Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh karena toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui
udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana
manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri.1
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan
gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin
yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi
kuman antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita
maupun karier.1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya
yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi,
yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut.2
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi
kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Penderita
difteri di Indonesia selalu menempati urutan pertama di Asia pada tahun
2010 (385 dari 474 kasus), tahun 2011 (302 dari 333 kasus), tahun 2012 (285
dari 305). Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat
dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup
tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung.3
Kejadian luar biasa dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan
yaitu bayi dan anak. Berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan atau mukosa.4

2.2. Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif,
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V,
atau merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada
media yang mengandung K-tellurit atau
media Loeffler. Pada membran mukosa
manusia Corynebacterium diphtheria dapat
hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang diperlukan Gambar 1. Morfologi
pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi Corynebacterium diphtheria

glikogen, kanji, glukosa, maltose dan


sukrosa.5
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak
tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang
pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C.
diphtheria adalah kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in
3

vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000


dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C. diphtheria yang terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.6

Gambar 2. Toksin difteria dan reseptor toksin pada difteria

2.3. Epidemiologi
Difteria tersebar luas diseluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian
pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang
perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.
Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria
setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke
tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130
kasus dengan angka kematian 3,08%.7
Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun
demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut ilmu
tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan,
merupakan faktor penting terjadinya penyakit. Angka kesakitan dan kematian
4

tahun 1992-1996 di Rumah Sakit Provinsi Jakarta, Semarang, Bandung,


Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi.7
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier
melalui droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara.
Muntahan/ debu bisa merupakan wahana penularan (vehicles of
transmission).5

2.4. Patogenesis dan Patofisiologis


Kuman C. diphtheria masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan
mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan
2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P
dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan
asam amino lain untuk membentuk pelipeptida sesuai dengan cetakan biru
RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya
gabungan transferRNA + dipeptide dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses
translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation factor-2) yang
aktif.5,6
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel degan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-
EF2(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini
menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi
lokal bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang
semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran
yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, sel radang, eritrosit dan epitel.
5

Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya


membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.5,6

Gambar 3. Patofisiologi Difteria pada tubuh

Pada pseudomembran kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri


(misalnya, Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematus dapat
menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa terjadi dengan
perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakea-bronkus. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,
terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak dapat
menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah
6

toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien
tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati
bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubular akut pada ginjal.7

2.5. Manifestasi Klinis


Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampa keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheria (kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur,
penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah
ada sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada
umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,90C dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. 8

Gambar 4. Manifestasi klinis dari C. difteria pada manusia


7

2.5.1 Difteria Hidung


Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat
dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat.9

2.5.2 Difteria Tonsil Faring


Gejala difteria tonsil-faring adalah
anoreksia, malaise, demam ringan dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian
timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan
dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke bawah ke laring dan Gambar 5. Membran berwarna
trakea. Usaha melepaskan membran akan putih kelabu yang

mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi menutup tonsil


dan dinding faring
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi
pada difteria
bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul
faringitis
bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin
dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan
atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus
sedang, penyembuhan terjadi berangsung-angsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan
sempurna.8,9
8

Gambar 6. (a). Pewarnaan Methylene blue pada Corynebacterium


diphtheriae (ukuran : 18 m). (b) Gambaran bentuk Pseudomembrane pada
sekitar trakea. (c) Bull-neck terjadi pada pembesaran kelenjar getah bening
region cervival
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan
trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.8,9

2.5.3 Difteri laring


Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, jarang
sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang
progresif, suara parau, dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang
berat terdapat retraksi suprasternal, supraklavikular, intrakostal dan
epigastrial. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas
bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat
meluas ke percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi
sebagai perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak
merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan
demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri
jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas.8,9
9

Gambar 7. Difteri laring

2.5.4 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga


Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan
difteria telinga merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual).
Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
secret purulen dan berbau.6,7

Gambar 8. Lesi pada Difteria Kulit

2.6 Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien.
Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat
dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
10

fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.


Diagnosis pasti dengan isolasi C.diphtheriae dengan pembiakan pada
media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenisitas secara in vivo
(marmut) dan in vitro (tes Elek).10

(a) (b) (c)


Gambar 9. Pembiakan bakteri difteri dengan (a) agar darah; (b) McLoeds agar
plate culture; (c) Cystine tellurite plate culture
1. Klinis
Demam tidak terlalu tinggi
Sakit menelan
Suara serak
Sesak nafas
Lesu, pucat dan lemah
Adanya membran putih kelabu, mudah berdarah, sukar diangkat
pada tonsil, faring, laring patognomonis
Bull neck
Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat
obstruksi sebagai berikut:
Derajat I:
- Anak tenang
- Dispneu ringan
- Sridor inspiratoar
- Retraksi suprasternal
Derajat II:
- Anak gelisah
- Dispneu hebat
11

- Stridor masih hebat


- Retraksi suprasternal dan epigastrium
- Sianosis belum tampak
Derajat III:
- Anak sangat gelisah
- Dispneu makin hebat
- Stridor makin hebat
- Retraksi suprasternal dan epigastrium serta
interkostal
- Sianosis
Derajat IV:
- Letargi
- Kesadaran menurun
- Pernafasan melemah
- Sianosis
2. Laboratorium
Bila sediaan apus dan biakan tenggorok ditemukan Corynebacterium
diptheria8,10
Kriteria klinis : adanya infeksi saluran nafas atas, demam dan terdapat
pseudomembran yang melekat erat pada tonsil, faring dan atau mukosa
hidung.
Laboratorium : Isolasi C.diphtheria dari spesimen
Pembagian diagnosis berdasarkan CDC / WHO 2003 :
Probable : kriteria klinis (+), Laboratorium (-), dan tidak ditemukan
kasus sama yang terbukti secara laboratorium di sekitar tempat tinggal
penderita
Confirmed : kriteria klinis (+), Laboratorium (+), atau ditemukannya
kasus yang sama yang terbukti secara laboratorium di sekitar tempat
tinggal penderita 8,10
12

2.7 Diagnosis Banding8


Difteria Hidung
Penyakit yang menyerupai Difteria hidung adalah rhinorrhea
(common cold,sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung,
snuffles (lues kongenital).
Difteria Faring
Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat),
mononucleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial,
tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.
Difteria Laring
Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai
infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic
edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan
oleh streptokokus dan stafilokokus.

2.8 Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.diptheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria. 5
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-
3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
13

Khusus
Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.5

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit


Tipe difteria Dosis Cara Pemberian
ADS
(KI)
Difteria hidung 20.000 Intramuskular
Difteria tonsil 40.000 Intramuskular atau
intravena
Difteria faring 40.000 Intramuskular atau
intravena
Difteria laring 40.000 Intramuskular atau
intravena
Kombinasi lokasi di 80.000 Intravena
atas
Difteria + penyulit, 80.000 Intravena
bullneck 120.000
Terlambat 80.000 Intravena
pengobatan (>72 120.000
jam), lokasi dimana
saja

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1mL ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif jika bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.8
Pada mata lain yang diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
14

tergantung pada berat badan pasien berkisar antara 20.000 120.000 KI


seperti yang tertera pada tabel 1.8
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau
100mL glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). 10
Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin
prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat
riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40
mg/kgBB/hari.10
Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria
yang disertai gejala :
Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck)
Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan
dosisnya secara bertahap.
Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikutnya terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorokan
serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
15

pemeriksaan serologis dan observasi harian. Anak yang telah mendapat


imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Tabel 2. Pengobatan terhadap Kontak Difteria


Biakan Uji Schick Tindakan
Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar
(-) (-)
diberikan booster toksoid difteria
Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan,
(+) (-)
atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40
(+) (+)
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status
(-) (+)
imunisasi

2.9 Imuninasi8
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2-3 hari. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah
menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi
toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji
Schick dan uji Moloney.
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas)
seorang terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin difteria yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat
kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan
nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya,
16

apabila seorang mempunyai antitoksin, tidak mempunyai antitoksin,


tidak menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif.
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap
produk bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1
ml larutan toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam
24 jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa seorang telah
mempunyai pengalaman dengan basil difteria sebelumnya sehingga
terjadi reaksi hipersensitivitas. Kerugian uji kepekaan Moloney, toksoid
difteria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria
(alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan toksoid
tetanus dan vaksin pertussis dalam bentuk vaksin DTP. Potensi toksoid
difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1Lf
adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan
toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini
berkisar antara 6,7 25 Lf dalam dosis 0,5 ml. Jadwal untuk imunisasi
rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18
bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus
diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi
toksoid difteria dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian
vaksin pertusis.
Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata
memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas
protektif 0.01 IU). Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi
dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan.
Beberapa penelitian serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan
sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.
Booster pada sangat diperlukan untuk meningkatkan kekebalan,
diberikan baik setahun setelah DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun.
Beberapa sediaan vaksin yang berisi toksoid difteria selain DTwP
dan DTaP, antara lain :
17

Vaksin DT, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 5 tahun (pada
anak yang telah mendapatkan vaksin DTP sebelumnya) atau imunisasi
dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP.
Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal dua kali
dengan interval minimal 1 bulan.

Gambar 10. Beberapa jenis vaksin DTP; (a) DTP-HB; (b) Adsorbed Td Vaccine; (c)
Adsorbed DT Vaccine
Vaksin Td, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 7 tahun (pada
anak yang telah mendapatkan vaksin DTP/DT sebelumnya) atau
imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi
DTP/DT. Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal
dua kali dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri
hanya seperempat sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri pada
DTP atau DT. Vaksin ini (adult type diphtheria vaccine) digunakan juga
untuk booster setiap 10 tahun pada seluruh penduduk.
Vaksin TdaP, merupakan vaksin Td yang ditambah dengan komponen
aP, untuk mengatasi masalah pertusis pada dewasa yang merupakan
sumber penularan untuk kelompok bayi dan anak. Digunakan untuk
menguatkan kembali kekebalan terhadap tetanus dan sekaligus difteri dan
pertusis.
18

Gambar 11. Jadwal Imunisasi Anak Rekomendasi IDAI, tahun 2011

2.10 Komplikasi5,6,7
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau
akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan
dalam obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung,
saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.
Obtruksi jalan nafas
Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau
oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servikal.
Dampak toksin
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin.
Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada
minggu ke-6.
Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung
redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal
jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi
segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
19

Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,


terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi
sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata
biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu
ke-5 dan ke-7.
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor
serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke
-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan
kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal
jantung.
Infeksi sekunder bakteri
Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder
bakteri sudah sangat jarang terjadi.

2.11 Prognosis 5,6


Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih
baik daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain.
Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih
dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat
disebabkan oleh karena
1. obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membrane difteria
2. adanya miokarditis dan gagal jantung
3. paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala
sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang
menetap.
20

2.12 Pencegahan 7
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit
ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria
lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan soerang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya
(karier) atau menderita difteria ringan.
21

BAB III
KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan


segera, oleh karena itu bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam
mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai
tempat di dunia tetapi masih terdapat beberapa kasus yang terkena pada anak yang
kadang dengan tanda dan gejala yang tidak khas.
Penyebab dari penyakit difteri adalah C diphtheriae yang merupakan kuman
gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,90C.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit
ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur).
Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan
pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuskular untuk anak kurang dari 7 tahun
dan pemberian DT 0,5 mL intramuskular untuk anak lebih dari 7 tahun.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly


diseases and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house
publishers ; 2009.p. 97 - 105
2. Long SS. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson Textbook of
Pediatrics. 15th ed. Philadelphia : WB Saunders company ; 1996.p. 955 59
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2013). Pendapat Ikatan Dokter Indonesia
Kejadian Luar Biasa Difteri. http://idai.or.id/about-idai/idai-
statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesia-kejadian-luar-biasa-
difteri.html
4. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric
infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
5. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediateric
infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
6. Gershon AA, Hotez PJ, Katz S. Krugmans infectious disease of children.
11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004.
7. Rampengan, T.H., dan I.R. Laurentz. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada
Anak, Difteri, 1-18
8. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
9. Banovetz JD. Gangguan laring. Dalam : Adams GL, Boies LR, Hilger PA ed.
Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC ( Alih bahasa : Wijaya C );
1994.p. 378 85
10. Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features Diphtheria. In :
Hay WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and therapy in
pediatric. 18th ed. United State of America : Library of congress press ;
2007.p. 1176 8

Anda mungkin juga menyukai