SKENARIO 1
SGD 6
Disusun Oleh :
1. Ada makalah 60
2. Keseuaian dengan LO 0 – 10
4. Pembahasan Materi 0 – 10
Assalamualaikum wr.wb
Puji dan syukur kita ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah dari
pelaksanaan SGD (Small Group Discussion) kami. Makalah ini disusun
berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami selama melakukan kegiatan
berdasarkan paradigma pembelajaran yang baru. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas kami dalam bidang studi kedokteran yang menggunakan
metode PBL (Problem Based Learning). Laporan ini diharapkan dapat sebagai
bahan acuan untuk mencapai penggunaan metode baru tersebut secara
berkelanjutan. Kami berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti oleh semua kalangan untuk mempermudah dalam penyampaian
informasi metode pembelajaran ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen tutorial SGD 6
Fakultas Kedokteran UISU yang telah membimbing kami selama proses
pembelajaran dan SGD pada Modul 11 Penyakit Tropis dan Infeksi. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena, itu penulis
menerima kritik dan saran yang positif dan membangun dari para pembaca untuk
memperbaiki kekurangan dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat pada kita semua.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
SKENARIO 1.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
2.1 Bakteri, Virus dan Jamur yang dapat menyebabkan Penyakit
Tropis dan Infeksi....................................................................................... 2
2.2 Patogenitas Bakteri, Virus dan Jamur yang dapat menyebabkan
Penyakit Tropis dan Infeksi........................................................................ 6
2.3 Pemeriksaan Laboratorium Bakteri, Virus dan Jamur................................ 10
2.4 Pencegahan dan Penanggulangan Bakteri, Virus dan Jamur yang
dapat menyebabkan Penyakit Tropis dan Infeksi........................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16
ii
SKENARIO 1
MIKROORGANISME PATOGEN
Pasien laki-laki umur 35 tahun datang ke praktik dokter dengan keluhan batuk
berdahak dan kental sudah seminggu, hidung berlendir disertai Demam. Pada
pemeriksaan status present: Tekanan darah: 110/80 mmHg, Temperatur 38°C dan
Pemeriksaan Physic Diagnostic, auskultasi: ronchi basah.
Dokter menyarankan pemeriksaan kultur sputum ke Bagian Mikrobiologi.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Infeksi tropis merupakan penyakit yang biasa terjadi di daerah tropis.
Penyakit infeksi tropis dibedakan menjadi 3 jenis yaitu infeksi tropis oleh bakteri,
infeksi tropis oleh virus, dan infeksi tropis oleh parasit. Infeksi tropis oleh parasit
biasanya disebabkan oleh infeksi cacing. Infeksi cacing dapat ditularkan lewat
makanan, air, udara, feses, hewan peliharaan, dudukan toilet dan pegangan pintu
yang terkontaminasi oleh telur cacing. Masyarakat yang terserang penyakit ini
tentu saja membutuhkan pakar atau dokter untuk mendiagnosa penyakit mereka.
Dalam hal ini, sistem diagnosa penyakit akan sangat membantu dalam
mendiagnosa penyakit mereka. Penelitian ini menghasilkan sistem diagnosa
menggunakan metode Certainty Factor atau Faktor Kepastian. Aplikasi
dikembangkan untuk menentukan jenis penyakit infeksi tropis yang diakibatkan
oleh infeksi cacing dengan memperhatikan gejala-gejala yang diderita pasien.
Dengan menggunakan metode CF didapatkan persentase tingkat keyakinan
terhadap penyakit yang diderita pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bakteri, Virus dan Jamur yang dapat menyebabkan Penyakit Tropis dan
Infeksi
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bakteri, Virus dan Jamur yang dapat menyebabkan Penyakit Tropis dan
Infeksi
Bakteri
1. Patogenisitas
2. Jumlah mikroorganisme
3. Daya tahan tubuh
1. Inhalasi
2. Ingesti
3. Sexsual transmission
4. Gigitan serangga atau hewan
5. Injeksi
Agen Infeksi membangun dan merusak jaringan infeksi dalam tiga cara:
1. Mereka dapat kontak atau memasuki sel inang dan langsung menyebabkan
kematian sel.
2. Mereka mungkin melepaskan racun (eksotoksin atau endotoksin) yang
merusak dan membunuh sel-sel, melepaskan enzim yang mendegradasi
komponen jaringan, merusak pembuluh darah, dan menyebabkan nekrosis
iskemik.
2
3. Mereka dapat menginduksi respon seluler host, yang meski ditujukan pada
penginvasi, menyebabkan bertambahnya kerusakan jaringan biasanya
dengan immunemediated mekanisme.
Perubahan patofisiologi :
1. Peradangan
2. Merah, panas, nyeri, edema, hilangnya fungsi
3. Demam (banyak mikroorganisme tidak dapat bertahan di suatu lingkungan
panas)
4. Leucosytosis (neu, eos, baso, lymp, mono)
5. Peradangan kronis
6. ESR
7. Stained smear
3
b. IMPETIGO
b. TUBERKULOSIS
Penyakit infeksi pada jaringan tubuh (paru dan ekstra paru) yang bersifat
kronik dan dapat menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
c. KOLERA
Peningkatan jumlah garam Kolera adalah suatu infeksi usus kecil yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio cholera
4
d. DEMAM TYPHOID
Virus
Virus adalah organisme yang berukuran lebih kecil dari bakteri. Virus terdiri
atas sepotong materi genetik yang dilapisi oleh cangkang protein. Beberapa jenis
virus bahkan memiliki pelindung di permukaan tubuhnya.
Virus bersifat parasit dan membutuhkan sel inang untuk hidup. Setelah
memasuki sel inang, virus akan mulai bereproduksi sehingga dapat menyebabkan
sel inang mati.
1. COVID-19
2. Influenza
3. Campak
4. Rubella
5. Cacar air
6. Polio
7. Human immunodeficiency virus (HIV)
8. Human papillomavirus (HPV)
9. Hepatitis
10. Demam berdarah
11. Rabies
12. Meningitis
13. Ebola
5
Jamur
6
Pneumonia adalah inflasi parenkim paru, biasanya berhubungan dengan
pengisian cairan di dalam alveoli. Hal ini terjadi ini terjadi akibat adanya invaksi
agen atau infeksius adalah adanya kondisi yang mengganggu ketahanan saluran.
Dengan demikian flora endogen menjadi pathogen ketika masuki saluran
pernafasan.
Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru di mana pulmonary
alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer
menjadi "inflame" dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat disebabkan oleh
beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteria, virus, jamur, atau parasit.
Pneumonia dapat juga disebabkan oleh iritasi kimia atau fisik dari paru-paru atau
sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu banyak
minum alkohol. Pasien yang rentan mengalami pneumonia antara lain peminum
alcohol, perokok, penderita diabetes, penderita gagal jantung, dan penderita
AIDS. Pada penderita pneuminiae, kantong udara paruparu penuh dengan nanah
dan cairan yang lainnya. Dengan demikian, fungsi paru-paru, yaitu menyerap
udara bersih (oksigen) dan mengeluarkan udara kotor menjadi terganggu.
Akibatnya, tubuh menderita kekurangan oksigen dengan segala konsekuensinya,
misalnya menjadi lebih mudah terinfeksi oleh bakteri lain (super infeksi) dan
sebagainya. Jika demikian keadaannya, tentu tambahsukar penyembuhannya.
Penyebab penyakit pada kondisi demikian sudah beraneka macam dan bisa terjadi
infeksi yang seluruh tubuh.
Patogenitas Virus (Corona)
Coronavirus atau Covid-19 termasuk dalam genus betacoronavirus, hasil
anasilis menunjukkan adanya kemiripan dengan SARS. Pada kasus Covid-19,
trenggiling diduga sebagai perantaranya karena genomnya mirip dengan
coronavirus pada kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV2 (91%).(10) Coronavirus
disease 2019 Covid-19 atau yang sebelumnya disebut SARS-CoV2. Covid-19
pada manusia menyerang saluran pernapasan khususnya pada sel yang melapisi
alveoli. Covid-19 mempunyai glikoprotein pada enveloped spike atau protein S.
Untuk dapat meninfeksi “manusia” protein S virus akan berikatan dengan reseptor
ACE2 pada plasma membrane sel tubuh manusia.Di dalam sel, virus ini akan
menduplikasi materi genetik dan protein yang dibutuhkan dan akan membentuk
7
virion baru di permukaan sel. Sama halnya SARS-CoV setelah masuk ke dalam
sel selanjutnya virus ini akan mengeluarkan genom RNA ke dalam sitoplasma dan
golgi sel kemudian akan ditranslasikan membentuk dua lipoprotein dan protein
struktural untuk dapat bereplikasi.
Faktor virus dengan respon imun menentukan keparahan dari infeksi Covid-19
ini. Efek sitopatik virus dan kemampuannya dalam mengalahkan respon imun
merupakan faktor keparahan infeksi virus. Sistem imun yang tidak adekuat dalam
merespon infeksi juga menentukan tingkat keparahan, di sisi lain respon imun
yang berlebihan juga ikut andil dalam kerusakan jaringan. Saat virus masuk ke
dalam sel selanjutnya antigen virus akan dipresentasikan ke Antigen Presentation
Cell (APC). Presentasi sel ke APC akan merespon sistem imun humoral dan
seluler yang dimediasi oleh sel T dan sel B. IgM dan IgG terbentuk dari sistem
imun humoral. Pada SARS-CoV IgM akan hilang pada hari ke 12 dan IgG akan
bertahan lebih lama. Virus dapat menghindar dari sistem imun dengan cara
menginduksi vesikel membran ganda yang tidak mempunyai pattern recognition
receptors (PRRs) dan dapat bereplikasi di dalam vesikel tersebut sehingga tidak
dapat dikenali oleh sel imun.
Pasien konfirmasi potitif Covid-19 dengan gejala klinis ringan menunjukkan
respon imun didapatkan peningkatan sel T terutama CD8 pada hari ke 7-9, selain
itu ditemukan T helper folikular dan Antibody Secreting Cells (ASCs). Pada hari
ke 7 hingga hari ke 20, ditemukan peningkatan IgM/IgG secara progresif. Jika
dibandingkan dengan kontrol sehat, jumlah monosit CD14+ dan CD16+
mengalami penurunan. Namun pada orang konfirmasi positif Covid-19 dengan
tanda dan gejala yang ringan tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin
proinflamasi. Pada pasien konfirmasi positif Covid19 dengan gejala klinis berat
memberikan hasil profil imunologi yang berbeda dengan klinis ringan. Pada kasus
klinis berat ditemukan hitung limfosit yang rendah, serta hasil monosit, basofil,
dan eosinofil lebih rendah pada pasien Covid-19 dengan klinis berat. Terdapat
pula peningkatan mediator proinflamasi (TNF-α, IL 1, IL6 dan IL 8) namun pada
sel T helper, T supresor dan T regulator mengalami penurunan pada kasus Covid-
19 klinis berat. Pasien Covid-19 yang mengalami Acute Distress Respiratory
Syndrome (ADRS) juga ditemukan sel T CD4 dan CD 8 mengalami penurunan,
8
limfosit CD 4 dan CD8 mengalami hiperaktivasi. ARDS merupakan salah satu
penyebab kematian pada kasus Covid-19 yang diakibatkan oleh peningkatan
mediator proinflamasi (badai sitokin) yang tidak terkontrol. Hal itu akan
mengakibatkan kerusakan paru terbentuknya jaringan fibrosis sehingga dapat
terjadinya kegagalan fungsi.
Patogenitas Jamur
Berbagai jenis jamur dapat menginfeksi manusia dan hidup dalam jaringan
ekstraselular maupun dalam fagosit. Kulit yang intak sangat efektif sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi jamur (kandidiasis, dermatofitosis), kulit yang
lesi memudahkan masuknya jamur. Asam lemak di kulit dapat menghambat
pertumbuhan dermatofit.
Jamur yang masuk kedalam tubuh akan mendapat tanggapan melalui respons
imun host. IgM dan IgG didalam sirkulasi diproduksi sebagai respons terhadap
infeksi jamur, tetapi peranan didalam proteksi tubuh masih belum diketahui.
Respons cell-mediated immune (CMI) adalah protektif karena dapat menekan
reaktivasi infeksi jamur asimptomatis dan mencegah terjadinya infeksi jamur
oportunistik. Respons imun yang terjadi terhadap infeksi jamur merupakan
kombinasi pola respons imun terhadap mikroorganisme ekstraselular dan respons
imun intraselular fakultatif. Respons imun selular merupakan mediator utama
perlawanan terhadap infeksi jamur Sel T CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk
mengeliminer jamur Dari subset sel T CD4+, respons sel Thi merupakan respons
protektif, sedangkan respons sel Th2 merugikan host. Oleh karena itu inflamasi
granulomatosa sering merupakan penyebab kerusakan jaringan pada host yang
terinfeksi jamur intraselular
9
penyakit jamur tertentu seperti aspergilosis dan sporotrichosis.Jamur tidak
memiliki endotoksin pada dinding sel dan tidak memiliki produk bakterial seperti
eksotoksin.
10
a. Sel Darah Putih/ Leukosit
Pengukuran leukosit total dan diferensiasi biasa digunakan pada pasien
infeksi, neoplasma, alergi, atau imunosupresi. Hitung leukosit terdiri atas 2
komponen, yaitu total sel dalam 1 mm3 darah vena perifer dan hitung jenis
(dierential count). Sebanyak 75-90% total leukosit terdiri dari limfosit dan
neutrofil. Peningkatan leukosit total (leukositosis) mengindikasikan adanya
infeksi, inflamasi, nekrosis jaringan, atau neoplasia leukemik. Selain itu,
trauma dan stres, baik emosional maupun fisik, dapat meningkatkan nilai
leukosit. Pada keadaan infeksi, khususnya sepsis, nilai leukosit biasanya akan
sangat tinggi. Fenomena ini disebut sebagai reaksi leukemoid dan akan
membaik dengan cepat apabila infeksi berhasil ditangani.
Lima tipe leukosit dapat dibedakan melalui pemeriksaan darah samar.
Sel-sel ini adalah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil.
b. Reaktan Fase Akut (Acute Phase Reactant)
Terdapat berbagai kelompok protein pada reaksi fase akut, antara lain
erythrocyte sedimentation rate (ESR)/ laju endap darah (LED), C-reactive
protein (CRP), procalcitonin (PCT), fibrinogen, ferritin, serum amiloid
protein A, alfa-1 antikemotripsin, alfa1 antitripsin, haptoglobulin, alfa-a asam
glukoprotein, seruloplasmin, dan C3,C4. Parameter laboratorium reaktan fase
akut yang lazim diperiksa, yaitu LED, CRP, dan PCT
c. Laju Endap Darah (LED)
Pemeriksaan laju endap darah (LED) atau erythrocyte sedimentation rate
(ESR) tidak dapat menentukan diagnosis klinis, tetapi sering dilakukan
karena biayanya terjangkau dan dapat menilai respons terhadap terapi. Hal
yang menentukan LED adalah pembentukan rouleaux berupa agregasi
eritrosit. Agregasi eritrosit ditentukan dari dorongan elektrostatiknya.
Eritrosit normal mempunyai dorongan negatif dan saling menolak. Namun,
beberapa protein plasma mempunyai dorongan positif dan menetralisir
membran eritrosit, sehingga mengurangi daya tolak dan menyebabkan
agregasi.
d. C-Reactive Protein (CRP)
11
CRP adalah sebuah reaktan fase akut yang disintesis di hati terhadap
respons dari sitokin IL-1 dan IL-6.11 Istilah CRP digunakan karena reaksi
terhadap dinding sel C-polisakarida pneumokokal. Kadar CRP mulai
meningkat beberapa jam setelah inflamasi dan akan mencapai puncaknya
pada 2-3 hari. Semakin besar stimulusnya, maka akan semakin tinggi dan
lama kadar CRP akan bertahan. Setelah stimulus inflamasi dihilangkan, nilai
CRP akan turun dengan cepat.9 CRP bekerja dengan cara berikatan langsung
pada mikroorganisme sebagai opsonin untuk komplemen, mengaktivasi
neutrofil dan menginhibisi agregasi trombosit. CRP juga berperan untuk
membersihkan jaringan nekrotik dan mengaktivasi natural killer cell.
e. Procalcitonin
Procalcitonin (PCT) adalah prehormon dari calcitonin, yang normalnya
disekresikan oleh sel C kelenjar tiroid sebagai respons terhadap
hiperkalsemia. Mekanisme produksi PCT terhadap respons inflamasi dan
fungsinya masih belum diketahui, namun diduga procalcitonin dihasilkan
oleh hati, sel mononuklear periferal dan termasuk dalam sitokin yang
berhubungan dengan sepsis.
Procalcitonin dinilai sangat baik untuk mendeteksi adanya infeksi bakteri
berat (serious bacterial infection/SBI) seperti bakteremia, meningitis, infeksi
saluran kemih, atau pneumonia. Adapun nilai cut off yang diajukan adalah
sebesar 0,12 ng/mL di mana nilai di atas cut o dinyatakan sebagai abnormal.
Dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi viral, Simon, et al,
(2008) melalui metaanalisisnya menyebutkan sensitivitas penanda PCT
mencapai 92% dan spesifisitas 73%, hal ini lebih superior apabila
dibandingkan dengan sensitivitas penanda CRP setinggi 86% dan spesifisitas
yang tidak jauh berbeda, yaitu 70%. Adapun bias yang mungkin dapat terjadi
pada meta-analisis ini adalah kadar puncak plasma yang berbeda antara PCT
dengan CRP. Sekresi PCT dimulai pada 4 jam pascastimulasi dan memuncak
pada 8 jam, sedangkan sekresi CRP dimulai pada 4 – 6 jam pasca-stimulasi
dan memuncak dalam 36 jam. Dalam metaanalisis tersebut tidak disebutkan
apakah waktu pemeriksaan telah disesuaikan dengan masa kadar puncak
plasma masing-masing penanda. Setelah perhitungan likelihood ratio (LR)
12
kedua penanda, peneliti menyimpulkan bahwa akurasi penanda PCT lebih
baik dibandingkan CRP. Selain itu, PCT dinilai lebih unggul dalam kecepatan
diagnosa dini, yaitu pada 8 jam pertama demam PCT sudah dapat digunakan
untuk mengidentifikasi adanya infeksi bakterial.
f. Composite Bacterial Infection Index
Sebuah penelitian dengan desain kasuskontrol oleh Kossiva, et al, (2014)
mengajukan suatu indeks yang dinamakan Composite Bacterial Infection
Index (CBII). Tujuan dari indeks ini adalah untuk membedakan demam yang
disebabkan oleh infeksi virus dengan infeksi bakterial menggunakan
parameter laboratorium yang lazim digunakan di instalasi gawat darurat
(IGD). Indeks ini dirumuskan dengan rasio jumlah neutrofil (N) dengan
jumlah limfosit (L) dan monosit (M), yang dikali dengan kadar CRP dan
LED, sehingga didapatkan rumus:
N/L+MxCRPxLED=CBII
Keterangan: N = jumlah neutrofil dalam persen L = jumlah limfosit dalam
persen M = jumlah monosit dalam persen CRP = kadar C-reactive protein
darah dalam satuan mg/dL LED = laju endap darah dalam satuan mm/jam.
Adapun dasar penggunaan rumus di atas adalah jumlah neutrofil, CRP,
dan LED dikaitkan dengan adanya infeksi bakterial, sedangkan jumlah
limfosit dan monosit dikaitkan dengan infeksi viral (non-bakterial). Nilai cut
o untuk CBII yang diajukan adalah 32,45 dengan hasil sensitivitas 85% dan
spesifisitas 91%.
Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur,yaitu:
13
berpindahnya mikroba patogen dari sumber penularan (reservoir) ke pejamu
dengan / tanpa media perantara. Jadi, kunci untuk mencegah atau mengendalikan
penyakit infeksi adalah dengan mengeliminasi mikroba patogen yang bersumber
pada reservoir serta mengamati mekanisme transmisinya, khususnya yang
menggunakan media perantara.10 Sumber-sumber penularan atau reservoir yang
telah diketahui adalah orang (penderita), hewan, serangga (arthropoda) seperti
lalat, nyamuk, kecoa, yang sekaligus dapat berfungsi sebagai media perantara.
Contoh lain adalah sampah, limbah, ekskreta / sekreta dari penderita, sisa
makanan, dan lain–lain. Apabila perilaku hidup sehat sudah menjadi budaya dan
dipraktekkan dalam kehidupan sehari–hari, serta sanitasi lingkungan yang sudah
terjamin diharapkan kejadian penularan penyakit infeksi dapat ditekan serendah
mungkin.
14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat
sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara bertahan hidup
dengan berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari
reservoir lainnya yang baru dengan cara menyebar atau berpindah. Penyebaran
mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang dalam
kondisi sehat, lebih-lebih bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit.
Orang yang sehat akan menjadi sakit dan orang yang sedang sakit serta sedang
dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit akan memperoleh “tambahan
beban penderita” dari penyebaran mikroba patogen ini.
3.2 Saran
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah penyakit tropis
dan infeksi dengan merubah pola hidup menjadi dasar pencegahan. Prinsip utama
dalam menangani infeksi adalah menghindari pencetusnya, Jadi, perhatikan
faktor lingkungan di sekitarnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
16