PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan atau mukosa.4
2.2. Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif,
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V,
atau merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada
media yang mengandung K-tellurit atau
media Loeffler. Pada membran mukosa
manusia Corynebacterium diphtheria dapat
hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang diperlukan Gambar 1. Morfologi
pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi Corynebacterium diphtheria
2.3. Epidemiologi
Difteria tersebar luas diseluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian
pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang
perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.
Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria
setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke
tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130
kasus dengan angka kematian 3,08%.7
Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun
demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut ilmu
tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan,
merupakan faktor penting terjadinya penyakit. Angka kesakitan dan kematian
4
toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien
tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati
bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubular akut pada ginjal.7
2.6 Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien.
Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat
dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
10
2.8 Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.diptheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria. 5
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-
3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
13
Khusus
Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.5
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1mL ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif jika bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.8
Pada mata lain yang diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
14
2.9 Imuninasi8
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2-3 hari. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah
menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi
toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji
Schick dan uji Moloney.
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas)
seorang terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin difteria yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat
kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan
nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya,
16
Vaksin DT, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 5 tahun (pada
anak yang telah mendapatkan vaksin DTP sebelumnya) atau imunisasi
dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP.
Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal dua kali
dengan interval minimal 1 bulan.
Gambar 10. Beberapa jenis vaksin DTP; (a) DTP-HB; (b) Adsorbed Td Vaccine; (c)
Adsorbed DT Vaccine
Vaksin Td, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 7 tahun (pada
anak yang telah mendapatkan vaksin DTP/DT sebelumnya) atau
imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi
DTP/DT. Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal
dua kali dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri
hanya seperempat sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri pada
DTP atau DT. Vaksin ini (adult type diphtheria vaccine) digunakan juga
untuk booster setiap 10 tahun pada seluruh penduduk.
Vaksin TdaP, merupakan vaksin Td yang ditambah dengan komponen
aP, untuk mengatasi masalah pertusis pada dewasa yang merupakan
sumber penularan untuk kelompok bayi dan anak. Digunakan untuk
menguatkan kembali kekebalan terhadap tetanus dan sekaligus difteri dan
pertusis.
18
2.10 Komplikasi5,6,7
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau
akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan
dalam obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung,
saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.
Obtruksi jalan nafas
Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau
oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servikal.
Dampak toksin
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin.
Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada
minggu ke-6.
Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung
redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal
jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi
segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
19
2.12 Pencegahan 7
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit
ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria
lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan soerang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya
(karier) atau menderita difteria ringan.
21
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA