Anda di halaman 1dari 12

PENYAKIT DAN IMUNOLOGI DIFTERI

OLEH:

F A D I L A

917312906201.004

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA

KENDARI

2019
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

A. Pengertian………………………………………………………………… 3
B. Epidemiologi ……………………………………………………………. 3
C. Etiologi………………………………………………………………….. 4
D. Pathogenesis………………………………………………………………. 7
E. Penyebab ………………………………………………………………… 8
F. Pencegahan ……………………………………………………………… 9
G. Pengobatan …………………………………………………………... 11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 13

2
DIFTERI

A. Definisi

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,


Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Difteri
merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan bakteri penyebabnya. Difteri
adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan
ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina (Chin, 2000).

Bakteri Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang


gram positif, tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu
type gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004).

Difteri menyebabkan selaput tebal di bagian belakang tenggorokan. Hal ini


dapat menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung, kelumpuhan, bahkan
kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk
mencegah difteri (CDC).

B. Epidemiologi

Munculnya wabah difteri di Uni Soviet telah menjadi perhatian dalam


epidemiologi penyakit. Selama tahun 1980-1994 wabah difteri telah menyebar ke 15
negara federasi Uni Soviet. Sedangkan di Eropa pada tahun 1992 terjadi wabah difteri
yang mempunyai hubungan dengan kejadian wabah di Uni Soviet, antara lain di
Belgia, Inggris, Firlandia, Jerman, Yunani, dan Polandia. Di Polandia pada tahun
1992-1995 dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri sebelumnya telah
mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina dan Belarus.

3
Sedangkan di negara berkembang menurut laporan World Health Organization
(WHO) tahun 2013, difteri masih endemik. South-East Asia Region (SEARO) selalu
menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India merupakan negara
tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak 2.525 kasus (tahun 2012). Jumlah
ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak 4.233 kasus. Sedangkan
Indonesia merupakan Negara tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya.

C. Etiologi

Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri gram


positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna
sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan
dengan sediaan langsung dari lesi (Dahlan, 2007). Dengan pewarnaan, bakteri bisa
tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan
formasi mirip huruf cina. Bakteri ini tumbuh secara aerob, bisa dalam media
sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-telluritatau media
Loeffler. Pada membrane mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama
dengan bakteri diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi
glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa.

Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler,
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler,
basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular,
berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat (Sudoyo, 2006).

4
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3
jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:

 Gravis Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak


menimbulkan hemolisis eritrosit.
 Mitis Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
 Intermediate Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya
dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bias memproduksi
eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.

Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-
kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia.
Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi nontoksigenik, setelah dilakukan
subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian
bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bias
diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan non virulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:

 Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih
dipakai sampai sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
 Polymerase chain pig inoculation test (PCR)

5
 Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan
waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang
membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan


adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil
Hoffman, dan Corynebacterium serosis. Basil dapat membentuk :

 Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih


keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan
basil.

 Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose
(MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu per lima puluh ml toksin dapat
membunuh marmot dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak
pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang
sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa
inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati pada pemanasan suhu
60°C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu
dan lendir yang telah mengering (Sumarmo, 2008).

6
D. Patogenesis

Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit,


melekat serta berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan
mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula
menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A,
mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga proses translokasi tersebut tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya
sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang pad awalnya mudah dilepas. Semakin
banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk
eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman tergantung dari jumlah darah yang terkandung (IDAI,2008).

Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu


seperti saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa
terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada
lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi selama minggu pertama
sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan


selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel
dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna
abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya

7
akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-
tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami kelsulitan
bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis dapat
ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab
hidung dan tenggorok (Kementerian Kesehatan,2013).

E. Penyebab
 Difteri hidung Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian makropulen menyebabkan lecet pada nares dan
bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum
nasi. Absorbs sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga lama terdiagnosis.
 Difteri faring Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2
hari berikutnya akan timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu
dapat menutupi tonsil dan dinding faring meluas ke uvula dan palatum molle
atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema jaringan
lunak leher yang luas, maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan
lunak leher yang luas, maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala
tergantung pada derajat penetrasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat
dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Stupor, koma, kematian
bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
 Difteri laring Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri
laring primer gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring berat
terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi

8
peleasan membrane yang menutup jalan napas, bisa terjadi kematian
mendadak.
 Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga Merupakan tipe difteri yang tidak lazim
unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membrane
pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada konjungtiva
pelpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan
berbau.
F. Pencegahan
a. Imunisasi DPT Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi
bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak
bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan.
Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap
penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek
samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak
pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun
panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan
tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diperoleh
selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya
menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. (Wijaya, 2004)
b. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri Selain pemberian imunisasi perlu
juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua
tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada
bayi dan anak-anak. (Wijaya, 2004)
c. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene Mencegah penyakit difteri penting
pula untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit
menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk

9
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga
kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Di samping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi. Jika
kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika
telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk
mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi
yang lain. (Kartono, 2008)

G. Pengobatan

Pengobatan pada penderita difteria bertujuan untuk menginaktivasi toksin


yangbelum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadiminimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobatiinfeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh
padatoksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
toksinyang telah melakukan penetrasi ke dalam sel. (Detending RR, 2007)

a. Pengobatan umum
 Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien
tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat,
 Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori.
 Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
antaralain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap
minggu selama 5 minggu.

10
 Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (Sing
A, 2005)
b. Pengobatan Khusus  Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS) Antitoksin
harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%. (Sing A, 2005)
c. Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah
penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan
terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara
luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit
lebih unggul daripada penisili8n untuk terapi difteri nasofaring.4. Terapi
diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang
kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang
diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi (Detending RR, 2007).

11
DAFTAR PUSTAKA

Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, 17th.ed. Jakarta:


Infomedika.

Dahlan A, Aminullah A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. 11 th ed.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Depkes RI. 2004.

Pedoman Penyelenggaran Imunisasi. Jakarta. Deterding RR. Essentials of diagnosis


and typical features Diphtheria. In : Hay WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds.
Current diagnosis and therapy in pediatric. 18th ed. United State of America : Library
of congress press ; 2007.p.1176 – 8

Dowel, Maloney. Arch Otolaryngol AMA. Diphtheria, 2000.

Kartono, 2008. Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya


dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5.

Long SS. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson Textbook of Pediatrics.


15th ed. Philadelphia : WB Saunders company ; 1996.p. 955 – 59 Sing A, Heesemann
J. Imported diphtheria Germany, 2005

12

Anda mungkin juga menyukai