Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH MIKOLOGI

“INFEKSI JAMUR OPORTUNISTIK”

Disusun Oleh :

Wahyu Muyasyaroh
20180662085
4-B

PRODI D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
T.A. 2019 / 2020

1|Page
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Infeksi Jamur
Oportunistik” ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Bu Anin selaku Tim Dosen Pengajar
mata kuliah Mikologi Prodi D-III Teknologi Laboratorium Medik, Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Surabaya, yang telah membantu membimbing saya dalam
menulis makalah ini. Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan tugas
mata kuliah Mikologi.
Saya berharap semoga makalah yang telah disusun ini dapat berguna dan bermanfaat
dalam menambah pengetahuan bagi para pembaca. Serta, diharapkan agar makalah ini dapat
membantu pembaca dalam memberi edukasi tentang berbagai infeksi yang disebabkan oleh
jamur oportunistik.
Selain itu, saya selaku penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas kekurangan yang ada pada
makalah ini. Saya juga meminta kritik dan saran dari para pembaca agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Surabaya, 18 Juni 2020

Penyusun

2|Page
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Depan .................................................................................................... 1


Kata Pengantar ................................................................................................................... 2
Daftar Isi .............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................4
1.1.
Latar Belakang .................................................................................................... 4
1.2.
Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
1.3.
Tujuan .................................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................................6


2.1. Definisi ………………………………………………......................................... 6

2.2. Epidemiologi ……………………………………………………........................7

2.3. Macam-Macam Infeksi Jamur Oportunistik ……………………………....... 8

2.3.1. Kandidiasis ………………………………………………………………8

2.3.2. Pneumocystis jirovecii Pneumonia ……………………………………. 15

2.3.3. Cryptococcosis ………………………………………………………….. 19

2.3.4. Aspergillosis …………………………………………………………….. 24

2.4. Gambar Infeksi Jamur Oportunistik ………………………………………... 30

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan ..........................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 34

3|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari sering kita menjumpai jamur. Jamur adalah nama regnum
dari sekelompok besar makhluk hidup eukariotik heterotroph yang mencerna makanannya di
luar tubuh lalu menyerap molekul nutrisi ke dalam sel-sel nya. Jamur memiliki bermacam-
macam bentuk. Umumnya jamur berukuran mikroskopis, oleh karena itu studi tentang jamur
ini baru dimulai setelah penemuan mikroskop oleh Van Leeuwenhok pada abad ke 17.
Banyak jamur yang menimbulkan penyakit pada makhluk hidup lainnya. Seperti gatal-
gatal pada kulit, kerusakan dermis pada manusia serta penyakit yang dapat menimbulkan
kematian pada hewan maupun tanaman. Selain itu jamur juga menyebabkan pembusukan
bahan pangan dengan cara merusak jaringan dan akhirnya merusak makanan tersebut. Selain
menghancurkan jaringan tanaman secara langsung, beberapa patogen tanaman merusak
tanaman dengan menghasilkan racun kuat. Jamur juga bertanggung jawab untuk pembusukan
makanan. Walaupun terdapat jamur yang menguntungkan.
Dilihat dari realita yang telah kita kenal ada berbagai jenis spesies ragi dan jamur.
Tetapi hanya ada sekitar 1000 yang menyebabkan penyakit pada manusia atau hewan (yang
lain banyak menyebabkan penyakit pada tumbuhan). Hanya dermatofita dan spesies candida
yang sering ditularkan dari satu orang ke orang lainnya.
Untuk lebih mudahnya, infeksi mikotik manusia dikelompokkan dalam infeksi jamur
superficial, kutan, subkutan dan profunda (sistematik). Infeksi-infeksi jamur superficial,
kutan atau subkutan pada kulit, rambut dan kuku dapat menjadi kronis dan resisten terhadap
pengobatan tetapi jarang mempengaruhi kesehatan umum si penderita. Mikosis profunda
disebabkan oleh jamur patogenik atau jamur oportunistik yang menginfeksi penderita dengan
gangguan imunologi. Mikosis profunda dapat menimbulkan gangguan sistematik yang
kadang-kadang fatal. Aktinomisetes bukan merupakan jamur, tetapi bakteri filamentosa yang
bercabang. Namun, organisme ini menimbulkan penyakit yang gambarannya menyerupai
infeksi jamur. Untuk mengatasi infeksi jamur ini, sistem imun melakukan mekanisme
pertahanan. Namun, sistem pertahanan tubuh tidak selalu berhasil melawan infeksi jamur
tersebut.

4|Page
1.2. Rumusan Masalah
a. Jelaskan definisi dari infeksi jamur oportunistik!
b. Sebutkan dan jelaskan macam-macam infeksi jamur oportunistik!
c. Sebutkan klasifikasi dari jamur tersebut!
d. Jelaskan epidemiologi dari infeksi jamur oportunistik tersebut!
e. Jelaskan penyebab dari infeksi jamur oportunistik tersebut!
f. Jelaskan patogenitas dari infeksi jamur oportunistik tersebut!
g. Jelaskan diagnosis dari infeksi jamur oportunistik tersebut!
h. Jelaskan pengobatan dari infeksi jamur oportunistik tersebut!
i. Jelaskan pencegahan dari infeksi jamur oportunistik tersebut!

1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui definisi dari infeksi jamur oportunistik.
b. Untuk mengetahui macam-macam infeksi jamur oportunistik.
c. Untuk mengetahui klasifikasi dari jamur tersebut.
d. Untuk mengetahui epidemiologi dari infeksi jamur oportunistik tersebut.
e. Untuk mengetahui penyebab dari infeksi jamur oportunistik tersebut.
f. Untuk mengetahui patogenitas dari infeksi jamur oportunistik tersebut.
g. Untuk mengetahui diagnosis dari infeksi jamur oportunistik tersebut.
h. Untuk mengetahui pengobatan dari infeksi jamur oportunistik tersebut.
i. Untuk mengetahui pencegahan dari infeksi jamur oportunistik tersebut.

5|Page
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat invasif
namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada orang yang
terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan ole patogen yang berasal dari luar tubuh
(seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa) maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh
manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh system imun (seperti flora normal
usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan bagi patogen
tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit.

Centers for Disease Control (CDC) mendefinisikan Infeksi Oportunistik (IO) sebagai
infeksi yang didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan imunosupresi pada
penderita HIV. Infeksi oportunistik yang digolongkan CDC sebagai penyakit terkait AIDS
(AIDS-defining illness) adalah kriptosporidiosis intestinal (diare kronis >1 bulan);
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP); strongiloidosis selain pada gastrointestinal (GI);
toksoplasmosis dan CMV selain pada hati, limfa dan kelenjar getah bening (KGB);
kandidiasis esofagus, bronkus atau paru; kriptokokosis sistem saraf pusat (SSP) atau
diseminata; Mycobacterium avium dan M. kansasii selain pada paru dan KGB; virus herpes
simpleks mukokutaneus kronis, paru dan GI; progressive multifocal leucoencephalopathy
(PML); sarkoma Kaposi pada usia <60 tahun; limfoma otak; histoplasmosis diseminata;
isosporiasis intestinal; limfoma non Hodgkin; pneumonitis interstitial limfoid dan bakteri
piogenik multipel pada usia <13 tahun; kokidioidomikosis; ensefalopati HIV; Mycobacterium
tuberculosis; wasting syndrome; bakteremia Salmonella; pneumonia bakteri rekuren; serta
kanker serviks invasif.

Jamur oportunistik adalah jamur yang biasanya tidak menimbulkan penyakit tetapi
dapat menyebabkan penyakit pada orang yang mekanisme pertahanannya terganggu.
Organisme oportunistik artinya dalam keadaan normal sifatnya non pathogen tetapi dapat
berubah menjadi pathogen bila keadaan tubuh melemah, dimana mekanisme pertahanan
tubuh terganggu.

6|Page
Infeksi jamur oportunistik ternyata lebih sering terjadi dibandingkan infeksi jamur
pathogen sistemik. Infeksi ini umumnya terjadi pada penderita defisiensi sistem pertahann
tubuh atau pasien-pasien dengan keadaan umum yang lemah. Resistensi alamiah terhadap
banyak jamur patogen tergantung pada fagosit. Meskipun dapat terjadi pembunuhan
intraselular, jamur banyak diserang ekstraselular oleh karena ukurannya yang besar. Neutrofil
merupakan sel terefektif, terutama terhadap candida dan aspergillus. Jamur juga merangsang
produksi sitokin seperti IL-1 dan TNF-α yang meningkatkan ekspresi molekul adesi di
endotel setempat yang meningkatkan infiltrasi neutrofil ke tempat infeksi. Neutrofil
membunuh jamur yang oksigen dependen dan oksigen independen yang toksik.

Makrofag alveolar berperansebagai sel dalam pertahanan pertam terhadap spora jamur
yang terhirup. Aspergillus biasanya mudah dihancurkan oleh makrofag alveolar, tetapi
Koksidioides Imunitis dan Histoplasma kapsulatum dapat ditemukan pada orang normal dan
resisten terhadap makrofag. Dalam hal ini makrofag masih dapat menunjukkan perannya
melalui aktivasi sel Th1 untuk membentuk granuloma. Sel NK juga dapat melawan jamur
melalui pelepasan granul yang mengandung sitolisin. Sel NK juga dapat membunuh secara
langsung bila dirangsang oleh bahan asal jamur yang memacu makrofag memproduksi
sitokin seperti TNF dan IFN- γ yang mengaktifasi sel NK.

2.2. Epidemiologi
Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan penyebab kematian pasien
dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu diperhatikan dalam evaluasi pasien dengan
HIV/AIDS. Sejak ditemukannya kemoprofilaksis dan kombinasi ART yang efektif, angka
kematian akibat IO menurun drastis walaupun tetap masih menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV. The Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat penyakit terkait AIDS
sepanjang tahun 2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5 kematian) diakibatkan oleh
tuberkulosis. Angka ini telah menurun sebesar 42% dibandingkan puncaknya pada tahun
2004.
Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah. Infeksi yang sering
dijumpai di Amerika dan Eropa antara lain Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP),
meningitis Kriptokokal, Cytomegalovirus (CMV) dan Toksoplasmosis, sedangkan di negara
berkembang seperti Asia Tenggara, TB menjadi IO yang tersering. Beberapa penelitian di

7|Page
India mendapatkan bahwa secara umum kandidiasis orofaringeal, TB dan diare oleh
kriptosporidia merupakan IO yang tersering. Hal yang serupa juga didapatkan di Indonesia.
Laporan Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987 sampai
dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare kronis dan kandidiasis
orofaringeal. Data mengenai profil IO di Bali masih sedikit, terdapat satu penelitian di
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada tahun 2014 yang mendapatkan IO
tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis oral, IO multipel dan pneumonia.

2.3. Macam-Macam Infeksi Jamur Oportunistik

2.3.1. Kandidiasis
A. Definisi
Jamur Candida albicans merupakan bagian dari flora normal dan dapat bersifat
patogen invasif. Infeksi C. albicans adalah infeksi jamur opportunistik yang paling
umum. Infeksi ini dapat bervariasi dari infeksi membran mukosa superficial sampai
penyakit invasif seperti candidiasis hepatosplenic dan candidiasis sistemik. Infeksi yang
berat biasanya dikaitkan dengan keadaan immunocompromised termasuk keganasan,
disfungsi organ, atau terapi imunosupresif. Pasien dengan defisiensi imunitas sel T
seperti infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) juga rentan terhadap infeksi C.
albicans yang dikenal dengan candidiasis oropharingeal.
Kemajuan dalam teknologi kedokteran, kemoterapi, terapi kanker, dan
transplantasi organ bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dari
penyakit yang mengancam jiwa. Tetapi pasien-pasien dengan perawatan ICU
(Intensive Care Unit) medis dan bedah menjadi target utama untuk infeksi jamur
opportunistik nosokomial, terutama karena spesies Candida. Isolat Candida positif
dapat diperoleh dengan mudah dari berbagai struktur anatomi. Daerah yang berisiko
tinggi untuk infeksi Candida antara ICU neonatus, pediatrik, dan dewasa, baik medis
maupun bedah.
Infeksi C. albicans dapat juga terjadi di rongga mulut yang dikenal dengan oral
candidiasis. Beberapa penemuan diklinis yang berkaitan denngan infeksi C. albicans
antara lain; pseudomembran candidiasis, erythematous candidiasis, candidal
leukoplakia, denture stomatitis, angular cheilitis, median rhomboid glositis dan oral
candidiasis yang terkait HIV. Daerah di rongga mulut yang paling sering terlibat adalah

8|Page
lidah, palatum, dan mukosa bukal. Jamur C. albicans dapat menyebabkan penyakit
infeksi candidiasis dan membanjiri sistem pertahanan host karena memiliki beberapa
faktor virulen yang terlibat dalam patogesisnya. Memahami peran faktor virulensi C.
albicans penting untuk pengembangan pengobatan infeksi candida yang lebih efektif
dengan adanya peningkatan resistensi terhadap obat antijamur. Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk menelaah peran faktor virulen pada pathogenesis infeksi C.
albicans.

B. Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Saccharomycotina
Class : Saccharomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans

C. Epidemiologi
Sebuah studi epidemologi menemukan bahwa sebanyak 7.1% bayi ditumbuhi
oleh kandida pada saat awal kehidupannya. Kecepatan kolonisasi kandida meningkat
sampai dengan 96% setelah umur bayi satu bulan. Sedangkan pada orang dewasa,
kandida paling banyak membentuk koloni pada saluran pencernaan, yaitu di orofaring
sebanyak 50%, 20-25% terdapat di mukosa vagina, dan sebanyak 30% ditemukan pada
wanita hamil. Sumber proses infeksi tampaknya bersifat endogen tetapi ternyata
kandida juga bisa didapat dari lingkungan. Studi menyatakan bahwa rumah sakit dapat
menjadi salah satu sumber Kandida misalnya pada makanan, atap, pendingin ruangan,
lantai, alat respirator, dan personil rumah sakit itu sendiri (Kundu, Garg, 2012; Hay,
Asbee, 2010).
Sebuah penelitian menemukan bahwa angka prevalensi dari kejadian
kandidemia adalah 6.9 per 1.000 pasien ICU dan 7.5% dari pasien ICU tersebut
menerima terapi antijamur. Kandidemia meningkatkan mortalitas pasien sampai dengan
20-49% (Cornely, et al, 2012).

9|Page
D. Penyebab
Kandidiasis adalah penyakit infeksi primer atau sekunder yang disebabkan oleh
jamur genus kandida terutama Candida albicans. Selain C. albicans, genus kandida
meliputi lebih dari 200 spesies, misalnya C. tropicalis, C. dubliniensis, C. parapsilosis,
C. guilliermondii, C. krusei, C. pseudotropicalis, C. lusitaniae, C. zeylanoides dan C.
glabrata (dahulu dikenal dengan Torulopsis glabrata), adakalanya dapat menyebabkan
kandidiasis pada manusia, terutama pada infeksi diseminata (Hay, Asbee, 2010; Kundu,
Garg, 2012). Organisme tersebut dapat menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa,
saluran pencernaan, dan juga dapat menimbulkan penyakit sistemik (Kundu, Garg,
2012).
Genus kandida merupakan kelompok yang heterogen, terdapat hampir 200
spesies di dalamnya. Banyak spesiesnya bersifat patogen terhadap manusia dan
oportunistik, namun sebagian besar tidak menginfeksi manusia. Semua spesies dalam
genus kandida memiliki kemampuan untuk memproduksi pseudomiselia kecuali C.
Glabrata (Kundu, Garg, 2012; Hay, Asbee, 2010).
Candida albicans berbentuk oval, dengan ukuran 2-6 x 3-9 µm, dapat
memproduksi budding cells, pseudohifa dan hifa. Kemampuannya untuk berubah
menjadi beberapa bentuk morfologi secara stimultan dikenal sebagai polimorfisme.
Selain itu, C. albicans juga bersifat dimorfiks, yaitu kemampuan untuk tumbuh baik
dalam bentuk ragi maupun hifa dan sebanyak 70-80% merupakan penyebab dari
terjadinya semua infeksi kandida (Kundu, Garg, 2012; Treagan, 2011).

E. Patogenitas
Jamur C. albicans merupakan mikroorganisme endogen pada rongga mulut,
traktus gastrointestinal, traktus genitalia wanita dan kadang-kadang pada kulit. Secara
mikroskopis ciri-ciri C. albicans adalah yeast dimorfik yang dapat tmbuh sebagai sel
yeast, sel hifa atau pseudohyphae. C. albicans dapat ditemukan 40- 80 % pada manusia
normal, yang dapat sebagai mikroorganisme komensal atau pathogen.
Infeksi C. albicans pada umumnya merupakan infeksi opportunistik, dimana
penyebab infeksinya dari flora normal host atau dari mikroorganisme penghuni
sementara ketika host mengalami kondisi immunocompromised. Dua faktor penting
pada infeksi opportunistik adalah adanya paparan agent penyebab dan kesempatan

10 | P a g e
terjadinya infeksi. Faktor predisposisi meliputi penurunan imunitas yang diperantarai
oleh sel, perubahan membran mukosa dan kulit serta adanya benda asing.
Selain host mengalami kondisi immunocompromised, C. albicans juga
mengandung faktor virulensi yang dapat berkontribusi terhadap kemampuannya untuk
menyebabkan infeksi. Faktor virulensi utama meliputi; permukaan molekul yang
memungkinkan adheren organisme pada permukaan sel host, asam protease dan
fosfolipase yang terlibat dalam penetrasi dan kerusakan dinding sel, serta kemampuan
untuk berubah bentuk antara sel yeast dengan sel hifa.
Infeksi Candida dapat dikelompokkan menjadi tiga meliputi; candidiasis
superfisial, candidiasis mukokutan dan candidiasis sistemik. Infeksi candidiasis
superfisial dapat mengenai mukosa, kulit dan kuku. Candidiasis mukokutan melibatkan
kulit dan mukosa rongga mulut atau mukosa vagina. Pada candidiasis sistemik dapat
melibatkan traktus respirasi bawah dan traktus urinary dengan menyebabkan
candidaemia. Lokasi yang sering pada endokardium, meninges, tulang, ginjal dan mata.
Penyebaran penyakit yang tidak diterapi dapat berakibat fatal.

F. Diagnosis
 Pengumpulan Sampel
Diagnosis infeksi kandidiasis membutuhkan sampel yang dikumpulkan
dengan cara yang tepat. Dengan demikian sampel harus diambil dalam jumlah yang
cukup dan dari tepi daerah infeksi yang aktif. Untuk meningkatkan efikasi pemeriksaan
mikologi, sampel harus diambil sebelum diberikannya terapi antijamur topikal maupun
sistemik. Material sampel yang dapat digunakan untuk pemeriksaan kandidiasis bisa
berupa kuku, kulit dan membran mukosa (Habif, 1996; Dhar, 2008;).

 Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan elemen jamur merupakan suatu
kebutuhan dasar yang diperlukan para klinisi untuk memulai suatu pengobatan, seraya
menunggu hasil pemeriksaan kultur (Nugroho, 2013). Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang rutin dilakukan dalam menegakkan diagnosis kandidiasis. Tehnik ini
memiliki beberapa keuntungan seperti murah, sederhana, menggunakan peralatan
dalam jumlah yang minimal serta dapat dilakukan dengan cepat untuk mendapatkan
hasil yang diinginkan (Shenoy, 2008). Sensitivitas pemeriksaan mikroskopis Kalium

11 | P a g e
Hidrosida (KOH) bervariasi sekitar 50-60% (Abdulwahab, 1993; Hainer, 2003).
Terdapat penelitian lain yang menyebutkan bahwa sensitivitas pemeriksaan
mikroskopis berkisar antara 25-80% (Shenoy, 2008).
Weinberg dkk dalam penelitiannya menemukan sensitivitas dari pemeriksaan
KOH adalah sekitar 80% (Weinberg, 2003). Walaupun pemeriksaan mikroskopis dapat
membuktikan adanya infeksi jamur dalam beberapa menit, pemeriksaan ini tidak dapat
memberikan gambaran yang lebih spesifik atau untuk identifikasi profil dari agen yang
menginfeksi. Selain itu tehnik ini juga dapat memberikan hasil negatif palsu sehingga
kultur jamur harus dilakukan ketika infeksi kandidiasis dicurigai secara klinis
(Nugroho, 2013). Robert mengatakan bahwa pemeriksaan mikroskopis dapat
memberikan hasil negatif palsu sebesar 5-15% yang tergantung pada tingkat keahlian
pemeriksa ataupun kualitas sampel (Robert, 2008).
Sedangkan Shenoy dalam laporannya menyebutkan bahwa nilai negatif palsu
pemeriksaan mikroskopis adalah sekitar 30% (Shenoy, 2008). Tehnik ini dilakukan
dengan cara melakukan pemeriksaan sediaan bahan yang dicurigai terinfeksi
dermatofita dibawah mikroskop setelah sebelumnya sediaan dilarutkan dengan larutan
KOH 10-20%. Kalium hidroksida merupakan suatu larutan pembersih yang dapat
melarutkan protein lipid dan melisiskan epitel sehingga sediaan akan tampak lebih jelas
dan dapat dilakukan pembacaan dengan lebih mudah (Robert, 2008; Nugroho, 2013).
Elemen jamur akan bertahan terhadap larutan KOH karena adanya kitin dan
glikoprotein pada dinding sel. Pada awalnya sediaan diletakkan di atas sebuah gelas
objek serta ditetesi dengan larutan KOH 10-20% yang kemudian ditutup dengan cover
glass. Sebelum diperiksa dengan mikroskop, sediaan dipanaskan sebentar untuk
mempercepat terjadinya pelarutan protein lipid dan melisiskan epitel. Sediaan diperiksa
dengan mikroskop pembesaran rendah (lensa objektif 10 kali) dan bila elemen jamur
(pseudohifa) sudah terlihat, pembesaran dapat dinaikkan 20-40 kali (lensa objektif 40
kali) agar dapat dilakukan pemeriksaan secara lebih detail (Nugroho, 2013).

 Pemeriksaan Kultur
Dalam menegakkan suatu diagnosis kandidiasis, idealnya harus dilakukan
konfirmasi antara gejala klinis yang ditemukan dengan hasil kultur yang positif (Gupta,
2006). Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa walaupun pemeriksaa mikroskopis
dapat membuktikan adanya infeksi jamur dalam beberapa menit, pemeriksaan ini dapat
memberikan hasil negatif palsu dengan tingkat kesalahan yang beragam. Selain itu

12 | P a g e
pemeriksaan mikroskopis tidak dapat dilakukan untuk menunjukkan spesies ataupun
untuk identifikasi profil kepekaan agen infeksius (Shenoy, 2008). Saat ini terdapat
beberapa media biakan yang dapat digunakan, walaupun SDA merupakan medium
isolasi yang paling sering digunakan dan menjadi dasar bagi kebanyakan deskripsi
morfologi. Media biakan tersebut adalah CHROMagar candida (Nugroho, 2001).

G.Pengobatan
Pengobatan kandidiasis genitalis pada umumnya bersifat pengobatan secara
topikal. Pengobatan topical pada prinsipnya adalah aplikasi obat pada kulit dan selaput
lendir yang terkena dalam jangka waktu cukup lama untuk mengeliminasi fungus
penyebabnya. Di samping pengobatan topical perlu dicegah autoinfeksi dari
predisposisi misalnya diabetes melitus. Faktor kebersihan penderita seperti
menghindarkan pemakaian pakaian dalam dari bahan sintetik merupakan juga faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan (Irianto, 2014).

Beberapa jenis obat topikal dapat digunakan untuk pengobatan kandidiasis


genitalis. Pada umumnya obat – obatan tersebut termasuk golongan polien antimikotik:
nistatin, amfoterisin-B, dan natamisin, yang daya kerjanya terhadap dinding sel yaitu
menyebabkan perubahan permeabilitas membrane protoplasma terutama sel – sel ragi.
Golongan lain adalah golongan derivat imidazole: klotrinazol, mikonazol, dan ekonazol
(Irianto, 2014).

Kandidiasis selaput mulut dan bentuk kandidiasis mukokutan lain biasanya


ditangani dengan nistatin topikal, ketokonazol oral ataupun flukonazol. Kandidiasis
sistemik diobati dengan amfoterisin B, kadang-kadang bersamaan dengan flucytosine
oral, flukonazol, atau caspofungin. Pembersihan lesi kulit dipercepat dengan
menghilangkan faktor pendukung seperti kelembaban berlebihan atau obat antibakteri.
Kandidiasis mukokutaneous kronis merespons dengan baik ketokonazol oral dan azol
lainnya, namun pasien memiliki defek kekebalan seluler genetik dan sering
memerlukan pengobatan seumur hidup (Brooks et al., 2013).

13 | P a g e
H.Pencegahan
Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua manusia dikolonisasi
oleh organisme ini sehingga pencegahan paparan Kandida bukan merupakan langkah
yang akan berhasil untuk mengurangi insiden penyakit Kandida. Kandida yang resisten
flukonazol sering ditemukan pada tempat pelayanan kesehatan, sehingga perlu
penggunaan barrier pencegahan untuk mengurangi superinfeksi pada pasien.
Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk menurunkan frekuensi
kandidiasis namun pemberian jangka panjang berbiaya mahal, terkait dengan toksisitas
dan interaksi obat serta menyebabkan terbentuknya ragi yang resisten azol.4 Tambahan
pula, Kandida hampir tidak pernah menyebabkan penyakit invasif. Kandidiasis mukosal
dapat diterapi dengan segera pada sebagian besar kasus, sehingga sebagian besar klinisi
tidak merekomendasikan profilaksis primer untuk kandidiasis.

14 | P a g e
2.3.2. Pneumocystis Jirovecii Pneumonia
A. Definisi
Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) merupakan infeksi paru yang
disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, kini dikenal dengan nama Pneumocystis
jirovecii (P. jirovecii), sebagai penghormatan untuk ahli parasitologi berkebangsaan
Cechnya, Otto Jirovec. Pada tahun 1909 mikroorganisme ini pertama kali ditemukan
oleh Chagas kemudian pada tahun 1911 Carini dan Maciel menduga mikroorganisme
yang ditemukan pada paru marmot ini sebagai salah satu tahap dalam siklus hidup
Trypanosoma cruzi. Selanjutnya pada tahun 1942, Meer dan Brug menyatakan untuk
pertama kalinya bahwa mikroorganisme tersebut merupakan salah satu jenis parasit
patogen pada manusia. Kerjasama Vanek dengan Otto Jirovec pada tahun 1952,
menggambarkan siklus paru dan patologi penyakit ini yang kemudian dikenal sebagai
parasitic pneumonia atau pneumonia sel plasma interstisial (interstitial plasma cell
pneumonia) dan infeksinya disebut sebagai PjP. Pada tahun 1988, Edman dan Stringer
mengemukakan perbedaan genetik Pneumocystis manusia dan tikus urutan 18S rRNA
Pneumocystis manusia dan Pneumocystis tikus berbeda 5%. Beberapa fragmen gen
telah dianalisis dan diketahui bahwa urutan gen berbeda untuk setiap spesies pejamu.

B. Klasifikasi
Berdasarkan penelitian biologi molekuler, morfologi dan biokimia, P. jirovecii
yang sebelumnya dikenal sebagai Pneumocystis carinii f. sp. hominis dimasukkan ke
dalam golongan fungus (jamur) yang berhubungan erat dengan askomikota.

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Taphrinomycotina

Class : Pneumocystidomycetes

Order : Pneumocystidales

Family : Pneumocystidaceae

Genus : Pneumocystis

Species : P. jirovecii

15 | P a g e
C. Epidemiologi
Habitat Pneumocystis ditemukan secara luas di alam. Jamur ini dapat
menginfeksi berbagai hewan; yang paling berpotensi sebagai reservoir adalah hewan
pengerat. Sebelum epidemi AIDS pada awal 1980-an PjP jarang terjadi, biasanya
diderita oleh pasien malnutrisi protein atau penderita acute lymphocytic leukemia
(ALL) atau yang mendapat terapi kortikosteroid. Kini infeksi opurtunistik ini sering
dikaitkan dengan infeksi HIV.

D. Penyebab
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur Pneumocystis
jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan. Awalnya dikenal dengan sebutan
Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan untuk pneumosistis yang menginfeksi
binatang pengerat. Spesies yang menginfeksi manusia diberi nama Pneumocystis
jirovecii, walaupun untuk singkatannya masih digunakan istilah PCP seperti
sebelumnya.

E. Patogenitas
P. jirovecii tersebar di mana-mana sehingga hampir semua individu pernah
terpapar mikroorganisme ini. Transmisi mikroorganisme ini diduga dari orang ke
orang, melalui respiratory droplet infection dan kontak langsung dengan kista sebagai
bentuk infektif pada manusia. Singer, et al, (1975) melaporkan bahwa transmisi dapat
melalui in utero dari ibu ke bayi yang dikandungnya, dengan trofozoit sebagai bentuk
infektifnya. Masa inkubasi ekstrinsik diperkirakan 2030 hari dengan durasi serangan
selama 1-4 minggu. Mikroorganisme ini merupakan patogen ekstraseluler. Paru
merupakan tempat primer infeksi dan biasanya melibatkan dua bagian, paru kiri
ataupun kanan. P. jiroveci terdapat di dalam kapiler alveolus, septum intralveolus
intertisial, dan sel epitel. Dalam kondisi tertentu Pneumocystis dapat menyebar ke
berbagai lokasi ekstrapulmoner, yaitu di hati, limpa, kelenjar getah bening, dan sumsum
tulang.

16 | P a g e
F. Diagnosis
Secara umum diagnosis PjP dapat dilakukan melalui 2 cara, metode noninvasif
dan invasif. Pemeriksaan noninvasif dapat dengan radiologi dada, sedangkan secara
invasif dengan induksi sputum, bronkoskopi, biopsi torakoskopik, mikroskopik, dan
deteksi molekuler.
Pada pemeriksaan radiografi dada, terlihat gambaran khas infiltrat bilateral
simetris, mulai dari hilus ke perifer, dapat meliputi seluruh lapangan paru. Namun,
gambaran ini tidak spesifik P. jirovecii karena tidak berbeda dari infeksi jamur lain,
seperti Mycobacterium, dan infeksi bakteri lain.
Diagnostik molekuler yang sangat sensitif seperti PCR telah dipelajari secara
ekstensif untuk deteksi DNA spesifik P. jirovecii dari sampel klinis pasien dengan
indeks kecurigaan klinis PjP tinggi.

G.Pengobatan
Obat pilihan utama adalah kombinasi trimetropim 20 mg/kg BB/ hari +
sulfametaksazol 100 mg/kgBB/ hari per oral, dibagi 4 dosis dengan interval pemberian
tiap 6 jam selama 12 -14 hari. Obat alternatif lain namun lebih toksik adalah pentamidin
isethionat 4 mg/kgBB/ hari diberikan 1x/hari secara IM atau IV selama 12-14 hari.

H.Pencegahan
Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia, walaupun
mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan paparan dapat diupayakan dengan
mengisolasi pasien HIV yang rentan dari individu yang menderita PCP walaupun
keefektifannya belum diketahui.
Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan memperpanjang kelangsungan
hidup pada pasien HIV. Pasien dengan jumlah sel T CD4+ <200 sel/mm3 atau <14%,
serta pasien dengan riwayat PCP dan kandidiasis orofaringeal harus diberi
kemoprofilaksis PCP.
Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan agen profilaksis
pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainnya, dapat ditoleransi dengan baik
dan memiliki aktivitas profilaksis tambahan terhadap toksoplasma dan beberapa bakteri
termasuk Salmonella spp. dan Streptococcus pneumoniae. Pasien yang tidak dapat

17 | P a g e
mentoleransi TMP-SMX dan bila toksisitas tidak mengancam jiwa, seringkali dapat
dengan sukses melalui desensitisasi bertahap dengan rejimen oral.
Dapson 2x50 mg/hari PO atau dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50 mg/minggu
PO merupakan alternatif TMP-SMX yang memiliki keberhasilan tinggi. Pentamidin
aerosol 300 mg/bulan dan atovakuon 1.500 mg/hari PO juga dapat menjadi alternatif,
namun pentamidin memerlukan fasilitas khusus dan menginduksi batuk, sedangkan
atovakuon mahal dan absorpsinya tergantung makanan.
Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+ yang meningkat >200 sel/µL
paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit
T CD4+ selanjutnya turun di bawah kadar tersebut.
Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang
bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah
limfosit T CD4+ meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan.15 Profilaksis PCP harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200 sel/mm3 akibat
kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.

18 | P a g e
2.3.3. Cryptococcosis
A. Definisi
Kriptokokosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus
neoformans. Infeksi ini secara luas ditemukan di dunia dan umumnya dialami oleh
penderita dengan sistem imun yang rendah, seperti penderita human immunodeficiency
virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), pasien dengan pengobatan
kortikosteroid jangka panjang, transplantasi organ, dan keganasan limforetikuler.
Infeksi oleh Cryptococcus neoformans terutama menyebabkan meningitis dan
meningoensefalitis pada orang yang terinfeksi
HIV/AIDS didiagnosis sebagai kriptokokal meningitis. Lima sampai sepuluh
persen orang yang terinfeksi HIV menderita kriptokokosis, insidensi tahunan penyakit
ini adalah 0,4-1,3 kasus perseratus ribu orang pada populasi umum, 2-7 kasus perseribu
pasien AIDS, dan 0,3-5,3 kasus perseratus pasien yang menjalani transplantasi.
Kriptokokal meningitis adalah manifestasi klinis yang paling sering ditemukan
merupakan infeksi oportunistik kedua paling umum yang terkait dengan AIDS di
Afrika dan Asia Selatan dengan kejadian kriptokokosis 15%-30% ditemukan pada
pasien dengan AIDS. Tanpa pengobatan dengan antifungal yang spesifik, mortalitas
dilaporkan 100% dalam dua minggu setelah munculan klinis kriptokokosis dengan
meningoensefalitis pada populasi terinfeksi HIV.
Cryptococcus dikenal dengan istilah sleeping giant yang sekarang dibangunkan
oleh pandemi AIDS. Di Indonesia, sebelum pandemi AIDS kasus kriptokokosis jarang
dilaporkan. Sejak tahun 2004, seiring dengan pertambahan pasien terinfeksi HIV,
Departemen Parasitologi FKUI mencatat peningkatan insidensi kriptokokal meningitis
pada penderita AIDS yaitu sebesar 21,9%. Rumah Sakit Persahabatan Jakarta pada
tahun 2006 mendiagnosis dua kasus pasien dengan kriptokokosis paru. Di Bandung,
Akhmad tahun 2008 melaporkan 30% pasien AIDS dengan gangguan sistem saraf pusat
terbukti menderita meningitis Cryptococcus. Di Padang kasus penderita AIDS dengan
kriptokokosis yang dilaporkan adalah ditemukannya pertama kali satu kasus di
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas tahun 2007.

19 | P a g e
B. Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Kelas : Tremellomycetes
Ordo : Tremellales
Famili : Tremellaceae
Genus : Cryptococcus
Spesies : Cryptococcus neoformans

C. Epidemiologi
Kriptokokosis tidak hanya merupakan penyakit infeksi yang umumnya
berakibat fatal pada individu yang immunocompromised tetapi Cryptococcus juga
merupakan suatu patogen pada individu imunokompeten. Mortalitas pasien HIV terkait
meningitis yang disebabkan oleh Cryptococcus cukup tinggi yaitu sekitar 10%-30%.
Suatu analisis kohor pasien dengan infeksi HIV di Afrika menunjukkan persentase
kriptokokosis adalah 13%-44% dari semua penyebab kematian. Defek sistem imun
yang dimediasi oleh sel T (seperti penderita AIDS) merupakan faktor predisposisi pada
80%-90% pasien dengan infeksi Cryptococcus. Insidensi kriptokokosis juga meningkat
pada pasien dengan keganasan limforetikular (khususnya penyakit Hodgkin’s).

D. Penyebab
Kriptokokal meningitis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
berkapsul genus Cryptococcus yaitu Cryptococcus neoformans yang mengenai sistem
saraf pusat dengan gejala meningitis dan meningoensefalitis . Penyakit ini muncul
sebagai kasus sporadis yang tersebar di seluruh dunia, merupakan infeksi oportunistik
terutama terjadi pada individu immunocompromised (umumnya pada penderita
HIV/AIDS), tetapi kasus dapat juga terjadi pada individu yang imunokompeten.

E. Patogenitas
Infeksi berawal dari inhalasi sel ragi kecil atau basidiospora yang memicu
terjadinya kolonisasi pada saluran nafas dan kemudian diikuti oleh infeksi. Makrofag
pada paru-paru sangat penting dalam sistem kontrol terhadap inokulasi jamur.

20 | P a g e
Makrofag dan sel dendritik berperan penting dalam respons terhadap infeksi
Cryptococcus. Sel ini berperan dalam pengenalan terhadap jamur, dalam fagositosis,
presentasi antigen, dan aktivasi respons pada pejamu, serta meningkatkan efektivitas
opsonisasi fagositosis terhadap jamur. Pada sel dendritik reseptor mannose berperan
penting untuk pengenalan jamur dan presentasi antigen terhadap sel T, sel ini bereaksi
dengan C. neoformans dan mengekspresikannya ke limfosit kemudian bermigrasi ke
jaringan limfoid. Makrofag memberikan respons terhadap C. neoformans dengan
melepaskan sitokin proinflamasi yaitu IL-1. Sekresi IL-1 mengatur proliferasi dan
aktivasi limfosit T yang penting dalam memediasi pembersihan paru.
Imunitas yang dimediasi oleh sel memiliki peranan penting dalam pertahanan
terhadap Cryptococcus. Pada banyak kasus penyebaran kriptokokosis terjadi pada
keadaan defisiensi sel T CD4+ (HIV/AIDS), imunitas dihubungkan dengan respons sel
Th1 yang aktif menghancurkan C. neoformans. Sel CD4+ dan CD8+ berperan pada
jaringan yang terinfeksi. Limfosit T CD4+ dan CD8+ secara langsung menghambat
pertumbuhan jamur melalui perlekatan terhadap permukaan sel Cryptococcus.
Kurangnya atau tidak adanya respons imun yang baik untuk menginaktifkan dan
menghancurkan organisme yang masuk menyebabkan perluasan dan peningkatan
kerusakan sel/jaringan akibat infeksi.

F. Diagnosis
Pemeriksaan C. neoformans yang akan dibahas pada tinjauan ini adalah
pemeriksaan mikroskopis langsung menggunakan tinta India, deteksi antigen, metode
enzyme immunoassay, kultur, dan metode molekular.
1) Pemeriksaan Mikroskopis Langsung
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis langsung adalah
pewarnaan dengan tinta India dan dibaca dengan mikroskop cahaya, merupakan
pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kapsul sel jamur C. neoformans.

2) Deteksi Antigen C. neoformans dengan Aglutinasi Lateks


Prinsip Pemeriksaan Partikel lateks yang dilapisi dengan anticryptococcal globulin
reagent (ACGR) akan bereaksi dengan antigen cryptococcus dalam serum atau cairan
serebrospinal pasien. Apabila terdapat antigen cryptococcus dalam sampel yang
diperiksa maka akan terbentuk/terlihat aglutinasi.

21 | P a g e
3) Pemeriksaan Berdasarkan Metode Enzyme Immunoassay
Penelitian klinis menunjukkan bahwa enzyme immunoassay digunakan sebagai
metode pendukung untuk pengukuran antibodi IgG pada kriptokokosis. Literatur
menyatakan metode untuk mendeteksi antibodi Cryptococcus yang ada sekarang
kurang spesifik dan kurang sensitif. Tes aglutinasi tabung mendeteksi hanya 30%
pasien dengan Cryptococcus, immunofluorescence assay (IFA) mendeteksi kira-kira
38% kasus dengan Cryptococcus. Gabungan kedua pemeriksaan tersebut
direkomendasikan dengan kemampuan mendeteksi kira-kira 50% kasus kriptokokosis.

4) Kultur Cryptococcus
Diagnosis kriptokokosis dikonfirmasi dengan melakukan kultur organisme yang
merupakan baku emas dalam diagnosis laboratorium. Media yang paling umum
digunakan untuk kultur jamur adalah Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA). Sabouraud’s
Dextrose Agar digunakan untuk isolasi dan penanaman jamur.
 Kultur pada Sabouraud’s Dextrose Agar
Prinsip Pemeriksaan:
Sabouraud’s Dextrose Agar merupakan media yang mengandung pepton,
glukosa, dan dengan pH rendah yang optimal bagi jamur. Pepton merupakan
sumber nitrogen sedangkan glukosa merupakan sumber energi untuk
pertumbuhan jamur. Glukosa dalam konsentrasi tinggi memberikan suatu
keuntungan dalam pertumbuhan jamur.

 Kultur pada Birdseed (NIGER) Agar


Birdseed agar merupakan media selektif, media diferensial yang digunakan
untuk isolasi dan identifikasi C. neoformans dari jamur lainnya termasuk dari
spesies cryptococcus yang lain.
Prinsip pemeriksaan:
Cryptococcus neoformans mempunyai aktivitas phenoloksidase, terdapat di
dalam dinding sel yang mampu memetabolisme asam caffeic. Guizotia
abysinics seeds berfungsi sebagai substrat phenoloksidase. C. neoformans
menghasilkan enzim dalam substrat yang akan dikonversi menjadi melanin atau
pigmen seperti melanin menghasilkan warna coklat gelap, sedangkan jamur lain
menghasilkan sangat sedikit atau bahkan tidak menghasilkan enzim sehingga
tidak terjadi perubahan warna.

22 | P a g e
5) Metode Secara Molekular
Pendekatan diagnostik secara molekular yaitu deteksi DNA dengan amplifikasi
secara Polymerase chain reaction (PCR) dan amplifikasi hasil PCR dideteksi secara
elektroforesis.

G. Pengobatan
 Kombinasi Amphotericin B + flucytosine pengobatan pilihan
untuk meningitis pengobatan pilihan untuk meningitis kriptokokkosis.
Walaupun Amphotericin B dapat menyembuhkan sebagian besar pasien
menyembuhkan sebagian besar pasien meningitis kriptokokkosis, tetapi
penghentian Amphotericin B pada pasien AIDS dengan kriptokokkosis
akan menyebabkan kekambuhan.
 Flukonazol dapat memasuki cairan CSF dengan baik meningitis
kriptokokkosis.
 Ketokonazol tidak berguna untuk pasien dengan meningitis
kriptokokkosis.
 Pada pasien AIDS terapi supresif jangka panjang dengan
flukonazol oral.

H. Pencegahan
Pencegahan bisa dilakukan dengan pengurangan populasi burung merpati
dan dekontaminasi tempat burung bersarang dengan alkali.

23 | P a g e
2.3.4. Aspergillosis
A. Definisi
Aspergillosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Jamur Aspergillus.
Aspergillosis merupakan sebuah spectrum dari penyakit manusia dan binatang yang
disebabkan oleh anggota dari genus Aspergillus. Ini termasuk
(1) Mikotoksikosis karena menelan makanan yang terkontaminasi.
(2) Alergi dan sekuele terhadap keberadaan konidia atau pertumbuhan sementara dari
organisme pada lubang-lubang tubuh.
(3) Kolonisasi tanpa perluasan pada akvitas yang belum terbentuk dan jaringan yang
rusak (invasive).
(4) Peradangan, granulomatosa, penyakit “narcotizing” pada paru, dan organ-organ
lain dan jarang sekali.
(5) Sistemik dan penyakit diseminata yang mematikan. Jenis penyakit dan beratnya
bergantung pada status fisiologi dari hospes dan spesies Aspergillus yang terlibat.
Agen penyebab bersifat kosmopolitan dan diantaranya Aspergillus fumigatus,
Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus nidulans dan Aspergillus terreus.

B. Klasifikasi
Berikut taksonomi Aspergillus fumigatus:
Superkingdom : Eukariot
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Subfilum : Pezizomycotiana
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Eurotiales
Family : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus fumigatus (Mehrotra and Aneja, 1990)

C. Epidemiologi
Istilah aspergillosis digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh genus
Aspergillus. Lebih dari 300 spesies telah diidentifikasi sebagai penyebab penyakit ini,
tetapi lebih dari 90% Aspergillosis disebabkan Aspergillus fumigatus, jenis ini juga

24 | P a g e
banyak didapatkan pada penderita TB. Spesies lain yang dapat menyebabkan penyakit
adalah A. niger, A. terreus, A. flavus, dan A. Nidulans.
Aspergillus memiliki habitat di tanah dan banyak ditemukan pada debu dan
bahan organik yang telah membusuk. Jamur ini memiliki siklus biologis yang
sederhana ditandai dengan kapasitas sporulasi tinggi, yang menyebabkan pelepasan
konidia ke atmosfer dengan konsentrasi tinggi (1–100 konidia/m3). Hal tersebut
menyebabkan spora Aspergillus sering didapatkan di udara bebas. Bentukan spora
Aspergillus yang berada di udara bebas disebut konidia. Konidia Aspergillus memiliki
diameter yang cukup kecil (2–3 μm) untuk mencapai alveoli.
Manusia menghirup ratusan konidia setiap harinya. Host yang
immunocompetent mampu menghancurkan konidia dengan sistem imun paru. Penyakit
yang disebabkan oleh infeksi Aspergillus ini terjadi saat respons host terlalu kuat atau
terlalu lemah terhadap antigen aspergillus. Pada host yang immunocompromised, A.
fumigatus menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang besar. Terdapat 2 kelompok
penderita yang berisiko berkembang menjadi infeksi jamur saprofit ini, antara lain :
1. Penderita yang mengalami gangguan kekebalan tubuh
a. Kongenital, merupakan sindrom defisiensi imun.
b. Acquired, diantaranya penerima transplantasi organ yang menerima terapi
imunosupresif, pasien kanker yang menjalani kemoterapi atau radioterapi,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang, DM serta pasien yang mengalami
perawatan ICU yang lama.
2. Penderita yang memiliki penyakit kronis atau destroyed lung, pada kondisi
ini terdapat kerusakan mekanisme pertahanan lokal bronkopulmoner.

D. Penyebab
Aspergillosis merupakan infeksi opurtunistik, paling sering terjadi pada paru-
paru, dan disebabkan oleh spesies Aspergillus yaitu Aspergillus fumigatus, jamur yang
terutama ditemukan pada pupuk kandang dan humus. Spora spesies ini dapat diisap
masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan infeksi kronik atau aspergillosis
diseminata, jika terjadi infeksi paru invasif oleh Aspergillus. Bronkopulmonari
aspergillus alergik dapat terjadi pada orang yang alergi terhadap Aspergillus. Pasien
yang mengalami bronkopulmonari aspergillosis alergik mengalami asma dan diobati
dengan prednisolon untuk mengobati bunyi nafas mengi, dan antijamur (mis,

25 | P a g e
itrakonazol dan amfoterizin) untuk mengobati infeksi. Bentuk yang paling umum
adalah alergi bronchopulmonary aspergillosis, pulmonary aspergilloma dan invasif
aspergillosis. Kebanyakan manusia menghirup spora Aspergillus setiap hari, namun
aspergillosis umumnya hanya berkembang pada individu yang immunocompromised
(imun rendah), kebanyakan jenis jamur Aspergillus yang paling umum menyerang
adalah Aspergillus fumigatus berbentuk bola yang mengisi kavitas. Terjadi reaksi
imunologis terhadap proses ini. Pada umumnya terdapat antibody pemicu (IgG) dan
pada 50% kasus disertai hasil tes kulit positif terhadap Aspergillus spp.

E. Patogenitas
Menurut Sulathia (2014) dan Annaissie, et al., (2009) ada empat jenis utama
dari aspergillosis:
a. Alergi bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) adalah bentuk paling
ringan dari aspergillosis dan biasanya mempengaruhi orang-orang dengan asma atau
fibrosis kistik (kondisi warisan di mana paru-paru bisa terpasang dengan lendir).
Kondisi ini biasanya sebagai akibat dari reaksi tubuh terhadap aspergillus.
b. Aspergilloma adalah tempat jamur memasuki paru-paru dan kelompok
bersama untuk membentuk simpul padat jamur, yang disebut bola jamur. Aspergilloma
adalah kondisi jinak yang mungkin pada awalnya tidak menimbulkan gejala, tapi
seiring, waktu kondisi yang mendasarinya dapat memburuk dan mungkin
menyebabkan: Batuk darah (hemoptitis), Mengi, Sesak napas, Penurunan berat badan,
Kelelahan.
c. Kronis necrotizing asper-gillosis (CNA) adalah penyebaran, infeksi kronis
lambat paru-paru. Hal ini biasanya hanya mempengaruhi orang-orang dengan kondisi
paruparu yang sudah ada, atau orangorang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
lemah.
d. Aspergillosis paru invasif (IPA) adalah infeksi umum pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang lemah karena sakit atau mengambil imunosupresan. Ini
adalah bentuk paling serius dari aspergillosis yang dimulai di paru-paru yang
kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh. Kurniadi (2012) dan Lee, et al.,
(2004. membedakan aspergillosis menjadi tiga yaitu :

26 | P a g e
a) Aspergillosis invasif Sinusitis

Sinusitis yang tidak responsive terhadap terapi pada pasien polip nasi seringkali
ditemukan disebabkan oleh Aspergillus spp., dan bisa disertai ABPA. Histologi dan
imunologinya sangat mirip dengan ABPA. Bentuk ”semi-invasif” yang terlihat pada
pasien yang mengalami penurunan daya tahan tubuh yang ringan, khususnya bagi
mereka yang memiliki riwayat penyakit paru. Diabetes mellitus, sarkoidosis dan terapi
dengan glukokortikoid dosis rendah dapat menjadi faktor predisposisi lain. Gejala yang
lazim termasuk demam, batuk dan produksi sputum; presipitasi serum antibodi positif
juga dapat dideteksi (Singh and Bhalodiya, 2005).

b) Aspergillosis Diseminata

Penyebaran hematogenik ke organ dalam lain dapat terjadi, terutama pada


pasien dengan penurunan daya tahan tubuh yang berat atau ketagihan obat intravena.
Abses dapat terjadi di otak (aspergillosis otak), ginjal (aspergillosis ginjal), jantung
(endokarditis, miokarditis), tulang (osteomielitis), saluran pencernaan. Lesi mata
(keratitis mikotik, endoftalmitis dan aspergilloma orbital) dapat juga terjadi, baik
sebagai hasil dari penyebaran atau setelah trauma setempat atau pembedahan.

c) Aspergillosis Kutaneus

Aspergillosis kutaneus adalah manifestasi yang jarang, biasanya merupakan


hasil penyebaran dari infeksi paru primer pada pasien yang mengalami penurunan daya
tahan tubuh. Meskipun demikian, kasus aspergillosis kutaneus primer juga terjadi,
biasanya sebagai hasil dari trauma atau kolonisasi. Lesi bermanifestasi sebagai papul
yang eritematosa atau makula dengan nekrosis sentral yang progresif.

F. Diagnosis
Mendiagnosis infeksi yang disebabkan oleh jamur aspergillus bisa sulit dan
tergantung pada jenis infeksi aspergillus. Aspergillus terkadang ditemukan dalam air
liur dan dahak orang sehat. Sulit untuk membedakan aspergillus dari jamur lainnya di
bawah mikroskop dan gejala infeksi biasanya mirip dengan kondisi seperti tuberkulosis.
Untuk mengkonfirmasi kondisi, dokter mungkin melakukan beberapa tes seperti :

27 | P a g e
1) Tes olah gambar : Rontgen dada atau CT scan dapat mengungkapkan massa
jamur (aspergilloma), serta tanda karakteristik invasif dan alergi aspergilosis
bronkopulmoner.
2) Tes sekresi pernapasan : Dalam tes ini, sampel dahak akan diwarnai dengan
zat pewarna dan diperiksa untuk mengidentifikasi adanya filamen aspergillus.
Spesimen ini kemudian ditempatkan dalam suatu tempat yang mendorong pertumbuhan
jamur untuk membantu memastikan diagnosa.
3) Tes darah dan jaringan : Tes kulit, dahak dan air liur dapat membantu
dalam mengkonfirmasi alergi aspergilosis bronkopulmoner. Untuk tes kulit, sedikit
antigen aspergillus disuntikkan ke dalam kulit lengan. Jika darah memiliki antibodi
terhadap jamur, kulit akan terasa mengeras dan muncul benjolan. Tes darah dapat
menunjukkan kadar antibodi tertentu yang menunjukkan respon alergi.
4) Biopsi : Dalam beberapa kasus, memeriksa sampel jaringan dari paru-paru
atau sinus di bawah mikroskop mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis
aspergillosis invasif (Agarwal, et al., 2013).

G. Pengobatan
Pengobatan aspergillosis dapat dilakukan dengan cara :
1. Observasi
Aspergillomas tunggal biasanya tidak membutuhkan pengobatan, dan obat-
obatan biasanya tidak efektif dalam mengobati massa jamur ini. Aspergillomas yang
tidak menimbulkan gejala mungkin diperiksa secara ketat dengan bantuan rontgen
dada. Jika kondisi terus berkembang, penggunaan obat anti-jamur mungkin disarankan.
2. Kortikosteroid oral
Tujuan mengobati alergi aspergilosis bronkopul-moner adalah untuk mencegah
asma yang sudah ada atau memburuknya cystic fibrosis. Cara terbaik untuk
melakukannya adalah dengan kortikosteroid oral. Obat anti-jamur tidak membantu
untuk alergi aspergilosis bronkopulmoner, tetapi dapat dikombina-sikan dengan
kortikosteroid untuk mengurangi dosis steroid dan meningkatkan fungsi paru-paru.
3. Obat antijamur
Obat ini adalah pengobatan standar untuk aspergillosis paru invasif. Secara
historis, obat yang sering digunakan adalah amfoterisin B, tetapi obat yang lebih baru
vorikonazol (Vfend) kini lebih disukai karena tampaknya menjadi lebih efektif dan

28 | P a g e
mungkin memiliki efek samping yang lebih sedikit. Semua obat anti-jamur dapat
menyebabkan masalah serius seperti kerusakan hati atau ginjal. Obat juga dapat
berinteraksi dengan obat lain jika diberikan kepada orang-orang dengan sistem imun
lemah.
4. Operasi
Karena obat anti-jamur tidak cukup untuk mengatasi aspergillomas yang parah,
operasi untuk mengangkat massa jamur adalah pilihan pengobatan pertama yang
diperlukan ketika terjadi pendarahan di paru-paru. Karena operasi sangat berisiko,
dokter mungkin menyarankan embolisasi sebagai gantinya. Dalam embolisasi, ahli
radiologi akan mengulir kateter kecil ke dalam arteri yang memasok darah ke rongga
yang berisi bola jamur dan menyuntikkan bahan yang menyumbat arteri. Meskipun
prosedur ini dapat menghentikan pendarahan masif, tetapi pendarahan bisa saja
terulang. Embolisasi umumnya dianggap sebagai pengobatan sementara (Barnes and
Marr, 2006 ).

H. Pencegahan
Sulit untuk menghindari menghirup tingkat normal spora Aspergillus. Bagi
orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah atau penyakit paru- paru
parah, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu mengurangi
eksposur, termasuk:
1. Pakailah masker ketika dekat atau berada di lingkungan berdebu seperti
lokasi konstruksi.
2. Hindari aktivitas yang melibatkan kontak dekat dengan tanah atau debu,
seperti pekerjaan halaman atau berkebun.
3. Gunakan langkah-langkah perbaikan kualitas udara seperti filter High
Efficiency Particulate Air (HEPA).
4. Minum obat antijamur profilaksis jika dianggap perlu oleh penyedia layanan
kesehatan.
5. Bersihkan luka kulit dengan sabun dan air, terutama jika cedera telah terkena
tanah atau debu (Anonim, 2013).

29 | P a g e
2.4. Gambar Infeksi Jamur Oportunistik

1. Kandidiasis

Morfologi Candida albicans

30 | P a g e
2. Pneumocystis Jirovecii Pneumonia
a. Jamur Pneumocystis yang didapatkan pada paru pasien dengan AIDS.

b. Radiografi dada pada penderita HIV dengan Pneumonia Pneumocystis


menunjukkan karakteristik berupa opasitas granuler simetris bilateral.

3. Cryptococcosis

31 | P a g e
4. Aspergillosis

32 | P a g e
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat invasif
namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada orang yang
terinfeksi HIV/AIDS. Jamur oportunistik adalah jamur yang biasanya tidak menimbulkan
penyakit tetapi dapat menyebabkan penyakit pada orang yang mekanisme pertahanannya
terganggu. Organisme oportunistik artinya dalam keadaan normal sifatnya non pathogen
tetapi dapat berubah menjadi pathogen bila keadaan tubuh melemah, dimana mekanisme
pertahanan tubuh terganggu.

Infeksi jamur oportunistik ada bermacam-macam, yaitu : Kandidiasis yang disebabkan


oleh jamur Candida albicans, Pneumocystis Jirovecii Pneumonia yang disebabkan oleh
jamur Pneumocystis jirovecii, Cryptococcosis yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus
neoformans dan Aspergillosis yang disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus.

Ada berbagai metode-metode diagnosis yang dapat dilakukan untuk penyakit-penyakit


yang disebabkan karena infeksi jamur oportunistik tersebut. Pengobatan dan pencegahan
yang dapat dilakukan juga bermacam-macam sesuai dengan jamur penyebab infeksi tersebut.

33 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/url?q=https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/
50dfe6557b9dd498968e02634cbaf235.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwiDj-
OR25fqAhVQfH0KHUGBAkEQFjAAegQIAxAB&usg=AOvVaw3yXIoFYxVTmEYrVyM
YaeQQ

https://www.google.com/url?q=https://kalbemed.com/DesktopModules/EasyDNNNews/
DocumentDownload.ashx%3Fportalid%3D0%26moduleid%3D471%26articleid
%3D333%26documentid
%3D124&sa=U&ved=2ahUKEwiuv5PG25fqAhXGeisKHcIjDQYQFjAAegQICRAB&usg=
AOvVaw04PubxW2gYI21phnAySwHv

https://www.google.com/url?q=https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/
2c4f0793ec02077766450ee5fa5c8608.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwiG0Y_825fqAhXC73MB
HbRXBfsQFjAAegQIAxAB&usg=AOvVaw3-zM2LDhn_QXgN6jhHoofU

https://www.google.com/url?q=http://repository.unimus.ac.id/1295/3/BAB
%2520II.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwiG0Y_825fqAhXC73MBHbRXBfsQFjACegQIBhAB&
usg=AOvVaw0x2ZThKNiQPU3rWNmTLc4e

https://www.google.com/url?q=http://ocw.usu.ac.id/course/download/1110000101-basic-
biology-of-cell-2/
bbc215_slide_cryptococcus_neoformans.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjG8KWj3ZfqAhXEcn0
KHY2fC0sQFjAAegQIABAB&usg=AOvVaw2i4pm72tNaHbSqPWlBkaSN

https://www.google.com/url?q=https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jkss/article/
download/8777/7584&sa=U&ved=2ahUKEwj3iKa-3ZfqAhWCYisKHT-
kBU4QFjAAegQIAxAB&usg=AOvVaw1QGW1BDtw93qpGKKRdKEP6

https://www.google.com/url?q=https://e-journal.unair.ac.id/JR/article/download/
12324/7121&sa=U&ved=2ahUKEwjvrbH13ZfqAhXI8HMBHVXrAHQQFjABegQICRAB
&usg=AOvVaw3MsYW2yBMj4TTqo6lFO2sw

https://www.google.com/url?q=http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/
123456789/57630/Chapter%2520II.pdf%3Fsequence%3D3%26isAllowed

34 | P a g e
%3Dy&sa=U&ved=2ahUKEwiO4_f7opjqAhVnzzgGHX0LCh8QFjAAegQIBRAB&usg=A
OvVaw1tDGyQgPn5Okd0o7UVSGMn

https://www.google.com/url?q=http://eprints.ums.ac.id/30650/3/
BAB_I.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwiH0eOeo5jqAhUTbn0KHY1iDqQQFnoECAYQAg&usg
=AOvVaw27LvptKa49wQEiYanZL0Iq

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/7/5

https://www.google.com/url?q=http://wiki.isikhnas.com/images/5/51/
ASPERGILLOSIS.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwi7t-
ykpZjqAhXHXisKHbJrDNsQFjAAegQIAxAB&usg=AOvVaw2uftC6pIxFNntwtBNTlThS

https://www.scribd.com/doc/300024640/MAKALAH-JAMUR-OPORTUNISTIK-docx

35 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai