OLEH:
F A D I L A
917312906201.004
JURUSAN FARMASI
KENDARI
2019
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
A. Pengertian………………………………………………………………… 3
B. Epidemiologi ……………………………………………………………. 3
C. Etiologi………………………………………………………………….. 4
D. Pathogenesis………………………………………………………………. 7
E. Penyebab ………………………………………………………………… 8
F. Pencegahan ……………………………………………………………… 9
G. Pengobatan …………………………………………………………... 11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 13
2
DIFTERI
A. Definisi
B. Epidemiologi
3
Sedangkan di negara berkembang menurut laporan World Health Organization
(WHO) tahun 2013, difteri masih endemik. South-East Asia Region (SEARO) selalu
menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India merupakan negara
tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak 2.525 kasus (tahun 2012). Jumlah
ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak 4.233 kasus. Sedangkan
Indonesia merupakan Negara tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya.
C. Etiologi
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler,
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler,
basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular,
berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat (Sudoyo, 2006).
4
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3
jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bias memproduksi
eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-
kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia.
Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi nontoksigenik, setelah dilakukan
subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian
bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bias
diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan non virulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih
dipakai sampai sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
5
Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan
waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang
membutuhkan waktu 24 jam.
Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose
(MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu per lima puluh ml toksin dapat
membunuh marmot dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak
pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang
sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa
inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati pada pemanasan suhu
60°C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu
dan lendir yang telah mengering (Sumarmo, 2008).
6
D. Patogenesis
7
akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-
tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami kelsulitan
bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis dapat
ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab
hidung dan tenggorok (Kementerian Kesehatan,2013).
E. Penyebab
Difteri hidung Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian makropulen menyebabkan lecet pada nares dan
bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum
nasi. Absorbs sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga lama terdiagnosis.
Difteri faring Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2
hari berikutnya akan timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu
dapat menutupi tonsil dan dinding faring meluas ke uvula dan palatum molle
atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema jaringan
lunak leher yang luas, maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan
lunak leher yang luas, maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala
tergantung pada derajat penetrasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat
dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Stupor, koma, kematian
bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Difteri laring Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri
laring primer gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring berat
terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
8
peleasan membrane yang menutup jalan napas, bisa terjadi kematian
mendadak.
Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga Merupakan tipe difteri yang tidak lazim
unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membrane
pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada konjungtiva
pelpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan
berbau.
F. Pencegahan
a. Imunisasi DPT Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi
bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak
bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan.
Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap
penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek
samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak
pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun
panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan
tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diperoleh
selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya
menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. (Wijaya, 2004)
b. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri Selain pemberian imunisasi perlu
juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua
tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada
bayi dan anak-anak. (Wijaya, 2004)
c. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene Mencegah penyakit difteri penting
pula untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit
menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
9
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga
kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Di samping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi. Jika
kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika
telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk
mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi
yang lain. (Kartono, 2008)
G. Pengobatan
a. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien
tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
Pemberian cairan serta diet yang adekuat,
Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori.
Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
antaralain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap
minggu selama 5 minggu.
10
Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (Sing
A, 2005)
b. Pengobatan Khusus Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS) Antitoksin
harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%. (Sing A, 2005)
c. Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah
penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan
terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara
luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit
lebih unggul daripada penisili8n untuk terapi difteri nasofaring.4. Terapi
diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang
kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang
diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi (Detending RR, 2007).
11
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan A, Aminullah A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. 11 th ed.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Depkes RI. 2004.
12