996). Immunopathogenesis of reccurent vulvovaginitis
candidiasis. Clinical Microbial Rev, 9, 335.
Fidel, Paul L.JR., Jessica Cutright, Chad Steele. (2000). Effects of Reproductive
Hormones on Experimental Vaginal Candidiasis. American Society for
Microbiology, 68(2), p. 651–657
Finkel, Richard, Clark, Michelle A., Cubeddu, Luigi X (editors). (2009).
Lippincott's Illustrated Reviews: Pharmacology (4 th Ed). USA : Lippincott
39 Williams & Wilkins.
Grohskopf, Lisa A., Vincent T. Andriole. (1997). Systemic candida infections.
Yale Journal of Biology and Medicine, pp.505-515.
Gunther, L.S.A., Helen P.R.M., Fabricia G., Andre L.P., Marcia E.L.C., Terezinha
I.E.S. (2014). Prevalence of Candida albicans and non-albicans isolates from
vaginal secretions: comparative evaluation of colonization, vaginal
candidiasis and recurrent vaginal candidiasis in diabetic and non-diabetic
women. Sao Paulo Med J, 132(2):116-20.
Hakim L. (2009). Epidemiologi infeksi menular seksual. Dalam : Daili SF,
Indriatmi W, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. (2008). Epidemiological trends in skin
mycoses worldwide. Mycoses. 51:2-15. Hay RJ and Ashbee HR. (2010).
Mycology. In Rook’s Texbook of Dermatology (8th ed.). Oxford : Wiley-
Blackwell; p. 36.5 – 36.56.
ICD 10. (2016). Candidiasis Unspecified. Diakses pada tanggal 5 Desember 2016
dari www.icd10.com .
Jain, Sima. (2012). Dermatology, Illustrated Study Guide and Comprehensive
Board Review. New York: Springer.
James, William D., et al. (2006). Andrews' Diseases of the Skin: clinical
Dermatology (10th Ed.). Canada: Saunders Elsevier.
Janik MP, Heffernan MP, (2008). Yeast infection : Candidiasis and Tinea
(Pityriasis) versicolor. In Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (7th
Ed.). New York : Mc Graw Hill; p. 1822-1830.
Karina D, Ervianti E. (2011). Kandidiasis Vulvovaginalis di Divisi Infeksi
Menular Seksual Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya Periode 2007-2009. 23:p.182-4
Klenk, Alison S., Ann G Martin, Michael P Heffernan. (2003). Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. USA : McGraw-Hill.
Kundu VR, Garg A..(2012). Yeast infection : candidiasis, tinea (ptyriasis)
versicolor and Malassezia (Pityrosporum) folliculitis. Dalam Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. Vol 2. (8th Ed.). New York : McGraw-hill.
Kusumaningtyas, Eni. (2007). Mekanisme infeksi Candida albicans pada 40
permukaan sel. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian
Veteriner, Bogor Indonesia.
Kuswadji. (2006). Kandidiasis. Dalam : Djuanda A., Hamzah M., Aishah A., Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin (4th Ed.). Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Unversitas Indonesia. PP: 103-6.
Kuswadji. (2010). Kandidosis. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Laksana, Budi Setyo. (2003). Karakteristik Drmografi dan Sosial Ekonomi
Pekerja Wanita pada Perusahaan Rokok Alam Subur Kraksaan Probolinggo.
Diakses dari http:digilib.itb.ac.id pada tanggal 24 Maret 2016.
Lisa A., Grohskopf, Andriole VT. (1996). Systemic Candida Infection. Yale
Journal of Biology and Medicine. 69, 505-15.
Martin E. Weisse, Stephen C. Aronoff. (2007). Candida. In Kliegman: Nelson
Textbook Of Pediatrics (18th Ed.). Philadelphia : Saunders Elsevier.
Naglik J., Albbrecht A., Bader O.,Hube B.. (2004). C. albicans proteinses and
host/pathogen interactions. Cell Microbiol, 6(10):915-26.
NHS. (2015). Symptoms of fungal nail infection. United Kingdom. Diakses pada
tanggal 24 Maret 2016, dari http://www.nhs.uk/Condition /Fungal-
nailinfection/Pages/Introduction.aspx.
Oninla, O. A., S. O. Oninla. (2016). Superficial Mycoses in Relation to Age and
Gender. British Journal of Medicine & Medical Research, 13(5): 1-10.
Paller AS, Mancini AJ. (2006). Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 3rd ed.
New York : Elseviers Saunders.
Pappas GP, Kauffman CA, Edwards JE, Filler GS, editors. (2009). Clinical
practice guidelines for the management of candidiasis. Clin Infect Dis: 503-
35.
Powers, Alvin C.. (2008). Diabetes Mellitus. In : Harrison’s Internal Medicine
(17th ed). USA : McGraw Hill. 41 Rahmadewi, dkk. (2000). Gender dan
Permasalahannya. Diakses dari http://hqweb01.bkkbn.go.id pada tanggal 30
Maret 2016.
Ramali LM. (2004). Kandididasis kutan dan mukokutan. Dalam : Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editor.
Dermatomikosis superfisialis (Edisi ke-2). Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Ramali LM. (2013). Kandidiasis kutan dan mukokutan. Dalam: Ervianty E,
Suyoso S, Widaty S, Indriatmi W, editor. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Rara SS, Pieter LS, Herry EJP. (2013). Profil
Kandidiasis Kutis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado Periode 2009-2011 (Skripsi). Jurnal e-Biomedik, 1 (1) : 561-
565.
Roseff SA, Sugar AM. (1993). Oral and esophageal candidiasis. Dalam: Bodey
GP, editor. Candidiasis, Pathogenesis, Diagnosis and treatment, (2nd Ed.).
New York : Raven Press, p. 185-203. Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg
MS. Burket ilmu penyakit mulut: diagnosa & terapi. Alih Bahasa. PP. Sianita
Kurniawan. Grogol: Binarupa Aksara, 1994: 267-287.2.
.

Anda mungkin juga menyukai